Anda di halaman 1dari 44

STIGMA PADA ODHA DAN ASPEK PSIKO, SOSIO, KULTURAL SERTA

SPIRITUAL KLIEN HIV/AIDS


Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Keperawatan HIV AIDS

Dosen Pengampu: Ns. Rika Sarfika, M.Kep

Disusun Oleh:

Kelompok 2
Kelas 3A 2019

Nurul Hasanah 1911312024 Naila Zahra Iman 1911312027


Aisyah Rifdatunnisa 1911312057 Rizka Aulia S. 1911312048
Bunga Anggraini Anwar 1911312045 Nisaul Husna Yustisia 1911312042
Febrina Rizki Yuliono 1911312030 Teysa Febriyani 1911312012
Halimah Tusadyah 1911312036 Wulandari Pratiwi 1911312009
Indah Febriyana 1911312021 Widya Nofrianti 1911312015
Khalisha Alifia 1911312039 Nindy Zumratul Qadri 1911312054
Latifah Nisa’ul Husna 1911312018 Thessa Arine Putri 1911312033

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang. Puja
dan puji syukur kami panjatkan atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Stigma Pada ODHA
Dan Aspek Psiko, Sosio, Kultural Serta Spiritual Klien HIV/AIDS” dengan tepat waktu. Kami
mengucapkan terimakasih juga kepada Ibu Rika selaku dosen pengampu mata kuliah
Keperawatan HIV AIDS yang telah memberikan tugas dan membimbing kami.

Dengan adanya makalah ini semoga dapat membantu dalam proses pembelajaran kita,
khususnya mahasiswa program studi ilmu keperawatan agar mampu memahami tentang stigma
pada ODHA dan aspek psiko, sosio, kultural serta spiritual klien HIV/AIDS. Semoga para
pembaca bisa mendapatkan ilmu pengetahuan, pemahaman, dan wawasan baru sebagaimana
mestinya untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi sistematika penyusunan, bahasa, maupun aspek lainnya. Oleh karena
itu, kami menerima saran dan kritik dari para pembaca demi memperbaiki makalah ini di masa
yang akan datang. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya
dan bagi pembaca pada umumnya.

Padang, 19 April 2021

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang......................................................................................................................1


1.1 Rumusan Masalah................................................................................................................2
1.2 Tujuan Penulisan..................................................................................................................2
1.3 Manfaat Penulisan................................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stigma Pada Pasien Dengan HIV/AIDS.................................................................................3
2.2 Aspek Psiko, Sosio, Kultural dan Spiritual Klien HIV/AIDS................................................12
BAB III KASUS DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA ODHA
3.1 Kasus.......................................................................................................................................20
3.2 Asuhan Keperawatan..............................................................................................................21
3.3 Pembahasan.............................................................................................................................34
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan.............................................................................................................................36
4.2 Saran........................................................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................37

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
menyerang/menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh
manusia. AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah sekumpulan gejala
penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV.
(Depkes, 2014). Kemenkes (2018) bagian Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2)
menjelaskan bahwa jumlah kasus HIV yang dilaporkan dari tahun 2005 sampai dengan
tahun 2017 mengalami kenaikan tiap tahunnya.
Stigma dan diskriminasi merupakan hambatan terbesar dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Stigma berasal dari pikiran individu yang takut
jika berada dekat dengan ODHA. Munculnya stigma dandiskriminasi dapat disebabkan
karena kurangnya keterlibatan masyarakat dalam setiap upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS. Akibatnya, banyak masyarakat yang kurang mendapatkan
informasi yang tepat mengenai HIV/AIDS, khususnya dalam mekanisme penularan
HIV/AIDS.
Stigma berasal dari pikiran seorang individu atau masyarakat yang mempercayai bahwa
penyakit HIV merupakan akibat dari perilaku amoral yang tidak dapat diterima masyarakat
yang tergambar dalam pandangan negatif sebagai akibat dari perasaan takut berlebihan jika
berada dekat dengan ODHA (Shaluhiyah dkk, 2015).
Adanya stigma pada ODHA akan mengakibatkan berbagai dampak seperti isolasi sosial,
penyebarluasan status HIV danpenolakan dalam berbagai lingkup kegiatan kemasyarakatan
seperti dunia pendidikan, dunia kerja, dan layanan kesehatan. Tingginya penolakan
masyarakat dan lingkungan akan kehadiran orang yang terinfeksi HIV/AIDS menyebabkan
sebagian ODHA harus hidup denganmenyembunyikan status mereka.

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana Stigma masyarakat Pada Pasien dengan HIV/AIDS ?

2. Bagaimana Aspek Psiko, Sosio, Kultural dan Spiritual pada Klien dengan HIV/AIDS?

3. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan HIV/AIDS?

1.2 Tujuan

a. Untuk mengetahui bagaimana stigma pada ODHA

b. Untuk mengetahui aspek psiko,sosio.kultural dan spiritual pada ODHA

c. Untuk mengetahui bentuk asuhan keperawatan pada ODHA

1.4 Manfaat

Dengan adanya penulis makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan
dan pengembangan ilmu tentang Stigma dan Aspek - aspek yang mempengaruhi pada pasien
dengan HIV/AIDS.
BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Stigma Pada Pasien Dengan HIV/AIDS

Defenisi
Salah satu hambatan paling besar dalam pencegahan dan penanggulangan Human
Imunnodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) di Indonesia
adalah masih tingginya stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Stigma terhadap ODHA adalah suatu sifat yang menghubungkan seseorang yang terinfeksi HIV
dengan nilai-nilai negatif yang diberikan oleh mereka (masyarakat). Stigma membuat ODHA
diperlakukan secara berbeda dengan orang lain. Diskriminasi terkait HIV adalah suatu tindakan
yang tidak adil pada seseorang yang secara nyata atau diduga mengidap HIV.
Stigma berasal dari pikiran seorang individu atau masyarakat yang memercayai bahwa
penyakit AIDS merupakan akibat dari perilaku amoral yang tidak dapatditerima oleh masyarakat.
Stigma terhadap ODHA tergambar dalam sikap sinis, perasaan ketakutan yang berlebihan, dan
pengalaman negatif terhadap ODHA. Banyak yang beranggapan bahwa orang yang terinfeksi
HIV/AIDS layak mendapatkan hukuman akibat perbuatannya sendiri. Mereka juga beranggapan
bahwa ODHA adalah orang yang bertanggung jawab terhadap penularan HIV/AIDS.
Stigma merupakan atribut, perilaku atau reputasi sosial yang mendiskreditkan dengan
cara tertentu. Stigma HIV juga merupakan prasangka yang muncul dengan melabeli seseorang
sebagai bagian dari kelompok itu yang diyakini secara sosial tidak dapat diterima. Stigma
berbeda dengan diskriminasi yang memiliki arti perilaku yang sebenarnya. Diskriminasi berarti
memperlakukan satu orang berbeda dari yang lain dengan cara seperti itu tidak adil. Misalnya,
memperlakukan satu orang lebih sedikit hanya karena dia memiliki HIV.
Dampak Stigma

Stigma menyebabkan orang dengan infeksi HIV menerima perlakuan yang tidak adil,
diskriminasi, dan stigma karena penyakit yang diderita. Isolasi sosial, penyebarluasan status HIV
dan penolakan dalam berbagai lingkup kegiatan kemasyarakatan seperti dunia pendidikan, dunia
kerja, dan layanan kesehatan merupakan bentuk stigma yang banyak terjadi. Tingginya
penolakan masyarakat dan lingkungan akan kehadiran orang yang terinfeksi HIV/AIDS
menyebabkan sebagian ODHA harus hidup dengan menyembunyikan status.

Stigma terhadap ODHA memiliki dampak yang besar bagi program pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS termasuk kualitas hidup ODHA. Populasi berisiko akan merasa
takut untuk melakukan tes HIV karena apabila terungkap hasilnya reaktif akan menyebabkan
mereka dikucilkan. Orang dengan HIV positif merasa takut mengungkapkan status HIV dan
memutuskan menunda untuk berobat apabila menderita sakit, yang akan berdampak pada
semakin menurunnya tingkat kesehatan mereka dan penularan HIV tidak dapat dikontrol.
Dampak stigma dan diskriminasi pada perempuan ODHA yang hamil akan lebih besar ketika
mereka tidak mau berobat untuk mencegah penularan ke bayinya.

