Anda di halaman 1dari 21

Nama: Dania Purnama

Kelas: 4C
NIM: 2224190099

1. Apa karakteristik dari masing-masing kurikulum pada PKBM,


Homeschooling, dan Pendidikan Inklusif?
2. Deskripsikan teknis pelaksanaan kurikulum pada PKBM, Homeschooling,
dan Pendidikan Inklusif?
3. Bagaimana penerapan mata pelajaran biologi pada PKBM, Homeschooling,
dan Pendidikan Inklusif?
Jawab:
1)
 PKBM

Karakteristik PKBM tersebut masih menurut Sihombing (2001) adalah sebagai


berikut:
1. Tempat masyarakat belajar (learning society), PKBM merupakan tempat
masyarakat memperoleh berbagai ilmu pengetahuan dan bermacam ragam
keterampilan fungsional sesuai dengan kebutuhannya, sehingga masyarakat
berdaya dalam meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya.
2. Tempat tukar belajar (learning exchange), PKBM memiliki fungsi sebagai
tempat terjadi pertukaran berbagai informasi (pengalaman), ilmu pengetahuan
dan keterampilan antar warga belajar, sehingga antara warga belajar yang satu
dengan yang lainnya bisa saling mengisi. Sehingga setiap warga belajar sangat
dimungkinkan dapat berperan sebagai sumber belajar bagi warga belajar
lainnya (masyarakat lainnya).
3. Pusat pengetahuan dan informasi atau perpustakaan masyarakat, sebagai
perpustakaan masyarakat PKBM harus mampu berfungsi sebagai bank
informasi, artinya PKBM dapat dijadikan tempat menyimpan berbagai
informasi pengetahuan dan keterampilan secara aman dan kemudian
disalurkan kepada seluruh masyarakat atau warga belajar yang membutuhkan.
Disamping itu pula PKBM dapat berfungsi sebagai pengembang pengetahuan
dan keterampilan secara inovatif, melalui penelitian, pengkajian dan
pengembangan model.
4. Sebagai sentra pertemuan berbagai lapisan masyarakat, fungsi PKBM dalam
hal ini, tidak hanya berfungsi sebagai tempat pertemuan antara pengelola
dengan sumber belajar dan warga belajar serta dengan tokoh masyarakat atau
dengan berbagai lembaga (pemerintah dan swasta/LSM, ormas), akan tetapi
PKBM berfungsi sebagai tempat berkumpulnya seluruh komponen
masyarakat dalam berbagai bidang sesuai dengan kepentingan, masalah dan
kebutuhan masyarakat serta selaras dengan azas dan prinsip learning
society atau pengembangan pendidikan dan pembelajaran (life long learning
dan life long education).
5. Pusat penelitian masyarakat (community research centre) terutama dalam
pengembangan pendidikan nonformal. Pada bagian ini PKBM berfungsi
sebagai pusat pengkajian (studi, research) bagi pengembangan model-model
pendidikan nonformal pada tingkat kecamatan dan kabupaten. Dalam hal ini
PKBM dapat dijadikan tempat oleh masyarakat, kalangan akademisi, dll
sebagai tempat menggali, mengkaji, menelaah (menganalisa) berbagai
persoalan atau permasalahan dalam bidang pendidikan dan keterampilan
masyarakat, terutama program yang berkaitan dengan program-program yang
selaras dengan azas dan tujuan PKBM.

 Homeschooling

Karakteristik homeschooling yang paling menonjol adalah pada sifatnya yang


customized education atau pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan anak.
Penghargaan terhadap keragaman anak inilah yang menjadi kekhasan sekaligus
kekuatan homeschooling.
Selain itu homeschooling juga memiliki sejumlah karakteristik yang unik lainnya,
seperti dikutip dari Muhtadi (2011) yang meliputi:
 Menekankan pada pembentukan karakter pribadi, bakat, minat, dan potensi
anak baik secara ilmiah dan spesifik sesuai usia homeschooling yang
dilaksanakan.
 Kegiatan belajarnya dilaksanakan secara mandiri dengan orangtua sebagai
penanggung jawab maupun guru pendamping yang ditunjuk orang tua.
 Orang tua berperan utama sebagai perencana, penanggung jawab, fasilitator,
motivator, hingga menjadi teman diskusi dengan melibatkan anak dari sejak
perencanaan hingga kegiatan belajarnya.
 Pendekatan yang diterapkan dalam pembelajaran sekolah di rumah bersifat
personal dan humanis dan memberikan kesempatan untuk anak agar bisa belajar
sesuai kebutuhan, minat, ataupun kemampuan anak.
 Keberadaan guru, tentor, atau tutor lebih sebagai pengajar yang diundang
sesuai kebutuhan dan minat anak.
 Jadwal kegiatan belajar anak sangat fleksibel dan bisa dilaksanakan sesuai
kebutuhan anak meskipun terencana dengan baik.

