(1102013281)
Sasbel: Skenario 4
1. MM Defisiensi Imun
1.1. Definisi
1.2. Etiologi
1.3. Klasifikasi
1.4. Patofisiologi
1.5. Pemeriksaan Lab
2. MM HIV
2.1. Definisi
2.2. Etiologi
2.3. Patofisiologi
2.4. Manifestasi Klinis
2.5. Pemeriksaan Fisik & Penunjang
2.6. Komplikasi
3. MM Pemeriksaan Screening Antibodi HIV
4. MM Pencegahan Tindakan Promotif Infeksi HIV
5. MM KODEKI & Dilema Etik Untuk Kasus Ini
6. MM Etik Islam Terhadap Penyakit HIV/AIDS
1
1. MM Defisiensi Imun
1.1. Definisi
Penyakit defisiensi imun adalah sekumpulan aneka penyakit yang karena memiliki
satu atau lebih ketidaknormalan sistem imun, dimana kerentanan terhadap infeksi
meningkat. Defisiensi imun primer tidak berhubungan dengan penyakit lain yang
mengganggu sistem imun, dan banyak yang merupakan akibat kelainan genetik
dengan pola bawaan khusus. Defisiensi imun sekunder terjadi sebagai akibat dari
penyakit lain, umur, trauma, atau pengobatan.
1.2. Etiologi
Penyebab defisiensi imun sangat beragam dan penelitian berbasis genetik berhasil
mengidentifikasi lebih dari 100 jenis defisiensi imun primer dan pola menurunnya
terkait pada X-linked recessive, resesif autosomal, atau dominan autosomal.
2
1.3. Klasifikasi
1. Defisiensi Imun Non-Spesifik
a) Komplemen
Dapat berakibat meningkatnya insiden infeksi dan penyakit autoimun (SLE),
defisiensi ini secara genetik.
• Kongenital
Menimbulkan infeksi berulang /penyakit kompleks imun (SLE dan
glomerulonefritis).
• Fisiologik
Ditemukan pada neonatus disebabkan kadar C3, C5, dan faktor B yang
masih rendah.
• Didapat
Disebabkan oleh depresi sintesis (sirosis hati dan malnutrisi protein/kalori)
b) Interferon dan lisozim
• Interferon kongenital
Menimbulkan infeksi mononukleosis fatal
• Interferon dan lisozim didapat
Pada malnutrisi protein/kalori
c) Sel NK
• Kongenital
Pada penderita osteopetrosis (defek osteoklas dan monosit), kadar IgG, IgA,
dan kekerapan autoantibodi meningkat.
• Didapat
Akibat imunosupresi atau radiasi.
d) Defisiensi sistem fagosit
Menyebabkan infeksi berulang, kerentanan terhadap infeksi piogenik
berhubungan langsung dengan jumlah neutrofil yang menurun, resiko
meningkat apabila jumlah fagosit turun < 500/mm3. Defek ini juga mengenai
sel PMN.
• Kuantitatif
Terjadi neutropenia/granulositopenia yang disebabkan oleh menurunnya
produksi atau meningkatnya destruksi. Penurunan produksi diakibatkan
pemberian depresan (kemoterapi pada kanker, leukimia) dan kondisi
genetik (defek perkembangan sel hematopioetik). Peningkatan destruksi
merupakan fenomena autoimun akibat pemberian obat tertentu (kuinidin,
oksasilin).
• Kualitatif
Mengenai fungsi fagosit seperti kemotaksis, fagositosis, dan
membunuh mikroba intrasel.
Chronic Granulomatous Disease (infeksi rekuren mikroba gram – dan
+)
Defisiensi G6PD (menyebabkan anemia hemolitik)
Defisiensi Mieloperoksidase (menganggu kemampuan membunuh
benda asing)
Chediak-Higashi Syndrome (abnormalitas lisosom sehingga tidak
mampu melepas isinya, penderita meninggal pada usai anak)
Job Syndrome (pilek berulang, abses staphylococcus, eksim kronis, dan
otitis media. Kadar IgE serum sangat tinggi dan ditemukan eosinofilia).
