Disusun Oleh:
Kelompok 2
Kelas 3A 2019
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang. Puja
dan puji syukur kami panjatkan atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Stigma Pada ODHA
Dan Aspek Psiko, Sosio, Kultural Serta Spiritual Klien HIV/AIDS” dengan tepat waktu. Kami
mengucapkan terimakasih juga kepada Ibu Rika selaku dosen pengampu mata kuliah
Keperawatan HIV AIDS yang telah memberikan tugas dan membimbing kami.
Dengan adanya makalah ini semoga dapat membantu dalam proses pembelajaran kita,
khususnya mahasiswa program studi ilmu keperawatan agar mampu memahami tentang stigma
pada ODHA dan aspek psiko, sosio, kultural serta spiritual klien HIV/AIDS. Semoga para
pembaca bisa mendapatkan ilmu pengetahuan, pemahaman, dan wawasan baru sebagaimana
mestinya untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi sistematika penyusunan, bahasa, maupun aspek lainnya. Oleh karena
itu, kami menerima saran dan kritik dari para pembaca demi memperbaiki makalah ini di masa
yang akan datang. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya
dan bagi pembaca pada umumnya.
Kelompok 2
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
2. Bagaimana Aspek Psiko, Sosio, Kultural dan Spiritual pada Klien dengan HIV/AIDS?
1.2 Tujuan
1.4 Manfaat
Dengan adanya penulis makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan
dan pengembangan ilmu tentang Stigma dan Aspek - aspek yang mempengaruhi pada pasien
dengan HIV/AIDS.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Defenisi
Salah satu hambatan paling besar dalam pencegahan dan penanggulangan Human
Imunnodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) di Indonesia
adalah masih tingginya stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Stigma terhadap ODHA adalah suatu sifat yang menghubungkan seseorang yang terinfeksi HIV
dengan nilai-nilai negatif yang diberikan oleh mereka (masyarakat). Stigma membuat ODHA
diperlakukan secara berbeda dengan orang lain. Diskriminasi terkait HIV adalah suatu tindakan
yang tidak adil pada seseorang yang secara nyata atau diduga mengidap HIV.
Stigma berasal dari pikiran seorang individu atau masyarakat yang memercayai bahwa
penyakit AIDS merupakan akibat dari perilaku amoral yang tidak dapatditerima oleh masyarakat.
Stigma terhadap ODHA tergambar dalam sikap sinis, perasaan ketakutan yang berlebihan, dan
pengalaman negatif terhadap ODHA. Banyak yang beranggapan bahwa orang yang terinfeksi
HIV/AIDS layak mendapatkan hukuman akibat perbuatannya sendiri. Mereka juga beranggapan
bahwa ODHA adalah orang yang bertanggung jawab terhadap penularan HIV/AIDS.
Stigma merupakan atribut, perilaku atau reputasi sosial yang mendiskreditkan dengan
cara tertentu. Stigma HIV juga merupakan prasangka yang muncul dengan melabeli seseorang
sebagai bagian dari kelompok itu yang diyakini secara sosial tidak dapat diterima. Stigma
berbeda dengan diskriminasi yang memiliki arti perilaku yang sebenarnya. Diskriminasi berarti
memperlakukan satu orang berbeda dari yang lain dengan cara seperti itu tidak adil. Misalnya,
memperlakukan satu orang lebih sedikit hanya karena dia memiliki HIV.
Dampak Stigma
Stigma menyebabkan orang dengan infeksi HIV menerima perlakuan yang tidak adil,
diskriminasi, dan stigma karena penyakit yang diderita. Isolasi sosial, penyebarluasan status HIV
dan penolakan dalam berbagai lingkup kegiatan kemasyarakatan seperti dunia pendidikan, dunia
kerja, dan layanan kesehatan merupakan bentuk stigma yang banyak terjadi. Tingginya
penolakan masyarakat dan lingkungan akan kehadiran orang yang terinfeksi HIV/AIDS
menyebabkan sebagian ODHA harus hidup dengan menyembunyikan status.
Stigma terhadap ODHA memiliki dampak yang besar bagi program pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS termasuk kualitas hidup ODHA. Populasi berisiko akan merasa
takut untuk melakukan tes HIV karena apabila terungkap hasilnya reaktif akan menyebabkan
mereka dikucilkan. Orang dengan HIV positif merasa takut mengungkapkan status HIV dan
memutuskan menunda untuk berobat apabila menderita sakit, yang akan berdampak pada
semakin menurunnya tingkat kesehatan mereka dan penularan HIV tidak dapat dikontrol.
