Anda di halaman 1dari 5

PANCASILA DI ERA ORDE LAMA

BAB I

PENDAHULUAN

Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa sebenarnya merupakan perwujudan dari nilai-nilai
budaya milik bangsa Indonesia sendiri yang diyakini kebaikan dan kebenarannya. Pancasila
digali dari budaya bangsa sendiri yang sudah ada, tumbuh, dan berkembang berabad-abad
lamanya. Oleh karena itu, Pancasila adalah khas milik bangsa Indonesia sejak keberadaannya
sebagai sebuah bangsa. Pancasila merangkum nilai-nilai yang sama yang terkandung dalam
adat-istiadat, kebudayaan, dan agama-agama yang ada di Indonesia. Dengan demikian,
Pancasila sebagai pandangan hidup mencerminkan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.

Pancasila mulai dibicarakan sebagai dasar negara mulai tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang
BPPK oleh Ir. Soekarno dan pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila resmi dan sah menurut
hukum menjadi dasar negara Republik Indonesia. Kemudian mulai Dekrit Presiden 5 Juli
1959 dan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 berhubungan dengan Ketetapan No.
I/MPR/1988 No. I/MPR/1993, Pancasila tetap menjadi dasar falsafah Negara Indonesia
hingga sekarang.

Akibat hukum dari disahkannya Pancasila sebagai dasar negara, maka seluruh kehidupan
bernegara dan bermasyarakat haruslah didasari oleh Pancasila. Landasan hukum Pancasila
sebagai dasar negara memberi akibat hukum dan filosofis; yaitu kehidupan negara dari
bangsa ini haruslah berpedoman kepada Pancasila. Bagaimana sebetulnya implementasi
Pancasila dalam sejarah Indonesia selama ini dan pentingnya upaya untuk
mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila yang setelah reformasi mulai ditinggalkan demi
tegaknya persatuan dan kesatuan NKRI.

Penetapan Pancasila sebagai dasar negara dapat dikatakan mulai pada masa orde lama,
tanggal 18 Agustus 1945 sehari setelah Indonesia baru memproklamirkan diri
kemerdekaannya. Apalagi Soekarno akhirnya menjadi presiden yang pertama Republik
Indonesia.

Walaupun baru ditetapkan pada tahun 1945, sesungguhnya nilai-nilai yang terkandung di
dalam Pancasila disarikan dan digali dari nilai-nilai budaya yang telah ada dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Pencetus dan penggali Pancasila yang pertama adalah Soekarno
sendiri. Sebagai tokoh nasional yang paling berpengaruh pada saat itu, memilih sila-sila yang
berjumlah 5 (lima) yang kemudian dinamakan Pancasila dengan pertimbangan utama demi
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Pancasila yang merupakan dasar dan ideologi negara dan bangsa wajib diimplementasikan
dalam seluruh aspek kehidupan bernegara. Dalam mewujudkan Pancasila melalui kebijakan
ternyata tidaklah mulus, karena sangat dipengaruhi oleh pimpinan yang menguasai negara,
sehingga pengisian kemerdekaan dengan nilai-nilai Pancasila menampilkan bentuk dan diri
tertentu.

BAB II

PANCASILA MASA ORDE LAMA

A.    Keberadaan Pancasila di Masa Orde Lama

Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang pada
situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi. Pada saat itu kondisi politik dan
keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada dalam
suasana transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi masyarakat merdeka. Masa
orde lama adalah masa pencarian bentuk implementasi Pancasila terutama dalam sistem
kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda pada masa orde
lama. Terdapat 3 periode implementasi Pancasila yang berbeda, yaitu periode 1945-1950,
periode 1950-1959, dan periode 1959-1966.

