Anda di halaman 1dari 65

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes Melitus (DM) merupakan gangguan kesehatan yang berupa

kumpulan gejala yang disebabkan oleh peningkatan kadar gula (glukosa) darah

akibat kekurangan ataupun resistensi insulin. Penyakit ini sudah lama dikenal,

terutama dikalangan keluarga, khususnya keluarga berbadan besar (kegemukan)

bersama dengan gaya hidup tinggi atau moderen. Akibatnya, kenyataan

menunjukkan DM telah menjadi penyakit masyarakat umum, menjadi beban

kesehatan masyarakat, meluas dan membawa banyak kecacatan dan kematian

[CITATION Bus15 \l 1057 ].

Berdasarkan World Health Organization (WHO), pada tahun 2014, 8,5%

dari orang dewasa berusia 18 tahun dan lebih tua menderita diabetes. Pada

diabetes 2012 adalah penyebab langsung dari 1,5 juta kematian dan glukosa darah

tinggi adalah penyebab lain 2,2 juta kematian. Hampir setengah dari semua

kematian disebabkan glukosa darah tinggi terjadi sebelum usia 70 tahun. WHO

memprediksi bahwa diabetes akan menjadi penyebab utama 7 kematian pada

tahun 2030 [CITATION Fac16 \l 1057 ].

Prevalensi diabetes pada tahun 2015 ditata dalam bentuk angka yang tajam.

Untuk pertama kalinya diperkirakan sekarang ada lebih dari setengah juta anak

berusia 14 dan tinggal dengan diabetes tipe I. International Diabetes Federation

(IDF) juga memperkirakan sekarang ada 415 juta orang dewasa berusia 20-79

dengan diabetes di seluruh dunia, termasuk 193 juta yang tidak terdiagnosis.

Sebanyak 318 juta orang dewasa diperkirakan memiliki gangguan toleransi

1
2

glukosa, yang membuat mereka berisiko tinggi terkena penyakit ini. Jika kenaikan

ini tidak dihentikan, pada tahun 2040 akan ada 642 juta orang yang hidup dengan

penyakit ini[ CITATION IDF15 \l 1057 ].

Sesuai hasil Rikesdes 2013, prevalensi Diabetes Melitus di Indonesia

berdasarkan wawancara yang terdiagnosis dokter sebesar 1,5% Diabetes Melitus

terdiagnosis dokter atau gejala sebesar 2,1%. Prevalensi Diabetes Melitus yang

terdiagnosis tertinggi terdapat di Daerah Istimewa Yogyakarta (2,6%). Prevalensi

diabetes yang terdiagnosis dokter atau gejala tertinggi terdapat di Sulawesi

Tengah (3,7%), Sulawesi Utara (3,6%), Sulawesi Selatan (3,4%) [CITATION

Kem13 \l 1057 ].

Menurut hasil Riskesdas Tahun 2013 Prevalensi diabetes di Sulawesi

Selatan yang didiagnosis dokter sebesar 1,6%. DM yang didiagnosis dokter atau

berdasarkan gejala sebesar 3,4%. Prevalensi diabetes yang didiagnosis dokter

tertinggi terdapat di Kabupaten Pinrang (2,8%), Kota Makassar (2,5%),

Kabupaten Toraja Utara (2,3%) dan Kota Palopo (2,1%). Prevalensi diabetes yang

didiagnosis dokter atau berdasarkan gejala, tertinggi di Kabupaten Tana Toraja

(6,1%), Kota Makassar (5,3%), Kabupaten Luwu (5,2%) dan Kabupaten Luwu

Utara (4,0%). Berdasarkan data Survailans Penyakit tidak menular Bidang P2PL

Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2014 terdapat Diabetes Melitus

27.470 kasus baru, 66.780 kasus lama dengan 747 kematian [CITATION Din14 \l

1057 ].

Berdasarkan data dari Bidang Bina P2PL Dinkes Kota Makassar,

menunjukkan bahwa 10 (sepuluh) jenis penyakit penyebab utama kematian di

Kota Makassar tahun 2015 yaitu, asma sebanyak 1.210 kasus, jantung sebanyak
3

393 kasus, hipertensi sebanyak 370 kasus, Diabetes Mellitus sebanyak 191 kasus,

stroke sebanyak 151 kasus, maag sebanyak 151 kasus, broncho pneumonia

sebanyak 122 kasus, kecelakaan sebanyak 76 kasus, ginjal sebanyak 61 kasus dan

TB Paru sebanyak 57 kasus [ CITATION Din16 \l 1057 ].

Diabetes Melitus (DM) adalah gangguan kesehatan yang berupa kumpulan

gejala yang disebabkan oleh peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat

kekurangan ataupun resistensi insulin. Penyakit ini sudah lama dikenal, terutama

dikalangan keluarga, khususnya keluarga berbadan besar (kegemukan) bersama

dengan gaya hidup tinggi atau moderen. Akibatnya, kenyataan menunjukkan DM

telah menjadi penyakit masyarakat umum, menjadi beban kesehatan masyarakat,

meluas dan membawa banyak kecacatan dan kematian [CITATION Bus15 \l 1057 ].

Penyembuhan luka membutuhkan nutrisi yang tinggi. Pasien memerlukan

diet tinggi protein, vitamin A, C, B12, zat besi, dan kalsium. Nutrisi yang

terpenuhi yaitu dengan mengkonsumsi diet tinggi protein, vitamin A, C, B12, zat

besi, dan kalsium dapat mengalami penyembuhan luka dengan kriteria sembuh.

pasien dengan nutrisi terpenuhi akan lebih cepat mengalami kesembuhan lukanya [

CITATION Soe15 \l 1057 ].

Stres juga sangat berpengaruh pada berbagai kesehatan, yaitu perubahan

yang diakibatkan oleh stress secara langsung mempengaruhi fisik dan sistem

tubuh. Stres juga secara tidak langsung mempengaruhi perilaku individu tersebut

sehingga menyebabkan timbulnya penyakit atau memperburuk situasi yang sudah

ada[ CITATION Ast14 \l 1057 ].

Berdasarkan data dari Ruang Rawat Inap Bedah RSUD Barru, menunjukkan

bahwa jumlah pasien dalam 3 bulan terakhir sebanyak 118 pasien, dimana jumlah
4

pasien pada bulan Juli sebanyak 45 pasien yang mengalami kecemasan 17 orang

(37,7%) menurun pada Agustus sebanyakn 28 pasien yang mengalami kecemasan

14 orang (50,0%) dan meningkat pada bulan September sebanyak 45 pasien yang

mengalami kecemasan 28 orang (62,0%). Jadi jumlah pasien yang mengalami

kecemasan dari bulan Juli sampai September 2019 sebanyak 59 pasien (Rekam

Medik RSUD Barru, 2019). Berdasarkan hasil observasi pada saat pengambilan

data awal didapatkan bahwa pasien masih kurang memahami tentang penyakit

yang dialami oleh pasien sehingga kurang merawat diri.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis merasa perlu

melakukan penelitian tentang “Hubungan Antara Status Nutrisi dan Kecemasan

dengan Proses Penyembuhan Luka Diabetes Melitus di Ruang Rawat Inap Bedah

RSUD Barru”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah “apakah ada hubungan antara status nutrisi dan kecemasan dengan proses

penyembuhan luka diabetes melitus di Ruang Rawat Inap Bedah RSUD Barru?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Diketahuinya hubungan antara status nutrisi dan kecemasan dengan

proses penyembuhan luka diabetes melitus di Ruang Rawat Inap Bedah

RSUD Barru.
5

2. Tujuan khusus

a. Diketahuinya hubungan antara status nutrisi dengan proses penyembuhan

luka diabetes melitus di Ruang Rawat Inap Bedah RSUD Barru.

b. Diketahuinya hubungan antara kecemasan dengan proses penyembuhan

luka diabetes melitus di Ruang Rawat Inap Bedah RSUD Barru.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu

keperawatan terkait dengan Keperawatan Medikal Bedah khususnya yang

berhubungan dengan proses penyembuhan luka diabetes melitus.

2. Manfaat praktis

Manfaat bagi peneliti adalah sebagai pengalaman berharga dan

bermanfaat dalam menambah ilmu pengetahuan khususnya berhubungan

dengan proses penyembuhan luka diabetes melitus.

3. Manfaat peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti terutama untuk

menambah wawasan dalam hal ini sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh galar Sarjana Keperawatan (S.Kep) di STIKES Nani Hasanuddin

Makassar.
6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Diabetes Melitus

1. Pengertian

Diabetes melitus adalah suatu penyakit ketika tubuh tidak dapat

menghasilkan insulin. Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit

degeneratif, yaitu penyakit akibat fungsi atau struktur dari jaringan atau organ

tubuh yang secara progresif menurun dari waktu ke waktu karena usia atau

pilihan gaya hidup[CITATION Nov15 \l 1057 ].

Diabetes Melitus (DM) adalah gangguan kesehatan yang berupa

kumpulan gejala yang disebabkan oleh peningkatan kadar gula (glukosa)

darah akibat kekurangan ataupun resistensi insulin. Penyakit ini sudah lama

dikenal, terutama dikalangan keluarga, khususnya keluarga berbadan besar

(kegemukan) bersama dengan gaya hidup tinggi atau moderen. Akibatnya,

kenyataan menunjukkan DM telah menjadi penyakit masyarakat umum,

menjadi beban kesehatan masyarakat, meluas dan membawa banyak

kecacatan dan kematian [CITATION Bus15 \l 1057 ].

Diabetes Melitus adalah keadaan hiperglikemi kronik yang disertai

berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan

berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah.

Diabetes Mellitus klinis adalah suatu sindroma gangguan metabolisme

dengan hiperglikemia yang tidak semestinya sebagai akibat suatu defisiensi

sekresi insulin atau berkurangnya efektifitas biologis dari insulin atau

keduanya[ CITATION Ren12 \l 1057 ].


7

2. Jenis-jenis Diabetes Melitus

Dikenal 2 jenis utama diabetes melitus. Kedua jenis diabetes melitus

dibagi dengan melihat faktor etiologisnya, antara lain [CITATION Bus15 \l

1057 ]:

a. Diabetes Melitus tipe I (Type l IDDM)

Disebabkan oleh gangguan sel Beta pankreas. Diabetes Melitus ini

berhubungan dengan antibodi berupa lslet Cell buta Antibodies (ICA),

Insulin Autoantibodies (IA), dan Glutamic Acid Decarboxylase

Antibodies (GADA). Anak-anak penderita aume IDDM 90% mempunyai

jenis antibodi. Ada juga jenis lainnya seperti Gestational Diabetes. Pada

Diabetes Melitus tipe I terjadi destruksi sel Beta, ditandai dengan

defisiensi insulin absolut.

b. Diabetes Melitus tipe II (DDM)

Diabetes ini terjadi dari bervariasi sebab, dari dominasi insulin

resisten relatif sampai defek sekresi insulin.

c. Diabetes Melitus gestational karena dampak kehamilan.

d. Diabetes Melitus tipe lain

Bisa berupa efek genetik fungsi insulin, efek genetik kerja insulin,

infeksi, karena obat/kimiawi, sebab immunoligis lain, sindro genetik yang

terkait Diabetes Melitus.

