Anda di halaman 1dari 7

Lex Crimen Vol. IV/No.

1/Jan-Mar/2015

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK kedudukan dan peranan korban dalam


KORBAN TERORISME1 system peradilan pidana di Indonesia dan
Oleh: Wahyudi Iswanto2 kedudukan dan peranan korban dalam UU
No. 15 Tahun 2003.
ABSTRAK Kata kunci: Hak, korban, terorisme.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah
untuk mengetahui bagaimana pengaturan PENDAHULUAN
terhadap korban tindak pidana terorisme A. LATAR BELAKANG
dan bagaimanakah perlindungan hukum Masalah terorisme memasuki abad ke
terhadap hak-hak korban tindak pidana dua puluh satu telah merupakan salah satu
terorisme dalam UU No. 15 Tahun 2003. dari lima bentuk ancaman terhadap
Dengan menggunakan metode penelitian perdamaian dan keamanan dunia.3
yuridis normative, maka dapat diambil Kejahatan terorisme adalah sebuah fakta
kesimpulan: 1. Pengaturan terhadap yang cukup tua dalam sejarah. Terorisme
perlindungan korban tindak pidana sepanjng sejarah telah menjadi momok
terorisme sudah diatur dengan sangat jelas yang menakutkan, ini terutama karena
dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Di dunia terorisme sebagai suatu gerakan yang
internasional pengaturan perlindungan senantiasa menyebabkan banyak korban
terhadap korban kejahatan mendapat jiwa dari masyarakat sipil yang tidak terkait
diatur dalam Pasal 7 Universal Declaration secara langsung..4
of Human Rights; Pasal 6 huruf (d) Deklarasi Terorisme bukan hanya kejahatan yang
Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang mengancam dan merusak keamanan dan
Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban keutuhan suatu bangsa dan negara, tetapi
Kejahatan Dan Penyalahgunaan Kekerasan juga merusak tatanan dan kedamaian
(United Nation Declaration of Basic masyarakat internasional. Harmonisasi
Principles of Justice for Victims of Crime and global dapat terkoyak karena bisa jadi
Abuse of Power); Statuta Roma Mahkamah masing-masing negara saling mencurigai
Pidana Internasional (Rome Statute of dan mengecam negara yang lain. Hal ini
International Criminal Court (International disebabkan ada di antara tersangka atau
Crime Court)); Sedangkan di Indonesia pelakunya berasal dari negara tersebut.
kemudian pengaturan terhadap korban Aksi terorisme dapat terjadi kapan pun,
diatur dengan sangat jelas dalam UU No. 13 di mana pun dan menimpa siapa pun tanpa
tahun 2006 tentang Perlindungan Terhadap pandang bulu. Kerugian yang ditimbulkan
saksi dan Korban sedangkan khusus untuk oleh aksi terorisme sangat besar. Maraknya
korban tindak pidana terorisme diatur aksi teror yang terjadi dengan jatuhnya
dalam UU No. 15 Tahun 2003 mulai dari banyak korban telah membuktikan bahwa
Pasal 36 sampai dengan Pasal 42. 2. terorisme adalah sebuah kejahatan
Perlindungan hukum terhadap hak-hak terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Teror
korban tindak pidana terorisme prospeknya
dapat ditinjau dari tiga (3) sudut yaitu:
3
perkembangan kedudukan korban dalam H. Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka,
Terdakwa dan Korban Tindak Pidana Terorisme
proses penegakan hukum pidana;
Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Refika
Aditama, Jakarta, 2007, hlm-vii.
1 4
Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Frans Muh. Alfath Tauhidillah, Korban Sebagai Dampak
Maramis, SH, MH; Dr.Tommy F. Sumakul, SH, MH; dari Tindak Pidana Terorisme: Yang Anonim dan
Maarthen Y. Tampanguma, SH, MH. terlupakan, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol .V No.
2
Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat. NIM. II Agustus 2009, hlm. 19, diakses tgl 15 Oktober
090711213 2014.

