Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberculosis adalah penyakit yang menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis. Dimana penyakit ini bisa saja menyerang sepanjang

hidup dan membentuk suatu tuberkel di bagian-bagian tubuh.(Barberis et al.,

2017). Mycobacterium tuberculosis sendiri sudah bertahan sejak 70.000 tahun

yang lalu dan saat ini diduga sudah menginfeksi hampir sebanyak 2 miliar orang

di dunia. (Mac Donald, 2015). Gejala-gejalanya TB diantaranya ialah batuk,

hemoptisis, nyeri dada, sesak napas, demam, berat badan turun, dan keringat

malam. TB bisa menyebar baik melalui udara atau cairan. Ketika orang terinfeksi

sedang batuk, bersin, berbicara, tertawa, meludah kemudian mengeluarkan cairan

yang mengandung Mycobacterium tuberculosis yang kemudian berterbangan di

udara. Lalu orang disekitar bisa menghirup udara tersebut akhirnya tertular

penyakit TB ((Desalu et al., 2013)

Tuberculosis termasuk penyakit yang banyak terjadi di dunia dan salah

satu yang menjadi sebab terbesar angka kematian di dunia. Secara global,

Tuberkulosis pada tahun 2006 mencetak angka kematian mencapai 1,7 juta

dengan 9,2 juta kasus baru.(WHO, 2008). Pada tahun 2013, angka Tuberkulosis

paru mencapai 450.000 orang dan 170.000 diantaranya meninggal dunia. (WHO,

2014). Indonesia sendiri memiliki angka penyakit tuberculosis yang termasuk

tinggi. Diantara negara-negara lain di dunia, prevalensi tuberculosis di Indonesia

adalah peringkat 5 (WHO, 2010). Menurut Kementrian Kesehatan Republik


Indonesia, prevalensi Tuberculosis paru pada tahun 2013 di Indonesia adalah

sebesar 275 kasus per 100.000 penduduk dengan angka kematian yaitu 27 per

100.000 penduduk. Pada tahun tersebut, terdapat penderita TB sebanyak 194.853

dan nilai kesembuhan TB paru hanya 161.365 orang atau sekitar 82,8 % dengan

pengobatan lengkap hanya sebanyak 14.964(7,70%).(Kemenkes RI, 2013)

Dalam upaya menanggulangi epidemi dari TB, maka WHO mencanangkan

the directly observed treatment short-course strategy (DOTS strategy) pada tahun

1994 (WHO, 1994). Unsur-unsur klinis utama pada strategi DOTS sendiri yaitu

diagnosis bebas, pengobatan gratis dan pengobatan terawasi (WHO, 2006). Target

dari WHO sendiri untuk tahun 2015 adalah mengurangi separuh prevalensi dan

angka kematian mulai dari tahun 1990 awal. Pada tahun 2006, angka kematian TB

di indonesia telah turun 50 % dibandingkan dengan tahun 1990. Tingkat

prevalensi juga berkurang 32% pada tahun 2009 sedangkan angka kejadian

cenderung konstan sejak tahun 1990. (WHO, 2010)

Dalam suatu laporan mengatakan bahwa rata-rata di negara berkembang,

program pengendalian TB nasional telah mampu mendeteksi sekitar setengah dari

BTA-positif kasus tuberculosis. Yang tersisa tinggal setengah yang mana bisa jadi

akan terus menularkan infeksi TB ditengah-tengah masyarakat sampai akhirnya

bisa terdeteksi. Dalam hal ini, untuk suatu kasus TB positif yang tidak diobati

dapat menginfeksi hingga 15 orang setiap tahun dan bisa lebih dari 20 selama

perjalanan alami penyakit yang tidak tertangani. (WHO, 1996).


Sebuah studi di Yogyakarta mengatakan bahwa faktor terkuat dalam

mencari layanan kesehatan adalah pengaruh penghasilan dan juga dorongan dari

keluarga. (Rintiswati et al. 2009). Dalam studi lain yang dilakukan oleh Watkin

dan Plant (2004) menambahkan adanya beberapa pengaruh yaitu pengetahuan

serta kesadaran akan TB, ketersediaan Healthcare provider, biaya dan

stigmatisasi. Kemudian pada penelitian lainnya lagi menyebutkan bahwa usia,

jenis kelamin, pendidikan dan tempat tinggal juga berpengaruh pada faktor dalam

mencari layanan kesehatan (Johansson et al. 2000; Cheng et al. 2005)

Keterlambatan dalam pengobatan dan diagnosis TB merupakan pengaruh

utama dalam menghambat pengendalian TB. Selain akan membawa penularan

kepada masyarakat, keterlambatan pengobatan dan diagnosis TB juga akan

menyebabkan berbagai masalah, seperti penyakit yang lebih luas, bertambahnya

komplikasi, dan juga dapat meningkatkan resiko mortalitas. Total keterlambatan

(total delay) diagnosis TB dibagi menjadi dua yaitu lamanya patient delay dan

juga lamanya healtcare system delay. Dimana pada penelitian kali ini akan lebih

terfokus pada akibat dari lamanya patient delay. Untuk meningkatkan

pengendalian TB , sangat penting memahami faktor patient delay, yaitu waktu

antara dimulainya timbul gejala dengan waktu pertama datang ke pelayanan

kesehatan. Ada beberapa penyebab patient delay diantaranya status sosio-

ekonomi, pengakuan gejala, jarak dan akses ke tempat pelayanan kesehatan, serta

biaya pada pelayanan kesehatan yang kadang dianggap mahal oleh kalangan

menengah kebawah. (Almeida et al., 2015)


