Anda di halaman 1dari 56

GAMBARAN KONSEP DIRI AKADEMIK REMAJA

KORBAN BULLYING DI SMP NEGERI 4 DAN MTS


NEGERI 3 BANDUNG BARAT
Versi Ke-0

USULAN PENELITIAN
Diajukan untuk memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Keperawatan pada
Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran

RIAN NUGRAHA
NPM.220110160058

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
BANDUNG
2020
LEMBAR PERSETUJUAN

JUDUL : GAMBARAN KONSEP DIRI AKADEMIK


REMAJA KORBAN BULLYING DI SMP
NEGERI 4 DAN MTS NEGERI 3 BANDUNG
BARAT
PENYUSUN : RIAN NUGRAHA

NPM : 220110160058

i
1.BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fase remaja merupakan fase yang sangat rentan terkena perilaku bullying.

Hal ini sebagaimana dikatakan oleh psikolog anak dan remaja Yasinta Indriani

M.Psi dalam salah satu wawancara media masa elektronik, beliau mengatakan

bahwa masa remaja adalah masa yang sangat sering terkena masalah kenakalan

remaja yaitu bullying (Suara.com). Bullying sangat sering terjadi pada masa

sekolah. Anak sekolah dasar tingkat akhir sudah mulai melakukan bullying. Namun,

kasus yang sering muncul memuncak pada tingkat sekolah menengah pertama,

yaitu sekitar usia 13 – 15 tahun (Prajogo et al., 2014; Retnoningsih, 2019).

Bullying adalah perilaku yang dilakukan oleh seorang atau lebih

menyebabkan cedera fisik ataupun rasa tidak nyaman yang dilakukan secara

berulang ( American Psychological Association [APA] dalam H. Yusuf & Fahrudin,

2012). Bullying juga dapat diartikan sebagai perilaku yang agresif berupa kekerasan

dimana terjadi pemaksaan baik secara psikologis maupun fisik terhadap satu orang

atau lebih yang membuat orang tersebut menderita (Zakiyah & Humaedi, Sahadi

Santoso, 2017). Bullying dibagi menjadi empat, bullying fisik, bullying verbal,

bullying relasional dan cyber bullying (van der Ploeg, Steglich, & Veenstra, 2019).

Bullying fisik dilakukan pelaku secara langsung seperti mencekik, memukul,

menendang, meludahi, menggigit, mencakar dan segala bentuk kontak fisik yang

menyakiti korban. Bullying verbal, perilaku ini dapat berupa celaan, fitnah, julukan

nama, menghina, kritik kejam dan pernyataan yang memiliki unsur seksual atau

1
2

pelecehan seksual. Bullying relasional, jenis bullying ini sulit dideteksi dari luar

namun dapat dirasakan efeknya oleh korban. Perilaku ini berupa pengucilan,

pengabaian dan menggunjingkan korban. Cyber bullying, contoh perilaku bullying

jenis ini yaitu mengirim pesan yang menyakitkan, membuat website yang

memalukan bagi korban, dijauhi dari chat room dan masih banyak contoh lainnya.

Bullying banyak terjadi di kalangan remaja usia sekolah. Hal ini didukung

dengan penelitian yang dilakukan di berbagai negara oleh McEachern, (2005 dalam

Hastuti, 2013) menunjukkan bahwa 8 - 38% siswa sekolah menengah pertama

menjadi korban bullying. Penelitian lain juga menyebutkan di negara Australia

tercatat sebanyak 25 – 30 % populasi pelajar sekolah menengah pertama menjadi

korban bullying setiap hari (Sari, 2010). Prevalensi bullying di Amerika juga

tercatat sebanyak 20,8 % siswa sekolah menengah pertama mengalami bullying

secara fisik, 53,6% verbal dan 13,6% elektronik atau cyber bullying (Marela,

Wahab, & Marchira, 2018). Selain data-data di atas angka kejadian bullying juga

tercatat di benua Afrika dengan tingkat prevalensi 21- 61% di Afrika Selatan, 78%

di Malawi dan 59% di Ghana (Arhin, Oppong Asante, Kugbey, & Oti-Boadi, 2019).

Sebuah studi di Finlandia juga melaporkan bahwa 39% anak perempuan dan

sebanyak 55% anak laki-laki pernah mengalami bullying selama satu semester

sekolah (Kim & Yun, 2016).

Di Indonesia sendiri kasus bullying juga sangat sering terjadi. Survei yang

dilakukan oleh Latitude News pada 40 negara, Indonesia menempati urutan ke dua

di dunia dengan kasus bullying terbanyak setelah Jepang dan menempati urutan ke-

satu di ASEAN (SindoNews.com, 2017; Wulandari, Muis, & Pd, 2012). Data
3

Global School-based Student Health Survey (dalam Susanti, Ifroh, Wulandari,

Masyarakat, & Mulawarman, 2018) menunjukkan bahwa grafik kasus bullying di

Indonesia terus mengalami peningkatan sejak tahun 2007, 40% murid di Indonesia

berusia 13-15 tahun telah mengalami bullying secara fisik selama 12 bulan terakhir

di sekolah mereka. Lebih lanjut dalam penelitian lain menyebutkan bahwa 10-60%

siswa di Indonesia telah mengalami ejekan, cemoohan, pengucilan, pemukulan,

dorongan, sekurang-kurangnya sekali dalam seminggu (Halimah, Khumas, &

Zainuddin, 2015; Prajogo et al., 2014). Jadi, kasus bullying di Indonesia sebenarnya

cukup banyak.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan saat ini

kasus bullying menduduki peringkat teratas pengaduan masyarakat. Data yang

diperoleh dari 2011 hingga Mei 2018, KPAI mencatat sebanyak 3.184 pengaduan

di bidang pendidikan terkait dengan masalah tersebut. Laporan UNICEF tahun

2015 dalam Pusat Data dan Informasi Kesehatan RI juga mengungkapkan, 40%

anak berusia 13-15 tahun pernah diserang secara fisik sedikitnya satu kali dalam

setahun dan 50% anak melaporkan di-bully di sekolah. Para peneliti telah

menemukan bahwa bullying dalam 30 tahun terakhir merupakan ancaman serius

terhadap perkembangan anak (Hidayati, 2012).

Akibat yang ditimbulkan dari perilaku bullying sangat besar dirasakan oleh

korban dibandingkan dengan pelaku bullying itu sendiri. Bullying merupakan

tindakan agresif yang memiliki dampak paling negatif bagi korbannya (Saifullah,

2010). Dwipayanti dan Indrawati (dalam Susanti et al., 2018) mengatakan anak

korban bullying cenderung mengalami gejala somatis lebih tinggi dibanding dengan
4

pelaku bullying. Hal ini juga didukung oleh (Zakiyah & Humaedi, Sahadi Santoso,

2017) yang juga mengatakan remaja yang menjadi korban bullying lebih berisiko

mengalami berbagai macam masalah kesehatan, baik fisik maupun secara mental.

Gejala-gejala somatis tersebut seperti sakit kepala berulang hingga sulit tidur.

Selain sakit kepala dan sulit tidur dampak fisik lain yang ditimbulkan berupa sakit

lutut, kaki, bahu, bahkan bisa sampai muntah dan demam (Albdour, Hong, Lewin,

& Yarandi, 2019; Halimah et al., 2015; Susanti et al., 2018; Waseem & Nickerson,

2019).

Tidak hanya dampak secara fisik yang dirasakan oleh korban bullying,

dampak secara psikologis juga dapat terjadi pada korban bullying. Dampak tersebut

seperti merasa takut, rendah diri, tidak nyaman, merasa tidak berharga, menarik diri

dari pergaulan, penyesuaian sosial yang buruk sehingga korban tidak mau untuk

berangkat ke sekolah dan nilai akademik yang turun (Wulandari et al., 2012).

Penelitian lain juga mengungkapkan bahwa perilaku bullying menyebabkan

memburuknya konsep diri akademik (Estévez, Estévez, Segura, & Suárez, 2019).

Lebih jelasnya dalam penelitian sebelumnya (Houbre, Tarquinio, & Lanfranchi,

2010) dikatakan bahwa perilaku bullying menyebabkan kemunduran konsep diri

akademik pada seorang remaja. Pencapaian akademik merupakan salah satu

indikator dalam mengetahui konsep diri akademik seorang remaja.

Banyak penelitian-penelitian yang menunjukkan bahwa korban bullying

memiliki pencapaian prestasi belajar yang kurang begitu bagus dibandingkan

dengan murid yang tidak terpapar bullying. Studi yang dilakukan oleh (Dwipayanti

& Indrawati, 2014) menunjukkan rata-rata nilai kelas anak korban bullying lebih
5

rendah dibandingkan dengan anak yang tidak menjadi korban bullying. Penelitian

tersebut juga mengatakan semakin tinggi tindakan bullying yang diterima korban

maka semakin rendah prestasi belajarnya. Hal demikian memberikan sejumlah

bukti bahwa bullying memberikan dampak yang sangat serius terhadap

perkembangan konsep diri akademik seorang remaja (H. Yusuf & Fahrudin, 2012).

Remaja korban bullying cenderung memiliki konsep diri akademik yang

negatif dibanding pelaku ataupun korban-pelaku. Konsep diri akademik pelaku

bullying dilaporkan tidak memiliki banyak masalah, namun bagi pelaku yang

dulunya merupakan korban memiliki konsep diri akademik yang juga negatif

(Jenkins & Demaray, 2012; Roeleveld, 2011). Penelitian lain juga mengungkapkan

semua elemen yang terlibat baik korban maupun pelaku memiliki konsep diri

akademik yang negatif namun dalam hal ini korban memiliki konsep diri akademik

yang lebih negatif (Estévez et al., 2019).

Konsep diri akademik menurut Shavelson (1976), didefinisikan sebagai

persepsi diri akademik seseorang atau persepsi seseorang tentang kemampuannya

di sekolah atau di bidang akademik (Hattie, 1992; Kadir & Yeung, 2016). Song dan

Hattie (1992) mengelompokkan beberapa aspek yang berhubungan dengan

pembentukan konsep diri akademik, yaitu aspek academic, social, dan self-

regard/Presentation of self, yang mana aspek academic dapat dilihat dari

pencapaian atau kemampuannya dalam belajar, aspek social dapat dilihat dari

hubungan dengan lingkungan sekitar khususnya lingkungan sekolah maupun

keluarga dan self-regard berhubungan kepercayaan diri atau cara pandang terhadap

diri sendiri secara fisik (Hattie, 1992 hal.83).


6

Konsep diri akademik dibagi menjadi dua kategori yakni konsep diri

akademik positif dan konsep diri akademik negatif (Ebrahim Abd El Aziz Rady,

2017). Konsep diri akademik positif penting dimiliki seorang remaja karena

bermanfaat bagi aspek akademik seorang remaja, kehidupan sosial seorang remaja

maupun kehidupan masa depan seorang remaja (Blakely-McClure & Ostrov, 2016).

Konsep diri akademik merupakan faktor mediator penting terhadap keberhasilan

sosial, pengembangan kepribadian yang positif, keterampilan coping, pencapaian

sekolah dan keberhasilan karier (Esnaola, Sesé, Antonio-Agirre, & Azpiazu, 2020).

Remaja dengan konsep diri akademik positif dianggap mampu mencapai prestasi

akademik yang baik, dapat memberikan identitas mereka di masyarakat, mendapat

peluang karier yang baik, dapat mengembangkan kualitas kepemimpinan dan

meningkatkan keterampilan hidup mereka (Bharathi & Sreedevi, 2016).

