Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

“PELANGGARAN ETIKA BISNIS DALAM PERUSAHAAN GOOGLE”

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Etika Bisnis dan Profesi

Dosen Pengampu: Fahmi Natigor Nasution, SE, M.Acc, Ak.

Disusun Oleh :

Baginda Aufa Lubis 220503114

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

T.A 2023/2024
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..........................................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................2

BAB III PENUTUP...............................................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................8

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di Indonesia banyak sekali kasus yang berhubungan dengan Etika Bisnis dalam

Bidang Pajak. Kasus-kasus seperti korupsi, penyuapan, penggelapan permasalahan

laporan keuangan serta mafia pajak yang terjadi belakangan initentunya sangat

bertentangan dengan kode etik bisnis. Kasus-kasus penggelapan permasalahan laporan

keuangan serta mafia pajak yang terjadi belakangan initentunya sangat bertentangan

dengan kode etik bisnis. Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik dalam

pemerintahan yang telah disebutkanmelibatkan beberapa profesi yang melakukan

pelanggaran terhadap kode etik bisnis seperti pejabat administrasi negara, pegawai

perpajakan, akuntan publik,dan lain sebagainya.

Dalam era globalisasi dan teknologi yang semakin maju, perusahaan teknologi raksasa

seperti Google telah menjadi pemain kunci dalam mengubah lanskap bisnis global.

Namun, di tengah kejayaannya, Google telah terlibat dalam kontroversi serius terkait

etika bisnis, salah satunya adalah penolakan untuk membayar pajak secara proporsional.

Pelanggaran ini telah menimbulkan perdebatan sengit tentang tanggung jawab sosial dan

etika perusahaan di era modern.

1
BAB II

PEMBAHASAN

Menghindari pajak dapat dianggap sebagai pelanggaran etika bisnis karena

bertentangan dengan prinsip tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat di

mana mereka beroperasi. Menghindari pajak dengan 'membengkokkan' aturan-aturan

dalam sistem perpajakan bukanlah sesuatu yang ilegal, namun hal ini dipandang oleh

banyak orang sebagai tindakan yang sesuai dengan isi hukum dan bukan semangat

hukum. Negara-negara menetapkan dalam undang-undang bagaimana pajak mereka harus

diterapkan; dunia usaha diharapkan membayar pajak yang harus dibayar berdasarkan

undang-undang. Persoalan ini termasuk dalam ranah etika karena dunia usaha mempunyai

pilihan mengenai pendekatan mereka dalam menafsirkan undang-undang dan karenanya

membayar pajak. Meskipun tetap sah dalam segala hal yang dilakukannya, jika suatu

bisnis menerapkan garis etika mengenai cara menafsirkan undang-undang perpajakan dan

mengatur urusannya, hal ini harus tunduk pada kebijaksanaan yang tinggi. Hal ini dapat

meluas ke tempat dimana mereka membayar pajak. Penghindaran pajak telah dicap oleh

sebagian orang sebagai praktik 'tidak bermoral' dan tidak etis yang melemahkan integritas

sistem perpajakan.

Praktek penghindaran pajak yang ekstensif atau agresif dapat menimbulkan berbagai

masalah etika, termasuk:

1. Tidak Memenuhi Kewajiban Sosial

Menghindari pajak dengan memanfaatkan celah hukum atau melakukan transaksi

di yurisdiksi dengan tarif pajak rendah dapat dianggap sebagai kelalaian terhadap

kewajiban sosial dan kontribusi perusahaan terhadap pendanaan infrastruktur dan

layanan publik di negara-negara di mana mereka beroperasi.

2. Kesetaraan dan Keadilan

2
Praktek penghindaran pajak yang agresif dapat menyebabkan ketimpangan

ekonomi yang lebih besar antara perusahaan besar dan masyarakat umum. Hal ini

bisa memicu ketidakadilan sosial dan menciptakan persepsi bahwa perusahaan

tidak memikirkan kepentingan umum.

