Anda di halaman 1dari 23

END STAGE RENAL DISEASE

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
KEPERAWATAN KRITIS
Yang Dibina oleh Sasmiyanto S.Kep.Ners., M.Kes.

Oleh:
1. Eva Meiroikhatul Jannah (1611011002)
2. Bintari Puspa Alfirosa (1611011005)
3. Eka Putri Ramadhani (1611011010)
4. Erna Diana Putri (1611011013)
5. Rias Elia Rahmad (1611011020)
6. Dwiki Ratna Putri (1611011027)
7. Saiful Bahri Al Khawarizmi (1611011029)
8. Iqbal Abdi Firdaus (1611011034)
9. Nuril Laila (1611011035)
10. Fiki Hadiamsyah (1611011037)

PRODI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
Mei, 2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadiratNya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayahNya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan laporan pendahuluan tentang “End Stage Renal Disease”.
Kemudian dengan selesainya makalah ini, kami menghaturkan terimakasih kepada Dosen
Keperawatan Kritis yakni Bapak Sasmiyanto S.Kep.Ners., M.Kes. yang telah
membimbing kami dalam menyusun makalah ini. Kami juga berterima kasih kepada
teman-teman yang memberi kontribusi baik langsung maupun tidak langsung
dalam pembuatan makalah ini.

Penyusun berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca dan dapat bermanfaat bagi pembaca. Karena
keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran
dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Jember, Mei 2019

Kelompok 3

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................i
KATA PENGANTAR..................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................2
B. Tujuan...................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................3
A. Definisi End Stage Renal Disease.........................................................3
B. Anatomi dan Fisiologi Sistem Renal....................................................4
C. Etiologi..................................................................................................10
D. Manifestasi Klinis.................................................................................12
E. Patofisiologi..........................................................................................13
F. Penatalaksanaan....................................................................................14
G. Pemeriksaan Penunjang........................................................................16
H. WOC.....................................................................................................18
BAB III PENUTUP......................................................................................19
A. Kesimpulan...........................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Ginjal Kronik (Chronic Kidney Disease/CKD) adalah
gangguan fungsi ginjal yang progressif, bersifat irreversible dan menyebabkan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan
elektrolit sehingga mengakibatkan terjadinya uremia (Smeltzer, et al., 2008).
Penyakit ginjal kronik terdiri dari beberapa tahap, dimana tahap akhir dari
penyakit ginjal kronik disebut dengan penyakit ginjal tahap akhir (End Stage
Renal Disease/ESRD). ESRD ditunjukkan dengan ketidakmampuan ginjal dalam
mempertahankan homeostasis tubuh (Ignatavicius & Workman, 2006) dengan
nilai laju filtras glomerulus kurang dari 15 mL/menit/1,73 m2 (Suwitra, 2006).
Berdasarkan data dari United Stated Renal Data System (USRDS) tahun 2005
diketahui bahwa lebih dari 300.000 orang Amerika mengalami ESRD (Al-Arabi,
2006).
Pada tahun 2008 didapatkan lebih dari 470.000 orang hidup dengan
ESRD, dan setiap tahun terus bertambah lebih dari 100.000 orang didiagnosa
dengan ESRD (Kring & Crane, 2009). Di Amerika individu dengan ESRD terus
bertambah dari 261,3 per 1000 penduduk pada tahun 1994 menjadi 348,6 per
1000 penduduk pada tahun 2004 (Kring & Crane, 2009). Kondisi ini juga terjadi
di Indonesia. Penderita penyakit ginjal kronik di Indonesia sampai tahun 2007
mencapai 70.000 dan tersebar di seluruh Indonesia (Sinar Harapan, 2008). Data
dari USRDS menyebutkan bahwa di Amerika Serikat lebih dari 65% pasien
ESRD mendapatkan terapi hemodialisa (Smeltzer, et al., 2008).

1
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimanakah Definisi dari End Stage Renal Disease?
b. Bagaimana Anatomi dari sistem Renal?
c. Bagaimana Etiologi dari End Stage Renal Disease?
d. Bagaimana Manifestasi Klinis dari End Stage Renal Disease?
e. Bagaimana Patofisiologi dari End Stage Renal Disease?
f. Bagaimana Penatalaksanaan dari End Stage Renal Disease?
g. Bagaimana Pemeriksaan Penunjang dari End Stage Renal Disease?
h. Bagaimana WOC dari End Stage Renal Disease?

