Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat allah swt, yang mana berkat rahmat
dan karunianya lah penulis dapat menengerjakan Laporan Hasil Kerja Praktikum
Bioteknologi Kelautan Berjudul “ Kultur Artemia “ hingga dapat terselesaikan tepat pada
Penulis mengucapkan rasa terima kasih penulis kepada dosen pengampu mata kuliah
bioteknologi kelautan, yang telah banyak membantu, membimbing, memberikan arahan dan
Penulis telah berusaha sebaik mungkin dalam penulisan dan penyusunan lapotan hasil
kerja praktikum bioteknologi laut ini, namun tak menutup kemungkinan terdapat kesalahan
dalam penyajian, penuisan dan penyusunan laporan ini. kritik dan sran yang membangun
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN
Pakan alami sangat diperlukan dalam kegiatan budidaya sebagai makanan larva ikan
atau udang. Salah satu jenis pakan alami adalah artemia (brine shrimp) yang memiliki nilai
gizi tinggi dan sebagai sumber protein bagi larva ikan. Artemia masuk golongan udang-
udangan yang kecil ukurannya. Bentuk dewasa artemia mencapai ukuran 1 cm. Artemia
mampu hidup di perairan yang kadar garamnya tinggi, makan plankton, detritus serta butiran
halus dalam air yang dapat masuk ke dalam mulutnya (filter feeder). Artemia menghasilkan
kista yaitu telur yang diseliputi oleh selubung kuat untuk melindungi embrio dari perubahan
Artemia yang baru menetas disebut nauplius, merupakan makanan hidup bagi larva
udang dan benih ikan. Menurut Khairuman dan Amri (2005), Artemia sp. Dapat hidup
sampai 6 bulan dan bertelur 4-5 kali. Setiap kali bertelur dapat menghasilkan 50-300 butir
10 mg .
1.2. Tujuan
bertujuan agar mahasiswa dapat mengetahui proses dan cara pengkulturan artemia dengan
baik, mengetahui cara pemanenan artemia yang telah dikulturkan, dan mahasiswa mengetahui
mikrosopik.
II. TINJAUAN PUSTAKA
sebagai berikut :
Filum : Anthropoda
Kelas : Crustacea
Subkelas : Branchiopoda
Ordo : Anostraca
Family : Artemidae
Genus : Artemia
(Gambar1. Artemia)
Kista artemia berbentuk bulat berlekuk dalam keadaan kering dan bulat penuh dalam
keadaan basah. Warnanya coklat yang diselubungi oleh cangkang yang tebal dan kuat.
Cangkang ini berguna untuk melindungi embrio terhadap pengaruh kekeringan, benturan
keras, sinar ultra violet dan mempermudah pengapungan (Mudjiman, 2008). Artemia dewasa
memiliki ukuran antara 10-20 mm dengan berat sekitar 10 mg. Bagian kepalanya lebih besar
dan kemudian mengecil hingga bagian ekor. Mempunyai sepasang mata dan sepasang
antenulla yang terletak pada bagian kepala. Pada bagian tubuh terdapat sebelas pasang kaki
yang disebut thoracopoda. Alat kelamin terletak antara ekor dan pasangan kaki paling
belakang. Salah satu antena artemia jantan berkembang menjadi alat penjepit, sedangkan
pada betina antena berfungsi sebagai alat sensor. Jika kandungan oksigen optimal, maka
artemia akan berwarna kuning atau merah jambu. Warna ini bisa berubah menjadi kehijauan
apabila mereka banyak mengkonsumsi mikroalga. Pada kondisi yang ideal seperti ini, artemia
2.2. Habitat
Lymington, inggris pada tahun 1755. Artemia ditemukan diseluruh dunia dipedalaman
saltwater tetapi tidak di lautan. Artemia hidup di perairan yang berkadar garam tinggi, yaitu
antara 15-30 ppt. Pada salinitas yang terlalu tinggi, telur tidak akan menetas yang disebabkan
tekanan osmosis dari luar tubuh lebih tinggi, sehingga telur tidak dapat menyerap air yang
Kandungan oksigen terlarut yang baik untuk pertumbuhan artemia adalah di atas 3 mg/L
namun kadar oksigen kurang dari 2 mg/L dapat menjadi pembatas produksi biomasa artemia
(Mudjiman, 1983).