Dampak stigma dan diskriminasi pada perempuan ODHA yang hamil akan lebih besar ketika
mereka tidak mau berobat untuk mencegah penularan ke bayinya.
1) Pengetahuan
3) Persepsi
Persepsi terhadap seseorang yang berbeda dari orang lain dapat mempengaruhi
perilaku dan sikap terhadap orang tersebut. Stigma bisa berhubungan dengan persepsi
seperti rasa malu dan menyalahkan orang yang memiliki penyakit seperti HIV. Persepsi
masyarakat terhadap ODHA memiliki pengaruh terhadap sikap dan perilaku memberikan
stigma. Demikian juga persepsi terhadap penderita AIDS akan sangat memengaruhi cara
orang tersebut bersikap dan berperilaku terhadap ODHA.
Selain keluarga, tokoh masyarakat merupakan salah satu faktor lingkungan sosial
memiliki peranan penting terjadinya stigma terhadap ODHA. Apabila seorang tokoh
masyarakat memberikan stigma terhadap ODHA, masyarakat di sekitarnya memiliki
kemungkinan juga akan terpengaruh untuk melakukan hal yang sama. Reaksi masyarakat
terhadap ODHA memiliki efek besar pada ODHA. Apabila reaksi masyarakat
bermusuhan, seorang penderita HIV dapat merasakan adanya diskriminasi dan
kemungkinan dapat meninggalkan rumah atau menghindari aktivitas sehari–hari seperti
berbelanja, bersekolah, dan bersosialisasi dengan masyarakat.
5) Kepatuhan Agama
6) Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi munculnya
stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Mahendra pada tahun 2006 menyatakan bahwa
jenis tenaga kesehatan sesuai dengan latar belakang pendidikannya mempengaruhi skor
stigma dan diskriminasi terhadap ODHA.
7) Lama Bekerja
Lama kerja atau lama tugas seorang tenaga kesehatan untuk melakukan jenis
pekerjaan tertentu dinyatakan dalam lamanya waktu dalam melaksanakan tugas tersebut.
Pengembangan erilaku dan sikap tenaga kesehatan dalam pengambilan keputusan dan
perilaku pelayanan kesehatan dibutuhkan pengalaman kerja sehingga dapat menimbulkan
kepercayaan diri yang tinggi.
8) Umur
Umur secara alamiah mempunyai pengaruh terhadap kinerja fisik dan perilaku
seseorang. Bertambahnya umur seseorang mempengaruhi proses terbentuknya motivasi
sehingga faktor umur diperkirakan berpengaruh terhadap kinerja dan perilaku seseorang.
9) Pelatihan
Sebuah intervensi pelatihan yang diberikan kepada dokter gigi menghasilkan
peningkatan pengetahuan tentang HIV/AIDS dan meningkatkan keinginan petugas untuk
memberikan pelayanan kesehatan.
Pelatihan kepada tenaga kesehatan tentang HIV/AIDS menghasilkan tidak hanya
peningkatan pengetahuan tentang HIV/AIDS tetapi juga peningkatan sikap yang lebih
baik terhadap ODHA.
10) Jenis Kelamin
Gibson menyatakan bahwa jenis kelamin merupakan salah satu variabel individu
yang dapat mempengaruhi kinerja. Penelitian tentang kinerja di rumah sakit dan klinik di
Amerika Serikat menemukan bahwa dokter wanita kurang melakukan konsultasi dan
menghabiskan waktu lebih sedikit dalam melakukan praktek dan kontak langsung dengan
pasiendaripada dokter pria.
11) Dukungan Institusi
Faktor kelembagaan atau institusi pelayanan kesehatan seperti rumah sakit,
puskesmas dan klinik mempengaruhi adanya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA,
antara lain hal-hal yang terkait penetapan kebijakan, SOP (Standart Operational
Procedure), penyediaan sarana, fasilitas, bahan dan alat-alat perlindungan diridalam
penanganan pasien HIV/AIDS. Studi tentang pengaruh faktor lembaga atau institusi
memang masih jarang dilakukan padahal sebenarnya hal ini sangat penting untuk
mengintervensi secara legal terhadap adanya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA
oleh petugas kesehatan (Li liet al, 2007)
1) Menjauhi ODHA atau tidak meginginkan untuk menggunakan peralatan yang sama.