Ketika remaja berhadapan pada situasi yang kurang begitu mendukung

seperti tindakan bullying, akan memengaruhi remaja dalam membentuk konsep diri

akademiknya. Hal ini berkaitan dengan penghargaan diri dari orang lain pada masa

tersebut. Apabila anak tidak memperoleh penghargaan dari orang lain khususnya

teman di lingkungannya akan mengakibatkan konsep diri akademik anak tersebut

rendah (Dwipayanti & Indrawati, 2014). Lingkungan sosial adalah salah satu

sumber yang berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri akademik seorang

remaja (Erickson, dalam Hasanah, 2013). Maka dari itu, remaja cenderung mencari

lingkungan yang membuatnya berada pada keadaan yang membuatnya menghargai

diri secara positif dan menghindari orang-orang yang membuatnya memandang

negatif terhadap dirinya. Ketika dalam masa tersebut remaja korban bullying akan
7

merasa dirinya tidak dibutuhkan oleh orang-orang di sekitarnya, merasa tidak

percaya diri, tidak menyadari kelebihan yang dimilikinya, serta tidak memahami

arti penting dirinya khususnya di lingkungan sekolahnya yang membuat proses

pembentukan konsep diri akademiknya terhambat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri akademik seorang remaja di

antaranya yaitu orang tua, sekolah, teman sebaya, guru, media, masyarakat, dan

budaya setempat. Teman sebaya dan lingkungan sekolah berperan penting dalam

terbentuknya konsep diri akademik seorang remaja (Matsumoto, dalam Ebrahim

Abd El Aziz Rady, 2017). Ketika anak sedang melewati masa remaja dengan

banyaknya stresor seperti tindakan bullying di sekolah pada anak tersebut

menyebabkan proses pembentukan konsep diri akademiknya tidak dilalui dengan

baik.

Pada tahap ini semestinya remaja mengembangkan konsep diri

akademiknya dengan baik untuk mendukung dan meningkatkan prestasi

akademiknya di sekolah. Pada tahap ini mereka menganggap pentingnya untuk

berprestasi karena mereka mulai menyadari tuntutan hidup yang sebenarnya

(Kurniawan, 2009). Oleh sebab itu, konsep diri akademik memainkan peran penting

dalam proses kegiatan pembelajaran seorang siswa/remaja. Lebih jelasnya dengan

memberikan stimulus pada fungsi kognitif siswa/remaja untuk memberikan

performa dan prestasi akademik yang lebih baik (Ordaz-Villegas, Acle-Tomasini,

& Reyes-Lagunes, 2013 dalam Blegur, 2017). Sudah seharusnya seorang remaja

memiliki konsep diri akademik yang positif dalam kehidupannya dan hal tersebut

merupakan hak bagi setiap orang di muka bumi ini.


8

Penelitian ini berfokus pada Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang

berada pada usia remaja awal yaitu 12-15 tahun (Fajarini & Khaerani, 2014).

Menurut Winkler (2005 dalam Silvia Yuliani, Efri Widianti, 2018), bullying akan

meningkat pada masa sekolah dasar, mencapai puncaknya pada sekolah menengah

pertama, dan menurun pada masa sekolah menengah atas. Hal tersebut sejalan

dengan fenomena bullying yang baru-baru ini muncul di media masa yang sebagian

besar terjadi pada siswa-siswa sekolah menengah pertama (SMP), salah satu

kasusnya siswa SMP di Dairi Sumatra Utara dan seoarang siswi SMP di

Tasikmalaya tewas karena perilaku bullying (Kompas.com). Kasus tersebut terjadi

di tahun 2020 setelah kasus bullying di tahun 2019 yang terjadi di Bandung Barat

yang sebelumnya tidak pernah muncul di media masa yakni kasus seorang siswi

yang di-bully oleh temannya karena sepatu lusuh yang ia gunakan (Kompas.com).

Kasus-kasus tersebut di atas terjadi di daerah pedesaan. Hal demikian

sejalan dengan penelitian (Evans, Smokowski, Rose, Mercado, & Marshall, 2018)

yang mengungkapkan bahwa perilaku bullying lebih banyak terjadi di daerah

pedesaan. Penelitian sebelumnya juga mengungkapkan bahwa fenomena bullying

banyak terjadi di daerah pedesaan karena kehidupan pedesaan menghadirkan

sejumlah stres yang unik bagi remaja (Farmer, Hamm, Leung, Lambert, & Gravelle,

2011). Lebih lanjut dalam penelitian lain diungkapkan bahwa remaja sekolah

menengah pertama di daerah pedesaan tiga sampai lima persen memiliki frekuensi

bullying lebih tinggi dibanding daerah perkotaan. Tercatat sebanyak 25% remaja

pedesaan mengalami bullying dalam dua belas bulan terakhir dan angka tersebut

meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 10% (Smokowski, Cotter, Robertson,
9

& Guo, 2013). Kehidupan pedesaan memiliki banyak masalah misalnya isolasi

geografis, akses terbatas ke layanan kesehatan dan sumber daya yang minimal yang

disebut sebagai salah satu penyebab terjadi stress pada remaja yang memicu banyak

terjadinya perilaku bullying (Evans et al., 2018; Smokowski et al., 2013).

Berdasarkan studi pendahuluan yang telah peneliti lakukan ke MTs Negeri

3 Bandung Barat yang berlokasi di Jl. Raya Gununghalu, Bandung Barat, peneliti

melakukan wawancara dengan guru BK/Kesiswaan dan lima orang siswa-siswi di

sekolah tersebut. Guru BK/Kesiswaan mengatakan bahwa kerap terjadi perilaku

bullying yang dilakukan oleh siswa-siswanya seperti mengejek nama orang tua,

menghina fisik, mengucilkan teman sebaya, dan tindakan berupa ancaman yang

ditujukan kepada temannya yang tidak menuruti perintah pelaku bullying. Jumlah

kasus bullying yang terjadi di sekolah tersebut sebanyak 10 kasus yang tercatat dan

masih banyak kasus yang belum tercatat karena masih banyaknya korban bullying

yang takut untuk melapor ke pihak sekolah ujar guru BK. Hasil wawancara dengan

lima orang siswa, tiga di antara mereka mengaku pernah menjadi korban bullying.

Tiga orang tersebut mengungkapkan merasa sedih dan takut untuk datang ke

sekolah karena takut di-bully dan kurang semangat dalam belajar. Hal tersebut

dibuktikan dengan nilai rapor korban bullying tersebut yang diperlihatkan oleh guru

BK/Kesiswaan mengalami penurunan nilai sebesar 12 poin dari semester lalu.

Selain studi pendahuluan yang dilakukan ke sekolah tersebut di atas, peneliti

juga melakukan studi pendahuluan ke SMPN 1, SMPN 2, SMPN 3, SMPN 4 dan

SMPN 5 Gununghalu. SMPN 1 dan SMPN 2 Gununghalu tidak mengizinkan

sekolahnya dijadikan tempat penelitian, kemudian di SMPN 3 dan SMPN 5


10

Gununghalu fenomena bullying yang muncul jumlahnya tidak banyak, kasus

kenakalan remaja terbanyak yang terjadi di sekolah tersebut adalah merokok.

Kemudian studi pendahuluan yang dilakukan di SMPN 4 Gununghalu, hasil

wawancara dengan guru BK mengatakan bahwa kasus bullying yang terjadi di

sekolah tersebut tercatat sebanyak 15 kasus. Begitupun ungkapan lima orang siswa

sekolah tersebut yang mengatakan bahwa fenomena bullying di sekolah tersebut

sedang banyak terjadi, dan salah satu kasusnya membuat korban bullying pindah

sekolah karena tidak tahan di-bully.

Alasan peneliti melakukan studi pendahuluan ke enam sekolah tersebut

karena dari 24 sekolah di Bandung Barat enam sekolah tersebut masuk ke dalam

kategori wilayah pedesaan yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, yakni

isolasi geografis, transportasi publik yang terbatas, sumber daya yang minimal dan

akses ke layanan kesehatan yang terbatas yang mana hal-hal tersebut dapat memicu

perilaku bullying marak terjadi dan dua sekolah yang dipilih merupakan sekolah

favorit yang ada di wilayah tersebut dengan tingkat persaingan yang cukup tinggi.

Maka peneliti memilih dua sekolah tersebut dengan didukung hasil studi

pendahuluan yang menunjukkan banyaknya fenomena dan kasus bullying di

sekolah tersebut dan responden yang dipilih adalah seluruh siswa-siswi kelas 7-8 di

sekolah tersebut karena kelas 9 di kedua sekolah tersebut tidak bisa diikutsertakan

karena sedang fokus menghadapi ujian nasional.

Adapun peran perawat puskesmas atau perawat sekolah dalam hal ini masuk

dalam upaya kesehatan utama (primary health care) dengan fokus utamanya adalah

promotif dan preventif terkait pengendalian perilaku bullying serta mencegah


11

terjadinya masalah kesehatan (Stuart 2016 dalam Retnowuni & Yani, 2019).

Perawat sekolah berada dalam posisi yang sangat ideal untuk mengenali perilaku

tersebut di kalangan siswa karena perawat sekolah berpotensi membangun

hubungan dekat dengan mereka sehingga menjadi agen pertama dalam menangani

perilaku tersebut dan mencegah timbulnya perilaku yang buruk. Menurut

(Blakeslee, Eboh, Monsen, & Kvarme, 2016), 50% dari 5.205 siswa di Amerika

yang memiliki masalah di lingkungan sekolahnya setelah bertemu dengan perawat

sekolah cenderung lebih baik dalam penyelesaian masalahnya karena saran-saran

yang diberikan oleh perawat sekolah. Temuan tersebut mendukung gagasan bahwa

perawat sekolah memiliki peranan penting dalam membantu siswa dengan

mengenali masalah mereka.

Peran perawat sekolah diantaranya adalah meningkatkan kesehatan para

siswa , mencegah timbulnya penyakit, membantu anak-anak dengan masalah

kenakalan remaja (bullying), emosional atau fisik di lingkungan sekolah dan

menciptakan lingkungan yang aman bagi siswa terbebas dari perilaku bullying

(Pigozi & Jones Bartoli, 2016). Fokus perawat sekolah dalam hal ini adalah sebagai

konselor dan educator yaitu membantu meningkatkan harga diri anak-anak dan

membantu anak yang di-bully. Terlepas dari hal itu, perawat sekolah dalam

memberikan pelayanannya bekerja sama dengan pihak sekolah, orang tua,

masyarakat dan juga para siswa di sekolah. Perawat sekolah diharapkan menjadi

pemimpin dalam memberikan perawatan dan mempromosikan lingkungan sekolah

yang aman, termasuk pengembangan rencana untuk pencegahan dan pengelolaan

perilaku bullying (Pigozi & Jones Bartoli, 2016).


12

Berdasarkan uraian di atas, konsep diri akademik sangat berperan dalam

kehidupan seorang remaja khususnya menunjang keberhasilan akademik di

lingkungan pendidikan remaja tersebut. Pada umumnya masa remaja adalah masa

untuk berprestasi, dimana para remaja mulai menyadari bahwa pada tersebut

mereka dituntut untuk menghadapi kehidupan yang sebenarnya yang ketat akan

persaingan. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa prestasi merupakan sarana untuk

memanfaatkan kesempatan sebagai modal dalam mendapatkan peluang kerja yang

lebih besar karena keberhasilan atau kegagalan pada saat remaja dapat menjadi

prediktor bagi keberhasilan yang akan diperoleh remaja pada saat dewasa.