235
Lex Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015

telah menunjukkan gerakan nyatanya mengalami cacat seumur hidup serta


sebagai tragedi atas hak asasi manusia. gangguan psikis lainnya yang sifatnya
Dampak fisik yang ditimbulkan oleh menahun. Oleh karena itu, guna
terorisme tak jarang tidak hanya menimpa mengurangi dan/atau memulihkan keadaan
terhadap mereka yang menjadi sasaran korban (keluarganya), perlu diupayakan
tetapi juga menimpa korban yang tidak bentuk-bentuk perlindungan yang sifatnya
tahu menahu dan tidak terkait dengan komprehensif.
sasaran yang dituju teroris. Karena
demikian akrabnya aksi teror ini digunakan B. RUMUSAN MASALAH
sebagai salah satu pilihan manusia, 1. Bagaimana pengaturan terhadap
akhirnya teror bergeser dengan sendirinya korban tindak pidana terorisme?
sebagai ‘terorisme’. Artinya terorisme ikut 2. Bagaimanakah perlindungan hukum
ambil bagian dalam kehidupan berbangsa, terhadap hak-hak korban tindak
hal ini untuk menunjukkan potret lain dari pidana terorisme dalam UU No. 15
dan di antara berbagai jenis dan ragam Tahun 2003?
kejahatan, khususnya kejahatan kekerasan,
kejahatan terorganisir, dan kejahatan yang C. METODE PENELITIAN
tergolong luar biasa (extraordinary crime) Penelitian ini adalah penelitian hukum
dan disebut kejahatan kebiadaban dalam normatif atau penelitian hukum
era keberadaban karena kejahatan itu kepustakaan, yaitu penelitian yang
mengorbankan manusia/orang-orang yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
tidak berdosa.5 pustaka atau data sekunder belaka
Tindak pidana terorisme sebagai
kejahatan luar biasa (extraordinary crime), PEMBAHASAN
oleh pelakunya sering dilakukan dalam A. PENGATURAN TERHADAP KORBAN
bentuk pengeboman. Sebanyak 124 dari TINDAK PIDANA TERORISME
193 kasus peledakan bom pada sejumlah Kitab Undang-Undang Hukum Acara
kota di Indonesia dapat di ungkap jajaran Pidana ternyata bahwa perlindungan
POLRI selama tahun 1999-2003.6 Perkara hukum terhadap pelaku mendapatkan porsi
peledakan bom menonjol terjadi di wilayah yang begitu banyak/besar. Hal ini dapat kita
Bali, Makassar, Medan, dan Jakarta. Salah lihat dimana perlindungan sudah mulai
satu aspek penting yang berkaitan dengan diberikan sejak pelaku akan ditangkap
tindak pidana terorisme adalah hak asasi dimana kepada pelaku diperlihatkan surat
manusia. Tindak pidana terorisme pada tugas serta surat perintah penangkapan
hakikatnya merupakan penghancuran yang didalamnya dicantumkan identitas
terhadap nilai-nilai kemanusiaan, martabat tersangka dan menyebutkan alasan
bangsa, dan norma-norma agama. dilakukannya penangkapan beserta uraian
Sebagaimana diketahui, aksi-aksi terorisme singkat tentang kejahatan yang
yang selama ini terjadi telah disangkakan kepadanya, kemudian dalam
mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa bentuk pemberian bantuan hukum oleh
memandang korban, mulai dari anak-anak penasihat hukum serta pendampingan
hingga orang dewasa, warga sipil hingga selama dalam pemeriksaan. Dan
aparat keamanan, bahkan dalam beberapa perlindungan ini tidak berhenti setelah
peristiwa peledakan bom, korban harus pelaku selesai diperiksa pada tingkat
penyidikan, perlindungan terhadap pelaku
5
terus berlanjut sampai dengan pada tahap
Ibid.
6 untuk mengajukan berbagai upaya hukum
Ibid, hlm-4