Faktor Terbentuknya Stigma

1) Pengetahuan

Stigma terbentuk karena ketidaktahuan, kurangnya pengetahuan tentang


HIV/AIDS dan kesalahpahaman tentang penularan HIV. Pengetahuan adalah hasil tahu
dari informasi yang ditangkap oleh panca indera. Pengetahuan dipengaruhi oleh faktor
pendidikan, pekerjaan, umur, lingkungan, sosial dan budaya. Kesalahpahaman atau
kurangnya pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS sering kali berdampak pada
ketakutan masyarakat terhadap ODHA, sehingga memunculkan penolakan terhadap
ODHA.
2) Aspek Budaya

Budaya merupakan pedoman-pedoman bagi seseorang untuk berperilaku dalam


dalam kehidupan bermasyarakat. Aspek budaya dalam penulisan ini adalah hasil akal
budi manusia dalam proses interaksi sosial masyarakat tertentu yang berwujud pedoman-
pedoman atau patokan-patokan tingkah laku manusia dalam hidup bermasyarakat.
Sebagai suatu hasil dari proses interaksi menyebabkan segala aspek yang terdapat dalam
masyarakat akan ikut pula berinteraksi.

3) Persepsi

Persepsi terhadap seseorang yang berbeda dari orang lain dapat mempengaruhi
perilaku dan sikap terhadap orang tersebut. Stigma bisa berhubungan dengan persepsi
seperti rasa malu dan menyalahkan orang yang memiliki penyakit seperti HIV. Persepsi
masyarakat terhadap ODHA memiliki pengaruh terhadap sikap dan perilaku memberikan
stigma. Demikian juga persepsi terhadap penderita AIDS akan sangat memengaruhi cara
orang tersebut bersikap dan berperilaku terhadap ODHA.

4) Faktor Lingkungan Sosial

Tetangga merupakan seseorang yang secara hubungan sosial dekat dengan


ODHA. Sikap seorang tetangga sangat penting terkait dengan pemberian stigma terhadap
ODHA, karena dapat memengaruhi sikap orang lain terhadap ODHA. Stigma tersebut
muncul karena tetangga beranggapan bahwa orang dengan HIV/AIDS membawa
penyakit infeksi yang dapat menularkan ke orang lain dan penyakit tersebut tidak dapat
disembuhkan.

Keluarga merupakan lingkungan terdekat yang berinteraksi dengan ODHA.


Adanya perilaku keluarga yang memberikan stigma ODHA dapat memperkuat
diskriminasi dan penolakan dari masyarakat. Stigma terhadap ODHA disebabkan karena
keluarga merasa malu apabila mengetahui salah satu anggota keluarga adalah seorang
penderita HIV sehingga ODHA juga dikucilkan dari keluarga. Ketakutan akan
diperlakukan secara berbeda membuat ODHA sulit menjembatani diri dengan orang lain
dan takut untuk berbagi pengalamannya, bahkan untuk menyatakan dirinya sakit.

Selain keluarga, tokoh masyarakat merupakan salah satu faktor lingkungan sosial
memiliki peranan penting terjadinya stigma terhadap ODHA. Apabila seorang tokoh
masyarakat memberikan stigma terhadap ODHA, masyarakat di sekitarnya memiliki
kemungkinan juga akan terpengaruh untuk melakukan hal yang sama. Reaksi masyarakat
terhadap ODHA memiliki efek besar pada ODHA. Apabila reaksi masyarakat
bermusuhan, seorang penderita HIV dapat merasakan adanya diskriminasi dan
kemungkinan dapat meninggalkan rumah atau menghindari aktivitas sehari–hari seperti
berbelanja, bersekolah, dan bersosialisasi dengan masyarakat.

5) Kepatuhan Agama

Kepatuhan agama bisa mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Seseorang


yang patuh pada nilai-nilai agama bisa mempengaruhi peran dalam kinerja bekerja dalam
pelayanan kesehatan khususnya terkait HIV

6) Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi munculnya
stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Mahendra pada tahun 2006 menyatakan bahwa
jenis tenaga kesehatan sesuai dengan latar belakang pendidikannya mempengaruhi skor
stigma dan diskriminasi terhadap ODHA.
7) Lama Bekerja
Lama kerja atau lama tugas seorang tenaga kesehatan untuk melakukan jenis
pekerjaan tertentu dinyatakan dalam lamanya waktu dalam melaksanakan tugas tersebut.
Pengembangan erilaku dan sikap tenaga kesehatan dalam pengambilan keputusan dan
perilaku pelayanan kesehatan dibutuhkan pengalaman kerja sehingga dapat menimbulkan
kepercayaan diri yang tinggi.
8) Umur
Umur secara alamiah mempunyai pengaruh terhadap kinerja fisik dan perilaku
seseorang. Bertambahnya umur seseorang mempengaruhi proses terbentuknya motivasi
sehingga faktor umur diperkirakan berpengaruh terhadap kinerja dan perilaku seseorang.
9) Pelatihan
Sebuah intervensi pelatihan yang diberikan kepada dokter gigi menghasilkan
peningkatan pengetahuan tentang HIV/AIDS dan meningkatkan keinginan petugas untuk
memberikan pelayanan kesehatan.
Pelatihan kepada tenaga kesehatan tentang HIV/AIDS menghasilkan tidak hanya
peningkatan pengetahuan tentang HIV/AIDS tetapi juga peningkatan sikap yang lebih
baik terhadap ODHA.
10) Jenis Kelamin
Gibson menyatakan bahwa jenis kelamin merupakan salah satu variabel individu
yang dapat mempengaruhi kinerja. Penelitian tentang kinerja di rumah sakit dan klinik di
Amerika Serikat menemukan bahwa dokter wanita kurang melakukan konsultasi dan
menghabiskan waktu lebih sedikit dalam melakukan praktek dan kontak langsung dengan
pasiendaripada dokter pria.
11) Dukungan Institusi
Faktor kelembagaan atau institusi pelayanan kesehatan seperti rumah sakit,
puskesmas dan klinik mempengaruhi adanya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA,
antara lain hal-hal yang terkait penetapan kebijakan, SOP (Standart Operational
Procedure), penyediaan sarana, fasilitas, bahan dan alat-alat perlindungan diridalam
penanganan pasien HIV/AIDS. Studi tentang pengaruh faktor lembaga atau institusi
memang masih jarang dilakukan padahal sebenarnya hal ini sangat penting untuk
mengintervensi secara legal terhadap adanya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA
oleh petugas kesehatan (Li liet al, 2007)

Bentuk Stigma dan Deskriminasi

Beberapa bentuk stigma eksternal dan diskriminasi antara lain :

1) Menjauhi ODHA atau tidak meginginkan untuk menggunakan peralatan yang sama.
Barang yang disentuh ODHA langsung dibersihkan
2) Penolakan oleh keluarga, teman atau masyarakat terhadap ODHA. Dalam keluarga
ODHA selalu menyendiri dan mengurung diri, dicemooh oleh anggota keluarganya dan
bahkan sampai mereka mendapat tindakan kekerasan oleh pasangan hidup mereka.
Dalam masyarakat ODHA dikucilkan, dicemooh, ditolak oleh orang-orang dilingkungan
tempat mereka tinggal. ODHA tidak diterima ditempat kerja, di rumah sakit mereka
diperlakukan secara spesifik, diberi kode-kode khusus.
3) Peradilan moral berupa sikap yang menyalahkan ODHA karena penyakitnya dan
menganggapnya sebagai orang yang tidak bermoral.
4) Stigma terhadap orang-orang yang terkait dengan ODHA, misalnya keluarga dan
teman dekatnya.
5) Keengganan untuk melibatkan ODHA dalam suatu kelompok atau organisasi. ODHA
tidak boleh ikut rapat di RT,RW, Lurah, Camat, dan rumah ibadat
6) Diskriminasi yaitu penghilangan kesempatan untuk ODHA seperti ditolak bekerja,
penolakan dalam pelayanan kesehatan bahkan perlakuan yang berbeda pada ODHA oleh
petugas kesehatan.
7) Pelecehan terhadap ODHA baik lisan maupun fisik. Stigma juga diterima ODHA
pecandu narkoba suntik dari pelayanan kesehatan dan panti rehabilitasi pecandu narkoba.
Stigma yang diterima berupa kata-kata dan tindakan yang merendahkan, perlakuan kasar,
disamakan dengan pasien gangguan mental, dan pendapat yang tidak dipercaya.
8) Pelanggaran hak asasi manusia, seperti pembukaan status HIV seseorang pada orang
lain tanpa seijin penderita, dan melakukan tes HIV tanpa adanya informed consent.
9) Pengorbanan, misalnya anak-anak yang terinfeksi HIV atau anak-anak yang orang
tuanya meninggal karena AIDS.