3. Etiologi
8

Adapun etiologi dari penyakit diabetes melitus, antara lain [ CITATION Pad \l

1057 ]:

a. Diabetes Melitus tipe I

1) Faktor genetik

Penderita tidak mewarisi diabetes tipe itu sendiri, tetapi

mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik kearah

terjadinya diabetes tipe I. Kecenderungan genetik itu ditemukan pada

individu yang memiliki tipe antigen HLA.

2) Faktor imunologi

Adanya respond otoimun yang merupakan respons abnormal

dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara

bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggap seolah-olah

sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau

Langerhans dan insulin endogen.

3) Faktor lingkungan

Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang

menimbulkan destruksi sel beta.

b. Diabetes Melitus tipe II

Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan

gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui.

Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi

insulin. Faktor-faktor resiko:

1) Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas 65

tahun).
9

2) Obesitas.

3) Riwayat keluarga.

4. Manifestasi klinis

Seseorang dapat dikatakan menderita Diabetes Mellitus apabila

menderita dua dari tiga gejala yaitu [ CITATION Ren12 \l 1057 ]:

a. Keluhan TRIAS: banyak minum, banyak kencing dan penurunan berat

badan.

b. Kadar glukosa darah pada waktu puasa lebih dari 120 mg/dl.

c. Kadar glukosa darah dua jam sesudah makan lebih dari 200 mg/dl.

Keluhan yang sering terjadi pada penderita Diabetes Mellitus adalah:

poliuria, polidipsia, polifagia, berat badan menurun, lemah, kesemutan, gatal,

visus menurun, bisul/luka, Keputihan.

5. Komplikasi Diabetes Melitus

Kebesaran kerajaan Diabetes Melitus akan lebih tampak kekuasaannya

ketika Diabetes Melitus memasuki tahapan komplikasi. Diabetes Melitus

dapat menyerang hampir seluruh sistem tubuh manusia, mulai dari kulit

sampai jantung. Bentuk-bentuk komplikasi itu bisa berupa, masing-masing

pada sistem [CITATION Bus15 \l 1057 ] :

a. Sistem kardiovaskuler : hipertensi, infark miokard, insufiensi koroner.

b. Mata : retinopati diabetika, katarak.

c. Saraf : neropati diabetika.

d. Paru-paru : TBC.

e. Ginjal : pielonefritis, glumeruloskelrosis.

f. Hati : sirosis hepatis.


10

g. Kulit : gangren, ulkus, furunkel

Komplikasi bisa bersifat akut, dan ada yang kronik. Komplikasi akut

ditandai dengan infeksi (karbunkel, angren, pielonefritis, dan lain-lain).

Terjadi ketoasidosis, diikuti koma. Komplikasi kronik berhubungan dengan

kerusakan dinding pembuluh darah yang menimbulkan aterosklerosis khas

pada pembuluh darah kecil di bagian ujung organ yang disebut mikroangipati.

Manifestasinya berupa retinopati, glomeruloskelerosis, dan

neuropati[ CITATION Bus15 \l 1057 ].

Komplikasi Diabetes Melitus (tipe II) dapat dibagi atas 2, antara

lain[CITATION Bus15 \l 1057 ] :

a. Komplikasi awal (Early complication)

1) Hiperalbuminuria

2) Background retinopathy

3) Neuropathy

4) Kalsifikasi artei medial

5) Hipertensi

b. Komplikasi Lanjut (Late complication)

1) Kegagalan ginjal (rebal failure).

2) Proliferative retinopathy

3) Gangren dan amputasi

4) Coronary heart disease

5) Diabetes related death

6. Penatalaksanaan
11

Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan

aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi

komplikasi vaskuler serta neuropati. Tujuan terapeutik pada setiap tipe

diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal. Ada 5 komponen

dalam penatalaksanaan diabetes[ CITATION Pad \l 1057 ]:

a. Diet

b. Latihan

c. Pemantauan

d. Terapi (jika diperlukan)

e. Pendidikan Kesehatan

7. Pengendalian Diabetes Melitus

Secara umum pengendalian Diabetes Melitus dimaksudkan untuk

mengurangi gejala, membentuk berat badan ideal, dan mencegah akibat lanjut

atau komplikasi. Dengan demikian, prinsip dasar manajemen pengendalian

atau penanganan Diabetes Melitus meliputi[CITATION Bus15 \l 1057 ] :

a. Pengaturan makanan : yang pertama dan kunci manajemen Diabetes

Melitus, yang sekilas tampaknya mudah tapi kenyataannya sulit

mengendalikan terhadap “nafsu makan”.

b. Latihan jasmani.

c. Perubahan perilaku risiko.

d. Obat anti diabetik.

e. Intervensi bedah : sebagai pilihan terakhir, kalau memungkinkan dengan

cangkok pankreas.

8. Pencegahan komprehensif Diabetes Melitus


12

Kunci utama pencegahan diabetes terletak pada tiga titik yang saling

berkaitan[CITATION Bus15 \l 1057 ] :

a. Pengendalian berat badan.

b. Aktif olahraga

c. Makan sehat.

Bentuk pengendalian ini dilakukan dengan menurunkan berat badan

sedikit (5-7% dari total berat) disertai dengan 30 menit kegiatan fisik olahraga

5 hari per minggu, sambil makan secukupnya yang sehat. Selain itu, untuk

identifikasi diri terhadap risiko diabetes, maka setiap orang mulai berusia 45

tahun, terutama yang berat badan lebih, seharusnya uji diabetes. Pencegahan

komprehensif diabetes sepenuhnya meliputi[CITATION Bus15 \l 1057 ] :

a. Pencegahan premordial kepada masyarakat yang sehat, untuk berperilaku

positif mendukung kesehatan umum dan upaya menghindarkan diri dari

risiko diabetes melitus. Misalnya, berprilaku hidup sehat, tidak merokok,

makanan bergizi dan seimbang, ataupun bisa diet, diri terhadap makanan

tertentu atau kegiatan jasmani yang memadai.

b. Promosi kesehatan

Ditujukan pada kelompok berisiko, untuk mengurangi atau

menghilangkan risiko yang ada. Dapat dilakukan penyuluhan dan

penambahan ilmu terhadap masyarakat.

c. Pencegahan khusus
13

Ditujukan kepada mereka yang mempunyai risiko tinggi untuk

melakukan pemeriksaan atau upaya sehingga tidak jatuh ke diabetes

melitus. Upaya ini dapat berbentuk konsultasi gizi/dietetik.

d. Diagnosis awal

Dapat dilakukan dengan penyaringan (screening), yakni

pemeriksaan kadar gula darah kelompok risiko. Pada dasarnya Diabetes

Melitus mudah didiagnosis, dengan bantuan pemeriksaan sederhana,

terlebih dengan teknologi canggih. Hanya saja keinginan masyarakat

untuk memeriksa dini dan aksesibilitas yang rendah (pelayanan yang

tersedia masih kurang dan belum mudah didapatkan oleh masyarakat).

e. Pengobatan yang tepat

Dikenal berbagai macam upaya dan pendekatan pengobatan

terdapat penderita untuk tidak jatuh ke diabetes melitus yang lebih berat

atau komplikasi.

f. Disability limitation

Pembatasan kecacatan yang ditujukan kapada upaya maksimal

mengatasi dampak komplikasi diabetes melitus sehingga tidak menjadi

lebih berat.

g. Rehabilitasi, sosial maupun medis.

9. Obat-obatan Diabetes Melitus

Obat Anti Diabetik (OAD) diberikan sesuai dengan peran masing-

masing obat [CITATION Bus15 \l 1057 ]:

a. Obat yang merangsang sel-sel beta untuk mengeluarkan insulin (insulin

secretagogue), misalnya sulphonylurea.


14

b. Obat yang bekerja di perifer pada otot dan lemak, mensensitifkan otot

seperti Metformin.

c. Obat yang mencegah penyerapan glukosa di usus dengan menghambat

kerja enzim alpha glucosidase, misalnya Acar bosein.

B. Tinjauan tentang Luka

1. Pengertian luka

Luka adalah suatu keadaan terputusnya kontinuitas jaringan tubuh yang

dapat menyebabkan terganggunya fungsi tubuh sehingga mengganggu

aktivitas sehari-hari[ CITATION Placeholder1 \l 1057 ].

2. Proses penyembuhan Luka

Proses penyembuhan luka melibatkan integritas proes fisiologis. Sifat

penyembuhan pada semua luka sama, dengan variasinya yang bergantung

pada lokasi, tingkat keparahan dan luas luka. Proses penyembuhan luka juga

dipengaruhi oleh kemampuan sel dan jaringan dalam melakukan regenerasi

ke struktur normal, misalnya sel hati, tubulus ginjal dan neuron pada sistem

saraf pusat mengalami regenerasi sel yang lambat atau bahkan tidak

beregenerasi sama sekali. Proses penyembuhan luka di bagi dalam beberapa

fase [ CITATION AlF15 \l 1057 ]:

a. Fase inflamasi (reaksi)

Fase ini terjadi segera setelah luka dan berakhir 3 sampai 4 hari.

Dua proses utama terjadi pada fase ini yaitu hemostasis dan fagositosis.

Hemostasis adalah proses penghentian perdarahan akibat kontriksi

pembuluh darah besar daerah luka, retraksi pembuluh darah, endapan

fibrin, dan pembentukan bekuan darah di daerah luka. Fase inflamasi


15

juga memerlukan pembuluh darah dan respon seluler yang akan

digunakan untuk mengangkat benda-benda asing dan jaringan mati.

Suplai darah yang meningkat ke jaringan membawa bahan-bahan dan

nutrisi yang diperlukan pada proses penyembuhan. Pada akhirnya daerah

luka tampak merah dan sedikit bengkak. Selama sel berpindah leukosit

(terutama netrofil) berpindah kedaerah interstisial. Tempat ini di tempati

oleh makrofag yang keluar dari monosit selama kurang lebih 24 jam

setelah terjadi luka. Makrofag ini menelan mikroorganisme dan sel debris

melalui proses yang disebut fagositosis.

b. Fase destruktif

Fase ini berlangsung selama 1 sampai 6 hari sejak terjadinya luka.

Pada fase ini leukosit polimorfonuklear dan makrofag bekerja dalam

pembersihan jaringan yang telah mati atau yang mengalami devitalisasi

dan bakteri. Peran polimorf sangat tinggi dalam proses penyembuhan

luka,yaitu untuk menelan dan menghancurkan bakteri. Waktu hidup

polimorf cukup singkat, namun penyembuhan luka tetap dapat

berlangsung terus tanpa adanya sel ini dan proses penyembuhan luka

akan berhenti bila makrofag mengalami deaktivasi. Sel-sel tersebut tidak

hanya mampu mengancurkan bakteri dan mengeluarkan jaringan yang

mengalami devitalisasi serta fibrin yang berlebihan, tetapi juga mampu

merangsang pembentukan fibloblas, yang melakukan sintesa struktur

protein kolagen dan menghasilkan sebuah faktor yang dapat merangsang

angiogenesis.

c. Fase proliferasi (regenerasi)


16

Fase ini berlangsung dari hari ke-3 atau ke-4 sampai hari ke -12

setelah terjadinya luka. Diawali dengan sintesis kolagen dan substansi

dasar yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari setelah terjadi luka.