Pada tahap inilah remaja diharapkan dapat mengembangkan konsep diri

akademiknya yang positif karena konsep diri akademik positif sangat berguna tidak

hanya untuk keberhasilan akademik tetapi dalam keberhasilan karier, kehidupan

sosial, mengembangkan kepribadian yang positif dan pengembangan keterampilan

hidup mereka serta konsep diri akademik yang positif sangat penting untuk

pengembangan fungsi kognitif dan kemampuan dalam belajar yang mana hal

tersebut tidak hanya berguna bagi aspek akademik tetapi dalam kehidupan sehari-

hari (Bharathi & Sreedevi, 2016; Blakely-McClure & Ostrov, 2016; Esnaola et al.,

2020; Prabadewi & Widiasavitri, 2014).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka rumusan

masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimana konsep diri akademik remaja

korban bullying.”
13

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran konsep diri

akademik remaja korban bullying di SMP Negeri 4 dan MTs Negeri 3 Bandung

Barat.

1.3.2 Tujuan Khusus

1) Mengetahui konsep diri akademik remaja korban bullying di SMP Negeri

4 dan MTs Negeri 3 Bandung Barat dilihat dari aspek academic

2) Mengetahui konsep diri akademik remaja korban bullying di SMP Negeri

4 dan MTs Negeri 3 Bandung Barat dilihat dari aspek social

3) Mengetahui konsep diri akademik remaja korban bullying di SMP Negeri

4 dan MTs Negeri 3 Bandung Barat dilihat dari aspek self

regard/presentation of self

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Aspek Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih ilmiah

terkait gambaran konsep diri akademik pada remaja korban bullying.

1.4.2 Aspek Praktisi

1.4.2.1 Manfaat bagi Fakultas Keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan data tambahan

terkait konsep diri akademik remaja korban bullying terutama informasi kepada

pihak fakultas yang diharapkan dapat menjadi masukan dan evaluasi sebagai upaya
14

untuk mencegah dan mengantisipasi terjadinya konsep diri akademik yang negatif

pada mahasiswa keperawatan di Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran.

1.4.2.2 Manfaat Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini dapat dijadikan referensi tambahan untuk penelitian

selanjutnya terkait konsep diri akademik dari aspek lainnya. Penelitian ini juga

dapat dijadikan bahan acuan untuk membuat penelitian terkait faktor-faktor yang

mempengaruhi konsep diri akademik remaja dengan kejadian bullying sehingga

bermanfaat bagi kemajuan pendidikan keperawatan serta strategi intervensi yang

baik bagi korban bullying yang tepat.

1.4.2.3 Manfaat bagi Sekolah

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan referensi bagi sekolah

terutama informasi dan data awal terkait korban bullying serta konsep diri akademik

siswa-siswi sekolah tersebut yang diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dan

masukan bagi guru-guru di sekolah dalam upaya pencegahan dan penanganan lebih

lanjut supaya terjadi penurunan jumlah korban bullying dan meningkatnya konsep

diri akademik pada siswa –siswi sekolah menengah pertama.

1.5 Kerangka Pemikiran

Remaja dikenal sebagai fase perubahan atau transisi antara anak-anak dan

dewasa. Masa remaja juga dikenal sebagai masa pencarian jati diri atau konsep diri

akademik, pada fase tersebut emosi yang dimiliki belum stabil yang dalam hal ini

berhubungan dengan keadaan psikologi remaja tersebut. Proses pembentukan

konsep diri akademik tersebut berhubungan dengan situasi lingkungan sekitar


15

remaja tersebut karena pada masa ini remaja cenderung lebih mendengarkan

lingkungan sekitar dibanding keluarga atau orang tuanya sendiri.

Fenomena perilaku bullying merupakan salah satu kenakalan remaja dan

sangat sering terjadi pada masa remaja karena remaja memiliki egosentrisme yang

tinggi (Edwards, 2006 dalam Putri, Nauli, & Novayelinda, 2015). Remaja dengan

perilaku bullying memiliki keterkaitan yang cukup dekat. Perubahan yang terjadi

pada diri remaja baik di dalam maupun di luar dirinya membuat kebutuhan remaja

dalam sosial dan psikologi semakin meningkat ditambah dengan adanya stressor-

stresor yang datang dari lingkungan sekitar yang menimbulkan konflik dalam diri

remaja tersebut yang berimbas pada masalah kenakalan remaja salah satunya

perilaku bullying. Perilaku bullying umum terjadi di kalangan remaja khususnya

pada masa sekolah. Tindakan bullying tidak hanya berpengaruh bagi semua aspek

yang terlibat. Dampak negatif pada korban bullying lebih besar dibanding pelaku

yang berpengaruh terhadap kehidupan korban dalam jangka panjang. Dampak yang

dialami korban bullying tidak hanya secara fisik berupa sakit lutut, kaki, bahu,

demam dan muntah tetapi juga dampak secara psikologis yang lebih berbahaya bagi

kehidupan di masa yang akan dating remaja tersebut.

Dampak psikologi meliputi merasa takut, rendah diri, tidak nyaman, merasa

tidak berharga, menarik diri dari pergaulan, penyesuaian sosial yang buruk

sehingga korban tidak mau untuk berangkat ke sekolah dan nilai akademik yang

turun (karena konsep diri akademik menjadi negatif) (Estévez et al., 2019; Jenkins

& Demaray, 2012; Roeleveld, 2011; Wulandari et al., 2012). Dampak negatif

bullying dalam dunia pendidikan seperti yang telah disinggung pada paragraf
16

sebelumnya yaitu rendahnya konsep diri akademik remaja tersebut yang

berhubungan langsung dengan prestasi belajar atau kemauan remaja tersebut untuk

berprestasi. Pembentukan konsep diri akademik dipengaruhi oleh faktor-faktor

seperti pengaruh teman sebaya, guru, media, masyarakat atau budaya setempat yang

dalam hal ini teman sebaya dan lingkungan sekolah berperan penting dalam

terbentuknya konsep diri akademik seorang remaja.

Konsep diri akademik yang positif sangat penting dimiliki oleh seorang

remaja, hal ini berguna terhadap masa depan pendidikan remaja tersebut. Konsep

diri akademik juga merupakan aspek yang sangat penting berkaitan dengan

penilaian kemampuan akademik dirinya yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan

social yang dapat membantu remaja tersebut dalam proses persaingan untuk meraih

kesuksesan di masa depan remaja tersebut khususnya dalam dunia pendidikan

(Ebrahim Abd El Aziz Rady, 2017). Pada tahap inilah remaja diharapkan dapat

mengembangkan konsep diri akademik yang positif karena konsep diri akademik

positif berguna bagi aspek kehidupan seorang remaja baik dalam bidang akademik

maupun non akademik.

Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner konsep diri akademik yang

dimiliki oleh Aat Sriati, S. Kp., M.Si yang mengacu pada teori model Song dan

Hattie (Hattie, 1992). Instrumen ini mencakup beberapa aspek atau dimensi konsep

diri akademik yaitu academic, social, dan self-regard/presentation of self. Hasil

dari penelitian ini nantinya akan diketahui apakah konsep diri akademik pada

remaja korban bullying positif atau negatif.


17

Bagan 1.1:Kerangka Pemikiran


Faktor-Faktor yang mempengaruhi
Remaja konsep diri akademik :
Kasus kenakalan remaja : Merokok, bullying, 1. Orang tua
penyalahgunaan narkoba, seks bebas, geng motor dll
2. Lingkungan Sekolah
3. Teman sebaya
4. Guru
5. Media
Pelaku, Korban bullying, korban-pelaku, saksi
6. Masyrakat/budaya setempat
bullying
Fisik :
1. Cidera Dampak
2. Sakit kepala 1. Fisik Konsep diri akademik
3. Sakit lutut dan 2. Psikologis
bahu Merasa takut sekolah
4. Demam Kurang percaya diri
5. muntah Prestasi menurun
Konsep diri akademik Konsep diri akademik
Konsep diri akademik
positif negatif
Diteliti :

Tidak diteliti :

Sumber Modifikasi:

(Ebrahim Abd El Aziz Rady, 2017; Estévez et al., 2019; Halimah et al., 2015; Hattie, 1992; Jenkins & Demaray, 2012; Putri et al.,
2015; Roeleveld, 2011; Susanti et al., 2018; Wulandari et al., 2012).
2.BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Remaja

2.1.1 Pengertian

Remaja adalah fase transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa yang

dalam periode tersebut diikuti perubahan-perubahan keadaan biologis, kognitif,

psikologis dan sosial yang saling keterkaitan satu sama lain (Brenhouse &

Andersen, 2011; Malá, 2009). Menurut Monk (2006 dalam Kaparang, 2013;

Prabadewi & Widiasavitri, 2014), ia mengemukakan secara umum pembagian masa

remaja terdiri dari :

1) Masa Remaja Awal ( Early Adolescents ) yaitu 12-15 tahun

Pada masa ini juga remaja cenderung bersifat delinquent (Bertingkah

cenderung melanggar aturan). Masa remaja awal merupakan masa peralihan

dimana individu akan mengalami kebingungan pada perubahan-perubahan fisik

yang terjadi pada dirinya, belum mampu mengontrol emosi dengan baik, tidak

stabil, tidak puas, rendah diri, dan cepat merasa kecewa. Pada masa ini juga

peningkatan emosional terjadi sangat cepat, sehingga masa ini dikenal dengan masa

penuh badai.(Sarwono, 2012 dalam Prabadewi & Widiasavitri, 2014).

2) Remaja Pertengahan ( Middle Adolescents ) yaitu 15-18 tahun

Fase remaja pertengahan atau middle adolescents merupakan fase

selanjutnya dari tahap remaja awal yang memiliki karakteristik khas yang tidak jauh

berbeda dari fase remaja awal. Fase ini memiliki ciri yaitu: hubungan dengan lawan

jenis yang semakin meningkat frekuensinya, fantasi dan fanatisme yang mulai

18
19

muncul terhadap berbagai hal tertentu seperti musik, idola, atau kegemaran yang

dimilikinya. Pada masa ini akan muncul kemantapan yang menutup kebimbangan

yang terjadi pada masa remaja awal, dan mulai dapat memunculkan rasa percaya

diri serta individu mulai dapat menemukan diri mereka sendiri (jati dirinya).

3) Remaja Akhir ( Last Adolescents ) yaitu 18-21 tahun

Remaja pada fase ini mulai memiliki arti dirinya lebih luas dan lebih mantap

jauh dari pada saat fase remaja awal yang sebelumnya telah individu tersebut lalui.

Remaja pada fase ini lebih bersifat menerima dan mengerti dan muai mampu

menghargai sikap orang lain yang kurang sependapat dengan dirinya. Memiliki

fokus atau minat tertentu, sikap kedudukan, budaya, arah politik, maupun etikanya

lebih condong kepada orang tuanya (Prabadewi & Widiasavitri, 2014; Unayah &

Sabarisman, 2015).

2.1.2 Perkembangan Remaja

Perkembangan yang terjadi pada masa remaja meliputi :

1) Perkembangan Fisik

Terdapat lima perubahan spesifik yang akan terjadi pada masa pubertas,

yaitu, percepatan penambahan tinggi badan, timbulnya perkembangan seks

sekunder, perkembangan organ-organ reproduksi, perubahan bentuk atau

komposisi tubuh serta perubahan sistem sirkulasi dan sistem respirasi yang

berhubungan dengan kekuatan dan stamina yang terjadi pada masa tersebut

(Batubara, 2016).
20

2) Perkembangan Psikososial pada Remaja

Perkembangan psikososial selama masa ini dapat ditandai dengan tugas

perkembangan yang menekankan pada pengembangan otonomi, pembentukan

identitas, dan orientasi masa depan. Remaja pada masa ini memiliki penurunan

terhadap minat kegiatan keluarga dan nasihat orang tua. Mereka lebih cenderung

menghabiskan waktu bersama teman sebayanya atau dalam tugas perkembangan

mereka berada pada fase pendirian otonom, dalam hal ini mereka memiliki ego

yang sangat tinggi (Sanders, 2013).

