Anda di halaman 1dari 24

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Osteoarhtritis
1. Definisi Osteoarthritis
Merupakan penyakit sendi degenerative yang progresif dimana rawan
kartilago yang melindungi ujung tulang mulai rusak di sertai perubahan reaktif
pada tepi sendi dan tulang subkhondral yang menimbulkan rasa sakit dan
hilang kemampuan gerak. Insiden dan prevalensi OA berbeda – beda antar
Negara, penyakit ini merupakan jenis arthritis yang paling sering terjadi yang
mengenai mereka di lanjut usia (2). Osteoartritis (OA) merupakan penyakit
yang berkembang dengan lambat , biasa mempengaruhi terutama sendi
diartrodial perifer dan rangka aksial . penyakit ini ditandai dengan kerusakan
dan hilang nya kartilago artikular yang berakibat pada pembentukan osteofit ,
rasa sakit, pergerakan yang terbatas, deformitas, dan ketidakmampuan.
Inflamasi dapat terjadi atau tidak pada sendi yang dipengaruhi (10).
Osteoartritis (OA) ditandai dengan degenerasi tulang rawan artikular , dimana
kerusakan menyebabkan fibrilasi matriks , munculnya fisura ulserasi kasar dan
hilangnya ketebalan tubuh permukaan sendi. Hal ini disertai dengan perubahan
tulang hipertrofik dengan pembentukan osteofit dan penebalan lempeng tulang
subkondral. Pada tahap klinis penyakit, perubahan membrane synovial juga
ditemukan bersamaan reaksi inflamasi , (12).
Osteoartritis merupakan suatu kelainan sendi kronis dimana menjadi
proses pelemahan dan disintegrasi dari tulang rawan sendi yang di sertai
dengan pertumbuhan tulang dan tulang rawan baru pada sendi , kelainan ini
merupakan suatu proses degenerative pada sendi satu atau lebih sendi, Di
Indonesia prevalensi osteoarthritis mencapai 5% pada usia <40 tahun, 30%
pada usia 40-60 tahun , dan 65% pada usia >61 tahun, untuk osteoarthritis lutut
prevalensinya cukup tinggi yaitu 15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita (1).
8

2. Klasifikasi Osteoartritis

Tabel 2.1 Klasifikasi OA


Primer (idiopatik) OA
Tipe paling
umum,tanpa penyebab
yang jelas
Lokalisasi OA Mempengaruhi satu atau dua sendi
General OA Mempengaruhi tiga atau lebih sendi
Erosif OA Menggambarkan adanya erosi dan tanda
proliferasi di proksimal dan distal sendi
interfarangeal tangan
Sekunder OA Trauma (akut/kronis)
Gangguan sendi
Penyebab diketahui
Gangguan metabolik sistemik atau gangguan
endokrin dan beberapa gangguan lain

3. Etiologi Osteoartritis
Berdasarkan etipatogenesis nya OA dibagi menjadi dua yaitu OA
primer dan OA sekunder . OA primer disebut juga OA idiopatik yang mana
penyebabnya tidak diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit
sistemik , inflamasi maupun perubahan local pada sendi, sedangkan OA
sekundr merupakan OA yang di tenggarai oleh factor-faktor seperti
penggunaan sendi yang berlebihan pada aktifitas kerja, olahraga berat,
adanya cedera sebelumnya, penyakit sistemik, inflamasi. OA primer lebih
banyak ditemukan daripada OA sekunder.

4. Epidemologi Osteoartritis
Insidensi dan prevalensi Osteoarthritis (OA) bervariasi pada masing-
masing negara, tetapi data pada berbagai negara menunjukkan, bahwa
arthritis jenis ini adalah yang paling banyak ditemui, terutama pada
kelompok usia dewasa dan usia lanjut. Prevalensinya meningkat sesuai
pertambahan usia. Data radiografi menunjukkan bahwa OA terjadi pada
sebagian besar usia lebih dari 65 tahun, dan pada hampir setiap orang pada
9

usia 75 tahun. OA ditandai dengan nyeri dan kaku pada sendi, serta adanya
keterbatasan gerakan. Penelitian epidemiologi dari Joern et al menemukan
bahwa orang dewasa dengan kelompok umur 60-64 tahun sebanyak 22% . Pada
pria dengan kelompok umur yang sama, dijumpai 23% menderita OA. pada
lutut kanan, sementara 16,3% sisanya didapati menderita OA pada lutut kiri.
Berbeda halnya pada wanita yang terdistribusi merata, dengan insiden OA pada
lutut kanan sebanyak 24,2% dan pada lutut kiri sebanyak 24,7% (2).