236
Lex Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015

seperti banding, kasasi dan peninjauan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


kembali atas suatu putusan pengadilan. (KUHP), sangat menghambat penegakan
Bagaimanakah dengan korban hukum. Karena jaksa penuntut umum
kejahatan? Padahal korbanlah yang perlu menjadi sukar untuk menjerat terdakwa.
untuk diperhatikan dan diberikan Dalam keterbatasan jaksa, seringkali
perlindungan secara maksimal karena apa mengakibatkan bahwa hukuman pidana
yang dialami oleh korban merupakan suatu yang dijatuhkan tidaklah maksimal.
nestapa yang akan ditanggung seumur
hidup. 2. Kesadaran Hukum Korban
Memberikan perlindungan kepada Dalam penerapan perlindungan hukum
korban tindak pidana terorisme adalah terhadap korban kejahatan, korban seperti
sangat penting (urgent) karena pada takut dengan adanya ancaman dan terror
kenyataannya bahwa memang korban baik fisik maupun psikis sehingga
kejahatan, kejahatan apa saja belumlah mengakibatkan korban tidak mau untuk
memperoleh perlindungan yang memadai. melaporkan kejadian yang menimpanya.
Hal belum memadainya perlindungan yang
diberikan kepada korban kejahatan dalam 3. Faktor Pendukung
hal ini termasuk juga korban kejahatan Kurangnya sarana dan prasarana
tindak pidana terorisme , karena pendukung. Dalam Pasal 5 ayat (1) UU No.
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
1. Faktor Undang-Undang; dan Korban disebutkan: ‘seorang saksi dan
2. Faktor kesadaran hukum korban; korban berhak untuk mendapatkan tempat
3. Faktor pendukung; kediaman baru’. Penjelasan pasal
4. Faktor sumber daya manusia;7 menyebutkan bahwa yang dimaksud
Ke-empat faktor di atas akan dijelaskan dengan ‘tempat kediaman baru’ adalah
dibawah ini. tempat tertentu yang bersifat sementara
1. Faktor Undang-Undang: dan dianggap aman. Pertanyaan yang
Keberadaan suatu undang-undang timbul adalah siapa yang harus
dalam suatu sistem hukum merupakan menyediakan tempat kediaman tersebut?
factor yang sangat menentukan bagi Serta untuk berapa lama saksi atau korban
tercapainya suatu tertib hukum, karena berhak untuk tinggal di tempat kediaman
untuk itulah salah satu tujuan dibentuknya baru tersebut; dan siapa/lembaga apa yang
undang-undang. Terlebih lagi undang- akan menanggung biaya tersebut?
undang merupakan sumber hukum yang
utama, yang mana kaidah-kaidah hukum 4. Faktor Sumber Daya Manusia
yang banyak itu memang berasal dari Keterbatasan sumber daya manusia baik
pengundang-undang, yang menuliskan secara kuantitas maupun kualitas turut
hukum dalam berbagai undang-undang dan mempengaruhi kualitas pemberian
membukukannya dalam kitab undang- perlindungan hukum terhadap korban
undang.8 kejahatan. Sebagai contoh di lingkungan
Dalam berbagai kasus, ketiadaan institusi Kepolisian, terdapat kesenjangan
undang-undang yang khusus mengatur yang begitu besar. Misalnya dari segi
mengenai kejahatan yang berada di luar kualitas (keahlian) dirasakan masih
memprihatinkan demikian juga dengan
jumlah personilnya.
7
Dikdik. M. Arief Mansur dan E. Gultom, Op-Cit,
hlm-173.
8
Ibid, hlm-174.

237
Lex Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015

Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun keluarganya berkaitan dengan proses


