Disusun Oleh:
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
LAPORAN PENDAHULUAN 1
A. Konsep Dasar Fraktur Humerus 1
1. Definisi fraktur humerus 2
2. Anatomi fraktur humerus 2
3. Etiologi fraktur humerus 10
4. Patofisiologi fraktur humerus 11
5. Klasifikasi fraktur humerus 12
6. Gambaran klinis fraktur humerus 17
7. Pemeriksaan penunjang fraktur humerus 18
8. Penatalaksanaan fraktur humerus 18
9. Komplikasi fraktur humerus 22
B. Konsep Asuhan Keperawatan Stroke non Hemorogik 25
1. Pengkajian fraktur humerus 25
2. Diagnosa fraktur humerus 31
3. Intervensi fraktur humerus 34
4. Implementasi fraktur humerus 34
5. Evaluasi fraktur humerus 38
RESUME KEGAWATDARURATAN 41
A. Identitas 41
B. Primery Survey 41
C. Secondary Survey 46
D. Intervensi 50
E. Implementasi 50
F. Evaluasi 50
LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR HUMERUS
A. DEFINISI
Fraktur humerus adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang
humerus yang terbagi atas (Helmi, 2012) :
1. Fraktur Collum Humerus
Adalah hilangnya kontinuitas tulang humerus pada bagian collum anatimicus
atau collum chirurgicum. Tindakan medis yang sering diberikan pada fraktur
collum humerus adalah tindakan operatif dengan pemasangan plate and
screw, karena selain dapat dilakukan mobilisasi pada sendi bahu, juga dapat
mencapai stabilitas yang memadai.
2. Fraktur Batang Humerus
Fraktur ini disebebakn oleh trauma langsung yang mengakibatkan fraktur
spiral (fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan
trauma rotasi)
3. Fraktur Suprakondiler Humerus
Fraktur suprakondiler humerus, ini terbagi atas:
a) Jenis ekstensi yang terjadi karena trauma langsung pada humerus distal
melalui benturan pada siku dan lengan bawah pada posisi supinasi dan
lengan siku dalam posisi ekstensi dengan tangan terfiksasi
b) Jenis fleksi pada anak biasanya terjadi akibat jatuh pada telapak tangan
dengan tangan dan lengan bawah dalam posisi pronasi dan siku dalam
posisi sedikit fleksi.
4. Fraktur Interkondiler Humerus
Fraktur yang sering terjadi pada anak adalah fraktur kondiler lateralis dan
fraktur medialis humerus
1
B. ANATOMI
Humerus atau tulang pangkal lengan ada sepasang dan berbentuk tulang
panjang dan terletak pada brachium. Humerus berartikulasi dengan scapula di
proksimal dan dengan radius ulna di distal. Humerus dapat dibagi menjadi 3
bagian, yaitu proksimal humeri, shaft humeri dan distal humeri.
1. Proksimal humeri
Pada proksimal humeri, terdapat caput humeri yang setengah bulat dan
dilapisi oleh tulang rawan. Caput humeri merupakan bagian humerus yang
berartikulasi dengan kavitas glenoidalis yang merupakan bagian scapula. Arah
caput humeri serong mediosuperior dan sedikit posterior. Caput humeri
dipisahkan dengan struktur di bawahnya oleh collum anatomicum.
Didapatkan dua tonjolan tulang yang disebut tuberculum majus dan
tuberculum minor. Tuberculum majus mengarah ke lateral dan melanjutkan
diri ke distal sebagai crista tuberculi majoris. Tuberculum minor mengarah ke
anterior dan melanjutkan diri sebagai crista tuberculi minoris. Di antara kedua
tuberculum serta crista tuberculi dibentuk sulcus intertubercularis yang
dilapisi tulang rawan dan dilalui tendon caput longum m. bicipitis.
2. Shaft humeri
Shaft humeri memiliki penampang melintang berbentuk segitiga.
Permukaan shaft humeri dapat dibagi menjadi facies anterior medialis, facies
anterior lateralis dan facies posterior. Pertemuan facies anterior medialis
dengan facies posterior membentuk margo medialis. Margo medialis ke arah
distal makin menonjol dan tajam sebagai crista supracondilaris medialis.
Pertemuan facies anterior lateralis dengan facies posterior membentuk margo
lateralis. Margo lateralis ini juga ke arah distal makin menonjol dan tajam
sebagai crista supracondilaris lateralis.
Dipertengahan sedikit proksimal facies anterior lateralis didapatkan
tuberositas deltoidea. Di posterior dari tuberositas deltoidea dan di facies
posterior humeri didapatkan sulcus nervi radialis (sulcus spiralis) yang
berjalan superomedial ke inferolateral. Foramen nutricium didapatkan dekat
margo medialis dan merupakan lubang masuk ke canalis nutricium yang
mengarah ke distal.
3. Distal humeri
Distal humeri lebih tipis dan lebar dibandingkan dengan shaft humeri.
Margo medialis yang melanjutkan diri sebagai crista supracondilaris medialis
berakhir sebagai epicondilus medialis. Demikian pula margo lateralis yang
melanjutkan diri sebagai crista supracondilaris lateralis berakhir sebagai
epicondilus lateralis. Epicondilus medialis lebih menonjol dibandingkan
epicondilus lateralis serta di permukaan posterior epicondilus medialis
didapatkan sulcus nervi ulnaris.
Diantara kedua epicondilus didapatkan struktur yang dilapisi tulang
rawan untuk artikulasi dengan tulang-tulang antebrachii. Struktur ini
mempunyai sumbu yang sedikit serong terhadap sumbu panjang shaft humeri.
Struktur ini disebut trochlea humeri di medial dan capitulum humeri di lateral.
Trochlea humeri dilapisi oleh tulang rawan yang melingkar dari permukaan
anterior sampai permukaan posterior dan berartikulasi dengan ulna. Di
proksimal trochlea baik di permukaan anterior maupun di permukaan
posterior didapatkan lekukan sehingga tulang menjadi sangat tipis.
Dipermukaan anterior disebut fossa coronoidea dan di permukaan posterior
disebut fossa olecrani.
Capitulum humeri lebih kecil dibandingkan trochlea humeri, dilapisi
tulang rawan setengah bulatan dan tidak mencapai permukaan posterior.
