Anda di halaman 1dari 8

Analisis Faktor Penyebab Kegagalan Kerjasama Dalam Bisnis Waralaba: Studi Pada Perusahaan Waralaba Makanan Dan Minuman

Di Jabodetabek

ANALISIS FAKTOR PENYEBAB KEGAGALAN KERJASAMA DALAM


BISNIS WARALABA: STUDI PADA PERUSAHAAN WARALABA
MAKANAN DAN MINUMAN DI JABODETABEK

Lim Sanny
Fakultas Ekonomi Universitas Bina Nusantara, Jakarta
Jl. KH. Syahdan No.9 Jakarta Barat
lsanny@binus.edu

Abstract
Franchising is one of the easiest ways to start a business. The growth rate of the
franchise in Indonesia is very high, especially food and beverage franchises. However,
the failure rate is very high. The purpose of this research is to analyze the causes of
failure in business franchise, from the franchisee perspective. The method used is factor
analysis (EFA) with 7 hypotheses. This study was conducted by 131 respondents in
which the unit of analysis is the food beverage franchisee in Jabodetabek. The results of
the analysis show that in general the failure is caused by four factors: a lack of
communication integrated, franchisees do not have a competitive advantage, franchisor
did not give the support and operational guidelines is not yet complete.

Keywords: Franchise, Food and Beverage, Franchisee

Abstrak
Waralaba adalah salah satu cara termudah untuk memulai bisnis. Tingkat pertumbuhan
waralaba di Indonesia sangat tinggi, terutama waralaba makanan dan minuman.
Namun, tingkat kegagalan sangat tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menganalisis penyebab kegagalan dalam bisnis waralaba, dari perspektif franchisee.
Metode yang digunakan adalah analisis faktor (EFA) dengan 7 hipotesis. Penelitian ini
dilakukan oleh 131 responden dimana unit analisis adalah makanan minuman
franchisee di Jabodetabek. Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum kegagalan
disebabkan oleh empat faktor: kurangnya komunikasi yang terintegrasi, franchisee tidak
memiliki keunggulan kompetitif, franchisor tidak memberikan dukungan dan operasional
pedoman belum lengkap.

Kata kunci: Waralaba, Makanan dan Minuman, Waralaba

Pendahuluan yang telah teruji di pasar dengan produk atau


Waralaba adalah salah satu cara memulai jasa sebagai unsur sentral), melakukan
bisnis yang paling mudah. Dalam bisnis hubungan kontraktual dengan terwaralaba,
waralaba, dibutuhkan kerjasama yang baik yaitu perusahaan-perusahaan kecil yang
antara pewaralaba sebagai pemegang hak didanai secara mandiri dan dikelola secara
yang memberikan hak penggunaan merk langsung oleh pemiliknya untuk beroperasi
waralaba kepada terwaralaba sebagai dibawah nama pewaralaba, memproduksi dan
penerima serta pengguna hak waralaba memasarkan barang-barang atau jasa menurut
tersebut dalam jangka waktu yang telah format yang ditentukan oleh pewaralaba
ditentukan di dalam perjanjian kontrak (Rachmadi, 2007).
kerjasama. Kelebihan usaha waralaba sebagi suatu
Waralaba adalah salah satu cara model bisnis sudah cukup banyak diungkapkan
pertumbuhan yang tercepat dalam dunia bisnis oleh para peneliti (Hoffman dan Preble, 1993).
(Campbell et al., 2009; Szulanki dan Jensen, Panjangnya usia dan kesuksesan usaha
2008) dan merupakan hasil temuan Amerika waralaba dapat terjadi karena adanya fakta
(Dant, 2008). Waralaba adalah suatu bentuk bahwa secara organisasi, ia mempresentasikan
bisnis dimana pewaralaba (dengan paket bisnis sebuah aliansi kolaboratif yang bergantung

Jurnal Ekonomi Volume 7 Nomor 2, November 2016 149


Analisis Faktor Penyebab Kegagalan Kerjasama Dalam Bisnis Waralaba: Studi Pada Perusahaan Waralaba Makanan Dan Minuman
Di Jabodetabek

