Anda di halaman 1dari 4

KASUS PENGHINDARAN PAJAK OLEH GOOGLE

ANALISIS

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Pajak

Dosen pengampu: Ahmad Lanang Citrawan, SH.,MH.

Di susun oleh:

Rika Amelia 1111180058

Sharin Yuniar Permata 1111180078

Adiva Amanda Amin 1111180258

Semester 5 H

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

2020
1. Kronologi Kasus

Perencanaan pajak menjadi bagian yang penting bagi perusahaan dalam


mengoptimalkan pembayaran pajak. Namun, perencanaan pajak ini justru dapat
mengarah pada hal yang tidak beretika, tax avoidance, atau bahkan tergolong tax
evasion. Hal ini terjadi dalam kasus Google. Dari data Bloomberg dijelaskan bahwa
perencanaan pajak Google mengarah pada penghindaran pajak sejumlah Rp 31 Triliun
pada 2014 dengan memindahkan ke perusahaan penampung di Bermuda. Sedangkan
pada tahun 2017 Google dilaporkan melakukan penghindaran pajak sebesar Rp327
Triliun.
Strategi perencanaan pajak yang dilakukan oleh Google dikenal dengan istilah
“Double Irish With a Dutch Sandwich”. Strategi ini adalah bagaimana Google
mengalihkan pendapatannya ke negara fasilitator, biasanya merupakan negara tax
haven. Negara ini memiliki tarif pajak yang rendah atau bahkan 0%. Google sendiri
mengalihkan hartanya ke Belanda dan Irlandia. Celah peraturan yang terdapat pada
irlandia menjadi dasar bagi Google dalam melakukan penghindaran pajak.
Sedangkan untuk di Indonesia sendiri, perencanaan pajak yang dilakukan oleh
Google dilakukan dengan menggunakan metode physical presence. Dengan adanya
perkembangan teknologi, Google sebisa mungkin untuk tidak mendirikan usahanya
secara fisik di Indonesia. Sehingga, Google tidak dapat dianggap sebagai Bentuk
Usaha Tetap (BUT) dan dikenakan tarif 25%.
Untuk pengoperasioannya di sekitar Asia, Google memiliki anak usaha di
Singapura. Segala urusan bisnis secara fisik akan dilakukan di Singapura. Hal ini
karena tarif pajak badan di Singapura hanya sebesar 17% dan masih dapat
dinegosiasikan. Tarif ini lebih rendah dibandingkan dengan negara Asean lainnya,
seperti Indonesia 25%, Thailand 20%, Filipina 30%, Brunei 18,5%, Myanmar 25%,
Laos 24%, dan Kamboja 20%. Sedangkan pengoperasian di Indonesia, Google hanya
membangun kantor marketing representative, yang mana kantor ini hanya sebagai
fungsi penunjang dan pelengkap. Selain itu, kontrak yang dilakukan dengan
konsumen ataupun pembayaran atas jasa yang diberikan dilakukan secara online.
Dengan klasifikasi tersebut, Google tidak dapat ditetapkan sebagai BUT dan hanya
dikenakan biaya komisi sebesar 8%.
2. Identifikasi Kasus
Dari hasil identifikasi kasus oleh kelompok kami, kasus google ini termasuk ke dalam
penghindaran pajak. Penghindaran Pajak merupakan  Perbuatan dengan cara sedemikian
rupa sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak terkena pajak. Biasanya
dilakukan dengan memanfaatkan kekosongan atau ketidak jelasan undang-undang. 
Kasus Google ini termasuk kedalam perlawanan aktif dimana google melakukan
perbuatan yang secara langsung ditunjukan untuk menghindari pajak. Perbuatan yang
dilakukan oleh Google sendiri ialah dengan melakukan perencanaan pajak dengan
menggunakan metode physical presence. Google melakukan tindakan dimana tidak
mendirikan bangunan atau yang lainnya yang bersifat fisik di Indonesia. Segala usaha
yang bersifat fisik dilakukan di Singapore. Di Indonesia, google hanya mendirikan
kantor marketing representative, yang mana kantor ini hanya sebagai fungsi penunjang
dan pelengkap. Selain itu, kontrak yang dilakukan dengan konsumen ataupun
pembayaran atas jasa yang diberikan dilakukan secara online.

3. Analisa Kasus
Penghindaran pajak yang dilakukan Google di Indonesia dikarenakan adanya
kelemahan atau kelonggaran di undang-undang perpajakan kita, yaitu mengenai aturan
bentuk usaha yang berbentuk secara virtual seperti Google. Hal tersebut
memungkinkan Google untuk tidak membayar pajak. Undang-undang kita hanya
mengatur tentang usaha yang berbentuk fisik, dengan begitu Google hanya akan
menghindari kehadiran fisik di indonesia agar tidak dikenakan pajak.

Hal-hal yang dilakukan oleh google ini adalah untuk penghindaran pajak dengan
memanfatkan untuk tidak terpenuhinya kriteria dikatakan Bentuk Usaha Tetap (BUT)
sehingga tidak adanya pemungutan pajak. Namun, pada April 2019, Kementerian
Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 35/2019 tentang
Penentuan Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Pasal 2 ayat (1)


“Orang Pribadi Asing atau Badan Asing yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor
Pokok Wajib Pajak.”

Pasal 2 ayat (2)

“Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dimulai
pada saat Orang Pribadi Asing atau Badan Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.”

Peraturan tersebut mengatur tentang kewajiban perpajakan perusahaan atau


orang asing yang melakukan bisnis di Indonesia, baik perusahaan konvensional
maupun yang beroperasi secara digital. Dengan adanya aturan ini dapat menjadi
pencegah untuk perusahaan Google atau sejenisnya yang melakukan penghindaraan
pajak. Seiring dengan meningkatnya perkembangan model usaha lintas negara yang
melibatkan subjek pajak luar negeri, perlu memberikan kepastian hukum bagi subjek
pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya di Indonesia.

4. Kesimpulan
nn

Anda mungkin juga menyukai