C. Tujuan
Setelah diberikan pembahasan tentang End Stage Renal Disesea mahasiswa
mampu memahami:
a. Definisi dari End Stage Renal Disesea
b. Anatomi dari sistem Renal
c. Etiologi dari End Stage Renal Disease
d. Manifestasi Klinis dari penyakit End Stage Renal Disease
e. Patofisiologi End Stage Renal Disease
f. Penatalaksanaan End Stage Renal Disease
g. Pemeriksaan Penunjang End Stage Renal Diseae
h. WOC End Stage Renal Disease

a.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Sistem Renal


Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah
metabolik tubuh atau melakukan fungsi regulernya (Hutagaol, 2017). Suatu
bahan yang biasanya di eliminasi di urin menumpuk dalam cairan tubuh akibat
gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan
metabolik, cairan, elektrolit serta asam-basa. Gagal ginjal adalah suatu kondisi
dimana fungsi ginjal mengalami penurunan sehingga tidak mampu lagi untuk
melakukan filtrasi sisa metabolisme tubuh dan menjaga keseimbangan cairan
elektrolit seperti sodium dan kalium di dalam darah atau urin.
Gagal ginjal dibagi menjadi dua bagian besar yakni gagal ginjal akut dan
gagal ginjal kronik . Pada gagal ginjal akut terjadi penurunan fungsi ginjal secara
tiba-tiba dalam waktu beberapa hari atau beberapa minggu dan ditandai
dengan hasil pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin darah) dan kadar
urea nitrogen dalam darah yang meningkat. Sedangkan padagagal ginjal kronis,
penurunan fungsi ginjal terjadi secara perlahan-lahan. Proses penurunan fungsi
ginjal dapat berlangsung terus selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun sampai
ginjal tidak dapat berfungsi sama sekali (end stage renal disease). Gagal ginjal
kronis dibagi menjadilima stadium berdasarkan laju penyaringan (filtrasi)
glomerulus (Glomerular Filtration Rate =GFR) yang dapat dilihat pada tabel di
bawah ini. GFR normal adalah 90 - 120 mL/min/1.73 m2.

3
Stadium GFR Deskripsi
(ml/menit/1.73 m2
1 Lebih dari 90 Kerusakan minimal pada ginjal, filtrasi masih
normal atau sedikit meningkat
2 60-89 Fungsi ginjal sedikit menurun
3 30-59 Penurunan fungsi ginjal yang sedang
4 15-29 Penurunan fungsi ginjal yang sedang
5 Kurang dari 15 Gagal ginjal stadium akhir (End Stage Renal
Disease)

Stadium akhir penyakit ginjal (ESRD ), Tahap 5 CKD juga disebut gagal ginjal
kronis (CKF)  atau kegagalan kronis ginjal (CRF). Gagal ginjal stadium akhir (End
Stage Renal Disease/ESRD) adalah kondisi saat ginjal kehilangan kemampuan
untuk melakukan fungsinya. Kondisi ini sangat serius, sebab dapat membuat
kualitas hidup pasien menurun drastis.

B. Anatomi Dan Fisiologi Sistem Renal


1. Anatomi Sistem Renal
a. Ginjal (Ren)
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen di belakang peritoneum
pada kedua sisi vertebra thorakalis ke 12 sampai vertebra lumbalis ke-3.
Bentuk ginjal seperti biji kacang. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari
ginjal kiri, karena adanya lobus hepatis dexter yang besar.
Fungsi Ginjal :
1) Memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis atau
racun,
2) Mempertahankan suasana keseimbangan cairan, osmotic, dan ion,
3) Mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan
tubuh,
4) Fungsi hormonal dan metabolisme,

4
5) Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum,
kreatinin dan amoniak.
Struktur Ginjal
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula
fibrosa, terdapat cortex renalis di bagian luar, yang berwarna cokelat
gelap, dan medulla renalis di bagian dalam yang berwarna cokelat lebih
terang dibandingkan cortex. Bagian medulla berbentuk kerucut yang
disebut pyramides renalis, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang
terdiri dari lubang-lubang kecil disebut papilla renalis.

Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu


masuknya pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus.. Pelvis
renalis berbentuk corong yang menerima urin yang diproduksi ginjal.
Terbagi menjadi dua atau tiga calices renalis majores yang masing-
masing akan bercabang menjadi dua atau tiga calices renalis minores.
Struktur halus ginjal terdiri dari banyak nefron yang merupakan unit
fungsional ginjal. Diperkirakan ada 1 juta nefron dalam setiap ginjal.
Nefron terdiri dari :

5
1) Glomerolus
Suatu jaringan kapiler berbentuk bola yang berasal dari arteriol
afferent yang kemudian bersatu menuju arteriol efferent, Berfungsi
sebagai tempat filtrasi sebagian air dan zat yang terlarut dari darah
yang melewatinya.
2) Kapsula Bowman
Bagian dari tubulus yang melingkupi glomerolus untuk
mengumpulkan cairan yang difiltrasi oleh kapiler glomerolus.
3) Tubulus, terbagi menjadi 3 yaitu:
a) Tubulus proksimal
Tubulus proksimal berfungsi mengadakan reabsorbsi bahan-bahan
dari cairan tubuli dan mensekresikan bahan-bahan ke dalam cairan
tubuli.
b) Ansa Henle
Ansa henle membentuk lengkungan tajam berbentuk U. Terdiri
dari pars descendens yaitu bagian yang menurun terbenam dari
korteks ke medula, dan pars ascendens yaitu bagian yang naik
kembali ke korteks. Bagian bawah dari lengkung henle
mempunyai dinding yang sangat tipis sehingga disebut segmen
tipis, sedangkan bagian atas yang lebih tebal disebut segmen tebal.
Lengkung henle berfungsi reabsorbsi bahan-bahan dari cairan
tubulus dan sekresi bahan-bahan ke dalam cairan tubulus. Selain

6
itu, berperan penting dalam mekanisme konsentrasi dan dilusi
urin.
c) Tubulus distal
Berfungsi dalam reabsorbsi dan sekresi zat-zat tertentu.
4) Duktus pengumpul (duktus kolektifus)
Satu duktus pengumpul mungkin menerima cairan dari delapan nefron
yang berlainan. Setiap duktus pengumpul terbenam ke dalam medula
untuk mengosongkan cairan isinya (urin) ke dalam pelvis ginjal.
Persarafan Ginjal
Ginjal mendapatkan persarafan dari fleksus renalis(vasomotor). Saraf
ini berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk ke dalam ginjal,
saraf ini berjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ke ginjal.
b. Ureter
Terdiri dari 2 saluran pipa masing-masing bersambung dari ginjal ke
vesika urinaria. Panjangnya ± 25-30 cm, dengan penampang 0,5 cm. Ureter
sebagian terletak pada rongga abdomen dan sebagian lagi terletak pada
rongga pelvis.
Lapisan dinding ureter terdiri dari :
1) Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
2) Lapisan tengah lapisan otot polos.
3) Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa
4) Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltic yang
mendorong urin masuk ke dalam kandung kemih.
c. Vesika Urinaria (Kandung Kemih).
Vesika urinaria bekerja sebagai penampung urin. Organ ini berbentuk
seperti buah pir (kendi). letaknya d belakang simfisis pubis di dalam
rongga panggul. Vesika urinaria dapat mengembang dan mengempis
seperti balon karet. Dinding kandung kemih terdiri dari:
1) Lapisan sebelah luar (peritoneum).
2) Tunika muskularis (lapisan berotot).

7
3) Tunika submukosa.
4) Lapisan mukosa (lapisan bagian dalam).
d. Uretra.
Merupakan saluran sempit yang berpangkal pada vesika urinaria yang
berfungsi menyalurkan air kemih ke luar. Pada laki-laki panjangnya kira-
kira 13,7-16,2 cm, terdiri dari Urethra pars Prostatica, Urethra pars
membranosa ( terdapat spinchter urethra externa), Urethra pars spongiosa.
Pada wanita panjangnya kira-kira 3,7-6,2 cm (Taylor), 3-5 cm (Lewis).
Sphincter urethra terletak di sebelah atas vagina (antara clitoris dan vagina)
dan urethra disini hanya sebagai saluran ekskresi.
e. Air kemih (urine)
Sifat fisis air kemih, terdiri dari:
1) Jumlah ekskresi dalam 24 jam ± 1.500 cc tergantung dari
pemasukan(intake) cairan dan faktor lainnya.
2) Warna, bening kuning muda dan bila dibiarkan akan menjadi keruh.
3) Warna, kuning tergantung dari kepekatan, diet obat-obatan dan
sebagainya.
4) Bau, bau khas air kemih bila dibiarkan lama akan berbau amoniak.
5) Berat jenis 1,015-1,020.
6) Reaksi asam, bila lama-lama menjadi alkalis, juga tergantung dari pada
diet (sayur menyebabkan reaksi alkalis dan protein member reaksi
asam).
7) Komposisi air kemih, terdiri dari:
8) Air kemih terdiri dari kira-kira 95% air.
9) Zat-zat sisa nitrogen dari hasil metabolisme protein, asam urea
amoniak ,Elektrolit, natrium, kalsium, NH3, bikarbonat, fospat dan
sulfat.
10) Pagmen (bilirubin dan urobilin).
11) Toksin (Pearce, 2006)
2. Fisiologi Sistem Renal

