Anda di halaman 1dari 6

Nama : Risa Kumalasari

NIM : 11000119120080
Kelas : A
Dosen Pengampu: Dr. Nanik Trihastuti, S.H., M.Hum.
Summary

The Contribution of Chinna and Taiwan History with One Chinna Policy

China merupakan negara yang berdekatan dengan negara Taiwan. Dimana secara diplomatik
hubungan kedua negara ini kurang berdamai. Hal itu dipicu adanya faktor sejarah yang hingga
saat ini berpengaruh dalam kehidupan politik dua negara ini maupun hubungan internasional.
Sejarah China dan Taiwan diawali dengan setelah berakhirnya Perang Dunia II, mulai
melakukan pemerintahannya. Dimana terdapat 2 aliran doktrin yang disebarkan melalui 2 partai
yaitu adanya doktrin komunis dari Partai Komunis Cina (Kun Chang Tang) yang dipimpin oleh
Mao Zedong dan Partai Nasionalis Cina (Kuo Min Tang) yang dipimpin oleh Chiang Kai Shek.
Pada tahun 1945-1949 terjadi perang saudara antara kedua partai tersebut yang mana disebabkan
adanya keinginan untuk menyebarkan doktrin serta perebutan wilayah kekuasaan dan ini menjadi
cikal bakal perpecahan antara china dan taiwan1.

Karena Chiang kai shek khawatir akan kalah dari kubu Mao Zedong, maka ia meminta bantuan
Amerika Serikat untuk membantu menyelesaikan masalahnya di China. Pada tahun 1945
Presiden Truman berusaha mencegah terjadinya perang saudara di China dengan mengutus
Jenderal George Marshall sebagai mediator antara Kuo Min Tang dengan Kun Chang Tang.
Bukannya mereda malah semakin memanas, pada tahun 1947 kemenangan berpihak pada kubu
Mao Zedong (Partai Komunis). Hal ini membuat posisi kubu Chiang Kai Shek semakin
terdesak, hingga pada akhirnya tanggal 1 Oktober 1949 kubu Mao Zedong (Komunis)
memproklamirkan berdirinya pemerintahan yang diberi nama Republik Rakyat Tiongkok dengan
ibukota Peking . Seiring berdirinya RRT sekaligus menandainya kekalahan atau terhimpitnya
kekuasaan Chiang Kai Shek, sehingga kubu nasionalis ini melarikan diri atau mengungsi ke
daerah selatan China yaitu di Pulau Formosa (Taiwan). 2

1
https://www.kompasiana.com/budhiman/5d60e1ee097f364a8e0d9a94/perang-saudara-di-china-konflik-kaum-
nasionalis-dan-komunis-untuk-memperebutkan-kekuaasaan-di-china-pada-tahun-1912-1949?page=all diakses pada
hari Selasa, 5 Mei 2021 pukul 13.08 WIB.
2
Ibid
Hingga pada akhirnya tepat tanggal 7 desember 1949, Chiang Kai Shek menyatakan bahwa kota
Taipei merupakan ibu kota sementara dari Republik China (Taiwan). Selama 72 tahun antara
China dan Taiwan saling mengklaim bahwa kedaulatan pemerintahannya merdeka dan legal bagi
masyarakat. Bisa terlihat secara kacamata internasional dalam hubungan diplomatiknya, China
lebih unggul daripada Taiwan. Hal ini dikarenakan China memiliki kedaulatan negara yang sama
seperti pada penjelasan dalam Pasal 1 Konvensi Montevideo yaitu terkait adanya unsur negara
penduduk yang tetap, wilayah, pemerintahan yang berdaulat serta pengakuan dari negara lain
atau terjalin hubungan diplomatik dengan negara lain. Dimana negara yang memiliki
kedaulatanlah yang di akui sebagai negara merdeka. Namun kedaulatan memang bukan menjadi
tolak ukur dan hanya bersifat mutlak maupun absolut tapi hal ini diperlukan untuk
mempermudah berjalannya hubungan kerjasama berbagai aspek secara internasional.3

Menilik kembali pada status kedaulatan, Taiwan sendiri belum secara jelas akan kedaulatannya
oleh pengakuan dari negara lain sehingga sangat sulit untuk melakukan hubungan secara
diplomatik dengan negara lain. Bahkan PBB selaku organisasi internasional yang mana
anggotanya di berbagai belahan dunia pun tidak mengakui akan kedaulatan Taiwan hal ini
membuat negara lain yang diajak bekerjasama pun harus berpikir ulang. Walaupun antara china
dan Taiwan menduduki wilayah yang sama secara Konvensi Montevideo dimana wilayah
tersebut haruslah tunduk pada satu pemerintah yang berdaulat. Seperti hal nya China dimata PBB
sendiri diakui legitimasinya sehingga China lebih berkuasa atas hubungan diplomatik
dibandingkan Taiwan. Melihat kembali sejarah Taiwan yang berideologikan Nasionalis dibawah
Aliansi Amerika yang mana terdapat peran perlindungan didalamnya yaitu Amerika membantu
supplai senjata perang militer kepada Taiwan guna mengantisipasi terjadinya serangan yang
dilakukan China oleh Taiwan. Padahal status kenegaraan secara internasional sendiri Taiwan
belum diakui sebagai negara yang merdeka4.