Barang yang disentuh ODHA langsung dibersihkan
2) Penolakan oleh keluarga, teman atau masyarakat terhadap ODHA. Dalam keluarga
ODHA selalu menyendiri dan mengurung diri, dicemooh oleh anggota keluarganya dan
bahkan sampai mereka mendapat tindakan kekerasan oleh pasangan hidup mereka.
Dalam masyarakat ODHA dikucilkan, dicemooh, ditolak oleh orang-orang dilingkungan
tempat mereka tinggal. ODHA tidak diterima ditempat kerja, di rumah sakit mereka
diperlakukan secara spesifik, diberi kode-kode khusus.
3) Peradilan moral berupa sikap yang menyalahkan ODHA karena penyakitnya dan
menganggapnya sebagai orang yang tidak bermoral.
4) Stigma terhadap orang-orang yang terkait dengan ODHA, misalnya keluarga dan
teman dekatnya.
5) Keengganan untuk melibatkan ODHA dalam suatu kelompok atau organisasi. ODHA
tidak boleh ikut rapat di RT,RW, Lurah, Camat, dan rumah ibadat
6) Diskriminasi yaitu penghilangan kesempatan untuk ODHA seperti ditolak bekerja,
penolakan dalam pelayanan kesehatan bahkan perlakuan yang berbeda pada ODHA oleh
petugas kesehatan.
7) Pelecehan terhadap ODHA baik lisan maupun fisik. Stigma juga diterima ODHA
pecandu narkoba suntik dari pelayanan kesehatan dan panti rehabilitasi pecandu narkoba.
Stigma yang diterima berupa kata-kata dan tindakan yang merendahkan, perlakuan kasar,
disamakan dengan pasien gangguan mental, dan pendapat yang tidak dipercaya.
8) Pelanggaran hak asasi manusia, seperti pembukaan status HIV seseorang pada orang
lain tanpa seijin penderita, dan melakukan tes HIV tanpa adanya informed consent.
9) Pengorbanan, misalnya anak-anak yang terinfeksi HIV atau anak-anak yang orang
tuanya meninggal karena AIDS.
2) Self Stigma
Masalah utama yang menjadi stigma dalam diri ODHA adalah ketakutan.
Ketakutan menimbulkan resistansi terhadap tes HIV, rasa malu untuk memulai
pengobatan, dan dalam beberapa hal, keengganan untuk menerima pendidikan tentang
HIV. Self stigma menyebabkan ODHA ketakutan untuk memulai pengobatan karena
takut tidak konsisten mengkonsumsi obat. Ketakutan lainnya adalah penerimaan
masyarakat tentang statusnya sebagai ODHA. Ketakutan ini disebabkan oleh kurangnya
pemahaman tentang HIV dan tes HIV, bagaimana HIV ditularkan, risiko bagi orang lain,
ke mana untuk pengujian, biaya pengujian berapa, masalah berapa lama waktu menunggu
hasil tes, merasa tidak memiliki siapa pun untuk mendapatkan dukungan moral, dan
bayangan prosedur rumah sakit yang rumit.
Selain itu juga karena merasa malu tentang status sebagai pengguna narkoba,
ketakutan apabila hasil tes positif, bayangan kematian akibat AIDS, reaksi dari keluarga,
teman-teman dan masyarakat jika positif terinfeksi HIV, stigmatisasi. Tidak ada obat
untuk AIDS, obat ARV apakah tersedia, apakah harganya mahal, atau apakah memiliki
efek samping dan ketakutan tidak dapat melakukan apa-apa jika positif terinfeksi HIV.
Selain rasa takut, self stigma yang dialami ODHA adalah penerimaan mereka
terhadap label negatif dari masyarakat. Akibatnya adalah pelabelan diri bahwa mereka
adalah golongan yang tidak disukai oleh masyarakat karena kebiasaannya memakai
narkoba suntik dan infeksi HIV yang mereka derita. Dibandingkan dengan bentuk stigma
dari luar seperti dari masyarakat, bentuk self stigma memiliki pengaruh lebih kuat pada
keseluruhan kesejahteraan ODHA, terutama kesehatan psikologis mereka. Self stigma
bagi ODHA merupakan bentuk internalisasi stigma, dimana seseorang melabeli dirinya
sebagai tidak dapat diterima oleh masyarakat karena memiliki masalah penyakit HIV.