 Pendidikan Inklusi

Karakteristik dalam pendidikan inklusi tergabung dalam beberapa hal seperti


hubungan, kemampuan, pengaturan tempat duduk, materi belajar, sumber dan
evaluasi yang dijelaskan sebagai berikut:
a. Hubungan Ramah dan hangat, contoh untuk anak tuna rungu: guru selalu
berada di dekatnya dengan wajah terarah pada anak dan tersenyum. Pendamping
kelas( orang tua ) memuji anak tuna rungu dan membantu lainnya.
b. Kemampuan Guru, peserta didik dengan latar belakang dan kemampuan yang
berbeda serta orang tua sebagai pendamping.
c. Pengaturan tempat duduk Pengaturan tempat duduk yang bervariasi seperti,
duduk berkelompok di lantai membentuk lingkaran atau duduk di bangku
bersama-sama sehingga mereka dapat melihat satu sama lain.
d. Materi belajar Berbagai bahan yang bervariasi untuk semua mata pelajaran,
contoh pembelajarn matematika disampaikan melalui kegiatan yang lebih
menarik, menantang dan menyenangkan melalui bermain peran menggunakan
poster dan wayang untuk pelajaran bahasa.
e. Sumber Guru menyusun rencana harian dengan melibatkan anak, contoh
meminta anak membawa media belajar yang murah dan mudah didapat ke dalam
kelas untuk dimanfaatkan dalam pelajaran tertentu.
f. Evaluasi Penilaian, observasi, portofolio yakni karya anak dalam kurun waktu
tertentu dikumpulkan dan dinilai (Lay Kekeh Marthan, 2007:152)

2)

 Teknis PKBM:

A. Pembinaan
Pembinaan adalah proses melakukan perbaikan atas kekurangan-kekurangan
dalam merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan mengendalikan
suatu kegiatan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
1. Tujuan pembinaan:
a. Membantu penguatan kapasitas kelembagaan PKBM dalam melaksanakan
fungsinya sebagai wadah pemberdayaan masyarakat.
b. Memberikan bimbingan teknis untuk meningkatkan mutu pendidik dan
tenaga kependidikan.
c. Memberikan bimbingan teknis dalam memilih/menentukan metode dan
pendekatan pembelajaran, media/bahan ajar dan alat peraga yang tepat
untuk diterapkan pendidik
d. Memberikan bimbingan teknis dalam menentukan strategi dan teknik
evaluasi pembelajaran yang tepat untuk digunakan pendidik
e. Memberikan bimbingan teknis tentang pengelolaan administrasi PKBM
maupun administrasi pembelajaran
f. Memberikan bimbingan teknis dalam rangka pengembangan dan inovasi
kegiatan.
g. Memberikan pembinaan teknis tentang pelaksanaan kegiatan yang kreatif,
efektif dan efisien.
1. Ruang lingkup pembinaan
Ruang lingkup pembinaan PKBM meliputi unsur-unsur yang ada pada standar
minimal manajemen PKBM.
2. Pihak-pihak yang melakukan pembinaan:

a. Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat, Direktorat Jenderal


Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
b. Dinas Pendidikan Provinsi.
c. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
d. Pusat Pengembangan Pendidikan Nonformal dan informal (P2-PNFI) dan
Balai Pengembangan Pendidikan nonformal dan informal (BP-PNFI)
e. Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB) dan Sanggar Kegiatan
Belajar (SKB).
f. Penilik Pendidikan Masyarakat/penilik PNF
g. Forum Komunikasi PKBM Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat.
h. Unsur-unsur terkait lainnya yang memiliki program kerja sama dengan
PKBM

3. Bentuk pembinaan
Pembinaan PKBM dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan:
a. Pendidikan dan pelatihan bagi pendidik dan tenaga kependidikan.
b. Workshop, simposium, seminar, orientasi dan sejenisnya.
c. Bimbingan teknis baik langsung maupun tidak langsung.
d. Supervisi manajerial dan akademik
e. Advokasi dan mediasi.
B. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring adalah pengawasan atau tindakan menverifikasi kebenaran
pelaksanaan suatu kegiatan dari waktu ke waktu dan hasilnya menjadi bahan
evaluasi untuk perbaikan dan pengembangan kegiatan.
Pelaksanaan monitoring pada kegiatan pendidikan nonformal diselenggarakan,
sebagai berikut:
1. Program dan Kegiatan Monitoring
a. Monitoring dilakukan oleh:
1) Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat, Direktorat Jenderal
Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
2) Dinas Pendidikan Provinsi.
3) Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
4) Penilik Pendidikan Masyarakat
5) Instansi terkait yang ditugaskan oleh atasannya; seperti P2-PNFI, BP-
PNFI, BPKB, SKB, organisasi profesi (Forum Komunikasi PKBM)
6) Unsur lain yang memiliki program kerja sama dengan PKBM
7) Masyarakat setempat
b. Monitoring dilaksanakan secara obyektif, bertanggung jawab, terus
menerus berkelanjutan.
c. Kegiatan yang menjadi sasaran monitoring meliputi keseluruhan kegiatan
yang dilaksanakan di PKBM beserta manajemen kelembagaannya
d. Melaporkan secara tertulis hasil monitoring kepada penyelenggara dan
pihak-pihak terkait yang berkompeten sesegera mungkin
e. Hasil monitoring menjadi bahan instansi yang berwewenang untuk
melakukan pembinaan
2. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan dalam menentukan keberhasilan dan kegagalan
suatu kegiatan berdasarkan penilain dari hasil pengukuran pelaksanaan
kegiatan. Pelaksanaan evaluasi pada kegiatan pendidikan nonformal
diselenggarakan sebagai berikut:
a. Evaluasi dilakukan oleh:
1) Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat ,Direktorat Jenderal
Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
2) Dinas Pendidikan Provinsi.
3) Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
4) Penilik pendidikan masyarakat.
5) Instansi terkait yang ditugaskan oleh atasannya; seperti P2-PNFI, BP-
PNFI, BPKB, SKB, organisasi profesi (Forum Komunikasi PKBM)
6) Unsur lain yang memiliki program kerja sama dengan PKBM
7) Masyarakat setempat
b. Evaluasi dilakukan secara benar, obyektif, bertanggung jawab dan
berkelanjutan.
c. Hasil evaluasi menjadi bahan perbaikan pada kegiatan berikutnya.
d. Hasil evaluasi setelah diolah, kemudian disusun dalam bentuk laporan
secara tertulis untuk bahan pertanggungjawaban dari instansi yang
berwewenang.
3. Evaluasi Diri
a. Tenaga Kependidikan/Pengelola PKBM wajib melakukan evaluasi diri
terhadap kegiatan yang diselenggaran.
b. Membuat indikator untuk menilai kinerja setiap kegiatan.
c. Membuat indikator untuk melakukan perbaikan kegiatan.
d. Melaksanakan evaluasi proses kegiatan secara periodik.
C. Pelaporan
Pelaporan merupakan cara atau proses untuk melaporkan suatu kegiatan yang
dilaksanakan. Pelaporan dalam pelaksanaan kegiatan sangat diperlukan dengan
maksud untuk mengetahui perkembangan, tingkat keberhasilan, manfaat dan
permasalahan-permasalahan yang dihadapi mulai dari tahap persiapan sampai
akhir pelaksanaan.
Ada tiga hal yang dilaporkan dalam setiap pelaksanaan kegiatan:
a. Laporan awal, yaitu deskripsi perencanaan pelaksanaan kegiatan.