pada kerjasama dua pihak (pewaralaba dan adalah indikator paling kuat daripada faktor
terwaralaba) untuk mencapai keberhasilan transactional. Namun demikian dari penelitian
(Shane dan Hoy, 1996). tersebut belum adanya penelitian tentang
Secara jumlah, waralaba makanan dan analisis faktor penyebab kegagalan dalam
minuman adalah jenis waralaba yang terbesar bisnis waralaba khususnya makanan dan
yaitu mencapai 65% (Info Franchise, 2015). minuman di Jabodetabek, sehingga penelitian
Selain itu berdasarkan sebaran wilayah, tingkat ini akan memberikan kontribusi.
waralaba terbesar masih di wilayah Menurut Taleghani (2011) dalam Uripi
Jabodetabek. Untuk itu penelitian ini akan dan Wijayanto, komunikasi didefinisikan
memberikan kontribusi dalam meningkatkan sebagai dialog interaktif antara perusahaan
strategi pengembangan bisnis waralaba dan partnernya, yang berlangsung selama
dengan cara mengetahui faktor-faktor yang tahap pra-penjualan, tahap penjualan, tahap
menyebabkan kegagalan dalam bisnis mengkonsumsi, dan tahap pasca konsumsi.
waralaba. Menurut Falbe dan Welsh 1998; Duncan dan
Kerjasama dalam bisnis waralaba Moriarty 1997; Anderson dan Narus 1990;
merupakan hal terpenting yang menjadi kunci Mohr dan Nevin 1990 dalam Chiou, Hsieh,
keberhasilan dalam bisnis ini. Keberhasilan Yang (2004) mengatakan komunikasi
kerjasama dalam bisnis waralaba di Indonesia merupakan suatu kunci elemen yang
masih sangat rendah, terlihat dari angka terpenting untuk membangun dan menjalin
kegagalannya mencapai 20%. Untuk itu hubungan yang baik antara terwaralaba dan
penelitian ini akan menganalisis faktor-faktor pewaralaba. Suatu hubungan yang kurang baik
penyebab kegagalan, dimana dari penelitian antara kedua pihak akan mempengaruhi
yang dilakukan oleh IFBM tentang kegagalan terwaralaba untuk berhenti berbisnis waralaba.
waralaba di Indonesia, jenis waralaba terbesar Berdasarkan argumen diatas maka dibangun
yang memberikan kontribusi kegagalan adalah hipotesis H1 sebagai berikut:
jenis waralaba makanan dan minuman. Untuk H1 : Komunikasi yang kurang baik adalah
itu penelitian ini akan memberikan sebuah faktor penyebab kegagalan dalam sistem
kontribusi bagi peningkatan daya saing waralaba.
waralaba makanan dan minuman di Menurut Barkoff dan Selden (2008),
Jabodetabek khususnya. dokumen waralaba harus membahas konten
Penelitian yang dilakukan oleh Chiou, program pelatihan, durasi, dan lokasi. Program
Hsieh dan Yang, 2004 di Taiwan dalam pelatihan pewaralaba untuk terwaralaba baru,
industry es krim menjelaskan bahwa tidak hanya mengajarkan keterampilan,
komunikasi, bantuan layanan dan keunggulan pengetahuan, dan pengetahuan manajemen,
kompetitif dapat mempengaruhi terwaralaba tetapi juga dapat membantu menyelaraskan
untuk dapat bertahan dalam sistem waralaba. harapan, sikap yang baik, membuat keinginan
Penelitian lainnya dilakukan oleh Sutikno, 2013 dan kepercayaan terwaralaba untuk berhasil,
dalam penelitian konseptualnya tentang mengajarkan keterampilan kewirausahaan,
tahapan model switching stage model di mengembangkan kemauan untuk bekerja sama
Indonesia meliputi waralaba A berganti untuk saling menguntungkan, dan menciptakan
menjadi waralaba B dengan melalui 6 step spirit untuk program waralaba. Salah satu
yang disebut dengan A to F mode. 1. Accident, tujuan program pelatihan, adalah untuk
2. Breakdown, 3. Complaint, 4. menciptakan sebuah kesetiaan yang kuat
Disengagement, 5. Evaluation, 6. Follow up. dalam terwaralaba untuk sistem waralaba dan
Studi empiris lainnya juga dilakukan oleh memberikan dasar untuk hubungan masa
Sanny, 2015 pada waralaba pendidikan di depan yang sukses. Untuk memaksimalkan
Indonesia dimana penelitian ini nilai kedua pihak, terwaralaba dan pewaralaba,
mengungkapkan bahwa terwaralaba yang program pelatihan harus sangat terstruktur dan
memiliki orientasi kewirausahaan akan memiliki sistematis yang tepat. Berdasarkan argumen
hubungan baik dengan pewaralaba. Faktor lain diatas maka dibangun hipotesis H2 sebagai
yang sangat dominan adalah kualitas berikut:
relational, yang terdiri dari kepercayaan,
komitmen, komunikasi dan kepercayaan,

Jurnal Ekonomi Volume 7 Nomor 2, November 2016 150


Analisis Faktor Penyebab Kegagalan Kerjasama Dalam Bisnis Waralaba: Studi Pada Perusahaan Waralaba Makanan Dan Minuman
Di Jabodetabek

