USULAN PENELITIAN
Diajukan untuk memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Keperawatan pada
Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
RIAN NUGRAHA
NPM.220110160058
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
BANDUNG
2020
LEMBAR PERSETUJUAN
NPM : 220110160058
i
1.BAB I
PENDAHULUAN
Fase remaja merupakan fase yang sangat rentan terkena perilaku bullying.
Hal ini sebagaimana dikatakan oleh psikolog anak dan remaja Yasinta Indriani
M.Psi dalam salah satu wawancara media masa elektronik, beliau mengatakan
bahwa masa remaja adalah masa yang sangat sering terkena masalah kenakalan
remaja yaitu bullying (Suara.com). Bullying sangat sering terjadi pada masa
sekolah. Anak sekolah dasar tingkat akhir sudah mulai melakukan bullying. Namun,
kasus yang sering muncul memuncak pada tingkat sekolah menengah pertama,
menyebabkan cedera fisik ataupun rasa tidak nyaman yang dilakukan secara
2012). Bullying juga dapat diartikan sebagai perilaku yang agresif berupa kekerasan
dimana terjadi pemaksaan baik secara psikologis maupun fisik terhadap satu orang
atau lebih yang membuat orang tersebut menderita (Zakiyah & Humaedi, Sahadi
Santoso, 2017). Bullying dibagi menjadi empat, bullying fisik, bullying verbal,
bullying relasional dan cyber bullying (van der Ploeg, Steglich, & Veenstra, 2019).
menendang, meludahi, menggigit, mencakar dan segala bentuk kontak fisik yang
menyakiti korban. Bullying verbal, perilaku ini dapat berupa celaan, fitnah, julukan
nama, menghina, kritik kejam dan pernyataan yang memiliki unsur seksual atau
1
2
pelecehan seksual. Bullying relasional, jenis bullying ini sulit dideteksi dari luar
namun dapat dirasakan efeknya oleh korban. Perilaku ini berupa pengucilan,
jenis ini yaitu mengirim pesan yang menyakitkan, membuat website yang
memalukan bagi korban, dijauhi dari chat room dan masih banyak contoh lainnya.
Bullying banyak terjadi di kalangan remaja usia sekolah. Hal ini didukung
dengan penelitian yang dilakukan di berbagai negara oleh McEachern, (2005 dalam
korban bullying setiap hari (Sari, 2010). Prevalensi bullying di Amerika juga
secara fisik, 53,6% verbal dan 13,6% elektronik atau cyber bullying (Marela,
Wahab, & Marchira, 2018). Selain data-data di atas angka kejadian bullying juga
tercatat di benua Afrika dengan tingkat prevalensi 21- 61% di Afrika Selatan, 78%
di Malawi dan 59% di Ghana (Arhin, Oppong Asante, Kugbey, & Oti-Boadi, 2019).
Sebuah studi di Finlandia juga melaporkan bahwa 39% anak perempuan dan
sebanyak 55% anak laki-laki pernah mengalami bullying selama satu semester
Di Indonesia sendiri kasus bullying juga sangat sering terjadi. Survei yang
dilakukan oleh Latitude News pada 40 negara, Indonesia menempati urutan ke dua
di dunia dengan kasus bullying terbanyak setelah Jepang dan menempati urutan ke-
satu di ASEAN (SindoNews.com, 2017; Wulandari, Muis, & Pd, 2012). Data
3
Indonesia terus mengalami peningkatan sejak tahun 2007, 40% murid di Indonesia
berusia 13-15 tahun telah mengalami bullying secara fisik selama 12 bulan terakhir
di sekolah mereka. Lebih lanjut dalam penelitian lain menyebutkan bahwa 10-60%
Zainuddin, 2015; Prajogo et al., 2014). Jadi, kasus bullying di Indonesia sebenarnya
cukup banyak.
diperoleh dari 2011 hingga Mei 2018, KPAI mencatat sebanyak 3.184 pengaduan
2015 dalam Pusat Data dan Informasi Kesehatan RI juga mengungkapkan, 40%
anak berusia 13-15 tahun pernah diserang secara fisik sedikitnya satu kali dalam
setahun dan 50% anak melaporkan di-bully di sekolah. Para peneliti telah
Akibat yang ditimbulkan dari perilaku bullying sangat besar dirasakan oleh
tindakan agresif yang memiliki dampak paling negatif bagi korbannya (Saifullah,
2010). Dwipayanti dan Indrawati (dalam Susanti et al., 2018) mengatakan anak
korban bullying cenderung mengalami gejala somatis lebih tinggi dibanding dengan
4
pelaku bullying. Hal ini juga didukung oleh (Zakiyah & Humaedi, Sahadi Santoso,
2017) yang juga mengatakan remaja yang menjadi korban bullying lebih berisiko
mengalami berbagai macam masalah kesehatan, baik fisik maupun secara mental.
Gejala-gejala somatis tersebut seperti sakit kepala berulang hingga sulit tidur.
Selain sakit kepala dan sulit tidur dampak fisik lain yang ditimbulkan berupa sakit
lutut, kaki, bahu, bahkan bisa sampai muntah dan demam (Albdour, Hong, Lewin,
& Yarandi, 2019; Halimah et al., 2015; Susanti et al., 2018; Waseem & Nickerson,
2019).
Tidak hanya dampak secara fisik yang dirasakan oleh korban bullying,
dampak secara psikologis juga dapat terjadi pada korban bullying. Dampak tersebut
seperti merasa takut, rendah diri, tidak nyaman, merasa tidak berharga, menarik diri
dari pergaulan, penyesuaian sosial yang buruk sehingga korban tidak mau untuk
berangkat ke sekolah dan nilai akademik yang turun (Wulandari et al., 2012).
memburuknya konsep diri akademik (Estévez, Estévez, Segura, & Suárez, 2019).
dengan murid yang tidak terpapar bullying. Studi yang dilakukan oleh (Dwipayanti
& Indrawati, 2014) menunjukkan rata-rata nilai kelas anak korban bullying lebih
5
rendah dibandingkan dengan anak yang tidak menjadi korban bullying. Penelitian
tersebut juga mengatakan semakin tinggi tindakan bullying yang diterima korban
perkembangan konsep diri akademik seorang remaja (H. Yusuf & Fahrudin, 2012).
bullying dilaporkan tidak memiliki banyak masalah, namun bagi pelaku yang
dulunya merupakan korban memiliki konsep diri akademik yang juga negatif
(Jenkins & Demaray, 2012; Roeleveld, 2011). Penelitian lain juga mengungkapkan
semua elemen yang terlibat baik korban maupun pelaku memiliki konsep diri
akademik yang negatif namun dalam hal ini korban memiliki konsep diri akademik
di sekolah atau di bidang akademik (Hattie, 1992; Kadir & Yeung, 2016). Song dan
pembentukan konsep diri akademik, yaitu aspek academic, social, dan self-
pencapaian atau kemampuannya dalam belajar, aspek social dapat dilihat dari
keluarga dan self-regard berhubungan kepercayaan diri atau cara pandang terhadap
Konsep diri akademik dibagi menjadi dua kategori yakni konsep diri
akademik positif dan konsep diri akademik negatif (Ebrahim Abd El Aziz Rady,
2017). Konsep diri akademik positif penting dimiliki seorang remaja karena
bermanfaat bagi aspek akademik seorang remaja, kehidupan sosial seorang remaja
maupun kehidupan masa depan seorang remaja (Blakely-McClure & Ostrov, 2016).
sekolah dan keberhasilan karier (Esnaola, Sesé, Antonio-Agirre, & Azpiazu, 2020).