Stigma Masyarakat dan Self Stigma


1) Stigma Masyarakat

Stigma masyarakat merupakan perasaan bahwa seseorang atau kelompok merasa


mereka lebih unggul dari yang lain dan menyebabkan seseorang atau kelompok lain
dikucilkan secara sosial yang pada akhirnya mengarah kepada terjadinya ketimpangan
sosial. Stigma yang diberikan masyarakat terhadap ODHA adalah berbentuk cap yaitu
ODHA itu Narkoba, ODHA itu pasti PSK, ODHA itu pasti moralnya tidak baik, HIV-
AIDS itu penyakit berbahaya, HIV-AIDS itu penyakit amoral, HIV-AIDS itu penyakit
orang narkoba dan PSK. Stigma adalah hal-hal yang membawa aib, hal yang memalukan,
sesuatu dimana seseorang menjadi rendah hati, malu dan takut karena sesuatu. Dari
pengertian ini dapat dikatakan bahwa ODHA yang distigma masyarakat pasti merasa
malu, merasa dikucilkan, merasa direndahkan dimata masyarakat lain. Oleh karena itulah
mereka menyendiri, menyembunyikan diri mereka dari orang lain.

Stigma masyarakat terhadap ODHA dipengaruhi beberapa anggapan seperti,


penyakit yang tidak dapat dicegah atau dikendalikan, penyakit akibat dari “orang yang
tidak bermoral”, dan penyakit yang mudah menular kepada orang lain. Stigma ini
mencerminkan bias kelas sosial yang mendalam. Penyakit ini sering dikaitkan dengan
kemiskinan dan menjadi pembenaran untuk ketidakadilan sosial. ODHA sering diberi
label sebagai 'yang lain'. Ia adalah ras yang lain, manusia yang lain, atau kelompok yang
lain. Tak pelak lokus menyalahkan juga terkait dengan masalah ideologi, politik dan
sosial tertentu.Stigma dari masyarakat tercermin dari persepsi perlakuan negatif berupa
penghindaran, penghinaan, penolakan dalam pergaulan sosial, dan kehilangan pekerjaan.
Perlakuan negatif muncul dari ketakutan tertular, dimana seseorang merasa tidak nyaman
pada saat kontak langsung dengan ODHA maupun dengan benda-benda yang digunakan
oleh ODHA.

2) Self Stigma

Masalah utama yang menjadi stigma dalam diri ODHA adalah ketakutan.
Ketakutan menimbulkan resistansi terhadap tes HIV, rasa malu untuk memulai
pengobatan, dan dalam beberapa hal, keengganan untuk menerima pendidikan tentang
HIV. Self stigma menyebabkan ODHA ketakutan untuk memulai pengobatan karena
takut tidak konsisten mengkonsumsi obat. Ketakutan lainnya adalah penerimaan
masyarakat tentang statusnya sebagai ODHA. Ketakutan ini disebabkan oleh kurangnya
pemahaman tentang HIV dan tes HIV, bagaimana HIV ditularkan, risiko bagi orang lain,
ke mana untuk pengujian, biaya pengujian berapa, masalah berapa lama waktu menunggu
hasil tes, merasa tidak memiliki siapa pun untuk mendapatkan dukungan moral, dan
bayangan prosedur rumah sakit yang rumit.
Selain itu juga karena merasa malu tentang status sebagai pengguna narkoba,
ketakutan apabila hasil tes positif, bayangan kematian akibat AIDS, reaksi dari keluarga,
teman-teman dan masyarakat jika positif terinfeksi HIV, stigmatisasi. Tidak ada obat
untuk AIDS, obat ARV apakah tersedia, apakah harganya mahal, atau apakah memiliki
efek samping dan ketakutan tidak dapat melakukan apa-apa jika positif terinfeksi HIV.

Selain rasa takut, self stigma yang dialami ODHA adalah penerimaan mereka
terhadap label negatif dari masyarakat. Akibatnya adalah pelabelan diri bahwa mereka
adalah golongan yang tidak disukai oleh masyarakat karena kebiasaannya memakai
narkoba suntik dan infeksi HIV yang mereka derita. Dibandingkan dengan bentuk stigma
dari luar seperti dari masyarakat, bentuk self stigma memiliki pengaruh lebih kuat pada
keseluruhan kesejahteraan ODHA, terutama kesehatan psikologis mereka. Self stigma
bagi ODHA merupakan bentuk internalisasi stigma, dimana seseorang melabeli dirinya
sebagai tidak dapat diterima oleh masyarakat karena memiliki masalah penyakit HIV.

Cara Menghilangkan Stigma


1) Pendidikan Kesehatan

Pendidikan kesehatan yang bertujuan meningkatkan pengetahuan mengenai HIV/AIDS


dalam banyak penelitian dibuktikan sebagai salah satu faktor yang paling memengaruhi
terjadinya pengurangan stigma. Orang yang memiliki pengetahuan cukup tentang faktor
risiko, transmisi, pencegahan, dan pengobatan HIV/AIDS cenderung tidak takut dan tidak
memberikan stigma terhadap ODHA.

Pemberian informasi lengkap, baik melalui penyuluhan, konseling maupun sosialisasi


tentang HIV/AIDS kepada masyarakat berperan penting untuk mengurangi stigma.
Pemberian pengetahuan atau informasi terkait HIV adalah salah satu cara yang efektif
untuk menjelaskan tentang pencegahan dan penularan HIV. Seseorang dengan
pengetahuan yang baik dan benar terkait HIV diharapkan dapat menurunkan bahkan
menghilangkan stigma pada ODHA.
Terkait dengan akses media informasi tentang HIV/AIDS, media telah lama digunakan
untuk memberikan informasi terkait HIV/AIDS dengan tujuan untuk meningkatkan
pengetahuan, sikap, dan perilaku pencegahan penularan HIV/AIDS. Selain itu, informasi
tentang HIV/AIDS melalui media juga memberikan dampak dalam penurunan stigma
masyarakat terhadap ODHA

2) Dukungan Orang Terdekat

Dukungan atau penghapusan stigma dari orang-orang di sekitar ODHA juga akan
berdampak pada peningkatan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Dukungan sosial
membuat penderita HIV tidak merasa sendiri, merasa disayangi dan mereka lebih
berpeluang untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan. Pemanfaatan pelayanan kesehatan
oleh ODHA memungkinkan peningkatan pengetahuan, saling berbagi informasi terkait
HIV/AIDS serta meningkatkan kepatuhan terapi antiretroviral (ARV). Keterbukaan dan
rasa nyaman yang dirasakan ODHA membuat mereka lebih mudah untuk menerima
informasi.

3) Peran Tokoh Masyarakat

Pada dasarnya, tokoh masyarakat berperan penting dalam menurunkan terjadinya stigma
dan diskriminasi terhadap ODHA karena tokoh-tokoh lokal merupakan model atau
contoh yang biasanya menjadi panutan masyarakat, terutama pada masyarakat di daerah
pedesaan. Tindakan dan sikap mereka dijadikan referensi oleh masyarakat dalam
mengubah perilaku sehat, termasuk yang terkait dengan penularan HIV, dan menurunkan
stigma terhadap ODHA. Oleh karena itu, pemberian informasi yang komprehensif
tentang HIV/AIDS kepada tokoh masyarakat menjadi sangat penting dilakukan oleh
petugas kesehatan, agar tokoh masyarakat dapat menularkan dan menyebarkan informasi
yang benar kepada masyarakat, termasuk tentang menghilangkan stigma terhadap
ODHA.
2.2 Aspek Psikologis, Sosial, Kultural, dan Spiritual pada Klien HIV/AIDS

1. Aspek Psikologis pada Klien HIV/AIDS


1.1 Dampak Psikologis pada Klien HIV/AIDS
Hawari (2004), mengatakan bahwa penderita AIDS akan mengalami krisis
kejiwaan pada dirinya, pada keluarganya, pada orang yang dicintainya dan pada
masyarakat. Krisis kejiwaan tersebut adalah dalam bentuk kepanikan, ketakutan,
kecemasan, serba ketidakpastian, keputusasaan, dan stigma. Perlakuan terhadap
penderita AIDS seringkali bersifat diskriminatif dan resiko bunuh diri pada penderita
AIDS cukup tinggi akibat depresi mental yang dialaminya (Hawari, 2004).
AIDS dapat dipandang sebagai penyakit kronik dibandingkan penyakit akut.
Pengalaman individu sering bercampur antara kaget, menolak, merasa bersalah dan
takut, semua itu menyatu dengan apakah akan membuka penyakit ini kepada lainnya
(Ostrow dkk, dalam Carey dan Vanable, 2003). Hasan (2008), mengatakan bahwa
ODHA dengan penyakit mematikan yang dialaminya, memiliki tiga tantangan utama,
yaitu :
a. Menghadapi reaksi terhadap penyakit yang memiliki stigma.
b. Berhadapan dengan kemungkinan waktu kehidupan yang terbatas
c. Mengembangkan strategi untuk mempertahankan fisik dan emosi.

