Rantai pasok adalah rangkaian yang terkait dari proses dalam perusahaan
dan lintas perusahaan lain yang menghasilkan produk atau jasa yang memuaskan
konsumen. Lebih jauh rantai pasok adalah jejaring aliran produk, jasa, keuangan,
dan atau informasi yang mengaitkan pemasok dan konsumen (Krajewski et al.
2010). Sedangkan manajemen rantai pasok adalah seperangkat keputusan dan
kegiatan yang digunakan untuk mengintegrasikan pemasok, produsen, gudang,
pengangkut, pengecer, dan konsumen yang efisien, sehingga produk atau jasa
dapat didistribusikan dengan jumlah yang tepat, ke lokasi yang tepat, dan waktu
yang tepat. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan biaya dengan tingkat
pelayanan yang memuaskan kepada konsumen. Tujuan manajemen rantai pasok
ini adalah untuk mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (Li 2007;
Levi et al. 2000).
Sementara itu, menurut Vorst (2006), manajemen rantai pasok merupakan
perencanaan yang terintegrasi, koordinasi, dan pengawasan seluruh proses dan
kegiatan bisnis dalam rantai pasok yang memberikan nilai kepuasan yang tinggi
kepada konsumen dengan biaya yang minimum. Namun demikian, tetap
memuaskan keinginan pemangku kepentingan lainnya dalam rantai pasok
tersebut.
Lazzarini (2000) menurut Vorst (2006) menggambarkan jaringan
agroindustri secara vertikal (Gambar 2.1) sehingga merupakan aliran produk
disetiap tingkatan rantai pasok dalam konteks jaringan rantai pasok pertanian
menyeluruh. Setiap perusahaan diposisikan dalam sebuah titik dalam lapisan
jaringan rantai pasok ini. Agroindustri menjadi pusat rantai pertanian yang
berperan penting dalam meningkatkan nilai tambah produk pertanian di pasar.
Selain itu agroindustri membutuhkan pasokan bahan baku yang berkualitas dan
jumlah yang sesuai dengan kebutuhan.
Konsumen
Distributor
lainnya
Agroindustri
Pemangku Kepentingan
Petani/Pemasok
Gambar 2.2 Frame work untuk pembentukkan rantai pasok produk pertanian
(Vorst 2006, adaptasi Lambert dan Cooper 2000)
Setiap elemen dalam frame work rantai pasok produk pertanian secara
langsung berkaitan dengan tujuan rantai pasok produk pertanian tersebut. Tiga
proposisi nilai yang menjadi tujuan rantai pasok produk pertanian, yaitu: 1)
diferensiasi jaringan dan segmentasi pasar, dimana target diferensiasi rantai pasok
sesuai dengan permintaan spesifik dari konsumen, 2) kualitas yang terintegrasi,
dimana target ini sesuai dengan meningkatnya permintaan konsumen terhadap
produk yang aman dan ramah lingkungan, 3) optimasi jaringan, yang dilakukan
untuk mengurangi biaya melalui efisiensi rantai pasok dengan pasokan informasi
yang rasional (Vorst 2006).
Tujuan dari rantai pasok yang akan diwujudkan harus dapat diukur melalui
output yang dihasilkan, yaitu kinerja rantai pasok. Menurut Vorst (2006) kinerja
rantai pasok didefinisikan sebagai tingkat rantai pasok dalam memenuhi
keinginan pengguna akhir dan pemangku kepentingan dengan memperhatikan
indikator kinerja setiap saat. Sedangkan indikator kinerja adalah operasionalisasi
karakteristik proses yang membandingkan kinerja sistem dengan target nilai.
Contoh indikator kinerja logistik untuk rantai pasok produk pertanian disajikan
pada Tabel 2.1.
Dalam rantai pasok produk pertanian, bagian untuk petani dari
pengeluaran konsumen kemungkinan kecil karena penyalahgunaan kekuatan pasar
oleh industri pengolahan dan distributor. Industri pengolahan dapat mengambil
nilai tambah yang besar baik dari harga pembelian yang lebih rendah atau harga
konsumen yang lebih tinggi ataupun keduanya (Bunte 2006).