Dukungan atau penghapusan stigma dari orang-orang di sekitar ODHA juga akan
berdampak pada peningkatan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Dukungan sosial
membuat penderita HIV tidak merasa sendiri, merasa disayangi dan mereka lebih
berpeluang untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan. Pemanfaatan pelayanan kesehatan
oleh ODHA memungkinkan peningkatan pengetahuan, saling berbagi informasi terkait
HIV/AIDS serta meningkatkan kepatuhan terapi antiretroviral (ARV). Keterbukaan dan
rasa nyaman yang dirasakan ODHA membuat mereka lebih mudah untuk menerima
informasi.
Pada dasarnya, tokoh masyarakat berperan penting dalam menurunkan terjadinya stigma
dan diskriminasi terhadap ODHA karena tokoh-tokoh lokal merupakan model atau
contoh yang biasanya menjadi panutan masyarakat, terutama pada masyarakat di daerah
pedesaan. Tindakan dan sikap mereka dijadikan referensi oleh masyarakat dalam
mengubah perilaku sehat, termasuk yang terkait dengan penularan HIV, dan menurunkan
stigma terhadap ODHA. Oleh karena itu, pemberian informasi yang komprehensif
tentang HIV/AIDS kepada tokoh masyarakat menjadi sangat penting dilakukan oleh
petugas kesehatan, agar tokoh masyarakat dapat menularkan dan menyebarkan informasi
yang benar kepada masyarakat, termasuk tentang menghilangkan stigma terhadap
ODHA.
2.2 Aspek Psikologis, Sosial, Kultural, dan Spiritual pada Klien HIV/AIDS
Selain itu, ODHA juga harus menghadapi diagnosis kematian. Hal ini dapat mendorong
mereka mengalami stres atau depresi, yang dapat membuat mereka mengisolasi diri dari
orang lain (Hasan, 2008).
Ketika seseorang dihadapkan pada situasi baru, mau tidak mau dia harus
berusaha menyesuaikan dirinya dengan situasi tersebut, begitu juga para ODHA.
Menurut Lazarus dan Folkman (1984), individu cenderung menggunakan PFC
ketika individu yakin bahwa sumber daya atau tuntutan terhadap situasi yang
menekan bisa dirubah. Serta individu cenderung menggunakan EFC ketika yakin
kecil kemungkinan untuk bisa merubah keadaan yang menekan. Kejadian menekan
yang menimbulkan perasaan ketidakberdayaan dikarenakan situasinya tidak terduga dan
tidak terkontrol seperti AIDS (Folkman dan Moskowitz, 2000).
3.1 Kasus
Seorang wanita ny. W 21 tahun, pekerjaan penjual makanan dan minuman di Desa
Sukajadi dirawat dengan keluhan batuk sejak satu tahun terakhir, radang disertai batuk darah,
suara serak, nyeri menelan, kadang sesak nafas disertai demam terutama sore. Penderita
memiliki riwayat diare yang hilang timbul sejak 4 bulan, pada mulut luka yang hilang timbul
sejak enam bulan lalu. Penderita telah didiagnosa HIV dan TB paru 10 bulan lalu, namun
berhenti minum obat antituberkulosa sejak 8 bulan lalu. Berat badan pernah turun dari 55
kg menjadi 33 kg dalam waktu 4 bulan, namun saat ini berat badan telah meningkat
menjadi 46 kg. Penderita memiliki riwayat sebagai pekerja seks diluar negeri, menikah dua
kali, dan saat ini memiliki suami yang menderita HIV. Suami klien seorang pegawai pegawai
swasta. Ketika berjualan jarang bahkan tidak ada warga yang ingin membeli makanan atau
minuman yang dijual klien, anak-anak warga sekitar juga dilarang orang tuanya bermain dengan
anak klien, beberapa warga juga menolak untuk menggunakan toilet yang sama dengan klien.