Selain itu, ODHA juga harus menghadapi diagnosis kematian. Hal ini dapat mendorong
mereka mengalami stres atau depresi, yang dapat membuat mereka mengisolasi diri dari
orang lain (Hasan, 2008).

1.2 Reaksi Klien HIV/AIDS (ODHA)


Ketika dokter mendiagnosis bahwa seseorang menderita penyakit kronis seperti
AIDS, ada tiga bentuk respon emosional yang secara umum mungkin muncul, yaitu
penolakan, kecemasan, dan depresi (Taylor, 1995). Meskipun reaksi psikologis terhadap
diagnosis penyakit dan penanganan sangat beragam dan keadaan serta kemampuan
masing-masing penderita tergantung pada banyak faktor, tetapi ada enam reaksi
psikologis yang utama menurut Prokop (Lubis, 2009) yaitu, kecemasan, depresi,
perasaan kehilangan kontrol, gangguan kognitif (impairment), gangguan seksual serta
penolakan terhadap kenyataan (denial).
Kubler-Ross’s (Sarafino, 2006), melakukan wawancara terhadap 200 individu
yang mengalami terminal illnes dan mengatakan bahwa penyesuaian individu biasanya
mengikuti pola-pola yang dapat diprediksi dalam 5 tahapan yang dapat dialami secara
berbeda oleh setiap penderita. Artinya setiap penderita mempunyai tahapan tersendiri,
dapat urut atau melompat, dapat juga maju kemudian mundur kembali. Reaksi-reaksi
tersebut adalah :
a. Denial
Reaksi pertama untuk prognosa yang mengarah ke kematian melibatkan perasaan
menolak mempercayainya sebagai suatu kebenaran. Ia menjadi gelisah,
menyangkal, gugup dan kemudian menyalahkan hasil diagnosis. Penyangkalan
sebenarnya merupakan suatu mekanisme pelindung terhadap trauma psikologis yang
dideritanya.
b. Anger
Secara tidak sadar proses psikologis akan terus berkembang menjadi rasa bersalah
bahwa dirinya telah terinfeksi, marah terhadap dirinya sendiri atau orang yang
menularinya, tidak berdaya dan kehilangan kontrol serta akal sehatnya.
c. Bargaining
Pada tahapan ini, orang tersebut berusaha mengubah kondisinya dengan melakukan
tawar-menawar atau berusaha untuk bernegosiasi dengan Tuhan.
d. Depression
Perasaan depresi muncul ketika upaya negosiasi tidak menolong dan orang tersebut
merasa tidak ada harapan serta tidak berdaya. Mereka berada dalam keadaan tidak
menentu dalam menghadapi reaksi orang lain terhadap dirinya.
e. Acceptance
Akhir dari proses psikologis ini adalah menerima nasib. Keadaan ini merupakan
suatu keadaan dimana seseorang menyadari bahwa ia memiliki suatu penyakit,
bukan akibat dari penyakitnya itu. Orang dengan kesempatan hidup yang tidak
banyak lagi akan mencapai penerimaan ini setelah tidak lagi mengalami depresi,
tetapi lebih merasa tenang dan siap menghadapi kematian.
1.3 Penggunaan Strategi Koping pada Klien HIV/AIDS (ODHA)
Setelah mengalami kejadian yang menekan, biasanya kita berusaha untuk
mengatasinya. Masing-masing orang memiliki caranya sendiri untuk mengatasi
permasalahannya. Lazarus & Folkman (1984), menggolongkan dua strategi coping
yang biasanya digunakan oleh individu, yaitu :
1. Problem focused coping
Merupakan usaha individu yang secara aktif mencari penyelesaian dari masalah
untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres. Problem
focused coping terdiri dari :
a. Confrontative coping, usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan
dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi dan
pengambilan resiko.
b. Seeking social support, yaitu usaha untuk mendapatkan kenyamanan dan
bantuan informasi dari orang lain untuk menyelesaikan masalahnya.
c. Planful problem solving, usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap
menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan analitis.
2. Emotion focused coping
Merupakan usaha individu untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan
diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang
penuh tekanan, sedangkan kondisi objektif yang menimbulkan masalah tidak
ditangani. Emotion focus coping terdiri dari :
a. Seeking social emotional support, yaitu usaha untuk memperoleh dukungan
secara emosional maupun sosial dari orang lain.
b. Self control, usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang
menekan.
c. Distancing, usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti menghindar
dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa atau menciptakan
pandanganpandangan yang positif, seperti menganggap masalah sebagai
lelucon.
d. Positive reappraisal, usaha mencari makna positif dari permasalahan dengan
berfokus pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal-hal yang
bersifat religious.
e. Accepting responsibility, usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri
dalam permasalahan yang di hadapinya, dan mencoba menerimanya untuk
membuat semuanya menjadi lebih baik. Strategi ini baik, terlebih bila masalah
terjadi karena pikiran dan tindakannya sendiri. Namun strategi ini menjadi
tidak baik bila individu tidak seharusnya bertanggung jawab atas masalah
tersebut.
f. Escape/avoidance, usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari
situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti
makan, minum, merokok, atau menggunakan obat-obatan.

Ketika seseorang dihadapkan pada situasi baru, mau tidak mau dia harus
berusaha menyesuaikan dirinya dengan situasi tersebut, begitu juga para ODHA.
Menurut Lazarus dan Folkman (1984), individu cenderung menggunakan PFC
ketika individu yakin bahwa sumber daya atau tuntutan terhadap situasi yang
menekan bisa dirubah. Serta individu cenderung menggunakan EFC ketika yakin
kecil kemungkinan untuk bisa merubah keadaan yang menekan. Kejadian menekan
yang menimbulkan perasaan ketidakberdayaan dikarenakan situasinya tidak terduga dan
tidak terkontrol seperti AIDS (Folkman dan Moskowitz, 2000).