3
Lazy Leucocyte Syndrome (merupakan kerentanan infeksi mikroba
berat. Jumlah neutrofil menurun, respon kemotaksis dan inflamasi
terganggu)
Adhesi Leukosit (defek adhesi endotel, kemotaksis dan fagositsosis
buruk, efeks sitotoksik neutrofil, sel NK, sel T terganggu. Ditandai
infeksi bakteri dan jamur rekuren dan gangguan penyembuhan luka).
1. X-linked hypogamaglobulinemia
2. Hipogamaglobulinemia sementara
3. Common variable hypogammaglobulinemia
4. Disgamaglobulinemia
Sel T
Defisensi sel T ditandai dengan infeksi virus, jamur, dan protozoa yang
rekuren
b) Fisiologik
Kehamilan
Defisiensi imun seluler dapat ditemukan pada kehamilan.Hal ini karena
peningkatan aktivitas sel Ts atau efek supresif faktor humoral yang
dibentuk trofoblast. Wanita hamil memproduksi Ig yang meningkat atas
pengaruh estrogen
Usia lanjut
Golongan usia lanjut sering mendapat infeksi karena terjadi atrofi timus
dengan fungsi yang menurun.
4
c) Defisiensi imun didapat/sekunder
Malnutrisi
Infeksi
Obat, trauma, tindakan, kateterisasi, dan bedah
Obat sitotoksik, gentamisin, amikain, tobramisin dapat mengganggu
kemotaksis neutrofil. Kloramfenikol, tetrasiklin dapat menekan antibodi
sedangkan rifampisin dapat menekan baik imunitas humoral ataupun
selular.
Penyinaran
Dosis tinggi menekan seluruh jaringan limfoid, dosis rendah menekan
aktivitas sel Ts secara selektif
Penyakit berat
Penyakit yang menyerang jaringan limfoid seperti Hodgkin, mieloma
multipel, leukemia dan limfosarkoma. Uremia dapat menekan sistem imun
dan menimbulkan defisiensi imun.Gagal ginjal dan diabetes menimbulkan
defek fagosit sekunder yang mekanismenya belum jelas. Imunoglobulin
juga dapat menghilang melalui usus pada diare
Kehilangan Ig/leukosit
Sindrom nefrotik penurunan IgG dan IgA, IgM norml.Diare (linfangiektasi
intestinal, protein losing enteropaty) dan luka bakar akibat kehilangan
protein.
Stres
Agammaglobulinmia dengan timoma
Dengan timoma disertai dengan menghilangnya sel B total dari sirkulasi.