Remaja dengan konsep diri akademik positif dianggap mampu mencapai prestasi
seperti tindakan bullying, akan memengaruhi remaja dalam membentuk konsep diri
akademiknya. Hal ini berkaitan dengan penghargaan diri dari orang lain pada masa
tersebut. Apabila anak tidak memperoleh penghargaan dari orang lain khususnya
rendah (Dwipayanti & Indrawati, 2014). Lingkungan sosial adalah salah satu
remaja (Erickson, dalam Hasanah, 2013). Maka dari itu, remaja cenderung mencari
negatif terhadap dirinya. Ketika dalam masa tersebut remaja korban bullying akan
7
percaya diri, tidak menyadari kelebihan yang dimilikinya, serta tidak memahami
antaranya yaitu orang tua, sekolah, teman sebaya, guru, media, masyarakat, dan
budaya setempat. Teman sebaya dan lingkungan sekolah berperan penting dalam
Abd El Aziz Rady, 2017). Ketika anak sedang melewati masa remaja dengan
baik.
(Kurniawan, 2009). Oleh sebab itu, konsep diri akademik memainkan peran penting
& Reyes-Lagunes, 2013 dalam Blegur, 2017). Sudah seharusnya seorang remaja
memiliki konsep diri akademik yang positif dalam kehidupannya dan hal tersebut
Penelitian ini berfokus pada Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang
berada pada usia remaja awal yaitu 12-15 tahun (Fajarini & Khaerani, 2014).
Menurut Winkler (2005 dalam Silvia Yuliani, Efri Widianti, 2018), bullying akan
meningkat pada masa sekolah dasar, mencapai puncaknya pada sekolah menengah
pertama, dan menurun pada masa sekolah menengah atas. Hal tersebut sejalan
dengan fenomena bullying yang baru-baru ini muncul di media masa yang sebagian
besar terjadi pada siswa-siswa sekolah menengah pertama (SMP), salah satu
kasusnya siswa SMP di Dairi Sumatra Utara dan seoarang siswi SMP di
di tahun 2020 setelah kasus bullying di tahun 2019 yang terjadi di Bandung Barat
yang sebelumnya tidak pernah muncul di media masa yakni kasus seorang siswi
yang di-bully oleh temannya karena sepatu lusuh yang ia gunakan (Kompas.com).
sejalan dengan penelitian (Evans, Smokowski, Rose, Mercado, & Marshall, 2018)
sejumlah stres yang unik bagi remaja (Farmer, Hamm, Leung, Lambert, & Gravelle,
2011). Lebih lanjut dalam penelitian lain diungkapkan bahwa remaja sekolah
menengah pertama di daerah pedesaan tiga sampai lima persen memiliki frekuensi
bullying lebih tinggi dibanding daerah perkotaan. Tercatat sebanyak 25% remaja
pedesaan mengalami bullying dalam dua belas bulan terakhir dan angka tersebut
meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 10% (Smokowski, Cotter, Robertson,
9
& Guo, 2013). Kehidupan pedesaan memiliki banyak masalah misalnya isolasi
geografis, akses terbatas ke layanan kesehatan dan sumber daya yang minimal yang
disebut sebagai salah satu penyebab terjadi stress pada remaja yang memicu banyak
3 Bandung Barat yang berlokasi di Jl. Raya Gununghalu, Bandung Barat, peneliti
bullying yang dilakukan oleh siswa-siswanya seperti mengejek nama orang tua,
menghina fisik, mengucilkan teman sebaya, dan tindakan berupa ancaman yang
ditujukan kepada temannya yang tidak menuruti perintah pelaku bullying. Jumlah
kasus bullying yang terjadi di sekolah tersebut sebanyak 10 kasus yang tercatat dan
masih banyak kasus yang belum tercatat karena masih banyaknya korban bullying
yang takut untuk melapor ke pihak sekolah ujar guru BK. Hasil wawancara dengan
lima orang siswa, tiga di antara mereka mengaku pernah menjadi korban bullying.
Tiga orang tersebut mengungkapkan merasa sedih dan takut untuk datang ke
sekolah karena takut di-bully dan kurang semangat dalam belajar. Hal tersebut
dibuktikan dengan nilai rapor korban bullying tersebut yang diperlihatkan oleh guru
sekolah tersebut tercatat sebanyak 15 kasus. Begitupun ungkapan lima orang siswa
sedang banyak terjadi, dan salah satu kasusnya membuat korban bullying pindah
karena dari 24 sekolah di Bandung Barat enam sekolah tersebut masuk ke dalam
kategori wilayah pedesaan yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, yakni
isolasi geografis, transportasi publik yang terbatas, sumber daya yang minimal dan
akses ke layanan kesehatan yang terbatas yang mana hal-hal tersebut dapat memicu
perilaku bullying marak terjadi dan dua sekolah yang dipilih merupakan sekolah
favorit yang ada di wilayah tersebut dengan tingkat persaingan yang cukup tinggi.
Maka peneliti memilih dua sekolah tersebut dengan didukung hasil studi
sekolah tersebut dan responden yang dipilih adalah seluruh siswa-siswi kelas 7-8 di
sekolah tersebut karena kelas 9 di kedua sekolah tersebut tidak bisa diikutsertakan
Adapun peran perawat puskesmas atau perawat sekolah dalam hal ini masuk
dalam upaya kesehatan utama (primary health care) dengan fokus utamanya adalah
terjadinya masalah kesehatan (Stuart 2016 dalam Retnowuni & Yani, 2019).