Keadaan umum lemah dan berat badan 46 kg. Pada pemeriksaan tanda vital tanggal 21 April
2020 didapatkan kesadaran komposmentis, tekanan darah 90/50 mmHg, nadi 80 kali per
menit, pernafasan 20 kali per menit, suhu tubuh aksila 38,20C. Pada pemeriksaan fisik
kepala/leher didapatkan konjungtiva anemis, ulcus pada lidah 2 x 1 cm, multiple. Pada
pemeriksaan torak tanggal 21 April 2020 didapatkan suara nafas bronko vesikular dan
bronkial pada kedua hemi torak. didapatkan ulkus labia majora. Hasil pemeriksaan
Radiologi torak pada waktu masuk didapatkan infiltrat pada kedua lapangan paru, terutama
apeks, dengan kecurigaan suatu proses spesifik lesi sedang. Hasil laboratorium tanggal 21 April
2020 didapatkan Hb 7,8 gr/dl, Leukosit 11.000, Trombosit 735, gula darah sewaktu 120,
hapusan sputum BTA +. Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik, penderita ini didiagnosa
sebagai penderita HIV/AIDS dengan TB paru dan Candidiasis oral. Penderita dirawat
di ruang Isolasi. Dilakukan pemasangan nasogastric tube untuk bantuan nutrisi, diberi
O2 3–4 l/menit, infus RL /D5 / Aminofusin tiap 8 jam, tablet multivitamin C dan B
complex 3x1 Tablet, Parasetamol 3x500 mg, tranfusi PRC 2 kolf, Kotrimoksazole
1x960 mg, Nystatin drops oral 4x2 ml, Fluco nazole oral 1x100 mg, Fusidic cream pada
20
labia mayora / 8 jam, Rifamfisin 450 mg, INH 300 mg, Ethambutol 1000 mg.
Direncanakan pemeriksaan CD4, fungsi hati, fungsi ginjal, elektrolit, pemeriksaan kultur
jamur pada lesi oral, Pemeriksaan sputum BTA /gram/jamur/kultur sputum. Selama
penderita dirawat di rumah sakit dalam 4 hari pertama, diare berkurang, nyeri telan
berkurang. Pada saat awal didiagnosa HIV pasien mengatakan tidak tahan menerima cobaan
penyakit ini karena banyak warga yang menjauhinya, hanya Ibu dan adik-adik klien yang tetap
bisa menerima kondisi klien sekarang apa adanya. Seiring berjalan waktu klien mulai tabah dan
sabar serta memperbanyak ibadah dan berdoa karena punya tanggung jawab untuk mengasuh
anaknya yang masih kecil. Kadang klien marah jika ada orang lain yang mengejek dan
menjauhinya jika sedang berbicara, khususnya teman-teman kampung yang tidak tahu. Saat-saat
tertentu klien merasa gagal dalam hidup ini, karena tidak pernah bisa mencapai kebahagiaan,
takut cepat meninggal. Apalagi kalau klien tidak punya uang untuk beli obatnya. Rasanya hidup
ini semakin pendek dan hanya menunggu kematian.
Makan dan ✓
minum
Mandi ✓
Toileting ✓
Berpakaian ✓
Berpindah ✓
0: mandiri, 1: Alat bantu, 2: dibantu orang lain, 3: dibantu orang lain dan alat, 4:
tergantung total
Latihan
2) Diagnosa Keperawatan
No Data Etiologi Problem
1 Do : Ketidakadekuatan Resiko infeksi
pertahanan tubuh
1. Adanya luka pada mulu yang hilang sekunder
timbul sejak 6 bulan yang lalu
3. Leukosit 11.000
Ds : -
2 Do : Riwayat penolakan Resiko harga diri
dan perasaan tidak rendah situasional
- berdaya
Ds :
3 Do : Ketidakmampuan Ketidakseimbangan
menelan dan nutrisi kurang dari
1. Luka pada mulut yang hilang timbul mengabsorbsi kebutuhan tubuh
sejak 6 bulan yang lalu. makanan.
