Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN KRITIS

DENGAN SPINAL INJURI, AKI dd DM, GAGAL NAFAS, ON VENTILATOR


TRAKEOSTOMI

Di Ruang ICU RSUD Tarakan Jakarta

Dianjurkan untuk memenuhi Tugas Praktik Klinik Stase Keperawatan Kritis

Dosen Pengampu :

Ns. Diah Tika Anggraeni, S.Kep., M.Kep.

Disusun oleh :

Sonya Lapitacara Sahroni

NIM 1710711129

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA

2021
1. Definisi Penyakit
Spinal Cord Injury (SCI) adalah kerusakan atau trauma pada sumsum tulang belakang
yang mengakibatkan kerugian atau gangguan fungsi menyebabkan mobilitas
dikurangi atau perasaan. Penyebab umum dari kerusakan adalah trauma (kecelakaan
mobil, tembak, jatuh, cedera olahraga, dll) atau penyakit (myelitis melintang, Polio, spina
bifida, Ataksia Friedreich, dll). Sumsum tulang belakang tidak harus dipotong agar
hilangnya fungsi terjadi. Pada kebanyakan orang dengan SCI, sumsum tulang belakang
masih utuh, tetapi kerusakan selular untuk itu mengakibatkan hilangnya fungsi. SCI
sangat berbeda dari cedera punggung seperti disk pecah, stenosis tulang belakang atau
saraf terjepit.

2. Etiologi
Cedera tulang belakang yang paling sering traumatis, disebabkan oleh lateral yang lentur,
rotasi dislokasi, pemuatan aksial, dan hyperflexion atau hiperekstensi dari kabel atau
cauda equina. Kecelakaan kendaraan bermotor adalah penyebab paling umum dari
SCI, sedangkan penyebab lain meliputi jatuh, kecelakaan kerja, cedera olahraga
(menyelam, judo dll), dan penetrasi seperti luka tusuk atau tembak, kecelakaan di rumah
(jatuh dr ketinggian, bunuh diri dll), dan bencana alam, misal gempa. SCI juga dapat
menjadi asal non-traumatik,. Seperti dalam kasus kanker, infeksi, penyakit cakram
intervertebralis, cedera tulang belakang, penyakit sumsum tulang belakang vascular,
transverse myelitis, tumor dan multiple sclerosis.

3. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis bergantung pada lokasi yang mengalami trauma dan apakah
trauma terjadi secara parsial atau total.(Gbr.9) Berikut ini adalah manifestasi berdasarkan
lokasi trauma :
● Antara C1 sampai C5
Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien meninggal.
● Antara C5 dan C6
Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku yang lemah;
kehilangan refleks brachioradialis.
● Antara C6 dan C7
Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu dan fleksi siku masih
bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep.
● Antara C7 dan C8
Paralisis kaki dan tangan
● C8 sampai T1
Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis), paralisis kaki.
● Antara T11 dan T12
Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut.
● T12 sampai L1
Paralisis di bawah lutut.
● Cauda equine
Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan biasanya nyeri dan
sangat sensitive terhadap sensasi, kehilangan kontrol bowel dan bladder.
● S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1
Kehilangan kontrol bowel dan bladder secara total. (Sumber:www.jasper-sci.com)
4. Deskripsi patofisiologi (Berdasarkan Kasus kegawatdaruratan)
Cedera spinal cord terjadi akibat patah tulang belakang, dan kasus terbanyak cedera spinal
cord mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera dapat terjadi akibat hiperfleksi,
hiperekstensi, kompresi atau rotasi pada tulang belakang.
Fraktur pada cedera spinal cord dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif,
dan dislokasi. Sedangkan kerusakan pada cedera spinal cord dapat berupa memar,
kontusio, kerusakan melintang laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, dan
perdarahan. Kerusakan ini akan memblok syaraf parasimpatis untuk melepaskan mediator
kimia, kelumpuhan otot pernapasan, sehingga mengakibatkan respon nyeri hebat dan akut
anestesi. Iskemia dan hipoksemia syok spinal, gangguan fungsi rektum serta kandung
kemih. Gangguan kebutuhan gangguan rasa nyaman nyeri, oksigen dan potensial
komplikasi, hipotensi, bradikardia dan gangguan eliminasi.
Temuan fisik pada spinal cord injury sangat bergantung pada lokasi yang terkena: jika
terjadi cedera pada C-1 sampai C-3 pasien akan mengalami tetraplegia dengan kehilangan
fungsi pernapasan atau sistem muskular total; jika cedera mengenai saraf C-4 dan C-5 akan
terjadi tetraplegia dengan kerusakan, menurunnya kapasitas paru, ketergantungan total
terhadap aktivitas sehari-hari; jika terjadi cedera pada C-6 dan C-7 pasien akan mengalami
tetraplegia dengan beberapa gerakan lengan atau tangan yang memungkinkan untuk
melakukan sebagian aktivitas sehari-hari; jika terjadi kerusakan pada spinal C-7 sampai T-
1 seseorang akan mengalami tetraplegia dengan keterbatasan menggunakan jari tangan,
meningkat kemandiriannya; pada T-2 sampai L-1 akan terjadi paraplegia dengan fungsi
tangan dan berbagai fungsi dari otot interkostal dan abdomen masih baik; jika terjadi
cedera pada L-1 dan L-2 atau dibawahnya, maka orang tersebut akan kehilangan fungsi
motorik dan sensorik, kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.
5. Tahapan / Grade/ Tingkatan Penyakit (contoh Gagal Jantung, Kanker, CKD, dll)
Cedera Medulla spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet berdasarkan
ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi.
Terdapat 5 sindrom utama cedera medulla spinalis inkomplet. Menurut American Spinal
Cord Injury Association yaitu : (1) Central Cord Syndrome, (2) Anterior Cord Syndrome,
(3) Brown Sequard Syndrome, (4) Cauda Equina Syndrome, dan (5) Conus Medullaris
Syndrome. Lee menambahkan lagi sebuah sindrom inkomplet yang sangat jarang terjadi
yaitu Posterior Cord Syndrome Central Cord Syndrome (CCS) biasanya terjadi
setelah cedera hiperekstensi. Sering terjadi pada individu di usia pertengahan
dengan spondilosis cervicalis. Predileksi lesi yang paling sering adalah medulla spinalis
segmen servikal, terutama pada vertebra C4-C6. Sebagian kasus tidak ditandai oleh
adanya kerusakan tulang. Mekanisme terjadinya cedera adalah akibat penjepitan medulla
spinalis oleh ligamentum flavum di posterior dan kompresi osteofit atau material diskus
dari anterior. Bagian medulla spinalis yang paling rentan adalah bagian dengan
vaskularisasi yang paling banyak yaitu bagian sentral. Pada Central Cord Syndrome,
bagian yang paling menderita gaya trauma dapat mengalami nekrosis traumatika yang
permanen. Edema yang ditimbulkan dapat meluas sampai 1-2 segmen di bawah dan di
atas titik pusat cedera. Sebagian besar kasus Central Cord Syndrome menunjukkan
hipo/isointens pada T1 dan hiperintens pada T2, yang mengindikasikan adanya edema.
Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah kelemahan yang lebih prominen
pada ekstremitas atas dibanding ektremitas bawah. Pemulihan fungsi ekstremitas
bawah biasanya lebih cepat, sementara pada ekstremitas atas (terutama tangan dan jari)
sangat sering dijumpai disabilitas neurologic permanen. Hal ini terutama disebabkan
karena pusat cedera paling sering adalah setinggi VC4-VC5 dengan kerusakan paling
hebat di medulla spinalis C6 dengan lesi LMN. Gambaran klinik dapat bervariasi, pada
beberapa kasus dilaporkan disabilitas permanen yang unilatera
WOC Trauma Medula Spinalis
Etiologi : kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, kecelakaan industri, kecelakaan lain
seperti jatuh dari pohon atau bangunan, luka tusuk, luka tembak, trauma karena tali
pengaman (fraktur chance) dan kejatuhan benda keras.