Perubahan psikososial yang terjadi pada masa remaja berhubungan dengan

tugas perkembangan ke dua yang dimiliki remaja yaitu mengembangkan rasa

identitas. Identitas berhubungan perasaan diri seseorang. Area ini dapat dibagi

menjadi dua area, yaitu: konsep diri akademik dan harga diri. Konsep diri akademik

mengacu pada persepsi diri atau bakat, tujuan dan pengalaman hidup seseorang.

Harga diri berhubungan dengan bagaimana seseorang mengevaluasi harga diri.

Erikson (1950 dalam Sanders, 2013) mengemukakan bahwa krisis psikososial

terjadi selama usia 13-19 tahun, pada masa ini terjadi konflik antara lahirnya

identitas dan kebingungan peran.

Pengembangan identitas diri yang tidak memadai dapat menyebabkan harga

diri yang buruk pada remaja. Hal tersebut juga berhubungan dengan banyaknya

stressor seperti bullying yang akan memperburuk keadaan. Citra diri dan harga diri

yang buruk telah dikaitkan dengan penyesuaian yang buruk (depresi atau bunuh

diri), prestasi sekolah yang rendah, penggunaan narkoba, dan perilaku pengambilan

risiko lainnya.
21

3) Perkembangan Kognitif pada Remaja

Perkembangan kognitif seorang remaja dapat diklasifikasikan menjadi tiga

tahap, yaitu: Tahap perkembangan awal, tahap perkembangan pertengahan dan

tahap perkembangan akhir (Cromer, 2011 dalam AlBuhairan, Areemit, Harrison, &

Kaufm, 2012). Pada awal masa remaja, penggunaan operasi logis formal

difokuskan pada kegiatan di sekolah dan di lingkungan rumah. Hal ini termasuk

dalam mempertanyakan otoritas dan standar sosial remaja tersebut yang nantinya

akan membentuk konsep diri akademik remaja tersebut. Jika dalam

perkembangannya remaja dihadapkan dengan perilaku kurang mendukung seperti

perilaku bullying maka pembentukan konsep diri akademik seorang remaja menjadi

terganggu.

Tahap selanjutnya masa remaja pertengahan dan remaja akhir. Remaja

menengah cenderung mempertanyakan dan menganalisa secara lebih luas untuk

membentuk kode etik, identitas dan kemungkinan tujuan mereka di masa depan

yang mulai memengaruhi hubungan mereka dengan orang lain. Karakteristik

perkembangan kognitif di masa ini secara singkat yaitu: Menggunakan proses

berpikir yang lebih kompleks, fokus diperluas untuk mencakup perhatian yang lebih

filosofis dan futuristik, sudah mulai berpikir jangka panjang tetapi belum diterapkan

dalam pengambilan keputusan. Pada masa remaja akhir kemampuan berpikir

kompleks telah digunakan serta dalam pengambilan keputusan tidak mementingkan

diri sendiri. Pada tahap ini mereka mulai berfokus pada karier dan peran mereka di

masyarakat, mereka juga mampu memikirkan berbagai hal secara independen dan

menimbang konsekuensi sebelum membuat keputusan (AlBuhairan et al., 2012).


22

4) Perkembangan Emosional pada Remaja

Masa remaja adalah masa perkembangan fisik, kognitif dan emosional yang

bersamaan tetapi tidak sejalan satu sama lain (AlBuhairan et al., 2012; Sanders,

2013). Perkembangan emosional yang luar biasa terjadi pada fase remaja, dimana

mereka mengalami beberapa perubahan otak yang paling signifikan sejak bayi

(Hagan, Sanchez, Cascarino, & White, 2019). Proses perkembangan emosional dan

struktur penghargaan di otak membuat remaja semakin peka terhadap umpan balik

sosial, status sosial dan penampilan mereka. Fase perkembangan ini merupakan

fase ketika timbulnya gangguan mental yang melibatkan puncak dis regulasi emosi

(Konrad, Firk, & Uhlhaas, 2013).

Alasan mengapa hal demikian terjadi pada masa remaja karena pada masa

ini beberapa bagian otak telah mencapai puncak kematangannya, seperti sistem otak

yang sensitif terhadap reward, yang berkaitan dengan kehidupan sosialnya atau

yang terkait dengan bagian otak cortex cingulate ( bagian komponen dari sistem

limbic yang merupakan substrat utama dari regulasi respons emosi dan perilaku )

dan orbitofrontal ( berperan dalam proses menafsirkan reward positif dan negatif

dan belajar akan stimulus netral yang kemudian berasosiasi menjadi reward positif

dan negatif ketika asosiasinya diubah ) (Yusron, 2018).

Berkaitan dengan kematangan bagian otak tersebut, pada usia remaja sistem

yang bertanggung jawab untuk kontrol diri belum matang seutuhnya hingga usia

dewasa. Hal demikian menjelaskan kenapa pada usia remaja sangat rentan dalam

perilaku berisiko seperti bullying, merokok, penyalahgunaan narkoba, seks bebas

dan tawuran. Karena pada masa ini sistem limbic sudah mencapai kematangan,
23

tetapi area frontal sistem yang bertindak sebagai eksekutif dan sistem kontrol

perilaku belum matang sempurna (Kail, 2015 dalam Yusron, 2018).

Perkembangan emosional yang terjadi selama masa remaja memiliki

karakteristik yang berbeda satu sama lainnya, mulai dari remaja awal hingga masa

remaja akhir. Adapun karakteristik perkembangan emosional yang terjadi pada

remaja yaitu: Remaja awal, mementingkan dukungan dari teman sebaya,

meningkatkan kedekatan interaksi sesama jenis, meningkatnya kebutuhan privasi

dengan meningkatnya minat pada penampilan fisik pribadi dan citra tubuh,

peningkatan kesadaran akan rentang emosi yang lebih luas. Selama masa remaja

awal, kapasitas untuk mengelola emosi dan impuls, pemikiran ke depan,

perencanaan dan pengambilan keputusan, kesadaran diri dan refleksi, dan

pemahaman konsep-konsep abstrak berkembang serta emosi tumbuh semakin kuat

(U.S. Department of Health and Human Services, 2018).

Berbeda dengan remaja awal, remaja pertengahan dan remaja akhir mulai

memiliki perubahan emosional yang cenderung kembali mempertinggi intensitas

hubungannya dengan keluarga. Komunikasi dengan orang tua meningkat,

peningkatan otonomi dari orang tua, meningkatnya kepercayaan pada keyakinan

pribadi dan kemampuan untuk mengungkapkannya, meningkatnya kemampuan

kontrol kognitif atas respons emosional (AlBuhairan et al., 2012).

Perkembangan emosi yang sehat ditandai dengan kemampuan yang secara

bertahap meningkat untuk memahami, menilai, dan mengelola emosi. Ini

merupakan proses biologis yang didorong dengan perubahan fisik dan kognitif serta

sangat dipengaruhi oleh konteks dan lingkungan. Proses perkembangan emosional


24

memberi kesempatan pada remaja untuk membangun keterampilan, menemukan

kualitas unik dan mengembangkan kekuatan untuk kesehatan yang optimal (U.S.

Department of Health and Human Services, 2018).

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas masa remaja memiliki banyak sekali

perkembangan, yakni mulai dari perkembangan fisik, psikososial, kognitif dan

emosional yang berhubungan satu sama lain. Remaja memiliki kerentanan dalam

perkembangannya. Jika dihadapkan dengan banyaknya stressor seperti perilaku

bullying akan mengganggu proses perkembangannya dan nantinya akan

mempengaruhi konsep diri akademik remaja tersebut. Perilaku bullying akan

dijelaskan pada poin berikutnya.

2.2 Bullying

2.2.1 Pengertian

Bullying adalah bentuk perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja dan

berulang pada seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau rasa tidak

nyaman (American Psycological Association, 2020). Istilah yang digunakan dalam

bahasa Indonesia yang seringkali dipakai untuk menggambarkan atau

mendefinisikan perilaku bullying yaitu: penindasan, perpeloncoan, pemalakan,

pengucilan, perundungan atau intimidasi (Retnoningsih, 2019). Banyak sekali

definisi mengenai bullying menurut para ahli.

Sebagian besar definisi tentang bullying bermuara pada definisi yang

dikemukakan oleh Olweus (1994) , Ia mendefinisikan bullying sebagai perilaku

negatif yang dilakukan berulang dan sengaja terhadap seorang korban yang

biasanya memiliki kesulitan dalam mempertahankan dirinya atau dalam konteks ini
25

ada ketidakseimbangan kekuatan fisik atau emosional di antara keduanya (Baier,

Hong, Kliem, & Bergmann, 2019; van der Ploeg et al., 2019). Berdasarkan definisi

tersebut, bullying dapat diartikan sebagai tindakan merugikan yang dilakukan oleh

seseorang atau kelompok kepada korban, dilakukan secara berulang ataupun

sesekali yang dapat mengakibatkan cedera mental atau fisik bagi korban.

2.2.2 Jenis-Jenis Perilaku Bullying

Bullying memiliki banyak macam tipe tindakannya yang dikategorikan

berdasarkan bentuk perilaku yang dilakukan oleh pelaku ke korbannya. Adapun

jenis-jenis perilaku bullying dibagi ke dalam empat jenis perilaku, yaitu, Bullying

relasional, bullying verbal, cyberbullying dan bullying fisik (Baier et al., 2019; van

der Ploeg et al., 2019). Masing-masing jenis tindakan bullying tersebut memiliki

karakteristik yang berbeda, yaitu:

1) Bullying Relasional

Bullying jenis ini memiliki arti pelemahan harga diri korban secara

sistematis melalui berbagai tindakan. Wujud tindakannya dapat berupa pengabaian,

pengucilan atau penghindaran, dan menggunjing (van der Ploeg et al., 2019).

Wujud perilaku juga mencakup sikap-sikap yang tersembunyi, pandangan sinis,

lirikan mata, helaan napas, cibiran, tawa yang mengejek dan gestur tubuh yang

mengejek (Retnoningsih, 2019). Di antara bentuk tindakan tersebut penghindaran

atau pengucilan adalah yang paling berpengaruh bagi korban (Zakiyah & Humaedi,

Sahadi Santoso, 2017).


26

2) Bullying Verbal

Bentuk perilaku dari bullying jenis ini yaitu berupa julukan nama yang negatif

termasuk menghina nama orang tua, celaan, fitnah, kritik kejam atau kata-kata

kasar, hinaan, teror dan rayuan atau ejekan yang bersifat seksual (Retnoningsih,

2019; van der Ploeg et al., 2019). Bullying jenis ini merupakan perilaku yang

sangat umum dilakukan baik oleh remaja laki-laki maupun remaja perempuan

karena sifatnya yang mudah dilakukan dan dapat menjadi gerbang pertama

dalam melakukan kekerasan yang lebih buruk lagi (Retnoningsih, 2019; Zakiyah

& Humaedi, Sahadi Santoso, 2017). Hal tersebut sejalan dengan penelitian lain

bahwa bullying verbal merupakan kasus ter sering yang terjadi (A. Yusuf,

Habibie, Efendi, Kurnia, & Kurniati, 2019).

3) Cyberbullying

Bentuk perilaku dari bullying jenis ini pada intinya merupakan penindasan

yang dilakukan melalui media elektronik seperti mengirim pesan singkat yang

menyakitkan melalui email atau short message service (SMS), menelepon terus-

menerus tetapi tidak ada yang berbicara, membuat website dengan unsur yang

memalukan bagi korban, dihindarkan atau dijauhi dari grup sosial media atau

berupa menyebarkan video yang berisi konten memalukan bagi korban (Dianes,

2019).

