Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Osteoartritis (OA) adalah penyakit sendi degeneratif yang progresif dimana
tulang rawan kartilago yang melindungi ujung tulang mulai rusak, disertai perubahan
reaktif pada tepi sendi dan tulang subkondral yang menimbulkan rasa sakit dan
hilangnya kemampuan gerak (2). Osteoartritis menurut American College of
Rheumatology merupakan sekelompok kondisi heterogen yang mengarah pada tanda
dan gejala sendi. Osteoartritis merupakan penyakit degenerative dan progresif yang
mengenai dua pertiga orang yang berumur lebih dari 65 tahun . Osteoartritis sering
dipicu oleh berbagai faktor , karakteristik yang biasa muncul pada OA berupa
kerusakan pada kartilago ( tulang rawan sendi ). Kartilago sendiri merupakan
jaringan keras yang memiliki sifat licin yang menutupi bagian akhir tulang keras
didalam persendian . fungsi jaringan kartilago sebagai penghalus gerakan antar –
tulang dan sebagai peredam (shock absorber) ketika persendian beraktivitas maupun
bergerak yang ditandai dengan degenerasi kartilago sendi dan pembentukan tulang
baru (osteofit) bagian pinggir sendi, dapat menyebabkan gangguan OA berkembang,
keadaan tersebut dapat mengakibatkan pecahnya biokimia artikular (hyaline) tulang
rawan pada sendi synovial lutut yang mengakibatkan kartilago sendi mengalami
kerusakan. Beberapa faktor resiko yang berperan dalam kejadian OA diantaranya
adalah kadar estrogen rendah, obesitas, usia, jenis kelamin, selain itu beberapa hal
yang dapat memperparah OA yaitu aktifitas fisik yang berat, sering berjongkok, dan
berjalan jauh (2).

Berdasarkan World Health Organization (WHO) 2011 penderita


Osteoartritis di dunia mencapai angka 151 juta dan 24 juta jiwa pada
kawasan asia tenggara , sedangkan National Centers for Health Statistics
memperkirakan terdapat 15,8 juta (12%) orang dewasa antara rentang usia
25-75 tahun memiliki keluhan osteoarthritis. Di Amerika Serikat prevalensi
nya meningkat sekitar 66% - 100% pada tahun 2020 dan pada tahun 2050 di
2

perkirakan 130 juta orang menderita Osteoartritis di seluruh dunia.


Prevalensi OA di dunia termasuk dalam kategori tinggi sekitar antara 2,3%
hingga 11,3%, selain itu OA merupakan penyakit musculoskeletal yang
sering terjadi yaitu pada urutan ke 12 diantara seluruh penyakit yang ada (2).
Prevalensi penyakit sendi berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan di
Indonesia 11,9%, dan berdasarkan gejala 24,7%. Jika berdasarkan diagnosis
kesehatan dan gejala tertinggi di Nusa Tenggara Timur 33,1%, jawa barat
32,1%, bali 30% dan Jakarta 21,8%. Penderita wanita juga lebih banyak
54,8% di bandingkan pria 21,8% . Berdasarkan laporan hasil riset kesehatan
dasar 2018 prevalensi osteoartritis di Indonesia berjumlah 5% pada usia < 40
tahun, 30% pada usia 40-60 tahun, 65% pada usia > 61 tahun (15). Menurut
prevalensi sendi berdasarkan Riskesda 2018 di provinsi Lampung sebesar
7,61 %, berdasarkan umur 55 – 64 tahun sebesar 17,72%, 65-74 tahun
sebesar 20,04% dan diatas 75 tahun 17,20% (17).

