Anda di halaman 1dari 3

Tujuh Kebutaan

Nama Mhs : Eka Kusmawan

NIM : 1006799571

(Mhs KARS FK UI thn. 2010, Bali – Lombok)

Saya bekerja di salah satu rumah sakit swasta di Denpasar dengan kapasitas sekitar 100 tempat
tidur. Dengan latar belakang staf medis sebagai dokter ahli bedah yang relatif lebih banyak bersentuhan
dengan pelayanan langsung kepada pasien, melihat bahwa masih ada beberapa kelemahan dari
managemen rumah sakit dalam mengelola perusahaan. Walapun saya sendiri juga terlibat di dalamnya
sebagai kepala Unit Kamar Operasi, bagian dari ‘middle level manager’.

Kelemahan ini akan saya ungkap sesuai dengan teori Tujuh Kebutaan, yang bisa saya jabarkan sebagai
berikut;

1. Buta karena posisi sendiri.

Kejadian ini bisa terjadi pada tingkat kelompok maupun perorangan. Karena rumah sakit kami
termasuk rumah sakit yang berdiri cukup lama serta dikenal sebagai pembaharu di kalangan
perumahsakitan swasta khususnya di Bali, sering secara kelompok kami merasa terlalu percaya diri
terhadap kondisi yang sudah ada di perusahaan saat ini, tanpa harus melihat perusahaan pesaing lain
yang telah menjalankan suatu kebijakan inovatif. Misalnya kebijakan terhadap pemberian insentif
kepada pihak yang merujuk persalinan section yang terbukti di beberapa rumah sakit lainnya cukup
mendongkrak aktifitas kamar operasi. Namun di rumah sakit kami tidak mau ikut dalam persaingan
tersebut dengan berbagai alasan.

Pada tingkat perorangan kebutaan ini saya nilai dari sikap Direktur Utama yang lebih condong melihat
dari sisi negatif apa yang diungkapkan atau diusulkan oleh para dokter spesialis internal dalam
menanggapi permasalahan yang ada di rumah sakit. Beliau menganggap bahwa beliaulah yang lebih
tahu karena beliau seorang manager dan dokter spesialis cenderung egois yang selalu melihat
permasalahan dari kacamata sendiri dengan mengambil solusi untuk kepentingan sendiri. Padahal tidak
semuanya keadaannya seperti itu. Bahkan justru dari dokter spesialis sendiri yang lebih tahu
permasalahn di lapangan.

2. Buta akan kelemahan diri sendiri (menganggap kesalahan dari pihak lain)

Dalam hal menyikapi suatu permasalahan, tidak jarang sikap managemen lebih berpihak pada diri
sendiri dengan lebih banyak menyalahkan pihak dari luar. Kami sebagai salah satu rumah sakit ternama
di kalangan perusahaan, terutama juga dari industri perhotelan memiliki banyak mitra kerja. Pihak
perusahaan lain mempercayakan kesehatan karyawannya ditangani di rumah sakit kami. Pada beberapa
1
kali kejadian perselisihan dengan pasien dari karyawan mitra kerja, tenaga medis rumah sakit termasuk
juga di tingkat manager menganggap kesalahan berada pada pihak pasien atau pengguna jasa. Dan
proses penyelesaian perselisihan ini cenderung dilalui secara keras, tidak bersahabat dan tidak
mengenal kompromi. Padahal cara-cara begini dapat berakibat fatal. Rumah sakit akan ditinggalkan
pasiennya..!

3. Buta karena ingin dianggap bertindak cepat

Saat ini rumah sakit kami dari stretegi besarnya, sedang berada pada tahap peningkatan mutu.
Sekali pun telah mengantongi akreditasi 12 pelayanan pokok rumah sakit dan ISO, upaya-upaya
meningkat mutu terus dijalankan. Salah satunya adalah merevisi dan membuat protap baru. Satu hal
yang saya anggap terlalu reaktif adalah seringnya dibuat protap (SOP) baru hanya berdasar pada
kejadian-kejadian yang tidak bermakna secara umum. Begitu ada permasalah, dibahas solusinya lalu
dibuatkan protap. Akibatnya sering protap yang baru dibuat tidak sejalan dengan protap sebelumnya
yang mungkin sudah dibuat oleh unit lain. Bahkan ada beberapa yang justru bertentangan. Dalam hal ini
menurut saya, mesti diadakan koordinasi dan pendekatan secara komprehensif apakah protap itu
memang perlu segera dibuat atau cukup dengan kebijakan pada tingkat temporary. Sehingga tidak
terjadi tumpang tindih aturan dan mengakibatkan kebingungan pada karyawan pelaksana.

4. Buta terhadap akar masalah (melihat hanya pada kejadian sesaat saja)

Di kalangan praktisi rumah sakit di wilayah kami, berkembang rumor bahwa rumah sakit di tempat
kami bekerja merupakan tempat untuk mencetak tenaga medis trampil yang selanjutnya akan
berpindah ke rumah sakit lain untuk mencari tempat kerja yang lebih menjanjikan. Hal ini
mengindikasikan bahwa di perusahaan ini bagi sebagian karyawan dirasakan sebagai tempat kerja yang
tidak nyaman lagi. Entah karena suasana kerja yang tidak sesuai dengan keinginan atau pun masalah
finansial. Kejadian hengkangnya karyawan seperti ini berulang hampir secara periodik. Barangkali pihak
managemen sudah harus mengkaji akar masalah sehingga tidak terulang lagi di kemudian hari.
Sementara dari penuturan langsung para karyawan atau tenaga medis yang bekerja di lapangan
menyebutkan bahwa beban kerja di rumah sakit kami terlalu berat dibandingkan dengan rumah sakit
sejenis. Walaupun dari sisi penggajian tidak jauh berbeda bahkan bisa jadi lebih besar dari yang lain.