Oleh karena itu diperlukan teori kesejahteraan (welfare theory) yang dapat
digunakan untuk menilai industri dan kinerja rantai pasok. Kesejahteraan dalam
kinerja rantai pasok terletak pada dua elemen, yaitu: 1) efisiensi (profit) dan 2)
keadilan (pemangku kepentingan). Efisiensi merujuk pada penciptaan nilai
tambah, sedangkan keadilan merujuk pada pembagian nilai tambah untuk semua
pemangku kepentingan (Bunte 2006).
9
Tabel 2.1 Indikator Kinerja Logistik untuk Rantai Pasok Produk Pertanian
(Schoderbek 1985). Prinsip dasar dari pendekatan sistem adalah (1) Suatu sistem
lebih besar daripada jumlah komponen sistem tersebut, (2) Bagian dari sistem
yang dipelajari harus dapat diduga, (3) Meskipun tiap sub sistem berdiri sendiri,
sub sistem ini merupakan bagian dari sistem yang lebih besar, (4) Adanya
pengorbanan suatu tujuan jika ingin meningkatkan tujuan lain, (5) Sistem yang
kompleks harus dipecah ke dalam sub-sistem yang lebih kecil sehingga dapat
dianalisis dan dimengerti sebelum digabungkan kembali, (6) Komponen sistem
saling berinteraksi, perubahan pada suatu elemen akan mempengaruhi seluruh
komponen dan (7) Semua sistem cenderung mencapai keseimbangan yang
merupakan keseimbangan dari berbagai kekuatan dari luar sistem.
Menurut Schoderbeck (1985) terdapat tiga fase utama dalam melakukan
studi sistem yang menggunakan pendekatan sistem yaitu fase konseptualisasi, fase
kuantifikasi dan fase komputerisasi. Pendekatan sistem merupakan multidisiplin
ilmu, beberapa kompetensi yang diperlukan di antaranya adalah tersedianya (1)
metodologi untuk perencanaan dan pengelolaan, (2) Kerja tim (multidisiplin), (3)
pengorganisasian, (4) disiplin untuk bidang yang non – kuantitatif, (5) teknik
model matematik, (6) teknik simulasi, (7) teknik optimasi dan aplikasi komputer
(Eriyatno 2003).
1500 mm/tahun. Suhu optimum untuk pertumbuhan sekitar 24 – 29 oC, pada suhu
yang lebih tinggi dari 29 oC produksi akan menurun sedangkan pada suhu yang
lebih rendah dari 10 oC pertumbuhan akan terhenti (Kay 1973). Tanaman ubi
kayu tidak memerlukan tanah dengan persyaratan khusus, tanaman ini dapat
tumbuh di tanah yang subur maupun di tanah yang kering
Menurut Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian (2011),
produksiyang optimal akan dapat dicapai apabil atanaman mendapat sinar
matahariyang cukup, tekstur tanah agak halus/sedang, rata-rata temperatur
sekitar 24 – 29 oC, dengan curah hujan 1000 – 2000 mm/tahun, dan lama bulan
kering 3,5-5 bulan. Kriteria kesesuaian lahan ubi kayu secara lengkap dapat
dilihat pada Lampiran 1. Dengan bentuk umbi, maka hampir tidak ada
kontribusinyaterhadap struktur dan kandungan unsur hara tanah, karena
akar/umbi tanaman dicabut.Dengan demikian kelestarianperkebunan ubi kayu
memerlukanupaya khusus untuk menjaga kelestarian lahandengan memberikan
kembali unsur hara tanah berupa pupuk organik di sampingpupuk buatan. Sisa
tanaman sebaiknya dicacahuntuk dimasukk an kembali ke dalamtanah.
M engingat nil ai produksidan kemudahan di dalam budidayanya,
polausaha ubi kayu sering tidak menghasil kanpendapatan yang berarti bagi
petani, apalagi jika ditanambukan merupakan usaha pokok. Bagi petaniyang
tidak memili ki modalusaha yang cukup, dengan hanya bermodalkantenaga
untuk mengolahtanah, petanisudah dapat menanam ubi kayu karena
bibitnya mudah didapatdan murah. Dengan demikian dapatlah dikatakan
bahwa tanaman ubi kayu dapat tumbuh di berbagai jenis tanah, tidak
memerlukanpersyaratan tanah tertentu.