Berdasarkan jurnal penelitian di RSUD Dr. M . Ashari malang tahun


2018, di dapat pasien osteoarthritis rawat jalan memiliki karakteristik telah
mengidap penyakit ini 1-2 tahun, sebagian besar perempuan (72,94 %)
dengan rentang usia 46-55 tahun (39%) (20). Di peroleh dari penelitian
lainnya di RS dr. H . koesnadi bondowoso 2013 sebanyak 108 pasien di
antaranya 43 pasien pria (39,81%), dan 65 pasien wanita (60,19%), dan dari
segi usia pada pria dengan kategori usia lanjut (60-74 tahun) sebanyak 40
pasien, kategori lansia sebanyak 3 pasien. Pada wanita kategori usia lanjut
(60-74 tahun) sebanyak 61 pasien, dan kategori lansia tua (75-90 tahun)
sebanyak 4 pasien (19).

Penatalaksaan pasien Osteoartritis dimulai dari dasar diagnosis dan


anamnesis yang cermat , pemeriksaan fisik , temuan radiografi , penilaian
sendi yang terkena. Terapi farmakologis untuk penatalaksaan rasa nyeri ,
paling efektif bila di kombinasikan dengan strategi terapi non farmakologis.
Terapi non farmakologi adalah dasar rencana asuhan kefarmasian untuk OA,
beberapa di antara nya yaitu edukasi pasien , terapi fisik , penurunan berat
badan , latihan fisik , dan bedah (pilihan terakhir). Terapi farmakologi pada
3

pasien OA bertujuan untuk menghilangkan nyeri dan meningkatkan fungsi


sendi. Berdasarka ACR (American College of Rheumatology)
merekomendasikan paracetamol sebagai obat pertama dalam penatalaksaan
nyeri (2). Sejumlah besar literature yang membandingkan asetaminofen dan
plasebo dengan NSAID pada jangka yang lama menunjukan asetaminofen
inferior terhadap NSAID dan secara klinis tidak superior terhadap plasebo .
analgesik murni lainnya telah efektif yaitu tramadol, analgesik yang bekerja
sentral dan analgesic opioid. Meski ada kekawatiran terhadap keamanan
risiko kardiovaskuar, NSAID dan inhibitor COX 2 tetap menjadi terapi OA
yang secara konsisten menunjukan efek mengurangi rasa nyeri OA (16).

Implikasi klinis interaksi obat yaitu interaksi obat sering dianggap sumber
terjadinya efek samping obat (adverse drug reaction) yakni jika metabolisme
suatu obat indeks terganggu akibat adanya obat lain (precipitant) dan
menyebabkan peningkatan kadar plasma obat indeks sehingga terjadi
toksisitas (10). Menurut WHO , adverse drug reaction (ADR) didefinisikan
sebagai respon tubuh terhadap obat yang bersifat merugikan atau berbahaya
dan tidak diinginkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada
manusia (10).

Penderita osteoarthritis yang paling sering terjadi pada usia lanjut karena
pada usia lanjut mengalami proses degenaratif yaitu penurunan fungsi atau
perubahan struktur dari keseluruhan organ. Degenerasi ini menimbulkan
berbagai penyakit, sehingga memungkinkan mereka menerima banyak obat
atau polifarmasi. Polifarmasi didefinisikan sebagai pengobatan multipel oleh
satu pasien dan sering terjadi pada pasien geriatrik sehingga menimbulkan
interaksi obat . Interaksi obat adalah peristiwa dimana kerja obat dipengaruhi
oleh obat lain yang diberikan bersamaan atau hampir bersamaan ,sehingga
keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih berubah (1). Proporsi interaksi
obat dengan obat lain (antar obat) berkisar antara 2,2% sampai 30% terjadi
pada pasien rawat-inap dan 9,2% sampai 70,3% terjadi pada pasien-pasien
rawat jalan (2). Mekanisme terjadinya interaksi obat di dalam tubuh terbagi
menjadi interaksi farmakodinamik dan interaksi farmakokinetik. Interaksi
4

dalam proses farmakokinetik yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme dan


eksresi (ADME) dapat meningkatkan ataupun menurunkan kadar plasma
obat. Interaksi obat secara farmakokinetik yang terjadi pada suatu obat tidak
dapat di eksploitasikan untuk obat lainnya meskipun masih dalam satu kelas
terapi disebabkan karena adanya perbedaan sifat fisikokimia, sedangkan
interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada
sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama, sehingga
terjadi efek yang aditif , sinergis, atau berlawanan tanpa adanya perubahan
kadar plasma atau profil farmakokinetik lainnya .selain itu pada umumnya
interaksi farmakodinamik dapat diramalkan sehingga dapat di hindari jika
diketahui mekanisme kerja obat (10).