Mekanisme trauma : fleksi, fleksi dan rotasi, kompresi vertical (aksial), hiperekstansi
atau retrofleksi, fleksi lateral dan fraktur disllokasi

Fraktur pada tulang belakang

Hemoragi

Serabut- serabut membengkak/hancur

Cedera medulla spinalis

Herniasi saraf / Perdarahan pada sumsum tulang : Reak


putusnya saraf hematomiela si
pera
Agen
dang

an
Servikalis Torako-lumbalis Sakralis agen
pera
dang
sasi
bradi
nye
kinin
ri
Ny
eri
Ak
ut

Perpindahan cairan dari intraseluler


ke ekstraseluler

Penurunan aliran darah Sindroma


ke jaringan otak kompartemen

Penurunan Kesadaran

Perfusi jaringan
tidak efektif
Resiko Injury Resiko perfusi jaringan serebral
tidak efektif Sakralis
Servikalis Torakolumbalis

S2 – S3 S2 – S4
C1 – C4 C5 C4 – C7 Torako - T1 – T12 T2 – T12
lumbal

Blok saraf Kerusakan saraf Penis


HR menurun
simpatis motorik bawah erection
Gangguan Gangguan saraf
termostat hipoglosal

Blok saraf motorik


ekstremitas Tidak mampu Disfungsi
Kelumpuhan otot Peningkatan Kesulitan dalam
menunda defekasi seksual
pernapasan Penurunan curah suhu tubuh menelan
jantung secara
Kelumpuhan otot – mendadak
otot ekstremitas Inkontinensia
Gangguan
Iskemia Hipoksemia defekasi
menelan
Hambatan
mobilisasi fisik
Hipoventilasi Sesak napas
Hipertermia
Gagal napas
Pola napas
tidak efektif
Akral dingin, nadi
cepat dan lemah

PK : Syok
a. Klasifikasi berdasarkan keparahan
1. Klasifikasi Frankel :
Grade A : motoris (-), sensoris (-) Grade
B : motoris (-), sensoris (+)
Grade C : motoris (+) dengan ROM 2
atau 3, sensoris (+) Grade D : motoris (+)
dengan ROM 4, sensoris (+)
Grade E : motoris (+) normal, sensoris
(+)
2. Klasifikasi ASIA (American Spinal
Injury Association)
Grade A : motoris (-), sensoris (-)
termasuk pada segmen sacral
Grade B : hanya sensoris (+)
Grade C : motoris (+) dengan kekuatan
otot <
Grade D : Motoris (+) dengan kekuatan
otot > 3
Grade E : motoris dan sensoris normal
6. Pemeriksaan Penunjang
● Evaluasi Klinik
Ketika pasien yang mengeluh sakit leher, meskipun mereka tidak benar-benar terjaga,
atau ketika mereka telah jelas kelemahan. Kita harus mewaspadai adanya SCI, dari
tanda dan gejala diatas dengan pemeriksaan radiologi.