Capitulum humeri berartikulasi dengan radius. Di permukaan anterior
capitulum humeri didapatkan fossa radialis.
Otot-otot yang berhubungan dengan pergerakan dari tulang humerus
meliputi mm. biceps brachii, coracobrachialis, brachialis dan triceps brachii.
Selain itu humerus juga sebagai tempat insersi mm. latissimus dorsi,
deltoideus, pectoralis mayor, teres mayor, teres minor, subscapularis dan
tendon insersio mm. supraspinatus dan infraspinatus.
a. M. Latissimus Dorsi
Otot ini besar dan berbentuk segitia. Batas posterior trigonum lumbale
dibentuk oleh m. latissimus dorsi. Bersama m. teres mayor, otot ini
membentuk plica axillaris posterior, serta ikut membentuk dinding
posterior fossa axillaris. Otot ini berorigo pada processi spinosi vertebrae
thoracales VII – sacrales V dan crista iliaca. Dan berinsersi pada sulcus
intertubercularis humeri. Otot ini berfungsi untuk ekstensi, adduksi dan
endorotasi pada artikulasi humeri.
b. M. Deltoideus
Otot yang tebal dan letaknya superficial ini berorigo di tepi anterior
dan permukaan superior sepertiga bagian lateral clavicula, tepi lateral
permukaan superior acromion, serta tepi inferior spina scapulae. Insersi
pada tuberositas deltoidea humeri. Otot ini diinervasi oleh n. axillaris.
Otot ini berfungsi untuk abduksi artikulasi humeri, bagian anterior untuk
fleksi dan endorotasi artikulasi humeri, sedang bagian posterior untuk
ekstensi dan eksorotasi artikulasi humeri.
c. M. Supraspinatus
Bagian medial fossa supraspinatus merupakan origo otot ini dan
insersinya di tuberculum majus humeri. Otot ini mendapat inervasi dari n.
suprascapularis. Otot ini berfungsi untuk abduksi artikulasi humeri. Otot
ini bersama mm. infraspinatus, teres minor et subscapularis membentuk
rotator cuff, yang berfungsi mempertahankan caput humeri tetap pada
tempatnya dan mencegahnya tertarik oleh m. deltoideus menuju
acromion.
d. M. Infraspinatus
Mm. deltoideus et trapezius berada di superficial dari sebagian otot ini.
Origonya di dua pertiga bagian medial fossa infraspinatus dan permukaan
inferior spina scapulae. Tendo insersinya juga menyatu dengan capsul
artikulasi humeri dan berinsersi pada tuberculum majus humeri. Otot ini
diinervasi oleh n. suprascapularis. Otot ini berfungsi untuk eksorotasi
artikulasi humeri. Bagian superior untuk abduksi dan bagian inferior
untuk adduksi artikulasi humeri.
e. M. Subscapularis
Otot ini membentuk dinding posterior fossa axillaris. Origonya di
fossa subscapularis. Tendo insersinya berjalan di anterior dan melekat
pada capsula artikulasi humeri serta tuberculum minor humeri. Otot ini
diinervasi oleh n. subscapularis. Otot ini berfungsi untuk endorotasi
artikulasi humeri.
f. M. Teres Minor
Otot ini mungkin sulit dipisahkan dengan m. infraspinatus. Otot ini
berorigo pada tepi lateral fossa infraspinata dan tendo insersinya mula-
mula melekat pada capsula articularis humeri, kemudian melekat pada
tuberculum minor humeri. Otot ini diinervasi oleh n. axillaris. Otot ini
berfungsi untuk eksorotasi artikulasi humeri.
g. M. Teres Mayor
Otot ini berorigo di facies dorsalis scapulae dekat angulus inferior.
Berinsersi di labium medial sulcus intertubercularis humeri di inferior
dari tempat insersi m. subscapularis. Inervasi otot ini berasal dari n.
subscapularis. Bersama m. latissimus dorsi, otot ini berfungsi untuk
adduksi artikulasi.
h. M. Biceps Brachii
Otot yang berorigo di scapula ini, memiliki dua caput yaitu caput
longum et brevis. Caput brevis berorigo bersama dengan m.
coracobrachialis di processus coracoideus. Sedang caput longum berorigo
di tuberositas supraglenoidalis. Ketika melalui sulcus intertubercularis
humeri, tendo origonya di fiksasi oleh ligamentum transversum humeri.
Insersi otot ini pada tuberositas radii. Sebagian tendo insersinya, sebagai
lacertus fibrous, berinsersi di fascia antebrachii dan ulna.
Fungsi caput longum m. biceps brachii untuk fleksi artikulasi humeri et
cubiti, sedangkan caput brevisnya untuk supinasi artikulasi radioulnaris.
i. M. Coracobrachialis
Otot ini berorigo di processus coracoideus. Otot ini ditembuw oleh n.
musculocutaneus dan insersi di sepertiga distal medial humeri. Otot ini
berfungsi untuk fleksi dan adduksi artikulasi humeri.
j. M. Brachialis
Otot ini berorigo di dua pertiga distal fascia anteromedial et
anterolateral humeri dan insersi pada capsula artikulasi cubiti, processus
coronoideus et tuberositas ulna. Otot ini berfungsi untuk fleksi artikulasi
cubiti.
k. M. Triceps Brachii
Otot ini berada di regio brachii dorsalis. Otot ini memiliki tiga caput
dan tersusun dalam dua lapisan. Caput longum et lateralis menempati
lapisan superficial, sedang caput medial menempati lapisan profundus.
Caput longumnya berorigo pada tuberositas infraglenoidalis. Dalam
perjalanannya ke inferior, caput ini memisahkan hiatus axillaris medialis
dari hiatus axillaris lateralis. Origo lateral et medial dipisahkan oleh
sulcus n. radialis humeri. Caput lateral berorigo di facies posterior humeri
di superior dari sulcus ini, sedang caput medial berorigo di inferiornya.
Insersinya di bagian posterior permukaan superior olecranon, fascia
antebrachii dan capsula articularis cubiti. Inervasi otot ini berasal dari n.
radialis.
Fungsi dari caput longum m. triceps brachii untuk ekstensi dan
adduksi artikulasi humeri, sedangkan caput lateral et medial untuk
ekstensi artikulasi cubiti.