1.4 Manajemen Masalah Psikologis pada Klien HIV/AIDS


Ada beberapa manajemen masalah psikologis yang terjadi pada pasien
HIV/AIDS (ODHA), antara lain :
a. Penurunan kecemasan (ansientas)
b. Peningkatan koping
c. Konseling
d. Peningkatan spiritual pada klien
e. Meningkatkan dukungan social support
2. Aspek Sosial pada Klien HIV/AIDS
2.1 Gambaran serta Dampak pada Aspek Sosial terhadap Klien HIV/AIDS
Ada beberapa dampak dalam aspek sosial pada klien HIV/AIDS (ODHA), antara
lain yaitu :
1. Sebagian ODHA Cenderung Menarik Diri (Isolasi Sosial) dari Masyarakat dan
Belum Terbuka pada Orang Lain
Setelah menjadi ODHA, tidak semua ODHA dapat kembali lagi ke
masyarakat, kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk bergaul sebatas
komunitas sesama ODHA, yang dianggap lebih mengerti akan kondisi penyakitnya.
Selain bergabung dengan komunitas sesama ODHA, ada juga informan yang masih
menarik diri dari masyarakat dan hanya berinteraksi sebatas melalui sosial media.
ODHA menarik diri dari lingkungan karena adanya rasa cemas akan sitgma dan
diskriminasi. Stigma dan diskriminasi yang melekat pada masyrakat juga membuat
ODHA semakin menarik diri dari lingkungan keluarga, lingkungan pertemanan dan
lingkungan sekitarnya.
2. Rasa Khawatir akan Stigma dan Diskriminasi menjadi Alasan di Balik
Ketidakterbukaan ODHA akan Status HIV-nya
Kebanyakan dari ODHA hanya menceritakan kondisinya sebatas pada
teman sesama ODHA, pasangan atau keluarga. Ada kepentingan lain dibalik
ketidakterbukaan ODHA akan status HIV-nya misalkan untuk menjaga kondisi
kesehatan baik fisik maupun psikisnya. Adanya stigma dan diskriminasi ditakutkan
dapat mempengaruhi kondisi fisik dan psikis dari ODHA. Selain untuk menjaga
kondisi fisik dan psikisnya, ODHA yang berkeluarga memilih untuk menutup status
HIV-nya demi kepentingan anggota keluarga seperti anak dari ODHA tersebut.
Selain dari alasan fisik dan psikologis, ada juga informan yang
mengungkapkan untuk menutupi statusnya demi kepentingan finansial seperti
asuransi kesehatan. Sebuah penelitian di Tanzania menyebutkan bahwa ODHA
merasa takut, merasa khawatir mendapatkan stigma dari pasangan bahkan dari
keluarga ODHA sendiri. Disebutkan juga bahwa kekhawatiran ODHA juga sampai
menyebabkan ODHA takut untuk mengakses ARV apabila bertemu dengan orang
yang dikenalnya. Sedangkan penelitian di Iran menyebutkan bahwa mereka malu
dan takut dikucilkan dari keluarga, diperlakukan berbeda di masyarakat.
3. Selama Status HIV tidak Diketahui, ODHA Belum Merasakan Stigma dan
Diskriminasi
Status HIV merupakan hal pribadi yang tidak gampang diungkapkan oleh
ODHA kepada orang lain. Ini disebabkan karena masyarakat yang terbilang masih
awan akan HIV/AIDS dan akan memunculkan respon negatif yang berlebihan yang
berujung pada stigma dan diskriminasi pada ODHA itu sendiri. Namun, selama
ODHA tidak membuka statusnya, stigma dan diskriminasi itu belum dirasakan oleh
mereka. Stigma dan diskriminasi hingga saat ini masih terlihat jelas adalah pada
mereka yang meninggal karena AIDS, jenazah ODHA mendapatkan perlakuan
yang berbeda, seperti tidak dilakukannya prosesi pemandian jenazah.
4. Beberapa Tenaga Kesehatan Masih Memberikan Stigma pada ODHA
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, tenaga kesehatan mulai bisa
mengurangi stigma dan diskriminasi pada ODHA. Para tenaga kesehatan sudah
mengerti bagaimana cara memperlalukan ODHA. Namun tetap saja stigma dan
diskriminasi tetap dialami oleh ODHA.
Sebuah studi di Kerman, Iran, tenaga kesehatan juga dilaporkan masih
memberikan stigma dan diskriminasi pada ODHA. Berbagai macam perlakuan
dialami oleh ODHA dari tenaga kesehatan seperti tidak mau melakukan
pemeriksaan, pelayanan yang tidak optimal, memberikan jarak kepada ODHA serta
memberikan pernyataan yang menghakimi. Menurut pengalaman seorang pasien,
perawat di sebuah rumah sakit di sana tidak mau melepaskan kateter yang terpasang
pasien tersebut, bahkan menyuruh pasien tersebut melepas kateternya sendiri

2.2 Manajemen Masalah Sosial pada Klien HIV/AIDS


Ada beberapa manajemen masalah sosial (terkait pengurangan stigma pada
masyarakat, lingkungan sosial, serta tenaga kesehatan) yang terjadi pada pasien
HIV/AIDS (ODHA), antara lain :
a. Peningkatan pengetahuan masyarakat tentang HIV dan AIDS
b. Meningkatkan peran serta dukungan teman sebaya, keluarga dan masyrakat.
c. Peran dari tokoh masyarakat maupun tokoh agama sebagai kelompok masyarakat
yang disegani, ditengarai dapat memengaruhi perilaku masyarakat. Salah satu
caranya adalah melalui forum dialog yang difasilitasi untuk mendukung upaya
pengurangan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA
d. Mengkaji dan meningkatkan pengetahuan dan sikap terhadap HIV pada seluruh
tenaga kesehatan.
Informasi yang keliru dan sikap menghakimi pada petugas kesehatan dapat
menimbulkan stigma, ketakutam dan perawatan yang berbeda pada penderita
dengan HIV.
e. Menciptakan suasana kerja yang aman bagi pekerja kesehatan
Melakukan pengkajian dan menggali ketakutan dan resiko pada petugas kesehatan,
kemudian mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan yang menjamin
keamanan pekerja dan memperhatikan hak-hak pekerja kesehatan. Kebijakan
dibutuhkan untuk memfasilitasi kebutuhan penting (misal sarung tangan), yang
berguna untuk kontrol infeksi secara optimal sehingga tidak hanya sebagai proteksi
terhadap pekerja kesehatan, namun juga bagi pencegahan terhdap pemaparan
infeksi ke pasien
f. Menggunakan pendekatan partisipasi dan partnership untuk mengurangi stigma dan
diskriminasi dalam lingkungan kesehatan
g. Meningkatkan layanan tes sukarela dan rahasia (VCT).

3. Aspek Kultural pada Klien HIV/AIDS


Faktor budaya berkaitan juga dengan fenomena yang muncul dewasa ini dimana banyak
ibu rumah tangga yang “baik-baik” tertular virus HIV /AIDS dari suaminya yang sering
melakukan hubungan seksual selain dengan istrinya. Hal ini disebabkan oleh budaya
permisif yang sangat berat dan perempuan tidak berdaya serta tidak mempunyai bargaining
position (posisi rebut tawar) terhadap suaminya serta sebagian besar perempuan tidak
memiliki pengetahuan akan bahaya yang mengancamnya.
Kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk menanggulangi masalah HIV /AIDS
selama ini adalah melaksanakan bimbingan sosial pencegahan HIV /AIDS, pemberian
konseling dan pelayanan sosial bagi penderita HIV /AIDS yang tidak mampu. Selain itu
adanya pemberian pelayanan kesehatan sebagai langkah antisipatif agar kematian dapat
dihindari, harapan hidup dapat ditingkatkan dan penderita HIV /AIDS dapat berperan sosial
dengan baik dalam kehidupannya.

4. Aspek Spiritual pada Klien HIV/AIDS


Respons Adaptif Spiritual
Respons Adaptif Spiritual dikembangkan dari konsep Ronaldson (2000) dan Kauman &
Nipan (2003) yang meliputi:
a. Menguatkan harapan yang realistis kepada pasien terhadap kesembuhan
Harapan merupakan salah satu unsur yang penting dalam dukungan sosial. Orang
bijak mengatakan “hidup tanpa harapan, akan membuat orang putus asa dan bunuh diri”.
Perawat harus meyakinkan kepada pasien bahwa sekecil apapun kesembuhan, misalnya
akan memberikan ketenangan dan keyakinan pasien untuk berobat.
b. Pandai mengambil hikmah
Peran perawat dalam hal ini adalah mengingatkan dan mengajarkan kepada pasien
untuk selalu berfikiran positif terhadap semua cobaan yang dialaminya. Dibalik semua
cobaan yang dialami pasien, pasti ada maksud dari Sang Pencipta. Pasien harus
difasilitasi untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan jalan melakukan
ibadah secara terus menerus. Sehingga pasien diharapkan memperoleh suatu ketenangan
selama sakit.
c. Ketabahan hati
Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan dan ketabahan hati dalam
menghadapi cobaan. Individu yang mempunyai kepribadian yang kuat, akan tabah dalam
menghadapi setiap cobaan. Individu tersebut biasanya mempunyai keteguhan hati dalam
menentukan kehidupannya. Ketabahan hati sangat dianjurkan kepada PHIV. Perawat
dapat menguatkan diri pasien dengan memberikan contoh nyata dan atau mengutip kitab
suci atau pendapat orang bijak. Pasien harus diyakinkan bahwa semua cobaan yang
diberikan pasti mengandung hikmah, yang sangat penting dalam kehidupannya.
BAB III