Pada periode 1945-1950, implementasi Pancasila bukan saja menjadi masalah, tetapi lebih
dari itu ada upaya-upaya untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan faham
komunis oleh PKI melalui pemberontakan di Madiun tahun 1948 dan oleh DI/TII yang akan
mendirikan negara dengan dasar islam. Pada periode ini, nilai persatuan dan kesatuan masih
tinggi ketika menghadapi Belanda yang masih ingin mempertahankan penjajahannya di bumi
Indonesia. Namun setelah penjajah dapat diusir, persatuan mulai mendapat tantangan. Dalam
kehidupan politik, sila keempat yang mengutamakan musyawarah dan mufakat tidak dapat
dilaksanakan, sebab demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi parlementer, dimana
presiden hanya berfungsi sebagai kepala negara, sedang kepala pemerintahan dipegang oleh
Perdana Menteri. Sistem ini menyebabkan tidak adanya stabilitas pemerintahan.
Kesimpulannya walaupun konstitusi yang digunakan adalah Pancasila dan UUD 1945 yang
presidensiil, namun dalam praktek kenegaraan system presidensiil tak dapat diwujudkan.

Pada periode 1950-1959, walaupun dasar negara tetap Pancasila, tetapi rumusan sila keempat
bukan berjiwakan musyawarah mufakat, melainkan suara terbanyak (voting). Sistem
pemerintahannya yang liberal sehingga lebih menekankan hak-hak individual. Pada periode
ini persatuan dan kesatuan mendapat tantangan yang berat dengan munculnya pemberontakan
RMS, PRRI, dan Permesta yang ingin melepaskan diri dari NKRI. Dalam bidang politik,
demokrasi berjalan lebih baik dengan terlaksananya pemilu 1955 yang dianggap paling
demokratis. Tetapi anggota Konstituante hasil pemilu tidak dapat menyusun UUD seperti
yang diharapkan. Hal ini menimbulkan krisis politik, ekonomi, dan keamanan, yang
menyebabkan pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 untuk membubarkan
Konstituante, UUD 1950 tidak berlaku, dan kembali kepada UUD 1945. Kesimpulan yang
ditarik dari penerapan Pancasila selama periode ini adalah Pancasila diarahkan sebagai
ideology liberal yang ternyata tidak menjamin stabilitas pemerintahan.

Pada periode 1956-1965, dikenal sebagai periode demokrasi terpimpin. Demokrasi bukan
berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin adalah nilai-nilai Pancasila tetapi
berada pada kekuasaan pribadi presiden Soekarno. Terjadilah berbagai penyimpangan
penafsiran terhadap Pancasila dalam konstitusi. Akibatnya Soekarno menjadi otoriter,
diangkat menjadi presiden seumur hidup, politik konfrontasi, menggabungkan Nasionalis,
Agama, dan Komunis, yang ternyata tidak cocok bagi NKRI. Terbukti adanya kemerosotan
moral di sebagian masyarakat yang tidak lagi hidup bersendikan nilai-nilai Pancasila, dan
berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi lain. Untuk memberi arah
perjalanan bangsa, beliau menekankan pentingnya memegang teguh UUD 45, sosialisme ala
Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dan kepribadian nasional. Hasilnya
terjadi kudeta PKI dan kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Walaupun posisi Indonesia
tetap dihormati di dunia internasional dan integritas wilayah serta semangat kebangsaan dapat
ditegakkan. Kesimpulan yang ditarik adalah Pancasila telah diarahkan sebagai ideology
otoriter, konfrotatif dan tidak member ruang pada demokrasi bagi rakyat.

B.     Dinamika Perdebatan Ideologis Islam dan Pancasila di Masa Orde Lama

Dinamika perdebatan ideologi antara kelompok Islam dengan Pancasila adalah wajah
dominan perpolitikan nasional dari tahun 1945-1965. Bahkan pertikaian itu dilanjutkan pada
masa Orde Baru sampai Orde Reformasi ini. Pada dasarnya hal ini dilatarbelakangi oleh
kekecewaan kalangan Islam atas penghapusan Piagam Jakarta dari Pembukaan UUD 1945,
apalagi ketika penguasa (negara) menggunakan Pancasila sebagai alat untuk menekan
kalangan Islam tersebut.

