Anda di halaman 1dari 28

PERSIAPAN PENDIDIKAN KEPERAWATAN DALAM MENGHADAPI MEA 2016

Persiapan pendidikan keperawatan Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN


(MEA) atau dalam bahasa Inggrisnya dikenal dengan ASEAN Economic Community (AEC)
sangat penting untuk dianalisis karena tenaga perawat merupakan salah satu profesi yang akan
disertakan dalam mengikuti pasar ASEAN ini. Di negara Indonesia terdapat sebanyak 600
perguruan tinggi yang membuka pendidikan D3 keperawatan, 309 perguruan tinggi
menyelenggarakan keperawatan jenjang S1 (SEDirjen, 2011) dan antara pendidikan advokasi
dan profesionalis masih terdapat perdebatan. Pendidikan keperawatan masih perlu melakukan
beberapa pembinaan dan perbaikan baik dari segi kualitas, profesionalisme, dan perlindungan
untuk turut serta dalam persaingan pasar ASEAN karena jasa perawat yang ikut bersaing bukan
hanya soal jumlah tetapi kualitas dan perlindungan tenaga kerja perawat yang dinaungi oleh
undang-undang yang mengarah pada jaminan kesejahteraan dan keselamatan tenaga kerja
perawat tersebut. Salah satu tujuan dari MEA adalah bahwa negara anggota ASEAN akan
mengalami pertumbuhan yang setara. Jika keperawatan Indonesia tidak mampu
menyeimbangkan kualitas dengan tenaga kerja perawat yang ada di ASEAN maka sangat
dikhawatirkan tenaga kerja terampil dari luar akan masuk ke Indonesia dan mengalahkan
sumber daya keperawatan negara sendiri (Depkes, 2015). Untuk menyetarakan diri sampai akhir
tahun 2016 sepertinya keperawatan Indonesia belum siap dikarenakan masih ada perguruan
tinggi negeri yang membuka program D3 keperawatan, sedangkan negara ASEAN seperti
Thailand, Filiphina, dan Singapura sudah tidak memiliki D3 keperawatan lagi. Bagaimana
bangsa Indonesia mampu melakukan penyetaraan dalam waktu yang sangat singkat, karena
menyeterakan kualitas ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebenarnya pemerintah
sudah mendukung upaya-upaya penyetaraan kualitas tenaga kerja seperti melalui upaya 3 pilar
untuk menghadapi MEA yaitu Pertama, percepatan penerapan Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia (KKNI). Kedua, dilakukan Pelatihan Berbasis Kompetensi (PBK). Ketiga, Sertifikasi
Kompetensi (Depkes, 2015). Pemerintah juga sudah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan merupakan peraturan pokok yang berisi pengaturan
secara menyeluruh dan komprehensif di bidang ketenagakerjaan. Di samping itu, telah
membentuk Pusat Studi ASEAN (PSA) di 11 perguruan tinggi Tanah Air dengan tujuan
mempercepat terciptanya kesadaran masyarakat terhadap palaksanaan MEA melalui bantuan
mahasiswa. Ke-11 PTN itu yakni pada tahun 2012 dibentuk di Universitas Gadjah Mada;
sedangkan pada 2013 di Universitas Airlangga; Universitas Indonesia; Universitas Hasanuddin;
Universitas Andalas; Universitas Brawijaya; Universitas Sam Ratulangi; Universitas Padjajaran;
Universitas Mulawarman; Universitas Pattimura; dan Universitas Udayana. Atas inisiatif sendiri,
dan Universitas 17 Agustus Semarang (Dikti, 2015 dalam Romending, 2016). Menurut penulis,
strategis dari pemerintah ini masih perlu didukung oleh beberapa rekomendasi lain agar
percepatan penyetaraan kompetensi pendidikan keperawatan Indonesia bisa tercapai dengan
mudah. Beberapa rekomendasi tersebut adalah: Membangun Persatuan Dosen Keperawatan
Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia di Bawah PPNI Para dosen keperawatan perlu bersatu
untuk meningkatkan mutu keperawatan, menganalisis kebutuhan pendidikan keperawatan,
meningkatkan kompetensi masing-masing perguruan tinggi, dan mampu menyadarkan
pemerintah tentang setiap strategis yang diperlukan untuk memperbaiki pendidikan
keperawatan. Persatuan dosen ini bisa dinaungi oleh organisasi Persatuan Perawat Nasional
Indonesia yang akan menjadi wadah aspirasi perawat untuk ditampung, dianalisis, dan
menghasilkan rencana strategis. Menetapkan Kredensial Bagi Dosen Keperawatan Perguruan
Tinggi dan Kredential Lulus Mendirikan Perguruan Tinggi Banyaknya perguruan tinggi
keperawatan yang didirikan di Indonesia sebenarnya memang hal yang wajar. Namun, yang
perlu diperhatikan bukan hanya membuka perguruan tingginya saja tetapi yang paling utama
adalah kualitas dosen yang dimiliki, fasilitas sarana pengajaran, kompetensi, syarat-prasyarat
yang tepat, dan tanggung jawab dalam melahirkan tenaga perawat yang baru. Untuk melahirkan
tenaga perawat yang berkualitas maka hal ini diawali dengan pemberi pendidikan yang
berkualitas juga. Pemerintah perlu melakukan atau menetapkan kredensial terhadap dosen dan
syarat lulus mendirikan perguruan tinggi yang berkualitas dan memiliki komitmen pengajaran
yang baik di keperawatan maka hal ini akan mengakibatkan peningkatan kualitas keperawatan di
Indonesia. Kelebihan dari hal ini mungkin akan melahirkan tenaga pendidikan yang benar-benar
berkualitas dan sangat mampu bersaing di ASEAN ataupun di dunia karena mereka akan dipacu
untuk berlomba-lomba menjadi dosen pengajar yang berkualitas. Kekurangan dari hal ini
mungkin akan menurunkan dratis staff pengajar yang masih berpendidikan S1 di tempat
pendidikan keperawatan yang membuka program D3. Upaya ini memang tidak mudah, tetapi
pemerintah perlu memikirkan lagi arah signifikan mewujudkan hal ini. Secara Perlahan
Perguruan Tinggi Keperawatan dan Rumah Sakit Tidak Menyelenggarakan Penerimaan D3
Keperawatan Penyerataan kualiatas perawat dengan tenaga medis sebagai bentuk kolaborasi
sudah sangat sering dikumandangkan. “Bagaimana seorang dokter spesialis bisa berkolaborasi
dalam arti yang sebenarnya dengan perawat dengan lulusan D3 keperawatan atau Ners?”.
Pernyataan ini sudah sering diperbincangkan di pendidikan dan di pelayanan kesehatan.
Masyarakat Indonesia mengiginkan pelayanan kesehatan yang diterima sangat baik. Namun,
yang perlu diperhatikan cara para pelayanan medis dalam berkolaborasi melakukan tindakan
tersebut. Dokter tidak bisa bertindak sendiri tanpa tenaga medis lainnya, begitu juga perawat
tidak bisa bertindak tanpa tenaga medis lainnya. Perlu disadari bahwa untuk melakukan
kolaborasi diperlukan diskusi, dan diskusi memerlukan pengetahuan untuk menghasilkan
kebersamaan pendapat dan pengambilan keputusan dalam dunia medis. Hal ini yang sangat
perlu disadari oleh pemerintah dan tenaga medis itu sendiri. Bahwa keperawatan bukan lahan
bisnis tetapi mencetak tenaga yang bertanggung jawab untuk kesehatan manusia. Oleh karena
itu diperlukan perawat yang berpengetahuan tinggi, kompeten, dan profesional. Langkah awal
yang dilakukan untuk memperbaiki yang sudah ada yaitu pemerintah mulai mengeluarkan
peraturan terhadap rumah sakit dan perguruan tinggi untuk tidak melakukan penyelenggaraan
penerimaan D3 keperawatan. Hal ini tidak mudah tetapi jika pemerintah dan pihak ruamh sakit
memberikan beasiswa untuk D3 melanjutkan pendidikan S1 dengan persyaratan dan dinyatakan
lulus dalam menerima beasiswa. Maka secara perlahan tenaga perawat akan setara. Untuk
perguruan tinggi yang masih memiliki D3 keperawatan, dengan menyadari bahwa hal
keprofesionalismean tenaga medis memang sangat perlu dibangun maka diharapkan
berkomitmen untuk membuka program D3 lagi. Kelebihan dari rekomendasi ini akan terjadi
kerjasama yang profesional dan signifikan antara perawat profesional dan dokter untuk
meningkatkan pelayanan kesehatan dan kekurangan dari hal ini, menanti proses yang lama
untuk menyetarakan D3 menjadi S1 dan diharapkan menghasilkan S1 yang diratakan masih
dalam usia produktif pasti langka. Memberikan Pembelajaran Bahasa Inggris Bagi Dosen dan
Mahasiswa Mengenai bahasa yang akan digunakan dalam menghadapi MEA, dinyatakan bahwa
dari negara lain dituntut juga untuk bisa menggunakan bahasa Indonesia dalam melakukan
pelayanan. Namun, yang perlu dilihat bukan bahasa yang digunakan, tetapi orang yang
memberikan pelayanan. Jika seorang lebih berkompeten melakukan tindakan pertolongan
melalui pelayanan kesehatan, maka hal ini bisa menjangkau konsumen Indonesia yang berada
di tingkat ekonomi menengah ke atas. Indonesia perlu memperhatikan negara saingannya dalam
memberikan pelayanan kesehatan. Dalam hal ini adalah negara-negara tersebu sudah mahir
menggunakan bahasa Inggris dan kemungkinan besar dengan dibukanya pasar bebas ASEAN
ini maka bahasa inggris merupakan bahasa pengantar yang akan wajib digunakan. Oleh karena