Perawat sekolah berada dalam posisi yang sangat ideal untuk mengenali perilaku
hubungan dekat dengan mereka sehingga menjadi agen pertama dalam menangani
(Blakeslee, Eboh, Monsen, & Kvarme, 2016), 50% dari 5.205 siswa di Amerika
yang diberikan oleh perawat sekolah. Temuan tersebut mendukung gagasan bahwa
menciptakan lingkungan yang aman bagi siswa terbebas dari perilaku bullying
(Pigozi & Jones Bartoli, 2016). Fokus perawat sekolah dalam hal ini adalah sebagai
konselor dan educator yaitu membantu meningkatkan harga diri anak-anak dan
membantu anak yang di-bully. Terlepas dari hal itu, perawat sekolah dalam
masyarakat dan juga para siswa di sekolah. Perawat sekolah diharapkan menjadi
lingkungan pendidikan remaja tersebut. Pada umumnya masa remaja adalah masa
untuk berprestasi, dimana para remaja mulai menyadari bahwa pada tersebut
mereka dituntut untuk menghadapi kehidupan yang sebenarnya yang ketat akan
persaingan. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa prestasi merupakan sarana untuk
lebih besar karena keberhasilan atau kegagalan pada saat remaja dapat menjadi
prediktor bagi keberhasilan yang akan diperoleh remaja pada saat dewasa.
akademiknya yang positif karena konsep diri akademik positif sangat berguna tidak
hidup mereka serta konsep diri akademik yang positif sangat penting untuk
pengembangan fungsi kognitif dan kemampuan dalam belajar yang mana hal
tersebut tidak hanya berguna bagi aspek akademik tetapi dalam kehidupan sehari-
hari (Bharathi & Sreedevi, 2016; Blakely-McClure & Ostrov, 2016; Esnaola et al.,
masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimana konsep diri akademik remaja
korban bullying.”
13
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran konsep diri
akademik remaja korban bullying di SMP Negeri 4 dan MTs Negeri 3 Bandung
Barat.
regard/presentation of self
terkait konsep diri akademik remaja korban bullying terutama informasi kepada
pihak fakultas yang diharapkan dapat menjadi masukan dan evaluasi sebagai upaya
14
untuk mencegah dan mengantisipasi terjadinya konsep diri akademik yang negatif
selanjutnya terkait konsep diri akademik dari aspek lainnya. Penelitian ini juga
dapat dijadikan bahan acuan untuk membuat penelitian terkait faktor-faktor yang
terutama informasi dan data awal terkait korban bullying serta konsep diri akademik
siswa-siswi sekolah tersebut yang diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dan
masukan bagi guru-guru di sekolah dalam upaya pencegahan dan penanganan lebih
lanjut supaya terjadi penurunan jumlah korban bullying dan meningkatnya konsep
Remaja dikenal sebagai fase perubahan atau transisi antara anak-anak dan
dewasa. Masa remaja juga dikenal sebagai masa pencarian jati diri atau konsep diri
akademik, pada fase tersebut emosi yang dimiliki belum stabil yang dalam hal ini
remaja tersebut karena pada masa ini remaja cenderung lebih mendengarkan
sangat sering terjadi pada masa remaja karena remaja memiliki egosentrisme yang
tinggi (Edwards, 2006 dalam Putri, Nauli, & Novayelinda, 2015). Remaja dengan
perilaku bullying memiliki keterkaitan yang cukup dekat. Perubahan yang terjadi
pada diri remaja baik di dalam maupun di luar dirinya membuat kebutuhan remaja
dalam sosial dan psikologi semakin meningkat ditambah dengan adanya stressor-
stresor yang datang dari lingkungan sekitar yang menimbulkan konflik dalam diri
remaja tersebut yang berimbas pada masalah kenakalan remaja salah satunya
pada masa sekolah. Tindakan bullying tidak hanya berpengaruh bagi semua aspek
yang terlibat. Dampak negatif pada korban bullying lebih besar dibanding pelaku
yang berpengaruh terhadap kehidupan korban dalam jangka panjang. Dampak yang
dialami korban bullying tidak hanya secara fisik berupa sakit lutut, kaki, bahu,
demam dan muntah tetapi juga dampak secara psikologis yang lebih berbahaya bagi
Dampak psikologi meliputi merasa takut, rendah diri, tidak nyaman, merasa
tidak berharga, menarik diri dari pergaulan, penyesuaian sosial yang buruk
sehingga korban tidak mau untuk berangkat ke sekolah dan nilai akademik yang
turun (karena konsep diri akademik menjadi negatif) (Estévez et al., 2019; Jenkins
& Demaray, 2012; Roeleveld, 2011; Wulandari et al., 2012). Dampak negatif
bullying dalam dunia pendidikan seperti yang telah disinggung pada paragraf
16
berhubungan langsung dengan prestasi belajar atau kemauan remaja tersebut untuk
seperti pengaruh teman sebaya, guru, media, masyarakat atau budaya setempat yang
dalam hal ini teman sebaya dan lingkungan sekolah berperan penting dalam
Konsep diri akademik yang positif sangat penting dimiliki oleh seorang
remaja, hal ini berguna terhadap masa depan pendidikan remaja tersebut. Konsep
diri akademik juga merupakan aspek yang sangat penting berkaitan dengan
social yang dapat membantu remaja tersebut dalam proses persaingan untuk meraih
(Ebrahim Abd El Aziz Rady, 2017). Pada tahap inilah remaja diharapkan dapat
mengembangkan konsep diri akademik yang positif karena konsep diri akademik
positif berguna bagi aspek kehidupan seorang remaja baik dalam bidang akademik
Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner konsep diri akademik yang
dimiliki oleh Aat Sriati, S. Kp., M.Si yang mengacu pada teori model Song dan
Hattie (Hattie, 1992). Instrumen ini mencakup beberapa aspek atau dimensi konsep
dari penelitian ini nantinya akan diketahui apakah konsep diri akademik pada
Tidak diteliti :
Sumber Modifikasi:
(Ebrahim Abd El Aziz Rady, 2017; Estévez et al., 2019; Halimah et al., 2015; Hattie, 1992; Jenkins & Demaray, 2012; Putri et al.,
2015; Roeleveld, 2011; Susanti et al., 2018; Wulandari et al., 2012).
2.BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Remaja
2.1.1 Pengertian
Remaja adalah fase transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa yang
psikologis dan sosial yang saling keterkaitan satu sama lain (Brenhouse &
Andersen, 2011; Malá, 2009). Menurut Monk (2006 dalam Kaparang, 2013;
yang terjadi pada dirinya, belum mampu mengontrol emosi dengan baik, tidak
stabil, tidak puas, rendah diri, dan cepat merasa kecewa. Pada masa ini juga
peningkatan emosional terjadi sangat cepat, sehingga masa ini dikenal dengan masa
selanjutnya dari tahap remaja awal yang memiliki karakteristik khas yang tidak jauh
berbeda dari fase remaja awal. Fase ini memiliki ciri yaitu: hubungan dengan lawan
jenis yang semakin meningkat frekuensinya, fantasi dan fanatisme yang mulai
18
19
muncul terhadap berbagai hal tertentu seperti musik, idola, atau kegemaran yang
dimilikinya. Pada masa ini akan muncul kemantapan yang menutup kebimbangan
yang terjadi pada masa remaja awal, dan mulai dapat memunculkan rasa percaya
diri serta individu mulai dapat menemukan diri mereka sendiri (jati dirinya).