KASUS DAN ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Kasus
Seorang wanita ny. W 21 tahun, pekerjaan penjual makanan dan minuman di Desa
Sukajadi dirawat dengan keluhan batuk sejak satu tahun terakhir, radang disertai batuk darah,
suara serak, nyeri menelan, kadang sesak nafas disertai demam terutama sore. Penderita
memiliki riwayat diare yang hilang timbul sejak 4 bulan, pada mulut luka yang hilang timbul
sejak enam bulan lalu. Penderita telah didiagnosa HIV dan TB paru 10 bulan lalu, namun
berhenti minum obat antituberkulosa sejak 8 bulan lalu. Berat badan pernah turun dari 55
kg menjadi 33 kg dalam waktu 4 bulan, namun saat ini berat badan telah meningkat
menjadi 46 kg. Penderita memiliki riwayat sebagai pekerja seks diluar negeri, menikah dua
kali, dan saat ini memiliki suami yang menderita HIV. Suami klien seorang pegawai pegawai
swasta. Ketika berjualan jarang bahkan tidak ada warga yang ingin membeli makanan atau
minuman yang dijual klien, anak-anak warga sekitar juga dilarang orang tuanya bermain dengan
anak klien, beberapa warga juga menolak untuk menggunakan toilet yang sama dengan klien.
Keadaan umum lemah dan berat badan 46 kg. Pada pemeriksaan tanda vital tanggal 21 April
2020 didapatkan kesadaran komposmentis, tekanan darah 90/50 mmHg, nadi 80 kali per
menit, pernafasan 20 kali per menit, suhu tubuh aksila 38,20C. Pada pemeriksaan fisik
kepala/leher didapatkan konjungtiva anemis, ulcus pada lidah 2 x 1 cm, multiple. Pada
pemeriksaan torak tanggal 21 April 2020 didapatkan suara nafas bronko vesikular dan
bronkial pada kedua hemi torak. didapatkan ulkus labia majora. Hasil pemeriksaan
Radiologi torak pada waktu masuk didapatkan infiltrat pada kedua lapangan paru, terutama
apeks, dengan kecurigaan suatu proses spesifik lesi sedang. Hasil laboratorium tanggal 21 April
2020 didapatkan Hb 7,8 gr/dl, Leukosit 11.000, Trombosit 735, gula darah sewaktu 120,
hapusan sputum BTA +. Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik, penderita ini didiagnosa
sebagai penderita HIV/AIDS dengan TB paru dan Candidiasis oral. Penderita dirawat
di ruang Isolasi. Dilakukan pemasangan nasogastric tube untuk bantuan nutrisi, diberi
O2 3–4 l/menit, infus RL /D5 / Aminofusin tiap 8 jam, tablet multivitamin C dan B
complex 3x1 Tablet, Parasetamol 3x500 mg, tranfusi PRC 2 kolf, Kotrimoksazole
1x960 mg, Nystatin drops oral 4x2 ml, Fluco nazole oral 1x100 mg, Fusidic cream pada
20
labia mayora / 8 jam, Rifamfisin 450 mg, INH 300 mg, Ethambutol 1000 mg.
Direncanakan pemeriksaan CD4, fungsi hati, fungsi ginjal, elektrolit, pemeriksaan kultur
jamur pada lesi oral, Pemeriksaan sputum BTA /gram/jamur/kultur sputum. Selama
penderita dirawat di rumah sakit dalam 4 hari pertama, diare berkurang, nyeri telan
berkurang. Pada saat awal didiagnosa HIV pasien mengatakan tidak tahan menerima cobaan
penyakit ini karena banyak warga yang menjauhinya, hanya Ibu dan adik-adik klien yang tetap
bisa menerima kondisi klien sekarang apa adanya. Seiring berjalan waktu klien mulai tabah dan
sabar serta memperbanyak ibadah dan berdoa karena punya tanggung jawab untuk mengasuh
anaknya yang masih kecil. Kadang klien marah jika ada orang lain yang mengejek dan
menjauhinya jika sedang berbicara, khususnya teman-teman kampung yang tidak tahu. Saat-saat
tertentu klien merasa gagal dalam hidup ini, karena tidak pernah bisa mencapai kebahagiaan,
takut cepat meninggal. Apalagi kalau klien tidak punya uang untuk beli obatnya. Rasanya hidup
ini semakin pendek dan hanya menunggu kematian.

3.2 Asuhan Keperawatan


1) Pengkajian
I. Identitas
Identitas Pasien
Nama : Ny. W
Umur : 28 tahun
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pedagang
Suku Bangsa : Sunda
Alamat : Desa Sukajadi
Tanggal Masuk : 03 Mei 2021
Tanggal Pengkajian : 03 Mei 2021
No. Register : NYR1234
Diagnosa Medis : HIV dan TB paru
21
Identitas Penanggung Jawab
Nama : Tn. S
Umur : 30 tahun
Hub. Dengan Pasien : Suami
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Alamat : Desa Sukajadi

II. Status Kesehatan


1) Keluhan Utama : Batuk sejak satu tahun terakhir, radang disertai batuk darah, suara
serak, nyeri menelan, kadang sesak nafas disertai demam terutama sore
2) Riwayat Penyakit sekarang : HIV/AIDS dengan TB paru dan candidiasis oral
3) Riwayat Kesehatan Dahulu : Klien menderita HIV dan TB paru
4) Riwayat Kesehatan Keluarga : Klien tidak memiliki penyakit keturunan keluarga.
Suami klien menderita HIV

III. Pola fungsi Kesehatan Gordon


a. Pola Persepsi Manajemen
Sebelum sakit: Tidak ada gangguan
Sesudah sakit: Klien berhenti minum obat TB sejak 8 bulan yang lalu. Ketika klien tidak
punya uang untuk beli obatnya. Rasanya hidup ini semakin pendek dan hanya menunggu
kematian.
b. Pola Nutrisi-Metabolik
Sebelum sakit: -
Sesudah sakit: Klien merasakan nyeri saat menelan
c. Pola Eliminasi
Sebelum sakit: Tidak ada gangguan
Sesudah sakit: Klien diare hilang timbul
d. Pola Aktivitas dan Latihan
Aktivitas
Kemampuan 0 1 2 3 4
Perawatan Diri

Makan dan ✓
minum

Mandi ✓

Toileting ✓

Berpakaian ✓

Berpindah ✓

0: mandiri, 1: Alat bantu, 2: dibantu orang lain, 3: dibantu orang lain dan alat, 4:
tergantung total

Latihan

Sebelum sakit: Tidak ada gangguan

Sesudah sakit: Pasien sering merasakan sesak napas


e. Pola Kognitif dan Persepsi
Tidak dikaji
f. Pola Persepsi Konsep Diri
Klien mulai tabah dan sabar karena punya tanggungjawab untuk mengasuh anaknya yang
masih kecil
g. Pola Tidur dan Istirahat
Sebelum sakit: Pola tidur klien normal, yaitu 8 jam per hari
Sesudah sakit: Pola tidur klien normal
h. Pola Peran Hubungan
Suami klien seorang dengan penderita HIV
Ketika berjualan jarang bahkan tidak ada warga yang ingin membeli makanan atau
minuman yang dijual klien, anak-anak warga sekitar juga dilarang orang tuanya bermain
dengan anak klien, beberapa warga juga menolak untuk menggunakan toilet yang sama
dengan klien
i. Pola Seksual Reproduksi
Sebelum sakit: Klien memiliki riwayat sebagai pekerja seks diluar negri
Sesudah sakit: -
j. Pola Toleransi-Stress Koping
Koping konstruktif dengan koping cukup baik
k. Pola Nilai-Kepercayaan
Pasien beragama islam, sholat 5 waktu, sering beribadah dan berdoa ketika sakit

2) Diagnosa Keperawatan
No Data Etiologi Problem
1 Do : Ketidakadekuatan Resiko infeksi
pertahanan tubuh
1. Adanya luka pada mulu yang hilang sekunder
timbul sejak 6 bulan yang lalu

2. Hasil tes BTA+

3. Leukosit 11.000

Ds : -
2 Do : Riwayat penolakan Resiko harga diri
dan perasaan tidak rendah situasional
- berdaya

Ds :

1. Ketika berjualan jarang bahkan tidak


ada warga yang ingin membeli makanan
atau minuman yang dijual klien, anak-
anak warga sekitar juga dilarang orang
tuanya bermain dengan anak klien,
beberapa warga juga menolak untuk
menggunakan toilet yang sama dengan
klien.

2. Pada saat awal didiagnosa HIV pasien


mengatakan tidak tahan menerima
cobaan penyakit ini karena banyak
warga yang menjauhinya, hanya Ibu dan
adik-adik klien yang tetap bisa menerima
kondisi klien sekarang apa
adanya.Seiring berjalan waktu klien
mulai tabah dan sabar serta
memperbanyak ibadah dan berdoa
karena punya tanggung jawab untuk
mengasuh anaknya yang masih kecil.
Kadang klien marah jika ada orang lain
yang mengejek dan menjauhinya jika
sedang berbicara, khususnya teman-
teman kampung yang tidak tahu. Saat-
saat tertentu klien merasa gagal dalam
hidup ini, karena tidak pernah bisa
mencapai kebahagiaan, takut cepat
meninggal. Apalagi kalau klien tidak
punya uang untuk beli obatnya. Rasanya
hidup ini semakin pendek dan hanya
menunggu kematian.