Dalam menegakan diagnosis TB, bisa dilakukan dengan berbagai cara

yaitu dengan melihat gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologik,

pemeriksaan radiologik, beberapa pemeriksaan khusus dan pemeriksaan

penunjang lainnya (Arifin & Nawas, 2009). Di Indonesia sendiri, Imaging adalah

cara yang paling sering digunakan karena terbatasnya uji mikrobiologi. Uji

radiologi yang bisa dilakukan di Indonesia sendiri adalah Tomography dan

Rontgen pada thoraks. Akan tetapi, Rontgen thoraks lebih dipilih karena tersedia

pada pelayanan kesehatan primer. Selain itu juga rontgen thoraks juga dapa

mengidentifikasi lokasi dan morfologi lesi, seperti adanya rongga, konsolidasi,

efusi pleura, dan fibrosis. (Icksan et al., 2018)

Diagnosis dan penanganan Tuberculosis sejak dini sangatlah penting untuk

dilakukan. Penelitian menunjukan bahwa waktu patient delay atau interval antara

hari pertama pasien mengalami gejala TB sampai dengan datang ke pelayanan

kesehatan adalah selama 30 hari. Selain itu juga menunjukan bagaimana pasien

dengan durasi delay yang semakin lama maka akan berpengaruh pada

pemeriksaan penunjang diagnosis dari TB. Beberapa yang berpengaruh adalah

pemeriksaan sputum positif dan juga meningkatnya cavity pada paru. (Cheng et

al., 2013; Seid and Metaferia, 2018)

Oleh karena untuk meneliti bagaimana hubungan lamanya patient delay

pada tuberkulosis dengan pemeriksaan radiografi toraks, maka dalam penelitian

kali ini ingin diteliti apakah terdapat hubungan antar variabel dan bagaimana

pengaruhnya. Karena sebagaimana sudah tertulis diatas bahwasannya salah satu

cara yang paling umum dilakukan untuk mendiagnosis TB adalah dengan


pemerikasaan radiologi yaitu foto Thorax. Dan juga membuktikan bahwasanya

ada sebab ada akibat, dalam islam mengajarkan untuk senantiasa berjalan diatas

fitrah manusia. Fitrah manusia apabila sakit, maka ia akan mencari bantuan atau

melakukan cara agar bisa sembuh. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

‫ك‬
َ ِ‫ه َذل‬ ِ ‫خ ْل‬
ِ َّ‫ق الل‬ َ ‫اس َعلَ ْي َها اَل تَ ْب ِدي‬
َ ِ‫ل ل‬ َ ‫ه الَّتِي َفطَ َر ال َّن‬
ِ َّ‫ت الل‬ ْ ِ‫حنِيفًا ف‬
َ ‫ط َر‬ َ ‫ين‬
ِ ‫ِد‬
$%ِّ ‫ك لِل‬
َ ‫ج َه‬ ْ ِ‫أَق‬
ْ ‫م َو‬

ِ َّ‫الدِّينُ ْالقَيِّ ُم َولَ ِك َّن أَ ْكثَ َر الن‬


َ‫اس اَل يَ ْعلَ ُمون‬

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah

atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada

perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan

manusia tidak mengetahui” (QS. Ar Ruum: 30)

Maka apabila manusia sudah tidak menjalankan sebagaimana fitrahnya,

misalkan menunda pengobatan, maka sudah pasti ia akan mendapat efek yang

buruk. Dan bahwasannya Allah tidak akan merubah nasib suatu hamba bila hamba

itu sendiri tidak merubah apa yang terjadi pada dirinya. Sebagaimana firman

Allah Ta’ala,

‫إِ َّن هَّللا َ اَل يُ َغيِّ ُر َما بِقَوْ ٍم َحتَّ ٰى يُ َغيِّرُوا َما بِأ َ ْنفُ ِس ِه ْم‬

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka

merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d 13:11).
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan pada latar belakang penelitian, maka rumusan

masalah penelitian ini adalah “ Bagaimanakah hubungan antara lamanya waktu

patient delay pada tuberculosis dengan gambaran foto radiografi toraks”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan

antara lamanya waktu patient delay pada Tuberkulosis dengan gambaran foto

toraks.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat Penelitian ini adalah:

1. Bagi Klinisi:

a. Menambah pengetahuan tentang hubungan antara lamanya waktu

patient delay pada tuberculosis dengan gambaran foto toraks.