Remaja pada fase ini mulai memiliki arti dirinya lebih luas dan lebih mantap
jauh dari pada saat fase remaja awal yang sebelumnya telah individu tersebut lalui.
Remaja pada fase ini lebih bersifat menerima dan mengerti dan muai mampu
menghargai sikap orang lain yang kurang sependapat dengan dirinya. Memiliki
fokus atau minat tertentu, sikap kedudukan, budaya, arah politik, maupun etikanya
lebih condong kepada orang tuanya (Prabadewi & Widiasavitri, 2014; Unayah &
Sabarisman, 2015).
1) Perkembangan Fisik
Terdapat lima perubahan spesifik yang akan terjadi pada masa pubertas,
komposisi tubuh serta perubahan sistem sirkulasi dan sistem respirasi yang
berhubungan dengan kekuatan dan stamina yang terjadi pada masa tersebut
(Batubara, 2016).
20
identitas, dan orientasi masa depan. Remaja pada masa ini memiliki penurunan
terhadap minat kegiatan keluarga dan nasihat orang tua. Mereka lebih cenderung
mereka berada pada fase pendirian otonom, dalam hal ini mereka memiliki ego
identitas. Identitas berhubungan perasaan diri seseorang. Area ini dapat dibagi
menjadi dua area, yaitu: konsep diri akademik dan harga diri. Konsep diri akademik
mengacu pada persepsi diri atau bakat, tujuan dan pengalaman hidup seseorang.
terjadi selama usia 13-19 tahun, pada masa ini terjadi konflik antara lahirnya
diri yang buruk pada remaja. Hal tersebut juga berhubungan dengan banyaknya
stressor seperti bullying yang akan memperburuk keadaan. Citra diri dan harga diri
yang buruk telah dikaitkan dengan penyesuaian yang buruk (depresi atau bunuh
diri), prestasi sekolah yang rendah, penggunaan narkoba, dan perilaku pengambilan
risiko lainnya.
21
tahap perkembangan akhir (Cromer, 2011 dalam AlBuhairan, Areemit, Harrison, &
Kaufm, 2012). Pada awal masa remaja, penggunaan operasi logis formal
difokuskan pada kegiatan di sekolah dan di lingkungan rumah. Hal ini termasuk
dalam mempertanyakan otoritas dan standar sosial remaja tersebut yang nantinya
perilaku bullying maka pembentukan konsep diri akademik seorang remaja menjadi
terganggu.
membentuk kode etik, identitas dan kemungkinan tujuan mereka di masa depan
berpikir yang lebih kompleks, fokus diperluas untuk mencakup perhatian yang lebih
filosofis dan futuristik, sudah mulai berpikir jangka panjang tetapi belum diterapkan
diri sendiri. Pada tahap ini mereka mulai berfokus pada karier dan peran mereka di
masyarakat, mereka juga mampu memikirkan berbagai hal secara independen dan
Masa remaja adalah masa perkembangan fisik, kognitif dan emosional yang
bersamaan tetapi tidak sejalan satu sama lain (AlBuhairan et al., 2012; Sanders,
2013). Perkembangan emosional yang luar biasa terjadi pada fase remaja, dimana
mereka mengalami beberapa perubahan otak yang paling signifikan sejak bayi
(Hagan, Sanchez, Cascarino, & White, 2019). Proses perkembangan emosional dan
struktur penghargaan di otak membuat remaja semakin peka terhadap umpan balik
sosial, status sosial dan penampilan mereka. Fase perkembangan ini merupakan
fase ketika timbulnya gangguan mental yang melibatkan puncak dis regulasi emosi
Alasan mengapa hal demikian terjadi pada masa remaja karena pada masa
ini beberapa bagian otak telah mencapai puncak kematangannya, seperti sistem otak
yang sensitif terhadap reward, yang berkaitan dengan kehidupan sosialnya atau
yang terkait dengan bagian otak cortex cingulate ( bagian komponen dari sistem
limbic yang merupakan substrat utama dari regulasi respons emosi dan perilaku )
dan orbitofrontal ( berperan dalam proses menafsirkan reward positif dan negatif
dan belajar akan stimulus netral yang kemudian berasosiasi menjadi reward positif
Berkaitan dengan kematangan bagian otak tersebut, pada usia remaja sistem
yang bertanggung jawab untuk kontrol diri belum matang seutuhnya hingga usia
dewasa. Hal demikian menjelaskan kenapa pada usia remaja sangat rentan dalam
dan tawuran. Karena pada masa ini sistem limbic sudah mencapai kematangan,
23
tetapi area frontal sistem yang bertindak sebagai eksekutif dan sistem kontrol
karakteristik yang berbeda satu sama lainnya, mulai dari remaja awal hingga masa
dengan meningkatnya minat pada penampilan fisik pribadi dan citra tubuh,
peningkatan kesadaran akan rentang emosi yang lebih luas. Selama masa remaja
Berbeda dengan remaja awal, remaja pertengahan dan remaja akhir mulai
merupakan proses biologis yang didorong dengan perubahan fisik dan kognitif serta
kualitas unik dan mengembangkan kekuatan untuk kesehatan yang optimal (U.S.
emosional yang berhubungan satu sama lain. Remaja memiliki kerentanan dalam
2.2 Bullying
2.2.1 Pengertian
Bullying adalah bentuk perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja dan
berulang pada seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau rasa tidak
negatif yang dilakukan berulang dan sengaja terhadap seorang korban yang
biasanya memiliki kesulitan dalam mempertahankan dirinya atau dalam konteks ini
25
Hong, Kliem, & Bergmann, 2019; van der Ploeg et al., 2019). Berdasarkan definisi
tersebut, bullying dapat diartikan sebagai tindakan merugikan yang dilakukan oleh
sesekali yang dapat mengakibatkan cedera mental atau fisik bagi korban.
jenis-jenis perilaku bullying dibagi ke dalam empat jenis perilaku, yaitu, Bullying
relasional, bullying verbal, cyberbullying dan bullying fisik (Baier et al., 2019; van
der Ploeg et al., 2019). Masing-masing jenis tindakan bullying tersebut memiliki
1) Bullying Relasional
Bullying jenis ini memiliki arti pelemahan harga diri korban secara
pengucilan atau penghindaran, dan menggunjing (van der Ploeg et al., 2019).