Menurut Mujdjiman (1989), kebiasaan makan artemia salina yaitu dengan manyaring
pakan (filter feeder). Artemia menelan apa saja yang ukurannya kecil, baik benda hidup,
benda mati, benda keras, maupun benda lunak. Di alam, pakan artemia antara lain berupa
detritus bahan organik, ganggang-ganggang renik, bakteri, dan cendawan (ragi laut). Menurut
Thariq et al (2002) menyatakan bahwa artemia juga merupakan hewan yang bersifat filter
feeder non selektif, oleh sebab itu faktor terpenting yang harus diperhatikan dalam memilih
pakan artemia adalah ukuran partikel kurang dari 50 µm sehingga mudah dicerna,
mempunyai nilai gizi dan dapat larut dalam media kultur. Artemia mulai makan pada instar
ketiga, yaitu setelah saluran pencernaan terbentuk. Ukuran partikel pakan untuk larva artemia
2.4. Reproduksi
Chumaidi et al., (1990) menyatakan bahwa perkembangbiakan artemia ada dua cara,
yakni partenhogenesis dan biseksual. Pada artemia yang termasuk jenis parthenogenesis
populasinya terdiri dari betina semua yang dapat membentuk telur dan embrio berkembang
dari telur yang tidak dibuahi. Sedangkan pada artemia jenis biseksual, populasinya terdiri dari
jantan dan betina yang berkembang melalui perkawinan dan embrio berkembang dari telur
yang dibuahi.
Pada awalnya naupli berwarna orange kecoklatan karena masih mengandung kuning
telur. Artemia yang baru menetas belum bisa makan, karena mulut dan anusnya belum
terbentuk dengan sempurna. Setelah 12 jam naupli tersebut akan berganti kulit dan memasuki
tahap larva kedua (nauplius II). Dalam fase ini naupli tersebut akan mulai makan dengan
pakan berupa mikroalga, bakteri, dan detritus organik lainya. Nauplius bersifat tidak memilih
pakan sehingga akan memakan segala jenis pakan yang dapat dikonsumsinya selama ukuran
sesuai dengan bukaan mulut nauplius. Naupli akan berganti kulit sebanyak 15 kali sebelum
menjadi dewasa dalam kurun waktu 8 hari. Artemia dewasa rata-rata berukuran sekitar 8 mm,
meskipun demikian pada kondisi yang tepat mereka dapat mencapai ukuran sampai dengan
20 mm (Sumeru, 2008).
Dalam tingkat salinitas rendah dan pakan yang optimal, artemia betina bisa
menghasilkan naupli sebanyak 75 ekor perhari. Selama masa hidupnya (sekitar 50 hari)
artemia bisa memproduksi naupli rata-rata sebanyak 10-11 kali. Dalam kondisi normal,
artemia dewasa bisa hidup selama 3 bulan dan memproduksi naupli atau kista sebanyak 300
Artemia sp. secara umum tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25-30 oC. Kista
artemia kering tahan terhadap suhu -273 hingga 100 oC. Artemia dapat ditemui di danau
dengan kadar garam tinggi, disebut dengan brain shrimp. Kultur biomasa artemia yang baik
pada kadar garam 30-50 ppt. Untuk artemia yang mampu menghasilkan kista membutuhkan
kadar garam diatas 100 ppt (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Faktor lain yang penting
adalah pH, cahaya, dan oksigen. Nilai pH berkisar antara 8-9 merupakan nilai yang paling
baik, sedangkan pH di bawah 5 atau lebih tinggi dari 10 dapat membunuh artemia. Cahaya
minimal diperlukan dalam proses penetasan akan sangat menguntungkan bagi pertumbuhan
Harefa (1996) mengatakan bahwa penetasan kista artemia dapat dilakukan dengan 2
cara, yaitu penetasan langsung dan penetasan dengan cara dekapsulasi. Cara dekapsulasi
dilakukan dengan mengupas bagian luar kista menggunakan larutan hipoklorit tanpa
mempengaruhi kelangsungan hidup embrio. Cara dekapsulasi merupakan cara yang tidak
umum digunakan pada panti-panti benih, namun untuk meningkatkan daya tetas dan
meneghilangkan penyakit yang dibawa oleh kista artemia cara dekapsulasi lebih baik
digunakan.