itu, penulis merekomendasikan bahwa pendidikan keperawatan akan menerima calon
mahasiswa wajib lulus TOFLE/IELTS dan sebagainya sebelum memasuki perguruan tinggi. Hal
ini merupakan syarat untuk diterimanya mahasiswa keperawatan dan syarat untuk menjadi
dosen keperawatan juga diperlukan mampu berbahasa inggris baik oral dan tulisan. Untuk itu
mahasiswa dan dosen perlu difasilitasi. Mengingat untuk berbahasa Inggris dengan mahir bukan
hanya dengan sewaktu-waktu tetapi itu adalah sebuah rutinitas yang harus diwajibkan sehingga
menjadi suatu kebiasaan. Maka diperlukan kewajiban di dunia pendidikan untuk menggunakan
bahasa inggris dan perguruan tinggi perlu memfasilitasi mahasiswa dan dosen dalam
meningkatkan kualitasnya dalam berbahasa Inggris dengan memberikan ruang untuk
mengembangkan dirinya dalam berbahasa Inggris melalui tugas dan presentasi di kelas
misalnya. Kewajiban menterjemahkan tugas ke bahasa Inggris merupakan suatu hal yang dapat
dilakukan untuk mendorong mahasiswa secara tidak langsung dosen dan mahasiswa sudah
terpapar dengan bahasa inggris. Sehingga hal ini bisa dijadikan hal yang kecil, namun
berdampak besar untuk peningkatan bahasa Inggris dosen dan mahasiswa. Kelebihan dari
rekomendasi ini adalah perawat Indonesia akan dengan mudah menyamakan pengetahuannya
dengan perawat yang ada di negara-negara maju dengan memahami jurnal penelitian
berbahasa Inggris akan menjadi peningkatan yang luar biasa dalam memberikan praktek
keperawatan. Kekurangan dari rekomendasi memang perlu komitmen dan waktu untuk tetap
menjadikan bahasa Inggris dan memasukkan dalam bahasa pendidikan keperawatan saat
mengajar karena bahasa Inggris memang harus dibina sejak dibangku sekolah. Laporan Wajib
Tindakan Kolaborasi Saat Praktek Profesi di Rumah Sakit Salah satu yang sangat jarang
dilakukan oleh mahasiswa keperawatan di Indonesia adalah jarangnya melakukan tindakan yang
benar-benar berkolaborasi di rumah sakit dengan tenaga medis. Sedangkan diketahui bahwa
dalam menghadapi MEA sangat diperlukan kolaborasi yang sangat baik antara tenaga medis.
Bukan hanya sekedar memenuhi persayaratan agar bisa bersaing di pasar MEA, namun
memang hal kolaborasi yang benar-benar kolaborasi sangat perlu dilaksanakan dalam
pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Perlu dilihat kolaborasi dalam hal ini
bukan kolaborasi pada tindakan tetapi kolaborasi mengeluarkan ide-ide dan kemampuan untuk
mendukung proses penyembuhan dari pasien. Dalam kolaborasi ini ada suatu proses diskusi
antara tenaga kesehatan untuk membantu pasien mendapatkan pelayanan yang baik sehingga
proses penyembuhannya dapat diterima dengan cepat sehingga mengurangi beban pasien
dalam pembiayaan. Diskusi dilakukan sejak awal setelah pasien mendapatkan pertolongan
pertama. Kemudian perkembangan ke arah diskusi kolaborasi dilakukan demi mendukung
proses penyembuhan pasien. Proses evaluasi dilakukan secara bersama dengan tim medis
lainnya. Dalam melakukan tindakan medis antara tenaga medis memiliki peran dan bagian
dalam proses penyembuhan setiap evaluasi didapatkan dari setiap komponen medis di
dalamnya. Perawat bukan lagi bekerja sebagai perawat dengan tindakannya sendiri, dokter
bukan lagi dokter yang bekerja dengan intruksinya sendiri. Tetapi tenaga medis adalah
pembentukan tim yang bekerja sama dan berdiskusi dalam penyembuhan pasien. Baiknya hal ini
sudah dibangun oleh mahasiswa sejak dini atau saat praktek profesi di rumah sakit. Mereka
sudah diwajibkan melakukan kolaborasi dengan jenjang profesi dokter yang sedang belajar juga
di rumah sakit. Dokter dan Perawat yang sedang proses profesi memiliki laporan mengenai
tindakan kolaborasi yang dilakukan dalam menangani masalah pasien yang memang sangat
memerlukan tindakan kolaborasi. Kelebihannya rekomendasi ini sejak awal mahasiswa sudah
terbiasa melakukan tindakan kolaborasi, tidak ada batasan antara tenaga medis, dan akan lebih
bertanggung jawab menangani kasus pasien. Kekurangannya perlu pembina dari masing-
masing dosen tenaga medis dan merekapun diharapkan berkolaborasi juga membina tenaga
medis di layanan kesehatan, hal ini memerlukan dosen benar-benar mau meluangkan waktu dan
berkomitmen. Pengadaan Ujian Kompetensi Baru Dinyatakan Bisa Lulus Profesi Ners Sistem
perlakuan uji kompetensi di Indonesia akan dilakukan secara serentak di Indonesia, hal ini
merupakan suatu perwujudan untuk menjawab dan menyetarakan kompetensi keperawatan
yang ada di Indonesia. Namun, ujian ini biasanya dilakukan setelah perawat lulus ujian dari
perguruan tinggi. Akhrinya banyak perawat yang belum melakukan ujian kompetensi karena hal
ini jadinya bukan suatu kewajiban yang mengikat. Hanya dijadikan suatu syarat untuk memasuki
pelayanan kesehatan. Namun, penulis melihat bahwa hal ini yang penting dilakukan agar
menjadi suatu komitmen dan kewajiban dari tenaga perawat maka perlu diadakan ujian
kompetensi di perguruan tinggi tertentu yang dilakukan oleh pihak yang berwenang di seluruh
Indonesia, kemudian mahasiswa tersebut bisa dinyatakan lulus profesi ners. Kompetensi-
kompetensi yang ada pada ujian standar kompetensi ini harus diperhatikan oleh seluruh
perguruan tinggi. Kompetensi yang diujikan, merupakan standar kompetensi yang sudah
diajarkan, diberikan, dan didapatkan oleh mahasiswa di dalam kelas dan ketika bertugas praktek
belajar di rumah sakit. Setiap kompetensi harus mencakup seluruh bidang mata pengajaran
yang ada di keperawatan, tidak semata hanya pada bidang medikal bedah saja. Dalam standar
kompetensi ini tidak hanya mengukur pengetahuan dari perawat saja, tetapi skills, emotional
spritual, dan kemampuan berkolaborasi. Sistem Pelaksanaan Akreditasi Dilakukan Oleh Satu
Pihak di Indonesia Berita terbaru yang menyatakan bahwa adanya akreditasi yang dilakukan
untuk peruguruan tinggi swasta secara sendiri merupakan suatu bias dalam pendidikan
Indonesia. Akreditasi merupakan suatu standar yang harus dicapai oleh sebuah perguruan yang
akan digolongkan dan dapat dilihat baik atau tidak baik maka diperlukan alat pengukur yang
sama karena alat pengukur yang sama akan menghantarkan suatu perguruan tinggi digolongkan
pada hasil yang mengambarkan perguruan tinggi tersebut. Guna untuk menciptakan kesetaraan
antara perguruan tinggi dibutuhkan kejujuran terhadap koreksi yang perlu diperbaiki. Sistem
akreditasi perlu diserahkan dan dilaksanakan oleh satu instansi yang berwenang saja.
Kelebihannya adalah standar yang ditetapkan akan sama-sama dikejar oleh masing-masing
instansi dan tidak ada perbedaan pengukuran antara kompetensi yang dikejar swasta atupun
negeri. Membuka Kesadaran Masyarakat Indonesia bahwa Pendidikan Keperawatan Bukan
Satu-satunya Pilihan Tenaga yang perlu dituju Banyaknya berdiri perguruan tinggi keperawatan
di Indonesia didukung oleh kebutuhan masyarakat Indonesia yang menginginkan anaknya
bekerja sebagai tenaga kesehatan dala hal ini perawat salah satunya. Banyak orang tua
memandang dan memaksa anaknya untuk disekolahkan sebagai tenaga perawat, terutama bagi
mereka yang tidak lulus sasarannya di perguruan tinggi negeri. Perguruan tinggi swasta yang
membuka progam keperawatan menjadi sasaran dari mereka yang belum lulus perguruan tinggi
swasta. Melalui pendidikan sekolah menengah ke atas, dengan rapat orang tua mempersiapkan
anak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi perlu menyadarkan orang tua dan murid mengenai
perkembangan-perkembangan profesi atau jenis perkerjaan yang ada di Indonesia dan luar
negeri. Mereka perlu dibekali mengenai dampak dan progress dari setiap pekerjaan tersebut,
agar mereka tidak salah memilih dalam menjalankan pendidikan selanjutnya karena untuk
menjadi tenaga perawat diharapkan bisa memberikan pelayanan kesehatan yang dari dalam
hati, jujur, ikhlas, dan serius. Dari depalan rekomendasi strategis yang diusulkan penulis,
sebenarnya saling mendukung satu dengan yang lainnya. Namun yang paling penting dilakukan
saat ini adalah secara perlahan perguruan tinggi keperawatan dan rumah sakit tidak
menyelenggarakan penerimaan d3 keperawatankarena hal ini akan berdampak pada
rekomendasi yang lain sehingga penyetaraan pun mudah dicapai.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/mondo/persiapan-pendidikan-keperawatan-
indonesia-menghadapi-mea-2016_5748e5025b7b61890c492e8d
KESIAPAN TENAGA KESEHATAN INDONESIA MENGHADAPI TENAGA KESEHATAN
ASING