Persarafan yang berjalan pada regio brachii adalah saraf axillaris,
medianus dan ulnaris.
a. N. Axillaris (C5-C6)
Awalnya saraf ini berjalan sejajar dengan n. radialis. Setinggi inferior
m. subscapularis memisahkan diri dari n. radialis dan berada di lateralnya,
kemudian berjalan ke posterior bersama a. circumflexa humeri posterior
melewati hiatus axillaris lateralis. Selanjutnya saraf ini berjalan di inferior
dari tepi inferior m. teres minor dan menginervasinya. Ketika mencapai
sisi posteromedial collum chirurgicum humeri, n axillaris member cabang
n. cutaneus brachii lateralis untuk menginervasi kulit di superficial m.
deltoideus. Akhirnya melanjutkan diri ke anterior sekeliling sisi lateral
collum chirurgicum humeri untuk menginervasi m. deltoideus.
b. N. Musculocutaneus (C5-C7)
Merupakan cabang fasciculus lateralis pleksus brachialis. M.
coracobrachialis ditembus oleh saraf ini. N. musculocutaneus
menginervasi otototot fleksor regio brachii (mm. biceps brachii et
brachialis), kulit sisi lateral region antebrachii dan arilkulasi cubiti.
Selanjutnya saraf ini muncul di lateral dari m. biceps brachii sebagai n.
cutaneus antebrachii lateralis.
c. N. Medianus (C5-T1)
Di sisi anterolateral dari a. axillaris, saraf ini terbentuk dari pertemuan
radiks lateralisnya yang merupakan cabang fasciculus lateralis plexus
brachialis dan radiks medialis, yang merupakan cabang fasciculus
medialis plexus brachialis. Selanjutnya berjalan bersama a. axillaris dan
lanjutannya, yaitu a. brachialis. Saraf ini menyilang di anterior a.
brachialis untuk berada di medial dari arteri ini di dalam fossa cubiti. N.
medianus bersama a. brachialis berjalan di permukaan anterior m.
brachialis menuju fossa cubiti.
d. N. Radialis (C5-T1)
Cabang terbesar dari pleksus brachialis ini awalnya berjalan di
posterior dari a. axillaris dan di anterior dari m. subscapularis. Saraf ini
menginervasi kulit di sisi posterior regio brachii, antebrachii et manus,
otot-otot ekstensor region brachii et antebrachii, artikulasi cubiti dan
beberapa artikulasi di regio manus.
e. N. Ulnaris (C7-T1)
Saraf ini berjalan ke inferior di posteromedial dari a. brachialis, jadi
sejajar dengan n. medianus. Kira-kira di pertengahan region brachii, n.
ulnaris menjauhi a. brachialis dan n. medianus untuk berjalan ke poter
oinferior menembus septum intermusculare medial bersama a. collateralis
ulnaris proksimal menuju sisi medial m. triceps brachii. Akhirnya berada di
sisi posterior epicondylus medialis humeri.
Vaskularisasi regio brachii dijelaskan pada bagian berikut:
1) Arteri brachialis merupakan lanjutan a. axillaris, dimulai dari tepi
inferior m. teres mayor. Arteri ini melanjutkan diri ke fossa cubiti dan
di sini berakhir sebagai dua cabang terminal, yaitu aa. Ulnaris et
radialis. Cabang-cabangnya yang berada di regio ini adalah aa.
Profunda brachii, collaterales ulnares proksimal et distalis.
2) Arteri profunda brachii berjalan ke posterior bersama n. radialis. Di
sini lateral regio brachii arteri ini berakhir sebagai dua cabang
terminalnya, yaitu a. collateralis radialis, yang berjalan ke anterior
bersama n. radialis dan a. collateralis media, yang menuju sisi
posterior epicondylus lateralis humeri.
3) Arteri collateralis ulnaris proksimalis berawal dipertengahan regio
brachii dan berjalan bersama n. ulnaris menuju sisi posterior
epicondylus medialis humeri.
4) Arteri collateralis ulnaris distalis awalnya sedikit di superior dari
artikulasi cubiti dan berjalan di posterior dari n. medianus, kemudian
cabang-cabangnya menuju sisi anterior dan posterior epicondylus
medialis humeri. Vena brachialis mengikuti arterinya dan kira-kira di
dua pertiga proksimal regio ini v. basilica berjalan superficial terhadap
a. brachialis.
Gambar 2.1.. (a) Anterior and (b) Posterior Humerus. (c) Humerus dengan
tiga saraf utama yaitu n. axillaris, n. radialis dan n. ulnaris.
Gambar 2.2. Anterior dan Posterior Humerus. Tempat insersi otot-otot
berhubungan dengan pergerakan humerus.
C. ETIOLOGI
Umumnya fraktur yang terjadi, dapat disebabkan beberapa keadaan berikut:
1. Cedera dan benturan seperti pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir
mendadak, kontraksi otot ekstrim.
2. Letih karena otot tidak dapat mengabsorbsi energi seperti berjalan kaki terlalu
jauh.
3. Kelemahan tulang akibat penyakit kanker atau osteoporosis pada fraktur
patologis.
Penyebab Fraktur adalah :
a. Kekerasan langsung: Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang
pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur
terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
b. Kekerasan tidak langsung: Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah
tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah
biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor
kekerasan.
c. Kekerasan akibat tarikan otot: Patah tulang akibat tarikan otot sangat
jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa twisting, bending dan penekanan,
kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
D. PATOFISIOLOGI
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar
dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi
fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan
jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan
tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami
nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn
vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian
inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur penyembuhan tulang:
1. Faktor intrinsic
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan
untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas,
kelelahan (fatigue fracture), dan kepadatan atau kekerasan tulang.
2. Faktor ektrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung
terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
E. KLASIFIKASI
Berikut klasifikasi fraktur diafisis humerus menurut Ortopaedics Trauma
Association (OTA):
1. Tipe A: fraktur sederhana (simple fracture)
a. A1: spiral
b. A2: oblik (>30°)
c. A3: transversa (<30°)
2. Tipe B: fraktur baji (wedge fracture)
a. B1: spiral wedge
b. B2: bending wedge
c. B3: fragmented wedge
3. Tipe C: fraktur kompleks (complex fracture)
a. C1: Spiral
b. C2: Segmental
c. C3: Ireguler (significant comminution)
d.