H2 : Pelatihan yang kurang mendukung adalah mendapatkan bantuan dalam hal operasional
faktor penyebab kegagalan dalam sistem dan manajerial yang sangat berguna bagi
waralaba. keberhasilan bisnis waralaba (Roh dan Yoon,
Dalam sistem waralaba, kedua pihak 2009). Berdasarkan argument diatas maka
yang terlibat dalam kerjasama yaitu dibangun hipotesis H5 sebagai berikut :
pewaralaba dan terwaralaba harus sama-sama H5 : Panduan operasional yang kurang lengkap
memiliki tujuan yang sama untuk membina merupakan faktor penyebab kegagalan dalam
kerjasama dalam jangka panjang, sehingga sistem waralaba.
keberhasilan hubungan relasional antar kedua Dasar dibuatnya kontrak kerjasama
belah pihak dapat berjalan dengan baik dalam sistem waralaba adalah hubungan
(Weaven dan Grace, 2011). Morgan dan Hunt kerjasama antara prinsipal dengan agen,
(1996) menyatakan bahwa aspek kunci dalam dimana hubungan tersebut seperti yang
membina kerjasama secara relasional adalah dijelaskan dalam teori agensi, yang
kepercayaan. Penelitian tersebut menguatkan menyatakan bahwa dalam hubungan
penelitian yang dilakukan oleh Dwyer et al. kerjasama antara prinsipal dan agen, kedua
(1987) dalam Van de Van (1992) belah pihak mempunyai kepentingan yang
mengemukakan pentingnya kepercayaan berbeda sehingga akan menyebabkan
dalam membangun suatu hubungan bersama. timbulnya konflik antara kedua belah pihak,
Hal tersebut juga dikemukakan oleh Mittal sehingga kontrak kerjasama dibuat untuk
(2001) yang menyatakan bahwa kepercayaan menghindari kemungkinan terjadinya konflik
adalah inti utama dalam hubungan relasional. dalam kerjasama tersebut (Govindarajan,
Berdasarkan argumen diatas maka dibangun 2003). Kontrak kerjasama dalam sistem
hipotesis H3 sebagai berikut: waralaba berisi peraturan antara kedua belah
H3 : Kepercayaan merupakan faktor penyebab pihak (pewaralaba-terwaralaba) dalam
kegagalan dalam sistem waralaba. melakukan kegiatan operasional, beserta hak
Penelitian yang sudah dilakukan oleh serta kewajiban dari masing-masing pihak
Moorman, Deshpande dan Zaltman (1993); untuk saling menjaga nama baik (Baucus et
Kalafits dan Miller (1998); Beaton dan Beaton al., 1993; Hing, 1995). Berdasarkan argumen
(1995) serta Russbult dan Buunk (1993) diatas maka dibangun hipotesis H6 sebagai
meneliti tentang pentingnya komitmen berikut :
terhadap keberhasilan dan stabilitas hubungan H6 : Kontrak kerjasama yang kurang jelas
dan perannya dalam membangun hubungan adalah faktor penyebab kegagalan dalam
jangka panjang. Scanzoni (dalam Pressey dan sistem waralaba.
Mathews, 2000) mengemukakan bahwa Keunggulan kompetitif dari sistem
komitmen merupakan tingkatan tertinggi dalam waralaba tidak hanya merupakan sumber
membangun kekuatan suatu hubungan dan penting untuk menarik franchisee baru tetapi
akan memberikan suatu keuntungan jangka juga merupakan elemen penting untuk
panjang bagi kedua belah pihak yang menjaga loyalitas terwaralaba dalam sistem
berhubungan. Berdasarkan argumen diatas waralaba (Falbe dan Welsh 1998 dalam Chiou,
maka dibangun hipotesis H4 sebagai berikut: Hsieh, dan Yang 2004). Keunggulan kompetitif
H4 : Komitmen merupakan faktor penyebab ini dapat berasal dari nama merek, skala
kegagalan dalam sistem waralaba. ekonomi, atau pengerjaan secara efisien dari
Panduan operasional merupakan hal yang sistem waralaba. Dalam lapisan yang sama,
sangat dibutuhkan oleh terwaralaba dalam layanan yang disediakan oleh pemilik waralaba
menjalankan bisnisnya. Panduan operasional merupakan dasar untuk meningkatkan kualitas
dalam sistem waralaba merupakan hal wajib hubungan terwaralaba sejak hubungan
yang harus disediakan oleh pewaralaba agar waralaba dimulai dengan terwaralaba (Teixeira
terwaralaba dapat melakukan kegiatannya 1994 dalam Chiou, Hsieh, Yang 2004). Dengan
sesuai dengan standarisasi yang sudah demikian keunggulan kompetitif pewaralaba
ditetapkan oleh pewaralaba. Dukungan yang sangat penting untuk menarik perhatian calon
diberikan oleh pewaralaba bersifat terus terwaralaba maupun yang sudah menjadi
menerus sebelum bisnis dilakukan hingga terwaralaba karena jika suatu bisnis waralaba
bisnis tersebut berjalan, sehingga terwaralaba tidak mempunyai keunggulan yang ditonjolkan