Globalisasi adalah peristiwa mendunia atau proses membuana dari mkeadaan lokal atau
nasional yang lebih terbatas sebelumnya. Artinya pembatasan antar negeri untuk perpindahan
barang, jasa, modal, manusia, teknologi, pasar, dan masih banyak hal lain menjadi tidak berarti
atau malahan hilang sama sekali. Globalisasi di berbagai sektor yang mengarah pada pasar
bebas tidak bisa dihindari oleh negara-negara lain termasuk diantaranya Indonesia. Di era ini,
batas negara semakin menghilang, sementara kemajuan teknologi dan informasi berkembang
demikian cepat. Globalisasi mempengaruhi perubahan di semua sektor, tidak terkecuali di
bidang kesehatan. Apalagi akan diberlakukannya Asean Free Trade Area (AFTA) atau istilah
lainnya Mayarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015 ini. Indonesia sebagai negara
berkembang dan merupakan negara yang cukup diminati oleh negara asing. Pertama, karena
memiliki potensi pasar yang besar terkait dengan jumlah penduduk yang besar yaitulebih dari
200 juta penduduk. Kedua, sekarang ini kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup
menjanjikan. Dengan potensi pasar yang besar tidak mengherankan jika kelak banyak dokter
atau tenaga kesehatan asing yang berniat bekerja di Indonesia. Hal ini tampaknya menakutkan
profesi kesehatan, karena ketakutan untuk bersaing, seperti kita ketahui kualitas sumber daya
manusia kesehatan kita rendah serta penguasaan teknologi yang terbatas pula. Data yang
diperoleh dari Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Kesehatan menunjukkan bahwa
jumlah tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit, baik di RSU maupun RS Khusus (meliputi
RS Pemda/Provinsi/Kabupaten/Kota, TNI/Polri, BUMN, dan Swasta) di seluruh Indonesia pada
tahun 2014 sebanyak 891.897 orang. Dalam rangka akan diberlakukannya sistem AFTA atau
MEA ini, Kementerian Kesehatan telah bekerja sama dengan beberapa negara lain diantaranya
Saudi Arabia, Inggris, Kuwait, Belanda, Singapura, Amerika, Norwgia, dan Malaysia untuk
pengiriman tenaga kesehatan Indonesia ke negara-negara tersebut. Berdasarkan analisa pasar
tenaga kesehatan Indonesia di berbagai negara, jenis tenaga kesehatan Indonesia yang dikirim
ke luar negeri yaitu : dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis, dan perawat. Arus tenaga asing
yang bekerja di Indonesia semakin meningkat. Pada suatu media massa diberitakan bahwa ada
sebanyak 2500 perawat Filipina yang mendaftarkan diri untuk dapat bekerja di rumah sakit-
rumah sakit yang ada di Indonesia. Selain itu, tenaga medis asing dan kebanyakan dari mereka
umumnya berpendikan setingkat S1, dengan status Registered Nurse (RNS) dan mampu
berbicara bahasa Indonesia. Selain itu tenaga medis asing, seperti dokter spesialis juga sudah
banyak yang melamar untuk dapat bekerja di Indonesia, kebanyakan mereka berasal dari
Filipina dan Bangladesh yang jumlahnya mencapai ribuan orang. Tenaga medis asing ini sudah
mengetahui bahwa akan banyak rumah sakit di Indonesia yang membutuhkan tenaga mereka
karena jumlah dokter di Indonesia masih relatif sedikit sekali dan banyak yang telah berusia
pensiun atau kurang produktif, serta dokter spesialis baru pun juga masih sangat rendah.
Adapun sesuai dengan persyaratan dari Kementerian Kesehatan yang diatur dalam permenkes
67 / 2013 yang mengacu pada UU 39 / 2004 tentang ketenagakerjaan bahwa tenaga kesehatan
asing yang ingin bekerja di Indonesia yaitu berusia muda sekitar 30 – 45 tahun, dan merupakan
lulusan dari perguruan tinggi yang mutunya diakui secara internasional, dan telah memperoleh
lisensi dari negara asalnya. Selain itu harus lolos kualifikasi dan kompetensi serta diprioritaskan
pada penguasaan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Tenaga medis asing tersebut
juga harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dari konsil kedokteran untuk dokter dan
perawat oleh Majelis Tenaga Kerja Indonesia (MTKI). Tenaga kerja asing yang masuk pun harus
diseleksi dulu oleh kolegium untuk bisa mendapatkan STR. Kolegiumlah yang menentukan
apakah sebuah rumah sakit tersebut boleh menggunakan tenaga kesehatan asing tersebut.
Rumah sakit masa kini menghadapi tantangan-tantangan berat termasuk dalam menghadapi era
globalisasi. Globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan serta investasi adalah lahan dasar
untuk sistem pasar bebas. Pasar bebas berarti persaingan bebas termasuk persaingan bebas
dalam jasa pelayanan kesehatan. Dalam persaingan secara umum ada yang dinamakan segitiga
persaingan yaitu customer (pelanggan), competitor (pesaing), dan corporate (rumah sakit itu
sendiri). Tantangan bagi rumah sakit adalah tantangan untuk bersaing, baik dengan sesama
pemberi pelayanan kesehatan di dalam negeri maupun luar negeri. Dalam arti positif, kompetisi
dalam memberikan serta meningkatkan kepuasan konsumen atau pasien yang bermutu lebih
baik sebagai fokus utama pelayanan. Selain itu, akibat globalisasi pasien juga dapat dengan
mudah mendapatkan informasi tentang pelayanan kesehatan yang ada di luar negeri. Oleh
karena itu, dibutuhkan lebih banyak lagi sumber daya kesehatan (Health Resources) yang
diperlukan untuk memenuhi tantangan tersebut. Sedangkan sumber daya untuk itu (SDM, dana,
sarana, ilmu pengetahuan dan teknologi, manajemen, material kesehatan, obat, dll) masih
terbatas. Secara khusus sumber daya tenaga kesehatan. Tenaga medis Indonesia terlihat belum
bisa ikut berperan dalam globalisasi kesehatan karena dari data yang ada, hanya sedikit sekali
tenaga kesehatan yang dapat bekerja di rumah sakit luar negeri. Dari data yang ada hanya baru
perawat yang mulai dapat bekerja di luar negeri, itupun hanya di beberapa negara. Untuk dokter
umum, dokter gigi, dan dokter spesialis malah masih terlihat sangat sulit untuk bisa menembus
rumah sakit di luar negeri. Seharusnya liberalisasi pada bidang kesehatan justru menjadi
cambuk bagi kita, dimana kita perlu pemusatan diri untuk meningkatkan mutu atau
profesionalisme sehingga apapun yang terjadi di masa mendatang tenaga kesehatan Indonesia
tidak perlu takut lagi di negeri sendiri dan diluar negeri. Bila Indonesia dapat menambah jumlah,
jenis serta dapat meningkatkan mutu tenaga medisnya, maka akan turun minat rumah sakit
asing di Indonesia mempekerjakan tenaga kesehatan asing, karena Indonesia sudah dapat
memenuhi kuota tenaga kesehatan seperti hal nya dokter atau dokter spesialis dan biaya yang
dikeluarkanpun relatif murah, sebab biaya mempekerjakan dokter asing lebih mahal. Kalau
dianalisis dari sudut pandang yang lain, sebenarnya dokter Indonesia tidak perlu takut dengan
masuknya dokter asing karena ada kemungkinan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan
oleh dokter asing tidak sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan kesehatan masyarakat Indonesia
sebagai akibat dari sistem pendidikan serta latar belakang sosial budaya yang berbeda.
Seharusnya kehadiran AFTA atau MEA disikapi dengan kepala dingin. Upaya pihak Indonesia
untuk meningkatkan daya saing tenaga kesehatan Indonesia dapat dilakukan dengan pertama,
meningkatkan jumlah, jenis dan mutu tenaga profesional kesehatan Indonesia dengan
penyempurnaan kurikulum, sistem pengajaran dan ujian, serta mengadakan program pendidikan
kesehatan yang komprehensif sehingga tenaga kesehatan Indonesia punya standar yang
bertaraf internasional, dan siap menghadapi serangan tenaga asing, atau terjadi perpindahan
para tenaga kesehatan Indonesia ke luar negeri karena sudah memilki standar internasional.
Kedua, menetapkan kebijakan yang mengharuskan tenaga kesehatan asing mengikuti ujian
profesi sesuai standar bila akan bekerja di Indonesia, serta memberlakukan peraturan timbal
balik yang artinya tenaga kesehatan asing yang dibenarkan bekerja di Indonesia adalah yang
berasal dari negara yang juga membolehkan tenaga kesehatan Indonesia bekerja di negara
tersebut. Ketiga, Indonesia memerlukan lembaga yang dapat melakukan akreditasi kompetensi
untuk menjaga profesionalisme para tenaga kesehatan di Indonesia. Sedangkan upaya dari
pihak rumah sakit menghadapi pasar bebas dalam ketenagaan kesehataannya diantaranya
meningkatkan kompetensi tenaga kesehatannya dengan cara pendidikan dan pelatihan,
seminar-seminar kesehatan, serta workshop. Seperti menyiapkan pelatihan maupun workshop
seperti tes TOEFL. Penguasaan Bahasa Inggris diharapkan mampu menunjang saat
menghadapi MEA 2015. Disamping hal itu menggalakkan kegiatan yang berhubungan dengan
kegiatan sosial kemasyarakatan, tak melulu urusan medis. Salah satunya dengan mengikuti
kegiatan bakti sosial yang diselenggarakan rumah sakit itu sendiri maupun eksternal.
Mengutamakan tenaga kesehatan lokal bagi rumah sakit lebih baik daripada menggunakan
tenaga kesehatan asing. Tenaga kesehatan Indonesia dalam menghadapi era globalisasi akan
dihadapkan pada dua pilihan : Jadi tuan rumah di negeri sendiri, atau tergusur. Atau jadi tuan
rumah di negeri sendiri serta tamu terhormat di luar negeri