3 Do : Ketidakmampuan Ketidakseimbangan
menelan dan nutrisi kurang dari
1. Luka pada mulut yang hilang timbul mengabsorbsi kebutuhan tubuh
sejak 6 bulan yang lalu. makanan.

2. Ulkus pada lidah 2 x 1 cm, multiple.

3. Berat badan 46 kg.

4. Hb 7,8 gr/dl

Ds :

1. Nyeri menelan
2. Riwayat diare 4 bulan lalu
Luaran
Diagnosa Keperawatan Luaran
Resiko infeksi 1) Tingkat infeksi
Kadar sel darah putih dari membaik
2) Kontrol risiko
a) Kemampuan mengubah perilaku
meningkat
b) Kemampuan menghindari faktor
risiko meningkat
c) Kemampuan mengenali perubahan
status kesehatan meningkat
d) Pemantauan perubahan status
kesehatan meningkat
Resiko harga diri rendah situasional 1) Harga Diri
a) Penilaian diri positif meningkat
b) Perasaan tidak mampu melakukan
apapun dari menurun
2) Ketahanan personal
a) Verbalisasi harapan yang positif
meningkat
b) Menggunakan strategi koping yang
efektif meningkat
c) Verbalisasi perasaan meningkat
d) Menunjukan harga diri positif
meningkat
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari 1) Status nutrisi
kebutuhan tubuh a) Sariawan menurun
b) Diare menurun
c) Berat badan membaik
d) Membran mukosa membaik
2) Status menelan
a) Usaha menelan membaik
b) Batuk menurun

3) Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Intervensi
Resiko infeksi a. Pencegahan infeksi
Defenisi
Mengidentifikasi dan menurunkan risiko terserang
organisme patogenik
Tindakan
- Monitor tanda dan gejala infeksi local dan
sistemik
- Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
pasien dan lingkungan pasien
- Jelaskan tanda dan gejala infeksi
- Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
- Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
- Anjurkan meningkatkan asupan cairan
b. Pemantauan tanda-tanda vital
Defenisi
Mengumpulkan dan menganalisis data hasil
pengukuran fungsi vital kardiovaskuler pernapasan
dan suhu tubuh
Tindakan
- Monitor tekanan darah
- Monitor nadi
- Monitor pernapasan
- Monitor suhu tubuh
c. Perawatan luka
Defenisi
Mengidentifikasi dan meningkatkan penyembuhan
luka serta mencegah terjadinya komplikasi luka.
Tindakan
- Monitor karakteristik luka mis. Drainasse, warna,
ukuran bau
- Monitor tanda-tanda infeksi
- Anjurkan mengonsumsi makanan tinggi kalori
dan protein
- Jelaskan tanda dan gejala infeksi
- Kolaborasi pemberian antibiotik, jika perlu

Resiko harga diri rendah a. Promosi harga diri


situasional Defenisi
Meningkatkan penilaian perasaan/persepsi
terhadap diri sendiri atau kemampuan diri
Tindakan
- Identifikasi budaya, agama, ras, jenis kelamin,
dan usia terhadap harga diri
- Monitor verbalisasi yang merendahkan diri
sendiri
- Diskusikan pertanyaan tentang harga diri
- Diskusikan kepercayaan terhadap penilaian diri
- Fasilitasi lingkungan dan aktivitas yang
meningkatkan harga diri
- Jelaskan kepada keluarga pentingnya dukungan
dalam perkembangan konsep positif diri pasien
- Latih pernyataan/kemampuan positif diri
- Latih meningkatkan kepercayaan pada
kemampuan dalam menangani situasi
b. Promosi koping
Defenisi
Meningkatkan upaya kognitif dan perilaku untuk
menilai dan merespon stressor dan/atau
kemampuan menggunakan sumber-sumber yang
ada
Tindakan
- Identifikasi kemampuan yang dimiliki
- Identifikasi pemahaman proses penyakit
- Identifikasi dampak situasi terhadap peran dan
hubungan
- Identifikasi metode penyelesaian masalah
- Identifikasi kebutuhan dan keinginan terhadap
dukungan social
- Diskusikan alasan mengkritik diri sendiri
- Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
- Anjurkan keluarga terlibat
- Ajarkan cara menyelesaikan masalah secara
konstruktif
- Latih penggunaan teknik relaksasi
c. Dukungan emosional
Defenisi
Memfasilitasi penerimaan kondisi emosional
selama masa stress
Tindakan
- Identifikasi hal yang telah memicu emosi
- Fasilitasi mengungkapkan perasaan cemas,
marah, atau sedih
- Lakukan sentuhan untuk memberikan dukungan
(mis. merangkul, menepuk-nepuk)
- Anjurkan mengungkapkan perasaan yang dialami
- Anjurkan mengungkapkan pengalaman
emosional sebelumnya dan pola respon yang
biasa digunakan
- Rujuk untuk konseling, jika perlu

Ketidakseimbangan nutrisi a. Manajemen nutrisi


kurang dari kebutuhan tubuh Defenisi
Mengidentifikasi dan mengelola asupan nutrisi
yang seimbang
Tindakan
- Identifikasi status nutrisi
- Monitor asupan makanan
- Monitor berat badan
- Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
- Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan,
jika perlu
b. Pemantauan nutrisi
Defenisi
Mengumpulkan dan menganalisis data yang
berkaitan dengan asupan dan status gizi
Tindakan
- Identifikasi faktor yang mempengaruhi asupan
gizi
- Identifikasi perubahan berat badan
- Monitor hasil laboratorium
- Timbang berat badan
- Hitung perubahan berat badan
- Dokumentasikan hasil pemantauan
4) Implementasi
Diagnosa Keperawatan Implementasi
Resiko infeksi a. Pencegahan infeksi
- Lakukan monitor tanda dan gejala infeksi local dan
sistemik
- Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
dengan pasien dan lingkungan pasien
- Menjelaskan tanda dan gejala infeksi
- Mengajarkan cara mencuci tangan dengan benar
- Menganjurkan meningkatkan asupan nutrisi
- Menganjurkan meningkatkan asupan cairan
b. Pemantauan tanda-tanda vital
- Lakukan monitor tekanan darah
- Lakukan monitor nadi
- Lakukan monitor pernapasan
- Lakukan monitor suhu tubuh
c. Perawatan luka
- Memonitor karakteristik luka mis. Drainasse, warna,
ukuran bau
- Memonitor tanda-tanda infeksi
- Menganjurkan mengonsumsi makanan tinggi kalori
dan protein
- Menjelaskan tanda dan gejala infeksi
- Lakukan kolaborasi pemberian antibiotik, jika perlu

Resiko harga diri rendah a. Promosi harga diri


situasional - Mengidentifikasi budaya, agama, ras, jenis kelamin,
dan usia terhadap harga diri
- Memonitor verbalisasi yang merendahkan diri
sendiri
- Mendiskusikan pertanyaan tentang harga diri
- Mendiskusikan kepercayaan terhadap penilaian diri
- Memfasilitasi lingkungan dan aktivitas yang
meningkatkan harga diri
- Menjelaskan kepada keluarga pentingnya dukungan
dalam perkembangan konsep positif diri pasien
- Melatih pernyataan/kemampuan positif diri
- Melatih meningkatkan kepercayaan pada kemampuan
dalam menangani situasi
b. Promosi koping
- Mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki
- Mengidentifikasi pemahaman proses penyakit
- Mengidentifikasi dampak situasi terhadap peran dan
hubungan
- Mengidentifikasi metode penyelesaian masalah
- Mengidentifikasi kebutuhan dan keinginan terhadap
dukungan social
- Mendiskusikan alasan mengkritik diri sendiri
- Menganjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
- Menganjurkan keluarga terlibat
- Mengajarkan cara menyelesaikan masalah secara
konstruktif
- Melatih penggunaan teknik relaksasi
c. Dukungan emosional
- Mengidentifikasi hal yang telah memicu emosi
- Memfasilitasi mengungkapkan perasaan cemas,
marah, atau sedih
- Melakukan sentuhan untuk memberikan dukungan
(mis. merangkul, menepuk-nepuk)
- Menganjurkan mengungkapkan perasaan yang
dialami
- Menganjurkan mengungkapkan pengalaman
emosional sebelumnya dan pola respon yang biasa
digunakan
- Merujuk untuk konseling, jika perlu