5. Fakor Resiko Osteoartritis

Tabel 2.2 Faktor Risiko untuk OA

Dapat dirubah Potensial dapat dirubah Tidak dapat dirubah


Kegemukan / Trauma Umur
6. Patofisiologi Osteoartritis
obesitas
Kelemahan otot Berkurangnya Jenis kelamin
proprioception
Aktifitas fisik berat Biomekanik sendi yang Keturunan
jelek

(mis. kelemahan
sendi/laxity)
Tidak aktif Kongenital

Osteoarthritis adalah penyakit sendi yang paling sering mengenai


rawan kartilago. Kartilago merupakan jaringan licin yang membungkus
ujung-ujung tulang persendian. Kartilago yang sehat memungkinkan
tulang-tulang menggelincir sempurna satu sama lain. Selain itu kartilago
dapat menyerap renjatan (shock) dari gerakan fisik. Yang terjadi pada
penderita OA ialah sobek dan ausnya lapisan permukaan kartilago.
Akibatnya tulang–tulang saling bergesekan, menyebabkan rasa sakit,
bengkak, dan sendi dapat kehilangan kemampuan bergerak. Lama
kelamaan sendi akan kehilangan bentuk normalnya, dan osteofit dapat
tumbuh di ujung persendian. Sedikit dari tulang atau kartilago dapat pecah
dan mengapung di dalam ruang persendian. Akibatnya rasa sakit
10

bertambah, bahkan dapat memperburuk keadaan (2). berikut sendi yang


terkena Osteoartritis :

2.1 gambar sendi yang terkena OA

7. Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik yang timbul adalah penderita osteoarthritis akan


merasakan sakit di persendian dan memiliki keterbatasan gerak. Tidak
seperti arthritis yang lain, OA hanya mempengaruhi persendian dan tidak
mempengaruhi organ lain. Sebagai contoh Arthritis Rheumatoid dapat
mempengaruhi organ lain selain sendi. Kurangnya aktifitas fisik dikenal
sebagai faktor risiko untuk banyak penyakit pada populasi manula dan
peningkatan aktifitas fisik pada pasien OA akan menurunkan morbiditas
dan mortalitas. Bukti klinik menunjukkan bahwa kelemahan otot
kuadrisep merupakan faktor risiko terjadinya OA lutut yang dapat
berakibat inaktivitas. Dan inaktivitas meningkatkan morbiditas yang
berkaitan dengan beberapa penyakit kronis seperti diabetes melitus,
penyakit cerebrovascular, penyakit jantung koroner, gagal jantung
kongestif, depresi, osteoporosis dan juga obesitas (2).

8. Gejala Klinis
a. Ngilu pada sendi setelah istirahat (bertambah sakit ketika bergerak).
11

b. Ada suara gemeretak ketika menggerakkan sendi yang sakit


(krepitasi).
c. Pertumbuhan tulang rawan sendi (osteofit) di tepi tulang.
d. Nyeri neuropatik (8) .

9. Penatalaksaan Terapi
a. Terapi NonFarmakologi

1) Edukasi pasien

Edukasi atau penjelasan kepada pasien perlu dilakukan agar pasien


dapat mengetahui serta memahami tentang penyakit yang
dideritanya, langkah-langkah agar penyakitnya tidak bertambah
semakin parah (2).

2) Latihan Fisik
Pasien dapat mengalami kesulitan berjalan akibat rasa sakit. Terapi
ini dilakukan untuk melatih pasien agar persendianya tetap dapat
dipakai dan melatih pasien untuk melindungi sendi yang sakit (2).
3) Penurunan berat badan
Berat badan yang berlebih merupakan faktor yang memperberat
osteoarthritis. Oleh karena itu, berat badan harus dapat dijaga agar
tidak berlebih dan diupayakan untuk melakukan penurunan berat
badan apabila berat badan berlebih (2).

b. Terapi Farmakologi
Terapi obat pada OA di targetkan pada penghilangan rasa sakit .
karena OA sering terjadi pada individu yang lebih tua yang memiliki
kondisi medis lainnya, diperlukan suatu pendekatan konservatif
terhadap pengobatan obat. Pendekatan individual untuk pengobatan
adalah penting, untuk sakit yang ringan atau sedang, analgesic topical
atau asetaminofen dapat digunakan. Jika hal ini gagal atau terjadi
inflamasi , obat NSAID dapat berguna (10).
12

Rasa nyeri dihubungkan dengan


nyeri sendi OA
Yes No

Terapi non obat dapat Evaluasi dan kelola


dikombinasikan Bursitis
dengan terapi obat Tendositis
Istirahat, Terapi fisik, Diet,
Edukasi pasien, Alat bantu Nyeri otot