b. Membantu klinisi untuk bisa menegakan diagnosis lebih cepat

terutama pada bagian pemeriksaan penunjang radiologi

c. Memberikan pelayanan atau program yang bermanfaat untuk

mencegah terjadinya delay

2. Bagi ilmu pengetahuan:


a. Menambah data pustaka tentang pengaruh lamanya waktu patient

delay pada tuberculosis dengan gambaran foto thoraks

b. Menambah pengetahuan tentang gambaran radiologi pada lamanya

waktu patient deay pada tuberkulosis

c. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dibidang radiologi tentang

tuberkulosis

3. Bagi Masyarakat

a. Menambah wawasan dan pengetahuan tentang penyakit tuberkulosis

b. Menambah pengetahuan tentang bagaimana keterlambatan dalam pergi

ke pelayanan kesehatan setelah munculnya gejala dapat meberikan

dampak yang lebih buruk bagi tubuh

c. Masyarakat akan mendapatkan pemeriksaan radiologi toraks

d. Masyarakat akan lebih waspada akan gejala penyakitnya sehingga

akan segera pergi ke pelayanan kesehatan`

E. Keaslian Penelitian

Judul Referensi Penelitian/Tahun Perbedaan

penelitian ini
Hubungan Knowledge, care- Biya O et al, 2010 Pada penelitian yang

lamanya waktu seeking behavior, dilakukan oleh Oladayo Biya

patient delay and factors dan kawan-kawannya

tuberculosis associated with tersebut meneliti bagaimana

dengan patient delay hubungan faktor-faktor yang

gambaran among newly- terkait dengan patient delay


radiografi diagnosed sedangkan pada penelitian

toraks pulmonary kami meneliti bagaimana

tuberculosis pengaruh lamanya waktu

patients, Federal patient delay dengan

Capital Territory, penyakit tuberculosis pada

Nigeria, 2010 gambaran radiografi toraks


Total Delay in Awoke N et al, Pada penelitian yang

Treatment of 2018 dilakukan oleh Netsanet

Tuberculosis and Awoke dan kawan-kawannya

Associated tersebut meneliti bagaimana

Factorsamong total delay pada tuberculosis

New Pulmonary dan faktor-faktor yang

TB Patients in berkaitan terhadap pasein TB

Selected Health paru yang baru sedangkan

Facilitiesof pada penelitian kami ini

Gedeo Zone, hanya fokus terhadap patient

Southern delay saja yang nantinya juga

Ethiopia, 2017/18 dilihat lewat gambaran

radiografi toraks
Health Care Gedeyon GH et Pada penelitian tersebut

System Delay of al, 2019 menggunakan variabel

Tuberculosis independen yaitu pengaruh

Treatment and Its health care system delay

Correlates among terhadap TB paru sedangkan


Pulmonary pada penelitian ini

Tuberculosis menggunakan variabel

Patients in independen patient delay dan

Hadiya Zone pengaruhnya terhadap

Public Health radiografi toraks yang

Facilities, nantinya dilihat pengaruhnya

Southern melalui gambaran foto

Ethiopia thoraks
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tuberculosis
1. Definisi

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bacillus

mycobacterium tuberculosis complex yang biasanya menginfeksi paru-paru.

Tetapi penyakit juga menyerang bagian lain dari tubuh seperti meninges, ginjal,

tulang, dan juga dapat menyerang lymph nodes. Gejala-gejalanya TB diantaranya

ialah batuk, hemoptisis, nyeri dada, sesak napas, demam, berat badan turun, dan

keringat malam. TB bisa menyebar baik melalui udara atau cairan. Ketika orang

terinfeksi sedang batuk, bersin, berbicara, tertawa, meludah kemudian

mengeluarkan cairan yang mengandung Mycobacterium tuberculosis yang

kemudian berterbangan di udara. Lalu orang disekitar bisa menghirup udara

tersebut akhirnya tertular penyakit TB(Desalu et al., 2013)


2. Epidemiologi

Tuberculosis termasuk penyakit yang banyak terjadi di dunia dan salah

satu yang menjadi sebab terbesar angka kematian di dunia. Secara global,

Tuberculosis pada tahun 2006 mencetak angka kematian mencapai 1,7 juta

dengan 9,2 juta kasus baru.(WHO, 2008). Pada tahun 2013, angka

Tuberkulosis paru mencapai 450.000 orang dan 170.000 diantaranya

meninggal dunia. (WHO, 2014). Indonesia sendiri memiliki angka penyakit

tuberculosis yang termasuk tinggi. Diantara negara-negara lain di dunia,

prevalensi tuberculosis di Indonesia adalah peringkat 5 (WHO, 2010).

Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, prevalensi Tuberculosis

paru pada tahun 2013 di Indonesia adalah sebesar 275 kasus per 100.000

penduduk dengan angka kematian yaitu 27 per 100.000 penduduk. Pada tahun

tersebut, terdapat penderita TB sebanyak 194.853 dan nilai kesembuhan TB

paru hanya 161.365 orang atau sekitar 82,8 % dengan pengobatan lengkap

hanya sebanyak 14.964(7,70%).(Kemenkes RI, 2013)

Dalam upaya menanggulangi epidemi dari TB, maka WHO

mencanangkan the directly observed treatment short-course strategy (DOTS

strategy) pada tahun 1994 (WHO, 1994). Unsur-unsur klinis utama pada

strategi DOTS sendiri yaitu diagnosis bebas, pengobatan gratis dan

pengobatan terawasi (WHO, 2006). Target dari WHO sendiri untuk tahun

2015 adalah mengurangi separuh prevalensi dan angka kematian mulai dari
tahun 1990 awal. Pada tahun 2006, angka kematian TB di indonesia telah

turun 50 % dibandingkan dengan tahun 1990. Tingkat prevalensi juga

berkurang 32% pada tahun 2009 sedangkan angka kejadian cenderung

konstan sejak tahun 1990. (WHO, 2010)

Dalam suatu laporan mengatakan bahwa rata-rata di negara berkembang,

program pengendalian TB nasional telah mampu mendeteksi sekitar setengah

dari BTA-positif kasus tuberculosis. Yang tersisa tinggal setengah yang mana

bisa jadi akan terus menularkan infeksi TB ditengah-tengah masyarakat

sampai akhirnya bisa terdeteksi. Dalam hal ini, untuk suatu kasus TB positif

yang tidak diobati dapat menginfeksi hingga 15 orang setiap tahun dan bisa

lebih dari 20 selama perjalanan alami penyakit yang tidak tertangani. (WHO,

1996).

3. Etiologi

Penyakit Tuberkulosis disebabkan oleh infeksi bakteri bernama

mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini memiliki ciri-ciri yaitu tumbuhnya

lambat, bersifat chemoorganotrophic, tidak memiliki kemampuan bergerak,

tidak membentuk spora dan juga bacillus aerobik. Bakteri ini bisa hidup

optimal pada suhu laboratorium 370 C dan akan menjadi ganda selama 24

jam. Bakteri ini memerlukan waktu 3 pekan untuk membentuk warna

kekuning-kuningan dan juga koloni kasar pada piring agar (Gordon and

Parish, 2018). Fitur dari mycobacterium tuberculosis adalah struktur dinding


yang aneh yang bisa menjadi penghalang yang sangat kuat bagi senyawa kuat

dan juga obatan-obatan. Selain itu juga, memiliki peran virulensi.

Mycobacterium tuberculosis memiliki bentuk batang yang ramping

dengan ukuran panjang 2-4 mikrometer dan lebar 0,2-0,5 mikrometer.

Mycobacterium tuberculosis memiliki sifat membutuhkan oksigen untuk

melakukan respirasi sel aerobik. Selain itu juga bakteri ini memiliki

perkembangbiakan yang lambat. Bakteri ini lemah terhadap pancaran

matahari dan terutama karena radiasi yang dihasilkan dari matahari. Bakteri

ini memiliki sifat tahan terhadap senyawa-senyawa kimia sehingga bisa hidup

dalam jangka waktu yang panjang (Garay, 2004).

4. Patogenesis

Infeksi mycobacterium tuberculosis terjadi apabila basil tuberkulum yang

berasal dari pasien TB paru aktif dan tersebar diudara yang kemudian dihirup

atau bisa tertular yang akhirnya masuk ke dalam host. Kemudian MTB

difagosit oleh makrofag yang paling banyak membunuh bakteri karena respon

imun bawaan.

A. Infeksi Primer

Mycobacterium tuberculosis menuju kedalam saluran pernafasan akan

menempatkan diri pada jaringan di paru yang akan berefek pada pembentukan

sarang pneumoni yang bisa terbentuk pada bagian paru. Terbentuknya sarang

primer tersebut akan nampak inflamasi pada saluran kelenjar limfe kearah hilus

atau bisa disebut limfangitis. Karena itu, kelenjar limfe akan mengalami
pembengkakan ukuran yang lebih besar. Peristiwa terjadinya afek primer

dengan terjadiya pembesaran kelenjar limfe akan membentuk kompleks

primer. Kompleks primer ini bisa mengalami kesembuhan walaupun beberapa

akan meninggalkan bekas. Kompleks primer ini bisa juga terjadi penyebaran

secara perkontinuitatum ke area disekitarnya. Area-area yang bisa terserang

seperti pada bronkus dan juga bisa menyerang sistem imun. Tuberkulosis juga

bisa menyebar ke organ-organ seperti tulang dan ginjal. (Hood A, 2008)

Alsagaff Hood, Mukty Abdul. Bab2 Infeksi: Tuberkulosis Paru.

Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru.Surabaya: Airlangga University Press,

2008. hal.73-1098.

Faisal, A,“Penampilan Kelainan Radiologik Pada Koch Pulmonum

Orang Dewasa”.Majalah Radiologi Indonesia Tahun ke-2, No 2 : 31–35.