4) Bullying Fisik

Jenis bullying yang terakhir ini merupakan yang paling terlihat dan paling

mudah diidentifikasi bentuk tindakannya. Bentuk perilakunya berupa, memukul,

meninju, menendang, menggigit, mencakar, meludahi korban, mendorong dan


27

menghancurkan barang-barang milik korban (Baier et al., 2019; Retnoningsih,

2019). Meskipun sangat mudah untuk dideteksi namun angka kejadian bullying

fisik termasuk yang paling sedikit dari rata-rata kasus laporan di sekolah.

Bullying mencapai puncaknya pada awal masa remaja, karena dalam tahap

ini terjadi perubahan fisik, mental emosional dan seksual remaja yang cukup

signifikan. Ini adalah waktu ketika remaja untuk mencoba mengetahui diri mereka

dengan menyesuaikan diri mereka dengan teman sebaya. Perilaku bullying

mungkin lebih banyak terjadi di pedesaan karena kehidupan pedesaan

menghadirkan sejumlah pemicu stres unik yang memengaruhi remaja dalam

perilaku tersebut. Isolasi geografis, transportasi publik yang terbatas, jaringan sosial

yang terbatas, sumber daya yang minimal, akses terbatas ke layanan kesehatan

mental dan remaja pedesaan memiliki tingkat kebosanan dan perilaku berisiko yang

tinggi sehingga perilaku bullying banyak terjadi (Evans et al., 2018).

Ada sejumlah kesalahpahaman umum bahwa kehidupan pedesaan memiliki

kehidupan yang tenang dan damai terhindar dari berbagai masalah termasuk

kenakalan remaja. Namun dalam kenyataannya kehidupan pedesaan memiliki

berbagai masalah yang unik yang dapat menghadirkan perilaku berisiko seperti

bullying. Seperti yang telah disinggung pada paragraf sebelumnya bahwa

kehidupan pedesaan menghadirkan sejumlah pemicu stres yang unik. Faktor-faktor

seperti isolasi geografis, sumber daya yang minimal, kurangnya transportasi umum,

memiliki akses terbatas ke layanan kesehatan mental dihubungkan menjadi salah

satu penyebab terjadinya perilaku tersebut dan kehidupan pedesaan menghadirkan

kebosanan pada seorang remaja sehingga menimbulkan stres yang unik dan
28

memicu remaja untuk melakukan perilaku berisiko seperti bullying (Evans et al.,

2018; Farmer et al., 2011; Smokowski et al., 2013)

2.2.3 Korban Bullying dan Karakteristiknya

Menurut (Wu, Luu, & Luh, 2016), peran-peran dalam perilaku bullying

dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok yang berperan secara langsung

( bully, bully-victim, and victim ), dan kelompok yang berperan tidak langsung yaitu

bystander atau orang-orang yang ada di sekitar kejadian.

Victim atau korban bullying, yaitu remaja yang sering menjadi objek atau

target agresivitas atau tindakan menyakitkan dari pelaku bullying (Retnoningsih,

2019). Ada beberapa karakteristik seseorang atau remaja yang rentan menjadi

korban bullying, diantaranya yaitu dari karakter fisik, remaja yang menjadi korban

bullying biasanya memiliki karakteristik fisik tertentu seperti kelebihan berat

badan, memiliki tinggi badan yang kurang, atau lemah secara fisik; Berbeda dengan

yang lain, menjadi berbeda dengan cara apapun lebih berisiko meningkatkan

ancaman bullying; Berbakat, banyak remaja yang menjadi korban bullying

memiliki kelebihan yang istimewa dibanding dengan temannya seperti lebih pintar,

lebih unggul, memiliki sopan santun, lebih rajin dari yang lain; Memiliki kelemahan

dalam kesehatan, remaja yang memiliki penyakit khusus seperti penyakit mental

berisiko lebih besar untuk menjadi korban; Status ekonomi, penelitian yang

dilakukan di sekolah Amerika dan 35 negara di Eropa mengungkapkan bahwa siswa

yang ekonominya kurang beruntung berisiko lebih besar dibanding dengan anak

yang memiliki ekonomi lebih baik (Heydenberk & Heydenberk, 2012). Selain hal

tersebut, korban biasanya terisolasi secara sosial, memiliki sedikit teman, kurang
29

populer, cenderung memiliki harga diri rendah, merupakan murid baru di sekolah

(Waseem & Nickerson, 2019).

Bully atau bullies, yaitu orang yang secara langsung terlibat dalam perilaku

bullying dan mengganggu baik secara fisik atau mental (Olweus 1994 dalam

(Zakiyah & Humaedi, Sahadi Santoso, 2017). Pelaku bullying biasanya memiliki

karakteristik mendominasi dan menginginkan pengakuan atau kekuasaan, memiliki

sikap yang agresif dan mudah frustrasi, cenderung menyalahkan orang lain

meskipun itu adalah kesalahan mereka, tidak mau bertanggung jawab atas tindakan

mereka, bersikap terlalu kompetitif karena khawatir reputasi atau popularitas

mereka terganggu dan cenderung memiliki teman yang juga sama sebagai pelaku

bullying (Waseem & Nickerson, 2019).

Bully-Victim, yaitu pihak yang berperan sebagai pelaku juga korban dari

perilaku bullying. Peran ini menunjukkan level agresivitas verbal atau fisik yang

lebih tinggi dibandingkan dengan remaja lain. Dikatakan demikian karena biasanya

pelaku merupakan mantan korban bullying yang memiliki dendam pada pelakunya

dahulu dan tidak bisa melawan sehingga melampiaskannya pada orang lain (Habsy,

2017).

Bystander adalah orang yang tidak secara langsung melakukan tindakan

bullying tetapi ada di lingkungan tempat kejadian bullying tersebut. Orang-orang

yang bertindak sebagai bystander atau pengamat/saksi dibagi lagi menjadi tiga

kelompok yaitu: Reinforces, merupakan orang yang ada pada saat kejadian dan

melihat kejadian tersebut kemudian dia memberikan respons yang mengarah ke

dukungan kepada bullying tersebut seperti menertawakan korban dan


30

memprovokasi pelaku. Defender, adalah orang yang ada di lokasi serta

menyaksikan pada saat bullying terjadi kemudian berusaha untuk membantu korban

yang pada akhirnya mereka juga menjadi korban. Outsider, adalah orang yang ada

pada saat kejadian bullying tetapi bertindak acuh cenderung mengabaikan kejadian

tersebut (Habsy, 2017).

2.2.4 Dampak Fisik dan Psikologis Perilaku Bullying

Perilaku bullying memiliki dampak yang sangat besar bagi semua orang

yang terlibat. Dampak yang ditimbulkan meliputi dampak secara fisik, psikologis,

sosial dan terutama dalam aspek pendidikan (Waseem & Nickerson, 2019).

Dampak yang terjadi bagi pelaku bullying mungkin memang dirasakan, tetapi

dampak dari perilaku bullying lebih bahaya dirasakan bagi para korban (Saifullah,

2010).

Secara fisik, korban bullying biasanya mengalami gejala somatis, seperti

masalah tidur, memiliki emosi yang mudah meledak, sakit kepala, tegang,

kelelahan, nafsu makan yang buruk, memiliki kesedihan yang mendalam, memiliki

masalah kulit dan bahkan sakit perut (Albdour et al., 2019). Penelitian lain juga

menyebutkan bahwa korban bullying dapat mengalami cedera fisik berupa luka atau

memar dan memiliki kesehatan fisik yang menurun (Habsy, 2017).

Selain dampak secara fisik, korban bullying juga memiliki dampak

psikologis yang sangat berpengaruh pada kehidupan mereka terutama kehidupan

yang akan datang/jangka panjang (efek abadi) (Heydenberk & Heydenberk, 2012).

Telah banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa perilaku bullying

menyebabkan memburuknya konsep diri akademik (Estévez et al., 2019). Lebih


31

jelas lagi dalam penelitian sebelumnya (Houbre et al., 2010) dikatakan bahwa

perilaku bullying menyebabkan kemunduran konsep diri akademik pada seorang

remaja. Hal demikian juga diutarakan oleh (Haegele, Aigner, & Healy, 2020)

dalam penelitiannya bahwa korban bullying sering memiliki masalah

ketidakmampuan psikologis dan kemunduran konsep diri akademik.

Korban bullying mengalami kesulitan sekolah yang lebih besar dibanding

pelaku atau teman-temannya yang tidak terpapar bullying, hal tersebut akan

berdampak pada prestasi akademik yang buruk. Hal demikian juga sejalan dengan

penelitian lain yang menyebutkan bahwa korban bullying memandang sekolah

sebagai tempat yang tidak aman dan berbahaya, yang pada akhirnya membuat

mereka malas untuk pergi ke sekolah sehingga menyebabkan penurunan prestasi

belajar mereka (Bulu, Maemunah, & Sulasmini, 2019; Syahruddin, 2019).

Nilai akademik yang lebih rendah juga dikaitkan dengan para korban

bullying (Albdour et al., 2019). Hal demikian berhubungan dengan kemampuan

berfikir atau konsentrasi siswa menjadi terganggu karena adanya sesuatu yang

membebani pikiran mereka sehingga aktivitas belajar menjadi menurun. Sesuai

dengan pernyataan tersebut, dalam penelitian (Smokowski & Evans, 2019)

dikatakan bahwa hasil negatif dari perilaku bullying, korban cenderung mengalami

kesehatan mental yang buruk dan proses neurobiologist yang terganggu, sehingga

mengakibatkan kemampuan berkonsentrasi menurun karena adanya sesuatu yang

menghambat proses berpikir remaja tersebut. Penelitian-penelitian yang telah

dilakukan menyimpulkan bahwa tingkat intimidasi yang lebih tinggi di sekolah

menurunkan konsep diri akademik pada seoarang remaja (A. Yusuf et al., 2019).
32

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa, masa remaja merupakan

periode dimana harga diri sebagian besar ditentukan oleh sosialisasi teman sebaya.

Kesejahteraan di sekolah ditingkatkan ketika siswa puas dengan pengalaman

mereka dengan teman sebayanya di sekolah, yaitu hubungan positif dengan teman

sebaya berdampak pada prestasi dan motivasi akademik. Motivasi akademik

merupakan persyaratan belajar yang sangat penting.

Seorang siswa yang mengalami kesulitan karena bullying dan memiliki

hubungan negatif dengan sebayanya di sekolah, dapat dikatakan tidak siap untuk

belajar karena kehilangan motivasi akademik. Motivasi akademik memiliki dua

unsur yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Intrinsik berhubungan dengan niat individu dan

keinginannya untuk belajar dan unsur ekstrinsik dikendalikan oleh faktor-faktor

eksternal terutama didasarkan pada motif seperti ingin menyenangkan orang tua

atau guru, menerima nilai yang baik dan penilaian yang baik.

Diperkirakan bahwa gangguan dalam motivasi intrinsik dapat menyebabkan

kesulitan psikologis pada kepuasan remaja dan kesenangan dalam belajar. Oleh

sebab itu, kaitannya dengan motivasi intrinsik bisa jadi iklim sekolah tidak

mendukung dimana para siswa mengalami tekanan emosional karena tindakan

bullying (Ayhan, Beyazıt, & Yurdakul, 2019). Hal demikian didukung dengan teori

ekologis (Bronfenbrenner, 1979), mengatakan bahwa perkembangan manusia

dipengaruhi oleh berbagai lingkungan (rumah, sekolah, masyarakat, lingkungan

pekerjaan) dan interaksi sosial yang terjadi di dalam dan dia antara lingkungan

tersebut (A. Yusuf et al., 2019). Maka dari itu, perilaku bullying yang terjadi di

lingkungan sekolah membutuhkan perhatian yang lebih besar karena sekolah


33

merupakan tempat bagi remaja dalam pembentukan konsep diri akademik yang

nantinya dapat berguna bagi sebagian besar aspek kehidupan.