Yes Cukup Respon? No

Terapi dilanjutkan Analgesik, Paracetamol


oral, Topikal kapsaicin,
glucosamine sulfat

Cukup Respon?
Yes No

Perhatian :
Pasien >65
Terapi NSAID tahun
dilanjutkan Pemilihan berdasarkan: Penyakit lain
Biaya, Riwayat PUD atau GI, Minum
Intoleran terhadap NSAID , glukokortikoid
Alergi, NSAID, aspirin riwayat PUD,
pendarahan GI
Gagal jantung, Disfungsi ginjal
Pemakaian
atau hati,hipertensi, pendarahan antikoagulan
Pilih COX-2
inhibitor
Dicoba 1- 2 minggu untuk Atau NSAID +
nyeri, 2-4minggu untuk PPI Atau
inflamasi. NSAID +
Yes No misoprostol.

Cukup Respon?

Terapi dilanjutkan Dicoba NSAID lain

Cukup respon?
13

Pertimbangkan analgesik
narkotik,injeksi hialuronat
dan evaluasi bedah

2.2 gambar Algoritma tatalaksana OA

1) Golongan NSAID
Dalam dosis tunggal antiinflamasi nonsteriod , mempunyai
aktivitas analgesik yang setara dengan parasetamol , tetapi parasetamol
lebih banyak dipakai terutamanya pada pasien lanjut usia. Dalam dosis
penuh yang lazim NSAID dapat sekaligus memperlihatkan efek analgesik
yang bertahan lama yang membuatnya sangat berguna pada pengobatan
nyeri berlanjut atau nyeri berulang akibat radang. NSAID lebih tepat
digunakan dari pada parasetamol atau analgesik opioid dalam arthritis
rematoid dan pada kasus osteoarthritis lanjut (10). Dalam hal seperti ini
kita pikirkan untuk pemberian NSAID, oleh karena obat golongan ini
disamping memiliki efek analgetik juga memiliki efek antiinflamasi.
American College of Rheumatology (ACR) merekomendasikan NSAID
untuk pasien yang tidak efektif menggunakan acetaminophen. NSAID
memiliki sifat analgesik pada dosis rendah dan efek antiinflamasi pada
dosis tinggi. NSAID bekerja dengan blokade sintesis prostaglandin dengan
menghambat enzim siklooksigenase (COX -1 dan COX – 2) diperkirakan
berkaitan dengan kemampuan NSAID untuk mengurangi rasa sakit dan
peradangan, karena NSAID nonspesifik dan COX – 2 inhibitor selektif
memiliki khasiat yang sama, pemilihan obat sering tergantung pada
toksisitas dan biaya. Obat NSAID yang biasa digunakan pada pasien
osteoarthritis adalah .natrium diklofenak, ibuprofen, naproxen (20).

Tabel 2.3 Pembagian dosis untuk NSAID

Rekomendasi dosis anti inflamasi perhari


Obat Dewasa Anak –Anak Jadwal Pemberian
14

Aspirin 2,6 – 5,2 g 60 -100 mg/kg 4 kali perhari


Diclofenak 150 – 200 mg - 1 atau 2 kali perhari
Ibu profen 1,2 -3,2 g 20 – 40 mg/kg 3-4 kali perhari
Meloksikam 7,5 -15 g - Sekali perhari
Piroksikam 10 – 20 mg - Sekali perhari
Ketoprofen 150 – 300 mg - 3.4 kali
perhari
Naproksen 0,5 – 1 g 10 mg/kg 2 kali perhari
Meklofenama 200 – 400 mg - 3-4 kali perhari
t

2) Chondroprotective Agent
Chondroprotective Agent merupakan obat – obatan yang dapat
menjaga atau merangsang perbaikan tulang rawan sendi pada pasien
osteoarthritis. Sampai saat ini yang termasuk dalam kelompok obat ini
adalah : tetrasiklin, asam hialuronat, kondrotin sulfat, glukosamin dan
sebagainya. obat yang termasuk dalam chondroprotektive agent adalah :
a) Glucosamin dan Chondroitin
Glucosamin diyakini berfungsi sebagai agen chondroprotective,
yang merangsang matriks tulang rawan. Pemberian glucosamin dan
kondroitin memiliki khasiat dalam mengurangi rasa sakit dan
meningkatkan mobilitas. Dosis yang yang dianjurkan setidaknya 1.500
mg/hari untuk glukosamin dan 1.200 mg/hari untuk kondroitin (2).

b) Asam Hialuronat
Asam hialuronat membantu dalam rekontruksi cairan sinovial,
meningkatkan elastisitasnya sementara dan memperbaiki fungsi sendi.
Mekanisme kerja dari hyaluronat tidak sepenuhnya dipahami tulang
rawan sehat mengandung asam hialuronat kental yang merupakan
substansi untuk memfasilitasi pelumasan dan pemyerapan dalam
berbagai kondisi bantalan beban. Pasien dengan osteoarthritis
menunjukkan penurunan asam hialuronat yang mutlak dan fungsional,
15

sehingga diperlukan administrasi eksogen yang disebut sebagai


viscosupplementation (2).