Gambar 2.3. Tipe A = fraktur sederhana. A1 = fraktur spiral (.1 pada sepertiga
proksimal, .2 pada sepertiga tengah, dan .3 pada sepertiga distal), A2 = fraktur oblik,
A3 = fraktur transversa.
Gambar 2.4. Tipe B = fraktur baji (wedge fracture). B1 = fraktur baji spiral
(spiral wedge fracture), B2 = bending wedge fracture, A3 = fragmented wedge
fracture.
Gambar 2.6. Lokasi fraktur dan arah pergeseran fragmen. (dari kiri ke kanan)
Fraktur diatas insersi pectoralis mayor, fraktur antara insersi pectoralis mayor dan
deltoid, fraktur di bawah insersi deltoid.
Secara ringkas dapat penjelasan posisi fragmen fraktur dapat dilihat pada table 2.1
berikut:
Tabel 2.1. Tabel posisi fragmen fraktur.
Lokasi fraktur Fragmen proksimal Fragmen distal
Medial, proksimal oleh
Diatas insersi Abduksi, eksorotasi oleh
deltoideus dan pectoralis
pectoralis mayor rotator cuff
mayor
Medial oleh pectoralis,
Antara pectoralis
teres Lateral, proksimal oleh
mayor dan tuberositas
mayor dan latissimus dorsi deltoideus
deltoideus
Distal tuberositas Medial, proksimal oleh
Abduksi oleh deltoideus
deltoideus biceps dan triceps brachii
F. GAMBARAN KLINIS
1. Nyeri terus menerus dan bertambah berat. Nyeri berkurang jika fragmen
tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
2. Deformitas dapat disebabkan oleh pergeseran fragmen pada eksremitas.
Deformitas dapat di ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas
normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal
otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya obat.
3. Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah
tempat fraktur.
4. Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya
derik tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan
lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma
dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah
beberapa jam atau beberapa hari setelah cedera.
6. Pada pemeriksaan harus diperhatikan keutuhan faal nervus radialis dan arteri
brakialis. Saat pemeriksaan apakah ia dapat melakukan dorsofleksi
pergelangan tangan atau ekstensi jari-jari tangan.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui : Hemoglobin, hematokrit
sering rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED) meningkat bila
kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pada masa penyembuhan Ca dan P
mengikat di dalam darah.
2. Radiologi
Pada rontgen dapat dilihat gambaran fraktur (tempat fraktur, garis fraktur
(transversa, spiral atau kominutif) dan pergeseran lainnya dapat terbaca jelas).
Radiografi humerus AP dan lateral harus dilakukan. Sendi bahu dan siku
harus terlihat dalam foto. Radiografi humerus kontralateral dapat membantu
pada perencanaan preoperative. Kemungkinan fraktur patologis harus diingat.
CT-scan, bone-scan dan MRI jarang diindikasikan, kecuali pada kasus dengan
kemungkinan fraktur patologis. Venogram/anterogram menggambarkan arus
vascularisasi. CT scan untuk mendeteksi struktur fraktur yang lebih kompleks.
H. PENATALAKSANAAN
1. Konservatif
Pada umumnya, pengobatan patah tulang shaft humerus dapat
ditangani secara tertutup karena toleransinya yang baik terhadap angulasi,
pemendekan serta rotasi fragmen patah tulang. Angulasi fragmen sampai 300
masih dapat ditoleransi, ditinjau dari segi fungsi dan kosmetik. Hanya pada
patah tulang terbuka dan non-union perlu reposisi terbuka diikuti dengan
fiksasi interna.
Dibutuhkan reduksi yang sempurna disamping imobilisasi; beban pada
lengan dengan cast biasanya cukup untuk menarik fragmen ke garis tengah.
Hanging cast dipakai dari bahu hingga pergelangan tangan dengan siku fleksi
90° dan bagian lengan bawah digantung dengan sling disekitar leher pasien.
Cast (pembalut) dapat diganti setelah 2-3 minggu dengan pembalut pendek
(short cast) dari bahu hingga siku atau functional polypropylene brace selama
± 6 minggu.
Pergelangan tangan dan jari-jari harus dilatih gerak sejak awal.
Latihan pendulum pada bahu dimulai dalam 1 minggu perawatan, tapi abduksi
aktif ditunda hingga fraktur mengalami union. Fraktur spiral mengalami union
sekitar 6 minggu, variasi lainnya sekitar 4-6 minggu. Sekali mengalami union,
hanya sling (gendongan) yang dibutuhkan hingga fraktur mengalami
konsolidasi.
Pengobatan non bedah kadang tidak memuaskan pasien karena pasien
harus dirawat lama. Itulah sebabnya pada patah tulang batang humerus
dilakukan operasi dan pemasangan fiksasi interna yang kokoh.
Berikut beberapa metode dan alat yang digunakan pada terapi
konservatif:
a. Hanging cast
Indikasi penggunaan meliputi pergeseran shaft tengah fraktur humerus
dengan pemendekan, terutama fraktur spiral dan oblik. Penggunaan pada
fraktur transversa dan oblik pendek menunjukkan kontraindikasi relatif
karena berpotensial terjadinya gangguan dan komplikasi pada saat
penyembuhan. Pasien harus mengangkat tangan atau setengah diangkat
sepanjang waktu dengan posisi cast tetap untuk efektivitas. Seringkali
diganti dengan fuctional brace 1-2 minggu pasca trauma. Lebih dari 96%
telah dilaporkan mengalami union.
b. Coaptation splint
Diberikan untuk efek reduksi pada fraktur tapi coaptation splint
memiliki stabilitas yang lebih besar dan mengalami gangguan lebih kecil
daripada hanging arm cast. Lengan bawah digantung dengan collar dan
cuff. Coaptation splint diindikasikan pada terapi akut fraktur shaft
humerus dengan pemendekan minimal dan untuk jenis fraktur oblik
pendek dan transversa yang dapat bergeser dengan penggunaan hanging
arm cast. Kerugian coaptation splint meliputi iritasi aksilla, bulkiness dan
berpotensial slippage. Splint seringkali diganti dengan fuctional brace
pada 1-2 minggu pasca trauma.
c. Thoracobranchial immobilization (velpeu dressing)
Biasanya digunakan pada pasien lebih tua dan anak-anak yang tidak dapat
ditoleransi dengan metode terapi lain dan lebih nyaman jadi pilihan.