3. Kerugian Ekonomi Negara

Penghindaran pajak yang luas dapat mengurangi pendapatan pemerintah,

menghambat kemampuan mereka untuk memberikan layanan publik dan

membiayai proyek-proyek penting, seperti pendidikan, kesehatan, dan

infrastruktur.

4. Ketidaktransparan dan Kepentingan Tersembunyi

Praktek penghindaran pajak seringkali melibatkan struktur keuangan kompleks

yang sulit dipahami oleh masyarakat umum. Hal ini dapat menciptakan

ketidaktransparanan dan menyulitkan pihak-pihak terkait untuk memantau dan

menilai kepatuhan perusahaan terhadap kewajiban pajak.

5. Reputasi dan Citra Perusahaan

Praktek penghindaran pajak yang terlalu agresif dapat merusak reputasi

perusahaan di mata konsumen, investor, dan masyarakat umum. Masyarakat

semakin menuntut transparansi dan integritas dari perusahaan, dan praktek-

praktek semacam ini dapat merusak hubungan dengan pemangku kepentingan.

6. Dampak Global

Perusahaan multinasional memiliki pengaruh besar di berbagai negara.

Menghindari pajak secara ekstensif di berbagai yurisdiksi dapat mempengaruhi

ekonomi global dan menciptakan tekanan pada sistem perpajakan internasional.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan terus berupaya agar Google

Asia Pacific Pte Ltd mengejar kewajiban pajak di negeri ini. Sekalipun Google berkeras

3
hanya akan membayar pajak di Indonesia, jika skema pajaknya sama dengan di London,

Inggris. Dalam perkara pajak ini, DJP menggunakan skema Bentuk Usaha Tetap (BUT)

terhadap Google, yang dikaitkan dengan eksistensi atau kehadiran fisik. Kasus pajak

Google di Indonesia juga pernah terjadi di Perancis dan Italia. Alasannya, karena

kehadiran mereka di Perancis dan Italia hanyalah perwakilan atau agen dari kantor pusat

di Irlandia sehingga tidak mempunyai kewenangan besar, misalnya untuk menyetujui

kontrak dengan klien. Jika penyelesaian pajak Google di Indonesia tetap menggunakan

skema BUT ini, maka pengujian kehadiran fisik akan mengacu kepada Pasal 5 Perjanjian

Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dan Singapura.

Alasan dipilihnya Singapura adalah karena Google Asia Pacific, Pte Ltd berdomisili dan

menerima penghasilan dari Indonesia. Untuk melakukan pengujian keberadaan Google di

Indonesia, teknik pengujian yang dilakukan oleh parlemen Inggris dapat dijadikan

sebagai role model. Pada tahun 2015, parlemen dan pemerintah Inggris menemukan bukti

valid mengenai keberadaan BUT dari Google di Inggris. Di mana, karyawan Google di

Inggris dapat bertindak sebagai dependence agent, yakni mempunyai kewenangan untuk

menyetujui kontrak dan melaksanakan isi kontrak tersebut tanpa berkonsultasi terlebih

dahulu dengan kantor pusat mereka di Irlandia.

Dalam proses penjualan, termasuk proses negosiasi dan kesepakatan harga, dilakukan

oleh Google di Inggris. Sementara kantor pusat di Irlandia hanya terlibat pada proses

penerbitan tagihan (invoice). Meski begitu, Google Inggris tidak menyetujui skema BUT

yang ditawarkan oleh parlemen dan pemerintah Inggris. Google lebih menyetujui skema

diverted profit tax (DPT) atau dikenal sebagai "Google Tax". Besaran pajaknya lebih

kecil dari skema BUT. Ini juga terjadi di Australia dan India. Boleh jadi, daya

tawar Google lebih kuat karena produknya, seperti "Android" dan "Gmail", menguasai

komunikasi kehidupan manusia dan negara, bahkan urusan yang sangat rahasia.