● Pemeriksaan Radiologi
Pasien dengan SCI juga dapat menerima baik komputerisasi Tomography (CT scan
atau CAT) dan magnetis resonansi imaging (MRI) dari tulang belakang. Karena
alasan diatas, perlu dilakukan pemeriksaan radiografi tulang belakang servikal pada
semua pasien cedera kepala sedang dan berat. Radiograf yang diambil di UGD
kualitasnya tidak selalu baik dan bila tetap diduga adanya cedera tulang belakang,
radiograf selanjutnya diambil lagi termasuk tampilan oblik bila perlu, serta (pada
daerah servikal) dengan leher pada fleksi serta ekstensi bila diindikasikan. Tampilan
melalui mulut terbuka perlu untuk memperlihatkan proses odontoid pada bidang
antero-posterior.
● Intensive Care Unit
Standar perawatan ICU, termasuk menjaga tekanan darah yang stabil, pemantauan
fungsi cardiovascular, memastikan ventilasi yang memadai dan fungsi paru-paru, dan
mencegah infeksi dan segera merawat dan komplikasi lain, adalah penting agar SCI
pasien dapat mencapai hasil yang terbaik.
● Steroid Therapy
Methylprednisolone, sebuah obat steroid, menjadi tersedia sebagai perawatan untuk
SCI akut pada tahun 1990 ketika seorang multicenter percobaan klinis menunjukkan
lebih neurological mengubah skor di pasien yang diberi obat di dalam delapan bulan
pertama dari cedera.

7. Penatalaksanaan Medis/Operatif
● Penatalaksaan Medis
Tindakan-tindakan untuk imobilisasi dan mempertahankan vertebral dalam posisi
lurus: pemakaian kollar leher, bantal pasir atau kantung IV untuk mempertahankan
agar leher stabil, dan menggunakan papan punggung bila memindahkan pasien;
melakukan traksi skeletal untuk fraktur servikal, yang meliputi penggunaan
Crutchfield, Vinke, atau tong Gard-Wellsbrace pada tengkorak, tirah baring total dan
pakaikan brace haloi untuk pasien dengan fraktur servikal stabil ringan; pembedahan
(laminektomi, fusi spinal atau insersi batang Harrington) untuk mengurangi tekanan
pada spinal bila pada pemeriksaan sinar-X ditemui spinal tidak aktif.
Intervensi bedah = Laminektomi, dilakukan bila: deformitas tidak dapat dikurangi
dengan fraksi, terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal servikal, cedera terjadi
pada region lumbar atau torakal, status neurologis mengalami penyimpanan untuk
mengurangi fraktur spinal atau dislokasi atau dekompres medulla. (Diane C.
Braughman, 2000 ; 88-89).
Tindakan-tidakan untuk mengurangi pembengkakan pada medula spinalis dengan
menggunakan glukortiko steroid intravena
● Penatalaksanaan Keperawatan
Pengkajian fisik didasarakan pada pemeriksaan pada neurologis, kemungkinan
didapati defisit motorik dan sensorik di bawah area yang terkena: syok spinal, nyeri,
perubahan fungsi kandung kemih, perusakan fungsi seksual pada pria, pada wanita
umumnya tidak terganggu fungsi seksualnya, perubahan fungsi defekasi; kaji
perasaan pasien terhadap kondisinya; lakukan pemeriksaan diagnostik; pertahankan
prinsip A-B-C (Airway, Breathing, Circulation) agar kondisi pasien tidak semakin
memburuk.