3) Kortikostreoid
Memiliki aktivitas glukokortikoid dan mineralokortikoid sehingga
memperlihatkan efek yang sangat beragam yang meliputi efek terhadap
metabolisme karbohidrat, protein, dan lipid. Efek terhadap ketesimbangan
air dan elektrolit , dan efek terhadap pemeliharan fungsi berbagai system
dalam tubuh. Kerja obat ini bergantung pada kondisi hormonal seseorang.
Namun secara umum efeknya dibedakan atas efek retensi Na, efek
terhadap metabolisme KH (glukoneogenesis), dan efek antiinflamasi ,
Kortekostreoid bekerja melalui interaksinya dengan protein reseptor yang
spesifik di organ target , untuk mengatur suatu ekspresi genetik yang
selanjutnya akan menghasilkan perubahan dalam sintesis protein lain,
protein yang terakhir ini lah yang akan mengubah fungsi seluler organ
target sehingga di peroleh, misalnya efek glukoneogenesis , meningkatkan
asam lemak , meningkatnya reabsorbsi Na, meningkatnya reaktivitas
pembuluh terhadap zat vasoaktif dan efek antiinflamasi (8).

Tabel 2.4 Data Farmakokinetik kortikosteroid

Obat Waktu paruh (menit)


Kortison 30
Hidrokortison 80-118
Metilprednisolon 78-138
Prednisone 60
Prednisolone 115-212
Triamsinolon 200
Betametason 300

4) Golongan Analgesik
a) Golongan Analgesik Non Narkotik
i. Asetaminofen (Analgesik oral)
16

Asetaminofen menghambat sintesis prostaglandin pada sistem


saraf pusat (SSP). Asetaminofen diindikasikan pada pasien yang
mengalami nyeri ringan ke sedang dan juga pada pasien yang
demam. Obat yang sering digunakan sebagai lini pertama adalah
parasetamol (8). Data Farmakokinetik : asetaminofen diabsorbsi
secara cepat dan sempurna di saluran GI pada pemberian oral,
terdistribusi secara cepat dan merata pada kebanyakan jaringan
tubuh, sekitar 25% asetaminofen didalam darah terikat pada protein
plasma. Asetaminofen di metabolisme oleh system enzim
mikrosomal didalam liver . asetaminofen memiliki waktu paro
plasma 1,25 – 3 jam. mungkin lebih lama mengikuti dosis toksik
atau pada pasien dengan kerusakan liver . sekitar 80-85%
asetaminofen didalam tubuh mengalami konjugasi terutama dengan
asam glukuronat dan asam sulfat. Asetaminofen Dieksresikan lewat
urine sebanyak 85% dalam bentuk bebas dan terkonjugasi (10).
b) Analgesik Narkotika
Analgesik narkotika dapat mengatasi rasa nyeri sedang sampai
berat. Penggunaan dosis obat analgesik narkotika dapat berguna untuk
pasien yang tidak toleransi terhadap pengobatan asetaminofen, NSAID,
injeksi intra-artikular atau terapi secara topikal. Pemberian narkotika
analgesik merupakan intervensi awal, dan sering diberikan secara
kombinasi bersama asetaminofen. Pemberian narkotika ini harus
diawasi karena dapat menyebabkan ketergantungan (8).

Tabel 2.5 Data Farmakokinetik analgetik narkotika


Data farmakokinetik analgesik narkotika
Obat Onset Puncak Durasi Waktu pero
(menit) (jam) (jam) (jam)

Alfentanil Sedang - - 1-2

Kodein 10-30 0,5-1 4-6 3

Fentanil 7-8 - 1-2 1,5-6

Hidrokodon - - 4-6 3-5


17

Hidromorfo 15-30 0,5-1 4-5 2-3


n
Meperidin 10-45 0,5-1 6-8 11-16

5) Tramadol
Tramadol dengan atau tanpa asetaminophen memiliki efek
analgesic sederhana pada pasien dengan osteoarthritis jika dibandingkan
dengan placebo. Tramadol juga cukup efektif sebagai terapi tambahan
pada pasien yang memakai bersamaan NSAID atau COX – 2 selektif
inhibitor. Seperti analgesik opioid, tramadol dapat berguna bagi pasien
yang tidak bisa mengkonsumsi NSAID atau COX – 2 inhibitor selektif.
Tramadol harus dimulai pada dosis rendah (100mg/hari). Efek samping
opioid seperti mual, muntah, pusing, sembelit, sakit kepala, dan
mengantuk umum terjadi pada penggunaan tramadol. Hal ini terjadi pada
60 – 70% dari pasien yang diobati, dan 40% pasien menghentikan
tramadol karena adanya efek merugikan tersebut

c. Terapi Bedah
Operasi atau tindakan bedah merupakan Alternatif bagi penderita
osteoarthritis yang sudah tidak respons dengan terapi farmakologi .
jenis tindakan bedah , antara lain :

