TINJAUAN PUSTAKA
Stunting pada balita merupakan masalah gizi kronik yang disebabkan oleh
banyak faktor diantaranya kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil,
kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Pada masa akan
datangbalita stunting akan mengalami kesulitan mencapai perkembangan
fisik dan kognitif yang optimal.
2. Tanda stanting
Stunting adalah tinggi badan yang kurang menurut umur (<- 2SD),ditandai
dengan terlambatnya pertumbuhan anak yang mengakibatkan kegagalan
dalam mencapai tinggi badan yang normal dan sehat sesuai usia anak.
Stunting merupakan kekurangan gizi kronis atau kegagalan pertumbuhan
dimasa lalu dan digunakan sebagai indikator jangka panjang untuk gizi
kurang pada anak.Stunting dapat didiagnosis melalui indeks antropometrik
tinggi badan menurut umur yang mencerminkan pertumbuhan linier yang
dicapai pada pra dan pasca persalinan dengan indikasi kekurangan gizi
jangka panjang, akibat dari gizi yang tidak memadai dan atau kesehatan.
Stunting merupakan pertumbuhan linier yang gagal untuk mencapai
potensi genetik sebagai akibat dari pola makan yang buruk dan
penyakit.Stunting yang terjadi pada masa anak merupakan faktor risiko
meningkatnya angka kematian, kemampuan kognitif dan perkembangan
motik yang rendah serta fungi tubuh yang tidak seimbang.
3. Penyebab Stunting
Pada masa ini merupakan proses terjadinya stunting pada anak dan
peluang peningkatan Stunting terjadi dalam 2 tahun pertama kehidupan.
Faktor gizi ibu sebelum dan selama kahamilan merupakan penyebab tidak
langsung yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan
perkembangan janin. Ibu hamil dengan gizi kurang akan menyebabkan
janin mengalami intrauterine growth retardation (TUGR), sehingga bayi
akan lahir dengan kurang gizi, dan mengalami gangguan pertumbuhan dan
perkembangan. Anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan
di sebabkan kurangnya asupan makanan yang memadai dan penyakit
infeksi yang berulang, dan meningkatkan kebutuhan metabolik serta
mengurangi nafsu makan, sehingga meningkatkan kekurangan gizi pada
anak. Keadaan ini semakin mempersulit untuk mengatasi gangguan
pertumbuhan yang akhirnya berpeluang terjadinya stunting (Depkes, 2011;
E-book 2019). Gizi buruk kronis (stunting) tidak hanya disebabkan oleh
satu faktor saja seperti yang telah dijelaskan di atas, tetapi disebabkan oleh
banyak faktor, dimana faktor-faktor tersebut saling berhubungan satu sama
lainnya.
Berat bayi lahir rendah mempunyai risiko untuk menjadi gizi kurang 8-
10 kali lebih besar dibandingkan dengan bayi yang mempunyai berat
lahir normal. Risiko meninggal pada tahun pertama kehidupannya 17
kali lebih tinggi dibanding dengan bayi yang mempunyai berat lahir
normal (Depkes RI, 2002; Nugroho Muhammad Rido 2021).
Klasifikasi berat lahir terbagi menjadi dua yaitu berat lahir <2500 gram
yang disebut berat badan lahur rendah (BBLR), berat lahir ≥ 2500 gram
yang disebut berat badan lahir normal. Pada penelitian Setiawan dkk
(2018) diketahui berat badan lahir berhubungan dengan kejadian
stunting pada anak usia 24-59 bulan.
3. Tingkat Pendapatan
Keluarga Status ekonomi rendah dianggap memiliki pengaruh yang
dominan terhadap kejadian kurus dan pendek pada anak. Anak pada
keluarga dengan status ekonomi rendah cenderung mengkonsumsi
makanan dalam segi kuantitas, kualitas, serta variasi yang kurang.
Status ekonomi yang tinggi membuat seseorang memilih dan membeli
makanan yang bergizi dan bervariasi.
Pada penelitian Setiawan dkk., (2018) diketahui tingkat pendapatan
keluarga berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 24-59
bulan. Pada penelitian Aini et al., (2018) juga diketahui bahwa variabel
tingkat pendapatan keluarga berhubungan dengan kejadian stunting
pada anak usia 24-59 bulan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Nugraheningtyasari dkk., (2018)terdapat hubungan yang signifikan
antara status gizi anak dengan tingkat pendapatan keluarga, tingkat
pendidikan ibu, tingkat konsumsi energi & protein, dan riwayat
pemberian ASI eksklusif.