Sehingga seringkali dipertanyakan akan kejelasannya oleh kancah dunia internasional. Kembali
ke sejarahnya setelah dimenangkan Mao Zedong, RRT pun terus berusaha untuk melakukan
berbagai upaya reunifikasi guna menghancurkan posisi Partai Kuo Min Tang. Namun, upaya
yang dilakukan tidak berjalan mulus. Hingga pada masa pemerintahan Deng Xio Ping reunifikasi

3
Ian Sherridan, Skripsi: “Hubungan Taiwan dan China dalam Status Kedaulatan Taiwan”, (Medan: USU, 2018),
halaman 1-5
4
ibid
tersebut dilakukan tetapi dengan strategi jalur damai yang disebut dengan “One China Policy”
dimana berisikan kebijakan-kebijakan salah satunya yaitu upaya untuk mempersatukan kembali
negara yang terpisah dari daratan Tiongkok. Dalam konteks tersebut China menganggap Taiwan
adalah sebuah provinsi dari China yang memisahkan diri dari daratan. Dengan Adanya “One
China Policy” ini sangat meguntungkan bagi China karena adanya kebijakan itu membuat
Negara lain memutuskan hubungan secara Diplomatik yang sudah terjalin dengan Taiwan
dikarenakan pernyataan bahwa Taiwan hanyalah bagian dari Provinsi China yang memisah dan
bukan sebagai suatu negara5.

Disisi lain Taiwan mengklaim bahwa wilayahnya bukan bagian dari Provinsi China yang
memisah melainkan sebuah Negara yang berdaulat dan merdeka. Walaupun kebijakan tersebut
membuat tekanan secara politis tetapi Taiwan juga ikut berpartisipasi dalam Olimpiade dan
WTO (World Trade Organization). Dapat disimpulkan bahwasanya Taiwan memang mengalami
kesulitan pada aspek politis internasional tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa Taiwan juga
dapat melakukan hubungan kerjasama dalam bidang perdagangan. Hal ini ditunjukan dalam
status keanggotaan Taiwan dalam WTO yang memiliki kantor perwakilan dagang diberbagai
negara. Walaupun keduanya saling berseteru tetapi mereka tetap damai dan saling menghargai.
Kebijakan “One China Policy” jika dilihat secara sudut pandang positif memiliki maksud ingin
memyatukan kembali persaudaraan yang terpisah menjadi Satu China/ One China. Selain itu
keduanya juga memiliki hubungan baik dalam aspek perdagangan yang saling berkaitan. 6

Dengan adanya kebijakan itu membawa Amerika mendukung One China Policy dengan alasan
ingin melakukan hubungan diplomatik, sehingga ia kemudian menyepakati pemutusan hubungan
diplomatik dengan Taiwan dan menyetujui Joint Communique pada tahun 1979. Namun,
kesepakatan tersebut tidak berlangsung lama, dengan kemunculan Taiwan Relations Act tahun
1979 yang didukung pula oleh Amerika Serikat. Dalam hal tersebut menunjukkan sikap ambigu
Amerika Serikat terkait dukungan dengan China atau Taiwan. Amerika Serikat mengaku bahwa
tidak dapat melepaskan hubungan diplomatiknya dengan Taiwan begitu saja karena Taiwan
merupakan negara terbesar di Asia Timur yang menjadi pensupplai senjata militer dari negara
Adidaya itu (Roberge & Youkyung, 2009) konsep tersebut sering dinamakan dengan konsep
5
Fahmi Islami, 2013, Kebijakan Luar Negeri Taiwan Di Bawah Presiden Ma Ying-Jeou (2008- 2012) Di Bidang
Keamanan, Ekonomi, dan Identitas dalam Hubungan antara Selat Taiwan dan Cina, Skripsi, Depok: Jurusan
Hubungan Internasional, Universitas Indonesia, halaman 1.
6
http://repository.umy.ac.id diakses pada tanggal 5 Mei 2021 pukul 16.30 WIB
kebijakan strategic ambiguity, dimana Amerika mempertahankan dukungan pada Cina melalui
One China Policy sambil tetap menekan persenjataan China, dan menolak upaya kemerdekaan
Taiwan sambil tetap memberikan perlindungan terhadap pertahanan Taiwan.7