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/halifiazukhrina/kesiapan-tenaga-kesehatan-
indonesia-untuk-menghadapi-tenaga-kesehatan-asing_54f91854a3331142038b460b
Tenaga Kesehatan di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN
Kesehatan merupakan hak asasi manusia serta modal pembangunan untuk keberlangsungan hidup
suatu negara. Kesehatan sebagai hak asasi manusia harus dilindungi oleh negara dan diberikan
kepada seluruh masyarakat tanpa ada diskriminasi. Untuk itu pemerintah harus memenuhi hak dasar
warga Negara yaitu hak untuk hidup sehat, yang diwujudkan dalam bentuk pelayanan kesehatan
yang menyeluruh melalui pembangunan kesehatan yang terarah, terpadu, berkesinambungan, adil
dan merata, serta aman, berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat. Supaya penyelenggaraan
upaya kesehatan terlaksana dengan aman, maka pelayanan kesehatan menjadi tanggung jawab
tenaga kesehatan. Dalam Undang-Undang nomor 36 tahun 2014 mengenai Tenaga Kesehatan,
tenaga kesehatan memiliki peran penting dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang
maksimal kepada masyarakat supaya masyarakat mampu untuk meningkatkan kesadaran, kemauan
dan kemampuannya untuk selalu hidup sehat, dengan begitu derajat kesehatan akan meningkat.
Untuk itu dalam pelaksanaannya, pemerintah wajib untuk menentukan kebijakan dan payung hukum
yang melindungi dan mengatur tentang pemberdayaan tenaga kesehatan di Indonesia temasuk
tenaga kesehatan WNI dan tenaga kesehatan WNA.
Menurut data dari Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan, Kementerian
Kesehatan RI, jumlah tenaga kesehatan yang terdata sampai tahun 2014 ini sebanyak 891.897
orang. Namun persebarannya masih belum merata, sebanyak 48.87% (435.877) tenaga kesehatan
masih terpusat di pulau Jawa dan Bali. Sedangkan di wilayah timur Indonesia, seperti Papua hanya
menerima 2.06% dari total tenaga kesehatan seluruhnya.
Dengan produksi tenaga kesehatan yang masih jauh dari kata cukup dan tingginya kebutuhan
terhadap pelayanan kesehatan, maka Indonesia menjadi salah satu negara yang ikut meratifikasi
persetujuan pembentukan WTO (World Trade Organization) melalui UU nomor 7 tahun 1994 tentang
Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia). Salah satu wujud nyata dari pembentukan WTO ini ialah
diadakannya AFTA (ASEAN Free Trade Area) yang mulai berjalan pada tahun 2015. Dengan adanya
AFTA ini diharapkan dapat membantu kekurangan tenaga kesehatan di Indonesia. Namun di sisi lain,
adanya AFTA ini dapat menjadi ancaman bagi tenaga kesehatan Indonesia. Indonesia dengan sekitar
240 juta penduduk dan luas daerah mencapai separuh Eropa dengan Produksi tenaga kesehatan
masih kurang, kebutuhan pelayanan tinggi, distribusi nakes yang buruk dan adanya keterbatasan
gerak pada tenaga kesehatan di Indonesia akibat hukum yang belum bisa ditegakkan secara
berkeadilan, menimbulkan kesempatan bagi Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing (TK-WNA)
untuk masuk ke pasar medis di Indonesia dan menjadi ancaman persaingan.
Untuk mencegah terancamnya pasar medis Indonesia oleh Tenaga Asing, pemerintah memiliki peran
penting untuk dapat melakukan upaya proteksi terhadap tenaga tenaga kesehatan Indonesia untuk
menghadapi ancaman tersebut. Terdapat beberapa upaya yang dilakukan oleh pemerintah seperti
mengatur status keberadaan tenaga kesehatan asing dan tenaga kesehatan Indonesia dalam
Undang-Undang nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan serta turunannya salah satunya
Peraturan Menteri Kesehatan nomor 67 tahun 2013 mengenai Pendayagunaan Tenaga Kesehatan
Warga Negara Asing (TK-WNA).
Adapun upaya pemerintah dalam melakukan upaya proteksi terhadap tenaga tenaga kesehatan yang
terdapat dalam UU No 36 Tahun 2014 antara lain seperti:
a.     Melakukan pembentukan konsil tenaga kesehatan dimana Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
mempunyai fungsi sebagai koordinator konsil masing-masing tenaga kesehatan dalam mengevaluasi
dan mengawasi tenaga kesehatan
b.     fasilitas pelayanan kesehatan yang akan menggunakan tenaga kesehatan asing harus memiliki
RPTKA dan IMTA yang dikeluarkan oleh menteri. Penyelenggara pelatihan yang dapat menggunakan
tenaga kesehatan asing adalah institusi pendidikan tenaga kesehatan yang terakreditasi, rumah sakit
pendidikan, organisasi profesi serta rumah sakit non pendidikan. Penyelenggara pelatihan
mengajukan permohonan Persetujuan kepada KKI bagi dokter dan dokter gigi WNA atau Menteri bagi
TK-WNA lain
c.     Mengupayakan peningkatan mutu dan pengawasan tenaga kesehatan yang dijelaskan lebih
lanjut pada rencana pembangunan tenaga kesehatan tahun 2011-2025.
 Pembinaan dan pengawasan mutu tenaga kesehatan utamanya ditujukan untuk meningkatkan
kualitas tenaga kesehatan sesuai kompetensi yang diharapkan dalam mendukung penyelenggaraan
pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia. Pembinaan dan pengawasan mutu tenaga
kesehatan dilakukan melalui peningkatan komitmen dan koordinasi semua pemangku kepentingan
dalam pengembangan tenaga kesehatan serta legislasi yang meliputi antara lain sertifikasi melalui uji
kompetensi, registrasi, perizinan (licensing), dan hak-hak tenaga kesehatan.
Pada rencana pembangunan tenaga kesehatan juga dijelaskan mengenai masalah pokok dalam
pengembangan tenaga kesehatan. Upaya kesehatan yang dilakukan hanya berfokus pada perbaikan
kuantitas dan kualitas tenaga kesehatan, namun masih belum pada mutu tenaga kesehatan sehingga
tenaga kesehatan belum memiliki daya saing dalam memenuhi permintaan tenaga kesehatan dari
luar negeri terutama dalam menghadapi AFTA. Belum lama ini pemerintah membuat kebijakan
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang tertuang dalam PP no.8 tahun 2012,
menjelaskan  adanya pengakuan kompetensi kerja melalui sertifikasi kompetensi kerja dan sebagai
perwujudan sistem perencanaan dan informasi tenaga kerja baik secara makro dan mikro.
KKNI adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyetarakan dan
mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam
rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan diberbagai sektor.
KKNI berusaha menjembatani gap antara pendidikan tinggi kesehatan yang sesuai dengan
kebutuhan pasar kerja kesehatan  dan menjawab tantangan dan persaingan global Era AFTA 2015.
Di dalam PMK RI no 67 tahun 2013 tentang pendayagunaan tenaga kesehatan warga Negara asing
(TK-WNA) adalah peraturan yang menggantikan PMK RI Nomor 317/Menkes/Per/III/2010 yang
dianggap sudah tidak relevan dengan adanya perkembangan IPTEK. Dalam PMK RI nomor 67 tahun
2013 ini memperlihatkan bentuk proteksi pemerintah terhadap tenaga kesehatan Indonesia yang
diharapkan dapat membatasi gerak dan kewenangan TK-WNA dalam bekerja di Indonesia. Adapun
proteksi tersebut diwujudkan dalam bentuk:
a.     Pendayagunaan TK-WNA dalam kegiatan pelayanan kesehatan ini harus didampingi oleh
tenaga kesehatan Indonesia. Hal ini bertujuan  untuk sharing pengetahuan, supaya tenaga kesehatan
Indonesia mampu menyerap dan memanfaatkan ilmu pengetahuan serta teknologi yang dikuasai oleh
TK-WNA tersebut
b.     TK-WNA hanya diperbolehkan bekerja sementara dan hanya dilakukan apabila tenaga
kesehatan Indonesia belum memiliki kompetensi yang sama seperti TK-WNA.
c.     TK-WNA hanya diperbolehkan menetap (ijin tinggal) sementara
d.     TK-WNA harus mengikuti SJSN.
e.     Larangan terhadap TK-WNA dalam hal pelaksanaan tugas dan pekerjaan yang tidak sesuai
dengan kompetensi.
f.      TK-WNA dilarang untuk mendirikan praktik mandiri dan dilarang untuk menduduki jabatan
personalia atau jabatan tertentu dalam institusi
g.     Tenaga kesehatan asing sebagai pemberi pelayanan harus memiliki sertifikat kompetensi
h.     Tambahan dimana didalam UU Praktik Kedokteran dan Permenkes No. 2052/2011 Tentang Izin
Praktik Kedokteran juga menjelaskan mengenai kewajiban tenaga kesehatan asing untuk memiliki
Surat Izin Praktik (SIP).
Proteksi diatas dilakukan untuk melindungi hak tenaga kesehatan Indonesia supaya tidak merasa
didiskriminasi oleh negaranya sendiri. Karena prinsipnya pendayagunaan TK-WNA di Indonesia yaitu
hanya untuk mengisi kekurangan tenaga kesehatan dan saling berbagi pengetahuan untuk
meningkatkan kompetensi tenaga kesehatan Indonesia.
Adapun Regulasi yang mengatur Tenaga Kesehatan Asing di Indonesia:
·      UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Ps. 21)
·      UU No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit (Ps. 14)
·      UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran (Ps.30)
·      Perkonsil No. 17/KKI/KEP/IV/2008 Tentang Pedoman Tatacara registrasi sementara dan
registrasi bersyarat dokter & dokter gigi Warga Negara Asing (WNA)
·      Perkonsil No. 157/KKI/PER/XII/2009 Tentang Tatacara registrasi dokter & dokter gigi Warga
Negara ASEAN yang akan melakukan praktek kedokteran di Indonesia
·      Permenkes 317/2010 Tentang Pendayagunaan TK-WNA di Indonesia yang kemudian di ganti
dengan Permenkes 67/2013 tentang pendayagunaan TK-WNA di Indonesia.
·      Keputusan Menteri Kesehatan No. 2574/Menkes/SK/XII/2011 Tentang Tim Koordinasi Perizinan
Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing di Indonesia
·      Permenkes No. 2052 Tahun 2011 Tentang Izin praktek dan pelaksanaan kedokteran (Ps.17-18)
REFERENSI:
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 103 Tahun 2014 Tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional.
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 67 Tahun 2013 Tentang Pendayagunaan Tenaga Kesehatan
Warga Negara Asing.
Depkes.2014. Undang- Undang Tenaga Kesehatan No 36 Tahun
2014.http://www.kemenkopmk.go.id/sites/default/files/produkhukum/UU%20Nomor%2036%20Tahun
%202014.pdf  (diunduh pada 23 Maret 2015)
Depkes.2011. Rencana Pengembangan Tenaga Kesehatan Tahun 2011 –
2025.http://www.who.int/workforcealliance/countries/inidonesia_hrhplan_2011_2025.pdf(diunduh
pada 27 Maret 2015)
Depkes.2010.Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 317/MENKES/PER/III/2010
Tentang Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Di
Indonesiahttp://www.pdgi.or.id/assets/files/2011/permenkes317%20th%202010%20tenaga
%20kesehatan%20WNA.pdf (diunduh pada 27 Maret 2015)
Khotib,Margareth. 2015.Tantangan SDM Kesehatan di era MEA
2015.http://m.kompasiana.com/post/read/694735/3/tantangan-sdm-kesehatan-di-era-mea-2015.html (
diunduh pada 23 Maret 2015)
Kompas. 2014.Pahami Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
2015.http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/12/pahami-masyarakat-ekonomi-asean-mea-2015 (di
unduh pada 23 Maret 2015)
Koesoemo,Gatot. 2014. Pengaruh Era MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) 2015 Terhadap Tenaga
Kesehatan Profesional Di Indonesiahttp://www.kemangmedicalcare.com/kmc-tips/tips-dewasa/2883-
pengaruh-era-mea-masyarakat-ekonomi-asean-2015-terhadap-tenaga-kesehatan-profesional-di-
indonesia.html (diunduh pada 23 Maret 2015)
Suwangto, Erfin.2013.Kesewenangan Pemerintah daerah terhadap
Dokter.http://m.kompasiana.com/post/read/594831/3/kesewenangan-pemerintah-daerah-terhadap-
dokter.html (diunduh pada 23 Maret 2015)
Suseno,S. 2013. Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing (TK-WNA) Di Indonesia
Hal 5-6
http://bppsdmk.depkes.go.id/tkki/data/uploads/docs/pendayagunaan_tenaga_kesehatan_warga_nega
ra_asing_tk-wna.pdf (diunduh pada 27 Maret 2015)
MEA DALAM PERSPEKTIF KEPERAWATAN