2. Laporan perkembangan kegiatan, yaitu deskripsi perkembangan kegiatan


kegiatan yang sedang dilaksanakan

3. Laporan akhir, yaitu deskripsi pelaksanaan kegiatan yang meliputi


perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.

 Teknis Homeschooling:
Persiapan Penyeleggaraan a. Persiapan Pendaftaran dan Ijin Penyelenggaraan.
Pasal 6 (1) menyatakan bahwa “Penyelenggara sekolahrumah tunggal dan
majemuk wajib mendaftar ke Dinas Pendidikan Kabupaten / Kota” dan pada ayat
(4) menyatakan bahwa “sekolahrumah komunitas wajib memperoleh izin
pendirian satuan pendidikan nonformal sebagai kelompok belajar dari Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang
undangan. b. Mempersiapkan dokumen penyelenggaraan. Sebelum menyusun
dokumen program sekolahrumah, orangtua yang akan menyelenggarakan
program pendidikan kesetaraan sebaiknya memahami Standar Kompetensi
Lulusan (SKL) dan Standar Isi yang berlaku dari masingmasing jenjang
pendidikan yang akan dilaksanakan. (c) PP-PAUD DAN DIKMAS JABAR 50
Model Penyelenggaraan Sekolahrumah Adapun dokumen-dokumen yang harus
disusun sekurangkurangnya meliputi: 1) Rencana kegiatan tahunan (Format
terlampir) 2) Silabus (Format terlampir) 3) Rencana pembelajaran (Format
terlampir) 2. Mendaftarkan ke Dinas Pendidikan Kab/Kota setempat. Persyaratan
pendaftaran dan ijin penyelenggaraan Sekolahrumah. a. Persyaratan Pendaftaran
Sekolahrumah Tunggal Penyelenggara sekolahrumah tunggal wajib mendaftar ke
dinas pendidikan kabupaten/kotadengan: 1) Mengisi formulir pendaftaran yang
memuat informasi tentang identitas sekolahrumah tunggal yang dilaksanakan
(nama penyelenggara, alamat, nomor telepon, email, serta umur dan jumlah
anak); 2) Melampirkan kartu identitas diri orangtua dan peserta didik lengkap
dengan Akta Kelahiran dan Kartu Keluarga; 3) Dalam hal orangtua tidak
memiliki kompetensi mendidik, orangtua harus melampirkan surat perjanjian
kerja sama dengan pendidik dan lembaga/satuan pendidikan lain yang sesuai
dengan program sekolahrumah; 4) Melampirkan surat pernyataan dari orangtua
yang menyatakan bertanggungjawab melaksanakan pendidikan bagi anak di
rumah; (c) PP-PAUD DAN DIKMAS JABAR 51 Model Penyelenggaraan
Sekolahrumah 5) Melampirkan surat pernyataan bersedia untuk mengikuti
pendidikan di Sekolahrumah dari peserta didik yang telah berusia 13 (tiga belas)
tahun. 6) Dalam hal peserta didik: a) merupakan peserta didik yang sebelumnya
telah terdaftar di satuan pendidikan formal atau satuan pendidikan nonformal,
perlu dilampirkan rapor atau ijazah/sertifikat dan Surat Keterangan Hasil Ujian
Nasional (SKHUN) yang telah diperoleh; b) merupakan peserta didik yang
sebelumnya telah terdaftar di satuan pendidikan formal atau satuan pendidikan
nonformal, tetapi tidak memiliki rapor/ijazah/SKHUN, perlu dilakukan tes
penempatan. 7) Melampirkan dokumen program Sekolahrumah berupa rencana
pembelajaran b. Persyaratan Pendaftaran Sekolahrumah Majemuk Penyelenggara
sekolahrumah majemuk wajib mendaftar ke dinas pendidikan
kabupaten/kotadengan: 1) Mengisi formulir pendaftaran yang disiapkan Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota yang memuat informasi Identitas sekolahrumah
majemuk yang dilaksanakan (struktur organisasi dan identitas pengurus, daftar
peserta didik sesuai dengan jenjang/tingkat dan alamat (c) PP-PAUD DAN
DIKMAS JABAR 52 Model Penyelenggaraan Sekolahrumah tetap sekretariat
sekolahrumah majemuk setidaknya untuk 3 tahun ke depan) 2) Melampirkan
kartu identitas diri orang tua dan peserta didik lengkap dengan Akta Kelahiran
dan Kartu Keluarga; 3) Melampirkan surat perjanjian kerja sama dengan pendidik
dan lembaga/satuan pendidikan lain yang sesuai dengan program sekolahrumah;
4) Melampirkan surat pernyataan dari paling sedikit 2 (dua) keluarga dan paling
banyak 10 (sepuluh) keluarga yang masing-masing keluarga menyatakan bahwa