Cina juga melakukan pendekatan paksa untuk mengintegrasikan Taiwan ke dalam wilayahnya
melalui proposal rencana negosiasi yaitu ‘One Principle and Four Points’. Prinsip tersebut
menyebutkan bahwa Taiwan akan kembali ke pangkuan Cina dan menganut empat prinsip:

- Mengembalikan hak diplomatik ke Cina;

- Menyediakan dukungan pendanaan bagi Taiwan;

- Menunda reformasi bergaya sosialis di Taiwan;

- Menahan diri dari melibatkan perilaku merusak bagi pihak lain.8

Namun Taiwan bersikeras untuk bergabung atau menyetujui “one china policy” karena
mengakui secara de facto sudah dapat dikatakan sebagai negara yang sah sebagaimana unsur
yang ada di Konvensi Montevideo 1933. Selain itu, adapula perjanjian Taiwan Relations Act
yang mengatur hubungan Amerika Serikat – Taiwan setelah berhentinya perjanjian US - ROC
Mutual Defense Treaty 1979. Dimana sangat jelas terdapat unsur pengaruh dari Amerika yang
menunggangi permasalahan internasional ini. Perjanjian Taiwan Relations Act termasuk
perjanjian penjualan senjata dari Amerika Serikat kepada Taiwan sebagai bentuk bantuan
pertahanan diri Taiwan. Terkait kerjasama pertahanan AS – Taiwan dan juga perdagangan
senjata yang dilakukan kedua negara tersebut, Republik Rakyat Cina melihat ini sebagai
penghalang hubungan RRC dengan Amerika Serikat (Huang, 2010). RRC menuntut
pemerintahan Amerika Serikat untuk menyelesaikan hal ini yang kemudian menggiring kepada
Komunike 17 Agustus tahun 1982. Menurut Huang, sebulan sebelum ditandatanganinya
komunike tersebut, Amerika Serikat telah memperlengkapi Taiwan dengan Six Assurances yakni
jaminan Amerika Serikat terhadap Republik Cina, keenam jaminan tersebut adalah :

7
Yosias, Marior, " The Sino- US Relationship: Studi Kasus Kebijakan Amerika Serikat terhadap One China
Policy", diakses dari file:///C:/Users/HP/Music/Documents/16371-1-30778-1-10-20151026.pdf pada hari Rabu, 5
Mei pukul 21.10 WIB
8
Synthia, Lo, Juli 2020, " Implikasi One China Policy terhadap Hubungan Kerjasama Dagang Taiwan dan Asean" ,
IREC Journal, Vol 1 No 2. Halaman 27
1. Bahwa Amerika Serikat menyetujui untuk tidak memberikan tanggal penghentian penjualan
senjata kepada Republik Cina (Taiwan),

2. Amerika Serikat tidak akan mengadakan konsultasi lanjutan (prior consultations) kepada
Republik Cina terkait penjualan senjata,

3. Amerika Serikat tidak akan memainkan peran sebagai mediator antara Republik Rakyat Cina
dengan Republik Cina,

4. Amerika Serikat tidak akan merevisi Taiwan Relations Act,

5. Amerika Serikat tidak akan mengubah posisinya terkait kedaulatan Taiwan,

6. Amerika Serikat tidak akan memaksa Taiwan untuk mengadakan negosiasi dengan Republik
Rakyat Cina.

Sehingga dengan ini, Taiwan dan Amerika Serikat tetap meneruskan kerjasamanya dalam bidang
keamanan baik militer dan juga penjualan senjata. Dengan disetujuinya Six Assurances ini,
Amerika Serikat menjamin untuk tidak menjadi mediator ataupun menekan Republik Cina untuk
bernegosiasi dengan RRC.9

Serta dapat disimpulkan secara keseluruhan bahwasanya permasalahan China dengan Taiwan
terkait “One China Policy” yaitu status kedaulatan secara internasional pada Taiwan
menyandang gelar “Status Quo’ dikarenakan belum adanya kejelasan secar diplomatik namun
tidak menutup kemungkinan untuk melakukan hubungan perdagangan dengan negara lain.
Walaupun perselisihan ini merupakan urusan antara China dan Taiwan tetapi ada Amerika yang
Pro pada Taiwan namun tidak melupakan hubungannya dengan China terkait dunia
perekonomian serta diplomatik.

9
Yosias, Marior, " The Sino- US Relationship: Studi Kasus Kebijakan Amerika Serikat terhadap One China
Policy", diakses dari file:///C:/Users/HP/Music/Documents/16371-1-30778-1-10-20151026.pdf pada hari Rabu, 5
Mei pukul 21.10 WIB Halaman 9-10

Anda mungkin juga menyukai