Anda di halaman 1dari 22

Nama Anggota Kelompok 1 HAKI :

1. Asyla Putri Soraya 11000119120014


2. Fathiya Nurul Alisa 11000119140469
3. Intan Rahmanindita S. 11000119120013
4. Kholifatul Muna 11000119120083
5. Neni Nurjanah 11000119130350
6. Putri Laily Ulya L. 11000119130234
7. Risa Kumalasari 11000119120080
8. Ristyan Molya W. 11000119130528
9. Sulina Setia Wardani 11000119120124
10. Thalita Sabrina Hapsari 11000119140348

Hari/Tanggal : Senin, 12 April 2021

SOAL UTS

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL KELAS I

1. Di Negara Indonesia, sudah terdapat lembaga pemungut royalti yakni Lembaga Manajemen
Kolektif (LMK). LMK adalah lembaga yang berbadan hukum untuk melaksanakan
pengelolaan hak-hak ekonomi dari pencipta atau pemegang hak cipta, dan juga mengelola
hak ekonomi pemegang hak terkait. LMK merupakan bentuk dari perlindungan terhadap
pencipta, dan juga memberi kepastian bahwa pencipta mendapatkan keuntungan berupa
pembayaran dari orang yang menggunakan karya ciptanya. Salah satu LMK yang terdapat di
Indonesia yakni Wahana Musik Indonesia (WAMI). WAMI merupakan badan usaha sebagai
pengelola eksploitasi dari karya cipta musik atau lagu, terutama dalam pelaksanaan
pembayaran royalti atas hak mengumumkan (Performing Rights). Keberadaan Wahana
Musik Indonesia (WAMI) sangat penting, agar hak-hak pencipta atau pemegang hak cipta
dapat terpenuhi. Selain WAMI juga terdapat LMK lainnya, contohnya Karya Cipta
Indonesia (KCI), Royalti Anugrah Indonesia (RAI), Star Music Indonesia (SMI), Anugrah
Royalti Musik Indonesia (Armindo). Saudara sebagai ahli hukum, diminta untuk
memberikan argumentasi hukum :
a. Bagaimana implementasi pembayaran royalti lagu yang dinyanyikan penyanyi cafe, yang
seharusnya dibayarkan pemilik cafe kepada Wahana Musik Indonesia?
b. Bagaimana akibat hukum bagi pemilik cafe apabila tidak membayar royalty kepada
Wahana Musik Indonesia?

JAWABAN

a. Penyanyi cafe merupakan suatu pekerjaan yang mana dengan meng-cover lagu milik orang
lain dianggap sebagai sesuatu yang komersial karena hak kekayaan intelektual di dalam
kegiatan tersebut digunakan untuk mendapatkan keuntungan.1 Sebagian besar penyanyi cafe
dalam aksinya membawakan lagu dan/atau musik yang bukan merupakan suatu karya cipta
mereka sendiri, namun mereka dalam hal ini mendapatkan keuntungan komersial secara
pribadi yang di mana seharusnya Pencipta Lagu maupun Pemegang Hak Cipta atas lagu
yang bersangkutan turut serta mendapatkan hak ekonomi dalam bentuk royalty atas
dibawakannya lagu dan/atau musik ciptaannya yang terkait. Dalam hal ini untuk menjawab
sebuah isu hukum tentang “Bagaimana implementasi/wujud pembayaran royalti lagu yang
dinyanyikan oleh penyanyi cafe, yang seharusnya dibayarkan pemilik cafe kepada Wahana
Musik Indonesia”, berdasarkan UU Hak Cipta, pemilik hak cipta/pencipta atas suatu lagu
dapat melakukan hal-hal sebagai berikut :2
 Pemberian Lisensi Hak Cipta kepada orang lain
Pemberian lisensi hak cipta oleh pencipta kepada orang lain merupakan salah satu
cara untuk memperoleh royalti atas karya cipta. Prosedur dalam pembagian royalty
dilakukan berdasarkan perjanjian antara pencipta lagu dan penerima lisensi. Pemberian
lisensi kepada pihak lain akan mempengaruhi hak ekonomi pencipta seperti besaran
royalty apabila penerima lisensi melakukan pengaransemenan atau pertunjukan ciptaan.
 Pengalihan Hak Cipta

1
Habi Kusno, Perlindungan Hukum Hak Cipta Terhadap Pencipta Lagu yang Diunduh Melalui Internet, Jurnal
fakultas Hukum Universitas Lampung, Vol. 10, No. 03, 2016, hal. 491.
2
I Putu Adi Gunawan & I Made Dedy Priyanto, “Perlindungan Hukum Karya Lagu dan Musik yang Dibawakan
oleh Wedding Singer Untuk Kepentingan Komersial”, Jurnal Universitas Udayana, Vol. 6, No. 3, 2018. hal. 8-10.
Hak cipta yang tidak dialihkan maka hak ekonominya tetap berada di tangan
pencipta atau pemilik hak terkait. Pemanfaatan hak cipta secara komersial oleh
pengguna tidak dianggap melanggar undang-undang sepanjang pengguna telah
melakukan dan memenuhi kewajiban sesuai perjanjian dengan Lembaga Manajemen
Kolektif. Kewajiban ini tidak lain tentunya berkaitan dengan pembayaran royalti kepada
LMK atas hak cipta yang digunakan (Pasal 87 UU Hak Cipta).
Proses/alur/mekanisme yang terjadi dalam pengimplementasian/wujud pembayaran royalty
di kasus ini di antaranya, terlebih dahulu penyanyi café ataupun pemilik café mengajukan
perijinan lisensi hak cipta kepada pemilik hak cipta atas lagu dan musik di Indonesia dalam
kasus ini diakomodasi oleh lembaga yang bernama WAMI (Wahana Musik Indonesia),
ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian lisensi diatur dalam Psal 45 UU Hak Cipta.
Langkah selanjutnya adalah Lembaga Manajemen Kolektif yang bersangkutan akan
melakukan collecting royalty penggunaan suatu lagu yang dilakukan oleh pelaku (penyanyi
café - pemilik cafe), dalam hal ini penyanyi café atau yang diakodomodasi oleh pemilik café
memenuhi dan melakukan pembayaran royalty yang disepakati dalam perjanjian kepada
WAMI (Wahana Musik Indonesia), untuk selanjutnya WAMI (Wahana Musik Indonesia)
kemudian mendistribusikan dan mentransfer jumlah royalty yang didapatkan ke rekening
Pencipta lagu yang bersangkutan yang sebelumnya telah memberi kuasa kepada WAMI
(Wahana Musik Indonesia), pengiriman royalty ini disertai dengan perhitungan/audit yang
transparan, rinci dan jelas. ( dijawab oleh Asyla Putri Soraya 11000119120014)