2006 tentang Perlindungan Saksi dan penyelidikan dan pemeriksaan yang dialami
Korban pada Pasal 1 angka 6 disebutkan oleh korban.
bahwa: “Perlindungan adalah segala upaya
pemenuhan hak dan pemberian bantuan B. PERLINDUNGAN TERHADAP HAK-HAK
untuk memberikan rasa aman kepada saksi KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME
dan/atau korban yang wajib dilaksanakan DALAM UU No. 15 TAHUN 2003
oleh Lembaga Perlindungan saksi dan Pasal 36 Undang-Undang No. 15 Tahun
Korban atau lembaga lainnya sesuai dengan 2003 tentang Pemberantasan Tindak
ketentuan Undang-Undang ini”. Pidana Terorisme diatur mengenai hak-hak
Berdasarkan pada ketentuan yang korban tindak pidana terorisme, dimana
disebutkan dalam UU No. 13 Tahun 2006 korban atau ahli warisnya berhak
ini, jelas bahwa pembentuk undang-undang mendapat kompensasi dan restitusi.
sudah bergeser konsep pemikirannya Pelaksanaan pengajuan kompensasi
dengan memikirkan untuk memberikan dilakukan oleh korban atau kuasanya
perlindungan yang maksimal juga kepada kepada Menteri keuangan berdasarkan
korban bukan hanya untuk pelaku amar putusan Pengadilan Negeri (Pasal 38
kejahatan saja sebagaimana yang sudah ayat (1)) Sedangkan untuk restitusi,
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum diajukan oleh korban atau ahli warisnya
Acara Pidana (KUHAP). Hal ini jelas terlihat kepada pelaku atau pihak ketiga (Pasal 38
pada Pasal 3 yang menyebutkan bahwa : ayat (2)).
“Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 38 berbunyi sebagai berikut:
berasaskan pada: (1) Pengajuan kompensasi dilakukan oleh
a. penghargaan atas harkat dan martabat korban atau kuasanya kepada Menteri
manusia; Keuangan berdasarkan amar putusan
b. rasa aman; pengadilan negeri.
c. keadilan; (2) Pengajuan restitusi dilakukan oleh
d. tidak diskriminatif; dan korban atau kuasanya kepada pelaku
e. kepastian hukum. atau pihak ketiga berdasarkan amar
Berlandaskan pada ketentuan Pasal 3 UU putusan.
No. 13 Tahun 2006 ini maka selayaknyalah Untuk kontrol oleh badan peradilan
dan sangatlah penting untuk memberikan terhadap pelaksanaan pemberian
perlindungan terhadap korban kejahatan kompensasi dan restitusi apakah sudah
demikian juga korban kejahatan tindak dilaksanakan atau belum, serta bukti yang
pidana terorisme, karena prinsip-prinsip harus dipenuhi diatur dalam Pasal 40 dan
dasar perlindungan terhadap korban pasal 41.
kejahatan mengacu pada dilanggarnya hak Pasal 40:
asasi korban sendiri. (1) Pelaksanaan pemberian kompensasi
Bentuk perlindungan yang lain yang dan/atau restitusi oleh Menteri
dapat diberikan kepada korban kejahatan Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga
termasuk kejahatan tindak pidana kepada Ketua Pengadilan yang
terorisme adalah pelayanan/ bantuan memutus perkara, disertai dengan
medis, bantuan hukum yang merupakan tanda bukti pelaksanaan pemberian
suatu bentuk pendampingan terhadap kompensasi, restitusi, dan/atau
korban baik diminta maupun tidak diminta rehabilitasi.
oleh korban kemudian pemberian informasi (2) Salinan tanda bukti pelaksanaan
yang harus diberikan kepada korban atau kompensasi, restitusi, dan/atau