Teknik ini diindikasikan untuk pergeseran fraktur yang minimal atau
fraktur yang tidak bergeser yang tidak membutuhkan reduksi. Latihan
pasif pendulum bahu dapat dilakukan dalam 1-2 minggu pasca trauma.
d. Shoulder spica cast
Teknik ini diindikasikan pada jenis fraktur yang mengharuskan abduksi
dan eksorotasi ektremitas atas. Kerugian teknik ini meliputi kesulitan
aplikasi cast, berat cast dan bulkiness, iritasi kulit, ketidaknyamanan dan
kesusahan memposisikan ektremitas atas.
e. Functional bracing
Memberikan efek kompresi hidrostatik jaringan lunak dan
mempertahankan aligment fraktur ketika melakukan pergerakan pada
sendi yang berdekatan. Brace biasanya dipasang selama 1-2 minggu
pasca trauma setelah pasien diberikan hanging arm cast atau coaptation
splint dan bengkak berkurang. Kontraindikasi metode ini meliputi cedera
massif jaringan lunak, pasien yang tidak dapat dipercaya dan
ketidakmampuan untuk mempertahankan asseptabilitas reduksi. Collar
dan cuff dapat digunakan untuk menopang lengan bawah; aplikasi sling
dapat menghasilkan angulasi varus (kearah midline).
2. Tindakan operatif
Pasien kadang-kadang mengeluh hanging cast tidak nyaman,
membosankan dan frustasi. Mereka bisa merasakan fragmen bergerak dan hal
ini kadang-kadang cukup dianggap menyusahkan. Hal penting yang perlu
diingat bahwa tingkat komplikasi setelah internal fiksasi pada humerus tinggi
dan sebagian besar fraktur humerus mengalami union tanpa tindakan operatif.
Meskipun demikian, ada beberapa indikasi untuk dilakukan tindakan
pembedahan, diantaranya:
a) Cedera multiple berat
b) Fraktur terbuka
c) Fraktur segmental
d) Fraktur ekstensi intra-artikuler yang bergeser
e) Fraktur patologis
f) Siku melayang (floating elbow) – pada fraktur lengan bawah (antebrachi)
dan humerus tidak stabil bersamaan
g) Palsi saraf radialis (radial nerve palsy) setelah manipulasi
h) Non-union
1. Pengkajian
a. Anamnesis. Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantung pada tahap ini.
1) Identitas klien.
meliputi nama, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, nomor registrasi, tanggal dan jam masuk rumah sakit (MRS) dan
diagnose medis.
Pada umumnya, keluhan utama pada kasus fraktur humerus adalah nyeri yang
bersifat menusuk. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap mengenai
nyeri klien, perawat dapat menggunakan metode PQRST.
a) Provoking Incedent : Hal yang menjadi faktor presipitas nyeri adalah
trauma pada lengan atas.
b) Quality Of Plain: Klien yang merasakan nyeri yang menusuk.
c) Region, Radiation, Relief: Nyeri terjadi dilengan atas. Nyeri dapat redah
dengan imobilitas atau istirahat. Nyeri tidak dapat menjalar atau
menyebar.
d) Severity (Scale) of Plain: secara subjektif, klien merasakan nyeri dengan
skala 2-4 pada rentang 0-4.
e) Time : Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari.
2) Riwayat penyakit sekarang.
penggumpalan data dilakukan untuk menentukan penyebab fraktur yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien.
Pengkajian yang di dapat adalah adanya riwayat trauma pada lengan. klien
datang dengan lengan yang sakit tergantung tidak berdaya pada sis tubuh dan
di sangga oleh lengan yang sehat.
3) Riwayat penyakit dahulu.
pada pengkajian ini, perawat dapat menemukan kemungkinan penyebab
fraktur dan mendapat petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit- penyakit tertentu, seperti kanker tulang dan penyakit
paget, menyebabkan fanktor patologis sehingga tulang sulit menyambung.
4) Riwayat penyakit keluarga.
penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang
terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik.
5) Riwayat penyakit psikososial spiritual.
kaji respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya, peran klien dalam
keluarga dan masyarakat , serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-hari, baik dalam keluarga maupun dalamk masyarakat. Dalam tahap
pengkajian, perawat juga perlu mengetahui pola-pola fungsi kesehatan sebagai
berikut.
6) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat.
Pada kasus fraktur, klien biasanya merasa takut akan mengalami kecacatan
pada dirinya. Oleh karena itu, klien harus menjalanin penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, juga
dilaksanakan pengkajian yang meliputi kebiasaan hidup klien, seperti
penggunaan obat steroid yang dapat menganggu metabolisme kalsium,
pengonsumsian alcohol yang dapat menganggu keseimbangan klien, dan
apakah klien melakukan olahgara atau tidak.
7) Pola hubungan dan peran.
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan masyarakat karena klien
harus menjalani rawat inap.
8) Pola persepsi dan konsep diri.
Dampak yang timbul pada klien fraktur adalah timbulnya ketakutan akan
kecacatan akibat fraktur, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan gangguan citra diri.
9) Pola sensori dan kognitif.
Pada klien fraktur, daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedangkan pada indra yang lain dan kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu, juga timbul nyeri akibat fraktur.
10) Pola penanggulangan stes.
Pada klien fraktur timbul rasa cemas akan keadaan dirinya, yaitu ketakutan
timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang
ditembuh klien dapat tidak efektif.
11) Pola tata nilai dan keyakinan.
klien fraktur tidak dapat melaksanakan ibadah dengan baik, terutama frekuensi
dan konsentrasi dalam beribadah. Hal ini dapat disebabkan oleh nyeri dan
keterbatasan gerak klien.
b. Pemeriksaan Fisik. ada dua macam pemeriksaan fisik yaitu pemeriksaan umum
(status general) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat
(local).