b. Kegiatan didalam memberi layanan untuk mendengarkan musik termasuk pula pada
tindakan atau perilaku didalam melakukan hak ekonomi wajib dimiliki oleh baik pencipta
ataupun pemegang hak cipta yang mana dikategorikan pada pertunjukan suatu
ciptaan.dikarenakan hal tersebut maka diwajibkan adanya hak ekonomi berupa izin kepada
Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Maka ada akibat didalam hal tersebut. Sebagaimana
yang telah dijelasan bahwa didalam pembayaran royalti terkait maka dilakukan dengan
melalui Lembaga Manajemen Kolektif dan dengan cara pembayaran langsung dengan
pencipta atau pemegang hak cipta juga diperkenankan. Didalam Pasal 8 Undang-Undang
No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, terdapat Hak Ekonomi didalam melakukan : ”(1)
Penerbitan Ciptaan; (2) penggandaan Ciptaan dalan segala bentuk; (3) Penerjemah Ciptaan;
(4) Pengadaptasian, pengaransemen, atau pentransformasian ciptaan; (5) Pendistribusian
Ciptaan atau salinannya; (6) Pertunjukan Ciptaan; (7) Pengumuman Ciptaan; (8)
Komunikasi Ciptaan; (9) Penyewaan Ciptaan”. Oleh karena itu maka setiap orang yang
tanpa izin pencipta ataupun pemegang Hak Cipta dilarang melakukan penggandaan atau
penggunaan karya cipta secara komersial. Ada beberapa bentuk pembajakan dalam karya
cipta lagu dan diantaranya adalah:
 Plagiarism atau penjiplakan dari suatu karya rekaman. Bisa digandakan secara
keseluruhan isi, diperdagangkan dengan meniru isi, cover dan lainnya.
 Bootleg atau pembajakan karya rekakan dari penyanyi atau rekaman suara, dilakukan
pada saat musisi melakukan pertunjukan di depan khalayak ramai tanpa sebelumnya
meminta izin dari musisi terkait.
 Private atau pembajakkan berupa memperbayak karya rekaman dengan merangkum
berbagai lagu yang dilindungi hak cipta.

Seperti hal nya dengan penyanyi cafe yang mengcover lagu dan dipertunjukkan didepan
penonton lainnya. Tentu hal itu dilakukan dengan tanpa izin dari musisi terkait. Dapat
dikatakan melanggar hukum karena tidak memiliki izin tadi. Dan bisa dikenakan Pasal 9
ayat (3) Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang menyebutkan “Setiap
orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang hak cipta dilarang nenlakukan penggandaan
dan/ atau penggunaan secara komersil ciptaan” dan terkait sanksi yaitu pasal Pasal 113 ayat
(3) Undang-undang hak Cipta menyatakan bahwa “setiap orang yang dengan tanpa hak
dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi
pencipta sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e,
dan/atau huruf g untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana paling banyak Rp 1000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).

Tentu hal ini terjadi karena pihak cafe tidak membayar royalti yang sebagaimana telah
diatur. Maka lembaya yang berwewenang tersebut memiliki hak sebagai penerima kuasa
daripada pencipta lagu untuk dapat mengeluarkan surat atau berupa surat peringatan apabila
pihak yang terkait (pemilik cafe) belum membayarkan royalti tepat pada waktu yang tertera
apabila telah sebelumnya melakukan perjanjian. Dan apabila tidak juga di indahkan maka
Lembaga Manajemen Kolektif memiliki kewenangan didalam melaporkan mereka kepada
pihak yang berwenang bahwasanya telah adanya pelanggaran didalam hak cipta lagu
tersebut untuk kepentingan dari pemilik cafe tersebut. (dijawab oleh Intan Rahmanindita S.
11000119120013)

Referensi Tambahan :

Yudhistiro T.P. 2008. “Implementasi Pembayaran Royalti Lagu Bengawan Solo Untuk
Kepentingan Komersial Ditinjau Dari Perspektif Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta”. Tesis. Tidak diterbitkan. Pascasarjana
Kenotariatan. Universitas Diponegoro: Semarang.

Zefanya, Dewa gede Jeremy, A.A Sri Indrawati. 2020. Kewajiban Pembayaran Royalti
Terhadap Cover Lagu Milik Musisi Indonesia. Jurnal Kertha Semaya. Vol. 8. No. 12.
Hal 1914-1916. Diakses Pada Tanggal 12 April 2021, Pukul 14.30 WIB. Melalui :
https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/download/64382/37288/.

2. Hak cipta adalah hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur
penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta
merupakan "hak untuk menyalin suatu ciptaan". Hak cipta dapat juga memungkinkan
pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada
umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas. Objek Benda-benda
yang dapat dijadikan obyek dari jaminan fidusia diantaranya adalah barang-barang bergerak
dan tidak bergerak, berwujud maupun tidak berwujud, kecuali mengenai hak tanggungan,
hipotik kapal laut.
Terkait dengan hal diatas, Saudara diminta untuk menjelaskan :
a. Apa saja hambatan-hambatan dalam mewujudkan Hak Cipta sebagai obyek jaminan
fiducia dalam pengembangan bisnis di Indonesia?
b. Bagaimana cara mengatasi hambatan-hambatan tersebut agar pengembangan bisnis di
Indonesia dapat berjalan ?
JAWABAN

a. Hak cipta adalah hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur
penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta
merupakan "hak untuk menyalin suatu ciptaan". Hak cipta dapat juga memungkinkan
pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada
umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas. Objek Bendabenda
yang dapat dijadikan obyek dari jaminan fidusia diantaranya adalah barang-barang bergerak
dan tidak bergerak, berwujud maupun tidak berwujud, kecuali mengenai hak tanggungan,
hipotik kapal laut.
Terkait denga hal diatas, Saudara diminta untuk menjelaskan :
a. Apa saja hambatan-hambatan dalam mewujudkan Hak Cipta sebagai obyek jaminan
fiducia dalam pengembangan bisnis di Indonesia?