ASEAN Economy Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN


(MEA) akan diberlakukan pada akhir Desember 2015 mendatang. Babak baru
perdagangan antarnegara-negara di kawasan ASEAN akan membuka
tantangan dan peluang bagi para pelaku pasar dan jasa. Namun sosialisasi
dan informasi tentang MEA di tanah air masih sangat terbatas. Tidak banyak
masyarakat Indonesia yang mendapat informasi tentang MEA, bahkan masih
ada kalangan akademisi yang belum tau informasi MEA yang notabene punya
akses informasi yang lebih cepat dibanding masyarakat awam. Apa
sesungguhnya MEA dan apa implikasi yang akan dihadapi oleh masyarakat di
kawasan ASEAN dengan akan diberlakukannya MEA ini?
MEA adalah suatu program kerja sama antar Negara-negara ASEAN yang
dideklarasikan pada 2013 di Bali oleh sejumlah petinggi Negara-negara
ASEAN. Kemudian deklarasi ini kembali ditegaskan pada 2007 di Filipina.
Kerja sama MEA meliputi bidang perekonomian, politik dan keamanan, serta
sosial budaya. Dalam naskah blueprint MEA disebutkan ada empat
karakteristik bentuk kerja sama, yaitu: ASEAN single market, ekonomi
regional yang kompetitif, kesetaraan pertumbuhan ekonomi, dan integritas
ekonomi global. Tulisan ini lebih fokus pada karakteristik yang pertama yaitu
single market dimana dampaknya akan menyentuh langsung kepada satu
penyedia jasa layanan kesehatan yaitu perawat.
 Kualifikasi dan kempetensi
Satu komponen dari ASEAN single market adalah free flow of skilled labour.
Kerja sama ini akan membuka peluang kerja bagi tenaga profesi seperti
tenaga pendidik, dokter, perawat serta tenaga ahli lainnya untuk bekerja di
negara ASEAN pilihannya sesuai dengan standar masing-masing profesi. Di
samping itu dalam komponen ini, akan ada rumusan bersama tentang
kualifikasi dan kompetensi tenaga profesi yang disebut dengan Mutual
Recognition Arrangement (MRA). Sehingga diharapkan adanya kesetaraan
kompetensi tenaga profesi di kawasan Asia Tenggara, di antaranya adalah
kualifikasi dan kompetensi perawat.
Muncul pertanyaan dalam benak kita bersama, persiapan apa yang telah
dilakukan Stakeholder Keperawatan Indonesia menghadapi MEA akhir tahun
2015 ini? Mampukah perawat Indonesia berkompetisi dengan perawat dari
Negara ASEAN lain? Dapatkah perawat Indonesia memanfaatkan tantangan
ini sebagai peluang menambah lapangan kerja? Ataukah ini akan menjadi
ancaman bagi profesi perawat di Indonesia? Dalam menjawab tantangan di
atas, ada beberapa isu krusial yang perlu kita kaji terkait persiapan tenaga
perawat Indonesia menghadapi MEA.
Setelah hampir 12 tahun dideklarasikan di Bali pada 7 Oktober 2003,
informasi tentang MEA masih sangat minim diketahui oleh Tenaga Kesehatan
Indonesia. Dari hasil pengamatan juga wawancara saya baik langsung
maupun di media sosial seperti facebook, tidak banyak perawat di Aceh yang
mengetahui tentang MEA. Informasi MEA juga masih sangat minim di
kalangan mahasiswa keperawatan. Sebagai perbandingan, Thailand sangat
gencar menyosialisasikan tentang MEA kepada masyarakatnya.
Sebagai contoh, beberapa waktu lalu saya mengikuti sebuah talk show di
Bangkok yang bertema ASEAN Talk. Dalam talk show tersebut pembicara
membahas tentang bagaimana persiapan Thailand menghadapi MEA. Dari
segi sosialisasi Thailand baik untuk masyarakat awam maupun kalangan
akademisi sudah cukup baik. Informasi tentang MEA disosialisasikan dari
level universitas sampai sekolah dasar (SD). Sehingga tidak heran jika kita
bertanya kepada anak SD di Thailand, mereka mengetahui apa itu MEA.
Dari 10 Negara anggota ASEAN, masing-masing Negara memiliki kurikulum
dan sistem pendidikan keperawatan yang berbeda. Hal ini berimplikasi
kepada sulitnya menentukan standar terendah pendidikan keperawatan mana
yang akan menjadi acuan sebagai MRA. Sebagai contoh, pendidikan
keperawatan terendah di Thailand dan Filipina adalah Bachelor of Nursing
Science (BSN), kemudian berlanjut ke level Master dan Doktoral. Indonesia,
Brunei Darussalam, Singapora dan Malaysia pendidikan keperawatan
terendah adalah Diploma Keperawatan. Sedangkan Vietnam dan Myanmar
pendidikan keperawatan terendah adalah secondary level program 2 tahun.
Di samping itu sistem registrasi antarnegara ASEAN juga berbeda-beda.
Sebagai contoh, Filipina dan Thailand merujuk kepada Barat yaitu sistem
Registered Nurse (RN). Sedangkan Indonesia memakai sistem Surat Tanda
Registrasi (STR). Dalam definisi MRA terkandung makna secara jelas bahwa
perawat yang dimaksud adalah seseorang yang memiliki keahlian di bidang
jasa keperawatan yang didapat secara formal dan secara administratif telah
mendapat pengakuan dan lisensi dari otoritas yang ditunjuk oleh negaranya
masing-masing. Melalui MRA diharapkan akan tersedia tenaga perawat yang
kompetitif.
 Kendala klasik
Kemampuan bahasa Inggris merupakan satu kendala klasik perawat
Indonesia ketika ingin melanjutkan studi atau bekerja ke luar negeri.
Kemampuan bahasa Inggris perawat Indonesia dinilai jauh ketinggalan
dengan perawat dari Negara lain seperti Filipina. Menurut data Global Nation,
sebagian besar perawat dari Asia yang bekerja di Amerika dan Eropa berasal
dari Filipina. Sebanyak 20% Registered Nurse di California adalah perawat-
perawat dari Filipina. Perawat dari Filipina lebih dilirik oleh user AS dan Eropa
karena kemampuan bahasa Inggris mereka yang baik, juga skill yang bagus.
Untuk itu perbekalan bahasa Inggris yang mumpuni sangat diperlukan bagi
perawat Indonesia dalam menghadapi MEA.
Ketika MEA diberlakukan, interaksi berbagai budaya, agama, juga etnis akan
terjadi sehingga perawatan unikultural menjadi tidak relevan lagi. Konsep
keperawatan transkultural menjadi solusi perawatan pasien. Keperawatan
transkultural dicetuskan oleh Leininger dalam rangka menghormati agama,
juga mengenali kultur pasien ketika memberikan asuhan keperawatan.
Sepuluh Negara ASEAN memiliki latar belakang agama yang beragam.
Indonesia, Malaysia dan Brunei dengan latar belakang Muslim. Thailand,
Laos, Vietnam, Myanmar dan Kamboja adalah Buddha. Sedangkan
kebanyakan rakyat Filipina adalah Katolik. Keberagaman ini dapat
menimbulkan kesalahpahaman bagi perawat ketika saat memberikan
perawatan kepada pasien apabila tidak mengerti kepercayaan dan keyakinan
pasiennya. Oleh karena itu, perlu ditetapkan kompetensi keperawatan trans
kultural bagi perawat Indonesia dalam rangka mempersiapkan diri
menghadapi era multi-etnik MEA 2015.
Kita mungkin tidak akan melihat perubahan secara drastis saat MEA
diberlakukan akhir 2015 ini, kita juga mungkin belum akan melihat mobilitas
perawatan antar Negara ASEAN pada akhir 2015 ini, akan tetapi pertukaran
informasi dan pengetahuan di antara 10 negara-negara ASEAN akan terjadi.
Oleh karena itu, sebagai satu profesi yang termasuk ke dalam MRA, para
perawat hendaknya mempersiapkan diri semaksimal mungkin menghadapi
MEA yang akan diberlakukan akhir 2015 ini. Semoga!
Zamna Idyan, Mahasiswa Master of Nursing Science Chulalongkorn
University, Bangkok, Thailand/Mahasiswa tugas belajar Aceh Utara, penerima
Beasiswa ASEAN Scholarship 2014. Email: alzamna2012@gmail.com
Hadapi MEA 2015, Mahasiswa
Harus Upgrade Kualitas
 Monday, January 20, 2014

Satu tahun menuju Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), mahasiswa akan mendapat tantangan
baru. MEA merupakan program negara ASEAN untuk bersatu membentuk kekuatan ekonomi
pada 2015. MEA berdampak pada perdagangan bebas dan meluasnya lapangan pekerjaan.
Sumber Daya Manusia (SDM) negara-negara ASEAN akan lebih mudah dalam mencari
pekerjaan di luar negaranya.  

Dengan demikian mahasiswa harus mempersiapkan diri, mengetahui peluang dan dampak yang
terjadi bagi masyarakat Indonesia. Berikut hasil wawancara Reporter INSTITUT, Maulia
Nurul, dengan Zuhairan Yunmi Yunan, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Senin (13/1).

Bagaimana pendapat Anda mengenai kondisi Indonesia sekarang ini dalam persiapan
menuju MEA 2015?

Sistem ekonomi di Indonesia yang sampai sekarang tidak jelas. Apakah menggunakan sistem
kapitalis, sosialis, pancasila atau yang lain. Sistem yang tidak jelas ini berkaitan dengan
pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi tetapi tidak berdampak pada masyarakat kecil
Indonesia.

Saya khawatir Indonesia akan menjadi penonton saja dalam program MEA 2015. Pertumbuhan
Indonesia yang semakin meningkat didominasi oleh bangsa asing, sedangkan masyarakat kecil
hanya sebagai konsumen saja. 

Apa yang ingin dicapai oleh Indonesia dari program MEA?

Tentu Indonesia ingin meningkatkan kinerja ekonomi dan memberikan kesempatan untuk
meningkatkan ekspor barang buatan Indonesia. Namun, akan terjadi masalah selanjutnya pada
persaingan SDM. Daya saing antar manusia dalam memperoleh pekerjaan lebih ketat karena
bersaing dengan SDM yang berasal dari negara sesama ASEAN.
Seharusnya negara ini mempunyai visi untuk 50 hingga 100 tahun kedepan, bukan perlima
tahun. Negara kita cenderung mempermasalahkan orang yang menjabat sebagai kepala negara,
bukan tujuan yang dicapai.

Bagaimana dengan masyarakat kecil yang akan menghadapi MEA?

Peran pemerintah dalam mensosialisasikan MEA kepada masyarakat masih kurang. Padahal
pemerintah bisa menggunakan banyak media seperti televisi. Sangat disayangkan sekali, televisi
selalu menayangkan hal yang negatif dan hal yang positif jarang ditampilkan. Hal itu jika
masyarakat berpikir positif, negara ini akan maju. Perkembangan tentang negara ini yang telah
dicapai oleh pemerintah tidak pernah diekspos sehingga masyarakat tidak mengetahui akan hal
tersebut. Masyarakat hanya mengetahui masalah korupsi saja.

Apakah UIN sendiri sudah mempersiapkan mahasiswa untuk mencapai tujuan seperti itu?

Ya, UIN sedang mengarah ke sana. Banyak instrumen yang digunakan agar tercapai terutama di
LPJM (Lembaga Peningkatan Jaminan Mutu). Sudah 30 jurnal dosen yang masuk pada jurnal
internasional. Usaha itu ditujukan untuk meningkatkan kualitas, sarana prasarana, dan fasilitas
kampus agar mahasiswa mapan bersaing di dunia kerja.

UIN yang sedang menuju world class university juga merupakan salah satu usaha untuk
meningkatkan daya saing. Kampus kita menjadi satu-satunya perguruan tinggi agama Islam di
Indonesia yang memiliki akreditasi A. Maka mahasiswa bukan dididik untuk bersaing dalam
memperoleh pekerjaan, tetapi juga untuk mendirikan lapangan pekerjaan.

Program MEA membutuhkan kemampuan bahasa, keterampilan dan kesadaran


berwirausaha. Bagaimana dengan kondisi mahasiswa dalam hal ini? 

Mahasiswa harus meng-upgrade diri sendiri. Ketika individu tidak memiliki kemauan untuk maju,
maka individu tersebut akan tertinggal. Semua mahasiswa harus sadar akan MEA yang
membuat persaingan semakin ketat. 