8
Pada saat vesica urinaria tidak dapat lagi menampung urine tanpa
meningkatkan tekanannya (biasanya pada saat volume urine kira-kira 300 ml)
makam reseptor pada dinding vesika urinaria akan memulai kontraksi
musculus detrussor. Pada bayi, berkemih terjadi secara involunter dan dengan
segera. Pada orang dewasa, keinginan berkemih dapat ditunda sampai ia
menemukan waktu dan tempat yang cocok. Walaupun demikian, bila
rangsangan sensoris ditunda terlalu lama, maka akan memberikan rasa sakit.
Dengan demikian mulainya kontraksi musculus detrussor, maka terjadi
relaksasi musculus pubococcygeus dan terjadi pengurangan topangan
kekuatan urethra yang menghasilkan beberapa kejadian dengan urutan
sebagai berikut :
a. Membukanya meatus intemus
b. Erubahan sudut ureterovesical
c. Bagian atas urethra akan terisi urine
d. Urine bertindak sebagai iritan pada dinding urine
e. Musculus detrussor berkontraksi lebih kuat
f. Urine didorong ke urethra pada saat tekanan intra abdominal
meningkat
g. Pembukaan sphincter extemus
h. Urine dikeluarkan sampai vesica urinaria kosong

Penghentian aliran urine dimungkinkan karena musculus


pubococcygeus yang bekerja di bawah pengendalian secara volunteer :

a. Musculus pubococcygeus mengadakan kontraksi pada saat urine


mengalir
b. Vesica urinaria tertarik ke atas
c. Urethra memanjang
d. Musculus sprincter externus di pertahankan tetap dalam keadaan
kontraksi.

9
Apabila musculus pubococcygeus mengadakan relaksasi lahi maka siklus
kejadian seperti yang baru saja diberikan di atas akan mulai lagi secara otomatis.

Fungsi sistem homeostatis urinaria:

a. Mengatur volume dan tekanan darah dengan mengatur banyaaknya air


yang hilang dalam urine, melepaskan eritropoietin dan melepaskan
rennin.
b. Mengatur konsentrasi plasma dengan mengontrol jumlah natrium,
kalium, klorida, dan ion lain yang hilang dalam urin dan mengontrol
kadar ion kalsium.
c. Membantu menstabilkan pH darah, dengan mengontrol kehilangan ion
hydrogen dan ion bikarbonat dalam urin.
d. Menyimpan nutrient dengan mencegah pengeluaran dalam urin,
mengeluarkan produk sampah nitrogen seperti urea dan asam urat.
e. Membantu dalam mendeteksi racun-racun.
f. Mekanisme pembentukan urine
Dari sekitar 1200ml darah yang melalui glomerolus setiap menit terbentuk
120 – 125ml filtrat (cairan yang telah melewati celah filtrasi). Setiap
harinyadapat terbentuk 150 – 180L filtart. Namun dari jumlah ini hanya sekitar
1% (1,5 L) yang akhirnya keluar sebagai kemih, dan sebagian diserap kembali.
Transpor urin dari ginjal melalui ureter dan masuk ke dalam kandungan kemih
(Pearce, 2006)

C. Etiologi
Gagal ginjal kronik disebabkan oleh berbagai penyakit:
1. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang
etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran
histopatologi tertentu pada glomerulus. Berdasarkan sumber terjadinya
kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder.