8. Pemeriksaan fisik (Berdasarkan ABCD/Kasus Kegwatdaruratan)


Pengkajian
1. Riwayat Penyakit Sebelumnya
● Apakah klien pernah menderita :
● Penyakit stroke
● Infeksi otak
● DM
● Diare dan muntah yang berlebihan
● Tumor otak
● Intoksiaksi insektisida
● Trauma kepala
● Epilepsi dll.
2. Pemeriksaan Fisik
● Sistem pernafasan
Gangguan pernafasan, menurunnya vital kapasitas, menggunakan otot-otot
pernafasan tambahan
● Sistem kardiovaskuler
Bardikardia, hipotensi, disritmia, orthostatic hipotensi.
● Status neurologi
Nilai GCS karena 20% cedera medulla spinalis disertai cedera kepala.
● Fungsi motorik
Kehilangan sebagian atau seluruh gerakan motorik dibawah garis kerusakan,
adanya quadriplegia, paraplegia.
● Refleks Tendon
Adanya spinal shock seperti hilangnya reflex dibawah garis kerusakan, post spinal
shock seperti adanya hiperefleksia ( pada gangguan upper motor neuron/UMN)
dan flaccid pada gangguan lower motor neuron/ LMN).
● Fungsi sensorik
Hilangnya sensasi sebagian atau seluruh bagian dibawah garis kerusakan.
● Fungsi otonom
Hilangnya tonus vasomotor, kerusakan termoreguler.
● Autonomik hiperefleksia (kerusakan pada T6 ke atas)
Adanya nyeri kepala, peningkatan tekanan darah, bradikardia, hidung
tersumbat, pucat dibawah garis kerusakan, cemas dan gangguan penglihatan.
● Sistem gastrointestinal
Pengosongan lambung yang lama, ileus paralitik, tidak ada bising usus, stress
ulcer, feses keras atau inkontinensia.
● Sistem urinaria
Retensi urine, inkontinensia
● Sistem Muskuloskletal
Atropi otot, kontraktur, menurunnya gerak sendi (ROM)
● Kulit
Adanya kemerahan pada daerah yang terrtekan (tanda awal dekubitus
● Fungsi seksual.
Impoten, gangguan ereksi, ejakulasi, menstruasi tidak teratur.
● Psikososial
Reaksi pasien dan keluarga, masalah keuangan, hubungan dengan
masyarakat.
9. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul dan Prioritas Diagnosa
● Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma, kelemahan
dengan paralisis otot abdominal dan interkostal serta ketidakmampuan untuk
membersihkan sekresi.
● Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelumpuhan, sensorik dan motorik
● Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya cedera, pengobatan dan
namanya imobilitas.
● Gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan dengan gangguan persarafan pada
usus dan rectum, adanya atonik kolon sebagai akibat gangguan autonomic.
Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat perkemihan,
ketidakmampuan untuk berkemih spontan
● Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama, kehilangan sensori
dan mobilitas
Prinsip-Prinsip Utama Penatalaksanaan Trauma Spinal:
● Immobilisasi
Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan
sampai ke unit gawat darurat.. Yang pertama ialah immobilisasi dan stabilkan
leher dalam posisi normal; dengan menggunakan ’cervical collar’. Cegah agar
leher tidak terputar (rotation). Baringkan penderita dalam posisi terlentang
(supine) pada tempat/alas yang keras. Pasien diangkat/dibawa dengan cara
”4 men lift” atau menggunakan ’Robinson’s orthopaedic stretcher’.
● Stabilisasi Medis
Terutama sekali pada penderita tetraparesis/etraplegia:
o Periksa vital signs
o Pasang ’nasogastric tube’
o Pasang kateter urin
o Segera normalkan ’vital signs’.
Pertahankan tekanan darah yang normal dan perfusi jaringan yang baik. Berikan
oksigen, monitor produksi urin, bila perlu monitor AGD (analisa gas darah), dan
periksa apa ada neurogenic shock. Pemberian megadose Methyl Prednisolone
Sodium Succinate dalam kurun waktu 6 jam setaleh kecelakaan dapat
memperbaiki konntusio medula spinalis.
● Mempertahankan posisi normal vertebra (”Spinal Alignment”)
Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau
Gardner-Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi traksi
diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15 menit sampai
terjadi reduksi.
● Dekompresi dan Stabilisasi Spinal
Bila terjadi ’realignment’ artinya terjadi dekompresi. Bila ’realignment’ dengan
cara tertutup ini gagal maka dilakukan ’open reduction’ dan stabilisasi dengan
’approach’anterior atau posterior.
● Rehabilitasi.
Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam program ini
adalah ’bladder training’, ’bowel training’, latihan otot pernafasan,
pencapaian optimal fungsi-fungsi neurologik dan program kursi roda bagi
penderita paraparesis/paraplegia.
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