Memang yang paling penting adalah peran pemerintah. Pemerintah seharusnya


mensosialisasikan MEA agar masyarakat sadar dan dapat mempersiapkannya. Walaupun
Indonesia sudah sering tertinggal, tetap ada kemungkinan bahwa hal itu akan bisa berubah.

Apa yang harus dilakukan mahasiswa supaya termotivasi?


Negara indonesia adalah negara yang serba ada. Indonesia memiliki SDA dan SDM yang
berpotensi. Namun, belum terlihat masyarakat yang dibangun motivasinya untuk mengelola
kekayaan ini dengan baik. Sehingga bukan hanya dieksploitasi dan dinikmati oleh bangsa asing
saja, tapi dikuasai oleh masyarakat Indonesia sendiri kemudian dijaga dengan baik.

Saya optimis terhadap bangsa Indonesia karena bangsa asing saja banyak yang berminat.
Namun, bagaimana kita bisa mengatur agar tidak dikuasai oleh bangsa asing. Salah satu usaha
mahasiswa misalnya memberikan kontribusi. Dalam mencapai ini, memang semuanya butuh
proses, misalnya dengan menyeimbangkan antara bentuk protes dengan solusi yang diberikan
ketika demo. 
AEC 2015: Mampukah Kesehatan
Indonesia Bersaing?
Dunia kesehatan selalu menjadi topik yang asyik dibicarakan. Mulai dari perkembangan
teori, praktek, alat-alat medis, dan juga sumber daya manusia. Tidak terbatas pada
pembahasan hal-hal tersebut, namun juga akan melebar ke  peraturan-peraturan dalam
pelaksanaan kegiatan bidang kesehatan. Tingkat kesehatan penduduk menjadi salah
satu penilaian dunia untuk sebuah negara yang sejahtera. Negara berkembang memiliki
tantangan yang lebih kompleks untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan
dalam bidang kesehatan. Tidak dapat dipungkiri, hal ini disebabkan karena negara
berkembang masih dalam proses perbaikan sistem maupun manajerial kenegaraan.

Sebagai contoh adalah sepuluh negara di Asia Tenggara yang menamai organisasinya
sebagai ASEAN (Association of South East Asian Nation). Katakanlah Indonesia, derajat
kesehatan yang dimiliki masih dalam proses mencapai target nasional. Padahal tahun
2015 menjadi tahun final untuk mencapai kesejahteraan bidang kesehatan. Namun
dalam kenyataannya, proses yang dilakukan masih sangat jauh dari harapan. Hal yang
sama pun barangkali terjadi pada negara-negara ASEAN lainnya, kecuali Malaysia dan
Singapura yang telah memiliki sistem kenegaraan lebih baik daripada negara ASEAN
lainnya.

Organisasi ASEAN menjadi tempat di mana masing-masing negara di Asia Tenggara


bertukar informasi dan menguatkan perkembangan negaranya. Selain itu, ASEAN juga
memiliki beberapa bertujuan. Seperti, mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan
sosial, serta pengembangan kebudayaan di kawasan Asia Tenggara, meningkatkan
perdamaian dan stabilitas regional, meningkatkan kerjasama yang aktif serta saling
membantu satu sama lain dalam masalah ekonomi-sosial-budaya-teknik-ilmu
pengetahuan-administrasi, saling memberi bantuan dalam bentuk sarana dan prasarana
latihan dan penelitian dalam bidang-bidang pendidikan, profesional, teknik, dan
administrasi, bekerja sama dengan lebih efektif dalam meningkatkan penggunaan
pertanian serta industri, perluasan perdagangan komoditi internasional, perbaikan
sarana pengangkutan dan komunikasi serta peningkatan taraf hidup rakyat,
meningkatkan studi-studi tentang Asia Tenggara, dan memelihara kerjasama yang erat
dan berguna bagi organisasi-organisasi internasional dan regional yang ada dan
bertujuan serupa.

Dalam rangka mewujudkan keberlangsungan tujuan-tujuan mulia tersebut, maka negara


yang terkumpul dalam ASEAN (Indonesia, Brunei Darussalam, Thailand, Malaysia,
Singapura, Myanmar, Filipina, Kamboja, Vietnam, dan Laos) selalu mengagendakan
untuk melaksanakan deklarasi setiap tahunnya. Hal ini bertujuan untuk memonitoring
perkembangan negara yang tergabung. Pada tahun 2015, akan diresmikan salah satu
hajat terbesar negara-negara ASEAN yakni AEC (ASEAN Economic Community).

AEC ini bermula dari KTT ASEAN ke-12 pada bulan Januari 2007, para pemimpin
menegaskan komitmen mereka yang kuat untuk mempercepat pembentukan ASEAN
Community pada tahun 2015 yang diusulkan di ASEAN Visi 2020 dan ASEAN Concord
II, dan menandatangani Deklarasi Cebu tentang Percepatan Pembentukan ASEAN
Community pada tahun 2015. Secara khusus, para pemimpin sepakat untuk
mempercepat pembentukan ASEAN Economic Community pada tahun 2015 dan
mengubah ASEAN menjadi daerah dengan pergerakan bebas barang, jasa, investasi,
tenaga kerja terampil, dan aliran modal yang lebih bebas.  Salah satu kegiatan yang
sesuai dengan tujuan ASEAN dalam meningkatkan kerjasama yang aktif dalam
berbagai bidang dan memberi bantuan dalam sarana prasarana di bidang pendidikan
adalah program AEC 2015 yaitu Asean Free Trade Area (AFTA).

Pada tahun 2015 mendatang ASEAN akan mempercepat perdagangan di bidang jasa
dan ini fokus pada peningkatan tenaga terampil. Artinya yang bagi kita berada pada
bidang jasa khususnya kesehatan, harus mampu melihat peluang tersebut. Untuk
meningkatkan tenaga kesehatan yang terampil itulah, seperti dikatakan Hargianti dalam
kuliah umum bertajuk Peran Tenaga Kesehatan dalam AEC 2015, setidaknya ASEAN
saat ini telah membuka kesempatan untuk membangun dan melatih para tenaga medis
khususnya dokter di kawasan ASEAN, mempromosikan praktik kedokteran sesuai
standar dan kualifikasi, memfasilitasi mobilitas para dokter dan pertukaran informasi.

Kegiatan yang akan berlangsung pada tahun 2015 ini menjadi perhatian massa. Hal ini
dikarenakan banyak sekali tantangan dahsyat yang akan menimpa setiap warga negara
di wilayah ASEAN. Meskipun maksud awal dari pembentukan AEC ini adalah untuk
mengoptimalkan kerjasama, namun ketika masyarakat dalam suatu negara tidak
memiliki kesiapan yang baik, maka monopoli oleh negara yang siap dan kuat mungkin
saja akan terjadi.

Indonesia merupakan salah satu anggota ASEAN yang harus melaksanakan akselerasi
diri dalam hal perkembangan ilmu kesehatan. Mengapa demikian? Ada beberapa alasan
yang melatarbelakangi hal tersebut. Pertama, ketersediaan sumber daya manusia
bidang kesehatan yang baik dan berkualitas belum memenuhi kebutuhan. Hal ini dapat
dibuktikan dengan masih banyaknya masyarakat yang mengaku dirinya sebagai
professional kesehatan di berbagai daerah padahal belum tersertifikasi, sehingga
menjadi sebuah keraguan dalam menerima pelayanan daripadanya.

Selain itu juga, keterampilan tenaga professional kesehatan yang belum mampu
secakap dan seikhlas tenaga medis luar negeri dalam pelayanan. Tak lupa dengan hal
yang terpenting adalah kemampuan berbahasa internasional (bahasa Inggris) serta
pemahaman isu-isu terhangat di dunia kesehatan masih rendah.

Pemikiran yang sempit juga masih terlihat pada mayoritas penduduk Indonesia.
Mampukah Anda membayangkan, apabila  mindsetmasyarakat Indonesia masih
semacam itu, maka seberapa kuat negeri ini mampu bersaing. Sedangkan penetapan
AEC tentunya akan menimbulkan persaingan ketat tenaga kerja dalam hal mendapat
pekerjaan. Apabila tenaga kerja Indonesia tidak mempunyai kualifikasi keahlian yang
dibutuhkan oleh perusahaan pencari kerja, maka dapat dipastikan perusahaan akan
mengganti orang tersebut dengan tenaga kerja yang lebih ahli. Tidak menutup
kemungkinan bahwa perusahaan tersebut juga akan menerima tenaga kerja asing yang
rela dibayar dengan gaji cukup murah dan mempunyai keahlian yang lebih bagus. Hal
ini dapat berakibat pada meningkatnya angka pengangguran dan munculnya sejumlah
masalah dalam bidang sosial dan ekonomi.

Kedua, ketersediaan alat-alat kesehatan yang berstandar internasional belum semuanya


terpenuhi. Sehingga, kemungkinan barang-barang atau alat-alat kesehatan dari luar
negeri akan lebih mudah dikonsumsi oleh pelayanan kesehatan di negeri ini. Bahkan
bisa jadi semuanya akan digantungkan pada buatan luar negeri.   Lalu kapan, anak-anak
bangsa akan diberikan kepercayaan untuk memproduksi barang atau alat kesehatan
berkualitas kalau pada akhirnya ada produk lain yang sudah bisa digantungkan. Selain
itu juga, pembiayaan yang harus ditanggung ketika transaksi dengan negara ASEAN
lainnya akan mengalami penurunan harga dibandingkan dengan periode-periode
sebelumnya.

Ketiga, masih sulitnya akses dan pelaksanaan pelayaan kesehatan yang masih terkait
dengan isu politik. Isu politik masih mendominasi negeri ini. Betapa tidak? “siapa yang
kuat, maka dialah yang menang” begitu juga politik. Sampai beberapa waktu lalu sempat
terbit buku berjudul “Orang Miskin Dilarang Sakit”. Hal ini menunjukan bahwa mahalnya
biaya kesehatan di Indonesia dipengaruhi oleh aspek politik yang berazaskan
keuntungan individu atau kelompok bukan rakyat. Meskipun telah muncul program
BPJS, namun pelaksanaannya juga dimulai baru awal tahun 2014. Sehingga progres
kesehatan belum terlihat signifikan.

Masih Ada Waktu untuk Persiapan 

Meskipun hanya sekitar 3 bulan menjelang tahun 2015, masyarakat masih dapat
mempersipkan diri untuk bersaing di kancah AEC sebelum penduduk negeri lain
bertamu di Indonesia. Peluang yang dapat dimanfatkan oleh tenaga kesehatan terlatih
atau barang-barang adalah dapat keluar masuk luar negeri yang tergabung di ASEAN
dengan beberapa hal yang dapat dipersiapkan.