Jurnal Ekonomi Volume 7 Nomor 2, November 2016 151


Analisis Faktor Penyebab Kegagalan Kerjasama Dalam Bisnis Waralaba: Studi Pada Perusahaan Waralaba Makanan Dan Minuman
Di Jabodetabek

untuk menjalankan bisnis waralaba bagaimana analysis merupakan metode multivariat yang
calon terwaralaba maupun yang sudah menjadi digunakan untuk menganalisis variabel-variabel
terwaralaba dapat tertarik dan semangat untuk yang diduga memiliki ketertarikan satu sama
menjalankan bisnis waralaba tersebut. lain. Factor analysis yang digunakan dalam
Berdasarkan argumen diatas maka dibangun penelitian ini adalah EFA (Exploratory Factor
hipotesis H7 sebagai berikut: Analysis) dan CFA (Confirmatory Factor
H7 : Keunggulan kompetitif pewaralaba adalah Analysis). EFA berfungsi sebagai penunjuk
faktor penentu keberhasilan bisnis waralaba faktor-faktor yang dapat menjelaskan korelasi
antar variabel. Setiap variabel memiliki nilai
Metode Penelitian factor loading yang mewakilinya. Nilai factor
Metodologi yang digunakan dalam loading dalam EFA dapat ditentukan
penelitian ini adalah metode kuantitatif. Data berdasarkan jumlah sampel dalam penelitian
yang didapatkan adalah data primer, dengan (Hair et al., 2010).
cara pengumpulan data melalui wawancara
dan kuesioner serta data sekunder. Wawancara Hasil dan Pembahasan
dilakukan terhadap Pimpinan Asosiasi Profil responden digunakan untuk
Franchising Indonesia (AFI), Pimpinan mengetahui karakteristik terwaralaba makanan
Konsultan International Franchise Business di Jabodetabek. Penggolongan responden ini
Management (IFBM), Asosiasi Waralaba dan didasarkan oleh umur, jenis kelamin, dan
Lisensi Indonesia (WALI), beberapa domisili usaha waralaba. Penyebaran kuesioner
pewaralaba dan terwaralaba pendidikan. pada penelitian ini, menggunakan dua cara
Teknik pengambilan sampel dengan yaitu secara online dan secara langsung.
menggunakan simple random sampling, Penyebaran secara online dilakukan dengan
dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner alasan, daerah yang diteliti adalah Jabodetak
diberikan kepada terwaralaba sebagai sumber yang mencangkup daerah yang sangat luas.
informasi. Untuk pengumpulan data sekunder Dari kuesioner yang disebarkan secara online
didapatkan dari Departemen Perdagangan, sebanyak 131 responden yang merupakan
Dinas Perdagangan, konsultan International terwaralaba makanan di Jabodetabek.
Franchise Business Management (IFBM), Berdasarkan profil responden yang
Asosiasi Franchising Indonesia (AFI), Asosiasi tergolong dalam umur, dapat dijelaskan bahwa
Waralaba dan Lisensi Indonesia (WALI), serta sebagian responden berusia 31 – 40 tahun
data-data yang diakses melalui internet. yaitu sebanyak 51,15%. Selanjutnya usia 21-
Waktu penelitian dilakukan di bulan 30 tahun sebanyak 43,51%. Kemudian sisanya
Januari 2016 hingga Juni 2016. Konteks usia 41-50 tahun sebanyak 5,34%. Dengan
penelitian adalah waralaba makanan dan demikian diketahui bahwa peminat untuk
minuman di jabodetabek. Unit analisis dalam waralaba adalah usia muda yang masih belum
penelitian ini adalah para terwaralaba. Data memiliki pengalaman karena sesuai teori yang
yang digunakan bersifat cross sectional yaitu ada bahwa waralaba merupakan salah satu
sebuah studi yang dilakukan pada suatu pilihan cara memulai bisnis yang termudah.
periode tertentu dan pada satu objek penelitian Adapun secara gender terwaralaba lebih
tertentu (Sekaran, 2013). banyak perempuan dibandingkan laki-laki yaitu
Teknik analisis data yang digunakan laki-laki sebanyak 49,62% dan perempuan
dalam penelitian ini adalah analisis faktor. 50,38%. Dengan demikian dapat disimpulkan
Menurut Santoso (2005:11), analisis faktor bahwa ketertarikan untuk berbisnis waralaba
termasuk pada interdependence techniques, khususnya makanan dan minuman adalah
yang berarti tidak ada variabel dependen kaum perempuan.
ataupun variabel independen. Proses analisis Langkah pengujian pertama adalah uji
faktor mencoba menemukan hubungan antar validitas dan uji realibilitas. Berdasarkan
sejumlah variabel-variabel yang saling pengujian tersebut maka seluruh pertanyaan
independen beberapa kumpulan variabel yang dalam butir pertanyaan semuanya valid dan
lebih sedikit dari jumlah variabel awal. Untuk realible. Untuk itu dilakukan pengujian
melihat korelasi dalam validitas konverjen selanjutnya adalah Untuk mengidentifikasi
maka digunakanlah factor analysis. Factor faktor-faktor penentu kegagalan bisnis