Jenis Tindakan Tujuan Tindakan


Artroskopi Menggunakan alat kecil yang
dimasukan kedalam rongga sendi
untuk membersihkan tulang rawan
yang rusak.

Sinovektomi Merupakan operasi untuk mengatasi


jaringan sendi yang meradang.

Osteotomi Merupakan operasi yang dilakukan


untuk memperbaiki tulang , sehingga
posisi dan letaknya menjadi lebih baik.

Pergantian sendi Operasi ini merupakan Operasi


penggantian sendi yang rusak dengan
sendi baru yang terbuat dari bahan
metal.
18

B. Interaksi Obat
1. Definisi Interaksi obat
Interaksi obat didefenisikan sebagai modifikasi efek suatu obat akibat dari
obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan, sehingga
keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih berubah . Interaksi obat
dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan atau
mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi terutama bila menyangkut obat
dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya
glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat sitostatik . interaksi obat terjadi
jika efek suatu obat (Index drug) berubah akibat adanya obat lain (precipitant
drug) (11).

2. Mekanisme interaksi
Mekanisme interaksi obat secara umum terbagi dua yaitu interaksi
farmakokinetik dan interaksi farmakodinamik (14).

a. Interaksi farmakokinetik
Interaksi dalam proses farmakokinetik yaitu absorbsi, distribusi,
metabolisme, eksresi (ADME) dapat meningkatkan maupun menurunkan
kadar plasma obat. Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe:

1) Interaksi pada absorbsi obat


c) Efek perubahan pada PH gastrointestinal
Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung pada
sejauh mana obat tersebut terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak
terionkan. Absorpsi ditentukan oleh pKa obat, kelarutannya dalam lemak,
pH isi usus dan sejumlah parameter yang berhubungan dengan formulasi
obat. Sebagai contoh pada absorpsi asam salisilat oleh lambung lebih besar
terjadi pada pH rendah daripada pada pH tinggi .

d) Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek


Agen pengadsorpsi seperti arang aktif dimaksudkan untuk bertindak
19

sebagai agen penyerap di dalam usus untuk pengobatan overdosis obat atau
untuk menghilangkan bahan beracun lainnya, tetapi dapat mempengaruhi
penyerapan obat yang diberikan dalam dosis terapetik. Antasida juga dapat
menyerap sejumlah besar obat-obatan. Sebagai contoh, antibakteri
tetrasiklin dengan kalsium, bismut aluminium, dan besi, membentuk
kompleks yang kurang diserap sehingga mengurangi efek antibakteri .

e) Perubahan motilitas gastrointestinal


Kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus kecil,
obat- obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat
mempengaruhi absorpsi. Misalnya metoklopramid mempercepat
pengosongan lambung sehingga meningkatkan penyerapan parasetamol
(asetaminofen). Contoh lain seperti obat antimuskarinik dapat menurunkan
motilitas gastrointestinal sehingga meningkatkan absorbsi sebahagian besar
obat.

f) Malabsorbsi dikarenakan obat


Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi. Efeknya dapat
mengganggu absorpsi beberapa obat termasuk digoksin dan metotreksat.

2) Interaksi pada distribusi obat :


a) Interaksi pada ikatan protein
Setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh
tubuh oleh sirkulasi darah. Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan
plasma, banyak yang lainnya diangkut oleh beberapa proporsi molekul
dalam larutan dan sisanya terikat dengan protein plasma, terutama
albumin. Ikatan obat dengan protein plasma bersifat reversibel,
kesetimbangan terjadi antara molekul - molekul yang berikatan dengan
albumin dan dengan yang tidak berikatan. Hanya molekul yang tidak
berikatan yang tetap bebas dan aktif secara farmakologi, sedangkan obat
obat yang dalam bentuk terikat dapat bersirkulasi tetapi secara farmakologi
tidak aktif .
20

b) Induksi dan inhibisi protein transport obat


Hal ini semakin diakui bahwa distribusi obat ke otak, dan beberapa
organ lain seperti testis, dibatasi oleh aksi protein transporter obat seperti
P- glikoprotein. Protein ini secara aktif membawa obat keluar dari sel
ketika obat berdifusi secara pasif. Obat yang termasuk inhibitor transporter
dapat meningkatkan penyerapan substrat obat ke dalam otak, yang dapat
meningkatkan efek samping Central Nervous System .