238
Lex Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015

rehabilitasi sebagaimana dimaksud amar putusan pengadilan tersebut hanya


dalam ayat (1) disampaikan kepada memerintahkan kepada Menteri Keuangan
korban atau ahli warisnya. dan/atau pelaku untuk membayar
(3) Setelah Ketua Pengadilan menerima kompensasi dan restitusi atau sekaligus
tanda bukti sebagaimana dimaksud pengadilan akan menentukan
dalam ayat (1), Ketua Pengadilan besaran/jumlah yang harus dibayarkan oleh
mengumumkan pelaksanaan tersebut pemerintah/Departemen Keuangan
pada papan pengadilan yang dan/atau pelaku atau pihak ketiga.
bersangkutan. Ketentuan ini penting agar menjamin
kepastian bagi korban agar tidak menjadi
korban kesekian kalinya dari structural
tertentu (pembuat UU dan badan
Pasal 41: peradilan).
(1) Dalam hal pelaksanaan pemberian Bila pengadilan hanya berwenang untuk
kompensasi dan/atau restitusi kepada memberi perintah membayar kepada pihak
pihak korban melampaui batas waktu pemerintah dan pelaku atau pihak ketiga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, dalam kompensasi atau restitusi, maka
korban atau ahli warisnya dapat yang terjadi adalah pemberian kompensasi
melaporkan hal tersebut kepada ataupun restitusi oleh mereka bisa
Pengadilan. sekehendaknya sendiri. Maka disini korban
(2) Pengadilan sebagaimana dimaksud akan bisa menjadi korban kesewenang-
dalam ayat (1) segera memerintahkan wenangan dari pemerintah dan pelaku atau
Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak pihak ketiga sebagai pihak yang
ketiga untuk melaksanakan putusan berkewajiabn membayar. Akan tetapi bila
tersebut paling lambat tiga puluh (30) pengadilan diberi kewenangan untuk
hari kerja terhitung sejak tanggal memerintahkan kepada pemerintah
perintah tersebut diterima. (Departemen Keuangan) dan pelaku atau
Ketentuan mengenai pemberian pihak ketiga sekaligus jumlah yang harus
kompensasi dan restitusi sebagaimana dibayarkan, amka masalah yang timbul
diatur dalam UU No. 15 Tahun 2003 adalah tidak adanya batasan dan ukuran
tentang Pemberantasan Tindak Pidana minimal serta maksimal bagi hakim untuk
Terorisme, masih terdapat kelemahan dan mennetukan besarnya kompensasi dan
memerlukan penjelasan lebih lanjut lagi, restitusi yang akan ditetapkan. Hal ini bisa
yaitu dalam ketentuan Pasal 36 ayat (4), menimbulkan ketidakpastian bagi korban
karena tidak adanya batasan. Dalam Pasal dalam menuntut haknya.
36 ayat (4) disebutkan bahwa : Kompensasi Di sisi lain, pengadilan dalam memberi
dan /atau restitusi tersebut diberikan dan pertimbangan dan ukuran kepantasan dan
dicantumkan sekaligus dalam amar putusan kepatutan seharusnya memperhatikan
pengadilan.. Hal yang demikian akan bukti/data dokumen dari korban tentang
memberikan peluang serta kebebasan bagi kerugian-kerugian yang diderita baik
hakim untuk memberikan dan menentukan materil maupun imateril, yang dalam
sesuai dengan improvisasinya, dan pada praktek peradilan tindak pidana terorisme
akhirnya akan menimbulkan ini tidak pernah disinggung. Kalau melihat
ketidakseragaman dalam istilah pemberian praktek pengadilan yang ada maka tidak
kompensasi dan restitusi. disinggungnya hal ini dalam hampir semua
Permasalahan yang tidak kalah putusan perkara tindak pidana terorisme
pentingnya adalah apakah perintah dalam adalah disebabkan karena:

239
Lex Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015

1. hakim ragu-ragu karena ketidakjelasan perlindungan terhadap korban


aturan tersebut; kejahatan mendapat perhatian yang
2. tidak ada data dan dokumen yang sangat besar dan diatur dalam Pasal
mendukung untuk memberikan 7 Universal Declaration of Human
pertimbangan dan putusan tentang Rights; Pasal 6 huruf (d) Deklarasi
kompensasi dan restitusi yang akan Perserikatan Bangsa-Bangsa
diberikan. Misalnya berita acara Tentang Prinsip-Prinsip Dasar
pemerikasaan pendahuluan, surat-surat, Keadilan Bagi Korban Kejahatan Dan
kwitansi-kwitansi, saksi-saksi dan saksi Penyalahgunaan Kekerasan (United
ahli dan sebagainya; Nation Declaration of Basic
3. tidak ada dukungan dari korban karena Principles of Justice for Victims of
kurang mengetahui tentang haknya Crime and Abuse of Power); Statuta
tersebut, atau ketidak percayaan kepada Roma Mahkamah Pidana
badan peradilan, atau karena besarnya Internasional (Rome Statute of
kompensasi atau restitusi tidak sesuai International Criminal Court
dengan yang diharapkan. Korban sendiri (International Crime Court));
tidak melaporkan bahwa dirinya sebagai Sedangkan di Indonesia kemudian
korban; pengaturan terhadap korban diatur
4. rendahnya kepedulian masyarakat dengan sangat jelas dalam UU No.
terhadap nasib dan derita yang dialami 13 tahun 2006 tentang
korban, misalnya dengan memberi Perlindungan Terhadap saksi dan
advokasi dan bantuan sehingga ia dapat Korban sedangkan khusus untuk
menuntut tentang haknya; korban tindak pidana terorisme
5. pelaku sendiri sebagai orang yang tidak diatur dalam UU No. 15 Tahun 2003
mampu. mulai dari Pasal 36 sampai dengan
Dalam Undang-Undang Pemberantasan Pasal 42.
Tindak Pidana Terorisme tidak ditentukan 2. Perlindungan hukum terhadap hak-
sanksi bila pelaksanaan putusan pemberian hak korban tindak pidana terorisme
kompensasi dan/atau restitusi tidak prospeknya dapat ditinjau dari tiga
dilakukan, sebab bukan tidak mungkin (3) sudut yaitu: perkembangan
pihak pelaku atau pihak ketiga menolak kedudukan korban dalam proses
perintah putusan pengadilan negeri untuk penegakan hukum pidana;
memberi restitusi dengan jumlah tertentu kedudukan dan peranan korban
yang ditetapkan pengadilan, dan dalam hal dalam system peradilan pidana di
ini pihak yang berkewajiban dapat Indonesia dan kedudukan dan
mengajukan upaya hukum . Hal ini tidak peranan korban dalam UU No. 15
diatur dalam UU No. 15 tahun 2003. Tahun 2003. Di samping itu oleh
undang-undang kepada korban
PENUTUP diberikan kompensasi dan restitusi
A. KESIMPULAN yang menjadi hak-hak dari korban
1. Pengaturan terhadap perlindungan yang diatur dalam UU No. 15 Tahun
korban tindak pidana terorisme 2003 khususnya Pasal 36 dan Pasal
diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 38.
1945 yang merupakan dasar hukum
bagi pengaturan terhadap hak B. SARAN
setiap warga negara Indonesia. Di Bahwa perlindungan hak-hak korban
dunia internasional pengaturan tindak pidana terorisme perlu ditinjau