Jurnal Ekonomi Volume 7 Nomor 2, November 2016 152


Analisis Faktor Penyebab Kegagalan Kerjasama Dalam Bisnis Waralaba: Studi Pada Perusahaan Waralaba Makanan Dan Minuman
Di Jabodetabek

terwaralaba digunakan analisis faktor. Analisis Measure of Sampling Adequancy, kemudian


faktor bertujuan meringkas atau mereduksi indikator-indikator itu akan di uji satu persatu
jumlah variabel awal menjadi beberapa dengan menggunakan uji MSA (Measure of
dimensi baru atau faktor. Dalam mengolah Sampling Adequacy). Angka MSA berkisar 0
menggunakan faktor analisis ada beberapa sampai 1, dengan kriteria sebagai berikut
tahapan yaitu sebagai tahap pertama pada (Santoso, 2015:66):
analisis faktor adalah menilai mana saja a. MSA = 1, variabel tersebut dapat diprediksi
variabel yang dianggap layak (appropriateness) tanpa kesalahan oleh variabel yang lain.
untuk dimasukkan dalam analisis selanjutnya. b. MSA>0,5, variabel masih bisa diprediksi
Pengujian ini dilakukan dengan memasukkan dan bisa dianalisis lebih lanjut.
semua indikator yang ada, kemudian pada c. MSA<0,5, variabel tidak bisa diprediksi dan
indikator-indikator tersebut dikenakan tidak bisa dianalisis lebih lanjut, atau
sejumlah pengujian. Tahap pertama di bagi dikeluarkan dari variabel lainnya.
menjadi dua bagian, yaitu: Uji KMO, untuk Pada kedua yaitu rotasi merupakan tahap
mengetahui apakah indikator-indikator tersebut awal analisis faktor, dilakukan penyaringan
layak atau tidak untuk dianalisis lanjut, dapat terhadap sejumlah indikator, hingga didapat
dilihat pada KMO and Bartlett’s Test. Angka indikator- indikator yang memenuhi syarat
KMO (Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling untuk dianalisis. Selanjutnya dilakukan proses
Adequancy) harus > dari 0,5. inti analisis faktor, yakni melakukan ekstraksi
terhadap sekumpulan indikator yang ada,
Hipotesis sehingga terbentuk suatu atau lebih faktor.
= sampel (variabel) belum memadai untuk Component Matrix yang menunjukkan
dianalisis lebih lanjut. besar korelasi antara suatu indikator dengan
= sampel (variabel) sudah memadai untuk faktor yang terbentuk, yaitu:
dianalisis lebih lanjut. a. Korelasi antara indikator P1 dengan faktor 1
adalah +0,813 (dikatakan kuat karena
DPK (Dasar Pengambilan Keputusan) angka diatas 0,5).
Kriteria dengan melihat probabilitas b. Korelasi antara indikator P1 dengan faktor 2
(signifikan): adalah -0,178 (dikatakan lemah karena
Angka Sig > 0,05, maka diterima angka dibawah 0,5 dan tanda “-“ hanya
Angka Sig < 0,05, maka ditolak menunjukkan arah korelasi).
c. Korelasi antara indikator P1 dengan faktor 3
Tabel 1 adalah +0,013 (dikatakan lemah karena
KMO dan Bartlett’s Test angka dibawah 0,5).
d. Korelasi antara indikator P1 dengan faktor 4
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of adalah +0,153 (dikatakan lemah karena
,774 angka dibawah 0,5).
Sampling Adequacy.
Approx. Chi- 1751,6
Bartlett's Test of Square 19 Component matrix hasil rotasi
Sphericity Df 153 memperlihatkan distribusi variabel yang lebih
jelas dan nyata. Berikut hasil rotation
Sig. ,000
menggunakan SPSS 20.0 pada Tabel 2.
Sumber : Hasil pengolahan data SPSS 20.0
(2016)