Ubi kayu mengandung sejumlah zat gizi seperti karbohidrat, lemak,
protein, vitamin dan mineral. Kandungan kimia tepung ubi kayu disajikan pada
Tabel 2.2. Kandungan terbesar tepung ubi kayu adalah air sebesar 62,8 persen,
dan karbohidrat sebesar 34,7 persen, sedangkan kandungan lemak dan protein
relatif kecil yaitu 0,3 dan 1,2 persen.
14
Indonesia pada kurun waktu 1961-2005 merupakan net eksportir ubi kayu
dan produk olahannya, namun mengimpor pula pati ubi kayu mulai tahun 1989
karena lambatnya laju produksi dalam negeri. Pada Tahun 2008 Volume ekspor
ubi kayu sebanyak 166.685 ton dan volume impor 158.100 ton. Nilai ekspor
pada Tahun 2008 senilai US$ 35.871.000 sementara nilai impornya lebih tinggi
yaitu US$ 57.948.000 (Pusdatin Deptan 2010).
Komoditi ubi kayu, walau diekspor dan secara makro memberikan
kontribusi pendapatan devisa dan mendukung industri domestik sebagai bahan
baku, relatif tidak memberikan motivasi kepada petani untuk meningkatkan
produksinya. Harga ubi kayu di tingkat petani hanya meningkat dari Rp. 161 /kg
pada periode 1990-1999 menjadi Rp. 514 /kg pada periode 2000-2005. Keadaan
tersebut dapat juga dilihat dari index pendapatan per unit biaya produksi (R/C)
yang menurun sebesar -2.4 % pada periode 1980-1999 (Darwanto 2007).
Indonesia merupakan negara pengekspor ubi kayu dan beberapa produk
olahannya seperti gaplek, tepung tapioka dan tepung cassava (FAO 2006). Hal ini
dimungkinkan karena iklim yang sesuai dan teknologi yang dibutuhkan tidak
terlalu sulit, sehingga tingkat produksi ubi kayu dapat ditingkatkan. Produksi ubi
15
kayu atau singkong di Indonesia pada tahun 2009 sebesar 22.028.502 ton dengan
luas tanam 1.174.819 Hektare, meningkat sebesar 1,25 persen dibandingkan
dengan tahun sebelumnya di mana pada tahun 2008 produksi singkong tercatat
21.756.991 ton dengan luas tanam 1.204.933 Hektare. Jumlah produksi dan luas
tanam ubi kayu Indonesia Tahun 2000 - 2009 disajikan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Luas lahan dan Produksi Serta Produktivitas Tanaman Ubi Kayu
di Indonesia Tahun 2000 – 2009
Tahun Luas Panen Produktivitas Produksi (Ton)
(Ha) (Ton/Ha)
2000 1.284.040 12,5 16.089.020
Produksi ubi kayu Indonesia pada tahun 2010 mencapai 23 juta ton.
Provinsi Lampung memberikan kontribusi terbesar dengan produksi mencapai 8,3
juta ton, diikuti oleh Provinsi Jawa Tengah dengan produksi mencapai 3,9 juta
ton, dan Provinsi Jawa Timur sebesar 2,9 juta ton. Produksi ubi kayu menurut
provinsi di Indonesia Tahun 2010 disajikan pada Tabel 2.4. Peta persebaran
produksi ubi kayu menurut provinsi pada tahun 2010 disajikan pada Gambar 2.4.