Eosinopenia atau aplasia sel darah merah juga dapat menyertai
1.4. Patofisiologi
5
• Imunodefisiensi humoral mencolok pada beberapa penyakit keganasan: mieloma
multiple, leukemia limfositik kronik, dan perlu mendapat perhatian bila sel tumor
menginfiltrasi struktur limforetikuler
• Fungsi sel T yang tidak sempurna, pada banyak penyakit, juga sebagai “defek
primer” atau disebabkan oleh beberapa gangguan seperti: AIDS, sarkoidosis,
penyakit Hodgkins, neoplasma non-Hodgkins dan uremia
• Fungsi sel T yang gagal → terjadi bila timus gagal berkembang (sindrom
DiGeorge) → diperbaiki dengan transplantasi jaringan timus fetus
• Perhatian yang serius terhadap setiap orang yang menderita defisiensi sel T yang
jelas adalah pd ketidakmampuanya untuk membersihkan sel-sel asing termasuk
leukosit viabel dari darah lengkap yang ditransfusikan
2. MM HIV
2.1. Definisi
Suatu kondisi klinis yang disebabkan oleh infeksi virus HIV (Human
immunodefisiensi virus). Pada kebanyakan kasus infeksi HIV menyebabkan Acquired
immune deficiency syndrome (AIDS). AIDS didefinisikan oleh Center For Dissease
Control and Prevenntion sebagai infeksi HIV dengan indicator penyakit penyerta
meliputi:
1. Infeksi oportunistik tertentu
6
2. Kanker tertentu seperti sarcoma Kaposi, limfoma, dan karsinoma servikalis atau
anal invasive
3. Sindrom pelisutan
4. Penyakit neurologis penyerta
5. Pneumonia berulang atau infeksi HIV dan CD4 < 200
2.2. Etiologi
Penyakit AIDS disebabkan oleh Virus HIV. Masa inkubasi AIDS diperkirakan antara
10 minggu sampai 10 tahun. Diperkirakan sekitar 50% orang yang terinfeksi HIV
akan menunjukan gejala AIDS dalam 5 tahun pertama, dan mencapai 70% dalam
sepuluh tahun akan mendapat AIDS. Berbeda dengan virus lain yang menyerang sel
target dalam waktu singkat, virus HIV menyerang sel target dalam jangka waktu lama.
Supaya terjadi infeksi, virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah putih
yang disebut limfosit. Materi genetik virus dimasukkan ke dalam DNA sel yang
terinfeksi. Di dalam sel, virus berkembangbiak dan pada akhirnya menghancurkan sel
serta melepaskan partikel virus yang baru. Partikel virus yang baru kemudian
menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya.
Ada dua subtipe yaitu HIV 1 dan HIV 2. HIV 1 dan HIV 2 merupakan suatu virus
RNA yang termasuk retrovirus dan lentivirus HIV 1 penyebarannya lebih luas di
hampir seluruh dunia, sedangkan HIV 2 ditemukan pada pasien-pasien dari Afrika
Barat dan Portugal. HIV 2 lebih mirip dengan monkey virus yang disebut SIV
(Simian Immunodeficiency Virus). Antara HIV 1 dan HIV 2 intinya mirip, tetapi
selubung luarnya sangat berbeda.
HIV mempunyai enzim reverse transcriptase yang terdapat di dalam inti HIV dan
akan mengubah RNA virus menjadi DNA. Inti HIV merupakan protein yang dikenal
dengan p24, dan bagian luar HIV yang berupa selubung glikoprotein terdiri dari
selubung transmembran gp 41 dan bagian luar berupa tonjolan-tonjolan yang disebut
gp 120. Gen yang selalu ada pada struktur genetik virus HIV adalah gen untuk kode
inti p24, dan gen yang mengkode polimerase RTase. Sedangkan gen yang mengkode
selubung luar akan sangat bervariasi dari satu strain virus dengan lainnya. Bahkan
pada seorang pengidap HIV selubung luar ini dapat berbeda-beda.
HIV dapat ditularkan melalui berbagai cara, yaitu:
1. Hubungan seks (anal, oral, vaginal) yang tidak terlindungi dengan orang yang
telah terinfeksi HIV
2. Transfusi darah atau penggunaan jarum suntik secara bergantian
3. Melalui alat suntik
4. Melalui silet, pisau atau alat pencukur jenggot yang digunakan bergantian
5. Melalui transplantasi orang pengidap HIV
6. Penularan ibu ke anak, biasanya infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya
yang mengidap HIV, dapat juga ditularkan melalui ASI
2.3. Epidemiologi
7
Baik HIV-1 maupun HIV-2 menyebar terutama melalui transmisi seksual, transmisi
perinatal, atau melalui darah atau cairan tubuh yang terinfeksi ( penyalahgunaan obat
intravena (IVDA), transfuse dll). Epidemic local atau pandemic infeksi HIV-1 terus
berlanjut dan berkembang paling cepat di Amerika Tengah dan Selatan, Asia
Tenggara, dan subkontinen India, meskipun jumlah terbesar orang yang terinfeksi
HIV masih tetap berada di Afrika sub Sahara. Dikebanyakan bagian dunia, transmisi
heteroseksual dan perinatal merupakan bentuk yang paling umum.