sebagai orangtua bertanggungjawab untuk melaksanakan Sekolahrumah majemuk
secara sadar dan terencana; 5) Melampirkan surat pernyataan bersedia mengikuti
pendidikan di Sekolahrumah dari peserta didik yang telah berusia 13 (tiga belas)
tahun; 6) Dalam hal peserta didik: a) merupakan peserta didik yang sebelumnya
telah terdaftar di satuan pendidikan formal atau satuan pendidikan nonformal,
perlu dilampirkan rapor atau ijazah/sertifikat dan Surat Keterangan Hasil Ujian
Nasional (SKHUN) yang telah diperoleh; b) merupakan peserta didik yang
sebelumnya telah terdaftar di satuan pendidikan formal atau satuan pendidikan
nonformal, tetapi tidak memiliki rapor (c) PP-PAUD DAN DIKMAS JABAR 53
Model Penyelenggaraan Sekolahrumah atau ijazah/sertifikat dan Surat
Keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHUN), perlu dilakukan tes penempatan; 7)
Melampirkan dokumen program Sekolahrumah berupaRencana kegiatan tahunan
c. Prosedur pendaftaran penyelenggaraan Sekolahrumah adalah sebagai berikut:
1) Prosedur pendaftaran Sekolahrumah tunggal dan majemuk adalah sebagai
berikut: 2) Mengisi formulir pendaftaran yang telah disediakan oleh Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota; 3) Menyerahkan formulir pendaftaran yang telah
diisi dengan melampirkan dokumen persyaratan yang diminta. Berkas pendaftaran
diserahkan secara langsung atau sesuai dengan sistem layanan dan sarana yang
tersedia pada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota; 4) Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota mengeluarkan tanda bukti penerimaan berkas pendaftaran; 5)
Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota melakukan verifikasi berkas pendaftaran
sekolahrumah. 6) Apabila kelengkapan persyaratan telah dipenuhi, Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota menerbitkan surat keterangan terdaftar selambat-
lambatnya 14 hari kerja setelah verifikasi berkas. 7) Apabila berkas dinyatakan
tidak lengkap, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota wajib memberi tahu (c) PP-
PAUD DAN DIKMAS JABAR 54 Model Penyelenggaraan Sekolahrumah
kekurangan dokumen yang harus dilengkapi selambatlambatnya 14 hari kerja
setelah verifikasi.

 Teknis pada pendidikan inklusif antara lain :


1. Penuhi prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan inklusi, seperti:
a. Prinsip pemerataan dan peningkatan mutu : metodologi pembelajaran
bervariasi yang bisa memberikan akses bagi semua anak dan
mengahargai perbedaan.
b. Prinsip kebutuhan individual : setiap anak memiliki kemampuan dan
kebutuhan yang berbeda-beda karena iru pendidikan harus diusahakan
unutk menyesuaikan dengan kondisi anak.
c. Prinsip Kebermaknaan : pendidikan inklusi harus menerapkan dan
menjaga komunitas kelas yang ramah, menerima keanekaragaman
dan menghargai perbedaan.
d. Prinsip Keberlanjuatan : pendidikan inklusi dieslenggarakan secara
berkelanjutan pada semua jenjang pendidikan.
e. Prinsip keterlibatan : penyelenggaraan pendidikan inklusi harus
melibatkan semua komponen pendidikan terkait.

2. Kurikulum dikembangkan menjadi beberapa model kurikulum,


seperti :
a. Duplikasi : mengembangkan atau memberlakukan kurikulum
untuk siswa berkebutuhan khusus secara sama atau serupa
dengan kurikulum yng digunakan siswa pada umumnya.
b. Modifikasi : cara pengembangan kurikulum dengan
memodifikasi kurikulum umum yang diberlakukan untuk
siswa-siswa reguler dirubah untuk disesuaikan dengan
kemampuan siswa berkebutuhan khusus.
c. Subsitusi : mengganti sesuatu yang ada dalam kurikulum
umum dengan sesuatu yang lain, karena hal tersebut tidak
mungkin diberikan kepada siswa berkebutuhan khusus
d. Omisi : upaya untuk menghilangkan sesuatu (sebagian atau
keseluruhan) dari kurikulum umum karena hal tersebut tidak
mungkin diberikan kepada siswa berkebutuhan khusus.