lirikan mata, helaan napas, cibiran, tawa yang mengejek dan gestur tubuh yang
atau pengucilan adalah yang paling berpengaruh bagi korban (Zakiyah & Humaedi,
2) Bullying Verbal
Bentuk perilaku dari bullying jenis ini yaitu berupa julukan nama yang negatif
termasuk menghina nama orang tua, celaan, fitnah, kritik kejam atau kata-kata
kasar, hinaan, teror dan rayuan atau ejekan yang bersifat seksual (Retnoningsih,
2019; van der Ploeg et al., 2019). Bullying jenis ini merupakan perilaku yang
sangat umum dilakukan baik oleh remaja laki-laki maupun remaja perempuan
karena sifatnya yang mudah dilakukan dan dapat menjadi gerbang pertama
dalam melakukan kekerasan yang lebih buruk lagi (Retnoningsih, 2019; Zakiyah
& Humaedi, Sahadi Santoso, 2017). Hal tersebut sejalan dengan penelitian lain
bahwa bullying verbal merupakan kasus ter sering yang terjadi (A. Yusuf,
3) Cyberbullying
Bentuk perilaku dari bullying jenis ini pada intinya merupakan penindasan
yang dilakukan melalui media elektronik seperti mengirim pesan singkat yang
menyakitkan melalui email atau short message service (SMS), menelepon terus-
menerus tetapi tidak ada yang berbicara, membuat website dengan unsur yang
memalukan bagi korban, dihindarkan atau dijauhi dari grup sosial media atau
berupa menyebarkan video yang berisi konten memalukan bagi korban (Dianes,
2019).
4) Bullying Fisik
Jenis bullying yang terakhir ini merupakan yang paling terlihat dan paling
2019). Meskipun sangat mudah untuk dideteksi namun angka kejadian bullying
fisik termasuk yang paling sedikit dari rata-rata kasus laporan di sekolah.
Bullying mencapai puncaknya pada awal masa remaja, karena dalam tahap
ini terjadi perubahan fisik, mental emosional dan seksual remaja yang cukup
signifikan. Ini adalah waktu ketika remaja untuk mencoba mengetahui diri mereka
perilaku tersebut. Isolasi geografis, transportasi publik yang terbatas, jaringan sosial
yang terbatas, sumber daya yang minimal, akses terbatas ke layanan kesehatan
mental dan remaja pedesaan memiliki tingkat kebosanan dan perilaku berisiko yang
kehidupan yang tenang dan damai terhindar dari berbagai masalah termasuk
berbagai masalah yang unik yang dapat menghadirkan perilaku berisiko seperti
seperti isolasi geografis, sumber daya yang minimal, kurangnya transportasi umum,
kebosanan pada seorang remaja sehingga menimbulkan stres yang unik dan
28
memicu remaja untuk melakukan perilaku berisiko seperti bullying (Evans et al.,
Menurut (Wu, Luu, & Luh, 2016), peran-peran dalam perilaku bullying
dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok yang berperan secara langsung
( bully, bully-victim, and victim ), dan kelompok yang berperan tidak langsung yaitu
Victim atau korban bullying, yaitu remaja yang sering menjadi objek atau
2019). Ada beberapa karakteristik seseorang atau remaja yang rentan menjadi
korban bullying, diantaranya yaitu dari karakter fisik, remaja yang menjadi korban
badan, memiliki tinggi badan yang kurang, atau lemah secara fisik; Berbeda dengan
yang lain, menjadi berbeda dengan cara apapun lebih berisiko meningkatkan
memiliki kelebihan yang istimewa dibanding dengan temannya seperti lebih pintar,
lebih unggul, memiliki sopan santun, lebih rajin dari yang lain; Memiliki kelemahan
dalam kesehatan, remaja yang memiliki penyakit khusus seperti penyakit mental
berisiko lebih besar untuk menjadi korban; Status ekonomi, penelitian yang
yang ekonominya kurang beruntung berisiko lebih besar dibanding dengan anak
yang memiliki ekonomi lebih baik (Heydenberk & Heydenberk, 2012). Selain hal
tersebut, korban biasanya terisolasi secara sosial, memiliki sedikit teman, kurang
29
populer, cenderung memiliki harga diri rendah, merupakan murid baru di sekolah
Bully atau bullies, yaitu orang yang secara langsung terlibat dalam perilaku
bullying dan mengganggu baik secara fisik atau mental (Olweus 1994 dalam
(Zakiyah & Humaedi, Sahadi Santoso, 2017). Pelaku bullying biasanya memiliki
sikap yang agresif dan mudah frustrasi, cenderung menyalahkan orang lain
meskipun itu adalah kesalahan mereka, tidak mau bertanggung jawab atas tindakan
mereka terganggu dan cenderung memiliki teman yang juga sama sebagai pelaku
Bully-Victim, yaitu pihak yang berperan sebagai pelaku juga korban dari
perilaku bullying. Peran ini menunjukkan level agresivitas verbal atau fisik yang
lebih tinggi dibandingkan dengan remaja lain. Dikatakan demikian karena biasanya
pelaku merupakan mantan korban bullying yang memiliki dendam pada pelakunya
dahulu dan tidak bisa melawan sehingga melampiaskannya pada orang lain (Habsy,
2017).
yang bertindak sebagai bystander atau pengamat/saksi dibagi lagi menjadi tiga
kelompok yaitu: Reinforces, merupakan orang yang ada pada saat kejadian dan
menyaksikan pada saat bullying terjadi kemudian berusaha untuk membantu korban
yang pada akhirnya mereka juga menjadi korban. Outsider, adalah orang yang ada
pada saat kejadian bullying tetapi bertindak acuh cenderung mengabaikan kejadian
Perilaku bullying memiliki dampak yang sangat besar bagi semua orang
yang terlibat. Dampak yang ditimbulkan meliputi dampak secara fisik, psikologis,
sosial dan terutama dalam aspek pendidikan (Waseem & Nickerson, 2019).