Kolagen adalah substansi protein yang menambah tegangan permukaan

luka. Jumlah kolagen yang meningkat menambah kekuatan permukaan

luka. Kapilarisasi tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran darah

yang memberikan oksigendan nutrisi yang diperlukan bagi

penyembuhan. Fiboblas berpindah dari pembuluh darah ke luka

membawa fibrin. Seiring dengan perkembangan kapilarisasi jaringan

secara perlahan luka berwarna merah.

d. Fase epitelisasi

Fase epitelisasi dimulai beberapa jam setelah terjadi luka

bersamaan dengan proses hemostasis. Fase ini juga saling melengkapi

fase lain dalam proses penyembuhan luka. Kegagalan pada fase

epitelisasi mungkin dapat terjadi akibat faktor eksternal, internal atau

kelainan gentik. Hyperkeratosis adalah salah satu kondisi tidak normal

dari fase epitelisasi dan dapat berujung pada pembentukan lapisan

tanduk.

e. Fase maturasi (remodeling)

Fase ini dimulai hari ke-21 dan berakhir 1-2 tahun. Fibroblas terus

mensintesis kolagen, berkembang, memperbanyak diri dan menyatu

dalam struktur yang lebih kuat. Secara umum luka akan mencapai 80%

kekuatan peregangannya dalam rentang waktu 2 tahun, kegagalan fase

remodeling ditandai dengan kegagalan penutupan luka.


17

3. Klasifikasi luka

Adapun klasifikasi luka, antara lain sebagai berikut [ CITATION Eka13 \l 1057 ] :

a. Berdasarkan kedalaman jaringan

1) Partial Thickness adalah luka mengenai lapisan epidermis dan

dermis

2) Full Thickness adalah luka mengenai lapisan epidermis, dermis dan

subcutaneous. dan termasuk mengenai otot, tendon dan tulang.

b. Berdasarkan waktu dan lamanya

1) Akut

Luka baru, terjadi mendadak dan penyembuhannya sesuai

dengan waktu yang diperkirakan. Luka akut merupakan luka trauma

yang biasanya segera mendapat penanganan dan biasanya dapat

sembuh dengan baik bila tidak terjadi komplikasi.

2) Kronik

Luka yang berlangsung lama atau sering timbul kembali

(rekuren), terjadi gangguan pada proses penyembuhan yang biasanya

disebabkan oleh masalah multifaktor dari penderita. Pada luka

kronik luka gagal sembuh pada waktu yang diperkirakan, tidak

berespon baik terhadap terapi dan punya tendensi untuk timbul

kembali.

4. Tipe penyembuhan luka

a. Penyembuhan luka primer (Primary Intention Healing)


18

Timbul bila jaringan telah melekat secara baik dan jaringan yang

hilang minimal atau tidak ada. Tipe penyembuhan yang pertama ini

dikarakteristikkan oleh pembentukan minimal jaringan granulasi dan

skar. Pada luka ini proses inflamasi adalah minimal sebab kerusakan

jaringan tidak luas. Epitelisasi biasanya timbul dalam 72 jam, sehingga

resiko infeksi menjadi lebih rendah. Jaringan granulasi yang terbentuk

hanya sedikit atau tidak terbentuk. Hal ini terjadi karena adanya migrasi

tipe jaringan yang sama dari kedua sisi luka yang akan memfasilitasi

regenerasi jaringan [ CITATION Eka13 \l 1057 ].

b. Penyembuhan luka sekunder (Secondary Intention Healing)

Tipe ini dikarakteristikkan oleh adanya luka yang luas dan

hilangnya jaringan dalam jumlah besar, penyembuhan jaringan yang

hilang ini akan melibatkan granulasi jaringan. Pada penyembuhan luka

sekunder, proses inflamasi adalah signifikan. Seringkali terdapat lebih

banyak debris dan jaringan nekrotik dan periode fagositosit yang lebih

lama. Hal ini menyebabkan resiko infeksi menjadi lebih besar [ CITATION

Eka13 \l 1057 ].

c. Penyembuhan luka tertiar (Tertiary Intention Healing)

Merupakan penyembuhan luka terakhir. Sebuah luka di indikasikan

termasuk kedalam tipe ini jika terdapat keterlambatan penyembuhan

luka, sebagai contoh jika sirkulasi pada area injuri adalah buruk. Luka

yang sembuh dengan penyembuhan tertier akan memerlukan lebih

banyak jaringan penyambung (jaringan scar). Contohnya: luka abdomen


19

yang dibiarkan terbuka oleh karena adanya drainage [ CITATION Eka13 \l

1057 ].

5. Faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka

a. Faktor umum

1) Perfusi dan oksigenasi jaringan

Proses penyembuhan luka tergantung suplai oksigen. Oksigen

merupakan kritikal untuk leukosit dalam menghancurkan bakteri dan

untuk fibroblast dalam menstimulasi sintesis kolagen. Selain itu

kekurangan oksingen dapat menghambat aktifitas fagositosis. Dalam

keadaan anemia dimana terjadi penurunan oksigen jaringan maka

akan menghambat proses penyembuhan luka [ CITATION Eka13 \l

1057 ].

2) Status nutrisi

Kadar serum albumin rendah akan menurunkan difusi

(penyebaran) dan membatasi kemampuan neutrofil untuk membunuh

bakteri. Oksigen rendah pada tingkat kapiler membatasi profilerasi

jaringan granulasi yang sehat. Defisiensi zat besi dapat melambatkan

kecepatan epitelisasi dan menurunkan kekuatan luka dan kolagen.

Jumlah vitamin A dan C zat besi dan tembaga yang memadai

diperlukan untuk pembentukan kolagen yang efektif. Sintesis

kolagen juga tergantung pada asupan protein, karbohidrat dan lemak

yang tepat. Penyembuhan luka membutuhkan dua kali lipat


20

kebutuhan protein dan karbohidrat dari biasanya untuk segala usia.

Malnutrisi menghambat proses penyembuhan luka dan

meningkatkan terjadinya infeksi. Hal ini dapat timbul karena

kurangnya intake nutrisi (misalnya sindrome malabsorbsi) [ CITATION

Eka13 \l 1057 ].

3) Stres fisik dan psikologis

Stres, cemas dan depresi telah dibuktikan dapat mengurangi

efisiensi dari sistem imun sehingga dapat mempengaruhi proses

penyembuhan. Suatu sikap positif untuk memberikan penyembuhan

oleh tiap pasien dan perawat dapat mempengaruhi dalam

meningkatkan penyembuhan luka [ CITATION Eka13 \l 1057 ].

4) Gangguan sensasi atau gerakan

Gangguan aliran darah yang disebabkan oleh tekanan dan

gesekan benda asing pada pembuluh darah kapiler dapat

menyebabkan jaringan mati pada tingkat lokal. Gerakan/mobilisasi

diperlukan untuk membantu sistem sirkulasi, khususnya pembuluh

darah balik (vena) pada ekstremitas bawah [ CITATION Eka13 \l 1057 ].

b. Faktor lokal

1) Praktek managemen luka

Tidak sesuainya penanganan luka secara umum dapat

mempengaruhi penyembuhan, untuk mencengah dan

mengidentifikasi masalah tersebut, fisiologi penyembuhan luka harus


21

dipahami sebagai kebutuhan dari proses penyembuhan tersebut.

Pengetahuan beberapa jenis atau kategori dari produk perawatan

luka dan bentuk pemberian pelayanan mereka merupakan sesuatu

yang penting. Luka harus dilakukan dalam sebuah metode dengan

mempertimbangkan suatu keadaan dari jaringan luka tersebut. Luka,

pasien/personal dan kebersihan lingkungan harus lebih optimal,

untuk mengurangi resiko terjadinya infeksi silang [ CITATION Eka13 \l

1057 ].

2) Hidrasi luka

Penanganan luka secara tradisional didukung dengan keadaan

lingkungan luka yang kering, karena berdasarkan keyakinan bahwa

luka kering akan mencengah infeksi. Keadaan luka kering akan

menghambat migrasi sel epitel. Sebuah luka dengan lingkungan yang

lembab membantu pertumbuhan sel untuk mempertahankan dasar

luka yang baik dan membantu proses migrasi permukaan luka.

Sebuah lingkungan yang lembab akan membantu autolitik

debridement. Nyeri pada luka berkurang jika persyarafan tetap dalam

keadaan lembab [ CITATION Eka13 \l 1057 ].

3) Temperatur luka

Dalam studi tentang efek temperatur pada penyembuhan luka,

Lock (1979) mendemonstrasikan bahwa sebuah temperatur yang

konstan kira-kira 37⁰C mempunyai dampak yang signifikan yaitu

peningkatan 108% pada aktifitas mitotik pada luka. Dengan

demikian jika penyembuhan ingin ditingkatkan, temperatur luka


22

harus dipertahankan. Seringnya luka tanpa dressing dan penggunaan

larutan dingin perlu dipertanyakan. Dressing yang mengurangi

proses penggantian dan mempertahankan kelembapan lebih kondusif

dalam proses penyembuhan [ CITATION Eka13 \l 1057 ].

4) Tekanan dan gesekan

Kapiler merupakan sel yang sangat tipis. Penekanan pada arteri

dan kapiler dengan tekanan 30 mmHg dengan penekanan terus-

menerus dapat menurunkan aliran ke akhir venous. Jika

penyumbatan pembuluh darah terjadi, hipoksia jaringan dan

menyebabkan kematian. Tekanan, gesekan dan shearing merupakan

akibat dari aktifitas atau tanpa aktifitas, retraksi kantong atau

pakaian, abrasi atau tekanan dari dressing luka. Perlindungan luka

merupakan sesuatu yang utama untuk meningkatkan vaskularisasi

dan penyembuhan [ CITATION Eka13 \l 1057 ].

5) Adanya benda asing

Beberapa benda asing pada luka dapat menghambat

penyembuhan. Secara umum benda asing yang ditemukan diluka

adalah debris luka, jahitan, lingkungan debris (misalnya kotoran,

rambut dan glass), debris produk dressing (misalnya benang, serat

kasa), infeksi. Semua luka tersebut akan menghambat penyembuhan

dan perlu diperhatikan adanya benda asing dan sinar-X mungkin

dibutuhkan. Pembersihan luka secara hati-hati, dan cairan yang


23

dingunakan untuk membersihkan harus non toksis, misalnya normal

salin [ CITATION Eka13 \l 1057 ].

6) Luka infeksi

Semua luka terkontaminasi, tetapi tidak mengakibatkan

terjadinya sepsis. Adanya bakteri sebagai bagian dari suatu flora dari

kulit, dan organisme pindah ke dalam luka dari sekitar kulit. Secara

sehat individu hidup dalam harmoni dengan jumlah besar bakteri.

Flora kulit kering rata-rata 10 sampai 1000 bakteri per gram tiap

jaringan dengan mengalami peningkatan secara dramatis dalam

bakteri dari jaringan lembab, saliva atau feses. Tempat flora kulit

akan berkoloni dengan luka yang menempati seluruh permukaan

kulit. Sebuah luka dikatakan infeksi jika adanya tingkat pertumbuhan

bakteri 100.000 organisme per gram dari jaringan. Infeksi pada luka

menghasilkan jaringan kurang sehat atau devital. Luka infeksi

kemungkinan menyebabkan infeksi sistemik, yang tidak hanya

berdampak pada proses penyembuhan tetapi dapat juga pada kondisi

pengobatan [ CITATION Eka13 \l 1057 ].