Langkah-langkah penetasan kista artemia dengan cara dekapsulasi yaitu dengan cara
kista artemia dihidrasi dengan menggunakan air tawar selama 1-2 jam, kemudian kista
disaring menggunakan plankton net 120 mikronm dan dicuci bersih. Tahap selanjutnya kista
dicampur dengan larutan kaporit/klorin dengan dosis 1,5 ml per 1 gram kista, kemudian
diaduk hingga warna menjadi merah bata, lalu kista segera disaring menggunakan plankton
net 120 mikronm dan dibilas menggunakan air tawar sampai bau klorin hilang, barulah siap
untuk ditetaskan selanjutnya kista akan menetas setelah 18-24 jam. Pemanenan dilakukan
dengan cara mematikan aerasi untuk memisahkan cytae yang tidah menetas dengan naupli
Purwakusuma (2008) kista hasil dekapsulasi dapat segera digunakan (ditetaskan) atau
disimpan dalam suhu 0-4 oC dan digunakan sesuai kebutuhan. Dalam kaitannya dengan
proses penetasan Chumaidi et al (1990) mengatakan kista setelah dimasukan ke dalam air laut
(5-70 ppt) akan mengalami hidrasi berbentuk bulat dan di dalamnya terjadi metabolisme
embrio yang aktif, sekitar 24 jam kemudian cangkang kista pecah dan muncul embrio yang
masih dibungkus dengan selaput. Pada saat ini panen segera akan dilakukan.
III. METODE PRAKTEK
Praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 8 Juni 2021 hingga tangggal 9 Juni 2021,
dilakukan pada Laboratorium Mikrobiologi Laut, Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan
Adapun peralatan dan bahan yang digunakan dalam melakukan prosedur kerja
1. langkah pertama yang dilakukan adalah memotong botol plastik menjadi 2 bagian. Pada
bagian tutup bolot dibuatkan lubang tempat selang oksigen dan bagian bawah botol
2. persiapan media tumbuh artemia dalam botol plastik dengan melarutkan garam secara
perlahan dengan air bersih guna mencapai salinitas optimal sekitar 30 – 35 ppt diukur
3. masukkan kista artemia sebanyak 1gr kedalam wadah air bersalinitas 35ppt.
4. hidupkan mesin pompa udara untuk mensuplai oksigen pada botol selama 48 jam.
6. pertumbuhan artemia diamati pada waktu 2 jam, 5 jam, 21 jam, dan 48 jam.
7. panen artemia dapat dilakukan jika mencapai ukuran 8ml atau dalam jangka 2 minggu.
8. penangkapan artemia dilakukan dengan cara mematikan mesin pompa udara, dan biarkan
air dalam botol selama 20 menit. Bayi artemia akan mengenap dan berada di bagian bawah
9.bilas artemia dengan air mineral bersih pada saat masih dalam saringan sebanyak 2 kali.
10. maka artemia siap diberikan pada larva udang maupun benih ikan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Berdasarkan dari praktikum yang telah dilakukan, maka diperoleh hasil yang disajikan pada
Pengamatan yang dilakuakkn terhadap kultur artemia dilakuakn saat kultur artemia berada
pada saat 2 jam dan pengamatan saat 5 jam, bentuk dati kultur atemia pada waktu ini
4.2. Pembahasan
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
5.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Chumaidi et. al. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Pakan Alami Ikan dan UdangPuslitbangkan
PHP\KAN\PT\12\Rep\1990, Jakarta
Dhert, P., P. Sorgeloos, and B. Devresse. 1980. Contribution toward a specific DHA
enrichment in the live food Brachionus plicatilis and Artemia sp.I n: Reinertsen, H.,
L.A. Dahle, L. Jorgensen, and K. Tvinnereim (eds). Proceeding of The First
National Conference of Fish Farming Technology. Rotterdam: Comittee of the First
National Conference of Fish Farming Technology.
Harefa, 1996. Laporan Kegiatan Kultur Kopepoda dan Artemia dengan Pakan Fermentasi,
Dirjen perikanan BBL Lampung
Isnansetyo dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton. Pakan
Alami Untuk Pembenihan Organisme Laut. Kanasius, Yogyakarta.
Jusadi, Dedy. 2003. Modul Penetasan Artemia. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan
Nasional.
Sumeru, Sri Umiyati dan Suzzy Anna. 2008. Penyediaan Nauplii Artemia. http://
hobiikan.blogspot.com/2008/10/penyediaannauplii- artemia.html [17 Mei 2009].
Thariq et al. 2002. Biologi Zooplankton. Seri Budidaya Laut No.9. Balai Budidaya Laut
Lampung, Lampung.