3) Interaksi pada metabolisme Obat


a) Perubahan pada metabolisme fase pertama
Meskipun beberapa obat yang dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk
tidak berubah dalam urin, banyak diantaranya secara kimiawi diubah
menjadi yang lebih mudah diekskresikan oleh ginjal. Jika tidak demikian,
banyak obat yang akan bertahan dalam tubuh dan terus memberikan
efeknya untuk waktu yang lama. Perubahan kimia ini disebut metabolisme,
biotransformasi, degradasi biokimia, atau kadang-kadang detoksifikasi.
Ada dua jenis reaksi utama metabolisme obat. Pertama, reaksi tahap I
(melibatkan oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa
yang lebih polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat
dengan beberapa zat lain (misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai
glukuronidasi) untuk membuat senyawa yang tidak aktif. Mayoritas reaksi
oksidasi fase I dilakukan oleh enzim sitokrom P450. Sedangkan enzim
pada reaksi tahap II sedikit yang diketahui.

b) Induksi enzim
Ketika barbiturat digunakan secara luas digunakan sebagai hipnotik,
perlu terus dilakukan peningkatan dosis seiring waktu untuk mencapai
efek hipnotik yang sama, alasannya karena barbiturat dapat meningkatkan
aktivitas enzim mikrosomal sehingga metabolisme dan ekskresinya
meningkat.
21

c) Inhibisi enzim
Disebut penghambatan enzim menyebabkan berkurangnya
metabolisme obat, sehingga obat terakumulasi di dalam tubuh. Jalur
metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase oksidasi oleh
isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi
enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat. Jika
serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara
klinis.

d) Interaksi isoenzim sitokrom p450 dan obat yang di prediksi .


Isoenzim tertentu bertanggung jawab untuk metabolisme obat.
Misalnya, siklosporin dimetabolisme oleh CYP3A4, rifampisin
menginduksi isoenzim ini, sedangkan ketokonazol menghambat
aktivitasnya, sehingga tidak mengherankan bahwa rifamfisin dapat
mengurangi efek siklosporin sementara ketokonazol meningkatkannya.

4) Interaksi pada ekskresi obat


a) Perubahan pH urin
Seperti penyerapan obat di usus, reabsorpsi secara pasif tergantung
pada apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak
terionkan,yang tergantung pada pKa dan pH urin. Dengan demikian pada
nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa 3 - 7,5)
sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi, yang tidak dapat
berdifusi ke dalam sel tubulus maka akan tetap dalam urin dan dikeluarkan
dari tubuh. Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa 7,5 sampai 10.5.
Dengan demikian, perubahan pH yang meningkatkan jumlah obat dalam
bentuk terionisasi, meningkatkan hilangnya obat .

b) Perubahan ekskresi aktif tubular ginjal

Obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama


ditubulus ginjal dapat bersaing satu sama lain dalam hal ekskresi.
Sebagai contoh, probenesid mengurangi ekskresi penisilin dan obat
22

lainnya.

c) Perubahan aliran darah ginjal`


Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh vasodilator
prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi
beberapa obat dari ginjal dapat berkurang.

b. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja
pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga
terjadi efek yang aditif, sinergis atau antagonis, tanpa terjadi perubahan kadar
obat dalam plasma.
1) Interaksi aditif atau sinergis
Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan
bersama - sama efeknya bisa bersifat aditif. Misalnya, alkohol menekan
sistem saraf pusat, jika dikonsumsi bersamaan dengan ansiolitik, dan
hipnotik dapat menyebabkan kantuk berlebihan. Kadang-kadang efek aditif
menyebabkan toksik (misalnya aditif ototoksisitas, nefrotoksisitas, depresi
sumsum tulang).

2) Interaksi antagonis atau berlawanan


Antagonis terjadi jika obat yang berinteraksi memiliki efek
farmakologi yang berlawanan. Sebagai contoh, kumarin dapat
memperpanjang waktu pembekuan darah yang secara kompetitif
menghambat efek vitamin K.