 Pilih model pembelajaran inklusi, yaitu :


a. Kelas reguler : anak berhambatan belajar bersama anak reguler sepanjang hari
dengan menggunakan kurikulum yang sama.
b. Bentuk kelas reguler dengan cluster : anak berhambatan belajar bersama anak lain
dalam kelas reguler dalam kelompok khusus.
c. Bentuk kelas reguler dengan pull out : anak berhambatan belajar bersama anak
lain di kelas reguler, namun dalam waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke
ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
d. Bentuk kelas reguler dengan cluster dan pull out : anak berhambatan belajar
bersama anak lain di kelas reguler dalam kelompok khusus, namun dalam waktu
tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru
pembimbing khusus.
e. Bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian : anak berhambatan belajar
di kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat
belajar bersama anak lain di kelas reguler.
f. Bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler : anak berhambatan belajar di kelas
khusus pada sekolah reguler (Anggraini, R.L, 2014)

3)
 PKBM
Penerapan mata pelajaran biologi pada pkbm mulai berkembang salah satu jurnal
tentang Aplikasi Pembelajaran Biologi Berbasis Android Pada Siswa Kejar Paket C.
penerapaan mata pelajaran biologi sebagai berikut:
Pada perancangan sistem perangkat lunak, penelitian ini menggunakan Rapid
application development (RAD) atau rapid prototyping adalah model proses
pembangunan perangkat lunak yang tergolong dalam teknik incremental
(bertingkat) melalui penekanan pada siklus pembangunan yang pendek, singkat,
dan cepat. Pelibatan pengguna dalam merancang dan membangun sistem secara
berulang-ulang hingga mencapai kesepakatan bersama. RAD memiliki tiga fase
dalam pengembangan menurut Kendall (2008) yaitu : 1) Requirement Planning
Merupakan tahap untuk mengetahui apa saja yang menjadi kebutuhan sistem
dalam hal ini adalah aplikasi pembelajaran biologi untuk siswa kejar Paket C
berbasis android. Dengan kegiatan mengidentifikasi kebutuhan informasi dan
masalah yang dihadapi untuk menentukan tujuan, batasanbatasan sistem, kendala
dan juga alternatif pemecahan masalah. Kemudian dilakukan analisis kebutuhan
yang digunakan untuk mengetahui perilaku sistem dan juga untuk mengetahui
aktivitas apa saja yang sebaiknya ada dalam sistem tersebut.

2) Desain Proses Sistem Tahap ini peneliti menyusun desain proses dari sistem
yang akan dibangun. Diawali dengan membuat alur sistem aplikasi pembelajaran
Biologi pada siswa kejar paket C berbasis Android. Pengguna sistem ini adalah
guru (tutor) dan siswa.

3) Implementation Setelah Design Workshop dilakukan, selanjutnya sistem


diimplementasikan (coding) ke dalam bentuk yang dimengerti oleh mesin yang
diwujudkan dalam bentuk program atau unit program. Tahap implementasi sistem
merupakan tahap meletakkan sistem supaya siap untuk diujicobakan,
didokumentasikan serta dioperasionalkan. Diperlukan kesiapan perangkat keras
dan sasaran pengguna dari aplikasi tersebut. Sedangkan sasaran pengguna dari
aplikasi ini adalah peserta didik dan guru/ tutor yang berada di Pusat Kegiatan
Belajar Masyarakat (PKBM).
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut :
1) Aplikasi pembelajaran Biologi berbasis Android bagi siswa Paket C dapat
membantu siswa dalam mencapai kompetensi mata pelajaran Biologi. 2) Siswa
Paket C tertarik pada aplikasi tersebut karena mereka dapat belajar kapan dan
dimana saja. 3) Aplikasi ini berisi bahan belajar bagi siswa Paket C dan soal-soal
latihan untuk latihan mencapai kompetensi mata pelajaran Biologi.