6. Instruksi khusus pengkajian status luka

a. Ukuran

Gunakan penggaris untuk mengukur bagian panjang dan lebar

permukaan luka dalam centimeter. Bandingkan panjang dan lebar setiap

pengukuran dengan panjang dan lebar saat pengukuran pertama kali.

b. Kedalaman
24

Peroleh kedalam ketebalan, yang paling sesuai dengan luka

menggunakan deskripsi tambahan ini:

0 = stuktur pendukung meliputi tendon, sambungan sendi.

1 = lapisan jaringan yang tidak tervisualisasi akibat nekrosis.

2 = lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan yang

berbatasan.

3 = superficial, abrasi, lubang yang dangkal atau lepuhan. Rata dengan,

dan/atau elevasi diatas permukaan kulit.

4 = kerusakan jaringan tapi tidak ada keretakan dipermukaan kulit.

c. Jenis jaringan nekrotik

Peroleh tipe jaringan nekrotik yang utama pada luka menurut

warna, konsistensi dan perlekatannya dengan menggunakan petunjuk :

Melekat dengan kuat, eschar = jaringan yang keras, kuat

berwarna hitam/keras melekat kuat pada dasar dan

tepi luka

Melekat, lunak, eschar = jaringan yang lembab, melekat

berwarna hitam kuat pada jaringan di tengah

atau dasar luka

Melekat dengan longgar = gumpalan debris yang tebal,

kelupasan berwarna kuning berserabut melekat di jaringan

atau putih luka

Tidak melekat, kelupasan = substansi mucinous yang tipis


25

berwarna kuning tersebar sepanjang luka mudah

sekali terpisah dari jaringan

luka

Jaringan yang berwarna putih = terlihat lebihdahulu pada luka

yang terbuka permukaan kulit

berwarna putih atau abu-abu

d. Jumlah jaringan nekrotik

Gunakan petunjuk pengukuran metric yang transparan dengan

lingkaran konsentris yang dibagi menjadi 4 (25%) kuadran berbentuk pie

untuk menentukan presentase keterlibatan luka.

e. Jenis eksudat

Purulen yang kotor = tipis, kuning buram sampai kehijaunan dengan

bau yang sangat menyengat

Purulen = tipis atau tebal, berwarna coklat buram sampai

kuning disertai ba

Serosa = tipis, encer, bening

Serosanguinosa = tipis, cairan merah pucat sampai merah muda

Berdarah = tipis, merah terang

f. Jumlah eksudat

Banyak = jaringan luka dimandikan dengan cairan,

drainase terlihat denga bebas dapat atau tidak

dapat tersebar merata dalam luka drainase

melibatkan 75% balutan.


26

Sedang = jaringan luka tersaturasi, drainase dapat atau

tidak dapat tersebar merata dalam luka, drainase

melibatkan 25% sampai 75% balutan.

Sedikit = jaringan luka basah, kelembaban menyebar rata

pada luka, drainase melibatkan 25% balutan

Sangat sedikit = jaringan luka lembab, tidak ada takaran eksudat

Tidak ada = jaringan luka kering

g. Warna kulit disekitar luka

Kaji jaringan sepanjang 4 cm dari tepi luka. Orang berkulit gelap

menunjukkan warna “merah terang” dan “merah gelap” sebagai warna

kulit etnik normal yang dalam atau warna ungu. Ketika penyembuhan

terjadi pada orang berkulit gelap. Maka kulit yang baru berwarna merah

muda dan tidak pernah menjadi gelap.

h. Jaringan edema perifer

Kaji jaringan sepanjang 4 cm dari tepi luka. Non-pitting edema

terlihat seperti kulit yang berkilau dan tegang.

i. Granulasi jaringan

Jaringan granulasi adalah pertumbuhan pembuluh darah kecil dan

jaringan penyambung untuk mengisi penuh luka yang dalam.

j. Epitalisasi jaringan

Epitalisasi jaringan adalah proses pengembalian permukaan

epidermal dan terlihat kulit berwarna merah muda atau merah. Pada luka

dengan ketebalan sebagian epitalisasi dapat terjadi sepanjang dasar luka

seperti dari tepi luka.


27

C. Tinjauan tentang Nutrisi

1. Definisi nutrisi

Nutrisi adalah proses pengambilan zat-zat makanan penting dimana

jumlah dari seluruh interaksi antara organisme dan makanan yang

dikonsumsinya. Dengan kata lain nutrisi adalah apa yang manusia makan dan

bagaimana tubuh menggunakannya. Masyarakat memperoleh makanan atau

nutrien esensial untuk pertumbuhan dan pertahanan dari seluruh jaringan

tubuh dan menormalkan fungsi dari semua proses tubuh. Nutrien adalah zat

kimia organik dan anorganik yang ditemukan dalam makanan dan diperoleh

untuk penggunaan fungsi tubuh[CITATION Placeholder1 \t \l 1057 ].

Diet diabetes melitus merupakan tujuan supaya makanan yang disajikan

sesuai dengan kesanggupan tubuh untuk menggunakan. Hal yang perlu

diperhatikan jumlah kalori sesuai dengan berat badan, tinggi badan, jenis

kelamin, aktivitas, kelainan metabolik dan suhu tubuh. Gula murni tidak

boleh digunakan dan jumlah karbohidrat disesuaikan dengan kesanggupan

tubuh[CITATION HRH14 \l 1057 ].

Salah bentuk diet yang dianjurkan adalah apa yang disebut dengan

mediterranian diet - kaya dengan lemak baik (olive oil) dan jumlah

karbohidrat dan protein (dari ikan dan ayam). Studi membuktikan bahwa diet

ini mampu menurunkan BB signifikan, memperbaiki tekanan darah, level

kolesterol dan marker lainnya dari penyakit jantung[ CITATION Bus15 \l 1057 ].

2. Jenis-jenis nutrien

a. Karbohidrat
28

Karbohidrat adalah komposisi yang terdiri dari elemen karbon,

hidrogen dan oksigen. Karbohidrat dibagi atas [CITATION Placeholder1 \t \l

1057 ]:

1) Karbohidrat sederhana (gula) bisa berupa monosakarida (molekul

tunggal yang terdiri dari glukosa, fruktosa, dan galaktosa). Juga bisa

berupa disakarida (molekul ganda) contoh sukrosa (glukosa fruktosa),

maltosa (glukosa glukosa), laktosa (glukosa + galaktosa).

2) Karbohidrat kompleks (amilum) adalah polisakarida karena disusun

banyak molekul glukosa.

3) Serat adalah jenis karbohidrat yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan,

tidak dapat dicerna oleh tubuh dengan sedikit atau tidak

menghasilkan kalori tetapi dapat meningkatkan volume feces.

b. Lemak

Lemak merupakan sumber energi yang dipadatkan. Lemak dan

minyak terdiri atas gabungan gliserol dengan asam-asam lemak. Fungsi

lemak [CITATION Placeholder1 \t \l 1057 ]:

1) Sebagai sumber energi, merupakan sumber energi yang dipadatkan

dengan memberikan 9 kal gr.

2) Ikut serta membangun jaringan tubuh.

3) Perlindungan.

4) Penyekatan/isolasi, lemak akan mencegah kehilangan panas dari

tubuh.
29

5) Perasaan kenyang, lemak dapat menunda waktu pengosongan

lambung dan mencegah timbul rasa lapar kembali segera setelah

makan.

6) Vitamin larut dalam lemak.

c. Protein

Protein merupakan konstituen penting pada semua sel, jenis nutrien

ini berupa struktur nutrien kompleks yang terdiri dari asam asam amino.

Protein akan dihidrolisis oleh enzim-enzim proteolitik. Untuk

melepaskan asam-asam amino yang kemudian akan diserap oleh usus,

Fungsi protein [CITATION Placeholder1 \t \l 1057 ]:

1) Protein menggantikan protein yang hilang selama proses

metabolisme yang normal dan proses pengausan yang normal.

2) Protein menghasilkan jaringan baru.

3) Protein diperlukan dalam pembuatan protein-protein yang baru

dengan fungsi khusus dalam tubuh yaitu enzim, hormon dan

haemoglobin.

4) Protein sebagai sumber energi.

d. Vitamin

Vitamin adalah bahan organik yang tidak dapat dibentuk oleh

tubuh dan berfungsi sebagai katalisator proses metabolisme tubuh. Ada 2

jenis vitamin[CITATION Placeholder1 \t \l 1057 ]:

1) Vitamin larut lemak yaitu vitamin A, D, E, K.

2) Vitamin larut air yaitu vitamin B dan C (tidak disimpan dalam tubuh

jadi harus ada didalam diet setiap harinya).


30

e. Mineral dan air

Mineral merupakan unsure esensial normal sebagian enzim, dan

sangat penting dalam pengendalian system cairan tubuh. Mineral

merupakan konstituen esensial pada jaringan lunak, cairan dan rangka.

Rangka mengandung sebagian besar mineral. Tubuh tidak dapat

mensintesis sehingga harus disediakan lewat makanan. Tiga fungsi

mineral[CITATION Placeholder1 \t \l 1057 ]:

1) Konstituen tulang dan gigi contoh calsium, magnesium fosfor.

2) Pembentukan garam-garam yang larut dan mengendalikan komposisi

cairan tubuh. Contoh N Cl (ekstraseluler), K, Mg, P (intraseluler).

3) Bahan dasar enzim dan protein.

3. Pengukuran status nutrisi

Dalam melakukan klasifikasi status berat badan, dipakailah satuan

pengukuran yang disebut Indeks Massa Tubuh [CITATION Bus15 \l 1057 ].

Klasifikasi Berat Badan Menurut IMT (WHO)


Klasifikasi Status Berat Badan
Berat Kurang Berat Kurang Badan
Kekurangan BB tingkat ringan
Normal Normal
Kegemukan Keberatan berat badan ringan (overweight)
Keberatan berat badan berat (obese)/gemuk

Klasifikasi WHO ini berlaku umum untuk seluruh penduduk dunia,

terutama di negara-negara barat. Untuk Asia Pasifik, klasifikasi mengalami

modifikasi tersendiri dalam penentuan nilai batas kegemukan (Overweight

dan Obese) [CITATION Bus15 \l 1057 ].


31

Untuk mengetahui nilai IMT ini, dapat dihitung dengan rumus

berikut[CITATION HRH14 \l 1057 ]:

Berat Badan(kg)
IMT=
Tinggi Badan ( m ) x Tinggi Badan ( m )
32

Klasifikasi Penilaian Berat Badan Menurut IMT

Status Gizi Nilai IMT


1. Berat badan kurang (Underweight) <18,5
2. Normal 18,5 – 22,9
3. Berat badan lebih (Overweight) 23,0 – 24,9
4. Obesitas I 25,0 – 29,9
5. Obesitas II >30

D. Tinjauan tentang Kecemasan

1. Pengertian kecemasan

Kecemasan merupakan kekuatan yang mempengaruhi hubungan

interpersonal suatu respon terhadap bahaya yang tidak diketahui yang muncul

bila ada hambatan dalam upaya memenuhi kebutuhan[ CITATION Azi16 \l

1057 ].

Kecemasan merupakan keadaan perasaan afektif yang tidak

menyenangkan yang disertai dengan sensasi fisik yang memperingatkan

orang terhadap bahaya yang akan datang. Keadaan yang tidak menyenangkan

itu sering kabur dan sulit menunjuk dengan tepat, tetapi kecemasan itu sendiri

selalu dirasakan [ CITATION Les15 \l 1057 ].