Dari table 1 tersebut terlihat bahwa nilai


Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling
Adequancy yaitu 0,774 > 0,5, kemudian nilai
Bartlett’s Test of Sphericity juga signifikan
pada 0,000 < 0,05 sehingga ditolak. Jadi
dapat disimpulan keseluruhan indikator sudah
memadai untuk dianalisis lebih lanjut.
Setelah data telah diuji secara
keseluruhan menggunakan Kaiser-Meyer-Olkin
Jurnal Ekonomi Volume 7 Nomor 2, November 2016 153
Analisis Faktor Penyebab Kegagalan Kerjasama Dalam Bisnis Waralaba: Studi Pada Perusahaan Waralaba Makanan Dan Minuman
Di Jabodetabek

Tabel 2 Rotated Component Matrix i. Indikator P9 : masuk pada faktor 1, karena


faktor loading dengan faktor 1 memiliki nilai
Component terbesar 0,626.
1 2 3 4 j. Indikator P10 : masuk pada faktor 3, karena
faktor loading dengan faktor 3 memiliki nilai
P1 ,776 -,188 ,226 ,165
terbesar 0,773.
P2 ,911 -,027 -,009 ,151
k. Indikator P11 : masuk pada faktor 4, karena
P3 ,818 ,008 ,179 ,265
faktor loading dengan faktor 4 memiliki nilai
P4 ,924 -,003 ,183 -,030
terbesar 0,612.
P5 ,802 -,003 ,272 -,033
l. Indikator P12 : masuk pada faktor 4, karena
P6 ,121 ,317 ,562 ,292
faktor loading dengan faktor 4 memiliki nilai
P7 ,500 -,054 ,683 ,074
terbesar 0,602.
P8 ,523 -,165 ,708 -,079
m. Indikator P13 : masuk pada faktor 4, karena
P9 ,626 -,274 ,519 ,033
faktor loading dengan faktor 4 memiliki nilai
P10 ,100 ,171 ,773 ,380
terbesar 0,716.
P11 ,452 -,098 ,212 ,612
n. Indikator P14 : masuk pada faktor 4, karena
P12 ,243 ,209 ,213 ,602
faktor loading dengan faktor 4 memiliki nilai
P13 -,128 ,355 ,019 ,716
terbesar 0,819.
P14 ,047 -,059 ,085 ,819
o. Indikator P15 : masuk pada faktor 2, karena
P15 ,008 ,878 -,004 ,163
faktor loading dengan faktor 2 memiliki nilai
P16 -,247 ,750 ,246 ,065
terbesar 0,878.
P17 -,023 ,917 -,092 ,032
p. Indikator P16 : masuk pada faktor 2, karena
Sumber : Hasil pengolahan data SPSS 20.0 faktor loading dengan faktor 2 memiliki nilai
(2016) terbesar 0,750.
q. Indikator P17 : masuk pada faktor 2, karena
Hasil pada Tabel 2. Rotated Component faktor loading dengan faktor 2 memiliki nilai
Matrix dilihat angka korelasi terbesar saja, terbesar 0,917.
sehingga dapat diketahui sebagai berikut:
a. Indikator P1 : masuk pada faktor 1, karena Dengan demikian ke 17 Indikator telah
faktor loading dengan faktor 1 memiliki nilai direduksi hanya terdiri atas 4 faktor:
terbesar 0,776. 1. Faktor 1 terdiri atas indikator P1, P2, P3, P4,
b. Indikator P2 : masuk pada faktor 1, karena P5, P9
faktor loading dengan faktor 1 memiliki nilai 2. Faktor 2 terdiri atas indikator P15, P16, P17
terbesar 0,911. 3. Faktor 3 terdiri atas indikator P6, P7, P8,
c. Indikator P3 : masuk pada faktor 1, karena P10
faktor loading dengan faktor 1 memiliki nilai 4. Faktor 4 terdiri atas indikator P11, P12, P13,
terbesar 0,818. 14
d. Indikator P4 : masuk pada faktor 1, karena Pada Tabel 3 dapat diketahui angka yang
faktor loading dengan faktor 1 memiliki nilai ada pada diagonal antara komponen 1 dengan
terbesar 0,924. 1 senilai 0,829. Komponen 2 dengan 2 senilai
e. Indikator P5 : masuk pada faktor 1, karena 0,797. Komponen 3 dengan 3 senilai 0,053.
faktor loading dengan faktor 1 memiliki nilai Dan komponen 4 dengan 4 senilai 0,322.
terbesar 0,802. Terlihat bahwa angkanya jauh di atas 0,5,
f. Indikator P6 : masuk pada faktor 3, karena kecuali komponen 3 dengan 3 dan 4 dengan 4.
faktor loading dengan faktor 3 memiliki nilai Ini membuktikan faktor 1 dan faktor 2 yang
terbesar 0,562. terbentuk sudah tepat, karena mempunyai
g. Indikator P7 : masuk pada faktor 3, karena korelasi yang tinggi antara faktor sebelum
faktor loading dengan faktor 3 memiliki nilai dirotasi dengan faktor sesudah dirotasi.
terbesar 0,683.
h. Indikator P8 : masuk pada faktor 3, karena
faktor loading dengan faktor 3 memiliki nilai
terbesar 0,708.