Berdasarkan penelitian dari salah satu rumah sakit persentase pasien


terbanyak adalah wanit sebesar 70,6% , sedangkan jumlah pasien
berdasarkan penggunaan obat terbanyak adalah golongan NSAID yaitu
natrium diclofenak sebanyak 58,8%. Berdasarkan identifikasi interaksi obat
dapat di definisikan sebagai kejadian dimana suatu zat mempengaruhi
aktivitas obat . interaksi antar obat dapat terjadi pada pemberian obat
kombinasi dan menghasilkan respon yang berbeda apabila di berikan secara
tunggal. Kejadian masalah terkait obat dapat disimpulkan bahwa di temukan
adanya potensi interaksi obat antara golongan NSAID (diklofenak, asam
mefenamat) dengan H-2 bloker (ranitidine) dengan persentase 11,7% (19).
Dilihat dari penelitian lainnya golongan obat NSAID yang paling sering
digunakan adalah golongan oksikam , dan jenis obat terbanyak adalah
meloksikam sebesar 44% dikarenakan meloksikam lebih selektif
menghambat COX-2 tetapi selektifitasnya lebih kecil daripada celecoxib.
Menurut penelitian rahmawati et al dijelaskan bahwa obat golongan NSAID
dan kortikostroid beresiko menyebabkan timbulnya efek samping berupa
gangguan lambung (19).
5

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik melakukan penelitian


tentang interaksi obat pada pasien osteoarthritis yang terjadi di instalasi rawat
jalan RSUD Dr. H. Abdul Moeloek.

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah interaksi obat pada pasien Osteoartritis di Instalasi rawat jalan
RSUD Dr. H . Abdul Moeloek.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum
Untuk mengetahui secara keseluruhan interaksi obat pada pasien
Osteoartritis di instalasi rawat jalan RSUD Dr. H .Abdul Moeloek .

2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik pasien osteoarthritis berdasarkan usia dan
jenis kelamin di Instalasi rawat jalan RSUD Dr. H . Abdul Moeloek.
b. Mengetahui persentase frekuensi interaksi obat pada pasien osteortritis
di Instalasi Rawat jalan RSUD Dr. H . Abdul Moeloek.
c. Mengetahui pola mekanisme interaksi obat pada pasien osteoartritis di
instalasi rawat jalan RSUD Dr. H . Abdul Moeloek.
d. Mengetahui tingkat keparahan interaksi obat pada pasien osteoartritis di
instalasi rawat jalan RSUD Dr. H . Abdul Moeloek.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Untuk menambah wawasan serta sebagai pengembangan ilmu kefarmasian
terkait potensi interaksi obat .
6

2. Manfaat Aplikatif
a. Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan pertimbangan pelaksanaan pengobatan sesuai standar
serta lebih menambah kewaspadaan dalam pemberian obat agar
pengobatan dapat lebih baik.
b. Bagi Peneliti
Menambah wawasan ilmu pengetahuan kesehatan, khususnya
gambaran tentang interaksi obat yang meliputi mekanisme interaksi,
dan tingkat keparahan yang berpotensi terjadi pada pasien
osteoarthritis.
c. Bagi Universitas
Sebagai acuan atau bahan pustaka untuk melaksanakan penelitian
selanjutnya, khususnya tentang bidang farmasi.

Anda mungkin juga menyukai