Diagnosa Perencanaan
No
Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC) Aktivitas (NIC)
1 Pola napas tidak Setelah dilakukan tindakan pasien Airway management 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
efektif menunjukkan keefektifan pola nafas, ventilasi
berhubungan dibuktikan dengan kriteria hasil: 2. Pasang mayo bila perlu
dengan ❖ Mendemonstrasikan batuk efektif 3. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
kelumpuhan otot dan suara nafas yang bersih, tidak ada 4. Keluarkan sekret dengan batuk atau
diafragma, sianosis dan dyspneu (mampu suction
kelemahan dengan mengeluarkan sputum, mampu 5. Auskultasi suara nafas, catat adanya
paralisis otot bernafas dg mudah, tidakada pursed suara tambahan
abdominal dan lips) 6. Berikan bronkodilator :
interkostal serta ❖ Menunjukkan jalan nafas yang 7. Berikan pelembab udara Kassa basah
ketidak mampuan paten (klien tidak merasa tercekik, NaCl Lembab
untuk irama nafas, frekuensi pernafasan 8. Atur intake untuk cairan
membersihkan dalam rentang normal, tidak ada suara mengoptimalkan keseimbangan.
sekresi nafas abnormal) 9. Monitor respirasi dan status O2
❖ Tanda Tanda vital dalam rentang 10. Bersihkan mulut, hidung dan secret
Do: sesak nafas, normal (tekanan darah, nadi, trakea
terdapat tarikan pernafasan) 11. Pertahankan jalan nafas yang paten
diafragma, 12. Observasi adanya tanda tanda
sianosis, hasil hipoventilasi
GDA: PaO2 < 80, 13. Monitor adanya kecemasan pasien
PaCo2 > 45, RR = terhadap oksigenasi
28 x/menit 14. Monitor vital sign
Ds: pasien 15. Informasikan pada pasien dan keluarga
mengatakan tentang tehnik relaksasi untuk
kesulitan bernafas memperbaiki pola nafas.
16. Ajarkan bagaimana batuk efektif
17. Monitor pola nafas
2 Kerusakan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Activity Daily Living 1. Kaji kemampuan pasien dalam
mobilitas fisik gangguan mobilitas fisik teratasi dengan mobilisasi
berhubungan dng kriteria hasil: 2. Latih pasien dalam pemenuhan
kelumpuhan, ❖ Klien meningkat dalam aktivitas kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai
kerusakan fisik kemampuan
muskuloskelettal ❖ Mengerti tujuan dari peningkatan 3. Dampingi dan Bantu pasien saat
dan mobilitas mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan
neuromuskuler ❖ Memverbalisasikan perasaan dalam ADLs ps.
meningkatkan kekuatan dan 4. Berikan alat Bantu jika klien
Do: ada kemampuan berpindah memerlukan.
kontraktur, ● Memperagakan penggunaan alat 5. Ajarkan pasien bagaimana merubah
kekuatan otot Bantu untuk mobilisasi posisi dan berikan bantuan jika
(ROM menurun), diperlukan
cedera atau lesi 6. Bantu pasien makan dan minum
pada servikal (menyuapi, mendekatkan alat-alat dan
Ds: pasien makanan/minuman)
mengatakan tidak 7. Pertahankan kesehatan dan kebersihan
dapat melakukan mulut pasien
pergerakan pada 8. Bantu pasien mamakai pakaiannya
tangan dan kaki 9. Libatkan keluarga dan ajarkan cara
memakaikan pakaian pada pasien
10. Memandikan pasien
11. Libatkan keluarga untuk membantu
memandikan pasien
12. Lakukan perawatan mata, rambut, kaki,
mulut, kuku dan perineum
13. Bantu pasien bak/bab
14. Lakukan perawatan inkontinensia usus
15. Manajemen nutrisi
16. Libatkan keluarga dalam perawatan
3 Gangguan rasa Setelah dilakukan tindakan keperawatan, ● Paint management Paint Management