 Homeschooling
Penerapaan mata pelajaran Biologi pada homeschool dapat dilihat padamateri
eksresi yang berada di jurnal Utami (2019) Kendala pada materi ekskresi dari
adalah banyaknya berbagai istilah ilmiah yang digunakan serta materi yang
diberikan haruslah runut sesuai dengan proses terjadinya. Umumnya siswa proses
pembelajaran di homeschooling memiliki alokasi waktu tatap muka yang lebih
pendek dari pada sekolah pada umumnya. Sehingga perlu mengefisienkan alokasi
waktu. Berdasarkan hasil penelitian Rahmayani et al. (2017) kesulitan siswa
dalam mempelajari materi sistem ekskresi terkait dengan perhatian siswa,
motivasi standar pembelajaran dan suasana sekolah. Subali (2013) merumuskan
tujuan pembelajaran adalah membangun kemampuan berpikir kritis dan kreatif
pada siswa. Untuk mewujudkan hal tersebut maka perbaikan pembelajaran perlu
dilakukan menghasilkan output yang lebih baik. Terlebih tahapan dasar dalam
kemampuan kritis adalah kemampuan menganalisis. Kemampuan menganalisis
mengacu pada ranah kognitif yang dikembangkan Anderson & Krathwol (2001)
dapat dibedakan berdasarkan kemampuan kategori proses sebagai berikut: 1)
membedakan antara bagian yang relevan dan bilangan yang tidak relevan dalam
soal cerita. 2) Menyusun bukti dalam sejarah menjadi bukti yang mendukung dan
menentang suatu penjelasan. 3) menunjukan sudut pandang, bias, nilai yang
materi yang disajikan. Berdasarkan indicator maka proses pembelajaran haruslah
menanamkan pada aspek mengetahui, memahami dan menghubungkan dengan
masalah (Riefani and Utami, 2017). Selain meningkatkan kemampuan akademik,
siswa juga perlu meningkatkan komunikasi antar siswa yang terkait dengan
pembelajaran. Adapun komunikasi verbal yang terkait dengan pembelajaran dapat
dilakukan terkait berdiskusi, mempresentasikan hasil diskusi, menjawab
pertanyaan dan menuliskan pembelajaran dengan hasil akhir diskusi (Utami,
2019). Salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan
menganalisis dengan menerapkan pembelajaran kooperatif tipe CIRC. Sanjaya
(2006) menegaskan bahwa pada pembelajaran kooperatif siswa menemukan
informasi dari berbagai sumber, dan belajar dari siswa yang lain. Arends (2008)
mengungkapkan bahwa cooperative learning dikembangkan untuk tujuan penting
yakni prestasi, akademis, toleransi, penerimaan terhadap keanekaragaman dan
pengembangan keterampilan social, Maka pembelajaran kooperatif menemukan
informasi dari berbagai sumber dengan tujuan penting berupa peningkatan
prestasi, akademis, toleransi, penerimaan terhadap keanekaragaman dan
pengembangan keterampilan social Menurut Slavin (2008) Model Cooperative
Integrated Reading and Composition (CIRC) membantu mengembangkan dua
macam keterampilan yaitu keterampilan membaca dan keterampilan menulis.
CIRC merupakan sebuah program yang komprehensip untuk mengajarkan
membaca dan menulis pada kelas sekolah dasar pada tingkat yang lebih tinggi dan
juga sekolah menengah (Slavin, 2008). Hasil penelitian bahwa penerapan CIRC
pada pembelajaran Biologi menunjukkan bahwa terjadi peningkatan hasil belajar
kognitif siswa SMA (Hayati, 2018). Penelitian lain juga mengungkapkan bahwa
CIRC lebih efektif dari pada ceramah untuk mengajarkan materi menulis
(Parmawati, 2015) Ristanto et al. (2017) mengungkapkan CIRC menekankan
pada aktivitas membaca dan menulis, sehingga dalam penelitian sangat
mendukung kemampuan berkomunikasi. Indikator kemampuan berkomunikasi
verbal yang disesuaikan dengan kegiatan pembelajaran diantaranya: (1)
Menguasai materi yang akan dijadikan bahan presentasi. 2) Menyampaikan hasil
LKPD secara sistematis dan jelas, (3) Bertanya kepada guru atau siswa lain. (4)
Mampu menjawab pertanyaan guru atau siswa lain.