4
Melihat permasalahan ini dari sudut padang etika bisnis, Manuel G Velasquez, dalam

bukunya berjudul Business Ethics mendefinisikan bahwa etika bisnis adalah studi khusus

menyangkut moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral

sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis. Velasquez

mengatakan, perilaku manusia didasari oleh fakta utilitarianisme yang menganggap

bahwa orang melakukan perbuatannya setelah melalui pertimbangan untung-rugi terlebih

dahulu.

Menurut Velasquez ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam etika bisnis, antara

lain: (1) pengendalian diri; (2) pengembangan tanggung jawab sosial (social

responsibility); (3) mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing

oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi; (4) menciptakan persaingan yang

sehat; (5) menerapkan konsep "pembangunan berkelanjutan"; (6) menghindari sifat 5K

(katabelece, kongkalikong, koneksi, kolusi, dan komisi); (7) mampu menyatakan yang

benar itu benar; (8) menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat

dan golongan pengusaha ke bawah; (9) konsekuen dan konsisten dengan aturan main

yang telah disepakati bersama; (10) menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki

terhadap apa yang telah disepakati; (11) perlu adanya sebagian etika bisnis yang

dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan.

Dalam bisnis Google, perusahaan itu pada dasarnya menerapkan prinsip

utilitarianisme.

Sebagai sebuah korporasi, Google tentu berusaha semaksimal mungkin untuk

mengeluarkan biaya seminimal mungkin dalam menjalankan usahanya. Namun, ada

beberapa langkah belum dilakukan Google untuk menciptakan etika bisnis yaitu: (1)

pengembangan tanggung jawab sosial, hal ini karena salah satu fungsi pajak sebagai

peralihan kekayaan dari si kaya kepada si miskin; (2) konsekuen dan konsisten dengan

5
aturan main yang telah disepakati bersama; dan (3) menumbuhkembangkan kesadaran

dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati, hal ini karena jika suatu korporasi

berusaha dan menikmati penghasilan dari suatu negara, maka sudah seharusnya korporasi

tersebut mematuhi segala peraturan yang berlaku di negara tersebut, termasuk peraturan

perpajakan. Tentu saja peraturan tersebut, khususnya peraturan pajak dibuat agar

korporasi tersebut memberikan kontribusi bagi negara sumber penghasilan, sebagai salah

satu perwujudan tanggung jawab sosial. Sementara pemerintah pemerintah sudah

menerapkan beberapa langkah untuk menciptakan etika bisnis yaitu: (1) menciptakan

persaingan yang sehat, agar pengenaan pajak dengan skema penerimaan penghasilan yang

sama (pembayaran penghasilan ke luar negeri) dilakukan dengan perlakuan yang sama

pula yaitu penerapan BUT; (2) mampu menyatakan yang benar itu benar; (3) menuangkan

sebagian etika bisnis dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-

undangan, hal ini sudah dilakukan pada perumusan P3B Indonesia-Singapura dan dengan

beberapa negara lainnya.

6
BAB III

PENUTUP

Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan. Pertama, cara berusaha Google di

Indonesia masih belum mencerminkan prinsip etika bisnis yang baik, meskipun

pemerintah sudah memberikan perlakukan yang sama terhadap Google dengan korporasi

lain yaitu skema BUT.

Namun Google cenderung memilih skema Google Tax seperti di Inggris, Australia, dan

India.

Kedua, pentingnya dukungan dan peran parlemen kepada otoritas pajak.

Hal ini mutlak diperlukan mengingat betapa besarnya kontribusi pajak terhadap

keberlangsungan kehidupan suatu negara.

7
DAFTAR PUSTAKA

https://www.ibe.org.uk/resource/tax-avoidance-as-an-ethical-issue-for-business.html

https://wartakota.tribunnews.com/2017/03/02/etika-bisnis-dalam-kasus-pajak-google

https://www.academia.edu/9075587/
Etika_Bisnis_dan_Profesi_Etika_Bisnis_di_Bidang_Perpajakan

https://wartakota.tribunnews.com/2017/03/02/etika-bisnis-dalam-kasus-pajak-google?
page=all

Anda mungkin juga menyukai