2.3 Konsep Diri Akademik

2.3.1 Pengertian

Konsep diri akademik menurut Shavelson (1976), didefinisikan sebagai

persepsi diri akademik seseorang atau persepsi seseorang tentang kemampuannya

di sekolah atau di bidang akademik (Hattie, 1992; Kadir & Yeung, 2016). Konsep

diri akademik memberikan gambaran mengenai dirinya yang terbentuk beriringan

dengan guru, media, masyarakat, budaya setempat dan teman sebaya yang berperan

penting dalam pembentukan konsep diri akademik seorang remaja (Ebrahim Abd

El Aziz Rady, 2017). Konsep diri akademik berperan penting dalam perkembangan

belajar siswa di sekolah dan kemauannya dalam berprestasi (Permatasari, Rahajeng,

Fitriani, & Kurniawati, 2018).

Konsep diri akademik siswa memainkan peran penting untuk menyesuaikan

diri di sekolah selama masa kanak-kanak dan remaja dan mengarahkan upaya siswa

ke arah akademik mereka (Kumar Jaiswal & Choudhuri, 2017). Cukup banyak

definisi mengenai konsep diri akademik itu apa, namun dalam hal ini sebagian besar

inti dari definisi yang ada adalah konsep diri akademik merupakan persepsi

seseorang atau individu mengenai kemampuan akademiknya (Hattie, 1992).

2.3.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Konsep Diri Akademik

Konsep diri akademik dapat dikategorikan menjadi dua tipe yaitu konsep

diri akademik positif dan konsep diri akademik negatif (Ebrahim Abd El Aziz

Rady, 2017). Makna konsep diri akademik positif adalah apabila remaja tersebut
34

memiliki keyakinan dalam kemampuan akademiknya, merasa dirinya setara dengan

orang lain, menerima pujian dari orang lain tanpa rasa malu dan mampu

memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian

yang tidak disenanginya dan mau berusaha untuk mengubahnya. Kemudian

seseorang dikatakan memiliki konsep diri akademik negatif apabila orang tersebut

peka pada kritik (koreksi sering kali diartikan sebagai upaya untuk menjatuhkan

harga dirinya), sangat responsif pada pujian, selalu mengeluh, mencela, cenderung

merasa tidak diperhatikan dan tidak disenangi orang lain, serta bersikap pesimis

terhadap kemampuan akademiknya.

Hal tersebut bergantung pada faktor-faktor yang memengaruhinya. Orang-

orang yang penting yang membangun konsep diri akademik adalah orang tua, teman

sebaya, guru, diri sendiri dan media (Ebrahim Abd El Aziz Rady, 2017; Kumar

Jaiswal & Choudhuri, 2017). Guru menunjukkan peran penting dalam

mengembangkan konsep diri akademik di antara anak-anak usia sekolah. Karen

pada masa ini intensitas pertemuan mereka lebih lama dibandingkan yang lain.

Selain hal tersebut, orang tua juga memainkan peran penting dalam perkembangan

konsep diri akademik mereka.

Agar terciptanya konsep diri akademik yang positif, orang tua harus

memberikan suasana yang menyenangkan di rumah dengan penuh kebahagiaan dan

untuk memenuhi keinginan anak-anak (Ebrahim Abd El Aziz Rady, 2017). Peran

yang lebih penting yang cukup mendominasi pada masa remaja dalam hal

pengembangan konsep diri akademik adalah lingkungan sosial. Para peneliti juga

mendukung bahwa konsep diri akademik dikembangkan melalui proses


35

perbandingan sosial, yang muncul ketika siswa membandingkan kemampuan

mereka dengan orang lain.

Tahap tingkat sekolah menengah atau remaja biasanya merupakan periode

transisi perkembangan yang dilalui individu dari masa anak-anak menuju dewasa.

Selama masa transisi ini, remaja menghadapi begitu banyak tekanan psikologis dan

sosiologis dalam kehidupan mereka. Mereka menghadapi pematangan psikologis,

perubahan kognitif, penyaringan harapan masyarakat dan orang tua, tuntutan peran

yang saling bertentangan, kompleksitas dalam kaitannya dengan orang tua dan

teman sebaya, pilihan sekolah dan mata pelajaran dan penyesuaian lingkungan

sekolah (Ebrahim Abd El Aziz Rady, 2017; Kumar Jaiswal & Choudhuri, 2017).

2.3.3 Konsep Diri Akademik Remaja Korban Bullying

Konsep diri akademik pada remaja umumnya akan tidak stabil dan

cenderung lebih stabil setelah remaja tersebut berpindah dari masa tersebut (Hattie,

1992). Kemudian perilaku bullying memuncak pada masa remaja awal membuat

pembentukan konsep diri akademik menjadi terganggu dan tidak dapat dilalui

secara maksimal dan hal tersebut berpotensi menimbulkan masalah di masa yang

akan datang pada remaja tersebut (Retnoningsih, 2019; Silvia Yuliani, Efri

Widianti, 2018).

Remaja dengan kejadian bullying cenderung memiliki konsep diri akademik

negatif. Hal ini sebagai mana dijelaskan dalam penelitian (Roeleveld, 2011) yang

mengatakan bahwa semua unsur yang terlibat dalam perilaku bullying memiliki

konsep diri akademik yang negatif karena baik korban maupun pelaku pada

dasarnya sudah memiliki konsep diri akademik yang negatif. Korban bullying
36

memiliki konsep diri akademik yang negatif karena perilaku bullying itu sendiri

sementara pelaku bullying memiliki konsep diri akademik yang negatif karena

pengaruh di lingkungan keluarganya khususnya pola pengasuhan yang kurang tepat

dari orang tua. Namun temuan itu dipertegas dengan penelitian selanjutnya yang

mengungkapkan bahwa tidak ada masalah konsep diri akademik yang berarti bagi

pelaku bullying, mereka memiliki konsep diri akademik yang negatif karena faktor

lain salah satunya adalah pola asuh dan korban bullying cenderung memiliki

masalah lebih berarti pada konsep diri akademiknya (Estévez et al., 2019).

Sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh (Jenkins &

Demaray, 2012) yang mengungkapkan bahwa pelaku bullying mungkin memiliki

konsep diri akademik yang negatif namun tidak terlalu berarti. Konsep diri

akademik pelaku bullying biasanya lebih positif karena mereka merasa memiliki

kekuatan lebih dalam segi fisik atau bidang lain. Berbeda dengan korban bullying

yang memiliki konsep diri akademik paling negatif dibanding dengan pelaku

bullying. Hal tersebut juga berlaku bagi korban sekaligus pelaku bullying yang

dilaporkan memiliki konsep diri akademik paling negatif seperti korban bullying

karena memiliki pengalaman sebelumnya yang menjadi penggagas untuk

melakukan bullying karena pernah menjadi korban (Estévez et al., 2019; Jenkins

& Demaray, 2012; Roeleveld, 2011).

Seperti yang telah dijelaskan pada poin sebelumnya, korban bullying

mengalami kesulitan sekolah yang lebih besar dibanding teman-temannya yang

tidak terpapar bullying. Hal tersebut akan berdampak pada prestasi akademik yang

buruk. Hal tersebut sejalan dengan penelitian lain yang menyebutkan bahwa korban
37

bullying memandang sekolah sebagai tempat yang tidak aman dan berbahaya, yang

pada akhirnya membuat mereka malas untuk pergi ke sekolah (Syahruddin, 2019),

sehingga menyebabkan penurunan prestasi belajar mereka (Bulu et al., 2019).

Korban bullying biasanya memiliki nilai akademik yang rendah dan

memiliki semangat belajar yang menurun. Korban juga biasanya memiliki rasa

malas untuk pergi ke sekolah, menarik diri dari pergaulan, memiliki penyesuaian

sosial yang buruk dan sulit berkonsentrasi dalam mengerjakan tugas sehingga

berdampak pada pencapaian akademik di sekolah (Dwipayanti & Indrawati, 2014;

Krusell, Hohwü, Bjereld, Madsen, & Obel, 2019).

Remaja dalam aktivitasnya lebih banyak menghabiskan waktunya di

sekolah dan berinteraksi dengan teman sebayanya. Seorang remaja diharapkan

dapat mencapai prestasi belajar yang baik sebagai bukti dari keberhasilan mereka

dalam belajar dan membantu mereka menghadapi dunia persaingan di masa depan

(Dwipayanti & Indrawati, 2014). Remaja yang mengalami bullying di sekolah akan

merasa bahwa dirinya tidak bermakna karena cara orang lain memperlakukannya

dianggap tidak menghargai dirinya. Sementara di sisi lain remaja membutuhkan

pengakuan dari lingkungannya sebagai proses pembentukan konsep diri akademik

yang baik. Hal demikian dapat dikatakan bahwa konsep diri akademik yang

memburuk terjadi pada korban bullying karena lingkungan yang kurang

mendukung pembentukan konsep diri akademik tersebut. Konsep diri akademik

mencapai titik terendahnya pada masa remaja ketika mereka dihadapkan banyaknya

permasalahan seperti bullying dan cenderung stabil seiring bertambahnya usia

(Matovu, 2014).
38

Ketika remaja yang sedang melewati masa ‘penuh badai’ tersebut

dihadapkan dengan banyaknya tantangan seperti bullying, menyebabkan

pembentukan konsep diri akademik tidak dilalui dengan baik. Sementara konsep

diri akademik yang positif sangat dibutuhkan sebagai dasar untuk meningkatkan

prestasi di sekolah atau nilai akademik yang baik karena konsep diri akademik juga

berhubungan motivasi siswa dalam berprestasi di sekolah (Hariyadi & Darmuki,

2019; Prabadewi & Widiasavitri, 2014).

Oleh sebab itu konsep diri akademik positif memainkan peran penting

dalam aspek kehidupan seorang remaja. Remaja yang memiliki konsep diri

akademik positif dianggap mampu untuk mencapai prestasi akademik yang tinggi,

mampu bersosialisasi dengan baik sehingga memberikan identitas mereka di

masyarakat, mendapatkan peluang karier yang baik, dapat mengembangkan

kualitas kepemimpinan mereka serta mampu meningkatkan keterampilan hidup

mereka (Bharathi & Sreedevi, 2016). Berbeda apabila remaja tersebut memiliki

konsep diri akademik yang negatif, konsep diri akademik negatif pada masa remaja

telah dikaitkan dengan berbagai masalah perilaku dan emosi yang mal adaptif,

kesulitan dalam karier maupun dalam bermasyarakat, memandang buruk pada

semua situasi dan masih banyak lagi efek yang buruk apabila remaja memiliki

konsep diri akademik yang negatif (Bharathi & Sreedevi, 2016; Esnaola et al.,

2020).

2.4 Model Konsep Diri Song dan Hattie

Song dan Hattie membagi konsep diri umum ke dalam tiga konsep diri yang

berbeda. Model konsep diri Song dan Hattie didasarkan pada konsep diri menurut
39

Shavelson (1976) yaitu konsep diri berdiri secara multidimensi dan hierarki.

Konsep diri terdiri dari general self-concept berada di puncak kemudian terbagi ke

dalam tiga jenis konsep diri yakni academic self-concept dan non-academic self-

concept yang terbagi ke dalam social self-concept dan presentation self-concept.