1991

1) Infeksi Post Primer

Infeksi Post Primer bisa disebut juga localized tuberculosis, tuberkulosis

dewasa atau ada juga menyebut sebagai tuberkulosis menahun. Setelah

mengalami infeksi primer, bertahun-tahun kemudian penderita juga bisa

mengalami infeksi post primer. Peristiwa infeksi postprimer ini terjadi pada

usia antara 15 sampai 40 tahun. Infeksi postprimer terjadi saat timbulnya

sarang pneumoni. Sarang ini bisa mengalami kesembuhan tetapi juga bisa

mengalami perluasan. Dimana sarang pneumoni bisa meluas dan akan

terbentuk nekrosis yang kemudian akan terbentuk rongga. Pada awalnya,


rongga memiliki dinding tipis tetapi lama kelamaan akan menebal yang juga

bisa disebut cavitysclerotic. Rongga itu bisa mengalami perluasan dan akan

membentuk sarang pneumoni baru. Selain itu juga rongga ini bisa mengalami

pemadatan yang menyebebkan tuberkuloma. Tuberkuloma tersebut bisa

mengalami dua keadaan yaitu sembuh atau bisa juga aktif kembali yang

kemudian akan menjadi rongga kembali. Rongga ini ketika mengalami

kesembuhan ia akan melakukan pembungkusan diri dan nantinya akan

berkurang ukurannya atau bisa juga disebut open healed cavity.

Faisal, A,“Penampilan Kelainan Radiologik Pada Koch Pulmonum

Orang Dewasa”.Majalah Radiologi Indonesia Tahun ke-2, No 2 : 31–35.

1991

2) Diagnosis TB

1) Manifestasi Klinis

Sebagai suatu penyakit, TB bisa mengalami perkembangan yang

beragam pada setiap penderita. Salah satu yang mempengaruhinya

adalah masalah kekebalan tubuh yang berbeda pada setiap manusia. Tb

sendiri memiliki tahapan-tahapan dimana setiap tahapan memiliki

pengaruh kepada tubuh penderita

a. Latent Tuberculosis

Orang yang memiliki latent tuberculosis tidak mempunyai gejala

atau tanda dari penyakit dan biasanya penderita tidak merasakan sakit

dan bukanlan infectious. Akan tetapi, viable bacilli mampu bertahan


di dalam bahan nekrotik dalam jangka waktu yang lama atau bahkan

seumur hidup. Sehingga apabila sistem kekebalan tubuh mengalami

penurunan atau gangguan, maka penyakit bisa mengalami Re-aktivasi

terutama pada penderita penyakit-penyakit kronik

b. Primary desease

Tuberkulosis paru primer banyak dijumpai tanpa gejala. tapi

beberapa manifestasi dapat terjadi. Seperti terdapatnya paratrakeal

limnfadenopati karena tersebarnya basil darri paru-paru lewat sistem

limfatik. Apabila lesi primer mengalami perbesaran, dapat terjadi efusi

pleura. Efusi ini terbentuk karena mesauknya basil ke rongga pleura.

Efusi pleura bisa saja mengalami pembesaran dan menyebabkan

beberapa gejala seperti demam, nyeri dada dan dyspnea. Dyspnea ini

terjadi karena sedikitnya pertukaran gas di bagian paru dipengaruhi

oleh efusi. Dullness pada perkusi dan berkurangnya suara nafas juga

bisa menjadi efek karena efusi.

c. Primary Progressive Tuberculosis

Mulai berkembangnya TB aktif sehingga akan memunculkan

berbagai macam manifestasi seperti sering kelelahan, malaise,

turunnya berat badan dan muncul demam ringan disertai dengan

menggigil dan munculnya keringat di malam hari. Kemudian akan

terdapat juga wasting, yaitu karena kurangnya nafsu makan dan

berubahnya metabolisme karena turunnya kekebalan tubuh penderita


TB. Selain itu juga akan ada beberapa gejala lain seperti jari clubbing,

batuk dan hemoptysis yang bisa dikarenakan pecahnya pembuluh

peten pada rongga dada.

d. Extrapulmonary Tuberculosis

Lokasi yang paling serius terserang TB adalah sistem saraf pusat

karena bisa menyebabkan meningitis. Selain itu TB paru bisa

menyebabkan infeksi pada darah atau milliary tuberculosis yang

mana bisa disebarluaskan ke bagian-bagian tubuh lainnya. Milliary

tuberculosis sulit dideteksi karena tidak terlalu kelihatan tanda-tanda

spesifik. Gejalanya seperti demam, penurunan berat badan, dan

kelemahan. Bentuk lain yang bisa diwaspadai adalah TB limfatik

yang bisa menyebabkan adenopati serviks paling sering. Area lain

yang bisa terkena seperti tulang, sendi, pleura, dan sistem

genitourinari.

2) Penegakan diagnosis

a) Anamnesis

Dalam anamnesis ditanyakan keluhan utamanya, kemudian

mencari lebih dalam riwayat pasien seperti riwayat penyakit sekarang,

riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, kebiasaan pasien,

lingkungan dan lain-lain.

b) Pemeriksaan Fisik
Dalam pemeriksaan tergantung organ yang terganggu akibat

tuberkulosis. Misalnya pada TB paru, maka tergantung dengan besarnya

penyakit yang seringnya berada si apeks lobus atas (S1 & S2) dan apeks

lobus bagian bawah (S6). Saat diauskultasi, terdengar bermacam-macam

bunyi napas pokok. Pada pleuritis TB, sangat tergantung pada banyaknya

cairan di rongga pleura kemudian pada perkusinya pekak dan suara napas

saat diauskultasi melemah hingga menghilang. Pada limfadenitis TB,

terdapat pembesaran pada kelenjar getah bening dan terdapat “cold

abscess” pada ketiak (Nawas, 2010)