2. Rentan respon kecemasan

Adapun rentan respon dalam kecemasan sebagai berikut [ CITATION

Azi16 \l 1057 ] :

Adaptif Maladatif
33

Antisipasi Ringan Sedang Berat

Panik

Gambar 2.1 Rentan Respon Cemas

a. Antisipasi

Suatu keadaan yang digambarkan lapangan persepsi menyatu

dengan lingkungan.

b. Cemas ringan

Ketegangan ringan, penginderaan lebih tajam dan menyiapkan diri

untuk bertindak.

c. Cemas sedang

Keadaan lebih waspada dan lebih tegang, lapangan persepsi

menyempit dan tidak mampu memusatkan pada factor/peristiwa yang

penting baginya.

d. Cemas berat

Lapangan persepsi sangat sempit, berpusat pada detail yang kecil,

tidak memikirkan yang luas, tidak mampu membuat kaitan dan tidak

mampu menyelesaikan masalah.

e. Panik

Persepsi menyimpang, sangat kacau dan tidak terkontrol, berfikir

tidak teratur, perilaku tidak tepat dan agitasi/hiperatif.

3. Sumber kecemasan

Adapun sumber-sumber kecemasan antara lain sebagai berikut

[ CITATION Azi16 \l 1057 ] :

a. Ancaman internal dan eksternal terhadap ego


34

Adanya gangguan pemenuhan kebutuhan dasar, makan, minum,

sexual.

b. Ancaman terhadap keamanan interpersonal dan harga diri

1) Tidak menemukan integritas diri.

2) Tidak menemukan prestige.

3) Tidak memperoleh aktualisasi diri.

4) Malu/tidak kesesuaian antara pandangan diri dan lingkungan nyata.

4. Tanda dan gejala kecemasan

Keluhan-keluhan yang sering dikemukan oleh orang yang mengalami

ansietas antara lain [ CITATION Les15 \l 1057 ] :

a. Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah

tersinggung.

b. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut.

c. Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang.

d. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan.

e. Gangguan konsentrasi dan daya ingat.

f. Keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang,

pendengaran berdenging (tinitus), berdebar-debar, sesak nafas, gangguan

pencernaan, gangguan perkemihan dan sakit kepala.

5. Proses terjadinya kecemasan

a. Faktor predisposisi kecemasan

Penyebab kecemasan dapat dipahami melalui beberapa teori yaitu

[ CITATION Les15 \l 1057 ] :

1) Teori psikoanalitik
35

Menurut Freud, kecemasan adalah konflik emosional yang

terjadi antara dua elemen kepribadian id dan superego. Id mewakili

dorongan insting dan impuls primitif seseorang, sedangkan superego

mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma-

norma budaya seseorang. Ego berfungsi menengahi tuntutan dari dua

elemen yang bertentangan dan fungsi kecemasan adalah

mengingatkan ego bahwa ada bahaya.

2) Teori tingkah laku (pribadi)

Teori ini berkaitan dengan pendapat bahwa kecemasan adalah

hasil frustasi, dimana segala sesuatu yang menghalangi terhadap

kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan dapat

menimbulkan kecemasan. Faktor presipitasi yang aktual mungkin

adalah sejumlah stressor internal dan eksternal, tetapi faktor-faktor

tersebut bekerja menghambat usaha seseorang untuk memperoleh

kepuasan dan kenyamanan. Selain itu, kecemasan juga sebagai suatu

dorongan untuk belajar berdasarkan keinginan dari dalam untuk

menghindari kepedihan.

3) Teori keluarga

Menunjukkan bahwa gangguan kecemasan merupakan hal

yang biasa ditemui dalam suatu keluarga dan juga terkait dengan

tugas perkembangan individu dalam keluarga.

4) Teori biologis

Menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk

benzodiazepine. Reseptor ini mungkin membantu mengatur


36

kecemasan. Penghambat asam aminobutirik-gamma neroregulator

juga mungkin memainkan peran utama dalam mekanisme biologis

berhubungan dengan kecemasan, sebagaimana halnya dengan

endorfin. Selain itu, telah dibuktikan bahwa kesehatan umum

seseorang mempunyai akibat nyata sebagai predisposisi terhadap

kecemasan. Kecemasan mungkin disertai dengan gangguan fisik dan

selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang untuk mengatasi

stresor.

b. Faktor presipitasi kecemasan

Faktor pencetus mungkin berasal dari sumber internal atau

eksternal. Ada dua kategori faktor pencetus kecemasan, yaitu ancaman

terhadap integritas fisik dan terhadap sistem diri [ CITATION Les15 \l

1057 ] :

1) Ancaman terhadap integritas fisik

Ancaman pada pada kategori ini meliputi ketidakmampuan

fisiologis yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk

melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Sumber internal dapat berupa

kegagalan mekanisme fisiologis seperti jantung, sistem imun,

regulasi temperatur, perubahan biologis yang normal seperti

kehamilan dan penuaan. Sumber eksternal dapat berupa infeksi virus

atau bakteri, zat polutan, luka trauma. Kecemasan dapat timbul

akibat kekhawatiran terhadap tindakan operasi yang mempengaruhi

integritas tubuh secara keseluruhan.

2) Ancaman terhadap sistem tubuh


37

Ancaman pada pada kategori ini dapat membahayakan

identitas, harga diri dan fungsi sosial seseorang. Sumber internal

dapat berupa kesulitan melakukan hubungan interpersonal di rumah,

di tempat kerja dan di masyarakat. Sumber eksternal dapat berupa

kehilangan pasangan, orangtua, teman, perubahan status pekerjaan,

dilema etik yang timbul dari aspek religius seseorang, tekanan dari

kelompok sosial atau budaya. Ancaman terhadap sistem diri terjadi

saat tindakan operasi akan dilakukan sehingga akan menghasilkan

suatu kecemasan.

6. Pengukuran kecemasan

Kecemasan dapat diukur dengan alat ukur kecemasan yang disebut

HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale). Skala HARS merupakan pengukuran

kecemasan yang didasarkan pada munculnya simptom pada individu yang

mengalami kecemasan. Menurut skala HARS terdapat 14 simptom yang

nampak pada individu yang mengalami kecemasan. Setiap item yang

diobservasi diberi 5 tingkatan skor antara 0 sampai dengan 4. Skala HARS

pertama kali digunakan pada tahun 1959 yang diperkenalkan oleh Max

Hamilton. Skala Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) dalam penilaian

kecemasan terdiri dari 14 item, meliputi [ CITATION Les15 \l 1057 ] :

a. Perasaan Cemas : firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah

tersinggung.

b. Merasa tegang, gelisah, gemetar, mudah terganggu dan lesu.

c. Ketakutan : takut terhadap gelap, terhadap orang asing, bila tinggal

sendiri dan takut pada binatang besar.


38

d. Gangguan tidur : sukar memulai tidur, terbangun pada malam hari, tidur

tidak pulas dan mimpi buruk.

e. Gangguan kecerdasan : penurunan daya ingat, mudah lupa dan sulit

konsentrasi.

f. Perasaan depresi : hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada

hobby, sedih, perasaan tidak menyenangkan sepanjang hari.

g. Gejala somatik : nyeri pada otot-otot dan kaku, gertakan gigi, suara tidak

stabil dan kedutan otot.

h. Gejala sensorik : perasaan ditusuk-tusuk, penglihatan kabur, muka merah

dan pucat serta merasa lemah.

i. Gejala kardiovaskuler : takikardi, nyeri di dada, denyut nadi mengeras

dan detak jantung hilang sekejap.

j. Gejala pernapasan : rasa tertekan di dada, perasaan tercekik, sering

menarik napas panjang dan merasa napas pendek.

k. Gejala gastrointestinal : sulit menelan, obstipasi, berat badan menurun,

mual dan muntah, nyeri lambung sebelum dan sesudah makan, perasaan

panas di perut.

l. Gejala urogenital : sering kencing, tidak dapat menahan kencing,

aminorea, ereksi lemah atau impotensi.

m. Gejala vegetatif : mulut kering, mudah berkeringat, muka merah, bulu

roma berdiri, pusing atau sakit kepala.

n. Perilaku sewaktu wawancara : gelisah, jari-jari gemetar, mengkerutkan

dahi atau kening, muka tegang, tonus otot meningkat dan napas pendek

dan cepat.
39

Cara Penilaian kecemasan adalah dengan memberikan nilai dengan

kategori [ CITATION Les15 \l 1057 ] :

0 = tidak ada gejala sama sekali

1 = Ringan/Satu dari gejala yang ada

2 = Sedang/separuh dari gejala yang ada

3 = berat/lebih dari 1/2 gejala yang ada

4 = sangat berat/semua gejala ada.

Penentuan derajat kecemasan dengan cara menjumlah nilai skor dan

item 1-14 dengan hasil :

Skor < 14 = tidak ada kecemasan.

Skor 14 - 20 = kecemasan ringan

Skor 21 - 27 = kecemasan sedang.

Skor 28 - 41 = kecemasan berat

Skor 42 - 56 = panik/kecemasan sangat berat

7. Penatalaksanaan kecemasan

Penatalaksanaan ansietas pada tahap pencegahaan dan terapi

memerlukan suatu metode pendekatan yang bersifat holistik, yaitu

mencangkup fisik (somatik) psikologik atau psikiatrik, psikososial dan

psikoreligius. Selengkpanya seperti pada uraian berikut [ CITATION Les15 \l

1057 ] :

a. Upaya meningkatkan kekebalan terhadap stress, dengan cara :

1) Makan makan yang bergizi dan seimbang.


2) Tidur yang cukup.
3) Cukup olahraga.
4) Tidak merokok.
40

5) Tidak meminum minuman keras.


b. Terapi psikofarmaka

Terapi psikofarmaka merupakan pengobatan untuk cemas dengam

memakai obat-obatan yang berkhasiat memulihkan fungsi gangguan

neuro-transmitter (sinyal penghantar saraf disusunan saraf pusat otak

(limbic system). Terapi psikofarmaka yang sering dipakai adalah obat

anti cemas (anxiolytic), yaitu seperti diazepam clobazam, bromazepam,

lorazepam, buspirone HCI, meprobamate dan alprazolam.

c. Terapi somatik

Gejala atau keluhan fisik (somatik) sering dijumpai sebagai gejala

ikutan atau akibat dari kecemasan yang bekerpanjangan. Untuk

menghilangkan keluhan-keluhan somatik (fisik) itu dapat diberikan obat-

obatan yang ditujukan pada organ tubuh yang bersangkutan.

d. Psikoterapi

Psikoterapi diberikan tergantung dari kebutuhan individu, antara lain :

1) Psikoterapi suportif, untuk memberikan motivasi, semangat dan

dorongan agar pasien yang bersangkutan tidak merasa putus asa dan

diberi keyakinan serta percaya diri.

2) Psikoterapi re-edukatif, memberikan pendidikan ulang dan koreksi

bila dinilai bahwa ketidakmampuan mengatsi kecemasan.

3) Psikoterapi re-konstruktif, untuk dimaksudkan memperbaiki kembali

(re-konstruksi) kepribadian yang telah mengalami goncangan akibat

stressor.
41

4) Psikoterapi kognitif, untuk memulihkan fungsi kognitif pasien, yaitu

kemampuan untuk berpikir secara rasional, konsentrasi dan daya

ingat.