4. Hb 7,8 gr/dl
Ds :
1. Nyeri menelan
2. Riwayat diare 4 bulan lalu
Luaran
Diagnosa Keperawatan Luaran
Resiko infeksi 1) Tingkat infeksi
Kadar sel darah putih dari membaik
2) Kontrol risiko
a) Kemampuan mengubah perilaku
meningkat
b) Kemampuan menghindari faktor
risiko meningkat
c) Kemampuan mengenali perubahan
status kesehatan meningkat
d) Pemantauan perubahan status
kesehatan meningkat
Resiko harga diri rendah situasional 1) Harga Diri
a) Penilaian diri positif meningkat
b) Perasaan tidak mampu melakukan
apapun dari menurun
2) Ketahanan personal
a) Verbalisasi harapan yang positif
meningkat
b) Menggunakan strategi koping yang
efektif meningkat
c) Verbalisasi perasaan meningkat
d) Menunjukan harga diri positif
meningkat
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari 1) Status nutrisi
kebutuhan tubuh a) Sariawan menurun
b) Diare menurun
c) Berat badan membaik
d) Membran mukosa membaik
2) Status menelan
a) Usaha menelan membaik
b) Batuk menurun
3) Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Intervensi
Resiko infeksi a. Pencegahan infeksi
Defenisi
Mengidentifikasi dan menurunkan risiko terserang
organisme patogenik
Tindakan
- Monitor tanda dan gejala infeksi local dan
sistemik
- Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
pasien dan lingkungan pasien
- Jelaskan tanda dan gejala infeksi
- Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
- Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
- Anjurkan meningkatkan asupan cairan
b. Pemantauan tanda-tanda vital
Defenisi
Mengumpulkan dan menganalisis data hasil
pengukuran fungsi vital kardiovaskuler pernapasan
dan suhu tubuh
Tindakan
- Monitor tekanan darah
- Monitor nadi
- Monitor pernapasan
- Monitor suhu tubuh
c. Perawatan luka
Defenisi
Mengidentifikasi dan meningkatkan penyembuhan
luka serta mencegah terjadinya komplikasi luka.
Tindakan
- Monitor karakteristik luka mis. Drainasse, warna,
ukuran bau
- Monitor tanda-tanda infeksi
- Anjurkan mengonsumsi makanan tinggi kalori
dan protein
- Jelaskan tanda dan gejala infeksi
- Kolaborasi pemberian antibiotik, jika perlu
5) Evaluasi
P : Intervensi dihentikan
Ketidakseimbangan nutrisi S : Klien mengatakan tidak ada lagi nyeri saat menelan, dan
kurang dari kebutuhan tubuh tidak lagi mengalami diare
O : Berat badan klien naik dari 46 kg menjadi 48 kg, ulkus
pada lidah klien masih tampak
3.3 Pembahasan
1. Stigma masyarakat : Pada saat awal didiagnosa HIV, banyak warga sekitar tempat tinggal
klien menjauhinya, hanya ibu dan adik-adik klien yang tetap bisa menerima kondisi klien
apa adanya.
- Dampak stigma : banyaknya perilaku tidak adil, diskriminasi, dan penolakan akan
mengakibatkan klein ODHA harus hidup dengan menyembunyikan statusnya
dikarenakan malu akan penyakitnya
- Faktor terbentuknya stigma : stigma ini terbentuk karena kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang HIV/AIDS serta kesalahpahaman tentang penyebaran virus
2. Stigma masyarakat : Pada saat klien berbicara, banyak yang mengejek dan menjauhinya,
khususnya teman-teman kampungnya
- Dampak stigma : klien akan mengalami isolasi diri seperti menarik diri dari
lingkungan nya hal ini akan mengakibatkan semakin menurunnya tingkat
kesehatan klien
- Faktor terbentuknya stigma : selain dikarenakan faktor pengetahuan yang kurang,
stigma ini juga dapat terjadi karena faktor lingkungan sosial. Stigma tersebut
muncul karena tetangga beranggapan bahwa pasien dengan HIV/AIDS membawa
penyakit infeksi yang dapat menularkan ke orang lain dan penyakit tersebut tidak
dapat disembuhkan
3. Stigma masyarakat : Ketika suami klien yang merupakan pasien HIV sedang berjualan
jarang bahkan tidak ada warga yang ingin membeli makanan atau minuman yang dijual,
anak-anak warga sekitar juga dilarang orang tuanya bermain dengan anak klien, beberapa
warga juga menolak untuk menggunakan toilet yang sama dengan klien.
- Dampak stigma : klien tersebut tidak dapat menafkahi keluarganya dikarenakan
tidak ada yang membeli dagangannya. Orang dengan HIV merasa takut
mengungkapkan statusnya dan menunda untuk berobat karena stigma dari
masyarakat
- Faktor terbentuknya stigma : stigma ini terbentuk karena kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang HIV/AIDS serta kesalahpahaman tentang penyebaran virus.