3) Pemeriksaan Penunjang

a) Pemeriksaan Lab

Pemeriksaan lab sendiri terdiri dari berbagai macam pemeriksaan

seperti pemeriksaan darah rutin, tes BTA, pemeriksaan kultur,

pemeriksaan serologi dan pemeriksaan PCR (Polymerase Chain

Reaction). Pada tes BTA digunakan untuk membantu diagnosis dan

juga untuk evaluasi kesuksesan pengobatan dan apakah memiliki efek

penularan. Pada pemeriksaan kultur digunakan untuk mengetahui

bakteri atau kuman yang menginfeksi. Dalam hal ini bisa untuk

menentukan apakah mycobacterium tuberculosis ataukah yang lain.

Untuk membedakan apakah penyakit berlangsung atau dalam kondisi

post-infeksi bisa digunakan pemeriksaan serologi.

b) Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi foto thorax adalah cara yang banyak

dijumpai dalam rangka penegakan diagnosis Tuberkulosis. Dimana

keuntungan pemeriksaan radiologi dibanding pemeriksaan sputum

adalah karena pemeriksaan sputum sering sekali negatif terutama pada

tuberkulodis anak-anak dan milier. (Amin & Bahar, 2014). Pada

tuberkulosis paru dapat ditemukan gambaran foto toraks, yaitu:

(Patel,2004).

a. Tuberkulosis primer

Terdapat area konsolidasi pneumonik perifer (fokus ghon)

ditandai dengan kelenjsr hilus mediastinum yang membesar

(kompleks primer) yang bisa membaik dengan gambaran

kalsifikasi. Selain itu juga ditemukan area konsolidasi yang kecil,

lobaris dan luasnya bisa mencapai seluruh lapang paru.

b. Tuberkulosis post primer

Terdapat tanda berupa ditemukan konsolidasi bercak yang

berada pada bagian lobus superior atau area apikal. Pada

pleuranya terdapat efusi, empiema atau menebalnya pleura.

Terdapat tuberkulosis milier yaitu nodul-nodul disket yang

ukurannya sekitar 1-2 mm yang bisa tersebar di keseluruhan

lapang paru karena efek dari penyebaran hematogen.


Pada fase penyembuhan, dapat dikenali pada gambaran

radiografi toraks berupa adanya fibrosis, kalsifikasi pleura,

granuloma terlokalisir yang bisa menjadi kalsifikasi, serta

gambaran volume paru yang mengecil

c. Tuberkulosis Milier

Terdapat pola milier pada gambaran radiografi. Di belakang

milier tersebut terdapat lesi yang menunjukan gambaran

retikulonodular difus bilateral.

d. Tuberkulosis pada anak

Tanda pada foto toraks yaitu kelenjar hilus yang membesar,

konsolidasi lobar, terdapat efusi pada pleura, mlier, atelektasis,

terdapat kavitas, kalsifikasi yang disertai dengan infiltrat dan

juga tuberkuloma.

3) Terapi

Dalam menangani TB paru dibagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif

selama 2-3 bulan dan fase lanjutan selama 4-7 bulan. Dengan memakai obat

lini pertama dan obat tambahan atau lini kedua. Obat-obatan lini pertama

seperti rifampisin (R), INH(H), piazinamid (Z), etambutol (E), dan

streptomisin (S). Dalam kemasannya sendiri, dibagi menjadi obat tunggal dan

juga obat kombinasi dosis tetap. Obat tunggal disajikan sendiri-sendiri yaitu

R, H, Z, E, dan S. Berikut ini adalah dosis obat tunggal anti tuberkulosis:


Nama Obat Dosis Dosis Dosis (mg) Berat (kg)

Maks
mg/kg/hari Harian Intermiten <40 40-60 >60

(mg/kg/hari (mg/kg/kali)

Rifampisin 8-12 10 10 600 300 450 600

INH 4-6 5 10 300 150 300 450

Piazinamid 20-30 25 35 750 1000 1500

Etambutol 15-20 15 30 750 1000 1500

Streptomisin 15-18 15 15 1000 Tergantung 750 1000

BB

Tabel 2.1 dosis penggunaan obat anti tuberkulosis

Selain penggunaan obat tunggal juga bisa menggunakan kombinasi

dosis obat dengan berbagai keuntungan seperti tata laksana yang lebih simpel

dengan kekeliruan peresepan yang minim, meningkatkan kepatuhan baik bagi

tenaga kesehatan maupun pasien sendiri, jenis obat yang berkurang

menyebabkan membaiknya manajemen, dan yang terakhir untuk menghindari

dari penyalahgunaan obat tunggal.