5) Psikoterapi psiko-dinamik, untuk menganalisa dan menguraikan

proses dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan mengapa

seseorang tidak mampu menghadapi stressor psikososial sehingga

mengalami kecemasan.

6) Psikoterapi keluarga, untuk memperbaiki hubungan kekeluargaan,

agar faktor keluarga tidak lagi menjadi faktor penyebab dan faktor

keluarga dapat dijadikan sebagai faktor pendukung.

e. Terapi psikoreligius

Untuk meningkatkan keimanan seseorang yang erat hubungannya

dengan kekebalan dan daya tahan dalam menghadapi berbagai problem

kehidupan yang merupakan stressor psikososial.

8. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan adalah sebagai berikut

[ CITATION Les15 \l 1057 ] :

a. Umur

Bahwa umur yang lebih muda lebih mudah menderita stress dari

pada umur tua.

b. Keadaan fisik

Penyakit adalah salah satu faktor yang menyebabkan kecemasan.

Seseorang yang sedang menderita penyakit akan lebih mudah mengalami


42

kecemasan dibandingkan dengan orang yang tidak sedang menderita

penyakit.

c. Sosial budaya

Cara hidup orang dimasyarakat juga sangat memungkinkan

timbulnya stress. Individu yang mempunyai cara hidup teratur akan

mempunyai filsafat hidup yang jelas sehingga umumnya lebih sukar

mengalami stress. Demikian juga dengan seseorang yang keyakinan

agamanya rendah.

d. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang berpengaruh dalam memberikan

respon terhadap sesuatu yang datang baik dari dalam maupun dari luar

orang yang akan mempunyai pendidikan tinggi akan memberikan respon

yang lebih rasional dibandingkan mereka yang berpendidikan lebih

rendah atau mereka yang tidak berpendidikan. Kecemasan adalah respon

yang dapat dipelajari. Dengan demikian pendidikan yang rendah menjadi

faktor penunjang terjadinya kecemasan.

e. Tingkat pengetahuan

Pengetahuan yang rendah mengakibatkan seseorang mudah

mengalami stress. Ketidaktahuan terhadap suatu hal dianggap sebagai

tekanan yang dapat mengakibatkan krisis dan dapat menimbulkan

kecemasan. Stress dan kecemasan dapat terjadi pada individu dengan

tingkat pengetahuan yang rendah, disebabkan karena kurangnya

informasi yang diperoleh.

BAB III
43

KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran Variabel

Diabetes Melitus (DM) adalah gangguan kesehatan yang berupa kumpulan

gejala yang disebabkan oleh peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat

kekurangan ataupun resistensi insulin. Penyakit ini sudah lama dikenal, terutama

dikalangan keluarga, khususnya keluarga berbadan besar (kegemukan) bersama

dengan gaya hidup tinggi atau moderen. Akibatnya, kenyataan menunjukkan DM

telah menjadi penyakit masyarakat umum, menjadi beban kesehatan masyarakat,

meluas dan membawa banyak kecacatan dan kematian [CITATION Bus15 \l 1057 ].

Kadar serum albumin rendah akan menurunkan difusi (penyebaran) dan

membatasi kemampuan neutrofil untuk membunuh bakteri. Oksigen rendah pada

tingkat kapiler membatasi profilerasi jaringan granulasi yang sehat. Defisiensi zat

besi dapat melambatkan kecepatan epitelisasi dan menurunkan kekuatan luka dan

kolagen. Jumlah vitamin A dan C zat besi dan tembaga yang memadai

diperlukanuntuk pembentukan kolagen yang efektif. Sintesis kolagen juga

tergantung pada asupan protein, karbohidrat dan lemak yang tepat. Penyembuhan

luka membutuhkan dua kali lipat kebutuhan protein dan karbohidrat dari biasanya

untuk segala usia. Diet seimbang mengandung bahan nutrisi yang dibutuhkan

untuk perbaikan luka seperti asam amino (daging, ikan dan susu), energi sel (biji-

bijian, gula, madu, buah-buahan dan sayuran), vitamin C (buah kiwi, strawberry,

dan tomat), vitamin A (hati, telur, buah berwarna hijau cerah, dan sayur-sayuran),

Vitamin B ( kacang, daging dan ikan), zinc (makanan laut, jamur, kacang kedelai,

bunga matahari), bahan mineral (makanan laut dan kacang dari biji-bijian), air

[ CITATION Eka13 \l 1057 ].


44

Stres, cemas dan depresi telah dibuktikan dapat mengurangi efisiensi dari

sistem imun sehingga dapat mempengaruhi proses penyembuhan. Suatu sikap

positif untuk memberikan penyembuhan oleh tiap pasien dan perawat dapat

mempengaruhi dalam meningkatkan penyembuhan luka [ CITATION Eka13 \l 1057 ].

B. Hubungan Antar Variabel

Variabel independen Variabel dependen

Status Nutrisi

Proses Penyembuhan Luka DM

Kecemasan

Keterangan :

: Variabel independen

: Variabel dependen

: Hubungan antar variabel

Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konsep

C. Identifikasi Variabel

Variabel dalam suatu penelitian adalah komponen atau faktor yang

berkaitan satu sama lainnya dan telah inventarisasi dari dulu dalam variabel

penelitian[ CITATION Don15 \l 1057 ]. Variabel dalam penelitian ini mengunakan

variabel independen dan variabel dependen antara lain :

1. Variabel independen (variabel bebas)

Variabel independen ini bersifat bebas. Variabel independen dalam

penelitian ini adalah status nutrisi dan kecemasan.


45

2. Variabel dependen (variabel terikat)

Variabel dependen ini merupakan variabel terikat dapat berupa variabel

lain yang dapat mempengaruhi variabel bebas dan terikat, seperti variabel

penghubung, variabel prakondisi. Variabel dependen dalam penelitian ini

adalah proses penyembuhan luka diabetes melitus.

D. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Proses penyembuhan luka diabetes melitus

Proses penyembuhan luka dalam penelitian ini keadaan luka gangreng

pasien diabetes melitus dilihat dari skala Bates-Jensen Wound Assessment

Tool.

Kriteria objektif :

Baik : bila skor luka responden >25


Kurang : bila skor luka responden <25
2. Status nutrisi

Status nutrisi dalam penelitian ini adalah suatu keadaan tubuh yang

pasien diabetes melitus yang diukur menggunakan IMT.

Kriteria Objektif :

Baik : bila nilai IMT respoden 18,5-22,9


Buruk : bila nilai IMT respoden <18,5 dan >22,9
3. Kecemasan

ecemasan dalam penelitian ini adalah keadaan perasaan afektif yang

tidak menyenangkan yang disertai dengan sensasi fisik yang diukur

menggunakan Skala HARS Menurut Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS).

Kriteria Objektif :

Tidak cemas : jika skor jawaban responden <14


46

Cemas : jika skor jawaban responden >14

E. Hipotesis Penelitian

1. Hipotesis Alternatif (Ha)

Hipotesis alternatif adalah suatu rumusan hipotesis dengan tujuan untuk

membuat ramalan tentang peristiwa terjadi apabila suatu gejala

muncul[ CITATION Soe \l 1057 ]. Adapun hipotesis alternatif dalam penelitian

ini antara lain:

a. Ada hubungan antara status nutrisi dengan proses penyembuhan luka


diabetes melitus di Ruang Rawat Inap Bedah RSUD Barru.
b. Ada hubungan antara kecemasan dengan proses penyembuhan luka
diabetes melitus di Ruang Rawat Inap Bedah RSUD Barru.
2. Hipotesis Nol (Ho)

Hipotesis nol yang mula-mula diperkenalkan oleh bapak statistika

fisher, dirumuskan untuk ditolak sesudah pengujian [CITATION Soe \t \l 1057 ].

Adapun hipotesis nol dalam penelitian dalam penelitian ini antara lain :

a. Tidak ada hubungan antara status nutrisi dengan proses penyembuhan

luka diabetes melitus di Ruang Rawat Inap Bedah RSUD Barru.

b. Tidak ada hubungan antara kecemasan dengan proses penyembuhan luka

diabetes melitus di Ruang Rawat Inap Bedah RSUD Barru.

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif analitik dengan

pendekatan cross sectional study yaitu suatu penelitian yang mempelajari

dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek, dengan cara


47

pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point

time approach) [CITATION Soe \l 1057 ]. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui hubungan antara status nutrisi dan kecemasan dengan proses

penyembuhan luka diabetes melitus di Ruang Rawat Inap Bedah RSUD Barru.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi

Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Ruang Rawat Inap Bedah RSUD

Barru.

2. Waktu

Waktu penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 28 November sampai

28 Desember 2019.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah kumpulan atau agregat objek/unit analisis kemana

generalisasi dirumuskan dan dari mana sampel diambil [ CITATION Don15 \l

1057 ]. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien diabetes melitus di

Ruang Rawat Inap Bedah RSUD Barru sebanyak 59 pasien.

2. Sampel

Sampel merupakan sebagian dari jumlah dan karakteristik tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya

[ CITATION Don15 \l 1057 ] . Sampel dalam penelitian ini adalah pasien diabetes

melitus di Ruang Rawat Inap Bedah RSUD Barru.

a. Besar sampel
48

Adapun besar sampel dalam penelitian ini diperoleh dengan

menggunakan rumus slovin [ CITATION Nur16 \l 1057 ]:

N
n=
1+ N ( d )2

Keterangan :

n : Jumlah sampel

N : Jumlah populasi

(d)2 : Tingkat signifikasi (01)2

59
n=
1+59 ( 0,1 )2

59
n=
1,59

n=37,01

Jadi jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 37 pasien.

b. Teknik pengambilan sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah

menggunakan simple random sampling. Yaitu pengambilan anggota

sampel diambil secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam

populasi [ CITATION Don15 \t \l 1057 ].

c. Kriteria sampel

1) Kriteria inklusi

a) Pasien diabetes melitus yang mengalami ulkus.

b) Pasien yang mempunyai luka.

c) Pasien bersedia menjadi responden.

2) Kriteria eksklusi
49

a) Pasien yang mengalami penurunan kesadaran.

b) Pasien yang tidak bisa membaca dan menulis.

c) Pasien yang tidak kooperatif.

D. Cara Pengumpulan Data

1. Data primer

Data primer diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan

menggunakan kuesioner yang telah disediakan oleh peneliti.

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak

langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek penelitinya. Pengumpulan data

sekunder diperoleh dari rekam medik RSUD Barru.

E. Langkah Pengolahan Data

1. Pengolahan Data

a. Editing

Hasil wawancara atau angket yang diperolehkan atau dikumpulkan

melalui kuesioner perlu disunting (edit) terlebih dahulu. Kalau tenyata

masih ada data atau informasi yang tidak lengkap, dan tidak mungkin

dilakukan wawancara ulang, maka kuesinor tersebut dikeluarkan (drop

out).

b. Coding sheet (membuat lembaran kode atau kartu kode).

Lembaran atau kartu kode adalah instrument berupa kolom-kolom

untuk merekam data secara manual. Lembaran atau kartu kode berisi

nomor responden, dan nomor-nomor pertanyaan.

c. Data entry (memasukan data)


50

Yakni mengisi kolom-kolom atau kotak-kotak lembar atau kartu

kode sesuai dengan jawaban masing-masing pertanyaan.

d. Tabulasi

Yakni membuat tabel-tabel data, sesuai dengan tujuan penelitian

atau yang diinginkan oleh peneliti [CITATION Soe \t \l 1057 ].