3. Tingkat keparahan interaksi obat


Keparahan interaksi diberi tingkatan dan dapat diklasifikasikan dalam
tiga kategori yaitu:

a. Keparahan ringan
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan ringan memiliki
konsekuensi mungkin mengganggu atau tidak terlalu mencolok tapi tidak
23

signifikan mempengaruhi hasil terapi. Pengobatan tambahan biasanya


tidak diperlukan .
b. Keparahan sedang
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan sedang jika efek yang
terjadi dapat menyebabkan penurunan status klinis pasien. Pengobatan
tambahan, perpanjangan pengobatan dan rawat inap mungkin diperlukan
perawatan di rumah sakit .
c. Keparahan berat
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan berat jika terdapat
probabilitas yang tinggi kejadian yang membahayakan pasien termasuk
kejadian yang menyangkut nyawa pasien dan terjadinya kerusakan
permanen .

d. Rumah Sakit
1. Pengertian Rumah Sakit
Rumah Sakit menurut Permenkes No.72 tahun 2016 Tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit adalah Institusi pelayanan kesehatan
yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna
yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat (3).

2. Klasifikasi Rumah Sakit


Berdasarkan bentuknya, Rumah Sakit dibedakan menjadi Rumah Sakit
menetap, Rumah Sakit bergerak dan Rumah Sakit lapangan.
a. Rumah Sakit menetap merupakan rumah sakit yang didirikan secara
permanen untuk jangka waktu yang lama untuk menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perseorangan secara paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat (4).
b. Rumah Sakit bergerak merupakan rumah sakit yang siap guna dan bersifat
sementara dalam jangka waktu tertentu dan dapat dipindahkan dari satu
lokasi ke lokasi lain, rumah sakit bergerak dapat berbentuk bus, kapal laut,
gerbong keretta atau container (4).
24

c. Rumah Sakit lapangan merupakan Rumah Sakit yang didirikan lokasi


tertentu selama kondisi darurat dalam pelaksanaan kegiatan tertentu yang
berpotensi bencana atau selama masa tanggap darurat bencana (4) .

3. Fungsi Rumah Sakit


Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia No 77 tahun 2015 Fungsi
Rumah Sakit adalah sebagai berikut (5):
a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan Rumah Sakit.
b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui kesehatan
yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai dengan kebutuhan medis.
c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

4. Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit


Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi.Standar pelayanan
kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi
tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian (3).
Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit
dilaksanakan pada unit pelayanan berupa ruang farmasi yang dipimpin oleh
seorang apoteker yang memiliki kompetensi dan kewenangan untuk melakukan
pekerjaan kefarmasian sebagai penanggung jawab (3).
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit bertujuan untuk :
a. Meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian.
b. Menjamin kepastian hokum bagi tenaga kefarmasian.
c. Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak
rasional dalam rangka keselamatan pasien (Patient Safety)
25

D. Rekam Medis
Definisi rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen
mengenai identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan
lain yang telah diberikan kepada pasien. Rekam medis dibuat secara tertulis,
lengkap dan jelas atau secara elektronik (13).
Isi rekam medis pada rawat jalan di sarana kesehatan sekurang-kurangnya
memuat (13) :
a. Identitas pasien
b. Tanggal dan waktu
c. Hasil anamsis, mencangkup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat
penyakit
d. Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medic
e. Diagnosis
f. Rencana penatalaksanaan
g. Pengobatan dan/tindakan
h. Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien
i. Untuk kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik, dan
j. Persetujuan tindakan bila diperlukan .

E. Penggolongan Umur
Berdasarkan kategori umur menurut Depkes RI (2009) :
1) Masa Balita : 0 – 5 tahun
2) Masa Kanak – Kanak : 5 – 11 tahun
3) Masa Remaja awal : 12 – 16 tahun
4) Masa Remaja Akhir : 17 – 25 tahun
5) Masa dewasa awal : 26 – 35 tahun
6) Masa dewasa Akhir : 36 – 45 tahun
7) Masa Lansia Awal : 46 – 55 tahun
8) Masa lansia Akhir : 56 – 65 tahun
9) Masa Manula (> 65 tahun)

F. Rancangan Pcnclitian
26

1. Prinsip pcnclitian
Penelitian ini dilakukan dengan survei deskriptif. Pengambilan data pasien
secara retrospektif. Data dikumpulkan dari rekam medik pada pasien
osteoarthritis di instalasi rawat jalan RSUD Dr. H. Abdul Moeloek periode
Januari – desember 2020.