Hak Cipta sebagai objek Jaminan Fiducia pada Undang-undang hak Cipta
terdahulu tidak mengaturnya. Tetapi setelah di undangkannya Undang-Undang Nomr 28
Tahun 2014 yaitu pada pasal 16 ayat (3) yang mana obyek Jaminan Fiducia dinyatakan
sebagai Hak Cipta. Dengan disebutkan juga bahwa dalam pelaksanaan Hak Cipta
sebagai objek Jaminan Fiducia dilaksanakan dengan ketentuan perundang-undangan.
Dalam perkembangan jaman dan kebutuhan dalam bisnis dan yang mana untuk
memberikan kepastian hukum, dalam hal ini adanya Undang-Undang Nomor 42 tahun
tentang Jaminan Fiducia, dalam UU ini yang dijadikan obyek Jaminan Fiducia meliputi
benda bergerak berwujud ataupun benda bergerak tidak berwujud, melainkan juga
benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan.3

Pelaksanaan Hak Cipta sebagai Objek Jaminan Fiducia dilaksanakan dengan


ketentuan perundang-undangan yang mana sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Dalam hal ini dinyatakan bahwa Hak Cipta mempunyai nilai ekonomi, akan tetapi Hak
Cipta sebagai obyek Jaminan Fiducia yang mana meliputi benda tidak berwujud, akan
menjadi sulit untuk menentukan nilai ekonominya. Tidak seperti benda bergerak yang

3
Nur Amelia Pertiwi dan Sukirno, 2019, PELAKSANAAN HAK CIPTA SEBAGAI OBJEK JAMINAN FIDUSIA,
NOTARIUS, Volume 12 Nomor 2, hal 926-927.
berwujud seperti mobil, dan lain sebagainya. Sehingga terdapat hambatan Hak Cipta
sebagai objek Jaminan fiducia yaitu4:

1. Konsep valuasi HKI

Pengertian valuasi, valuasi merupakan kata sarapan dari valuation Intellectual


Property Organization (WIPO) mendefinikan valuasi (valuation) dengan “the
process of indentifying and measuring financial benefit of an asset.” Jika valuasi di
hubungkan dengan HKI yang merupakan intangible asset (valuation in intangible
asset ), maka pengertian nya adalah “the process of identifying and measuring
financial benefit and risk of an asset, in a particular is a process 5. kondisi dimana
seorang seniman yang ingin mengetahui nilai ekonomi yang dimilikinya dari
sebuah karya yang dihasilkan, semisal seorang penyanyi yang ingin mengetahui
royalti dari hasil kontrak Hak Cipta dengan pihak ketiga, dalam hal ini valuasi
diperlukan.

Dengan benda tidak berwujud ini maka Hak Cipta ini tidak ada kepastian
dalam hal assessment dan nilainya, sehingga membuat para investor dan kreditor
enggan untuk berinvestasi karena ketakutan akan mengalami kerugian suatu hari
nanti6.

2. Lembaga khusus valuasi HKI

Dengan tidak adanya lembaga khusus yang berfungsi melakukan valuasi


terhadap Hak Cipta menjadi faktor penghabat lainnya yang menjadikan sulitnya
Hak Cipta dijadikan objek Jaminan Fidusia dalam melakukan pinjaman modal dari
bank ataupun lembaga pembiayaan lainnya7.

Ada beberapa negara yang sudah berhasil melakukan valuasi HKI, seperti
Australia dan Belgaria. Di indonesia sebenarnya sudah melaksanakan valuasi HKI
tetapi di masyarakat dalam melaksanakan valuasi bisa dikatakan masih bersifat

4
Ibid, hlm 927.
5
indra Rahmatullah, Op.Cit, hlm 139.
6
indra Rahmatullah, Op.Cit, hlm 112
7
Ibid.
amatir dan lebih keperdataan salah satu contohnya adalah Batik Frasca yang ada di
Bandung.

Selain 2 hambatan tersebut menurut pendapat kami terdapat hambatan lain yaitu:
- Hak Cipta adalah benda tidak berwujud sehingga dapat dijadikan sebagai
obyek jaminan fidusia yang mempunyai nilai ekonomis dan nilai moral, akan
tetapi sulit untuk menilai atau menentukan nilai ekonominya, tidak seperti
benda bergerak yang berwujud seperti mobil, perhiasan. Tentu akan mudah
menilai dan menentukan nilai ekonominya.

Hak cipta merupakan hak ekslusif pencipta yang timbul secara otomatis, pada prinsipnya
pendaftaran hak cipta bukan merupakan sebuah keharusan, akan tetapi Hak cipta yang tidak
didaftarkan , tidak bisa dijadikan sebagai jaminan fidusia dalam pengembangan bisnis di
Indonesia. Karena apabila ingin dijadikan sebagai jaminan fidusia, hak cipta harus
didaftarkan terlebih dahulu. (dijawab oleh Sulina Setia Wardani 11000119120124 dan
Kholifatul Muna 11000119120083)

b. Bagaimana cara mengatasi hambatan-hambatan tersebut agar pengembangan bisnis di


Indonesia dapat berjalan?