Dampak yang terjadi bagi pelaku bullying mungkin memang dirasakan, tetapi
dampak dari perilaku bullying lebih bahaya dirasakan bagi para korban (Saifullah,
2010).
masalah tidur, memiliki emosi yang mudah meledak, sakit kepala, tegang,
kelelahan, nafsu makan yang buruk, memiliki kesedihan yang mendalam, memiliki
masalah kulit dan bahkan sakit perut (Albdour et al., 2019). Penelitian lain juga
menyebutkan bahwa korban bullying dapat mengalami cedera fisik berupa luka atau
yang akan datang/jangka panjang (efek abadi) (Heydenberk & Heydenberk, 2012).
jelas lagi dalam penelitian sebelumnya (Houbre et al., 2010) dikatakan bahwa
remaja. Hal demikian juga diutarakan oleh (Haegele, Aigner, & Healy, 2020)
pelaku atau teman-temannya yang tidak terpapar bullying, hal tersebut akan
berdampak pada prestasi akademik yang buruk. Hal demikian juga sejalan dengan
sebagai tempat yang tidak aman dan berbahaya, yang pada akhirnya membuat
Nilai akademik yang lebih rendah juga dikaitkan dengan para korban
berfikir atau konsentrasi siswa menjadi terganggu karena adanya sesuatu yang
dikatakan bahwa hasil negatif dari perilaku bullying, korban cenderung mengalami
kesehatan mental yang buruk dan proses neurobiologist yang terganggu, sehingga
menurunkan konsep diri akademik pada seoarang remaja (A. Yusuf et al., 2019).
32
periode dimana harga diri sebagian besar ditentukan oleh sosialisasi teman sebaya.
mereka dengan teman sebayanya di sekolah, yaitu hubungan positif dengan teman
hubungan negatif dengan sebayanya di sekolah, dapat dikatakan tidak siap untuk
unsur yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Intrinsik berhubungan dengan niat individu dan
eksternal terutama didasarkan pada motif seperti ingin menyenangkan orang tua
atau guru, menerima nilai yang baik dan penilaian yang baik.
kesulitan psikologis pada kepuasan remaja dan kesenangan dalam belajar. Oleh
sebab itu, kaitannya dengan motivasi intrinsik bisa jadi iklim sekolah tidak
bullying (Ayhan, Beyazıt, & Yurdakul, 2019). Hal demikian didukung dengan teori
pekerjaan) dan interaksi sosial yang terjadi di dalam dan dia antara lingkungan
tersebut (A. Yusuf et al., 2019). Maka dari itu, perilaku bullying yang terjadi di
merupakan tempat bagi remaja dalam pembentukan konsep diri akademik yang
2.3.1 Pengertian
di sekolah atau di bidang akademik (Hattie, 1992; Kadir & Yeung, 2016). Konsep
dengan guru, media, masyarakat, budaya setempat dan teman sebaya yang berperan
penting dalam pembentukan konsep diri akademik seorang remaja (Ebrahim Abd
El Aziz Rady, 2017). Konsep diri akademik berperan penting dalam perkembangan
diri di sekolah selama masa kanak-kanak dan remaja dan mengarahkan upaya siswa
ke arah akademik mereka (Kumar Jaiswal & Choudhuri, 2017). Cukup banyak
definisi mengenai konsep diri akademik itu apa, namun dalam hal ini sebagian besar
inti dari definisi yang ada adalah konsep diri akademik merupakan persepsi
Konsep diri akademik dapat dikategorikan menjadi dua tipe yaitu konsep
diri akademik positif dan konsep diri akademik negatif (Ebrahim Abd El Aziz
Rady, 2017). Makna konsep diri akademik positif adalah apabila remaja tersebut
34
orang lain, menerima pujian dari orang lain tanpa rasa malu dan mampu
seseorang dikatakan memiliki konsep diri akademik negatif apabila orang tersebut
peka pada kritik (koreksi sering kali diartikan sebagai upaya untuk menjatuhkan
harga dirinya), sangat responsif pada pujian, selalu mengeluh, mencela, cenderung
merasa tidak diperhatikan dan tidak disenangi orang lain, serta bersikap pesimis
orang yang penting yang membangun konsep diri akademik adalah orang tua, teman
sebaya, guru, diri sendiri dan media (Ebrahim Abd El Aziz Rady, 2017; Kumar
pada masa ini intensitas pertemuan mereka lebih lama dibandingkan yang lain.
Selain hal tersebut, orang tua juga memainkan peran penting dalam perkembangan
Agar terciptanya konsep diri akademik yang positif, orang tua harus
untuk memenuhi keinginan anak-anak (Ebrahim Abd El Aziz Rady, 2017). Peran
yang lebih penting yang cukup mendominasi pada masa remaja dalam hal
pengembangan konsep diri akademik adalah lingkungan sosial. Para peneliti juga
transisi perkembangan yang dilalui individu dari masa anak-anak menuju dewasa.
Selama masa transisi ini, remaja menghadapi begitu banyak tekanan psikologis dan
perubahan kognitif, penyaringan harapan masyarakat dan orang tua, tuntutan peran
yang saling bertentangan, kompleksitas dalam kaitannya dengan orang tua dan
teman sebaya, pilihan sekolah dan mata pelajaran dan penyesuaian lingkungan
sekolah (Ebrahim Abd El Aziz Rady, 2017; Kumar Jaiswal & Choudhuri, 2017).
Konsep diri akademik pada remaja umumnya akan tidak stabil dan
cenderung lebih stabil setelah remaja tersebut berpindah dari masa tersebut (Hattie,
1992). Kemudian perilaku bullying memuncak pada masa remaja awal membuat
pembentukan konsep diri akademik menjadi terganggu dan tidak dapat dilalui
secara maksimal dan hal tersebut berpotensi menimbulkan masalah di masa yang
akan datang pada remaja tersebut (Retnoningsih, 2019; Silvia Yuliani, Efri
Widianti, 2018).
negatif. Hal ini sebagai mana dijelaskan dalam penelitian (Roeleveld, 2011) yang
mengatakan bahwa semua unsur yang terlibat dalam perilaku bullying memiliki
konsep diri akademik yang negatif karena baik korban maupun pelaku pada
dasarnya sudah memiliki konsep diri akademik yang negatif. Korban bullying
36
memiliki konsep diri akademik yang negatif karena perilaku bullying itu sendiri
sementara pelaku bullying memiliki konsep diri akademik yang negatif karena
dari orang tua. Namun temuan itu dipertegas dengan penelitian selanjutnya yang
mengungkapkan bahwa tidak ada masalah konsep diri akademik yang berarti bagi
pelaku bullying, mereka memiliki konsep diri akademik yang negatif karena faktor
lain salah satunya adalah pola asuh dan korban bullying cenderung memiliki
masalah lebih berarti pada konsep diri akademiknya (Estévez et al., 2019).