1) Keadaan umum : keadaan baik dan buruknya klien. tanda – tanda yang perlu
dicatat adalah sebagai berikut.
a) Kesadaran klien : Apatis, spoor, koma, gelisa, compos mentis yang
bergantung pada keadaan klien.
b) Kesakitan, Keadaan penyakit : akut, kronis, ringan, sedang, berat dan
pada kasus frakltur biasanya akut.
c) Tanda- tanda vital tidak normal karena ada ganguan local, baik fungsi
maupun bentuk.
2) B1 (Breating).
Pada pemeriksaan sistem pernapasan , didapatkan bahwa klien fraktur
humerus tidak mengalami kelainan pernapasan. Pada palpasi toraks,
didapatkan taktilfremitus seimbang kanan dan kiri. Pada auskultasi, tidak
ditemukan suara napas tambahan.
3) B2 ( Blood).
Inspeksi tidak ada iktus jantung, pada palpasi : Nadi mengkat, iktus tidak
teraba, Auskultasi : suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada mur-mur.
4) B3 ( Brain)
a) Tingkat kesadaran biasanya komposmentis.
(1) Kepala: Tidak ada gangguan, yaitu normosefalik, simetris, tidak
ada penonjolan, tidak ada sakit kepala.
(2) Leher : Tidak ada gangguan, yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
reflex menelan ada.
(3) Wajah: Wajah terlihat menahan sakit dan tidak ada perubahan
fungsi dan bentuk, Wajah simetris, tidak ada lesi dan edema.
(4) Mata: Tidak ada gangguan, seperti konjungtiva tidak anemis
(karena tidak terjadi pendarahan).
(5) Telinga: Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak
ada lesi atau nyeri tekan.
(6) Hidung: Tidak ada deformitas, tidak ada pernapasan cuping
hidung.
(7) Mulut dan Faring: Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
b) Pemeriksaan fungsi serebral. Status mental: observasi penampilan
dan tingkah laku klien. Biasanya tidak mengalami perubahan
5) B4 (Bladder).
Kaji keadaan urine yang meliputiwarna, jumlah dan karakteristik urine,
termasuk berat jenis urine. Biasanya klien pada fraktur humerus tiidak
mengalami kelainan pada sistem ini.
6) B5 (Bowel)
Inspeksi abdoen : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia. Palpasi : Turgor
baik, tidak ada defans muscular dan hepar tidak terabah. Perkusi : Suara
timpani, ada pantulan gelombang cairan. Auskultasi : Peristaltik usus
nomal 20 kali/menit. Inguinal – genitalia – anus : Tidak ada hernia, tidak
ada pembesaran limfe.
a) Pola nutrisi dan metabolism. Klien fraktur harus mengonsumsi
nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya, seperti kalsium, zat besi,
protein, vitamin C, dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien dapat
membantu menentukan penyebab masalah musculoskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama
kalsium dan protein. kurangnya paparan sinar matahari merupakan
faktor predisposisi masalah musculoskeletal terutama pada lansia.
Selain itu, obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
b) Pola eliminasi. Klien fraktur humerus tidak mengalami gangguan
pola eliminasi, tetapi perlu juga dikaji frekuensi, kosistensi, warna,
dan bau feses pada pola eliminasi alvi. Pada pola eliminasi urine
dikaji frekuensi, kepekatan, warna, bau, dan jumlahnya. Pada kedua
pola tersebut juga dikaji adanya kesulitan atau tidak.
7) B6 (Bone).
Adanya fraktur pada humerus akan menganggu secara lokal, baik fungsi
motorik, sensorik, maupun peredaran darah.
a) Look. Pada sistem integumenterdapat eritema, suhu disekitar daerah
trauma meningkat, bengkak, edema, dan nyeri tekan. Perhatikan
adanya pembengkakan yang tidak biasa (abnormal). Perhatikan
adanya sindrom kompartemen pada lengan bagian distal fraktur
humerus. Apabila terjadi fraktur terbuka, ada tanda-tanda trauma
jaringan lunak sampai kerusakan intergritas kulit. Fraktur oblik, spiral,
dan bergeser mengakibatkan pemendekan batang humerus. kaji adanya
tanda-tanda cedera dan kemungkinan keterlibatan berkas
neurovascular (saraf dan pembuluh darah) lengan, seperti
bengkak/edema.Lumpuh pergelangan tangan merupakan petunjuk
adanya cedera saraf radialis. Pengkajian neurovascular awal sangat
penting untuk membedakan antara trauma akibat cedera dan
komplikasi akibat penanganan. Klien tidak mampu menggerakan
lengan dan kekuatan otot lengan menurun dalam melakukan
pergerakan. Pada keadaan tertentu, klien fraktur humerus sering
mengalami sindrom kompartemen pada fase awal setelah patah tulang.
Perawat perlu mengkaji apakah ada pembengkakan pada lengan atas
menganggu sirkulasi darah kebagian bawahnya. Otot, lemak, saraf, dan
pembuluh darah terjebak dalam sindrom kompartemen sehingga
memerlukan perhatian perawat secara serius agar organ di bawah
lengan atas tidak menjadi nekrosis. Tanda khas sindrom kompartemen
pada fraktur humerus adalah perfusi yang tidak baik pada bagian
distal, seperti jari-jari tangan, lengan bawah pada sisi fraktur bengkak,
adanya keluhan nyeri pada lengan, dan timbul bula yang banyak
menyelimuti bagian bawah fraktur humerus.
b) Feel. Kaji adanya nyeri tekan (tenderness) dan krepitasi pada daerah
lengan atas.
c) Move. Setelah dilakukan pemeriksaan feel, pemeriksaan dilanjutkan
dengan menggerakkan ekstermitas, kemudian perawat mencatat
apakah ada keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan rentang gerak
ini perlu dilakukan agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan
sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap
arah pergerakan dimulai dari titik 0 (posisi netral), atau dalam ukuran
metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak
(mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif
dan pasif. Hasil pemeriksaan yang didapat adalah adanya gangguan/
keterbatasan gerak lengan dan bahu.Pada waktu akan palpasi, posisi
klien diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). pada
dasarnya, hal ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi
dua arah baik pemeriksa maupun klien.
8) Pola aktivitas.