16
Tabel 2.4 Produksi Ubi Kayu Menurut Propinsi di Indonesia Tahun 2010
NAD 45.580
Sumatera Utara 1.004.111
Sumatera Barat 181.145
Riau 75.002
Jambi 40.343
Sumatera Selatan 161.613
Bengkulu 46.311
Lampung 8.294.070
Bangka Belitung 22.860
Kepulauan Riau 8.668
DKI Jakarta 267
Jawa Barat 2.117.976
Jawa Tengah 3.936.525
DI Yogyakarta 1.037.610
Jawa Timur 2.957.884
Banten 115.464
Bali 161.459
NTB 76.420
NTT 1.101.104
Kalimantan Barat 193.662
Kalimantan Tengah 80.175
Kalimantan Selatan 102.697
Kalimantan Timur 113.824
Sulawesi Utara 88.425
Sulawesi Tengah 76.737
Sulawesi Selatan 487.165
Sulawesi Tenggara 224.610
Gorontalo 6.288
Sulawesi Barat 50.560
Maluku 130.958
Papua 35.178
Maluku Utara 107.884
Papua Barat 10.947
Total 23.093.522
Sumber : Kementerian Pertanian (2011)
Dalam beberapa hari setelah dipanen, ubi kayu akan rusak atau busuk
sehingga perlu diolah secepat mungkin. Proses kerusakan yang cepat ini
menyebabkan masalah dalam pemasaran maupun penggunaan dan pemanfaatan
ubi kayu, serta menghasilkan susut yang relatif besar (Barret dan Damardjati
17
1984). Kerusakan yang biasa terdapat pada ubi kayu adalah timbulnya warna
hitam yang disebabkan oleh aktifitas enzim polifenolase (Syarief dan Irawati
1988).
18
Gambar 2.4 Peta Sebaran Produksi Ubi Kayu Indonesia Tahun 2010
19
UBI
KAYU
Tabel 2.6 Luas lahan dan produksi serta produktivitas tanaman padi di Indonesia
tahun 2000 – 2009
Berdasarkan data di atas, selama kurun waktu Tahun 2000 sampai Tahun
2009 terjadi kenaikan peningkatan luas panen tanaman padi sebesar 9% atau
rata-rata 1% per tahun. Pada kurun waktu yang sama permintaan (konsumsi )
beras juga meningkat dari 23.897.878 ton pada tahun 2000 menjadi 32.057.945,3
ton pada tahun 2009 atau meningkat sebesar 24% atau rata-rata 2,7% per tahun.
23
Tabel 2.7 Jumlah penduduk dan tingkat konsumsi per kapita bahan makanan
penghasil karbohidrat di Indonesia Tahun 2000 – 2009
Selama kurun waktu 2000 – 2009 berdasarkan data BPS (2010) seperti
disajaikan pada Tabel 2.3 produksi ubi kayu juga mengalami peningkatan yaitu
dari 16.089.020 ton pada Tahun 2000 menjadi 22.028.502 ton pada tahun 2009.
Peningkatan produksi ternyata bukan disebabkan oleh meningkatnya luas panen
ubi kayu, tetapi karena meningkatnya produktivitas per ha. Selama kurun waktu
2000-2009 luas panen tanaman ubi kayu mengalami penurunan 8,5% atau terjadi
24
rata-rata penurunan luas panen 0,9% per tahun. Padahal permintaan (konsumsi)
ubi kayu selama periode 2000 – 2009 terjadi peningkatan yaitu dari 2.748.768,8
ton tahun 2000 menjadi 3.279.597,0 to tahun 2009 yang meningkat 19,3% atau
terjadi rata-rata kenaikan permintaan ubi kayu 2,1% per tahun. Peningkatan
permitaan ubi kayu lebih disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, yaitu
bila diperhatikan tingkat konsumsi ubi kayu perkapita sejak tahun 2000 sampai
2009 hanya mengalami peningkatan 0,7% per tahun sedangkan laju peningkatan
penduduk mencapai 1,4% per tahun.
Produksi jagung selama tahun 2000 – 2009 mengalami peningkatan yang
cukup tinggi (82%) yaitu dari 9.676.899 ton tahun 2000 menjadi 17.592.309 ton
tahun 2009 atau rata-rata menigkat 9% per tahun. Peningkatan ini terjadi karena
adanya peningkatan luas areal rata-rata 2,1% per tahun yang meningkat dari
3.500.318 ha tahun 2000 menjadi 4.156.706 ha pada tahun 2009.