Data terbaru menunjukkan bahwa sekitar 34 juta dewasa dan sekitar 2 juta anak
terinfeksi HIV-1 dan perkiraan dari WHO meramalkan bahwa antara 40-100juta orang
akan terinfeksi pada akhir 2001.Tidak ada pandemic pada HIV-2 masih tetap terbatas
pada Afrika Barat. Dibanding HIV-1, orang dapat terinfeksi HIV-2 dengan periode
waktu lebih lama tanpa mengalami penyakit. Adapula ketergantungan obat di Jakarta
nenunjukkan kasus infeksi HIV pada penggunaan narkotik yang sedang mengalami
rehabilitasi yaitu 15% pada tahun 1999, meningkat cepat menjadi 40,8% pada tahun
2000, dan 47,9% pada tahun 2001. Bahkan suatu survey disebuah kelurahan di Jakarta
Pusat yang dilakukan oleh Yayasan Pelita Ilmu menunjukkan 93% pengguna narkotik
terinfeksi HIV. Departmen Kesehatan RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah
penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV antara 90.000-130.000.
2.4. Patofisiologi
HIV tergolong ke dalam kelompok virus yang dikenal sebagai retrovirus yang
menunjukkan bahwa virus tersebut membawa materi genetiknya dalam asam
ribonukleat (RNA). Virion HIV (partikel virus yang lengakp dibungkus oleh selubung
pelindung) mengandung RNA dalam inti berbentuk peluru dimana p24 merupakan
komponen strukturan yang utama.
Setelah virus masuk, target utamanya adalah limfosit CD4 karena virus mempunyai
afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Virus HIV akan menginjeksikan dua utas
benang RNA yang identik ke dalam sel CD4+ dengan menggunakan enzim reverse
transcriptase dan virus akan melakukan pemrograman ulang materi genetic sel yang
terinfeksi untuk membuat DNA. DNA ini akan dsatukan ke dalam nukleus sel sebagai
provirus dan kemudian menginfeksi permanen, sehingga orang yang terinfeksi HIV
akan seumur hidup terinfeksi HIV. Sebagian pasien memperlihatkan gejala tidak khas
seperti demam, nyeri menelan, atau batu pada 3-6 minggu setelah terinfeksi. Kondisi
ini dikenal dengan infeksi primer.
Infeksi primer berkaitan dengan periode waktu dimana HIV pertama kali masuk ke
dalam tubuh. Pada fase awal proses infeksi (imunokompeten) akan terjadi respon
imun berupa peningkatan aktivitas imun, yaitu pada tingkat seluler. Setelah infeksi
primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan viremia permulaan yang
dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama masa ini, virus tersebar luas ke seluruh
tubuh dan mencapai organ limfoid. Pada tahap ini telah terjadi penurunan jumlah sel-
T CD4.
8
Respon imun terhadap HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan setelah infeksi, viremia
plasma menurun, dan level sel CD4 kembali meningkat namun tidak mampu
menyingkirkan infeksi secara sempurna. Masa laten klinis ini bisa berlangsung selama
10 tahun. Selama masa ini akan terjadi replikasi virus yang meningkat. Diperkirakan
sekitar 10 milyar partikel HIV dihasilkan dan dihancurkan setiap harinya. Waktu
paruh virus dalam plasma adalah sekitar 6 jam, dan siklus hidup virus rata-rata 2,6
hari. Limfosit T- CD4 yang terinfeksi memiliki waktu paruh 1,6 hari. Karena cepatnya
proliferasi virus ini dan angka kesalahan reverse transcriptase HIV yang berikatan,
diperkirakan bahwa setiap nukleotida dari genom HIV mungkin bermutasi dalam
basis harian
Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit klinis yang
nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus yang lebih tinggi dapat
terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut. HIV yang dapat
terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut dan lebih virulin
daripada yang ditemukan pada awal infeksi.
Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para pengidap HIV terjadi penurunan daya
tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah, sehingga beberapa jenis
mikroorganisme dapat menyerang bagian-bagian tubuh tertentu. Bahkan
mikroorganisme yang selama ini komensal bisa jadi ganas dan menimbulkan
penyakit.
2.5. Manifestasi Klinis
9
Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum
terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):
Gejala Klinis
• Fase awal pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-
tanda infeksi. Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam,
sakit kepala, sakit tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah
bening. Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat
menularkan virus kepada orang lain.
• Fase lanjutPenderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun
atau lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel
imun tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang
kronis seperti pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala
yang khas), diare, berat badan menurun, demam, batuk dan pernafasan
pendek.
• Fase akhirSelama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih
setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut
akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.
10
Pemeriksaan darah adalah cara paling umum untuk mendiagnosis HIV. Tes ini
bertujuan untuk mencari antibodi terhadap virus HIV. Orang yang terkena virus harus
segera dilakukan pemeriksaan laboratorium. Tindak lanjut tes mungkin diperlukan,
tergantung pada waktu awal paparan.
ELISA
ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) digunakan untuk mendeteksi
infeksi HIV. Jika tes ELISA positif, tes Western blot biasanya dilakukan untuk
mengkonfirmasikan diagnosis. Jika tes ELISA negatif, tetapi ada kemungkinan
pasien tersebut memiliki HIV, pemeriksaan harus diulang lagi dalam satu sampai
tiga bulan.
ELISA cukup sensitif pada infeksi HIV kronis, tetapi karena antibodi tidak
diproduksi segera setelah infeksi, hasil tes mungkin negatif selama beberapa
minggu untuk beberapa bulan setelah terinfeksi. Meskipun hasil tes mungkin
negatif selama periode ini, pasien mungkin memiliki tingkat penularan tinggi.
Western Blot
Ini adalah pemeriksaan darah yang sangat sensitif yang digunakan untuk
mengkonfirmasi hasil tes ELISA positif.
11
o TERAPI ANTIRETROVIRAL
b. Nucleotide RTI
Tenofovir (TDF) 300 mgsekali sehari (obat baru)
12
Obat ini aman, mudah, dan tidak mahal. Angka transmisi dapat diturunkan
sampai mendekati nol melalui identifikasi dini ibu hamil dengan HIV positif dan
pengelolaan klinis yang agresif
Imunisasi belum memuaskan
2.7. Komplikasi
Aids bersifat melemahkan sistem kekebalan tubuh Anda, tidak geran jika penderita
Aids mudah terinfeksi berbagai penyakit dan kanker. Misalnya :
13
Mempunyai makna melakukan pemeriksaan HIV pada suatu populasi tertentu, sementara
uji diagnostik HIV berarti melakukan pemeriksaan HIV pada orang-orang dengan gejala
dan tanda yang konsisten dengan infeksi HIV. CDC menyatakan bahwa infeksi HIV
memenuhi seluruh kriteria untuk dilakukan skrining, karena:
a. Infeksi HIV merupakan penyakit serius yang dapat didiagnosis sebelum timbulnya
gejala.
b. HIV dapat dideteksi dengan uji skrining yang mudah, murah, dan noninvasif.
c. Pasien yang terinfeksi HIV memiliki harapan untuk lebih lama hidup bila pengobatan
dilakukan sedini mungkin, sebelum timbulnya gejala.
d. Biaya yang dikeluarkan untuk skrining sebanding dengan manfaat yang akan
diperoleh serta dampak negatif yang dapat diantisipasi. Di antara wanita hamil,
skrining secara substansial telah terbukti lebih efektif dibandingkan pemeriksaan
berdasarkan risiko untuk mendeteksi infeksi HIV dan mencegah penularan perinatal.