2. Kerangka Konsep

Variabel bebas Variabel terikat Parameter

Faktor Interaksi obat Interaksi Obat:


Resiko pada pasien - Frekuensi interaksi
osteoarthritis - Mekanisme interaksi
- Tingkat keparahan
interaksi

3. Kcrangka Teori
Karakteristi
k Pasien :

- Usia

Karakteristik Obat :

- Jumlah Obat

Gambar 2.3 kerangka konsep

3. Kerangka Teori

Faktor resiko yang tidak dapat di Faktor resiko yang dapat di ubah :
ubah : Usia , Genetik ,Jenis obesitas , penggunaan sendi
Kelamin , congenital. berlebihan, kelemahan otot.
27

Osteoartritis

Penatalaksaan Terapi Etiologi :

- OA Primer

- OA Sekunder

Non Farmakologi Farmakologi

- Edukasi Pemberian obat


- Olahraga golongan NSAID,
- Alat bantu Kortikostreoid,
ortorik Analgesik, obat OA
lainnya

Mekanisme interaksi obat :


farmakokinetik
Interaksi obat
farmakodinamik.

Gambar 2.4 kerangka teori

4. Definisi Operasional

Tabel 2.6 definisi operasional


Skala
Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur
Ukur
28

Interaksi Obat Apabila pasien Observasi rekam Ada Nominal


menerima terapi >2 medic
obat , terjadi toksisitas
yang mempengaruhi Tidak ada
efek terapi pengobatan.

Jenis Kelamin Pembagian jenis Observasi rekam Laki-laki Nominal


seksual ditentukan medic
secara biologis dan
anatomis yang Perempuan
dinyatakan dalam jenis
kelamin laki-laki dan
jenis kelamin
perempuan.

Usia Usia responden yang Observasi rekam 1. 26 – 35 tahun Nominal


dihitung dari awal medic 2. 36 - 45 tahun
kelahiran sampai 3. 46 – 55 tahun
penelitian dilakukan 4. 56 -65 tahun
5. > 65 tahun

5. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel


a. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh data rekam medik pasien
osteoarthritis di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H.
Abdul Moeloek periode Januari – Desember 2020.

b. Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah pasien osteoarthritis yang
melakukan pengobatan di instalasi rawat jalan RSUD Dr. H. Abdul
Moeloek periode Januari – Desember 2020. Pengambilan sampel
menggunakan rumus slovin (14) :
29

N
n=
1+ N ( d)2

Keterangan :

n = besar sampel

N = besar populasi

D = penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan (0,1)

c. Metode Pengambilan Sampel


Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling dimulai
dengan proses seleksi rekam medik pasien yang mempunyai diagnosa
Osteoartritis.. Pemilihan subyek penelitian sesuai kriteria yang ditetapkan
peneliti. Rekam medik yang masuk kriteria inklusi kemudian dilakukan
pencatatan berupa inisial nama pasien, jenis kelamin, usia dan terapi yang
diterima.

6. Kriteria Sampel
a. Kriteria inklusi adalah:
1. Pasien osteoarthritis dengan atau tanpa penyakit penyerta yang
menjalani pengobatan di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Umum
Daerah Abdul Moeloek.
2. Pasien yang terdiagnosa osteoarthritis dengan rentang usia masa
dewasa awal sampai masa manula .
3. Mendapat terapi ≥ 2 obat.

b. Kriteria eksklusi adalah:


1. Pasien osteoarthritis yang bukan menjalani pengobatan di instalasi
rawat jalan Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek.
2. Data rekam medik pasien lengkap tetapi tidak dapat dibaca.

7. Teknik Pengumpulan data


30

a. Editing
Sebelum pengolahan data perlu dilakukan proses editing. Data yang
telah dikumpulkan dari rekam medik perlu dibaca sekali lagi dan
dicermati, apabila terdapat hal-hal yang masih diragukan seperti resep
yang sulit dibaca, maka perlu dikonfirmasi kembali pada profesional
kesehatan yang bersangkutan. Hal ini guna memperbaiki kualitas data
serta menghilangkan keraguan data.
b. Coding
Coding yaitu kegiatan pemberian kode tertentu pada tiap-tiap data
yang termasuk kategori sama. Kode adalah isyarat yang dibuat dalam
bentuk angka-angka atau huruf untuk membedakan antara data atau
identitas data yang akan dianalisis.
c. Tabulating
Kegiatan ini dilakukan dengan cara memasukkan data yang diperoleh
kedalam tabel atau lembar pengumpulan data (LDP) sesuai obyek yang
ditelitikan (14).

8. Analisa Data

Data yang telah dikumpulkan kemudian akan dianalisis secara deskriptif.


Data interaksi obat dilakukan secara teoritik dengan studi literatur
Stockley’s Drug Interaction serta digunakan juga Medscape.com.

9. Tempat dan waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek yang berlokasi di Jl.
Dr. Rivai No. 6, Penengahan , Kec Tj. Karang Pusat. Lokasi ini dipilih karena
berdasarkan pertimbangan Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek merupakan
rumah sakit rujukan dan merupakan rumah sakit kelas B.

Anda mungkin juga menyukai