 Pendidikan inklusif
Penerapan pelajaran Biologi bagi pendidikan inklusif Ada beberapa kendala dan
tantangan yang terjadi selama proses pembelajaran (kimia), yang terungkap
melalui wawancara dengan responden, yaitu: 1. Metode pembelajaran hendaknya
tidak satu untuk semua (single method for all) Responden mengaku metode
pembelajaran yang digunakan guru terpaku pada satu metode, yang didominasi
oleh metode ceramah. Bagi siswa tuna netra, hal ini tidak terlalu menjadi masalah,
hanya ketika dijelaskan mengenai konsep-konsep abstrak yang butuh visualisasi,
siswa tuna netra merasa kesulitan. Namun kendala ini diatasi dengan guru
memberikan penjelasan tambahan kepada siswa. Lain halnya dengan siswa Tuli,
dimana dia belajar memahami kata dan bahasa yang disampaikan guru melalui
gerak bibirnya, yang kadang-kadang juga membingungkan. Jika ia merasa
bingung, ia akan bertanya kepada teman sebangkunya, yang kebetulan dapat
menggunakan bahasa isyarat. Kedua responden ini mengaku jika metode
pembelajaran yang digunakan oleh guru lebih variatif, misalnya dengan metode
diskusi, maka siswa akan memiliki kesempatan yang lebih besar dalam
berpartisipasi dalam proses pembelajaran. Seperti yang diungkapkan oleh Benton-
Borghi (2013, p. 249) dan Spencer (2011, p. 10), di dalam kelas, terdapat siswa
dengan beragam kebutuhan dan kemampuan. Oleh karena itu, guru hendaknya
tidak menerapkan satu metode pembelajaran untuk keseluruhan anak, melainkan
melakukan pemilahan terhadap metode yang akan dipakai karena tidak ada satu
metode pembelajaran yang cocok untuk setiap anak (Meyer, Rose, & Gordon,
2014, p. 2). 2. Media pembelajaran diharapkan lebih bervariasi Terkait dengan
media pembelajaran, bagi siswa Tuli dan tuna netra ketersediaan media
pembelajaran yang aksesibel sangatlah penting. Saat ini sekolah sudah
menyediakan berbagai macam bahan ajar dalam format Braille dan e-book,
meskipun jumlahnya masih sangat terbatas. Bahan ajar dalam format audio juga
belum tersedia. Untuk siswa Tuli, bahan ajar cetak yang selama ini sudah tersedia
akan lebih baik jika dilengkapi dengan glosarium atau penjelasan daftar istilah
penting dan spesifik (misalnya dalam bidang kimia, fisika, biologi, ekonomi,
sejarah) agar konteks dan makna yang dimaksud dalam bahan ajar tersebut dapat
dipahami secara utuh oleh siswa Tuli. Ketika sistem pendidikan inklusi
diterapkan, sudah menjadi komitmen sekolah untuk salah satunya menyediakan
bahan ajar dan media pembelajaran yang adaptif. Beberapa akademisi
merekomendasikan digunakannya assistive technology untuk mengatasi masalah
aksesibilitas bahan ajar ini (Rose, Harbour, Johnston, Daley, & Abarbanell, 2006,
p. 1; Rose & Strangman, 2007, p. 387). Terkait dengan bahan ajar, dua responden
juga menyatakan masih mengalami kesulitan dalam mengakses bahan ajar
tersebut. Mereka berharap sekolah terus memperbaiki sistem, termasuk
menyediakan bahan ajar baik bahan ajar utama dan penunjang yang aksesibel
untuk siswa difabel. 3. Perangkat pembelajaran dibuat sama untuk seluruh siswa
tanpa mempertimbangkan ada tidaknya siswa berkebutuhan khusus Sekali lagi,
komitmen untuk menyiapkan dan mengimplementasikan konsep pendidikan
inklusif memang tidak mudah. Guru dituntut untuk dapat menyiapkan perangkat
pembelajaran yang juga “inklusif” sebelum proses pembelajaran berlangsung.
Perangkat pembelajaran (program tahunan, program semester, silabus, RPP) yang
inklusif yang dimaksud adalah yang diadaptasi sesuai dengan kebutuhan seluruh
siswa tanpa terkecuali siswa difabel. Misalnya dengan mengadaptasi RPP menjadi
Rencana Pembelajaran Khusus (RPK). RPK ini dapat digunakan sebagai acuan
guru untuk siswa difabel dalam proses pembelajaran. RPK ini juga akan
menuntun guru memberikan cara belajar yang sesuai dengan kekuatan dan
kelemahan yang dimiliki oleh siswa difabel. Hasil analisis terhadap dokumen
menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran yang disiapkan oleh guru adalah
perangkat pembelajaran reguler, dimana belum dilakukan modifikasi. Hal ini
tentunya mempengaruhi jalannya proses pembelajaran di kelas, karena perangkat
pembelajaran dapat dikatakan sebagai dokumen (guidance) utama seorang guru
dalam mengelola kelas. Idealnya, ada modifikasi yang dilakukan terhadap
dokumen-dokumen ini (kurikulum, program tahunan, program semester, silabus,
RPP), atau guru dapat menyiapkan Individualized Education Program (IEP)
sebagai dokumen utama bagi proses pembelajaran untuk siswa difabel
(Suprihatiningrum, Mahfudzoh, & Azizah, 2016). Sayangnya, sekolah ini juga
belum menyediakan IEP. 4. Guru Pendamping Kelas (GPK) tidak cukup jika
hanya satu untuk melayani seluruh siswa difabel Terkait dengan support system,
misalnya GPK, dua responden mengaku jumlah GPK yang disediakan oleh
sekolah dirasa masih kurang dan tidak semua GPK memiliki latar belakang
pendidikan seperti apa yang diajarkannya. Jadi peran GPK dalam hal ini lebih
kepada menyampaikan informasi/pengetahuan yang tidak dimengerti oleh siswa
difabel di dalam kelas, bukan lebih pada konteks memahamkan materi. Misalnya
GPK membacakan materi untuk siswa netra atau menjawab pertanyaan siswa Tuli
terkait dengan materi pelajaran menggunakan bahasa isyarat. Adapun kendala dan
tantangan praktik pendidikan inklusif menurut persepsi siswa adalah: 1. Guru dan
kepala sekolah hendaknya memperhatikan kemampuan dan kebutuhan siswa
difabel Meskipun sudah melabeli diri dengan sekolah inklusif, mewujudkan
budaya dan sistem pendidikan inklusif memang tidak mudah dan membutuhkan