Yang perlu di persiapkan pemerintah antara lain, memberikan banyak pelatihan yang
berkesinambungan dan berkualitas (bahkan perlu disertifikasi pelatihan tersebut) untuk
pengembangan kemampuan tenaga kesehatan Indonesia, menjalin hubungan yang
bagus terhadap instansi negeri maupun swasta yang berpotensial menjadi investor di
bidang kesehatan, membuat peraturan yang lebih ketat lagi untuk instansi atau institusi
yang bergerak di bidang kesehatan dalam menerima tenaga kerja baru atau mahasiswa
baru, membuat peraturan tegas tentang berlangsungnya AFTA bidang jasa kesehatan di
tempat kerja (puskesmas, rumah sakit, klinik, dll).

Dalam hal ini akademisi terkhusus mahasiswa juga perlu menyiapkan beberapa hal
yaitu, membantu pemerintah dalam mensosialisasikan program AFTA 2015 dan AEC
2015 kepada masyarakat agar mereka paham sebelum diberlakukannya program ini,
mempersiapkan diri sebaik mungkin sebagai mahasiswa agar mampu bersaing dengan
orang asing ketika telah lulus nanti (terkhusus untuk berkomunikasi dan presentasi
dalam Bahasa Inggris), perbaikan budi pekerti individu, karena budi pekerti adalah
modal utama dalam mendapatkan kepercayaan dalam bekerja apalagi di bidang
kesehatan.

Terakhir yang perlu disiapkan oleh masyarakat umum adalah, mereka diharapkan lebih
aktif dalam pengembangan kesehatan berbasis wirausaha (seperti nurseprenuership).,
turut andil dalam pengawalan program AEC 2015, ACEC 2015, arus memulai
membangun relasi dengan banyak pihak.

Semua yang telah terjabarkan di atas harus dihadapi di tahun 2015, sehingga mau tidak
mau, bisa tidak bisa, masyarakat Indonesia harus familiar dan paham bagaimana cara
untuk mengahdapi AEC 2015 (bidang kesehatan). Dengan lihai dan jeli melihat peluang
yang akan didapatkan, maka masyarakat dapat memanfaatkan hal tersebut sebagai
motivasi persiapan bersaing di AFTA.
*Manajer Umum Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta

KUNCI UTAMA BAGI INDONEISA UNTUK DAPAT MENCAPAI KSEJAHTERAAN


ADALAH,MASYARKAT INDONESIA MAMPU MEMBANGUN KEMBALI JIWA SOSIAL YANG
TELAH HILANG ,DAN TERUTAMA NILAI KEJUJURAN DI JUNJUNG TINGGI,TANPA
MEMANDANG DARI SEGI APA PUN MANUSIA ITU.DENGAN KATA LAIN INDONEISA HARUS
MEREKA ULANG APA SEBENARNYA ARTI PANCASILA DI BUAT,DAN BERTUJUAN UNTUK
SIAPA???????

ADA KATA PEPATA MENGATAKAN "DIMANA BUMI DI PIJAK DISITULAH LANGIT DI


JUNJUNG".
Peran Perguruan Tinggi Mempersiapkan
Mahasiswa Menghadapi AEC 2015
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) atau Perhimpunan Bangsa-bangsa
Asia Tenggara (PERBARA) merupakan organisasi dari negara-negara di kawasan Asia
Tenggara. Saat ini, ASEAN mempunyai 10 negara anggota, yakni: Indonesia, Malaysia,
Thailand, Singapura, Filipina, Brunei, Kamboja, Laos, Vietnam dan Myanmar. ASEAN
pertama kali dibentuk pada tahun 1967. Pada saat itu, hanya ada lima negara yang
tergabung di dalam ASEAN, yakni: Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, dan
Filipina Salah satu pertimbangan dibentuknya ASEAN adalah kerjasama ekonomi.

Pada tahun 1992 diadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang ke-5 di
Singapura. Dalam pertemuan tersebut, telah ditandatangani Framework Agreement on
Enhancing ASEAN Economic Cooperation sekaligus menandai dicanangkannya ASEAN
Free Trade Area (AFTA) pada tanggal 1 Januari 1993 dengan Common Effective
Preferential Tariff (CEPT) sebagai mekanisme utama. Pendirian AFTA memberikan
impikasi dalam bentuk pengurangan dan eliminasi tarif, penghapusan hambatan-
hambatan non-tarif, dan perbaikan terhadap kebijakan-kebijakan fasilitasi perdagangan.

Pada KTT ke-9 ASEAN yang dilaksanakan di Bali pada tahun 2003, para pimpinan
ASEAN menyepakati pembentukan komunitas ASEAN yang salah satu pilarnya
adalah ASEAN Economic Community (AEC). AEC bertujuan untuk menciptakan pasar
tunggal dan basis produksi yang ditandai dengan bebasnya aliran barang, jasa,
investasi, tenaga kerja terampil dan perpindahan barang modal secara lebih bebas.
Pada KTT tersebut juga ditetapkan sektor-sektor prioritas yang akan diintegrasikan,
yakni: produk-produk pertanian, otomotif, elektronik, perikanan, produk-produk turunan
dari karet, tekstil dan pakaian, produk-produk turunan dari kayu, transportasi udara, e-
ASEAN, kesehatan, dan pariwisata.

Pada bulan Agustus tahun 2006 di dalam ASEAN Economic Ministers Meeting (AEM) di


Kuala Lumpur, para negara anggota ASEAN menyetujui untuk membuat suatu cetak
biru (blueprint) untuk menindaklanjuti pembentukan AEC dengan mengindentifikasi sifat-
sifat dan elemen-elemen AEC pada tahun 2015 yang konsisten dengan KTT ke-9 dan
dengan target-target dan timeline yang jelas serta pre-agreed flexibility untuk
mengakomodir kepentingan negara-negara anggota ASEAN.

Pada KTT ASEAN yang ke-13 di Singapura, bulan November 2007, telah
disepakati Blueprint for the ASEAN Economic Community (AEC Blueprint) yang akan
digunakan sebagai peta kebijakan (roadmap)untuk mengubah kawasan ASEAN menjadi
suatu pasar tunggal dan basis produksi, kawasan yang kompetitif dan juga kawasan
yang terintegrasi dengan ekonomi global. Selain itu, AEC Blueprint juga akan
mendukung ASEAN menjadi kawasan yang berdaya saing tinggi dengan tingkat
pembangunan ekonomi yang merata serta kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi
yang makin berkurang.

Persiapan  Indonesia Menghadapi AEC 2015


Tanpa kita sadari, AEC yang sudah dipersiapkan sejak tahun 2003 akan segera hadir.
Pada tahun 2015, Indonesia akan segera memasuki babak baru dalam persaingan
global. Seharusnya dalam jangka waktu yang singkat ini, sudah sepantasnya Indonesia
lebih dari siap dalam menghadapi AEC. Ironisnya, Indonesia masih jauh dari kata “siap”.
Menurut hasil penelitian dari Lembaga penelitian Center for International Relations
Studies (CIReS) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI)
sampai awal tahun 2014 masih hanya 17 persen masyarakat umum termasuk
mahasiswa yang mengetahui soal AEC.

“Ini dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah agar kita siap menghadapi AEC 2015,
cuma 17 persen masyarakat umum termasuk mahasiswa yang mengetahuinya, dan
hanya 2 persen yang sadar akan keuntungannya, kenapa kami memilih Pemda karena
mereka yang paling berdampak langsung nantinya, dan yang bisa bersaing hanya yang
punya modal dan skill,” ujar Peneliti CIReS FISIP UI, Sofwan Albanna seperti
dikutip sindonews.com.

Dari pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa tantangan utama dari Indonesia untuk
menghadapi AEC adalah Sumber Daya Manusia (SDM) yang tahu dan mampu untuk
menghadapi AEC 2015. Dalam menghadapai AEC, mahasiswa sebagai iron
stock adalah pilar utama atau garda terdepan di bidang SDM.

Sebagai perbandingan dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya, dapat dicermati


data daya saing Indonesia menurut The Global Competitiveness Report 2013-2014
oleh World Economic Forum (WEF) seperti dikutip kpiunhas.com. Indonesia masih
tertinggal dengan negara-negara tetangganya seperti Malaysia, Thailand, dan
Singapura. Selain itu data dari ASEAN Productivity Organization (APO) juga
menunjukkan dari 1000 tenaga kerja Indonesia hanya ada sekitar 4,3% yang terampil
sedangkan Filipina 8,3%, Malaysia 32,6% dan Singapura 34,7%.

Indonesia perlu bangkit dari kondisi yang memprihatinkan ini. Seperti yang sudah
diutarakan diatas, salah satu hal yang perlu diperhatikan dari AEC adalah tenaga
terampil. Indonesia perlu mempersiapkan para mahasiswanya sebagai Iron Stock dalam
menghadapi AEC. Dalam hal tenaga terampil, tentunya pendidikan memegang peranan
yang penting. Khususnya pendidikan tinggi yang memiliki peran penting dalam
menentukan nasib Indonesia saat AEC mulai diberlakukan.

Peran Tri Dharma Perguruan Tinggi

Jika kita berbicara mengenai perguruan tinggi, maka mahasiswa adalah salah satu
unsur yang melekat di dalam pembahasan tersebut. Mahasiswa yang dikenal
sebagai agent of change, social control, dan iron stock, pada dasarnya menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang belajar di perguruan tinggi.
Layaknya seperti sekolah mempunyai siswa-siswi, perguruan tinggi mempunyai
mahasiswa-mahasiswi.

Setiap lembaga pendidikan tentunya mempunyai visi dan misi, karena proses
pembelajaran itu sendiri memang harus diawali oleh visi dan misi. Tri Dharma
Perguruan Tinggi adalah salah bentuk konkret dari seluruh perguruan tinggi yang ada di
Indonesia. Karena sudah menjadi keharusan bagi setiap perguruan tinggi untuk
melahirkan manusia-manusia yang intelek, kritis, peduli, dan berakhlak mulia. Dalam
rangka memenuhi hal tersebut, mahasiswa itu sendiri harus tahu dan paham dengan
betul apa yang maksud dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi: Pendidikan, Penelitian
dan Pengabdian.

Pendidikan adalah poin pertama dan utama dari Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Pendidikan dan pengajaran memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu proses
pembelajaran. Undang-Undang dengan tegas menyatakan bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
ahlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.

Perguruan tinggi perlu melakukan revitalisasi dalam hal ini. Perlu dipahami bahwa
perkembangan dan ranah pendidikan saat ini sudah sangat berbeda dan sangat
kompleks. Perguruan tinggi perlu memperlengkapi para mahasiswa-mahasiswinya
dengan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan dunia kerja sekarang. Berdasarkan
laporan dari Pearson (2014) seperti dikuti tribunnews.com, pendidikan jaman sekarang
bukan lagi sekedar 3Rs (Reading, wRiting, and aRithmetic), tetapi juga harus
menyangkut keterampilan-keterampilan baru yang dibutuhkan dunia kerja sekarang,
seperti: Leadership, Digital Literacy, Communication, Emotional Intelligency,
Entrepreneurship, Global Citizenship, Problem Solving, and Team-working.

Leadership adalah keterampilan untuk memengaruhi diri sendiri (self leadership),


memengaruhi tim (team leadership), dan juga memengaruhi semua orang di dalam
organisasi (organizational leadership) agar berkomitmen dan bekerjasama untuk
mencapai visi dan misi yang dicanangkan organisasi tersebut.