240
Lex Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015

kembali dengan melalui amandemen pasal- Soeharto, H., Perlindungan Hak Tersangka,
pasalnya karena dalam UU No. 15 tahun Terdakwa dan Korban Tindak Pidana
2003 ini terdapat pasal-pasal yang tidak Terorisme dalam Sistem Peradilan
dapat dilaksanakan dengan baik dan cermat Pidana Indonesia, Refika Aditama,
seperti misalnya dalam hal besaran/jumlah Jakarta, 2007.
pemberian kompensasi dan/atau restitusi Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji,
yang merupakan hak dari korban untuk Penelitian Hukum Normatif: Suatu
diterimanya. Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2003.
DAFTAR PUSTAKA Soeparman, H, Parman., Pengaturan Hak
Alfath, Tauhudillah Muh., Korban Sebagai Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan
Dampak dari Tindak Pidana Terorisme: Kembali Dalam Perkara Pidana Bagi
Yang Anonim dan Terlupakan, Jurnal Korban Kejahatan, Refika Aditama,
Kriminologi Indonesia Vol. V No. II Jakarta, 2007.
Aguatus 2009, diakses tanggal 15 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003
Oktober 2014. tentang Tindak Pidana Terorisme.
Ekotama, Suryono; H. Pudjianto dan G. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006
Wiratama., Abortus Provocatus Bagi tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Korban Perkosaan: Perspektif Undang-Undang No. 26 Tahun 2000
Viktimologi, Kriminologi dan Hukum tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Pidana, Universitas Atmajaya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang
Yogyakarta, 2000. Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Gosita, Arief., KUHAP dan Pengaturan Ganti Pidana.
Rugi Pihak Korban, Pustaka Sinar Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
Harapan, Jakarta, 1987. tentang Hak Asasi Manusia.
……………., Masalah Perlindungan Anak,
Akademika Pressindo: Edisi Pertama,
Cetakan Kedua, Jakarta, 1989.
……………., Masalah Korban Kejahatan,
Akademika Pressindo, Jakarta, 1993.
Hadjon, Philipus, M., Perlindungan Hukum
Bagi Rakyat Di Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya, 1987.
Mansur, Dikdik, M. Arief. dan E. Gultom.,
Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan:
Antara orma dan Realita, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2007.
Muladi., Hak Asasi Manusia: Hakekat,
Konsep dan Implikasinya dalam
Perspektif Hukum dan Masyarakat,
Refika Aditama, Bandung, 2005.
………et all, Bunga Rampai Hukum Pidana,
Alumni, Bandung, 1996
Sahetapy, J. E., Viktimologi Sebuah Bunga
Rampai, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
1987.

241

Anda mungkin juga menyukai