Ketidakseimbangan nutrisi a. Manajemen nutrisi


kurang dari kebutuhan tubuh - Mengidentifikasi status nutrisi
- Memonitor asupan makanan
- Memonitor berat badan
- Memonitor hasil pemeriksaan laboratorium
- Melakukan Kolaborasi pemberian medikasi sebelum
makan, jika perlu
b. Pemantauan nutrisi
- Mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi asupan
gizi
- Mengidentifikasi perubahan berat badan
- Memonitor hasil laboratorium
- Menimbang berat badan
- Menghitung perubahan berat badan
- Mendokumentasikan hasil pemantauan

5) Evaluasi

Diagnosa Keperawatan Evaluasi


Resiko infeksi S : Klien mengatakan demam dan batuk yang dirasakan
sudah berkurang

O : Trombosit naik dari 735 menjadi 900 per mikroliter


darah, dan Hb pasien meningkat menjadi 10 gr/dL

A : Masalah pasien teratasi sebagian, dibuktikan dengan


kenaikan jumlah trombosit dan Hb

P : Lanjutkan intervensi untuk dx 1


Resiko harga diri rendah S : Klien mengatakan sudah bisa menerima kondisi dirinya
situasional sekarang dan tidak lagi berpikiran negatif kepada diri
sendiri. Klien mendapatkan dukungan dari keluarga

O : Klien tampak lebih banyak berdoa, beribadah dan


menunjukkan respon positif

A : Masalah teratasi, dibuktikan dengan klien sudah bisa


menerima kondisi nya sekarang

P : Intervensi dihentikan

Ketidakseimbangan nutrisi S : Klien mengatakan tidak ada lagi nyeri saat menelan, dan
kurang dari kebutuhan tubuh tidak lagi mengalami diare
O : Berat badan klien naik dari 46 kg menjadi 48 kg, ulkus
pada lidah klien masih tampak

A : Masalah teratasi sebagian, ditandai dengan kemajuan


yang dialami pasien

P : Lanjutkan intervensi untuk dx 3

3.3 Pembahasan

Stigma pada ODHA berdasarkan kasus

1. Stigma masyarakat : Pada saat awal didiagnosa HIV, banyak warga sekitar tempat tinggal
klien menjauhinya, hanya ibu dan adik-adik klien yang tetap bisa menerima kondisi klien
apa adanya.
- Dampak stigma : banyaknya perilaku tidak adil, diskriminasi, dan penolakan akan
mengakibatkan klein ODHA harus hidup dengan menyembunyikan statusnya
dikarenakan malu akan penyakitnya
- Faktor terbentuknya stigma : stigma ini terbentuk karena kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang HIV/AIDS serta kesalahpahaman tentang penyebaran virus
2. Stigma masyarakat : Pada saat klien berbicara, banyak yang mengejek dan menjauhinya,
khususnya teman-teman kampungnya
- Dampak stigma : klien akan mengalami isolasi diri seperti menarik diri dari
lingkungan nya hal ini akan mengakibatkan semakin menurunnya tingkat
kesehatan klien
- Faktor terbentuknya stigma : selain dikarenakan faktor pengetahuan yang kurang,
stigma ini juga dapat terjadi karena faktor lingkungan sosial. Stigma tersebut
muncul karena tetangga beranggapan bahwa pasien dengan HIV/AIDS membawa
penyakit infeksi yang dapat menularkan ke orang lain dan penyakit tersebut tidak
dapat disembuhkan
3. Stigma masyarakat : Ketika suami klien yang merupakan pasien HIV sedang berjualan
jarang bahkan tidak ada warga yang ingin membeli makanan atau minuman yang dijual,
anak-anak warga sekitar juga dilarang orang tuanya bermain dengan anak klien, beberapa
warga juga menolak untuk menggunakan toilet yang sama dengan klien.
- Dampak stigma : klien tersebut tidak dapat menafkahi keluarganya dikarenakan
tidak ada yang membeli dagangannya. Orang dengan HIV merasa takut
mengungkapkan statusnya dan menunda untuk berobat karena stigma dari
masyarakat
- Faktor terbentuknya stigma : stigma ini terbentuk karena kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang HIV/AIDS serta kesalahpahaman tentang penyebaran virus.
Stigma bisa berhubungan dengan persepsi seperti rasa malu dan menyalahkan
orang yang memiliki penyakit HIV
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Stigma terhadap ODHA adalah suatu sifat yang menghubungkan seseorang yang
terinfeksi HIV dengan nilai-nilai negatif yang diberikan oleh mereka (masyarakat). Stigma
membuat ODHA diperlakukan secara berbeda dengan orang lain. Diskriminasi terkait HIV
adalah suatu tindakan yang tidak adil pada seseorang yang secara nyata atau diduga
mengidap HIV.

Stigma terhadap ODHA memiliki dampak yang besar bagi program pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS termasuk kualitas hidup ODHA. Populasi berisiko akan merasa
takut untuk melakukan tes HIV karena apabila terungkap hasilnya reaktif akan menyebabkan
mereka dikucilkan. Orang dengan HIV positif merasa takut mengungkapkan status HIV dan
memutuskan menunda untuk berobat apabila menderita sakit, yang akan berdampak pada
semakin menurunnya tingkat kesehatan mereka dan penularan HIV tidak dapat dikontrol.
Dampak stigma dan diskriminasi pada perempuan ODHA yang hamil akan lebih besar ketika
mereka tidak mau berobat untuk mencegah penularan ke bayinya.

Masalaah penyebaran infeksi HIV/AIDS sudah menjadi hal yang dianggap umum oleh
masyarakat. Lalu bagaimana dengan mereka yang sudah terdeteksi HIV/AIDS, dampak yang
akan dialami oleh mereka dari segi aspek sosial adalah adanya stigma dan diskriminasi akan
berdampak pada tatanan sosial masyarakat, penderitaan akan kehilangan kasih saying dan
lingkungan sosialnya. Dampak tersebut juga dapat dirasakan dalam aspek psikologis,kultural,
dan spiritual.

4.2 Saran
Demikian isi makalah ini, kami sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan banyak kekurangan baik dari segi bentuk maupun materi yang kami uraikan.
Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca untuk peraikan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Prathama Limalvin, N., Wulan Sucipta Putri, W. C., & Kartika Sari, K. A. (2020). Gambaran
dampak psikologis, sosial dan ekonomi pada ODHA di Yayasan Spirit Paramacitta
Denpasar. Intisari Sains Medis, 11(1), 81. https://doi.org/10.15562/ism.v11i1.208

Maiti, & Bidinger. (2011). Dinamika Psikologis Pada Orang Dengan HIV Dan AIDS (Odha).
Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.

Martiningsih, Abdul, H., & Ade, W. (2015). Stigma Petugas Kesehatan Terhadap Pasien
Hiv/Aids Dan Problem Solving. Jurnal Kesehatan Prima, I(2), 1471–1477. http://poltekkes-
mataram.ac.id/wp-content/uploads/2015/08/1.-Martiningsih.pdf

Khasanah, N. (2015). Dampak Ekonomi , Sosial Dan Psikologi Hiv / Aids Pada Orang Dengan
Hiv/Aids (Odha) Di Kabupaten Kebumen. STIE Putra Bangsa Kebumen, 630–645.

Vanchapo, A. R. (2019). Penanganan Terhadap Stigma Masyarakat tentang Orang Dengan


HIV/AIDS (ODHA) di Komunitas Muhammad Saleh Nuwa. Jurnal Penelitian Kesehatan
Suara Forikes, 10(1), 49–54. https://doi.org/10.33846/sf.v10i1.310

Siskaningrum, A., & Bahrudin. (2019). Modul Pemebelajaran Keperawatan HIV AIDS.

Ardani, Irfan., & Handayani, Sri. (2017). Stigma terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)
sebagai Hambatan Pencarian Pengobatan: Studi Kasus pada Pecandu Narkoba Suntik di
Jakarta. Buletin Penelitian Kesehatan, 45 (2), 81 - 88.

Hati, Konstantinus., Shaluhiyah, Zahroh., & Suryoputro, Antono. (2017). Stigma Masyarakat
Terhadap ODHA Di Kota Kupang Provinsi NTT. Jurnal Promosi Promosi Kesehatan
Indonesia, 12 (1), 62-77.

Paryati, T., Raksanagara, A. S., Afriandi, I., & Kunci, K. (2013). Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Stigma dan Diskriminasi kepada ODHA(Orang dengan HIV/AIDS) oleh
petugas kesehatan : kajian literatur. Pustaka Unpad, 38, 1–11.

Shaluhiyah, Zahroh., Musthofa, S. B., & Widjanarko, Bagoes. (2015). Stigma Masyarakat
Terhadap Orang Dengan HIV/AIDS. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 9 (4), 333-
339.

Anda mungkin juga menyukai