Digital Literacy berkaitan dengan keterampilan dalam tiga hal berikut, yakni:


kemampuan untuk menggunakan teknologi digital, alat komunikasi atau jaringan untuk
menemukan, mengevaluasi, menggunakan dan menciptakan informasi, kemampuan
untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai format dari berbagai
sumber ketika disajikan melalui komputer, dan kemampuan seseorang untuk melakukan
tugas-tugas secara efektif dalam lingkungan digital.

Communication berkaitan dengan keterampilan mengkomunikasikan informasi penting


secara mudah dan singkat agar dapat dipergunakan untuk pembuatan keputusan
peningkatan kinerja organisasi.

Emotional Intelligence (EQ) adalah keterampilan untuk mengidentifikasi, menggunakan,


memahami, dan mengelola emosi secara positif untuk meredakan stres, berkomunikasi
secara efektif dengan orang lain, berempati dengan orang lain, mengatasi tantangan,
dan meredakan konflik.

Entrepreneurship adalah keterampilan untuk mengembangkan, mengatur dan


mengelola usaha-usaha kreatif bersama dengan risiko yang diperhitungkan (calculated
risks) dalam rangka untuk menciptakan manfaat-manfaat dari usaha-usaha kreatif itu.

Global citizenship adalah keterampilan seseorang yang mampu menempatkan identitas


mereka agar sesuai dengan komunitas global lebih daripada  identitas mereka sebagai
warga negara tertentu atau asal suku bangsa tertentu.
Problem Solving adalah proses mental yang melibatkan, menemukan, menganalisis dan
memecahkan masalah. Tujuan utama dari pemecahan masalah adalah untuk mengatasi
hambatan dan menemukan solusi yang terbaik untuk memecahkan masalah.

Teamwork adalah proses bekerja bersama-sama dengan sekelompok orang untuk


mencapai suatu tujuan bersama. Teamwork merupakan bagian penting dari
keberhasilan organisasi, karena kita membutuhkan  rekan-rekan kerja untuk bekerja
sama dengan baik, mencoba ide-ide terbaik mereka dalam situasi apapun agar
mencapai sinergi dalam hasil. Prinsip dua kepala lebih baik daripada satu kepala
berlaku dalamteamwork ini.

Peneitian adalah poin kedua di dalam Tri Dahrma Perguruan Tinggi. Penelitian
mempunyai peranan bagi kemajuan perguruan tinggi, kesejahteraan masyarakat serta
kemajuan bangsa dan negara. Dari penelitian maka mahasiswa mampu
mengembangkan ilmunya dan berpikir kritis. Mahasiswa harus mampu memanfaatkan
penelitian dan pengembangan ini dalam suatu proses pembelajaran untuk memporoleh
suatu perubahan-perubahan yang akan membawa Indonesia kearah yang lebih maju
dan terdepan.

Sayangnya, dalam hal penelitian pun, Indonesia juga masih kalah dengan negara-
negara tetangga anggota ASEAN lainya. Menurut data yang disajikan majalah Suara
Mahasiswa edisi ke-30, publikasi ilmiah yang dilakukan oleh para akademisi di
Indonesia masih sangat jauh dibandingkan dengan negara-negara tetangga anggota
ASEAN, terutama dengan Singapura. Di dalam majalah tersebut dikatakan bahwa
jumlah publikasi ilmiah Universitas Indonesia (UI), sebagai salah satu universitas papan
atas Indonesia, bahkan tidak mampu mencapai 10 persen saja dari jumlah publikasi
ilmiah University of Singapore. Di dalam majalah tersebut dikatakan bahwa publikasi
ilmiah yang dilakukan UI hanya sebesar 2714 publikasi, sedangkan University of
Singapore telah melakukan 64.991 publikasi.

SBY, presiden Republik Indonesia, mengatakan bahwa bangsa yang maju adalah
bangsa yang berorientasi budaya tulis. Hal tersebut dipertegas melalui akun twitter-nya
yang mengatakan, “Biasakan beri hadiah buku pada anak, karena bangsa yang maju
berorientasi pada budaya tulis dibanding budaya tutur dan lisan,” seperti
dikutipnews.bisnis.com.

Dalam melakukan penelitian, pola pikir mahasiswa juga memegang peranan yang
penting. Mahasiswa perlu mempunyai tujuan yang ingin dicapai melalui penelitianya.
Menurut Suparno dan Mohamad Yunus, penulis yang baik mempunyai tujuan
menjadikan pembaca ikut berpikir dan bernalar, membuat pembaca tahu tentang hal
yang diberitakan, menjadikan pembaca beropini dan mengerti, membuat pembaca
terpersuasi oleh karangannya, serta membuat pembaca senang dengan menghayati
nilai-nilai yang dikemukakan.

Ketiga adalah pengabdian. Menurut Undang-Undang, pengabdian kepada masyarakat


adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh sivitas akademika dengan memanfaatkan
ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dan
mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pengabdian kepada masyarakan dapat dilakukan dengan berbagai kegiatan positif.


Pada hal ini mahasiswa harus mampu bersosialisasi dengan masyarakat dan mampu
berkontribusi nyata. Bentuk konkret pengabdian mahasiwa dapat dilakukan dengan
sosialisasi seputar AEC 2015 kepada masyarakat. Sosialisasi dapat dilakukan pemuda
dengan berbagai cara. Pemuda dapat melakukan sosialisasi dengan cara konvensional
seperti melakukan sosialisasi  door to door. Pemuda juga dapat memanfaatkan berbagai
media dalam melakukan sosialiasi, seperti memanfaatkan berbagai aplikasi sosial
media, membuat blog,  membuat berbagai poster, membuat film pendek, dan
sebagainya.

Dalam pelaksanaanya, seorang pemuda juga dapat bekerja sama dengan para pemuda
lainya dan membentuk sebuah kelompok dalam melakukan sosialisasi. Dalam hal ini,
mereka dapat berbagi peran dalam membagi tugas dan tanggung jawab, dapat saling
topang dalam kelemahan, dan yang terpenting adalah adanya rasa percaya kepada
kemampuan dan kesungguhan teman yang dapat memberi dampak positif dalam
pelaksanaan tanggung jawab.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di dalam pelaksanaan kelompok, yakni: visi
dan misi, strategi, kesadaran kepentingan untuk bersama, unjuk kerja, saling percaya
dan saling memberi dukungan. Dalam strategi, antara lain akan diuraikan tentang:
tujuan, sasaran, isi pesan, media yang digunakan, pengorganisasian, dan pemantauan
dampak sosialisasi.

Revitalisasi Mahasiswa Menghadapi AEC 2015

Tidak dapat dipungkiri bahwa mahasiswa memegang peranan yang penting dalam
Indonesia menghadapi AEC 2015 mendatang. Hal tersebut juga dipertegas oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Mohammad Nuh. Beliau juga ikut mengajak
perguruan tinggi untuk bersiap menghadapi ASEAN Economy Community (AEC).

“Urusan sebesar ini tidak cukup sekadar jadi pengetahuan. Tetapi kita harus
menerjemahkannya. Apa implikasi dan apa yang harus kita siapkan dalam menghadapi
perubahan pasar, perubahan interaksi sosial? Sehingga kompetensi, sertifikasi,
dan skill tertentu menjadi bagian yang harus kita persiapkan,” tutur beliau saat
memberikan sambutan dalam pelantikan pimpinan perguruan tinggi di Jakarta, Selasa
(9/9/2014) seperti dikutip dari kembdikbud.go.id.

Perguruan tinggi juga harus mampu melahirkan mahasiswa-mahasiswi Indonesia yang


kompeten, kritis dan solutif guna menghadapi AEC 2015. Guna mencapai hal tersebut,
perguruan tinggi  harus selalu menerapkan prinsip transparan dan akuntabel. Dengan
melibatkan sebanyak mungkin sivitas akademika, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
dan evaluasi kebijakan tertentu. Diharapkan dengan ini, mahasiswa-mahasiswi
Indonesia dapat membuat AEC 2015 bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai
peluang untuk menuju Indonesia yang lebih baik.

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia


DINKES: Tenaga Kesehatan Harus Sigap Hadapi Mea

Pekambaru, jurnalsumatra.com- Dinas Kesehatan Provinsi Riau mengingatkan agar tenaga


kesehatan harus sigap dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), begitu juga
mahasiswa yang saat ini masih menjalani pendidikan bidan maupun paramedis lainnya.
“Untuk menghadapi MEA tenaga kesehatan harus sigap dalam melakukan sesuatu, cek dan ricek
sangat penting. Harus mengatasi masalah tanpa masalah,” kata Kepala Dinkes Riau, Andra Sjafril
saat melantik Ikatan Pemuda Mahasiswa Kesehatan Riau (IPM-Kesri) di Pekanbaru, Sabtu.
Menurutnya hal utama yang harus dilakukan adalah berbenah diri dengan mengacu pada standar
profesi. Terlebih di era MEA tenaga kesehatan harus memiliki kreatifitas untuk menghadapi pola
integritas perdagangan bebas tersebut.
“Tenaga kesehatan adalah ujung tombak pembangunan kesehatan. Dalam era MEA, tenaga
kesehatan termasuk salah satu komponen yang harus siap untuk bersaing,” ujarnya.
Bersempena Hari Ulang Tahun Provinsi Riau ke-59 IKM-Kesri, selaku komunitas turut andil dalam
kesempatan dalam meningkatkan kemandirian masyarakat untuk hidup sehat. Hal itu bisa dilakukan
dengan menyatukan persepsi generasi muda untuk turut berkiprah nyata.
Pada kesempatan tersebut digelar juga seminar dengan tema
Kesiapan Pemuda dan Mahasiswa Kesehatan Menghadapi MEA. Menjadi narasumber Prof. dr.
Ascobat Gani, MD, MPH, DrPH yang merupakan Guru Besar Universitas Indonesia.
Dia menyampaikan ada tiga strategi menghadapi MEA. Pertama kesiapan kesehatan yang
memerlukan akreditasi di institusi pendidikan.
Diantaranya Akreditasi Nasional, ISO, JCI. Akreditasi Fasilitas Pelayanan Kesehatan untuk Rumah
Sakit KARS,  ISO,  JCI dan Puskesmas/klinik dengan KAPP dan ISO
“Kedua kesiapan sumberdaya manusia kesehatan melalui uji kompetensi standar Internasional dan
peningkatan kemampuan Teknis medis, ‘Soft skill’, kerjasama tim,  penguasaan bahasa, dan serikat
SDMK,” ungkapnya.
Terakhir harus ada kesiapan institusi pemerintah mulai dari Kementerian Kesehatan, Badan POM, 
Menaker,  32 Dinkes Provinsi,  dan 514 kabupaten/kota. Itu dilakukan melalui regulasi regional,
nasional, penegakannya, monitor dan evaluasi.(anjas)

Anda mungkin juga menyukai