Sudah seringkali kita membaca sejarah bagaimana para tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia
diasingkan. Soekarno, Hatta, Syahrir, dan tokoh progresif lainnya harus dibuang dan diasingkan ke
belahan wilayah Hindia-Belanda jauh dari tempat asalnya oleh Gubernur Jenderal. Hak istimewa
yang dimiliki Gubernur Jenderal ini bernama exorbitante rechten, suatu kewenangan yang digunakan
untuk mengasingkan orang-orang yang berbahaya bagi keamanan dan ketertiban umum, maka wajar
korban-korbannya adalah kaum pergerakan yang merongrong kekuasaan pemerintah kolonial.
Hak istimewa ini, menurut Ong Hok Ham juga berperan dalam membuat pergerakan nasional pasca
Pemberontakan PKI 1926-1927 menjadi lebih pasif karena sangat merugikan mereka. Apabila orang
yang dikenakan exorbitante rechten adalah kelahiran Hindia-Belanda, maka akan diinternir atau
dibuang ke salah satu pulau di wilayah Hindia-Belanda, tetapi jika kelahiran luar negeri maka akan
dieksternir atau dilarang tinggal di Hindia-Belanda. Sayangnya, exorbitante rechten tidak pernah
dicabut hingga berakhirnya kolonialisme Belanda di Indonesia dengan kedatangan Jepang.
Sumber:
Ham, Ong Hok. 2014. Runtuhnya Hindia-Belanda. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Muljana, Slamet. 2012. Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan Jilid 1.
Yogyakarta: LKis.
Swantoro, P. 2017. Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu. Jakarta: KPG.