B. Kerangka Konsep

C. Hipotesis
Terdapat hubungan yang bermakna antara waktu lamanya patient delay

pada tuberculosis dengan gambaran radiografi toraks

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Pada penelitian kali ini menggunakan metode penelitian yaitu

cross-sectional dengan desain penelitian observasional analitik dalam rangka

mencari hubungan antara lamanya waktu patient delay tuberkulosis dengan

gambaran radiografi toraks. Penelitian ini menggunakan penelitian

retrospektif dengan data diambil menggunakan kuisioner yang berisi

pertanyaan terkait dengan lamanya waktu patient delay atau waktu pasien

merasakan gejala sampai pasien datang ke pelayanan kesehatan.

B. Subyek Penelitian

1. Populasi

Populasi adalah seluruh subyek akan di observasi dengan kriteria

yang sudah ditentukan. Pada penelitian kali ini populasinya adalah pasien

yang mempunyai klinis TB paru yang datang berobat di Balai Besar

Kesehatan Paru Masyarakat kota Surakarta yang memenuhi karakteristik

inklusi dan eksklusi.

2. Sampel

Sampel pada penelitian kali ini adalah pasien dengan klinis TB

paru yang mencakup kriteria inklusi dan eksklusi dan dilakukan

pengambilan foto toraks.

a. Faktor Inklusi

 Pasien yang mengalami positif Tuberkulosis

 Pasien dengan keterlambatan atau delay tuberkulosis

 Pasien berumur 15-65 tahun

 Pasien yang dilakukan pengambilan foto toraks


b. Faktor Eksklusi

Pasien dengan penyakit lainnya yang bersamaan dengan klinis TB

(penyakit penyerta seperti DM, pneumonia, Hipertensi, kanker paru

dan sebagainya)

c. Besar Sample

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi

Pengambilan data dilakukan di Balai Besar Kesehatan Paru

Masyarakat kota Surakarta (BBKPM).

2. Waktu

Waktu pengambilan data dilakukan mulai November 2019 dan

akan dilaksanakan selama 1 bulan.

D. Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas

Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi variabel

terikat. Pada penelitian ini menggunakan variabel bebas yaitu pasien

dengan patient delay tuberkulosis.

2. Variabel Terikat
Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel

bebas. Variabel terikat penelitian ini yaitu hasil pemeriksaan radiografi

toraks.

E. Definisi Operasional

Definisi Operasional Variabel adalah penjelasan tentang variabel-

variable yang terkait dengan penelitian.

No Variabel Definisi Operasional

.
1. Patient delay Tuberkulosis Waktu antara dimulainya timbul gejala

dengan waktu pertama pasien datang

ke pelayanan kesehatan.
2. Radiografi Toraks

F. Instrumen Penelitian

1. Lembar Kuisioner yang di berikan kepada pasien TB positif di Balai

Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) kota Solo

2. Kamera untuk mengambil gambar hasil foto toraks

3. Alat tulis

4. Flashdisk atau CD untuk mengkopy hasil foto toraks

5. Alat komputer untuk memproses laporan

G. Cara Penelitian

1. Permohonan ijin ke Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM)

kota Surakarta
2. Pemilihan pasien dengan TB positif sesuai kriteria yang sudah

ditentukan

3. Pemberian kuisioner kepada pasien yang sesuai kriteria untuk

pengambilan data dengan jumlah yang telah ditentukan. Kuisioner

berkaitan dengan lamanya waktu patient delay pada TB.

4. Mengumpulkan data lalu menganalisis data dan menentukan apakah

termasuk distribusi normal ataukah tidak

5. Melakukan uji analisis menggunakan SPSS.

DAFTAR PUSTAKA

Almeida, C.P.B. de, Skupien, E.C., Silva, D.R., Almeida, C.P.B. de, Skupien,
E.C., Silva, D.R., 2015. Health care seeking behavior and patient delay in
tuberculosis diagnosis. Cad. Saúde Pública 31, 321–330.
https://doi.org/10.1590/0102-311X00195413
Barberis, I., Bragazzi, N.L., Galluzzo, L., Martini, M., n.d. The history of
tuberculosis: from the first historical records to the isolation of Koch’s
bacillus 4.
Cheng, S., Chen, W., Yang, Y., Chu, P., Liu, X., Zhao, M., Tan, W., Xu, L., Wu,
Q., Guan, H., Liu, J., Liu, H., Chen, R.Y., Jia, Z., 2013. Effect of
Diagnostic and Treatment Delay on the Risk of Tuberculosis Transmission
in Shenzhen, China: An Observational Cohort Study, 1993–2010. PLoS
ONE 8, e67516. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0067516
Desalu, O.O., Adeoti, A.O., Fadeyi, A., Salami, A.K., Fawibe, A.E., Oyedepo,
O.O., 2013. Awareness of the Warning Signs, Risk Factors, and Treatment
for Tuberculosis among Urban Nigerians. Tuberc. Res. Treat. 2013, 1–5.
https://doi.org/10.1155/2013/369717
Gordon, S.V., Parish, T., 2018. Microbe Profile: Mycobacterium tuberculosis:
Humanity’s deadly microbial foe. Microbiology 164, 437–439.
https://doi.org/10.1099/mic.0.000601
Icksan, A.G., Napitupulu, M.R.S., Nawas, M.A., Nurwidya, F., 2018. Chest X-
Ray Findings Comparison between Multi-drug-resistant Tuberculosis and
Drug-sensitive Tuberculosis. J. Nat. Sci. Biol. Med. 9, 42–46.
https://doi.org/10.4103/jnsbm.JNSBM_79_17
Seid, A., Metaferia, Y., 2018. Factors associated with treatment delay among
newly diagnosed tuberculosis patients in Dessie city and surroundings,
Northern Central Ethiopia: a cross-sectional study. BMC Public Health 18,
931. https://doi.org/10.1186/s12889-018-5823-9

Bazin H. Vaccination: a history. Montrouge: John Libbey Eurotext 2011.