Jurnal Ekonomi Volume 7 Nomor 2, November 2016 154


Analisis Faktor Penyebab Kegagalan Kerjasama Dalam Bisnis Waralaba: Studi Pada Perusahaan Waralaba Makanan Dan Minuman
Di Jabodetabek

Tabel 3. menjelaskan variasi observasi 19,009%,


Component Transformation Matrix berarti faktor ini mampu memberikan
kontribusi sebesar 19,009% terhadap
Compone 1 2 3 4 faktor-faktor yang menentukan kegagalan
nt terwaralaba.
3. Faktor dukungan yang diberikan oleh
1 ,829 -,085 ,483 ,271 pewaralaba.
2 -,207 ,797 ,196 ,532 Faktor pendukung adalah faktor ketiga yang
3 ,331 ,590 -,053 -,735 mempengaruhi kegagalan terwaralaba
4 ,401 ,099 -,852 ,322 dalam menjalankan bisnisnya. Faktor ini
mempunyai eigenvalue 1,492 dan mampu
Sumber : Hasil pengolahan data SPSS 20.0
menjelaskan variasi observasi 8,779%,
(2016)
berarti faktor ini mampu memberikan
Setelah faktor terbentuk, yang
kontribusi sebesar 8,779% terhadap faktor-
menyatakan bahwa satu atau lebih faktor yang
faktor kegagalan terwaralaba.
terbentuk memang stabil dan bisa untuk
4. Faktor pedoman operasional
mengeneralisasi populasinya, maka pada faktor
Faktor pedoman operasional adalah faktor
yang tersebut bisa dilakukan pembuatan factor
keempat atau faktor terakhir yang
scores. Factor scores pada dasarnya adalah mempengaruhi kegagalan terwaralaba.
upaya untuk membuat satu atau beberapa
Faktor ini mempunyai eigenvalue 1,232 dan
variabel yang lebih sedikit dan berfungsi untuk
mampu mnejelaskan variasi observasi
menggantikan variabel asli yang sudah ada.
7,245%, berarti faktor ini mampu
Berdasarkan hasil analisis, dapat
memberikan konstribusi 7,245% terhadap
diketahui bahwa dalam pengelompokan
faktor-faktor penyebaba kegagalan
indikator menjadi faktor ternyata mengalami
teraralaba.
perbedaan. Perbedaan itu muncul setelah
dilakukannya pengolahan data dengan
Kesimpulan
menggunakan pendekatan analisis faktor.
Keberhasilan kerjasama dalam bisnis
Melalui analisis faktor, pengelompokan
waralaba sangat ditentukan oleh kedua belah
indikator baru menghasilkan 4 faktor, sehingga
pihak. Hal ini pun terjadi dalam bisnis waralaba
mengakibatkan perubahan nama terhadap
yang dikelola oleh terwaralaba. Dengan
faktor-faktor yang sudah ada sebelumnya.
demikian untuk keberhasilannya maka
Penamaan faktor-faktor baru tersebut
pewaralaba dapat membuat suatu waralaba
disesuaikan dengan variabel yang
yang memiliki keunggulan kompetitif. Selain itu
mengelompok pada faktor tersebut (Singgih
komunikasi, hubungan dan kepercayaan harus
Santoso, 2015:269). Hal tersebut dilakukan
terjalin dengan baik antara pewaralaba dan
untuk mempermudah penyebutan faktor.
terwaralaba. Komunikasi diperlukan untuk
Mengenai penamaan faktor baru yang
menyelesaikan masalah-masalah dalam
mempengaruhi kegagalan bisnis terwaralaba
waralaba, termasuk memikirkan strategi agar
adalah:
waralaba tersebut dapat terus berkembang
1. Faktor komunikasi yang terintegrasi
daripada kompetitor lain.
Faktor komunikasi yang terintegrasi adalah
Hubungan antara kedua pihak dalam
faktor pertama yang mempengaruhi
waralaba harus terjalin dengan baik sehingga
kegagalan terwaralaba. Faktor ini
terdapat satu tujuan yang sama yaitu
mempunyai eingenvalue 6,381 dan mampu
memajukan usaha waralaba yang sedang
menjelaskan variasi observasi 37,536%,
dijalani. Pewaralaba dan terwaralaba harus
berarti faktor ini mampu memberikan
percaya sepenuhnya kepada terwaralaba,
kontribusi 37,536% terhadap faktor-faktor
begitupun sebaliknya. Komitmen yang kuat
yang menentukan kegagalan terwarlaba.
bagi pewaralaba dan terwaralaba. Untuk
2. Faktor keunggulan kompetitif pewaralaba
menjalankan bisnis waralaba harus memiliki
Faktor keunggulan kompetitif pewaralaba
komitmen yang kuat baik antara pewaralaba
adalah faktor ke dua yang mempengaruhi
maupun terwaralaba. Pewaralaba memiliki
kegagalan terwaralaba. Faktor ini
komitmen untuk dapat menjalankan waralaba
mempunyai eigenvalue 3,232 dan mampu
Jurnal Ekonomi Volume 7 Nomor 2, November 2016 155
Analisis Faktor Penyebab Kegagalan Kerjasama Dalam Bisnis Waralaba: Studi Pada Perusahaan Waralaba Makanan Dan Minuman
Di Jabodetabek