Karena adanya suatu hambatan-hambatan perwujudan hak cipta sebagai obyek


jaminan fidusia terkait pengembangan bisnis di indonesia maka Oleh karena itu perlu
dilakukan rekonstruksi hukum pelaksanaan jaminan fidusia agar hak cipta dapat
diimplementasikan sebagai jaminan/agunan serta mengatasi hambatan-hambatan yang ada
guna memperlancar pengembangan bisnis di indonesia. Rekonstruksi hukum terdiri dari 2
(dua) kata, yaitu rekonstruksi dan hukum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: 1)
pengembalian seperti semula; 2) penyusunan (penggambaran) kembali. Mengenai
pengertian hukum, banyak seginya sehingga tidak mungkin orang dapat menyatukannya
dalam suatu runusan/defenisi secara memuaskan. Dengan demikian rekonstruksi hukum
dapat dimaknai sebagai penyusunan (penggambaran) kembali norma hukum. Rekonstruksi
hukum pelaksanaan jaminan fidusia terhadap hak cipta berarti memperbaiki ius constitutum
jaminan fidusia, sehingga ius constituendum jaminan fidusia dapat mengakomodir
pelaksanaan hak cipta sebagai jaminan fidusia yang mana rekonstruksi hukum dalam
pelaksanaan jaminan fidusia terhadap hak cipta sebagai upaya mengatasi hambatan
pelaksanaan jaminan fidusia terhadap hak cipta telah coba dilakukan oleh Pemerintah
melalui koordinasi pihak-pihak yang terkait, yaitu KEMENKUMHAM, Otoritas Jasa
Keuangan, Badan Ekonomi Kreatif, dan Lembaga perbankan 8. (dijawab Oleh Risa
Kumalasari 11000119120080)

3. Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia (Kemenkumham), melalui Direktorat Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa
melakukan razia pelanggaran merek di Pasar Tanah Abang. Dalam razia itu, disita puluhan
baju gamis 'wakanda' yang melanggar aturan merek. "Subdirektorat Penindakan dan
Pemantauan telah melakukan penindakan terhadap beberapa lokasi toko di wilayah Tanah
Abang Blok A, Jakarta Pusat, sehubungan dengan dugaan adanya pelanggaran tindak pidana
merek.Sidak dilakukan pada ada Selasa (17/3). Penyidik PNS menggeledah toko yang
diduga telah melanggar merek ALHARAMAIN-VIET, yang terdapat tiga toko di kawasan
Tanah Abang Blok A Untuk melihat bahwa peristiwa tersebut dapat dilanjutkan, diproses
sesuai hukum acara yang berlaku.

Setelah itu, PPNS menggelar forum gelar perkara menyimpulkan bahwa pengaduan atas hak
merek tersebut layak ditingkatkan statusnya dari penyelidikan menjadi penyidikan.
Selanjutnya, PPNS DJKI juga akan memanggil para saksi dan terlapor. Pelanggaran
terhadap hak merek bertentangan dengan UU 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi
Geografis pasal 100 ayat 1 dan 2 Sebab hal itu berdasarkan UU 20/2016 Pasal 100 ayat 1
tersebut, pelanggaran merek diancam hukuman maksimal 5 tahun penjara dan atau denda Rp
2 miliar.

"Sementara jika ayat 2 yang terbukti di pengadilan maka ancaman hukumannya 4 tahun
penjara dan atau denda Rp 2 miliar. Namun demikian apabila yang terbukti adalah pasal 102
UU Merek dan Indikasi geografis, maka ancaman hukumannya adalah 1 tahun penjara dan
atau Rp200 juta. Essensi dari Penindakan terhadap dugaan pelanggaran merek dan beberapa
8
Rini Sugiani, 2018, tesis: Analisis Yuridis Jaminan Fidusia Terhadap Hak Cipta Menurut Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum, Universitas Sumatera
Utara Medan.
penindakan sebelumnya adalah untuk memberi efek jera (deterrent effect) kepada para
pelaku, pedagang maupun pengguna merek tiruan agar tidak melakukan atau segera
menghentikan perbuatan-perbuatan serupa.

Menurut kasus diatas, Saudara diminta untuk :

A. Membuat kronologis atas kasus tersebut !


B. Saudara adalah konsultan hukum, sehingga Saudara diminta untuk memberikan analisa
terkait kassus tersebut dan berikan pula kesimpulan dan sarannya ! (dijawab oleh Fathiya
Nurul Alisa 11000119140469 dan Neni Nurjanah 11000119130350 dan Putri Laily Ulya
L. 11000119130234)
JAWABAN

a. Kronologi kasus
Pada bulan Agustus 2019, korban (pemegang hak merek) mengadu kepada DJKI
terkait dugaan adanya aktivitas perdagangan barang yang melanggar merek Al Haramain-
Viet berupa gamis model ‘wakanda’ yang terjadi di Pasar Tanah Abang. Setelah diterimanya
aduan, PPNS DJKI melakukan pemeriksaan terhadap ahli dan wawancara sesuai SOP dan
ketentuan hukum acara yang berlaku. Kemudian Pada tanggal 17 Maret 2020 , atas delik
aduan itu maka Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) melalui Direktorat
Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa melakukan razia di Pasar Tanah Abang, terdapat
tiga toko di kawasan Tanah Abang Blok A yang digeledah dan dilakukan penyitaan
terhadap sejumlah baju gamis dan baju muslim, buku keuangan, nota pembelian, kartu
nama dan label baju merek toko, dan tas belanja . Untuk memastikan peristiwa tersebut
dapat dilanjutkan, PPNS DJKI telah melakukan penyelidikan yang diproses sesuai hukum
acara yang berlaku. Setelah itu PPNS DJKI mengadakan gelar perkara yang menyimpulkan
peningkatan status pengaduan hak atas merek tersebut dari penyelidikan menjadi
penyidikan. Selanjutnya, PPNS DJKI akan memanggil para saksi dari terlapor dan gelar
perkara akan dilaksanakan lagi untuk memastikan apakah penyidikan ini dapat ditemukan
tersangkanya.9

9
Widya Victoria, “DJKI Tindak Dugaan Pelanggaran Merek Baju Muslim di Tanah Abang”,
https://www.ayojakarta.com/read/2020/03/19/13693/djki-tindak-dugaan-pelanggaran-merek-baju-muslim-di-tanah-
abang, diakses pada 12 April 2021
b. Analisis Kasus
Berdasarkan pasal 103 UU Merek dan Indikasi Geografis (MIG), Tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 sampai dengan Pasal 102 merupakan delik aduan.
Sehingga pengaduan yang dilakukan pemegang merek memungkinkan perbuatan pada pasal
100 s.d. 102 UU No. 20/2016 (UU MIG) dapat ditindak lanjuti. Perbuatan tindak pidana
tersebut yaitu:10

Pasal 100

1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada
keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa
sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah).