nyaman nyeri Pasien tidak mengalami nyeri, dengan ● Analgetic 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
berhubungan kriteria hasil: administration komperhensif termasuk lokasi,
dengan adanya ● Mampu mengontrol nyeri (tahu karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
cedera, prnyebab nyeri, mampu dan faktor presipitasi
pengobatan dan menggunakan tekhnik 2. Observasi reaksi nonverbal dari
namanya nonfarmakologi untuk mencari ketidaknyamanan
imobilitas nyeri, mencari bantuan) 3. Bantu pasien dan keluarga untuk
● Melaporkan bahwa nyeri berkurang mencari dan menemukan dukungan
Do: wajah pasien dengan menggunakan manajemen 4. Kontrol lingkungan yang dapat
meringis, skala nyeri mempengaruhi nyeri seperti suhu
nyeri 4-6, luka ● Mampu mengenali nyeri (skala, ruangan, pencahayaan dan kebisingan
atau lesi di tempat intensitas, frekuensi dan tanda 5. Kurangi faktor presipitasi nyeri
yang mengalami nyeri) 6. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
cedera ● Menyatakan rasa nyaman setelah menentukan intervensi
Ds: pasien nyeri berkurang 7. Ajarkan tentang teknik non
mengeluh nyeri ● Tanda vital dalam rentang normal farmakologi: napas dalam, relaksasi,
pada daerah yang ● Tidak mengalami gangguan tidur distraksi, kompres hangat/dingin
cedera 8. Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri
9. Monitoring vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik pertama
kali
Analgetic Administration
1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas,
dan derajat nyeri sebelum pemberian
obat
2. Cek intruksi dokter tentang jenis obat,
dosis, frekuensi
3. Cek riwayat alergi
4. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan
sesudah pemberian obat
4 Gangguan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Usus (0430) 1. Identifikasi faktor-faktor yang
eliminasi alvi konstipasi pasien teratasi dengan kriteria Bowel Training (0440) menyebabkan konstipasi
/konstipasi hasil: 2. Monitor tanda-tanda ruptur
berhubungan ❖ Pola BAB dalam batas normal bowel/peritonitis
dengan gangguan ❖ Feses lunak 3. Jelaskan penyebab dan rasionalisasi
persarafan pada ❖ Cairan dan serat adekuat tindakan pada pasien
usus dan rectum, ❖ Aktivitas adekuat 4. Konsultasikan dengan dokter tentang
adanya atonik ❖ Hidrasi adekuat peningkatan dan penurunan bising usus
kolon sebagai 5. Kolaburasi jika ada tanda dan gejala
akibat gangguan konstipasi yang menetap
autonomic 6. Jelaskan pada pasien manfaat diet
(cairan dan serat) terhadap eliminasi
Do: jika dilakukan 7. Jelaskan pada klien konsekuensi
palpasi pada menggunakan laxative dalam waktu
abdomen akan yang lama
didapatkan tegang 8. Kolaburasi dengan ahli gizi diet tinggi
atau keras pada serat dan cairan
abdomen pasien, 9. Dorong peningkatan aktivitas yang
Ds: pasien optimal
mengatakan tidak 10. Sediakan privacy dan keamanan selama
dapat atau sulit BAB
untuk BAB
5 Perubahan pola Setelah dilakukan tindakan keperawatan manajemen eliminasi 1. Monitor eliminasi urine (frekuensi,
eliminasi urine kebutuhan eliminasi urine pasien urin konsistensi, bau, volume, warna)
berhubungan terpenuhi Perawatan Retensi Urin 2. Monitor tanda dan gejala retensi urine
dengan dengan criteria hasil: 3. Ajarkan pada pasien tanda dan gejala
kelumpuhan 1. Pengosongan kandung kemih komplit ISK