4. Pola asuh
Pada penelitian Widyaningsih dkk., (2018) Pola asuh yang kurang
dalam penelitian ini adalah pada indikator praktek pemberian makan.
Ibu yang memiliki anak stunting memiliki kebiasaan menunda ketika
memberikan makan kepada balita. Selain itu, ibu memberikan makan
kepada balita tanpa memperhatikan kebutuhan zat gizinya. Kondisi ini
menyebabkan asupan makan balita menjadi kurang baik dari segi
kualitas maupun kuantitasnya sehingga balita rawan mengalami
stunting.
5. Keragaman Pangan
Keragaman pangan merupakan salah satu masalah gizi utama di negara-
negara berkembang seperti Indonesia. Pada Negara berkembang
mayoritas asupan makanannya didominasi oleh makanan sumber kalori
dan kurangnya asupan makanan hewani, buahbuahan, sayur-sayuran
(Ochola S, 2016). Keragaman pangan merupakan gambaran dari
kualitas makanan yang dikonsumsi oleh balita (Widyaningsih dkk,
2018). Asupan zat besi yang diperoleh dari makanan apabila jumlahnya
berlebihan maka akan disimpan dalam otot dan sumsum tulang
belakang. Jika kecukupan zat besi tidak memadai maka zat besi yang
disimpan dalam tulang belakang digunakan untuk memproduksi
hemoglobin menurun. Jika kondisi ini berlangsung secara terus menerus
maka akan mengakibatkan anemia besi dan menurunkan kekebalan
tubuh, sehingga mudah terserang penyakit infeksi yang dalam jangka
panjang akan berdampak pada pertumbuhan liner balita (Dewi E, 2017).
Pada penelitian Widyaningsih dkk., (2018) diketahui bahwa keragaman
pangan berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 24-59
bulan.
2.2 Perilaku
1. Pengertian perilaku
Psikologi memandang perilaku manusia (human behavior) sebagai reaksi
yang bersifat sederhana maupun bersifat kompleks. Perilaku manusia
adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapet diamati
langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar.
Skiner menyatakan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi
seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku kesehatan
adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang, baik yang dapat diamati
maupun yang tidak dapat diamati, yang bekaitan dengan pemeliharaan dan
peningkatan kesehatan.
Perilaku dipengaruhi oleh pembelajaran, yang merupakan perubahan dari
pengetahuan, keahlian, kepercayaan, dan sikap. Faktor lain yang juga
mempengaruhi perilaku antaralain mediator. Mediator ialah faktor yang
memfasilitasi atau membantu peruahan perilaku seseorang. Mediator dapat
berupa motivasi, kecenderungan untuk berubah, perilaku orang lain
(dukungan sosial dan norma sosial) yang dipengaruhi oleh pengalaman
terdahulu (kejadian traumatik, keluarga, sekolah, dan pengalaman di
lingkungan sosial) serta keadaan sekitar berupa usia, jenis kelamin,
kepribadian, pendapatan, ras, tempat tinggal, dan komposisi keluarga/
jumlah anak.
a. Jenis-jenis perilaku
Perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance)
Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau
menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan
bila sakit. Oleh karena itu, perilaku pemeliharaan kesehatan ini
terdiri dari 3 aspek, yaitu:
a. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila
sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari
penyakit.
b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam
keadaan sehat. Perlu dijelaskan di sini, bahwa kesehatan itu
sangat dinamis dan relatif, maka dari itu orang yang sehatpun
perlu diupayakan supaya mencapai ingkat kesehatan yang
seoptimal mungkin.
c. Perilaku gizi (makanan dan minuman). Makanan dan minuman
dapat mmelihara serta meningkatkan kesehatan seseorang,
tetapi sebaliknya makanan dan minuman dapa menjadi
penyebab menurunnya kesehatan seseorang, bahkan dapat
mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung pada
perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut.
d. Perilaku pencairan dan penggunan sistem atas fasilitas
pelayanan kesehatan, atau sering disebut perilaku pencairan
pengobatan (health seeking behavior). Perilaku ini adalah
menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat
menderita penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan atau
perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri (self treatment)
sampai mencari pengobatan ke luar negeri.
e. Perilaku kesehatan lingkungan. Bagaimana seseorang
merespons lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial
budaya, dan sebagainya sehingga lingkungan tersebut tidak
mempengaruhi kesehatannya. Dengan perkataan lain,
bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak
mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga, atau
masyaraktnya. Misalnya bagaimana mengelola pembuangan
tinja, air minum, tempat pembuangan sampah, pembuangan
limbah, dan sebagainya.