2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai
persamaan pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang
dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

3. Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), yang jenis barangnya mengakibatkan gangguan kesehatan, gangguan lingkungan
hidup, dan/atau kematian manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
Pasal 101

1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan tanda yang mempunyai persamaan
pada keseluruhan dengan Indikasi Geografis milik pihak lain untuk barang dan/atau
produk yang sama atau sejenis dengan barang dan/atau produk yang terdaftar, dipidana

10
Pasal 100-102 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan tanda yang mempunyai persamaan
pada pokoknya dengan Indikasi Geografis milik pihak lain untuk barang dan/atau
produk yang sama atau sejenis dengan barang dan/atau produk yang terdaftar, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 102

Setiap Orang yang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut
diduga mengetahui bahwa barang dan/atau jasa dan/atau produk tersebut merupakan hasil
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dan Pasal 101 dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah).

Dengan diterimanya delik aduan maka setelah dilakukan penyelidikan dan


pemeriksaan , Pelaksanaan penggeledahan oleh Direktorat Penyidikan dan Penyelesaian
Sengketa adalah sah dilakukan karena termasuk dalam wewenangnya sesuai dengan pasal 99
ayat (1) UU MIG , karena selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia,
pejabat penyidik pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum diberi wewenang khusus sebagai
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai hukum
acara pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana Merek. Penyidik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berwenang melakukan:

● pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di
bidang Merek;
● pemeriksaan terhadap Orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang Merek;
● permintaan keterangan dan barang bukti dari Orang sehubungan dengan tindak pidana
di bidang Merek;
● pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak
pidana di bidang Merek;
● penggeledahan dan pemeriksaan di tempat yang diduga terdapat barang bukti,
pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain yang berkenaan dengan tindak pidana di
bidang Merek;
● penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti
dalam perkara tindak pidana di bidang Merek;
● permintaan keterangan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang Merek;
● permintaan bantuan kepada instansi terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan,
penetapan daftar pencarian orang, dan pencegahan terhadap pelaku tindak pidana di
bidang Merek; dan
● penghentian penyidikan jika tidak terdapat cukup bukti adanya tindak pidana di bidang
Merek.
Kasus terjadi di Pasar Tanah Abang yang marak menjual barang tiruan yakni salah
satunya adalah pelanggaran merek Alharamain-Viet dimana Alharamain-Viet adalah merek
dari grosir yang menjual baju muslim terutama jubah atau gamis pria yang di import dari
Vietnam. Bersumber dari berita , dapat ditangkap bahwa tiga toko yang bersangkutan
menjual baju gamis model ‘wakanda’, dimana tidak diperinci apakah yang terjadi adalah
penggunaan merek Alharamain-Viet tanpa izin secara keseluruhan atau memiliki kesamaan
pada pokonya, atau hanya dalam menjual tiruan baju gamis model ‘wakanda’.
Penyitaan yang dilakukan yakni terhadap sejumlah baju gamis dan baju muslim,
buku keuangan, nota pembelian, kartu nama dan label baju merek toko, dan tas belanja.
Disini berarti tidak hanya baju gamis model ‘wakanda’ saja yang diduga melanggar hak
merek Alharamain-Viet, namun ada juga baju muslim lainnya yang dijadikan barang bukti.
Karena baju-baju tersebut disita dan dianggap dapat menjadi bukti, maka dapat diduga baju
tersebut adalah tiruan dari baju gamis model ‘wakanda’ milik Alharamain. Selanjutnya,
diketahui kartu nama dan label baju merek toko disita, hal ini berarti dalam label merek toko
tersebut ditemukan kejanggalan, yang dapat berupa menggunakan merek Alharamain-Viet
secara keseluruhan dengan tanpa hak, atau merek yang digunakan memiliki persamaan pada
pokoknya dengan merek Alharamain-Viet.
Kemudian timbullah pertanyaan, apakah toko tersebut merupakan produsen yang
membuat tiruan dari baju model ‘wakanda’ Alharamain-Viet atau mereka membeli produk
tiruan itu dari produsen lain sehingga mereka hanya menjual barang tiruan tersebut?
Pembuktian Hal-hal diatas akan mempengaruhi putusan akhir, yakni dalam penentuan
pasal yang menjerat si pelaku dan ancaman pidananya. Namun Dikarenakan penyidikan
masih berjalan, kita tidak bisa langsung menarik kesimpulan, sehingga kita hanya bisa
berspekulasi terlebih dahulu, yaitu dengan memaparkan kemungkinan - kemungkinan
sebagai berikut :

1. Jika Toko tersangka memproduksi barang tiruan dan menjualnya menggunakan merek
Alharamain-Viet secara keseluruhan

Disini toko menggunakan merek Alharamain-Viet secara keseluruhan dalam menjual


barang tiruan yang ia produksi, dalam hal ini barang tiruan dari baju gamis model
‘wakanda’ milik Alharamain-Viet. Hal ini dapat dibuktikan dengan baju yang disita dan
kartu nama serta label merek toko, dilihat dari baju yang diproduksi dapat dibuktikan itu
merupakan produk tiruan dari kualitasnya dan dilihat dari merek toko dapat dibuktikan
adanya penggunaan merek Alharamain secara keseluruhan tanpa hak. Sehingga ia dapat
dijerat pasal 100 ayat (1) UU MIG dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

2. Jika Toko tersangka memproduksi barang tiruan dan menjualnya menggunakan merek
yang memiliki persamaan pada pokonya dengan Alharamain-Viet

Disini berarti Toko membuat barang tiruan dari baju gamis ‘wakanda’ Alharamain-Viet
yang kemudian ia jual dengan menggunakan merek yang memiliki persamaan pada
pokoknya dengan merek Alharamain-Viet. Dalam hal ini dapat dibuktikan dengan baju
yang disita ,kartu nama dan label merek toko yang disita, dilihat dari baju yang
diproduksi dapat dibuktikan itu merupakan barang tiruan dan dilihat dari merek toko
tersebut dapat ditarik kesimpulan apakah merek tersebut memiliki persamaan pada
pokoknya atau tidak. Jadi mereknya tidak sama persis, namun tetap melanggar peraturan
perundangan sehingga ia dijerat pasal 100 ayat (2) UU MIG diancam pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).