2. Analisa data

a. Analisa Univariat

Analisa univariat bertujuan untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk jenis

analisis univariat tergantung dari jenis datanya. Pada umumnya dalam

analisis ini menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap

variabel [CITATION Soe \t \l 1057 ].

b. Analisis Bivariat

Apabila telah dilakukan analisa univariat akan diketahui

karakteristik atau distribusi setiap variabel, dan dapat dilanjutkan analisis

bivariat. Analisis bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel yang

diduga berhubungan atau berkorelasi [CITATION Soe \t \l 1057 ].

F. Pengujian Hipotesis

Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Chi-square,

karena baik variabel independen maupun variabel dependen merupakan variabel

kategorik. Batas kemaknaan yang digunakan adalah α = 0.05. Adapun rumus Chi-

Square test sebagai berikut :

X 2 =N ¿ ¿
51

Keterangan :

X2 = Nilai Chi square

N = Jumlah sampel penelitian

ad = Jumlah sampel yang mengalami perubahan

bc = Jumlah subjek yang tidak mengalami perubahan tetap

Interpretasi :

1. Bila p value ≤ nilai α (0,05), maka ada hubungan antara variabel independen

dengan variabel dependen.

2. Bila p value > nilai α (0,05), maka tidak ada hubungan antara variabel

independen dengan variabel dependen.

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Ruang Rawat Inap Bedah

RSUD Barru pada tanggal 28 November sampai 28 Desember 2019. Populasi

dalam penelitian ini adalah semua pasien diabetes melitus di Ruang Rawat Inap

Bedah RSUD Barru. Berdasarkan data dari Ruang Rawat Inap Bedah RSUD

Barru diperoleh 37 sampel untuk dilakukan analisis data.

1. Analisis univariat

Setelah dilakukan analisis univariat dari hasil penelitian tentang

hubungan antara status nutrisi dan kecemasan dengan proses penyembuhan


52

luka diabetes melitus di Ruang Rawat Inap Bedah RSUD Barru, maka

diperoleh gambaran sebagai berikut:

a. Umur

Distribusi Frekuensi Umur Responden


Umur Frekuensi (n) Persentase (%)
31-45 tahun 17 45,9
46-60 tahun 17 45,9
61-75 tahun 3 8,2
Total 37 100,0

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa rumusan besar

sampel sebanyak 37 responden terdapat 17 responden (45,9%) yang

berumur 31-45 tahun, 17 responden (45,9%) yang berumur 46-60 tahun

dan 3 responden (8,2%) yang berumur 61-75 tahun.

b. Pendidikan

Distribusi Frekuensi Pendidikan Responden


Pendidikan Frekuensi (n) Persentase (%)
SD 4 10,8
SMP 7 18,9
SMA 24 64,9
S1 2 5,4
Total 37 100,0

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa rumusan besar

sampel sebanyak terdapat 4 responden (10,8%) yang berpendidikan SD,

7 responden (18,9%) yang berpendidikan SMP, 24 responden (64,9%)

yang berpendidikan SMA dan 2 responden (5,4%) yang berpendidikan

S1.

c. Pekerjaan

Distribusi Frekuensi Pekerjaan Responden


53

Pekerjaan Frekuensi (n) Persentase (%)


IRT 12 32,4
PNS 3 8,2
Wiraswasta 16 43,2
Petani 6 16,2
Total 37 100,0

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa rumusan besar

sampel sebanyak 37 responden terdapat 12 responden (32,4%) yang

pekerjaannya IRT, 3 responden (8,2%) yang pekerjaannya PNS, 16

responden (43,2%) yang pekerjaannya wiraswasta dan 6 responden

(16,2%) yang pekerjaannya petani.

d. Status nutrisi

Distribusi Frekuensi Status Nutrisi Responden


Status Nutrisi Frekuensi (n) Persentase (%)
Baik 11 29,7
Buruk 26 70,3
Total 37 100,0

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa rumusan besar

sampel sebanyak 37 responden terdapat 11 responden (29,7%) yang

status nutrisinya baik dan 26 responden (70,3%) yang status nutrisinya

buruk.

e. Kecemasan

Distribusi Frekuensi Kecemasan Responden


Kecemasan Frekuensi (n) Persentase (%)
Tidak cemas 18 48,6
Cemas 19 51,4
Total 37 100,0
54

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa rumusan besar

sampel sebanyak dari 37 responden terdapat 18 responden (48,6%) yang

tidak mengalami kecemasan dan 19 responden (51,4%) yang mengalami

kecemasan.

f. Proses penyembuhan luka

Distribusi Frekuensi Proses Penyembuhan Luka Responden


Proses penyembuhan luka Frekuensi (n) Persentase (%)
Baik 22 59,5
Kurang 15 40,5
Total 37 100,0

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa rumusan besar

sampel sebanyak 37 responden terdapat 22 responden (59,5%) yang

proses penyembuhan lukanya baik dan 15 responden (40,5%) yang

proses penyembuhan lukanya kurang.

2. Analisis bivariat

Untuk melihat hubungan status nutrisi dan kecemasan terhadap proses

penyembuhan luka diabetes melitus di Ruang Rawat Inap Bedah RSUD

Barru, maka dilakukan uji Chi-square.

a. Hubungan antara status nutrisi dengan proses penyembuhan luka diabetes

melitus

Hubungan Antara Status Nutrisi Dengan Proses Penyembuhan Luka


Diabetes Melitus

Proses penyembuhan luka


Total p
Status Nutrisi Baik Kurang
n % n % n %
Baik 10 90,9 1 9,1 11 100,0 0,012
Buruk 12 46,2 14 53,8 26 100,0
55

Total 22 59,5 15 40,5 37 100,0

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan responden yang status

nutrisinya baik berjumlah 11 responden, dimana terdapat 10 responden

(90,9%) yang proses penyembuhan luka diabetes melitus baik dan 1

responden (9,1%) yang proses penyembuhan luka diabetes melitus

kurang. Sedangkan responden yang status nutrisinya buruk berjumlah 26

responden, dimana terdapat 12 responden (46,2%) yang proses

penyembuhan luka diabetes melitus baik dan 14 responden (53,8%) yang

proses penyembuhan luka diabetes melitus kurang.

Hasil uji statistik dengan Chi-square diperoleh nilai p=0,012.

Karena nilai p<α = 0,05 maka hipotesis nol ditolak dan hipotesis

alternatif diterima. Interpretasi ada hubungan antara status nutrisi dengan

proses penyembuhan luka diabetes melitus.

b. Hubungan antara kecemasan dengan proses penyembuhan luka diabetes

melitus

Hubungan Antara Kecemasan Dengan Proses Penyembuhan Luka


Diabetes Melitus

Proses penyembuhan luka


Total p
Kecemasan Baik Kurang
n % n % n %
Tidak cemas 14 77,8 4 22,2 18 100,0
Cemas 8 42,1 11 57,9 19 100,0 0,027
Total 22 59,5 15 40,5 37 100,0

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan responden yang tidak

mengalami kecemasan berjumlah 18 responden, dimana terdapat 14

responden (77,8%) yang proses penyembuhan luka diabetes melitus baik


56

dan 4 responden (22,2%) yang proses penyembuhan luka diabetes

melitus kurang. Sedangkan responden yang mengalami kecemasan

berjumlah 19 responden, dimana terdapat 8 responden (42,1%) yang

proses penyembuhan luka diabetes melitus baik dan 11 responden

(57,9%) yang proses penyembuhan luka diabetes melitus kurang.

Hasil uji statistik dengan Chi-square diperoleh nilai p=0,027.

Karena nilai p<α = 0,05 maka hipotesis nol ditolak dan hipotesis

alternatif diterima. Interpretasi ada hubungan antara kecemasan dengan

proses penyembuhan luka diabetes melitus.

B. Pembahasan

1. Hubungan antara status nutrisi dengan proses penyembuhan luka

diabetes melitus

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Ruang Rawat Inap

Bedah RSUD Barru menunjukkan responden yang status nutrisinya baik

berjumlah 11 responden, dimana terdapat 10 responden (90,9%) yang proses

penyembuhan luka diabetes melitus baik dan 1 responden (9,1%) yang proses

penyembuhan luka diabetes melitus kurang. Sedangkan responden yang

status nutrisinya buruk berjumlah 26 responden, dimana terdapat 12

responden (46,2%) yang proses penyembuhan luka diabetes melitus baik dan

14 responden (53,8%) yang proses penyembuhan luka diabetes melitus

kurang.

Hasil penelitian didapatkan 1 responden yang status gizinya baik tetapi

proses penyembuhan lukanya kurang, hal ini disebabkan oleh mobilisasi dini

yang dijalani pasien. baiknya mobilisasi dini responden pada saat di rumah
57

sakit. Mobilisasi diperlukan untuk membantu sistem sirkulasi, khususnya

pembuluh darah balik (vena) pada ekstremitas bawah. Dalam penelitian ini

terdapat 12 responden yang status gizinya buruk tetapi proses penyembuhan

lukanya baik. Hal ini disebabkan karena pada saat dirawat responden

merasakan nyeri selama proses penyembuhan luka berlangsung serta

lingkungan yang tidak nyaman, sehingga menyebabkan menurunnya nafsu

makan pada responden.

Hasil uji statistik dengan Chi-square diperoleh nilai p=0,012. Karena

nilai p<α=0,05 maka hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima.

Interpretasi ada hubungan antara status nutrisi dengan proses penyembuhan

luka diabetes melitus di Ruang Rawat Inap Bedah RSUD Barru, karena

responden yang status gizinya baik lebih cenderung proses penyembuhan

lukanya baik sedangkan responden yang status gizinya buruk lebih cenderung

proses penyembuhan lukanya kurang.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh

Soep & Triwibowo [CITATION Soe15 \n \t \l 1057 ] , yang menyimpulkan

bahwa pasien dengan nutrisi terpenuhi akan lebih cepat mengalami

kesembuhan lukanya. Nutrisi yang terpenuhi yaitu dengan mengkonsumsi

diet tinggi protein, vitamin A, C, B12, zat besi, dan kalsium dapat mengalami

penyembuhan luka dengan kriteria sembuh.

Dalam penelitian Elisa [CITATION Eli14 \n \t \l 1057 ] , disimpulkan

bahwa ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan penyembuhan

luka sectio caesaria di RSUD Kota Semarang. Adanya asupan makanan yang

bergizi dan banyak mengandung protein proses penyembuhan luka akan lama
58

dan pemondokan juga akan lebih lama, sebaliknya apabila asupan makanan

sesuai diit yang diberikan maka akan mempercepat proses penyembuhan luka

sectio caesaria tersebut.

Penyembuhan luka secara normal memerlukan nutrisi yang tepat.

Proses penyembuhan luka bergantung pada tersedianya protein, vitamin A

dan C, mineral renit zink dan tembaga. Kebutuhan protein dan kalori pada

pasien yang luka besar cenderung lebih tinggi dari pada kebutuhan orang

sehat. Asam amino diperlukan untuk sintesis protein sruktural seperti kolagen

dan untuk melakukan sintesa protein yang berperan dalam proses respon

imun. Malnutrisi merupakan penyebab yang sangat penting dari kelambatan

penyembuhan luka[ CITATION AlF15 \l 1057 ].