Produktivitas tanaman jagung juga mengalami peningkatan yang cukup
besar yaitu dari 2,77 ton/ha tahun 2000 menjadi 4,29 ton per ha pada tahun 2009.
Secara rinci luas areal panen dan produksi jagung sejak tahun 2000 sampai 2009
dapat dilihat pada Tabel 2.8.
25
Tabel 2.8 Luas lahan dan produksi serta produktivitas tanaman jagung di
Indonesia tahun 2000 – 2009
Tabel 2.9 Komposisi Kimia Beras Giling, Terigu dan Tapioka setiap 100 gram
Secara garis besar rantai pasok ubi kayu terdiri dari: (1) petani yang
membudidayakan dan menghasilkan ubi kayu, (2) pengumpul, (3) industri yang
memproses ubi kayu menjadi tepung tapioka, (4) Distributor, (5) Konsumen.
2.6.1 Petani
Hingga kini rata-rata hasil ubi kayu nasional masih tergolong rendah, yaitu
sekitar 17,6 ton per Hektare. Meskipun produktivitas tanaman sudah naik namun
produktivitasnya masih di bawah dari produktivitas potensial yang dapat dicapai
antar 30 – 40 ton/ha (Subandi et al. 2005). Dari segi teknis produksi, penyebab
penting atas rendahnya tingkat hasil ubi kayu di tingkat petani adalah terbatasnya
penggunaan varietas unggul yang berdaya hasil tinggi dan kurangnya penggunaan
pupuk. Untuk meningkatkan produktivitas ubi kayu petani harus dilakukan
beberapa hal yaitu pemilihan varietas unggul berdaya hasil tinggi, pengaturan
jarak tanam yang sesuai, pemupukan yang efektif, sistem tanam yang produktif,
serta pengaturan waktu tanam dan panen yang tepat.
27
2.6.2 Pengumpul
Gambar 2.6 Diagram Alir Proses Produksi Tepung Tapioka (Sriroth 1999)
tercatat sebagai kelompok pemakai terbesar dari total kebutuhan tepung terigu
dalam negeri, yaitu sebesar 58,86%. Penggunaan ini diikuti oleh kelompok
industri besar dan modern yang meliputi industri mi instan, mi kering, mi basah,
biskuit, snack, roti dan industri plywood, yaitu sebesar 34,37%. Sedangkan untuk
industri rumah tangga sebesar 3,54% dan pemakaian rumah tangga sebesar 3,23%
(Visidata Riset Indonesia 2003). Penggunaan tepung terigu untuk berbagai
industri tahun 1998-2002 dapat dilihat pada Tabel 2.10.
Tabel 2.10 Penggunaan Tepung Terigu untuk Berbagai Industri Tahun 1998-2002
Industri Pemakai Jumlah (Ton)
1998 1999 2000 2001 2001
Industri Besar dan Modern
Mi Instan 584.791 638.750 715.006 754.638 807.642
Mi Kering 64.560 74.723 85.398 93.741 104.389
Mi Basah 2.971 3.178 3.321 3.478 3.662
Biskuit dan 99.096 107.901 118.762 131.901 144.109
Snack
Roti 21.258 23.513 27.122 32.585 37.690
Plywood 4.729 3.685 4.036 2.768 2.472
Sub Total 777.405 851.750 953.645 1.019.111 1.099.964
Usaha Kecil dan Menengah (UKM)
Mi basah dan 600.504 597.082 728.017 740.457 743.868
Kering
Biskuit dan Snack 286.535 323.419 356.425 318.361 354.355
Roti 637.084 634.399 811.436 729.726 785.520
Sub Total 1.524.123 1.554.900 1.895.878 1.788.544 1.883.743
Industri Rumah 78.411 88.924 122.512 102.031 113.220
Tangga
Rumah Tangga 71.060 68.598 91.884 93.028 103.516
Sub Total 149.471 157.522 214.396 195.059 216.736
Total 2.450.999 2.564.172 3.063.919 3.002.714 3.200.443
Sumber: Visidata Riset Indonesia 2003
33
Pabrik Tepung
Terigu
Industri Konsumen
Rumah Akhir
Tangga