3. Jika Toko tersangka hanya menjual barang tiruan yang menggunakan merek Alharamain-
Viet atau merek yang memiliki kesamaan dengan Alharamain-Viet

Disini berarti Toko tidak memproduksi barang tiruan tersebut, melainkan membelinya
dari produsen lain. Produk tiruan ini adalah yang dihasilkan pada poin pertama dan
kedua, sehingga mereknya merupakan satu kesatuan dengan produk ini. Ibaratnya toko di
poin ketiga ini membeli barang dari toko poin pertama dan poin kedua kemudian
menjualnya. Artinya pemilik toko hanya membeli baju tiruan ‘wakanda’ ini kemudian
menjualnya kembali. Dalam hal ini dapat dibuktikan dengan nota pembelian, karena
seharusnya dari harga produk yang dibeli , pemilik toko dapat menduga bahwa barang
yang ia beli tidaklah asli. Sehingga disini ia dapat dijerat pasal 102 UU MIG yang
diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Kesimpulan

Pelanggaran atas hak merek merupakan delik aduan, sehingga Alharamain-Viet sebagai
korban (pemegang hak atas merek) yang telah mengadu, mendapatkan perlindungan hukum dari
negara. PPNS DJKI melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap pengaduan , kemudian
dalam gelar perkaranya, PPNS memutuskan penyelidikan dapat ditingkatkan statusnya menjadi
penyidikan, yang berarti memungkinkan PPNS untuk mengumpulkan barang bukti. Untuk itu,
dilakukan razia di Pasar Tanah Abang dan diduga bahwa pelanggaran atas hak merek
Alharamain-Viet dilakukan oleh tiga toko di kawasan Tanah Abang Blok A , yang kemudian
digeledah dan disita barang buktinya sesuai prosedur. Untuk menentukan siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindak pidana pelanggaran merek tersebut, maka akan dilakukan
gelar perkara kembali yang menghadirkan saksi dan pelapor. Dikarenakan kasus belum ada
penyelesaiannya, maka hanya dapat di spekulasikan apa yang akan terjadi pada para pelaku
pelanggaran merek tersebut. Tergantung pembuktiannya , para pelaku dapat dijerat pasal 100
ayat (1) , 100 ayat (2) atau pasal 102 UU MIG. Jika pelaku terbukti memproduksi barang tiruan
dan menjualnya menggunakan merek Alharamain-Viet secara keseluruhan, ia akan dijerat pasal
100 ayat (1) UU MIG, Jika pelaku terbukti memproduksi barang tiruan dan menjualnya
menggunakan merek yang memiliki persamaan pada pokonya dengan Alharamain-Viet , ia akan
dijerat pasal 100 ayat (2) UU MIG, sedangkan jika pelaku terbukti hanya menjual barang tiruan
yang menggunakan merek Alharamain-Viet atau merek yang memiliki kesamaan dengan
Alharamain-Viet, ia akan dijerat pasal 102 UU MIG.

Saran

Seharusnya tiap pelaku usaha menaatai peraturan perundangan tentang merek sehingga
dapat menghindari risiko ancaman pidana dan persaingan usaha yang tidak sehat, dimana
penggunaan merek terdaftar lain secara tanpa hak merugikan pemegang hak atas merek yang
asli. Oleh karena pelanggaran hak atas merek ialah delik aduan, maka pemegang hak atas merek
juga jangan ragu-ragu untuk mengadukan hal ini jika memang telah merugikan usahanya. Selain
itu, sebagai masyarakat umum juga hendaknya cermat dalam membeli produk, upayakan hanya
membeli produk yang asli dari produsen pemegang hak atas merek, dan menghindari barang
tiruan meskipun harganya jauh lebih murah.

4. Perlindungan hukum terhadap sebuah Merek Dagang di Indonesia masih berlaku secara
teritorial dan belum terlindungi secara internasional apabila belum didaftarkan sesuai
prosedur Madrid Protocol. Namun, Merek Dagang tersebut harus terdaftar di setiap negara
yang bersangkutan. Dengan melaksanakan pendaftaran Merek Dagang secara internasional,
dapat diartikan bahwa Merek Dagang telah berhasil memperoleh perlindungan Merek
Dagang secara internasional melalui satu kali permohonan saja.
a. Saudara diminta menjelaskan perbedaan permohonan pendaftaran merek baru menurut
dirjen Kekayaan Intelektual dengan permohonan pendaftarann merek internasional
(Madrid protocol)
b. Apakah hambatan dan cara mengatasi permasalahan yang terdapat dalam
pelaksanaan pendaftaran Merek Dagang Indonesia berdasarkan prosedur Madrid
Protocol? (dijawab oleh Ristyan Molya W. 11000119130528 dan Thalita Sabrina
Hapsari 11000119140348)