Mac Donald EM, Izzo AA. Tuberculosis vaccine development. In: Ribbon
W (Ed.). Tuberculosis-expanding knowledge. In Tech 2015.
V.Kumar,A.K.Abbas,N.Fausto,andR.N.Mitchell,Robbins Basic
Pathology, Saunders Elsevier, Philadelphia, Pa, USA, 8th
edition,2007.
WHO Global Tuberculosis Programme WHO Fact sheet no.104, 2010,
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs104/en/index.html.
World Health Organization. Global tuberculosis control - surveillance,
planning, financing. WHO Report. 2008; Geneva: WHO/HTM/
TB/2008 393.
World Health Organization. 2014. Global Tuberkulosis Control. Report
2014. (online) (Http://apps.who.int/iris/bitstream/p
ublications/globalreport/10065/137094/1/97
89241564809_eng.pdf?ua=1)
Kemenkes Republik Indonesia. 2012. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. Jakarta : Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan.
World Health Organization. Framework for effective tuberculosis control.
WHO Tuberculosis Programme. 1994; Geneva: WHO, 1994.
WHO (2006) The Stop TB Strategy. WHO, Geneva.
WHO (2009) WHO Report 2007: Global Tuberculosis Control:
Surveillance, Planning, Financing. WHO, Geneva.
Rintiswati N, Mahendradhata Y, Suharna et al. (2009) Journeys to
tuberculosis treatment: a qualitative study of patients, families
and communities in Jogjakarta, Indonesia. BMC Public Health
9, 158.
Watkins RE & Plant AJ (2004) Pathways to treatment for tuberculosis in
Bali: patient perspectives. Qualitative Health Research 14, 691–
703.
Johansson E, Long NH, Diwan VK & Winkvist A (2000) Gender and
tuberculosis control: perspectives on health seeking behaviour
among men and women in Vietnam. Health Policy 52, 33–51.
Cheng G, Tolhurst R, Li RZ, Meng QY & Tang S (2005) Factors
affecting delays in tuberculosis diagnosis in rural China: a case
study in four counties in Shandong Province. Transactions of the
Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene 99, 355–362.
Yimer S, Bjune G, Alene G. Diagnostic and treatment delay among
pulmonary tuberculosis patients in Ethiopia: a cross sectional
study. BMC Infect Dis. 2005;5:112.
Lawn SD, Afful B, Acheampong JW. Pulmonary tuberculosis: diagnostic
delay in Ghanaian adults. Int J Tuberc Lung Dis 1998; 2:635-40.
. Ward HA, Marciniuk DD, Pahwa P, Hoeppner VH. Extent of pulmonary
tuberculosis in patients diagnosed by active compared to passive
case finding. Int J Tuberc Lung Dis 2004; 8:593-7
Sherman LF, Fujiwara PI, Cook SV, Bazerman LB, Frieden TR. Patient
and health care system delays in the diagnosis and treatment of
tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis 1999; 3:1088-95.

Icksan AG, Maryastuti M. Characteristics of chest X-ray lesion in smear-


negative TB patient with culture-positive vs. culture-negative
in the Persahabatan Hospital, Jakarta. Bul Ilmiah Radiol.
2012;2:80–90. [Indonesian Society of Radiology chapter
Yogyakarta and Department of Radiology, University of Gajah
Mada Faculty of Medicine, Yogyakarta]

Ngamvithayapong J, Yanai H, Winkvist A, Diwan V. Health seeking


behaviour and diagnosis for pulmonary tuberculosis in an HIV-
epidemic mountainous area of Thailand. Int J Tuberc Lung Dis
2001; 5:1013-20.
Arifin dan Nawas, 2009. Diagnosis dan Penatalaksanaan TB Paru.
Jakarta : Divisi Infeksi, Departemen Pulmonologi

Icksan AG. Doctoral Dissertation of the PhD in Clinical Medicine.


Yogyakarta: University of Gajah Mada Faculty of Medicine;
2014. The Accuracy of CT Scan without Contrast Scoring
System in the Diagnosis of Adult Pulmonary TB; pp. 1–156.
Aoki M, Mori T, Shimao T: Studies on factors influencing
patient's, doctor's and total delay of tuberculosis case-detection
in Japan. Bull Int Union Tuberc 1985, 60:128-130.
Pirkis JE, Speed BR, Yung AP, Dunt DR, MacIntyre CR, Plant AJ:
Time to initiation of anti-tuberculosis treatment. Tuberc Lung
Dis 1996, 77:401-406.

Anda mungkin juga menyukai