Konsep diri sosial atau social self-concept merupakan konsep diri sosial yang

memiliki cakupan sosial yang sangat luas tidak hanya terpusat di lingkungan

sekolah. Begitupun dengan presentation of self , arah konsep diri tersebut

menggambarkan persepsi diri secara fisik yang cukup luas yakni terdiri dari lima

komponen, yaitu : citra diri, harga diri, ideal diri, identitas diri dan peran diri yang

semua itu merupakan variabel yang berbeda dan saling berhubungan.

Konsep diri akademik menurut Song dan Hattie juga didasarkan pada model

Shavelson et. al (1976), tetapi Song dan Hattie memodifikasi model tersebut dengan

menambahkan tiga aspek penting untuk mendukung model konsep diri

akademiknya, yaitu aspek academic, social dan self-regard/presentation of self.

Academic berhubungan dengan keyakinan seseorang terhadap akademiknya,

meliputi: achievement yaitu hasil pencapaian akademik aktual seseorang pada

waktu tertentu. Ability, yakni sejauh mana keyakinan seorang individu terhadap

kemampuannya dalam memperoleh prestasi dan classroom yaitu interaksi dengan

orang-orang yang berada dalam kelas yang dapat diukur dengan pernyataan seperti

“Saya bangga dengan pencapaian nilai saya di sekolah” atau “Saya pikir,

kemampuan akademik saya cukup untuk menghadapi tugas akademik di sekolah.”

Kemudian Song dan Hattie menambahkan aspek social dan self

regard/presentation of self. Social meliputi hubungan dan pengaruh keluarga dan


40

teman sebaya dalam terbentuknya konsep diri akademik yang dapat dilihat dari

pernyataan “Teman-teman sebaya dan berjenis kelamin sama senang berteman

dengan saya” atau “Saya dicintai oleh keluarga saya.” Kemudian self-

regard/presentation of self berhubungan dengan kepercayaan diri atau cara

pandang terhadap diri sendiri secara fisik berhubungan dengan pembentukan

konsep diri akademik seseorang yang dapat dilihat dari item pernyataan “Saya

seorang yang menarik” atau “Saya memiliki kepercayaan diri.” Berdasarkan uraian

tersebut model konsep diri akademik Song dan Hattie (1992), yang didasarkan pada

Model Shavelson et al (1976), akan digunakan dalam penelitian ini karena struktur

konsep diri akademik ini berhubungan dengan aspek-aspek yang menjadi

pendukung dalam pembentukan konsep diri akademik remaja serta model ini sesuai

dengan variabel yang akan diteliti dan aspek-aspek yang akan diteliti.

2.5 Alat Ukur Konsep Diri Akademik

Konsep diri akademik dapat diukur dengan beberapa instrumen menurut

para ahli, seperti model konsep diri akademik Song dan Hattie (1992 dalam Sriati

2010) dan model konsep diri akademik yang dikembangkan Reynold W.M (1988)

serta masih banyak lagi model yang lain. Namun peneliti akan menggunakan model

konsep diri akademik milik Song dan Hattie (dalam Hattie, 1992; Sriati 2010)

karena mencakup beberapa faktor yang memengaruhi konsep diri akademik pada

remaja yaitu hubungan dengan lingkungan sekitar atau orang-orang terdekat. Selain

hal tersebut, model konsep diri akademik milik Song dan Hattie dirancang khusus

untuk populasi remaja serta bentuk pertanyaan yang sederhana mudah dipahami

memudahkan remaja mengisi pertanyaan (Hattie, 1992). Oleh karena itu model
41

tersebut sesuai dengan populasi dalam penelitian ini. Berbeda dengan model konsep

diri akademik milik Reynold W.M (1998) yang khusus dirancang untuk mengukur

konsep diri akademik pada kalangan mahasiswa.

2.6 Peran Perawat Sekolah dalam Perilaku Bullying

Berdasarkan uraian sebelumnya cukup jelas bahwa perilaku bullying

memiliki dampak yang berpengaruh terhadap segala aspek kehidupan seorang

remaja terutama dalam segi psikologis. Sehingga penting bagi seorang perawat

sekolah ataupun perawat komunitas untuk mencegah dan menanggulangi perilaku

tersebut. Adapun peran perawat sekolah dalam hal ini masuk dalam upaya

kesehatan utama (primary health care) dengan fokus utamanya adalah promotif dan

preventif terkait pengendalian perilaku bullying serta mencegah terjadinya masalah

kesehatan (Stuart 2016 dalam Retnowuni & Yani, 2019).

Perawat sekolah berada dalam posisi yang sangat ideal untuk mengenali

perilaku tersebut di kalangan siswa karena perawat sekolah berpotensi membangun

hubungan dekat dengan mereka sehingga menjadi agen pertama dalam menangani

perilaku tersebut dan mencegah timbulnya perilaku yang buruk. Menurut

(Blakeslee et al., 2016), 50% dari 5.205 siswa di Amerika yang memiliki masalah

di lingkungan sekolahnya setelah bertemu dengan perawat sekolah cenderung lebih

baik dalam penyelesaian masalahnya karena saran-saran yang diberikan oleh

perawat sekolah. Temuan tersebut mendukung gagasan bahwa perawat sekolah

memiliki peranan penting dalam membantu siswa dengan mengenali masalah

mereka.
42

Peran perawat sekolah diantaranya adalah meningkatkan kesehatan para

siswa , mencegah timbulnya penyakit, membantu anak-anak dengan masalah

kenakalan remaja (bullying), emosional atau fisik di lingkungan sekolah dan

menciptakan lingkungan yang aman bagi siswa terbebas dari perilaku bullying

(Pigozi & Jones Bartoli, 2016). Fokus perawat sekolah dalam hal ini adalah sebagai

konselor dan educator yaitu membantu meningkatkan harga diri anak-anak dan

membantu anak yang di-bully. Terlepas dari hal itu, perawat sekolah dalam

memberikan pelayanannya bekerja sama dengan pihak sekolah, orang tua,

masyarakat dan juga para siswa di sekolah. Perawat sekolah diharapkan menjadi

pemimpin dalam memberikan perawatan dan mempromosikan lingkungan sekolah

yang aman, termasuk pengembangan rencana untuk pencegahan dan pengelolaan

perilaku bullying (Pigozi & Jones Bartoli, 2016).

Lebih lanjut (Wheeler, Ward, & Rebowe, 2018) menjelaskan bahwa

perawat sekolah merupakan elemen penting dalam pencegahan perilaku bullying.

Peran perawat sekolah mencakup upaya yaitu mencegah perilaku bullying,

mengidentifikasi siswa yang terkena bullying, mengidentifikasi pelaku bullying

atau kedua peran tersebut. Oleh karena itu seorang perawat sekolah harus memiliki

pengetahuan yang luas mengenai perilaku bullying. Adapun program pencegahan

bullying yang dapat dilakukan di sekolah menurut Bradshaw (2015 dalam Wheeler

et al., 2018) diantaranya :

Pertama, Multi-tired system of support atau sistem dukungan multi dimensi,

mencakup tiga tingkatan intervensi, a) kegiatan yang bersifat universal untuk semua

remaja yang ada di sekolah, b) intervensi selektif untuk kelompok remaja yang
43

berisiko terlibat dalam perilaku bullying, dan c) intervensi pencegahan dirancang

untuk remaja yang sudah terlibat dalam perilaku bullying. Ke dua, Multicomponent

program yaitu membahas berbagai aspek perilaku bullying dan lingkungan yang

mendukungnya, contohnya memeriksa peraturan sekolah, menggunakan teknik

pembelajaran sosial-emosional di kelas guna mendeteksi dan memberikan

konsekuensi untuk perilaku bullying. Ke tiga yaitu school-wide prevention

activities, yaitu program yang mencakup perbaikan iklim sekolah, memperkuat

pengawasan siswa dan memilki kebijakan anti bullying di sekolah. Ke empat,

Involving families and communities yakni program yang melibatkan keluarga

tentang bullying dan cara pencegahannya. Upaya terakhir yaitu mengembangkan

pendekatan konsisten dan jangka panjang di seluruh sekolah yang memperkuat

keterampilan sosial dan emosional, komunikasi dan pemecahan masalah pada

remaja.
3.BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

kuantitatif. Tujuannya yaitu untuk memberi gambaran konsep diri akademik remaja

korban bullying di SMP Negeri 4 dan MTs Negeri 3 Bandung Barat. Rancangan

penelitian yang digunakan adalah survei dimana peneliti akan mengumpulkan data

informasi dari tindakan seseorang, pengetahuan, pendapat, perilaku dan nilai.

Pengumpulan informasi pada penelitian ini dilakukan dengan cara penyebaran

kuesioner dan tidak ada intervensi (Masturoh & Anggita, 2018).

3.2 Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah suatu sifat atau nilai dari seseorang, objek atau

kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2016). Variabel dalam

penelitian merupakan variabel tunggal tanpa membuat hubungan atau perbandingan

dengan variabel lain. Variabel dalam penelitian ini adalah konsep diri akademik

remaja korban bullying.

3.3 Definisi Konseptual dan Operasional Penelitian

3.3.1 Definisi Konseptual

Konsep diri akademik menurut Shavelson (1976), didefinisikan sebagai

persepsi diri akademik seseorang atau persepsi seseorang tentang kemampuannya

di sekolah atau di bidang akademik (Hattie, 1992; Kadir & Yeung, 2016). Konsep

diri akademik memberikan gambaran mengenai kemampuan akademiknya yang

44
45

terbentuk beriringan dengan guru, media, masyarakat, budaya setempat dan teman

sebaya yang berperan penting dalam pembentukan konsep diri akademik seorang

remaja (Ebrahim Abd El Aziz Rady, 2017). Konsep diri akademik berperan penting

dalam perkembangan belajar siswa di sekolah dan kemauannya dalam berprestasi

(Permatasari et al., 2018).


46

3.3.2 Definisi Operasional

Tabel 3.1: Definisi Operasional

Variabel Hasil Ukur Dimensi/sub variabel Hasil Ukur Cara Ukur Skala

Konsep diri Konsep 1) Academic Dimensi Menggunakan Ordinal


akademik: diri Persepsi remaja korban bullying atas Academic: kuesioner konsep
Penilaian seseorang akademik: dirinya, dan keinginannya untuk mencapai Positif apabila skor diri milik (Sriati,
terhadap dirinya Positif prestasi di sekolah (Achievement). total ≥ 45 dan 2010), yang
yang dipengaruhi apabila skor Negatif apabila mengacu pada teori
lingkungan sekitar total ≥ 135 skor total < 45 model Song dan
mengenai dan Negatif Hattie (1992) terdiri
kemampuan apabila skor 2) Social Dimensi Social: dari 45 item
akademik pada total < 135 Persepsi remaja korban bullying tentang Positif apabila skor pernyataan dengan
remaja kelas 7-8 dirinya sendiri dalam proses berhubungan total ≥ 45 dan penilaian Selalu
usia 12-15 tahun dengan orang lain meliputi hubungan social Negatif apabila (SL) Sering (SR),
korban bullying di di lingkungan sekitarnya. skor total < 45 Kadang-Kadang
SMP Negeri 4 dan (KD), Jarang (JR)
MTs Negeri 3 dan Tidak Pernah
Bandung Barat, 2) Self regard/presentation of self Dimensi Self- (TP).
meliputi aspek: Persepsi remaja korban bullying tentang regard:
Academic, Social bagaimana dirinya membandingkan dirinya Positif apabila skor
dan Self- dengan orang lain yang meliputi total ≥ 45 dan
regard/presentation kepercayaan diri (confidence) dan secara Negatif apabila
of self fisik (physical) dalam pengaruhnya skor total < 45
terhadap pencapaian akademik.
47

3.4 Populasi dan Sampel Penelitian

3.4.1 Populasi

Populasi adalah wilayah secara umum yang terdiri dari objek atau subjek

memiliki karakteristik tertentu yang ditetapkan peneliti untuk dipelajari dan ditarik

kesimpulannya (Sugiyono, 2016). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh

siswa-siswi kelas 7 dan 8 SMP Negeri 4 dan MTs Negeri 3 Bandung Barat yang

telah teridentifikasi menjadi korban bullying dengan menggunakan kuesioner

gatehouse bullying scale (GBS) yang didapat dari central for disease control and

prevention (CDC).