10
Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal
sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal
terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus
eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis
(Prodjosudjadi, 2006). Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin
tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin
rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang harus
memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar, 2006).
2. Hipertensi
Budiyanto (2009) mengatakan bahwa hipertensi dan gagal ginjal saling
mempengaruhi. Hipertensi dapat menyebabkan gagal ginjal, sebaliknya
gagal ginjal kronik dapat menyebabkan hipertensi. Hipertensi yang
berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan struktur pada arteriol
di seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi dinding
pembuluh darah. Organ sasaran utama adalah jantung, otak, ginjal, dan
mata. Pada ginjal, arteriosklerosis akibat hipertensi lama menyebabkan
nefrosklerosis. Gangguan ini merupakan akibat langsung iskemia karena
penyempitan lumen pembuluh darah intrarenal Penyumbatan arteri dan
arteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus,
sehingga seluruh nefron rusak, yang menyebabkan terjadinya gagal
ginjal kronik (Ali, 2017). Padila (2012) mengatakan perubahan fungsi
ginjal dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan kerusakan lebih
lanjut pada nefron yang ada. Lesi-lesi skerotik yang terbentuk makin
banyak sehingga dapat menimbulkan obliteli glomelurus yang
menurunkan fungsi ginjal yang lebih lanjut dan dapat menimbulkan
lingkaran setan yang berkembang secara lambat sehingga penanganan
unuk pasien hipertensi yang mengalami gagal ginjal dapat dikontrol.
Ekantari (2009) juga menyatakan bahwa penyakit hipertensi pada gagal
ginjal kronik masih dapat dikendalikan dengan memberikan obat anti

11
hipertensi serta menambahkan bahwa hipertensi bukanlah penyebab
kematian utama pada pasien gagal ginjal.
3. Diabetes Melitus
Clovy (2010) mengatakan bahwa diabetes merupakan faktor
komorbiditas hingga 50% pasien dan sebesar 65% pasien gagal ginjal
kronik meninggal yang menjalani hemodialis memiliki riwayat penyakit
diabetes. Ginjal mempunyai banyak pembuluh darah kecil, diabetes
dapat merusak pembuluh darah tersebut sehingga pada gilirannya
mempengaruhi kemampuan ginjal untuk menyaring darah dengan baik.
Karena situasi seperti itu, protein tertentu (albumin) dapat bocor ke
dalam urin (albuminaria), yang dapat menyebabkan gagal ginjal (Ali,
2017). Apabila kondisi ini tidak dapat diatasi dan berlangsung terus
menerus dapat menyebabkan kematian Clovy (2010). Rendy (2012)
Apabila kadar gula darah yang tidak terkontrol pada pasien diabetes
inilah yang dapat menyebabkan kerusakan yang lebih parah pada
glomerulus sehingga apabila tidak dapat dikontrol dengan baik maka
lama kelamaan akan menyebabkan kerusakan ginjal yang lebih parah.
4. Ginjal Polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau
material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan
ini dapat ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di
korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista
dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal
polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan.
Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik
dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar
baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun.

D. Manifestasi Klinis

12
Penderita gagal ginjal kronik akan menunjukkan beberapa tanda dan gejala
sesuai dengan tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari dan usia
penderita. Penyakit ini akan menimbulkan gangguan pada berbagai organ tubuh
anatara lain:
1. Manifestasi kardiovaskular : Hipertensi, gagal jantung kongestif, edema
pulmonal, perikarditis.
2. Manifestasi dermatologis : Kulit pasien berubah menjadi putih seakan-
akan berlilin diakibatkan penimbunan pigmen urine dan anemia. Kulit
menjadi kering dan bersisik. Rambut menjadi rapuh dan berubah warna.
Pada penderita uremia sering mengalami pruritus.
3. Manifestasi gastrointestinal : Anoreksia, mual, muntah, cegukan,
penurunan aliran saliva, haus, stomatitis.
4. Perubahan neuromuskular : Perubahan tingkat kesadaran, kacau mental,
ketidakmampuan berkosentrasi, kedutan otot dan kejang.
5. Perubahan hematologis : Kecenderungan perdarahan.
6. Keletihan dan letargik, sakit kepala, kelemahan umum, lebih mudah
mengantuk, karakter pernapasan akan menjadi kussmaul dan terjadi.

E. Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-
nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat
disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring.
Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari
nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar
daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan
haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri
timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada
pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila
kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% – 90%. Pada tingkat ini fungsi renal

13
yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih
rendah itu. ( Barbara C Long, 1996, 368)
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah
maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah
dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).

F. Penatalaksanaan
Pengobatan GGK dibagi dalam dua tahap yaitu penanganan konservatif dan
terapi pengganti ginjal dengan cara dialsis atau transplantasi ginjal atau
keduanya. Penanganan GGK secara konservatif terdiri dari tindakan untuk
menghambat berkembangnya gagal ginjal, menstabilkan keadaan pasien, dan
mengobati setiap faktor yang reversible. Ketika tindakan konservatif tidak lagi
efektif dalam mempertahankan kehidupan pasien pada hal ini terjadi penyakit
ginjal stadium akhir satu-satunya pengobatan yang efektif adalah dialisis
intermiten atau transplantasi ginjal (Wilson, 2006). Tujuan terapi konservatif
adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan
keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme
secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar,
2006).
1. Diet protein
Pada pasien GGK harus dilakukan pembatasan asupan protein.
Pembatasan asupan protein telah terbukti dapat menormalkan kembali
dan memperlambat terjadinya gagal ginjal. Asupan rendah protein
mengurangi beban ekskresi sehingga menurunkan hiperfiltrasi
glomerulus, tekanan intraglomerulus dan cidera sekunder pada nefron
intak (Wilson, 2006). Asupan protein yang berlebihan dapat
mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran

14
darah dan tekanan intraglomerulus yang akan meningkatkan progresifitas
perburukan ginjal (Suwitra, 2006).
2. Diet Kalium
Pembatasan kalium juga harus dilakukan pada pasien GGK dengan cara
diet rendah kalium dan tidak mengkonsumsi obat-obatan yang
mengandung kalium tinggi. Pemberian kalium yang berlebihan akan
menyebabkan hiperkalemia yang berbahaya bagi tubuh. Jumlah yang
diperbolehkan dalam diet adalah 40 hingga 80 mEq/hari. Makanan yang
mengandung kalium seperti sup, pisang, dan jus buah murni (Wilson,
2006).
3. Diet kalori
Kebutuhan jumlah kalori untuk GGK harus adekuat dengan tujuan utama
yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen memlihara status
nutrisi dan memelihara status gizi (Sukandar, 2006).
4. Kebutuhan cairan
Asupan cairan membutuhkan regulasi yang hati-hati pada GGK. Asupan
yang terlalu bebas dapat menyebabkan kelebihan beban sirkulasi, edem
dan intoksikasi cairan. Asupan yang kurang dapat menyebabkan
dehidrasi, hipotensi, dan pemburukan fungsi ginjal (Wilson, 2006).
Ketika terapi konservatif yang berupa diet, pembatasan minum, obatobatan dan
lain-lain tidak bisa memperbaiki keadaan pasien maka terapi pengganti ginjal
dapat dilakukan. Terapi pengganti ginjal tersebut berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal dan transplantasi ginjal (Rahardjo et al, 2006).
1. Hemodialisis
Hemodialisis adalah suatu cara dengan mengalirkan darah ke dalam
dialyzer (tabung ginjal buatan) yang teridiri dari 2 komparten yang
terpisah yaitu komparetemen darah dan komparetemen dialisat yang
dipisahkan membran semipermeabel untuk membuang sisa-sisa
metabolisme (Rahardjo et al, 2006). Sisa-sisa metabolisme atau racun
tertentu dari peredaran darah manusia itu dapat berupa air, natrium,

15
kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain.
Hemodialisis dilakukan 3 kali dalam seminggu selama 3-4 jam terapi
(Brunner dan Suddarth, 2001).
2. Dialisis peritoneal
Dialisis peritoneal merupakan terapi alternatif dialisis untuk penderita
GGK dengan 3-4 kali pertukaran cairan per hari (Prodjosudjadi dan
Suhardjono, 2009). Pertukaran cairan terakhir dilakukan pada jam tidur
sehingga cairan peritoneal dibiarkan semalaman (Wilson, 2006). Terapi
dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien Dialisis Peritoneal (DP).
Indikasi medik yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65
tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem
kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami
perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV
shunting, pasien dengan stroke, pasien dengan residual urin masih cukup,
dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality.
Indikasi non-medik yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual
tinggi untuk melakukan sendiri, dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal
(Sukandar, 2006).
3. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai untuk
pasien gagal ginjal stadium akhir. Namun kebutuhan transplantasi ginjal
jauh melebihi jumlah ketersediaan ginjal yang ada dan biasanya ginjal
yang cocok dengan pasien adalah yang memiliki kaitan keluarga dengan
pasien. Sehingga hal ini membatasi transplantasi ginjal sebagai
pengobatan yang dipilih oleh pasien (Wilson, 2006).