3. Pengukuran perilaku
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan
wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam,
hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara
langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.
2.3 Pengetahuan
1. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu
seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung,
dan sebagainya). Pengetahuan didefinisikan sebagai kecerdasan
intelektual dengan fakta, kebenaran-kebenaran,dan dasar/ prinsip melalui
pengalaman, laporan/ kabar, dan penglihatan.
2. Tingkat Pengetahuan
Secara garis besar pengetahuan dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan,
yaitu:
1. Tahu (know)
Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah
ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu.
2. Memahami (comprehension)
Memahami suatu objek bukan sekadar tahu terhadap objek tersebut,
tetapi orang tersebut harus dapat mengintrepretasikan secara benar
tentang objek diketahui tersebut.
3. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang
dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang
diketahui tersebut pada situasi yang lain.
4. Analisis (analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan/atau
memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-
komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang
diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai
pada tingkat analisis adalah apabila orang tersebut telah dapat
membedakan, atau memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram
(bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum
atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-
komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, sintesis adlah
suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-
formulasi yang telah ada.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu.
2.4 Sikap
1. Pengertian Sikap
Sikap adalah kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan
merupakan pelaksanaan motif tertentu. Dalam kata lain, fungsi sikap
belum merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi
merupakan predisposisi perilaku (tindakan) atau reaksi tertutup. Sikap
merupakan respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek
tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang
bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik,
dan sebagainya). Sikap merupakan sindroma atau kumpulan gejala dalam
merespons stimulus atau objek, sehingga sikap itu melibatkan pikiran,
perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaaan yang lain.
Sikap didefinisikan sebagai suatu pola perilaku, terdensi atau kesiapan
antsipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau
secara sederhana sikap adalah respons terhadap stimuli sosial yang telah
terkondisikan. Sikap adalah cara/ gaya, kecendereungan, perasaan dalam
merespon sesuatu hal.
2. Tingkatan sikap
Sikap terdiri dari beberapa tingkatan, yakni:
a. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek).
b. Merespon (responding)
Memberi jawaban ketika ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan
tugas yang diberikan merupakan indikasi dari sikap. Karena dengan
suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas
yang diberikan terlepas dari pekerjaan itu salah atau benar, adalah
berarti bahwa orang menerima ide (pikiran) tersebut.
c. Menghargai (valueing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan.
d. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah
dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang
paling baik. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara
langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat
ditanyakan bagaimana pendapat responden terhadap
suatu objek.
e. Praktek atau tindakan (proactive)
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu
tindakan, untuk mewujudkan sikap menjadi suatu
perbuatan nyata dipelukan faktor pendukung atau suatu
kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah
fasilitas. Disamping faktor fasilitas, juga diperlukan
faktor dukungan dari pihak lain.
3. Komponen sikap
Sikap terbentuk dari bermacam-macam komponen yang membentuk
struktur sikap. Pada umumnya, sikap mengandung 3 komponen dasar,
antara lain :
1. Komponen kognitif atau komponen perceptual
Komponen tersebut berkaitan dengan pengetahuan, pandangan,
keyakinan (terkait dengan perhal bagaimana orang mempersepsi objek
sikap).
2. Komponen afektif atau komponen emosional
Kompoen tersebut berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang
terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal yang positif,
sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang negatif. Komponen
ini menunjukkan arah sikap, yang positif atau negatif.
3. Komponen konatif atau komponen perilaku (action component)
Komponen tersebut berkaitan dengan kecenderungan untuk berperilaku
terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas skap,
yaiu menunjukan besar-kecilnya kecenderungan bertindak atau
berpeilaku seseorang terhadap objek sikap.
Salah satu aspek yang sangat penting guna memahami sikap manusia
adalah masalah pengungkapan (assesment) atau pengukuran
(measurement) sikap. Berbagai teknik dan metode telah dikembangkan
oleh para ahli guna mengungkap sikap manusia dan memberikan
interetasi yang valid. Beberapa metode pengungkapan sikap yag secara
historik telah dilakukan adalah :
1. Observasi perilaku
Sikap dapat ditafsirkan dari betuk perilaku yang tampak. Sikap
seseorang terhadap sesuatu dapat dilihat berdasarkan perilakunya,
sebab perilaku merupakan salah satu indikator sikap individu.
