KASUS POSISI BABAK FINAL TARUMANAGARA LAW FAIR III
KOMPETISI MEDIASI TINGKAT NASIONAL PIALA MAHKAMAH AGUNG 2021 Indonesia merupakan negara yang terkenal kaya akan bahan galian tambang. Bahan galian tambang itu antara lain emas, perak, tembaga, minyak dan gas bumi, batu bara, nikel dan lain-lain. Bahan galian tambang ini dikuasai oleh negara. Negara menguasai bahan galian tambang oleh karena itu, Negara mempunyai hak penguasaan terhadap bahan galian tersebut untuk kemakmuran rakyat bedasarkan Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Dalam mewujudkan hal tersebut, Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia sebagai perwakilan Negara dalam menyerahkan bahan galiannya kepada perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang pertambangan untuk melakukan kegiatan eksplorasi, pengolahan dan permurnian dengan beberapa perizinan, kontrak karya, dan perjanjian karya yang ditentukan oleh Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”). Berawal pada 27 September 2018, pembangunan smelter merupakan salah satu syarat yang diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada PT Cooper & Gold Mine Indonesia (“PTCGMI”) untuk mendapatkan perpanjangan kontrak 2 x 10 tahun, dengan perubahan skema dari kontrak karya (“KK”) menjadi usaha pertambangan khusus (“IUPK”). Kewajiban perusahaan tambang untuk membangun smelter merupakan upaya pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kemakmuran rakyat melalui pemurnian biji atau konsentrat mineral yang sudah dieksploitasi oleh perusahaan agar dapat meningkatkan mutu komoditas mineral melaui proses fisika maupun kimia serta proses peningkatan kemurnian lebih lanjut untuk menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang berbeda dari komoditas tambang asal sampai dengan produk logam sebagai bahan baku industri. Yang dapat mengakibatkan nilai jual mineral akan jauh berbeda jika sudah diolah melalui proses pemurnian, bukan lagi berbentuk bijih ataupun konsentrat. Hal ini dapat membantu negara dalam mendapatkan keuntungan yang lebih dalam melakukan kegiatan ekspor. Selain itu, hasil pengotor konsentrat atau bijih tersebut juga masih dapat dimanfaatkan untuk hal yang lain sehingga memiliki nilai tambah dalam segi perekonomian. Pembangunan smelter membutuhkan dana yang cukup besar, investasi yang dibutuhkan PTCGMI untuk pembangunan smelter baru ditaksir dapat mencapai 3 Miliar USD dengan kapasitas 2 juta ton konsentrat tembaga per tahun. Namun, proyek ini baru selesai sekitar 10% yang dimana sesuai dengan kewajiban yang ditetapkan dalam IUPK PTCGMI, pembangunan smelter baru harus selesai paling lambat pada Desember 2023 atau tiga tahun sejak diundangkannya UU Minerba. Artinya pasca 2023 hanya produk mineral yang sudah dimurnikan diperbolehkan ekspor. Batas waktu ini bisa menimbulkan polemik mengingat adanya pandemic COVID-19 yang mengakibatkan vendor smelter mengalami kesulitan, penundaan sudah berjalan 6 bulan akibat COVID-19 sehingga kontraktor tidak menyanggupinya jika dipaksakan pembangunan smelter baru harus rampung pada Q4 2023 dan meminta revisi jadwal. Maka dari itu Presiden Direktur PTCGMI Jason Novienco, mengajukan permohonan penundaan pembangunan smelter yang diakibatkan oleh kendala biaya dan waktu penyelesaian akibat pandemi COVID-19 pada Juli 2020, yang kemudian pembangunan smelter baru di East Java Integrated Industrial Estate (“EJIIE”), Gresik, Jawa Timur, ditargetkan akan rampung pada Q4 2024 kepada Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Dr. Ir. Bondan Cahyadi, M.Sc., namun beliau menolak dengan tegas mengenai permohonan penundaan pembangunan smelter baru tersebut dengan alasan dampak penundaan bisa merugikan Indonesia karena selama 1 tahun lagi Indonesia hanya bisa mengekspor bahan mentah sehingga tidak memperoleh nilai tambah dan pemerintah dapat dianggap melanggar UU Minerba yang belum lama ini disahkan. Sehingga PTCGMI mengajukan alternatif lain yaitu memperluas kapasitas smelter yang sudah ada (eksisting) di Surabaya Industrial Estate (“SIE”), Jawa Timur, dengan estimasi biaya ekspansi sebesar 250 juta USD untuk perluasan 30% atau 300.000 metrik ton konsentrat per tahun dan menambah pabrik logam mulia. Namun alternatif tersebut juga ditolak oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara karena menilai PTCGMI telah melakukan wanprestasi terhadap persyaratan yang diberikan di dalam IUPK yang telah diberikan 5 tahun yang lalu jika pembangunan smelter belum rampung pada Q4 2023 dan keuntungan yang dapat diperoleh tidak sebesar jika pembangunan smelter baru dapat diselesaikan pada Q4 2023 sehingga Indonesia harus menanggung kerugian yang seharusnya tidak terjadi. Berdasarkan penolakan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, PTCGMI mengajukan untuk melakukan upaya hokum mediasi dalam rangka untuk menunjukkan komitmen PTCGMI dalam membangun kerjasama yang baik dengan pemerintah Republik Indonesia.