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Pemeriksaan penurunan fungsi ginjal meliputi : ureum kreatinin,
Asam urat serum.

16
b. Identifikasi etiologi gagal ginjal meliputi : analisis urin rutin,
Mikrobiologi urin, Kimia darah, Elektrolit, Imunodiagnosis
c. Identifikasi perjalanan penyakit dapat meliputi : Progresifitas
penurunan fungsi ginjal, Ureum kreatinin, Clearens Creatinin
Test (CCT), GFR / LFG dapat dihitung dengan formula
Cockcroft-Gault:

Nilai normal :

1) Laki-laki : 97 - 137 mL/menit/1,73 m3 atau 0,93 - 1,32


mL/detik/m2
2) Wanita : 88-128 mL/menit/1,73 m 3 atau 0,85 - 1,23
mL/detik/m2
d. Hemopoesis : Hb, trobosit, fibrinogen, factor pembekuan
1. Elektrolit : Na+, K+, HCO3-, Ca2+, PO42-, Mg+
2. Endokrin : PTH dan T3,T4
e. Pemeriksaan lain: berdasarkan indikasi terutama faktor
pemburuk ginjal, misalnya: infark miokard.
2. Diagnostik
a. Etiologi CKD dan terminal : Foto polos abdomen, USG,
Nefrotogram, Pielografi retrograde, Pielografi antegrade,
Mictuating Cysto Urography (MCU).
b. Diagnosis pemburuk fungsi ginjal : RetRogram, USG.

17
H. WOC
I.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Gagal ginjal dibagi menjadi dua bagian besar yakni gagal ginjal akut dan gagal ginjal
kronik . Gagal ginjal kronis dibagi menjadilima stadium berdasarkan laju
penyaringan (filtrasi) glomerulus (Glomerular Filtration Rate =GFR). Stadium
akhir penyakit ginjal (ESRD ), Tahap 5 CKD juga disebut gagal ginjal kronis
(CKF) atau kegagalan kronis ginjal (CRF). Gagal ginjal stadium akhir (End
Stage Renal Disease/ESRD) adalah kondisi saat ginjal kehilangan
kemampuan untuk melakukan fungsinya. Etiologi dari Gagal Ginjal Stadium
akhir dapat berupa glomerulonefritis, Hipertensi, Diabetes Melitus, dan Ginjal
Polikistik. Manifestasi Klinis yang biasanya terjadi yaitu manifestasi
kardiovaskular, dermatologis, Gastrointnstinal, neuromoskular, hematologis,
dan letargik. Penatalaksanaan pada Gagal ginjal stadium akhir dapat berupa
terapi konservatif dan terapi pengganti ginjal. Untuk pemeriksaan penunjang
dapat melakukan pemeriksaan laboratorium dan Diagnostik.

19
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Alfians R Belian. (2017), Perbandingan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal
Kronik Dengan Comorbid Faktor Diabetes Melitus Dan Hipertensi Di
Ruangan Hemodialisa Rsup. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado, e-Jurnal
Keperawatan (e-Kp) Volume 5 Nomor 2, Agustus 2017.
Hutagaol, Emma Veronika. (2017). Peningkatan Kualitas Hidup Pada Penderita
Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Terapi Hemodialisa Melalui
Psychological Intervention Di Unit Hemodialisa Rs Royal Prima Medan
Tahun 2016. Jurnal JUMANTIK Volume 2 nomor 1, Mei 2017
Nurarif dan Kusuma. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan Penerapan
Diagnosa Nanda, NIC, NOC Dalam Berbagai Kasus, Jogjakarta:
MediaAction.
Bargman JR, Skorecki Karl. 2012. Chronic Kidney Disease. dalam Longo DL, Fauci
AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J (Eds.), Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 18th ed. Amerika Serikat: The McGraw-
Hill Companies, inc. p. 2308-22

20

Anda mungkin juga menyukai