Perilaku yang diamati mungkin saja dapat menjadi indikator sikap
dalam konteks situasional tertentu akan tetapi interpretasi sikap harus
sangat hati-hati apabila hanya didasarkan dari pengamatan terhadap
perilaku yang ditampakkan oleh seseorang.
2. Bertanya langsung
Asumsi yang mendasari metode bertanya langsung guna mengungkap
sikap, pertama adalah asumsi bahwa individu merupakan orang yang
paling tahu mengenai dirinya sendiri dan kedua adalah asumsi
keterusterangan bahwa manusia akan mengemukakan secara terbuka
apa yang dirasakannya.
Cara pengungkapan sikap dengan penanyaan langsung mempunyai
keterbatasan dan kelemahan yang mendasar. Metode ini akan
menghasilkan ukuran yang valid hanya apabila situasi dan kondisinya
memungkinkan kebebasan berpendapat tanpa tekanan psikologis
maupun fisik.
3. Pengungkapan langsung
Suatu versi metode penanyaan langsung adalah pengungkapan
langsung (dirrect assesment) secara tertulis yang dapat dilakukan
dengan menggunakan item tunggal maupun dengan menggunakan item
ganda. Salah satu bentuk pengungkapan langsung menggunakan item
ganda adalah teknik diferensiasi semantik. Teknik diferensiasi
semantik dirancang untuk mengungkapkan efek atau perasaan yang
berkaitan dengan suatu objek sikap.
4. Skala sikap
Metode pengungkapan sikap dalam bentuk self-report yang hingga
kini dianggap sebagai paling dapat diandalkan adalah dengan
menggunakan daftar daftar pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab
oleh individu yang disebut sebagai skala sikap. Skala sikap (attitude
scales) berupa kumpulan pertanyaan- pertanyaan mengenai suatu
objek sikap. Dari respon subjek pada setiap pertanyaan itu kemudian
dapat disimpulkan mengenai arah dan intensitas sikap seseorang.
5. Pengukuran terselubung
2. Tujuan
Tujuan pemberian pendidikan kesehatan adalah tercapainya perubahan
perilaku individu, keluarga dan masyarakat dalam membina dan
memelihara perilaku sehat dan lingkungan sehat, serta berperan aktif
dalam upaya mewujudkan dearajat kesehatan yang optimal (Notoatmodjo,
2007, disitasi oleh Akhzul Razak Apilaya, 2016). Selain itu pendidikan
kesehatan juga bertujuan untuk agar orang melakukan langkah-langkah
positif dalam mencegah terjadinya sakit, mencegah berkembangnya sakit
menjadi parah dan mencegah penyakit menular serta membudayakan
perilaku hidup bersih dan sehat bagi pribadi, keluarga dan masyarakat
umum sehingga dapat memberikan dampak yang bermakna terhadap
derajat kesehatan masyarakat salah satunya akan berdampak pada
penurunan tingkat kecemasan. Hal ini juga sejalan dengan penelitian dari
Pina Dewi Wulansari (2018) bahwa terdapat pengaruh pendidikan
kesehatan terhadap tingkat kecemasan.
3. Sasaran pendidikan kesehatan
Menurut Notoatmodjo (2003) sasaran pendidikan kesehatan dibagi dalam
3 (tiga) kelompok, yaitu :
a. Sasaran primer (Primary Target) Masyarakat pada umumnya menjadi
sasaran langsung segala upaya pendidikan atau promosi kesehatan.
Sesuai dengan permasalahan kesehatan, maka sasaran ini dapat
dikelompokkan menjadi, kepala keluarga untuk masalah kesehatan
umum, ibu hamil dan menyusui untuk masalah KIA (Kesehatan Ibu dan
Anak), anak sekolah untuk kesehatan remaja, dan juga sebagainya.
b. Sasaran sekunder (Secondary Target) Yang termasuk dalam sasaran ini
adalah para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, dan
sebagainya. Disebut sasaran sekunder, karena dengan memberikan
pendidikan kesehatan kepada kelompok ini diharapkan untuk nantinya
kelompok ini akan memberikan pendidikan kesehatan kepada
masyarakat di sekitarnya.
c. Sasaran tersier (Tertiary Target) Para pembuat keputusan atau penentu
kebijakan baik di tingkat pusat, maupun daerah. Dengan kebijakan-
kebijakan atau keputusan yang dikeluarkan oleh kelompok ini akan
mempunyai dampak langsung terhadap perilaku tokoh masyarakat dan
kepada masyarakat umum.