5. Buta akan perubahan masalah (Balada Katak Rebus)

Masalah yang awalnya kecil namun karena diabaikan kemudian berakumulasi dan akhirnya
mengakibatkan masalah besar dan mengancam. Mungkin masalah yang sama pernah dialami juga oleh
pihak rumah sakit lain, terutama kemampuan kita untuk mengelola keluhan pasien ataupun keluarga
pasien. Seperti juga kasus Prita yang menghebohkan dunia medis itu, pada umumnya didahului oleh
keluhan-keluhan ringan. Begitu juga kejadian seperti ini pernah terjadi di rumah sakit kami. Karena
pasien atau keluarga tidak mendapatkan penanganan yang optimal atau mungkin ekspektasi pengguna
jasa yang terlalu tinggi. Dan pernah juga lantaran masalah ini mengharuskan pihak rumah sakit
berurusan sampai ke meja hijau. Maka sangat dibutuhkan penyelesaian masalah kecil untuk
menghindari akibat yang lebih besar.
2
6. Buta karena selalu mengadalkan pengalaman

Tidak selalu pengalaman dapat dijadikan patokan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi kini.
Jelas bisa terjadi apa yang dihadapkan sekarang tidak sama dengan yang dihadapi sebelumnya. Dan
secara statistik pun pola yang sebelumnya terjadi bisa berobah pada saat tertentu. Di tempat kami
bekerja kesalahan berulang kerap terjadi lantaran pengelola dan penanggungjawab alat medis terlalu
percaya diri dan berpatokan pada apa yang telah dihadapi sebelumnya. Misalnya dalam penyediaan alat
ESWL setelah terpasang beberapa minggu barulah diketahui ada beberapa pelengkap alat lainnya yang
masih harus disediakan yang sebelumnya tidak diantisipasi dan tidak sesuai lagi dengan baget pembelian
barang. Kejadian yang hampir sama terjadi pada pengadaan mesin CT scan yang akhirnya harus
menambahkan mesin penguat. Begitu pula alat sterilisator kapasitas besar juga akhirnya bermasalah
padahal baru dibeli tidak lebih dari sebulan. Penyebabnya, bahwa dari spesifikasi alat tersebut ternyata
ada beberapa yang belum siap ditunjang oleh rumahsakit, seperti kebutuhan akan listrik, air bersih dan
pembuangan. Kejadian ini mengesankan bahwa tim perencana dan pengadaan kurang berkoordinasi.
Menganggap apa yang selama ini dikerjakan sudah sesuai rencana yang memang terbukti juga bahwa
kebanyakan pengadaan barang selama ini tidak pernah sampai mendatangkan masalah baru. Sehingga
justru akhirnya belajar dari pengalaman bahwa pengalaman itu sendiri tidak menjadi pelajaran mutlak
yang bisa diterapkan pada satu atau lain masalah.

7. Buta terhadap perbedaan dalam satu tim managemen

Sehubungan dengan banyaknya personal managemen di tempat kami bekerja, dan sebagian dari
kelompok ini sudah termasuk tenaga senior (masa kerja lebih dari 10 tahun), maka agar tidak banyak
mengecewakan masing-masing orang dengan kesepakatan bersama antar mereka dibentuklah susunan
organisasi yang lebih mengutamakan posisi yang bisa ditempati masing-masing orang, dibandingkan
dengan keefektifan dan fungsi kerja yang dibutuhkan oleh organisasi tersebut. Jadi dengan lebih
mempertimbangkan agar tiap senior itu tidak kehilangan tugas dan pekerjaan, terbentuklah susunan
struktur organisasi yang tidak efisien dan kurang efektif. Hal mana keadaan ini bisa menyebabkan
pemborosan dan sudah tentu merugikan perusahaan sendiri.

Jika teori kebutaan tersebut dibawa pada ukuran diri sendiri, saya menilai setidaknya ada 2 kelemahan
yang saya miliki. Buta karena posisi sendiri (point-1) dan buta akan perubahan masalah / balada katak
rebus (point-5). Sebagai seorang dokter spesialis, terkadang ada kecenderungan gagasan apa yang saya
ungkapkan selalu merasa lebih baik dari orang lain dan pihak lain harus dapat mempertimbangkan dan
menerima gagasan itu. Beberapa hal yang lebih buruk lagi menganggap orang lain tidak lebih baik dari
diri sendiri. Di sisi lain saya termasuk orang yang terlalu menganggap suatu persoalan itu sepele. Dan
masalah yang terjadi bisa diselesaikan pada kesempatan lainnya. Menggampangkan masalah. Namun
sering akhirnya terjebak pada situasi sulit akibat bertumpuknya masalah-masalah kecil di atas. Dengan
demikian kelemahan ini bisa diibaratkan bagai katak rebus. Persoalan kecil-kecil yang potensi
mengembang menjadi lebih besar dan berakibat fatal..!

Anda mungkin juga menyukai