Hal ini tampak ketika akhir tahun 1950-an, Pancasila sudah tidak lagi merupakan kompromi
atau titik pertemuan bagi semua ideologi sebagaimana yang dimaksud Sukarno. Ini karena
Pancasila telah dimanfaatkan sebagai senjata ideologis untuk mendelegitimasi tuntutan Islam
bagi pengakuan negara atas Islam. Bahkan secara terang-terangan Sukarno tahun 1953
mengungkapkan kekhawatirannya tentang implikasi-implikasi negatif terhadap kesatuan
nasional jika orang-orang Islam Indonesia masih memaksakan tuntutan mereka untuk sebuah
negara Islam, atau untuk pasal-pasal konstitusional atau legal, yang akan merupakan
pengakuan formal atas Islam oleh negara.

Kekhawatiran Sukarno memang beralasan, apalagi ketika rentang tahun 1948 dan tahun 1962
terjadi pemberontakan Darul Islam melawan pemerintah pusat. Serangan pemberontakan
bersenjata yang berideologi Islam di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh meski akhirnya
dapat ditumpas oleh Tentara Nasional Indonesia, tetap saja menjadi bukti kongkret dari
‘ancaman Islam’. Bahkan atas desakan AH. Nasution, kepala staf AD, tahun 1959, Sukarno
mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 untuk kembali kepada UUD 1945 dan menjadikannya
sebagai satu-satunya konstitusi legal Republik Indonesia. Perdebatan persoalan ideologi
tahun-tahun 1959-an dianggap telah menyita energi, sementara masalah lain belum dapat
diselesaikan. Apalagi periode 1959 sampai peristiwa 30 September 1965 merupakan masa
paling membingungkan pemerintah, dengan munculnya kekuatan PKI yang berusaha
menggulingkan pemerintahan.

Era ini disebut sebagai Demokrasi terpimpin, sebuah periode paling labil dalam struktur
politik yang justru diciptakan oleh Sukarno. Pada era ini juga Sukarno membubarkan partai
Islam terbesar, Masyumi, karena dituduh terlibat dalam pemberontakan regional berideologi
Islam. Dalam periode Demokrasi Terpimpin ini, Sukarno juga mencoba membatasi
kekuasaan semua partai politik, bahkan pertengahan 1950-an, Sukarno mengusulkan agar
rakyat menolak partai-partai politik karena mereka menentang konsep musyawarah dan
mufakat yang terkandung dalam Pancasila. Dalam rangka menyeimbangkan secara ideologis
kekuatan-kekuatan Islam, nasionalisme dan komunisme, Sukarno bukan saja menganjurkan
Pancasila melainkan juga sebuah konsep yang dikenal sebagai NASAKOM, yang berarti
persatuan antara nasionalisme, agama dan komunisme. Kepentingan-kepentingan politis dan
ideologis yang saling berlawanan antara PKI, militer dan Sukarno serta agama (Islam)
menimbulkan struktur politik yang sangat labil pada awal tahun 1960-an, sampai akhirnya
melahirkan Gerakan 30 S/PKI yang berakhir pada runtuhnya kekuasaan Orde Lama.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

1.      Pada periode 1945-1950, implementasi Pancasila bukan saja menjadi masalah, tetapi
lebih dari itu ada upaya-upaya untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan faham
komunis oleh PKI melalui pemberontakan di Madiun tahun 1948 dan oleh DI/TII yang akan
mendirikan negara dengan dasar islam.

2.      Pada periode 1956-1965, dikenal sebagai periode demokrasi terpimpin. Demokrasi


bukan berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin adalah nilai-nilai Pancasila
tetapi berada pada kekuasaan pribadi presiden Soekarno. Terjadilah berbagai penyimpangan
penafsiran terhadap Pancasila dalam konstitusi. Akibatnya Soekarno menjadi otoriter,
diangkat menjadi presiden seumur hidup, politik konfrontasi, menggabungkan Nasionalis,
Agama, dan Komunis, yang ternyata tidak cocok bagi NKRI.

3.      Dinamika perdebatan ideologi antara kelompok Islam dengan Pancasila adalah wajah
dominan perpolitikan nasional dari tahun 1945-1965.

Anda mungkin juga menyukai