CDC merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan HIV secara rutin untuk setiap
orang berusia 13-64 tahun yang datang ke sarana pelayanan kesehatan meskipun tanpa
gejala. Selain itu, CDC juga merekomendasikan agar pemeriksaan HIV dimasukkan dalam
pemeriksaan rutin antenatal bagi wanita hamil.
Panduan WHO mengenai PITC tahun 2007 menyebutkan bahwa metode ini dapat
diterapkan pada wilayah dengan tingkat epidemiologi HIV yang berbeda- beda, yaitu
daerah dengan epidemi HIV yang rendah, daerah dengan tingkat epidemi HIV yang
terkonsentrasi, dan daerah dengan tingkat epidemi yang meluas.
Pada semua tingkat epidemi, PITC direkomendasikan untuk dilakukan kepada orang
dewasa, remaja, atau anak dengan gejala dan tanda klinis yang sesuai dengan infeksi HIV;
anak yang terpapar HIV atau anak yang lahir dari ibu yang HIV positif; anak dengan
pertumbuhan suboptimal atau malnutrisi, di daerah dengan epidemi yang meluas, yang
tidak membaik dengan terapi yang optimal; serta pria yang menginginkan untuk dilakukan
sirkumsisi sebagai pencegahan penularan HIV.
Pada daerah dengan epidemi yang meluas, PITC direkomendasikan untuk diterapkan
kepada pasien rawat inap dan rawat jalan, termasuk pasien TB; pelayanan kesehatan
antenatal, persalinan dan post partum; pelayanan infeksi menular seksual; pelayanan
kesehatan untuk populasi yang berisiko; pelayanan kesehatan untuk anak usia dibawah 10
tahun; pelayanan kesehatan untuk remaja; pelayanan pembedahan; dan layanan kesehatan
reproduksi, termasuk keluarga berencana.
Untuk daerah dengan tingkat epidemi rendah atau terkonsentrasi, PITC dapat
dipertimbangkan untuk diaplikasikan pada tempat pelayanan infeksi menular seksual;
pelayanan kesehatan untuk populasi paling berisiko; pelayanan antenatal, persalinan, dan
pascamelahirkan; serta pelayanan untuk TB.
14
Panduan nasional Inggris tahun 2008 tentang pemeriksaan HIV merekomendasikan
pemeriksaan HIV secara rutin kepada orang-orang berikut:
a. Semua pasien yang datang ke sarana pelayanan kesehatan di mana HIV, termasuk
infeksi primer HIV, menjadi salah satu diagnosis banding.
c. Semua partner seksual dari laki-laki atau wanita yang diketahui HIV positif.
e. Semua wanita partner seksual dari laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki.
f. Semuapasiendenganriwayatpenggunaannarkobasuntik.
g. Semua laki-laki dan wanita yang diketahui berasal dari negara/daerah dengan
prevalensi HIV yang tinggi (>1%).
h. Semua laki-laki dan wanita yang berhubungan seksual di luar atau di dalam Inggris
dengan pasangan yang diketahui berasal dari negara/daerah dengan prevalensi HIV
yang tinggi.
Kegiatan tersebut berupa kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang dalam
implementasinya berupa : konseling AIDS dan upaya mempromosikan kondomisasi, yang
15
ditujukan kepada keluarga dan seluruh masyarakat yang potensial tertular HIV/AIDS
melalui hubungan seksual yang dilakukannya.
KODEKI
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan
masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh
(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta
berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
16
Prinsip Beneficence, Tindakan untuk kebaikan pasien. Memilih lebih banyak
manfaatnya daripada buruknya.
Prinsip Non-maleficence, Melarang tindakan yang memperburuk kedaan pasien.
Primum non nocere atau above all do no harm.