Karena timbul nyeri, gerak menjadi terbatas. semua bentuk aktivitas klien
menjadi berkurang dan klien memerlukan banyak bantuanorang lain. hal
lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien, terutama pekerjaan
klien karena beberapa pekerjaan berisiko terjadinya fraktur.
9) Pola tidur dan istirahat.
Semua klien fraktur merasakan nyeri dan geraknya terbatas sehingga
dapat menganggu pola dan kebutuhan tidur klien. selain itu, dilakukan
pengkajian lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, kesulitan
tidur, dan penggunaan obat tidur
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut yang berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang, kompresi
saraf, cedera neuromuscular, trauma jaringan, dan reflex spasme otot sekunder.
b. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan diskontinuitas jaringan
tulang, nyeri sekunder akibat pergerakan fragmen tulang.
c. Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan adanya port de entrée luka
operasi pada lengan atas.
d. Deficit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuscular dan
penurunan kekuatan lengan atas.
e. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, akan menjalani operasi, status
ekonomi, dan perubahan fungsi peran.
3. Rencana Keperawatan
a. Dx: Nyeri akut yang berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang, kompresi
saraf, cedera neuromuscular, trauma jaringan, dan reflex spasme otot sekunder.
Tujuan: nyeri berkurang, hilang, atau teratasi
Kriteria hasil: secara subjektif, klien melaporkan nyeri berkurang atau dapat
diatasi, mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau mengurangi nyeri. Klien
tidak gelisah. Skalanyeri 0-1 atau teratasi.
Intervensi:
1) Kaji nyeri denganskala 0-4.
Rasional: nyeri merupakan respon subjektif yang dapat dikaji dengan
menggunakan skala nyeri. Klien melaporkan nyeri biasanya di atas tingkat
cidera.
2) Atur posisi imobilisasi pada lengan atas.
Rasional: imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi pergerakan fragmen
tulang yang menjadi unsure utama penyebab nyeri pada lengan atas.
3) Bantu klien dalam mengidentifikasi factor pencetus.
Rasional: nyeri dipengaruhi oleh kecemasan, ketegangan, suhu, distensi
kandung kemih, dan berbaring lama.
4) Jelaskan dan bantu klien terkait dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi
dan noninvasife.
Rasional: pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi
lainnya efektif dalam mengurangi nyeri.
5) Ajarkan relaksasi: tenik untuk menurunkan ketegangan otot rangka yang dapat
mengurangi intensitas nyeri. Tingkatkan relaksasi masase.
Rasional:teknik ini akan melancarkan peredaran darah sehingga
O2 padajaringan terpenuhi dan nyeri berkurang.
6) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
Rasional: mengalihkan perhatian klien terhadap nyeri ke hal-hal yang
menyenakan.
7) Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang
nyaman, misalnya waktu tidur, belakang tubuh klien dipasang bantal kecil.
Rasional: istirahat merelaksasi semua jaringan sehingga semua
akan meningkatkan kenyamanan.
8) Tingkatkan pengetahuan tentang sebab-sebab nyeri dan hubungkan dengan
berapa lama nyeri akan berlangsung.
Rasional: pengetahuan tentang sebab-sebab nyeri membantu mengurangi
nyeri. Hal ini dapat membantu meningkatkan kepatuhan klien terhadap
rencana teraupetik.
9) Pantau keadaan pemasangan gips.
Rasional: gips harus tergantung (dibiarkan tergantung bebas tanpa disangga)
karena berat gips dapat digunakan sebagai traksi terus-menerus pada aksis
panjang lengan. Klien dinasihati untuk tidur dalam posisi tegak sehingga traksi
dari berat gips dapat dipertahankan secara konstan.
10) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesic.
Rasional: analgesic memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan berkurang.
c. Dx: Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan adanya port de entrée luka
operasi pada lengan atas.
Tujuan: infeksi tidak terjadi selama perawatan.
Kriteria hasil: klien mengenal factor risiko, mengenal tindakan
pencegahan/mengurangi factor risiko infeksi, dan menunjukan/mendemonstrasikan
teknik-teknik untuk meningkatkan lingkungan yang aman.
Intervensi:
1) Kaji dan monitor luka operasi setiap hari.
Rasional : mendeteksi secara dini gejala-gejala inflamasi yang mungkin timbul
secara sekunder akibat adanya luka pasca operasi.
2) Lakukan perawatan luka secara steril.
Rasional: teknik perawatan luka secara steril dapat mengurangi kontaminasi
kuman.
3) Pantau/batasi kunjungan.
Rasional : mengurangi risiko kontak infeksi dari orang lain.
4) Bantu perawatan diri dan keterbatasan aktivitas sesuai toleransi. Bantu program
latihan.
5) Rasional: menunjukan kemampuan secara umum, kekuatan otot, dan
merangsang pengembalian system imun.
6) Berikan antibiotic sesuai indikasi.
7) Rasional: satu atau beberapa agens diberikan yang bergantung pada sifat
pathogen dan infeksi yang terjadi.
f. Dx: Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, akan menjalani operasi, status
ekonomi, dan perubahan fungsi peran.
Tujuan: Ansietas hilang atau berkurang.
Criteria hasil: klien mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau
factor yang mempengaruhi, dan menyatakan ansietasnya berkurang.
Intervensi:
1) Kaji tanda verbal dan nonverbal ansietas. Dampingi klien dan lakukan tindakan
bila klien menunjukan perilaku merusak
R: reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukan rasa agitasi, marah dan gelisa.
2) Hindari konfrontasi.
R: konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja sama, dan
mungkin memperlambat penyembuhan.
3) Mulai lakukan tindakan untuk mengurangi ansietas. Beri lingkungan yang
tenang dan suasana penuh istirahat.
R: mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.
4) Tingkatkan control sensasi klien.
R: control sensasi klien (dalam mengurangi ketakutan) denga cara
membberikan informasi tentang keadaan klien, menekankann penghargaan
terhadap sumber-sumber koping (pertahanan diri) yang positif, membantu
latihan relaksasi dan teknik-teknik pengalihan, serta memberikan umpan balik
yang positif.
5) Orientasikan klien terhadap tahap-tahap prosedur operasi dan aktivitas yang
diharapkan.
R: orientasi terhadap prosedur operasi dapat mengurangi ansietas.