konsep diri akademik yang negatif namun tidak terlalu berarti. Konsep diri
akademik pelaku bullying biasanya lebih positif karena mereka merasa memiliki
kekuatan lebih dalam segi fisik atau bidang lain. Berbeda dengan korban bullying
yang memiliki konsep diri akademik paling negatif dibanding dengan pelaku
bullying. Hal tersebut juga berlaku bagi korban sekaligus pelaku bullying yang
dilaporkan memiliki konsep diri akademik paling negatif seperti korban bullying
melakukan bullying karena pernah menjadi korban (Estévez et al., 2019; Jenkins
tidak terpapar bullying. Hal tersebut akan berdampak pada prestasi akademik yang
buruk. Hal tersebut sejalan dengan penelitian lain yang menyebutkan bahwa korban
37
bullying memandang sekolah sebagai tempat yang tidak aman dan berbahaya, yang
pada akhirnya membuat mereka malas untuk pergi ke sekolah (Syahruddin, 2019),
memiliki semangat belajar yang menurun. Korban juga biasanya memiliki rasa
malas untuk pergi ke sekolah, menarik diri dari pergaulan, memiliki penyesuaian
sosial yang buruk dan sulit berkonsentrasi dalam mengerjakan tugas sehingga
dapat mencapai prestasi belajar yang baik sebagai bukti dari keberhasilan mereka
dalam belajar dan membantu mereka menghadapi dunia persaingan di masa depan
(Dwipayanti & Indrawati, 2014). Remaja yang mengalami bullying di sekolah akan
merasa bahwa dirinya tidak bermakna karena cara orang lain memperlakukannya
yang baik. Hal demikian dapat dikatakan bahwa konsep diri akademik yang
mencapai titik terendahnya pada masa remaja ketika mereka dihadapkan banyaknya
(Matovu, 2014).
38
pembentukan konsep diri akademik tidak dilalui dengan baik. Sementara konsep
diri akademik yang positif sangat dibutuhkan sebagai dasar untuk meningkatkan
prestasi di sekolah atau nilai akademik yang baik karena konsep diri akademik juga
Oleh sebab itu konsep diri akademik positif memainkan peran penting
dalam aspek kehidupan seorang remaja. Remaja yang memiliki konsep diri
akademik positif dianggap mampu untuk mencapai prestasi akademik yang tinggi,
mereka (Bharathi & Sreedevi, 2016). Berbeda apabila remaja tersebut memiliki
konsep diri akademik yang negatif, konsep diri akademik negatif pada masa remaja
telah dikaitkan dengan berbagai masalah perilaku dan emosi yang mal adaptif,
semua situasi dan masih banyak lagi efek yang buruk apabila remaja memiliki
konsep diri akademik yang negatif (Bharathi & Sreedevi, 2016; Esnaola et al.,
2020).
Song dan Hattie membagi konsep diri umum ke dalam tiga konsep diri yang
berbeda. Model konsep diri Song dan Hattie didasarkan pada konsep diri menurut
39
Shavelson (1976) yaitu konsep diri berdiri secara multidimensi dan hierarki.
Konsep diri terdiri dari general self-concept berada di puncak kemudian terbagi ke
dalam tiga jenis konsep diri yakni academic self-concept dan non-academic self-
Konsep diri sosial atau social self-concept merupakan konsep diri sosial yang
memiliki cakupan sosial yang sangat luas tidak hanya terpusat di lingkungan
menggambarkan persepsi diri secara fisik yang cukup luas yakni terdiri dari lima
komponen, yaitu : citra diri, harga diri, ideal diri, identitas diri dan peran diri yang
Konsep diri akademik menurut Song dan Hattie juga didasarkan pada model
Shavelson et. al (1976), tetapi Song dan Hattie memodifikasi model tersebut dengan
waktu tertentu. Ability, yakni sejauh mana keyakinan seorang individu terhadap
orang-orang yang berada dalam kelas yang dapat diukur dengan pernyataan seperti
“Saya bangga dengan pencapaian nilai saya di sekolah” atau “Saya pikir,
teman sebaya dalam terbentuknya konsep diri akademik yang dapat dilihat dari
dengan saya” atau “Saya dicintai oleh keluarga saya.” Kemudian self-
konsep diri akademik seseorang yang dapat dilihat dari item pernyataan “Saya
seorang yang menarik” atau “Saya memiliki kepercayaan diri.” Berdasarkan uraian
tersebut model konsep diri akademik Song dan Hattie (1992), yang didasarkan pada
Model Shavelson et al (1976), akan digunakan dalam penelitian ini karena struktur
pendukung dalam pembentukan konsep diri akademik remaja serta model ini sesuai
dengan variabel yang akan diteliti dan aspek-aspek yang akan diteliti.
para ahli, seperti model konsep diri akademik Song dan Hattie (1992 dalam Sriati
2010) dan model konsep diri akademik yang dikembangkan Reynold W.M (1988)
serta masih banyak lagi model yang lain. Namun peneliti akan menggunakan model
konsep diri akademik milik Song dan Hattie (dalam Hattie, 1992; Sriati 2010)
karena mencakup beberapa faktor yang memengaruhi konsep diri akademik pada
remaja yaitu hubungan dengan lingkungan sekitar atau orang-orang terdekat. Selain
hal tersebut, model konsep diri akademik milik Song dan Hattie dirancang khusus
untuk populasi remaja serta bentuk pertanyaan yang sederhana mudah dipahami
memudahkan remaja mengisi pertanyaan (Hattie, 1992). Oleh karena itu model
41
tersebut sesuai dengan populasi dalam penelitian ini. Berbeda dengan model konsep
diri akademik milik Reynold W.M (1998) yang khusus dirancang untuk mengukur
remaja terutama dalam segi psikologis. Sehingga penting bagi seorang perawat
tersebut. Adapun peran perawat sekolah dalam hal ini masuk dalam upaya
kesehatan utama (primary health care) dengan fokus utamanya adalah promotif dan
Perawat sekolah berada dalam posisi yang sangat ideal untuk mengenali
hubungan dekat dengan mereka sehingga menjadi agen pertama dalam menangani
(Blakeslee et al., 2016), 50% dari 5.205 siswa di Amerika yang memiliki masalah
mereka.
42
menciptakan lingkungan yang aman bagi siswa terbebas dari perilaku bullying
(Pigozi & Jones Bartoli, 2016). Fokus perawat sekolah dalam hal ini adalah sebagai
konselor dan educator yaitu membantu meningkatkan harga diri anak-anak dan
membantu anak yang di-bully. Terlepas dari hal itu, perawat sekolah dalam
masyarakat dan juga para siswa di sekolah. Perawat sekolah diharapkan menjadi
atau kedua peran tersebut. Oleh karena itu seorang perawat sekolah harus memiliki
bullying yang dapat dilakukan di sekolah menurut Bradshaw (2015 dalam Wheeler
mencakup tiga tingkatan intervensi, a) kegiatan yang bersifat universal untuk semua
remaja yang ada di sekolah, b) intervensi selektif untuk kelompok remaja yang
43
untuk remaja yang sudah terlibat dalam perilaku bullying. Ke dua, Multicomponent
program yaitu membahas berbagai aspek perilaku bullying dan lingkungan yang
remaja.