Prinsip Justice, mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap maupun dalam
mendistribusikan sumber daya (distributiv justice)
Pasal 4
17
Rumah sakit harus memelihara semua catatan / arsip, baik medik maupun non
medik secara baik.
Pasal 9
Rumah sakit harus mengindahkan hak-hak asasi pasien
Pasal 10
Rumah sakit harus memberikan penjelasan apa yang diderita pasien dan tindakan
apayang hendak dilakukan.
Pasal 11
Rumah sakit harus meminta persetujuan pasien ( informed consent )
sebelummelakukan tindakan medik. Selain itu, kerahasiaan rekam medis diatur di
dalam UU Praktik Kedokteran No. 29 Tahun2004pasal 47 ayat (2) sebagaimana
disebutkan di atas. UU tersebut memang hanya menyebut dokter,dokter gigi dan
pimpinan sarana yang wajib menyimpannya sebagai rahasia, namun PP No
10tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia kedokterantetap mewajibkan seluruh
tenaga kesehatandan mereka yang sedang dalam pendidikan di sarana kesehatan
untuk menjaga rahasiakedokteran.
Tujuan dari rahasia kedokteran dalam kasus HIV AIDS, selain untuk kepentingan jabatan
adalahuntuk menghindarkan pasien dari hal-hal yang merugikan karena terbongkarnya
statuskesehatan.Menurut Declaration on the Rights of the Patients yang dikeluarkan oleh
WMA memuat hak pasien terhadap kerahasiaan sebagai berikut:
Semua informasi yang teridentifikasi mengenai status kesehatan pasien, kondisi
medis,diagnosis, prognosis, dan tindakan medis serta semua informasi lain yang sifatnya
pribadi, harus dijaga kerahasiaannya, bahkan setelah kematian. Perkecualian untuk kerabat
pasienmungkin mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang dapat
memberitahukan mengenairesiko kesehatan mereka.
b. Tawakkal
18
Terhadap pasien AIDS yang penularannya bukan karena perzinaan, misalnya
melalui jarum suntik, transfusi darah atau pun yang lainnya, hendaknya bersabar
dan bertawakkal kepada Allah dan menerimanya sebagai cobaan, musibah, ujian
atas keimanannya. Sikap demikian dianjurkan Allah dalam firman-Nya, antara lain:
.
a. Jika ODHA hamil dan melahirkan, seharusnya dibantu dan ditangani oleh tim
medis/paramedis yang terlatih untuk menghindari kemungkinan penularan. Bantu-
membantu dalam kebaikan sangat dianjurkan dalam Islam.
b. Khitan bagi anak ODHA tetap wajib sepanjanh hal itu tidak membahayakan
dirinya dan proses khitannya seyogyanya dilakukan oleh tim medis/paramedis yang
terlatih untuk menghindari penularan.
a. Majlis Majma’ al-Fiqh al-Islami pada tahun 1995 mengeluarkan fatwa, sesuai
dengan penjelasan para dokter ahli bahwa penularan HIV/AIDS tidak melalui
aktivitas hidup seperti berpakain, bersentuhan kulit, nafas, makan atau tidak ada
alasan menjauhkan mereka dari bersosialisasi dan bermasyarakat.
b. Masyarakat tetap wajib bergaul dan memperlakukan mereka secara manusiawi,
mereka termasuk manusia yang dimuliakan Allah.
c. ODHA yang mengalami kecelakaan, tetap wajib ditolong dan tetap mewaspadai
kemungkinan adanya penularan dengan mengenakan alat pencegahan.
Daftar Pustaka
Karnen, Baratawidjaja & Iris Rengganis. 2012. Imunologi Dasar. Jakarta : Badan Penerbit FKUI
Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. (2011). Farmakologi dan Terapi. Edisi V,
Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.
Sudoyo, w Aru, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi 5. Hal. 2797-2805.
Jakarta : Interna Publishing.
19
20