3.4.2 Sampel

Teknik pengambilan sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu

dengan total sampling. Total sampling adalah suatu teknik penetapan dan

pengambilan sampel secara menyeluruh dari populasi. Sampel pada penelitian ini

adalah remaja korban bullying dari kelas 7 dan 8 di SMP Negeri 4 dan MTs Negeri

3 Bandung Barat.

3.5 Instrumen Penelitian, Validitas dan Reliabilitas Instrumen

3.5.1 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan oleh peneliti untuk

mengukur variabel penelitian (Sugiyono, 2016). Maka dari itu, untuk mendapatkan

data gambaran konsep diri akademik remaja korban bullying di SMP Negeri 4 dan

MTs Negeri 3 Bandung Barat, diperlukan instrumen yang tepat sebagai alat

pengumpulan data sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan peneliti.


48

Pada penelitian ini instrumen yang akan digunakan adalah kuesioner konsep

diri akademik milik dosen Keperawatan Jiwa Universitas Padjadjaran yakni ibu Aat

Sriati., S.Kp., M.Si (dalam Sriati, 2010) yang mengacu pada teori model konsep

diri akademik Song dan Hattie (1992) atau dikenal About Myself Song and Hattie

Test. Kuesioner ini terdiri dari 45 pernyataan yang digunakan untuk mengukur

konsep diri akademik seseorang meliputi aspek academic (15 item), social (15 item)

dan self regard/presentation of self (15 item).

Pernyataan-pernyataan tersebut ditulis dengan kalimat deklaratif sederhana.

Peneliti akan menggunakan kuesioner tersebut yang diisi secara centang atau daftar

centang, dimana daftar tersebut berisi pernyataan yang akan diamati dan responden

memberikan jawaban dengan memberikan centang atau tanda (v) sesuai dengan

hasil yang diinginkan (Sugiyono, 2016).

Tabel 3.2: Pembagian Aspek Pernyataan Konsep diri akademik

Variabel Sub Variabel No Pertanyaan Jumlah

Konsep diri Academic 5, 6, 9, 12, 14, 18, 21, 24, 15

akademik 25, 28, 30, 36, 37, 40, 41

Social 1, 7, 10, 11, 16, 17, 19, 20, 15

23, 26, 27, 29, 31, 34, 44

Self- 2, 3, 4, 8, 13, 15, 22, 32, 15

regard/Presentation 33, 35, 38, 39, 42, 43, 45

of self
49

Kuesioner ini menggunakan skala ordinal bentuk Likert yaitu digunakan

untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau kelompok mengenai

variabel yang diteliti (Sugiyono, 2016). Penilaian untuk pernyataan favourable

apabila jawaban Selalu (5), Sering (4), Kadang-Kadang (3), Jarang (2), Tidak

Pernah (1). Penilaian untuk pernyataan unfavourable jawaban Selalu (1), Sering

(2), Kadang-Kadang (3), Jarang (4), Tidak Pernah (5).

3.5.2 Uji Validitas dan Uji Reliabilitas Instrumen

Hasil uji validitas dan reliabilitas pada instrumen tersebut didapat dari tesis

Ibu Aat Sriati.,S.Kp., M.Si yakni Sriati (2010) yang berjudul “Pengaruh konsep diri

akademik dan motivasi berprestasi terhadap prestasi akademik remaja akhir”

dengan hasil yaitu pada rentang 0,339 – 0,761 yang berarti pernyataan-pernyataan

pada kuesioner tersebut valid dan dapat digunakan. Reliabilitas pada instrumen ini

menggunakan metode Alpha Cronbach dengan hasil koefisien reliabilitasnya lebih

dari atau sama dengan 0,700 yaitu 0,952 (reliabilitas sangat tinggi) sehingga

kuesioner ini dinyatakan reliabel dan dapat dipercaya.

3.6 Analisis Data

Annalisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data

univariate yang bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik setiap variabel

penelitian. Analisis data untuk mendapatkan gambaran konsep diri akademik

dengan menggunakan nilai rata-rata dari isian responden terkait variabel konsep diri

akademik. Berdasarkan skoring instrumen didapatkan hasil nilai terendah 45 dan

nilai tertinggi 225 sehingga hasil pengukuran konsep diri akademik responden

dikategorikan berdasarkan nilai tengah dengan rumus :


50

(𝑥𝑚𝑎𝑘 − 𝑥𝑚𝑖𝑛) 225 − 45


𝐿𝑘 = = = 90
𝑘 2

Keterangan :

Lk : Lebar Kelas xmin : Skor Minimal (45x1=45)

Xmak : Skor Maksimal (45x5=225) k : Jumlah Kelas

Kemungkinan nilai tengah untuk instrumen ini adalah (90 + 45 = 135).

Sehingga untuk melihat sebaran dikategorikan ke dalam 2 kelompok, yaitu :

o Nilai Skor KDA ≥ 135 = Konsep diri akademik Positif

o Nilai Skor KDA < 135 = Konsep diri akademik Negatif

Konsep diri mempunyai tiga dimensi yaitu dimensi yakni academic, social

dan self-regard masing-masing memiliki 15 pertanyaan dengan nilai terendah 15

dan tertinggi 75 sehingga nilai tengah dengan menggunakan rumus diatas, dari

masing-masing dimensi adalah 45. Sehingga untuk semua dimensi jika nilai skor ≥

45 Positif dan < 45 Negatif.

Kemudian untuk mengetahui persentase tiap kategori di dalam variabel ini,

maka digunakan perhitungan distribusi frekuensi dengan rumus persentase, yaitu :

𝑓
𝑃 = 𝑥 100%
𝑛
Keterangan :

P : Persentase responden

f : Jumlah responden yang termasuk ke dalam kriteria tertentu

n : Jumlah seluruh responden


51

3.7 Etika Penelitian

Peneliti melakukan proses penelitian dengan menekankan prinsip-prinsip

etik penelitian dalam penelitian ini. Prinsip-prinsip etik penelitian menempatkan

manusia sebagai subjek meliputi: Prinsip manfaat, menghargai hak asasi manusia

dan prinsip keadilan (Nursalam, 2015).

3.7.1 Prinsip Manfaat (Beneficence)

Segala sesuatu dalam penelitian ini mengandung prinsip kebaikan.

Penelitian harus dilaksanakan tanpa mengakibatkan penderitaan kepada subjek,

informasi yang didapatkan dari responden dijamin tidak akan digunakan untuk

merugikan responden, serta menjaga kerahasiaan informasi responden. Peneliti

berusaha memaksimalkan penelitian agar bermanfaat untuk berbagai pihak serta

tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan responden. Penelitian ini tidak

memberikan manfaat secara langsung pada responden. Akan tetapi, setelah

teridentifikasi masalah konsep diri akademik pada remaja korban bullying,

penelitian ini berguna sebagai dasar untuk menentukan upaya preventif dan

promotif oleh pihak sekolah.

3.7.2 Prinsip Menghargai Hak Asasi Manusia (Respect Human Dignity)

Responden memiliki hak untuk ikut/tidak menjadi responden dalam

penelitian ini (right self-determination/autonomy) tanpa adanya sanksi apapun.

Responden juga memiliki hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang

diberikan dimana peneliti harus menjelaskan secara rinci serta bertanggung jawab

jika ada sesuatu yang terjadi kepada responden.


52

3.7.3 Prinsip Keadilan (Justice)

Setiap responden memiliki hak untuk mendapatkan perlakukan yang sama

tanpa membeda-bedakan dengan responden lainnya sebelum, selama, dan sesudah

penelitian dilakukan. Penelitian ini juga tidak mengganggu hak pribadi responden

yang memiliki hak untuk meminta kerahasiaan data (right to privacy).

3.8 Prosedur Penelitian dan Pengumpulan Data

3.8.1 Prosedur Penelitian

Tahap persiapan, peneliti mulai menentukan bidang keperawatan yang

diminati, mencari fenomena serta sumber literatur dan menentukan topik penelitian

yang kemudian diskusikan dengan dosen pembimbing. Setelah itu, peneliti

melakukan survei terhadap penelitian sebelumnya sebagai data awal, menentukan

instrumen yang akan digunakan dan menyusun proposal penelitian mulai dari bab

satu sampai bab tiga, melakukan seminar usulan penelitian, memperbaiki proposal

penelitian sesuai masukan saat seminar proposal, mengurus etik penelitian

kemudian meminta izin penelitian ke Sekolah SMP Negeri 4 dan MTs Negeri 3

Bandung Barat.

Tahap pelaksanaan, peneliti melakukan koordinasi penelitian dengan pihak

sekolah. Selanjutnya, peneliti akan melaksanakan penelitian di kelas 7 dan 8 SMP

Negeri 4 dan MTs Negeri 3 Bandung Barat. Kemudian peneliti membagikan lembar

kuesioner kepada para siswa-siswi di sekolah tersebut yang menjadi responden

penelitian dan melakukan pengumpulan data melalui kuesioner tersebut yang

dilaksanakan mulai bulan Maret 2020 sampai dengan April 2020. Setelah semua

data terkumpul, data diolah dan dianalisis untuk menarik kesimpulan penelitian
53

dalam melihat gambaran konsep diri akademik pada remaja korban bullying di

SMP Negeri 4 dan MTs Negeri 3 Bandung Barat.

Tahap akhir pada penelitian ini adalah penyusunan laporan penelitian

berdasarkan data yang didapatkan dan menyimpulkan hasil penelitian. Setelah itu,

peneliti menyajikan data penelitian dalam bentuk laporan hasil penelitian. Setelah

disetujui oleh dosen pembimbing, peneliti akan melaksanakan sidang skripsi.

Kemudian peneliti memperbaiki skripsi dan mendokumentasikan hasil

penelitiannya.

3.8.2 Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan suatu kegiatan penelitian dalam

mengumpulkan data. Proses pengumpulan data akan dilakukan dalam kurun waktu

satu bulan di sekolah SMP Negeri 4 dan MTs Negeri 3 Bandung Barat dengan

menggunakan kuesioner. Sebelum pengumpulan data dilakukan, peneliti akan

menghubungi pihak sekolah khususnya kepala sekolah atau kesiswaan/guru BK

serta mendampingi dalam pengambilan data. Kemudian pengumpulan data dimulai

dengan memperkenalkan identitas diri peneliti kepada responden, kemudian

peneliti memberi tahu tujuan, manfaat, prosedur pengumpulan data dan

menjelaskan konsekuensinya menjadi responden dalam penelitian ini.

Setelah memberikan penjelasan, peneliti melakukan informed consent

dengan meminta kesediaan responden untuk ikut serta dalam penelitian ini dan

mengisi lembar persetujuan menjadi responden. Siswa yang sudah mengisi dan

bersedia menjadi responden kemudian mengisi kuesioner screening bullying GBS

dan kuesioner konsep diri akademik dengan didampingi oleh peneliti sehingga
54

apabila terdapat pertanyaan yang kurang dimengerti oleh responden dapat langsung

ditanyakan kepada peneliti. Kemudian kuesioner dikumpulkan pada hari yang

sama.

3.9 Waktu dan Lokasi

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan di Sekolah SMP

Negeri 4 dan MTs Negeri 3 Bandung Barat. Waktu penelitian ini dimulai pada bulan

Maret 2020 hingga bulan April 2020.

Anda mungkin juga menyukai