Kadar serum albumin rendah akan menurunkan difusi (penyebaran) dan

membatasi kemampuan neutrofil untuk membunuh bakteri. Oksigen rendah

pada tingkat kapiler membatasi profilerasi jaringan granulasi yang sehat.

Defisiensi zat besi dapat melambatkan kecepatan epitelisasi dan menurunkan

kekuatan luka dan kolagen. Jumlah vitamin A dan C zat besi dan tembaga

yang memadai diperlukan untuk pembentukan kolagen yang efektif. Sintesis

kolagen juga tergantung pada asupan protein, karbohidrat dan lemak yang

tepat. Penyembuhan luka membutuhkan dua kali lipat kebutuhan protein dan

karbohidrat dari biasanya untuk segala usia. Malnutrisi menghambat proses

penyembuhan luka dan meningkatkan terjadinya infeksi. Hal ini dapat timbul

karena kurangnya intake nutrisi (misalnya sindrome malabsorbsi)[ CITATION

Eka13 \l 1057 ].
59

Menurut asumsi peneliti, status nutrisi pasien berhubungan dengan

proses penyembuhan luka, karena responden yang status gizinya baik lebih

cenderung proses penyembuhan lukanya baik. Status gizi merupakan salah

satu faktor yang berpengaruh langsung terhadap keadaan kesehatan

seseorang, dimana dipengaruhi oleh konsumsi makanan yang tidak sesuai

dengan kebutuhan tubuh, baik kualitas maupun kuantitasnya. Apabila

makanan tidak cukup mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan dan keadaan

ini berlangsung lama akan mempengaruhi proses penyembuhan luka dan

menaikkan kepekaaan terhadap infeksi dan menyumbang peningkatan insiden

komplikasi dan akan mengakibatkan perawatan yang lebih lama.

2. Hubungan antara kecemasan dengan proses penyembuhan luka

diabetes melitus

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Ruang Rawat Inap

Bedah RSUD Barru menunjukkan responden yang tidak mengalami

kecemasan berjumlah 18 responden, dimana terdapat 14 responden (77,8%)

yang proses penyembuhan luka diabetes melitus baik dan 4 responden

(22,2%) yang proses penyembuhan luka diabetes melitus kurang. Sedangkan

responden yang mengalami kecemasan berjumlah 19 responden, dimana

terdapat 8 responden (42,1%) yang proses penyembuhan luka diabetes

melitus baik dan 11 responden (57,9%) yang proses penyembuhan luka

diabetes melitus kurang.

Hasil penelitian didapatkan 4 responden yang tidak mengalami

kecemasan tetapi proses penyembuhan lukanya kurang, hal ini disebabkan

oleh faktor keadaan luka yang terkena infeksi pada saat perawatan luka.
60

Infeksi pada luka menghasilkan jaringan kurang sehat atau devital. Luka

infeksi kemungkinan menyebabkan infeksi sistemik, yang tidak hanya

berdampak pada proses penyembuhan tetapi dapat juga pada kondisi

pengobatan [ CITATION Eka13 \l 1057 ]. Dalam penelitian ini terdapat 8

responden yang mengalami kecemasan tetapi proses penyembuhan lukanya

baik, hal ini disebabkan oleh penanganan lukanya. Penanganan luka yang

baik oleh perawat sehingga dapat mempercepat proses penyembuhan luka.

Peran perawat sangat dibutuhkan dalam proses penyembuhan luka, karena

dengan adanya tenaga yang ahli dalam bidang penyembuhan luka dapat

memberikan dampak yang positif terhadap luka pasien.

Hasil uji statistik dengan Chi-square diperoleh nilai p=0,027. Karena

nilai p<α=0,05 maka hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima.

Interpretasi ada antara hubungan kecemasan dengan proses penyembuhan

luka diabetes melitus di Ruang Rawat Inap Bedah RSUD Barru, karena

responden yang tidak mengalami kecemasan lebih cenderung proses

penyembuhan lukanya baik sedangkan responden yang mengalami

kecemasan lebih cenderung proses penyembuhan lukanya kurang.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh

Astuti[CITATION Ast14 \n \t \l 1057 ] , didapatkan bahwa ada hubungan tingkat

stres dengan penyembuhan luka diabetes melitus di RSUD Gunungsitoli

Kabupaten Nias Tahun 2012. Stres dapat menimbulkan reaksi terhadap fisik,

kognitif, emosi, dan tingkah laku. Dalam penelitian ini dibuktikan kalau

pasien dengan luka diabetes melitus cenderung mengalami stres, dan stres

yang dialami penderita luka diabetes melitus lebih cenderung atau lebih
61

banyak pada tingkat stres sedang dan berat. Stres yang dialami disebabkan

karena luka diabetes itu sendiri. Sehingga mengakibatkan tekanan psikologis

dalam dirinya, dan hampir keseluruhan penderita luka diabetes melitus

mengalami stres yang bervariatif. Sehingga sangat berpengaruh terhadap

kesehatannya. Sehingga semakin tinggi tingkat stress yang dialami penderita

luka diabetes melitus akan mengakibatkan penyembuhan lukanya semakin

tidak baik.

Stres, cemas dan depresi telah dibuktikan dapat mengurangi efisiensi

dari sistem imun sehingga dapat mempengaruhi proses penyembuhan. Suatu

sikap positif untuk memberikan penyembuhan oleh tiap pasien dan perawat

dapat mempengaruhi dalam meningkatkan penyembuhan luka [ CITATION

Eka13 \l 1057 ].

Stres juga sangat berpengaruh pada berbagai kesehatan, yaitu

perubahan yang diakibatkan oleh stress secara langsung mempengaruhi fisik

dan sistem tubuh. Stres juga secara tidak langsung mempengaruhi perilaku

individu tersebut sehingga menyebabkan timbulnya penyakit atau

memperburuk situasi yang sudah ada termasuk dalam proses penyembuhan

luka[ CITATION Ast14 \l 1057 ].

Menurut asumsi peneliti, kecemasan pasien berhubungan dengan proses

penyembuhan luka, karena responden yang tidak mengalami kecemasan lebih

cenderung proses penyembuhan lukanya baik. Penyembuhan luka DM ini

bisa terganggu dengan keadaan tekanan psikologi dari penderita itu sendiri.

Kecemasan dapat meningkatkan tekanan darah dan meningkatkan kadar gula


62

darah, dan bersifat menekan imunitas sehingga menambah penyakit dan

memperlama proses penyembuhan bagi penderita diabetes melitus.

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang hubungan antara

status nutrisi dan kecemasan dengan proses penyembuhan luka diabetes melitus di

Ruang Rawat Inap Bedah RSUD Barru, maka dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut :

1. Ada hubungan antara status nutrisi dengan proses penyembuhan luka diabetes

melitus di Ruang Rawat Inap Bedah RSUD Barru.

2. Ada hubungan antara kecemasan dengan proses penyembuhan luka diabetes

melitus di Ruang Rawat Inap Bedah RSUD Barru.

B. Saran

1. Bagi responden

Diharapkan responden untuk lebih memperhatikan nutrisi dengan

mengkonsumsi diet tinggi vitamin A, C, B12, Zat Besi, Protein, dan Kalsium

serta mengurangi beban pikiran agar dapat mempercepat proses

penyembuhan penyembuhan luka yang cepat sembuh.


63

2. Bagi perawat

Diharapkan perawat luka untuk memberikan edukasi kepada pasien

tentang hal-hal yang harus diketahui mengenai diabetes melitus khususnya

faktor yang berhubungan dengan proses penyembuhan luka.

3. Bagi pihak rumah sakit

Diharapkan pihak rumah sakit untuk senantiasa mengembangkan dan

mengkaji lebih dalam lagi faktor yang dapat menghambat proses

penyembuhan agar terciptanya pelayanan yang total atau menyeluruh

terhadap pasien diabetes melitus yang mengalami luka.

4. Bagi peneliti selanjutnya

Diharapkan peneliti selanjutnya untuk meneliti secara luas dengan

menggunakan sampel yang lebih banyak dan menggunakan uji squear yang

berbeda agar didapatkan hasil yang lebih signifikan.


64

DAFTAR PUSTAKA

Al Fady, M. F. (2015). Madu dan Luka Diabetetik (Metode Perawatan Luka


Komplementer Dilengkapi dengan Riset). Yogyakarta: Gosyen
Publishing.

Astuti, N. F. (2014). Hubungan Tingkat Stres dengan Penyembuhan Luka


Diabetes Melitus di RSUD Gunungsitoli Kabupaten Nias Tahun 2013.
Jurnal Online. https://ayurvedamedistra.files.wordpress.com. Diakses
tanggal 10 November 2017.Azizah, L. M., Zainuri, I., & Akbar, A.
(2016). Buku Ajar Keperawatan Jiwa Teori dan Aplikasi Praktik Klinik.
Yogyakarta: Indomedia Pustaka.

Bustan, M. N. (2015). Manajemen Pengendalian Penyakit Tidak Menular.


Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Dinkes Kota Makassar. (2016). Profil Kesehatan Kota Makassar Tahun 2015.
Makassar: Dinas Kesehatan Kota Makassar.

Dinkes Sulsel. (2015). Profil Kesehatan Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan


Tahun 2014. Makassar: Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan.

Ekaputra, E. (2013). Evolusi Manajemen Luka (Menguak 5 Keajaiban Moist


Dressing). Jakarta: Trans Info Media.

Elisa. (2014). Hubungan Antara Status Gizi Terhadap Proses Penyembuhan Luka
Post Sectio Caesaria di Ruang Dewi Kunti RSUD Kota Semarang.
Jurnal Keperawatan Maternitas. Volume 2, No. 1. https://ppnijateng.org.
Diakses tanggal 29 Desember 2017.

Hasdianah, Siyoto, S., & Peristyowati, Y. (2014). Gizi, Pemanfaatan Gizi, Diet
dan Obesitas. Yogyakarta: Nuha Medika.

IDF. (2015). IDF Diabetes Atlas. Seventh Edition. International Diabetes


Federation.

Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian


Kesehatan RI.
65

Lestari, T. (2015). Kumpulan Teori untuk Kajian Pustaka Penelitian Kesehatan.


Yogyakarta: Nuha Medika.

Notoatmodjo, S. (2014). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka


Cipta.

Noviyanti. (2015). Cara Cepat Usir Diabetes. Yogyakarta: Notebook.

Nursalam. (2016). Metode Penelitian Ilmu Keperawatan : Pendekatan Praktis.


Jakarta: Salemba Medika.

Padila. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha


Medika.

Rendy, M. C., & Margareth. (2012). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah


Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika.

Setiawan, D., & Prasetyo, H. (2015). Metodologi Penelitian Kesehatan Untuk


Mahasiswa Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Soep, & Triwibowo, C. (2015). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan


Luka Gangrene pada Penderita Diabetes Mellitus di Ruang Rawat Inap
RSUD Dr. Pirngadi Medan. Jurnal Ilmiah PANNMED, Volume 10 No 2.
http://pannmed.poltekkes-medan.ac.id. Diakses tanggal 10 November
2017.

Suciati, D. K. (2014). Ilmu Keperawatan Dasar (IKD). Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Supardi, S., & Rustika. (2013). Buku Ajar Metodologi Riset Keperawatan.
Jakarta: CV. Trans Info Media.

WHO. (2017). Diabetes. Media Centre of WHO.

Anda mungkin juga menyukai