syarat 2. Mampu menahan/mengontrol urine 4. Catat waktu urinal terakhir jika
perkemihan, 3. Terbebas dari ISK diperlukan
ketidakmampuan 5. Libatkan pasien/keluarga untuk mencatat
untuk berkemih urine output jika diperlukan
spontan 6. Masukkan suppositoria uretral jika
diperlukan
Do: produksi urine 7. Siapkan specimen urine midstream
< 50 cc/jam, luka untuk analisa jika perlu
karena cedera 8. Laporkan ke dokter jika ditemukan tanda
spinal, adanya dan gejala ISK
distensi bladder 9. Anjurkan pasien minum 8 gelas sehari
Ds: pasien saat makan, anatara makan dan saat pagi
mengaku kesulitan hari
saat berkemih, dan 10. Bantu pasien mengatur toileting rutin
berkemihnya juga kalau perlu
jarang 11. Anjurkan pasien untuk memeonitor
tanda dan gejala ISK
12. Berikan prifasi untuk eliminasi urin
13. Gunakan kekuatan sugesti dengan aliran
air untuk memancing eliminasi
14. Stimulasi reflek kandung kencing
dengan pemberian kompres dingan pada
abdomen atau dengan mengalirkan air
15. Berikan waktu yang cukup untuk me-
ngosongkan kandung kencing (10 menit)
16. Gunakan manuver Crede jika diperlukan
17. Masukkan kateter urin jika diperlukan
18. Monitor intake dan output cairan
19. Monitor adanya distensi kandung
kencing dengan palpasi atau perkusi
20. Bantu toileting dengan jarak teratur jika
memungkinkan
21. Lakukan kateterisasi untuk residu, jika
perlu
22. Lakukan kateterisasi secara intermiten
jika perlu
23. Rujuk ke ahli urinary Continance jika
perlu
6 Gangguan Setelah dilakukan tindakan keperawatan, Pressure Management 1. Anjurkan pasien untuk menggunakan
integritas kulit Gangguan integritas kulit tidak terjadi pakaian yang longgar
berhubungan dengan kriteria hasil: 2. Hindari kerutan padaa tempat tidur
dengan tirah ❖ Integritas kulit yang baik bisa 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih
baring lama, dipertahankan dan kering
kehilangan sensori ❖ Melaporkan adanya gangguan sensasi 4. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien)
dan imobilitas atau nyeri pada daerah kulit yang setiap dua jam sekali
mengalami gangguan 5. Monitor kulit akan adanya kemerahan
Do: adanya ❖ Menunjukkan pemahaman dalam 6. Oleskan lotion atau minyak/baby oil
kemerahan, proses perbaikan kulit dan mencegah pada derah yang tertekan
bernanah, kulit terjadinya sedera berulang 7. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
lembab, luka ❖ Mampu melindungi kulit dan 8. Monitor status nutrisi pasien
dekubitus mempertahankan kelembaban kulit 9. Memandikan pasien dengan sabun dan
Ds: pasien dan perawatan alami air hangat
mengatakan nyeri ❖ Status nutrisi adekuat 10. Gunakan pengkajian risiko untuk
pada punggung ❖ Sensasi dan warna kulit normal memonitor faktor risiko pasien (Braden
Scale, Skala Norton)
11. Inspeksi kulit terutama pada tulang-
tulang yang menonjol dan titik-titik
tekanan ketika merubah posisi pasien.
12. Jaga kebersihan alat tenun
13. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
pemberian tinggi protein, mineral dan
vitamin
14. Monitor serum albumin dan transferin
DAFTAR PUSTAKA
http://dedexdox.blogspot.com/2009/03/keperawatan-medical-surgical.html
http://suka2-bayu.blogspot.com/2011/11/askep-spinal-cord-injury.html
http://askepdoumbojo.blogspot.com/2011/09/laporan-pendahuluan-cedera-medulla.html

Anda mungkin juga menyukai