3.BAB III
METODE PENELITIAN
kuantitatif. Tujuannya yaitu untuk memberi gambaran konsep diri akademik remaja
korban bullying di SMP Negeri 4 dan MTs Negeri 3 Bandung Barat. Rancangan
penelitian yang digunakan adalah survei dimana peneliti akan mengumpulkan data
Variabel penelitian adalah suatu sifat atau nilai dari seseorang, objek atau
kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dengan variabel lain. Variabel dalam penelitian ini adalah konsep diri akademik
di sekolah atau di bidang akademik (Hattie, 1992; Kadir & Yeung, 2016). Konsep
44
45
terbentuk beriringan dengan guru, media, masyarakat, budaya setempat dan teman
sebaya yang berperan penting dalam pembentukan konsep diri akademik seorang
remaja (Ebrahim Abd El Aziz Rady, 2017). Konsep diri akademik berperan penting
Variabel Hasil Ukur Dimensi/sub variabel Hasil Ukur Cara Ukur Skala
3.4.1 Populasi
Populasi adalah wilayah secara umum yang terdiri dari objek atau subjek
memiliki karakteristik tertentu yang ditetapkan peneliti untuk dipelajari dan ditarik
siswa-siswi kelas 7 dan 8 SMP Negeri 4 dan MTs Negeri 3 Bandung Barat yang
gatehouse bullying scale (GBS) yang didapat dari central for disease control and
prevention (CDC).
3.4.2 Sampel
Teknik pengambilan sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu
dengan total sampling. Total sampling adalah suatu teknik penetapan dan
pengambilan sampel secara menyeluruh dari populasi. Sampel pada penelitian ini
adalah remaja korban bullying dari kelas 7 dan 8 di SMP Negeri 4 dan MTs Negeri
3 Bandung Barat.
Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan oleh peneliti untuk
mengukur variabel penelitian (Sugiyono, 2016). Maka dari itu, untuk mendapatkan
data gambaran konsep diri akademik remaja korban bullying di SMP Negeri 4 dan
MTs Negeri 3 Bandung Barat, diperlukan instrumen yang tepat sebagai alat
Pada penelitian ini instrumen yang akan digunakan adalah kuesioner konsep
diri akademik milik dosen Keperawatan Jiwa Universitas Padjadjaran yakni ibu Aat
Sriati., S.Kp., M.Si (dalam Sriati, 2010) yang mengacu pada teori model konsep
diri akademik Song dan Hattie (1992) atau dikenal About Myself Song and Hattie
Test. Kuesioner ini terdiri dari 45 pernyataan yang digunakan untuk mengukur
konsep diri akademik seseorang meliputi aspek academic (15 item), social (15 item)
Peneliti akan menggunakan kuesioner tersebut yang diisi secara centang atau daftar
centang, dimana daftar tersebut berisi pernyataan yang akan diamati dan responden
memberikan jawaban dengan memberikan centang atau tanda (v) sesuai dengan
of self
49
untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau kelompok mengenai
apabila jawaban Selalu (5), Sering (4), Kadang-Kadang (3), Jarang (2), Tidak
Pernah (1). Penilaian untuk pernyataan unfavourable jawaban Selalu (1), Sering
Hasil uji validitas dan reliabilitas pada instrumen tersebut didapat dari tesis
Ibu Aat Sriati.,S.Kp., M.Si yakni Sriati (2010) yang berjudul “Pengaruh konsep diri
dengan hasil yaitu pada rentang 0,339 – 0,761 yang berarti pernyataan-pernyataan
pada kuesioner tersebut valid dan dapat digunakan. Reliabilitas pada instrumen ini
dari atau sama dengan 0,700 yaitu 0,952 (reliabilitas sangat tinggi) sehingga
Annalisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data
dengan menggunakan nilai rata-rata dari isian responden terkait variabel konsep diri
nilai tertinggi 225 sehingga hasil pengukuran konsep diri akademik responden
Keterangan :
Konsep diri mempunyai tiga dimensi yaitu dimensi yakni academic, social
dan tertinggi 75 sehingga nilai tengah dengan menggunakan rumus diatas, dari
masing-masing dimensi adalah 45. Sehingga untuk semua dimensi jika nilai skor ≥
𝑓
𝑃 = 𝑥 100%
𝑛
Keterangan :
P : Persentase responden
manusia sebagai subjek meliputi: Prinsip manfaat, menghargai hak asasi manusia
informasi yang didapatkan dari responden dijamin tidak akan digunakan untuk
tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan responden. Penelitian ini tidak
penelitian ini berguna sebagai dasar untuk menentukan upaya preventif dan
Responden juga memiliki hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang
diberikan dimana peneliti harus menjelaskan secara rinci serta bertanggung jawab
penelitian dilakukan. Penelitian ini juga tidak mengganggu hak pribadi responden
diminati, mencari fenomena serta sumber literatur dan menentukan topik penelitian
instrumen yang akan digunakan dan menyusun proposal penelitian mulai dari bab
satu sampai bab tiga, melakukan seminar usulan penelitian, memperbaiki proposal
kemudian meminta izin penelitian ke Sekolah SMP Negeri 4 dan MTs Negeri 3
Bandung Barat.
Negeri 4 dan MTs Negeri 3 Bandung Barat. Kemudian peneliti membagikan lembar
dilaksanakan mulai bulan Maret 2020 sampai dengan April 2020. Setelah semua
data terkumpul, data diolah dan dianalisis untuk menarik kesimpulan penelitian
53
dalam melihat gambaran konsep diri akademik pada remaja korban bullying di
berdasarkan data yang didapatkan dan menyimpulkan hasil penelitian. Setelah itu,
peneliti menyajikan data penelitian dalam bentuk laporan hasil penelitian. Setelah
penelitiannya.
mengumpulkan data. Proses pengumpulan data akan dilakukan dalam kurun waktu
satu bulan di sekolah SMP Negeri 4 dan MTs Negeri 3 Bandung Barat dengan
dengan meminta kesediaan responden untuk ikut serta dalam penelitian ini dan
mengisi lembar persetujuan menjadi responden. Siswa yang sudah mengisi dan
dan kuesioner konsep diri akademik dengan didampingi oleh peneliti sehingga
54
apabila terdapat pertanyaan yang kurang dimengerti oleh responden dapat langsung
sama.
Negeri 4 dan MTs Negeri 3 Bandung Barat. Waktu penelitian ini dimulai pada bulan