ini hingga dapat mempunyai banyak cabang. Journal of Contemporary Hospitality


Terwaralaba sebaiknya memiliki komitmen agar Management, 21(1), 85-99.
waralaba tersebut tetap berjalan dengan baik
sehingga mempunyai keuntungan tersendiri Sanny, L. (2015). Franchising in Indonesia
bagi terwaralaba. from Franchisee Perspective: A Case on
Early Childhood Education Franchising in
Daftar Pustaka Indonesia , Research Journal of Business
Management. 1819-1932.
Baucus,D.A., Baucus,M.S. dan Human,S.E.
(1996), Consensus in Franchise Sekaran, U., & Bougie, R. (2013). Research
Organizations : A Cooperative Methods for Business: A Skill-Building
Arrangement among entrepreneurs, Approach. New Jersey: Wiley.
Journal of Business Venturing, 11(5),
359-378. Shane,S. dan Hoy,F. (1996), Franchising : A
Gateway to Cooperative
Campbell,D., Datar,S.M. dan Sandino,T. Entrepreneurhip. Journal of Business
(2009), Organizational Design and Venturing 11(5), 325-327.
Control Across Multiple Markets : The
Case of Franchising in The Sutikno, B. (2013). ISS & MLB. Franchisee
Convenience Store Industry, The Switching Stage Model , 17-28.
Accounting Review, 84(6), 1749-1779.
Sweeney,J.C dan Webb, D.A (2007), How
Chiou, J. S., Hsieh, C. H., dan Yang, C. H. Functional, Psychological, and Social
(2004), The Effect of Franchisors’ Relationship Benefits Influence
Communication, Service Assistance, Individual and Firm Commitment to
and Competitive Advantage on The Relationship, Journal of Business
Franchisee’s Intentions to Remain in and Industrial Marketing, 22(7), 474-
The Franchise System, Journal of 488.
Small Business Management, 42, 19-
36. Szulanski,G. dan Jensen,R.J. (2008), Growing
Through Copying : The Negative
Hoffman.C. dan Preble,J.F. (1993), Franchising Consequences of Innovation on
into the Twenty First Century, Business Franchise Network Growth, Research
Horizons, 36(4), 35-43. Policy, 37, 1732-1741.

Monroy, Alzola (2005), An Analysis of Quality Zeithaml, Binner dan Gremler (2006),
Management in Franchise Systems, Episodec, Extended and Continuous
European Journal of Marketing, 39(5), Service Encounters: A Theoritical
585-605. Framework, Graduate School of
Management The University of
Rachmadi, B. (2007). Peranan Governance Queensland.
Structure, Orientasi Kewirausahaan
(Entrepreneurial Orientation) Dan
Sumber Daya Berbasis Pengetahuan
(Knowledge-Based Resources),
Disertasi Universitas Indonesia,
Jakarta.

Roh,Y.E. dan Yoon,J.H. (2009), Franchisor’s


Ongoing Support and Franchisee’s
Satisfaction : A Case of Ice Cream
Franchising in Korea, International

Jurnal Ekonomi Volume 7 Nomor 2, November 2016 156

Anda mungkin juga menyukai