Stigma bisa berhubungan dengan persepsi seperti rasa malu dan menyalahkan
orang yang memiliki penyakit HIV
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Stigma terhadap ODHA adalah suatu sifat yang menghubungkan seseorang yang
terinfeksi HIV dengan nilai-nilai negatif yang diberikan oleh mereka (masyarakat). Stigma
membuat ODHA diperlakukan secara berbeda dengan orang lain. Diskriminasi terkait HIV
adalah suatu tindakan yang tidak adil pada seseorang yang secara nyata atau diduga
mengidap HIV.
Stigma terhadap ODHA memiliki dampak yang besar bagi program pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS termasuk kualitas hidup ODHA. Populasi berisiko akan merasa
takut untuk melakukan tes HIV karena apabila terungkap hasilnya reaktif akan menyebabkan
mereka dikucilkan. Orang dengan HIV positif merasa takut mengungkapkan status HIV dan
memutuskan menunda untuk berobat apabila menderita sakit, yang akan berdampak pada
semakin menurunnya tingkat kesehatan mereka dan penularan HIV tidak dapat dikontrol.
Dampak stigma dan diskriminasi pada perempuan ODHA yang hamil akan lebih besar ketika
mereka tidak mau berobat untuk mencegah penularan ke bayinya.
Masalaah penyebaran infeksi HIV/AIDS sudah menjadi hal yang dianggap umum oleh
masyarakat. Lalu bagaimana dengan mereka yang sudah terdeteksi HIV/AIDS, dampak yang
akan dialami oleh mereka dari segi aspek sosial adalah adanya stigma dan diskriminasi akan
berdampak pada tatanan sosial masyarakat, penderitaan akan kehilangan kasih saying dan
lingkungan sosialnya. Dampak tersebut juga dapat dirasakan dalam aspek psikologis,kultural,
dan spiritual.
4.2 Saran
Demikian isi makalah ini, kami sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan banyak kekurangan baik dari segi bentuk maupun materi yang kami uraikan.
Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca untuk peraikan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Prathama Limalvin, N., Wulan Sucipta Putri, W. C., & Kartika Sari, K. A. (2020). Gambaran
dampak psikologis, sosial dan ekonomi pada ODHA di Yayasan Spirit Paramacitta
Denpasar. Intisari Sains Medis, 11(1), 81. https://doi.org/10.15562/ism.v11i1.208
Maiti, & Bidinger. (2011). Dinamika Psikologis Pada Orang Dengan HIV Dan AIDS (Odha).
Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.
Martiningsih, Abdul, H., & Ade, W. (2015). Stigma Petugas Kesehatan Terhadap Pasien
Hiv/Aids Dan Problem Solving. Jurnal Kesehatan Prima, I(2), 1471–1477. http://poltekkes-
mataram.ac.id/wp-content/uploads/2015/08/1.-Martiningsih.pdf
Khasanah, N. (2015). Dampak Ekonomi , Sosial Dan Psikologi Hiv / Aids Pada Orang Dengan
Hiv/Aids (Odha) Di Kabupaten Kebumen. STIE Putra Bangsa Kebumen, 630–645.
Siskaningrum, A., & Bahrudin. (2019). Modul Pemebelajaran Keperawatan HIV AIDS.
Ardani, Irfan., & Handayani, Sri. (2017). Stigma terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)
sebagai Hambatan Pencarian Pengobatan: Studi Kasus pada Pecandu Narkoba Suntik di
Jakarta. Buletin Penelitian Kesehatan, 45 (2), 81 - 88.
Hati, Konstantinus., Shaluhiyah, Zahroh., & Suryoputro, Antono. (2017). Stigma Masyarakat
Terhadap ODHA Di Kota Kupang Provinsi NTT. Jurnal Promosi Promosi Kesehatan
Indonesia, 12 (1), 62-77.
Paryati, T., Raksanagara, A. S., Afriandi, I., & Kunci, K. (2013). Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Stigma dan Diskriminasi kepada ODHA(Orang dengan HIV/AIDS) oleh
petugas kesehatan : kajian literatur. Pustaka Unpad, 38, 1–11.
Shaluhiyah, Zahroh., Musthofa, S. B., & Widjanarko, Bagoes. (2015). Stigma Masyarakat
Terhadap Orang Dengan HIV/AIDS. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 9 (4), 333-
339.