JAWABAN
a) Pada pendaftaran merek baru menurut DJKI, pemohon permohonan pendaftaran merek
melakukan registrasi di website yang diarahkan oleh DJKI dan melakukan pembayaran.
Setelah itu, isi formulir yang tersedia dan unggah data dukung yang dibutuhkan antara
lain label merek, tanda tangan pemohon, dan surat keterangan UMK (jika pemohon
merupakan usaha mikro atau usaha kecil). Selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan
formalitas, pengumuman, pemeriksaan substantif oleh DJKI yang kemudian jika disetujui
barulah merek didaftarkan ke pengadilan dan diberikan sertifikat.
Pada pendaftaran merek Internasional (Madrid Protocol), pengajuan Permohonan
Internasional hanya dapat dilakukan jika Pemohon telah memiliki Permohonan atau
Pendaftaran (secara nasional) di DJKI sebelumnya. Kemudian, pemohon adalah warga
negara Indonesia, atau pemohon yang memiliki dosmisili/tempat kedudukan di Indonesia,
lalu pemohon juga memiliki kegiatan usaha industri/komersial yang nyata di Indonesia.
Setelah syarat itu terpenuhi, selanjutnya pemohon mengisi formulir MM2 dalam bahasa
Inggris. DJKI akan melakukan validasi dan sertfikasi permohonan pendaftaran merek
internasional serta mengirimkannya ke WIPO. Yang membedakan dengan Pendaftaran
Merek Baru menurut DJKI di sini ialah yang melakukan pemeriksaan formalitas,
mencatatkan dan mengumumkan permohonan pendaftaran internasional dalam daftar
registrasi, menerbitkan sertifikat pendaftaran adalah Biro Internasional yang dikelola oleh
World Intellectual Property Organization (WIPO). WIPO kemudian akan mengirimkan
permohonan tersebut ke kantor merek negara tujuan yang tergabung dalam keanggotaan
WIPO melalui Biro Internasional. Ruang lingkup pelindungan permohonan pendaftaran
merek internasional akan ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan substantif sesuai
dengan UU nasional negara tujuan dalam jangka waktu paling lama 12/18 bulan.

Selain biaya administrasi yang perlu dibayarkan kepada DJKI, pemohon merek
internasional akan dikenakan biaya yang harus dibayarkan secara langsung kepada Biro
Internasional, berupa basic fee senilai 653 Swiss Franc (CHF), dan biaya Individual fee
yang mana nominal biaya tersebut tergantung negara tujuan.

b) Hambatan yang terdapat di dalam pelaksanaan pendaftaran Merek Dagang Indonesia


berdasarkan prosedur Madrid Protocol yaitu11: 
11
Hidayati, Nur dan Naomi Yuli Ester S., “URGENSI PERLINDUNGAN MEREK MELALUI PROTOKOL
MADRID (TRADEMARK PROTECTION URGENCY THROUGH THE MADRID PROTOCOL)”, Jurnal Legislasi
1) Hambatan dalam hal bahasa. Pada  Protokol Madrid memerlukan pengajuan dalam
bahasa yang ditentukan, minimal menggunakan bahasa Inggris. Hal ini merupakan
hambatan bagi masyarakat Indonesia yang ingin mendaftarkan merek dagangnya
berdasarkan prosedur Madrid Protocol tetapi tidak bisa menggunakan bahasa
Inggris. 
2) Terdapat kesulitan dalam melakukan penelusuran merek di negara tujuan dan susah
untuk mendapatkan informasi mengenai standar dan sistem merek di negara tujuan,
karena pemohon tidak berhubungan langsung dengan konsultan merek lokal.
3) Adanya ketergantungan terhadap basic registration selama periode 5 (lima) tahun
yang terkadang membuat pemilik merek kesulitan karena jika pendaftaran di negara
asal dibatalkan maka dapat menggugurkan pendaftaran di negara-negara tujuan
lainnya. Sedangkan transformasi ke permohonan nasional hanya tersedia dalam
jangka waktu 3 (tiga) bulan dari tanggal pembatalan (cancelation) dari pendaftaran
internasional.
4) Belum disahkannya Protokol Perjanjian Madrid mengenai Pendaftaran Merek
secara Internasional 1989 (Protocol Relating to The Madrid Agreement Concerning
the International Registration of Mark, 1989) menjadi Peraturan Presiden.
Cara mengatasi permasalahan yang terdapat dalam pelaksanaan pendaftaran Merek
Dagang Indonesia berdasarkan prosedur Madrid Protocol yaitu:
1) Terkait permasalahan dalam hal bahasa yang mana minimal menggunakan bahasa
Inggris, dapat diatasi dengan pihak DJKI dan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual
memberikan layanan konsultasi untuk menerjemahkan proposal pengajuan Protokol
Madrid sesuai negara tujuan. Dengan layanan konsultasi resmi ini, merek lokal
dapat terdaftar dan dilindungi terutama di negara-negara tujuan dimana merek
didaftarkan.
2) Di dalam permasalahan kesulitan melakukan penelusuran merek di negara tujuan
dan susah untuk mendapatkan informasi mengenai standar dan sistem merek di
negara tujuan, dapat diatasi dengan bantuan pemerintah yang menyediakan layanan
teknis berupa penelusuran merek secara internasional dimana dapat membantu

Indonesia, Vol.14 No. 2, 2017, Halaman 183.


produsen-produsen lokal dalam kesulitan penelusuran merek dan terhindar dari
central attack.
3) Cara mengatasi ketergantungan dan belum disahkannya Protokol Perjanjian Madrid
mengenai Pendaftaran Merek secara Internasional 1989 menjadi Peraturan Presiden
yaitu pemerintah Indonesia bisa segera menetapkan Rancangan Peraturan Presiden
tentang Pengesahan Protokol Perjanjian Madrid mengenai Pendaftaran Merek
secara Internasional 1989 (Protocol Relating to The Madrid Agreement Concerning
the International Registration of Mark, 1989) yang nantinya menjadi Peraturan
Presiden.

Selain itu, terdapat hambatan lain yang dialami oleh UMKM terkait Permohonan
Pendaftaran Merek Dagang Indonesia setelah pemerintah menerbitkqn Peraturan Presiden
No. 92 Tahun 2017 Tentang Pengesahan Protokol Madrid, yakni 12:

1) Hambatan Sosiologis
a) Masih terlihat kurangnya minat dalam pendaftaran merek dengan Protokol
Madrid di kalangan UMKM.
b) Kurangnya Sosialisasi Pelaksanaan pendaftaran merek melalui Protokol Madrid
di kalangan UMKM karena pelaku UMKM tidak tergabung dalam anggota
komunitas UMKM.
2) Hambatan Yuridis
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Protokol Madrid dengan Peraturan Presiden
No. 92 Tahun 2017 sebagai bentuk menjalankan amanat Pasal 52 ayat (4) Undang-
Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU Merek) dan
juga terdapat PP No. 22 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Merek Internasional
Berdasarkan Protokol Terkait dengan Persetujuan Madrid dengan Persetujuan
Madrid Mengenai Pendaftaran Merek Secara Internasional. Namun, terdapat syarat
pokok agar merek dapat diajukan pendaftaran merek secara internasional melalui
Protokol Madrid, dimana harus adanya merek nasional sebagai merek dasar yang
telah didaftarkan di negara asal. Dan di dalam Pasal 3 Protokol Madrid mengatur
12
Mahardika, Yohanes Adi P dan Irna Nurhayati, “ANALISIS PERMOHONAN PENDAFTARAN MEREK SECARA
INTERNASIONAL BAGI UMKM SETELAH DITERBITKAN PERATURAN PRESIDEN NO. 92 TAHUN 2017
TENTANG RATIFIKASI PROTOKOL MADRID” Jurnal of Intellectual Property, Vo. 2 No. 2, 2019, Halaman 4-7.
pemohon pendaftaran merek secara internasional menggunakan Protokol Madrid
untuk mencantumkan kelas barang dan jasa yang akan didaftarkan sesuai dengan
klasifikasi Nice Agreement dimana peraturan ini membuat susah UMKM. Selain
itu, ada rasa kurang percaya UMKM terhadap perlindungan hukum yang diberikan
setelah merek didaftarkan.
3) Hambatan Teknis
UMKM merasa waktu untuk mengurus pendaftaran merek Internasional hingga
mendapatkan sertifikat hak merek memakan waktu yang snagat lama.
4) Hambatan Ekonomis
UMKM memiliki kekhawatiran terhadap biaya pendaftaran, dimana pendaftaran
merek internasional membutuhkan merek dasar yang telah didaftarkan atau sedang
didaftarkan di Negara asal pendaftaran merek. Biaya tersebut terdiri dari : biaya
dasar; biaya tambahan untuk masing-masing Pihak yang ditunjuk; dan biaya
tambahan untuk setiap kelas barang dan jasa. Terdapat 2 (dua) jenis biaya yang
harus dikeluarkan untuk mendaftarkan merek secara internasional dengan Protokol
Madrid, yaitu basic fee dan individual fee. Biaya pendaftaran merek dagang
internasional ini menggunakan mata uang franc Swiss (Chf). Besaran biaya dasar
yaitu 653 franc Swiss (sekitar Rp. 9.239.000,00) atau 903 franc Swiss (sekitar Rp.
13.160.300,00) untuk tanda berwarna, ditambah biaya administrasi tergantung
dimana pelaku usaha atau pemilik merek ingin melindungi mereknya.

Untuk mengatasi hambatan yang dialami oleh UMKM, pemerintah memberikan berbagai
upaya yaitu 13:

1) Upaya Normatif
a. Untuk mengatasi hambatan permohonan pendaftaran merek secara
Internasional, Indonesia menjadi anggota Protokol Madrid dan telah
meratifikasi Protokol Madrid melalui Peraturan Presiden No. 92 Tahun 2017
tentang Pengesahan Protokol Madrid. Protokol ini memberi keuntungan atau
kemudahan, antara lain melalui satu aplikasi pendaftaran yang masuk untuk

13
Mahardika, Yohanes Adi P dan Irna Nurhayati, “ANALISIS PERMOHONAN PENDAFTARAN MEREK SECARA
INTERNASIONAL BAGI UMKM SETELAH DITERBITKAN PERATURAN PRESIDEN NO. 92 TAHUN 2017
TENTANG RATIFIKASI PROTOKOL MADRID” Jurnal of Intellectual Property, Vo. 2 No. 2, 2019, Halaman 7-11.
sejumlah negara anggota Protokol Madrid dengan hanya menggunakan
Bahasa yang telah ditentukan, serta hanya melewati satu kali pemeriksaan.
formal dan satu kali pengumuman bagi sejumlah negara, sehingga membuat
biaya pendaftaran merek internasional dapat lebih efektif dan efisien.
b. Upaya pemerintah untuk menanggulangi hambatan mengenai biaya
pendaftaran merek secara internasional adalah dengan memberi peringanan
pendaftaran merek dasar yang menjadi syarat agar merek milik UMKM dapat
didaftarkan melalui Protokol Madrid. Pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 2014 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang mengatur pendaftaran merek UMKM
lebih murah dibandingkan pendaftaran merek yang dilakukan oleh pelaku
usaha Non UMKM. Selain itu, adanya kerjasama antara Kementerian Hukum
dan Ham dengan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah serta
Badan Ekonomi Kreatif terkait pinjaman/pembiayaan dana bergulir.
c. Pemerintah membuat kebijakan di dalam lingkungan Kementerian Hukum dan
HAM tentang tim khusus yang bertugas untuk membantu pengusaha dalam
mendaftarkan merek secara internasional menggunakan Protokol Madrid. Di
dalam Pasal 16 Protokol Madrid juga mengatur Biro Internasional akan
menterjemahkan bahasa jika ada bahasa yang tidak pas dengan memanggil
pemohon.
2) Upaya Sosiologis
Pemerintah melakukan sosialisasi dan advokasi mengenai Protokol Madrid kepada
masyarakat khususnya UMKM dan juga Pemerintah memberikan pemahaman
pentingnya pendaftaran merek khususnya pendaftaran merek internasional bagi
UMKM, kemudahan pendaftaran merek internasional melalui Protokol Madrid,
serta hak merek dan perlindungan hukum bagi pemegang hak merek atas merek
yang telah didaftarkan.
3) Upaya Substantif 
Upaya dari pemerintah lainnya yaitu dengan memberi perlindungan hukum
terhadap Hak Kekayaan Intelektual bagi pelaku usaha UMKM dimana adanya hak
ekslusif yang merupakan hak yang dimiliki oleh pemegang hak merek untuk
menggunakan merek miliknya atau melarang pihak lain untuk menggunakan merek
tersebut. Perlindungan ini diberikan untuk pemilik merek terdaftar di suatu negara
anggota dengan mengajukan pendaftaran secara internasional melalui Persatuan
Internasional Biro HKI (The Uniterd International Bureaux for the Protection of
Intellectual Property/BIRPI) berdasarkan satu biaya dan tidak adanya penolakan
dari setiap kantor HKI nasional dalam waktu yang telah represif.

Anda mungkin juga menyukai