6) Beri kesempatan klen mengungkapkan ansietasnya
R: dapat menghilangkann ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak
diekspresikan.
7) Berikan privasi kepada klien dengan orang terdekat.
R: memberi waktu untuk mengekspresikan perasaan, menghilangkan ansietas,
dan perillaku adaptasi. Adanya keluarga dan teman-teman yang dipilih klien
untuk melakukan aktivitas pengalihan perhatian akan mengurangi perasaan
terisolasi.
4. Evaluasi
Hasil asuhan keperawatan yang diharapkan adalah nyeri teratasi, terpenuhinya
pergerakan/mobilitas fisik, terhindar dari cedera, infeksi pascaoperasi, dan ansietas
berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
Rasjad C.2007. Pengantar Bedah Ortopedi. PT. Yarsef Watampone : Jakarta. Hal
380-395.
King Maurice; 2005; Fracture of the Shaft of the Humerus In: Primary Surgery
Volume Two: Trauma; Oxford University Press; UK; p. 233-235
Wim de Jong & Sjamsuhidajat R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi ke 2 .EGC :
Jakarta.
Apley, A. Graham. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Widya
Medika: Jakarta.
Mansjoer A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Medika Aesculapius FKUI
: Jakarta
Kenneth J, dkk. 2002. Fractures Of The Shaft Of The Humerus In Chapter 43:
Orthopedic; In: Handbook of Fracture second edition. Wolters Klunser
Company : New York.
Elis Harorld, 2006, Part 3: Upper Limb, The Bones and Joint of the Upper
Limbs; In: Clinical Anatomy Eleventh Edition (e-book); Blackwell
Publishing; Oxford University; p 169-170
Holmes E.J and Misra R.R; 2004; Humerus fracture – Shaft fracture In: AZ of
Emergency Radiology (e-book); UK; Cambridge University Press; p
110-111.
RESUME GAWAT DARURAT
Mekanisme cedera:
Close Fraktur Humerus ½ distal
Tangan kanan pasien nampak bengkak
Terpasang spalak
Terdapat luka gores kecil dikedua kaki
Primery AIRWAY Diagnosa keperawatan: Tidak ada
survey
Jalan nafas: Jalan nafas bersih tidak ada sekret
Obstruksi : Tidak ada Obstruksi lidah, cairan ataupun benda asing
/menit
Nadi : 64 x/menit
Sianosis : Tidak ada sianosis
41
Spo2 : 99%
Tanda-tanda vital:
TD : 135/74 Mmhg
N:64
RR: 20 /menit
Suhu: 36,7 ⁰c
P : pasien mengatakan nyeri akibat
kecelakaan
Q : pasien mengatakan nyeri terasa seperti
ditekan/ditusuk-tusuk/diremas
R : pasien mengatakan nyeri di bagian 1/2
tangan kiri bawah (0s humerus distal)
S : pasien mengatakan skala nyeri 6/10
T : pasien mengatakan nyeri terasa terus-
menerus
Alergi :
Medikasi :
Ketorolac 1 A/2x3 mg
Inj. NaCl 500 cc/ 20 tpm
Even/peristiwa penyebab:
Inspeksi:
tidak ada luka tekan, simetris
Palpasi:
tidak ada oedem dan nyeri tekan
Neurologis:
Pada pemeriksaan GCS klien
mampu membuka mata secara
spontan, klien mampu berbicara
dengan baik klien mampu mengikuti
perintah, setelah dilakukan scoring
GCS : 15, maka dapat diambil
kesimpulan tingkat kesadaran :
Compos Mentis.
Pada pemeriksaan tanda-tanda
rangsangan otak : tidak ada
peningkatan suhu tubuh, nyeri
kepala.
Hasil :
Hasil pemeriksaan Laboratorium
tanggal 27 April 2021
Hemaglobin 12.0 L
Lekosit 9.100 H
Nama terang: M.Yusuf Ashari
Hematocrit 37 L
Trombosit 4.10 L
MCV 90 fL
MCH 29 pg
MCHC 33 g/dl
Laju Endap darah 36H mm/jam
Rapid Antigen Covid Negatif
50
(1400) antisiapasi dari ketidaknyamanan R: nafas dalam yang diajarkan pasien
O: akibat prosedur Nyeri berkurang dab ketika terasa nyeri
Lakukan pengkajian nyeri dirasakan hanya
(Pain Management) secara melakukan kolabaorasi dengan ditangan kiri saja monitor TTV
komprehensif yang meliputi pasien, orang terdekat dan tim S:
lokasi, karakteristik, durasi, nyeri 4/10 Observasi skala nyeri pasien
frekuensi, kualitas, kesehatan lainnya untuk memilih T:
intensitas atau beratnya dan mengimplementasikan kadang muncul
nyeri dan faktor pencetus
penurunan nyeri nonfarmakologis ketika digerakkan
N: secara keseluruhan secara berlebihan
Berikan pasien penurun nyeri
yang optimal dengan tapi dengan nyeri
peresepan analgesik yang berbeda
posisikan pasien dengan
meninggikan sanggahan dan
sangga daerah luka
E:
ajarkan pasien latihan
teknik Range of Monition
(ROM)
ajarkan paien untuk
mengunakan teknik
relaksasi (latihan nafas
dalam)
berikan informasi mengenai
nyeri, seperti penyebab
nyeri , berapa lama nyeri
dirasakan , antisiapasi dari
ketidaknyamanan akibat
prosedur
C:
Kolaborasikan dengan
pasien, orang terdekat dan
tim kesehatan lainnya untuk
memilih dan
mengimplementasikan
penurunan nyeri
nonfarmakologis secara
keseluruhan
Monitor kemampuan
perawatan diri secara
mandiri
Monitor kebutuhan
pasien terkait dengan
alat-alat kebersihan diri,
alat bantu untuk
berpakaian, berdandan,
eliminasi dan makan
N:
Posisikan pasien
semifowler
Ciptakan rutinitas
aktifitatas perawatan diri
Dorong kemandirian
pasien, tapi bantu ketika
pasien tak mampu
melakukannya
Jaga kenyamanan
lingkungan sekitar
pasien
E:
C:
Dokumentasikan
perkembangan pasien
dengan baik