waktu (Forlin, Chambers, Loreman, Deppeler, & Sharma, 2013, p. 7), salah
satunya adalah dengan melakukan diagnosa sebelum siswa difabel masuk kelas
dan berupaya untuk memenuhi kebutuhannya. Dua responden mengaku belum
mendapatkan pelayanan secara maksimal. Meskipun demikian, perlu disadari
bersama bahwa telah ada upaya yang dilakukan oleh kepala sekolah dan guru
terkait dengan hal ini. Beberapa penulis menyarankan agar guru terus dilatih
melalui training agar kepekaannya dalam mengelola kelas inklusif semakin
terasah (Huckabee, 2014; Robbins, 2014; Sukovskyy, 2014). 2. Sarana dan
prasarana perlu ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya Dari aspek prasarana,
sekolah inklusif ini termasuk sudah cukup layak dari sisi ketersediaan bangunan
umum seperti gedung sekolah dan laboratorium. Hanya saja, dari aspek sarana,
dua responden mengaku perlu adanya peningkatan baik dari segi kuantitas
maupun kualitasnya. Senada dengan hasil observasi bangunan fisik dan
kelengkapannya, memang sudah memadahi untuk dikatakan sebagai sekolah
inklusif karena sudah menyediakan ramp bagi pengguna kursi roda dan tongkat
putih, toilet yang aksesibel, dan parkir yang aksesibel. Namun jika dilihat dari
kelengkapan sarana pembelajaran, misalnya laboratorium IPA (fisika, kimia atau
biologi) belum dapat dikatakan aksesibel. Untuk mencapai hal ini, sekolah dapat
saja mengupayakan pengubahan letak meja praktikum agar lebih terjangkau untuk
pengguna kursi roda seperti yang disarankan oleh Miner, Nieman, Swanson, and
Woods (2001, pp. 63, 77) atau penggunaan laboratorium virtual bagi yang tidak
melaksanakan praktikum secara langsung seperti yang diungkapkan oleh Moon,
Todd, Morton, dan Ivey (2012, p. 169). 3. Dukungan sistem perlu diperkuat
Dukungan sistem yang dimaksud di sini adalah ketersediaan informasi mengenai
pendidikan inklusif sebagai upaya penyadaran terhadap warga sekolah, pelatihan
untuk guru dan pelatihan keterampilan kerja untuk staf, fasilitasi sekolah terhadap
peran orang tua dalam mendukung suksesnya pendidikan inklusif, tersedianya
psikolog dan profesional lain di bidang inklusi, serta monitoring secara berkala
terhadap jalannya proses pendidikan inklusi. Kedua responden mengaku sekolah
belum menyediakan komponen-komponen yang berkaitan dengan sistem tersebut.
Misalnya, belum tersedianya informasi mengenai pendidikan inklusif dan
maknanya yang dapat dibaca oleh semua orang, sehingga secara tidak langsung
sebagai upaya penyadaran kepada masyarakat sekolah. Sekolah juga belum
menyediakan psikolog yang khusus didatangkan untuk membantu siswa difabel
dalam menghadapi hari-harinya sebagai siswa difabel. Walaupun demikian, guru
BK sudah berperan dengan baik sebagaimana mestinya. Dua responden juga
mengaku jarang dimintai responnya terkait dengan pelaksanaan praktik
pendidikan inklusif di sekolah tersebut. Jika ia menemui masalah atau hambatan,
biasanya ia akan melapor ke guru BK, wali kelas, atau kepala sekolah. 4.
Kebijakan inklusif perlu dibudayakan dan diimplementasikan Berbicara mengenai
kebijakan inklusif memang diperlukan kajian yang mendalam. Indonesia secara
umum, sudah memiliki payung hukum terkait dengan hak-hak penyandang
disabilitas, termasuk dalam bidang pendidikan seperti yang tertuang dalam UU
No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas pasal 41. Di Yogyakarta
sendiri bahkan sudah dikeluarkan regulasi mengenai Pendidikan Inklusif ini
berdasarkan Peraturan Walikota Yogyakarta No. 47 Tahun 2008 mengenai
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi. Namun, implementasi di lapangan masih
mengalami banyak kendala. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya sosialisasi
kepada warga sekolah dan warga masyarakat mengenai apa arti pendidikan
inklusif yang sebenarnya (Hanjarwati & Aminah, 2014). Tidak dilakukannya
sosialisasi menimbulkan tidak munculnya kesadaran masyarakat akan pentingnya
sistem pendidikan ini. Bahkan banyak guru yang beranggapan bahwa sekolah
inklusi adalah sekolah yang menerima difabel tanpa kemudian memberikan akses
dan partisipasi penuh dalam pembelajaran kepada siswa difabel. Dua responden
juga mengaku ada sebagian staf yang berpihak namun ada sebagian yang belum,
demikian juga dengan temanteman sebayanya. Ada yang mau berempati dan
bergaul secara wajar, namun ada pula yang cenderung menghindar dan tidak mau
tahu. Sekali lagi, hal ini terjadi karena pembudayaan mengenai konsep inklusi
belum dapat dipahami secara utuh oleh warga sekolah.

Sumber :
Sihombing, U. (2001). Konsep dan Pengembangan Pendidikan Berbasis
Masyarakat. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Muhtadi, A. (2011). Pendidikan Dan Pembelajaran Di Sekolah Rumah (Home
Schooling): Suatu tinjauan teoritis dan praktis. Majalah Ilmiah Pembelajaran.
Marthan, L. K. (2007). Manajemen pendidikan inklusif. Jakarta:
Depdiknas, 145.
Anggraini, R. L. (2014). Proses Pembelajaran Inklusi Untuk Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) Kelas V SD Negeri Giwangan
Yogyakarta. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Utami, N. H. (2019). Meningkatkan Kemampuan Analisis dan Komunikasi
Siswa Homeschooling melalui Implementasi CIRC pada Materi Sistem
Ekskresi. BIO-INOVED: Jurnal Biologi-Inovasi Pendidikan, 1(2), 83-89.
Suprihatiningrum, J. (2016). Persepsi Siswa Difabel terhadap Praktik
Pendidikan Inklusif di SMA Inklusi di Yogyakarta. INKLUSI Journal of
Disability Studies, 3(2), 225-244.

Anda mungkin juga menyukai