Anda di halaman 1dari 4

SJSN Bidang Kesehatan: Amanah UUD

1945 yang Dipercepat


OPINI | 25 November 2013 | 22:28 Dibaca: 344   Komentar: 0   0

Telah sama-sama kita ketahui, bahwa Pemerintah akan memberlakukan Jaminan


Kesehatan Nasional [JKN] secara bertahap mulai 1 Januari 2014. Rencana ini
ditegaskan di dalam Undang-undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Jaminan sosial adalah salah satu bentuk
perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi
kebutuhan hidup dasarnya yang layak. Sebelum membahas secara mendalam
tentang SJSN ini, ada beberapa aturan konstitusi yang sangat penting kita ketahui
terlebih dahulu.

Undang-undang Dasar 1945 (hasil amandemen) telah mengatur beberapa hak asasi
manusia di bidang kesehatan. Di dalam pasal 28H dinyatakan:

1. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan
2. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan
3. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan
dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat

Kemudian di dalam pasal 34 dijelaskan tentang kewajiban negara, sebagai berikut:

1. Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara


2. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan
3. Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
fasilitas pelayanan umum yang layak
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-
undang.

Berdasarkan UUD 1945 tersebut, jaminan sosial merupakan hak setiap orang dan
tugas pemerintah dalam mengembangkan suatu sistem jaminan sosial. Di dalam UU
SJSN, pemerintah mengingat pasal 28H secara utuh (ayat 1,2, dan 3) dan pasal 34
(ayat 1 dan 2), namun mengabaikan isi pasal 34 ayat 3. Padahal pasal 34 ini harus
dipahami secara utuh (tidak terpisah) sebagaimana ayat 4 yang menyatakan
“ketentuan lebih lanjut mengenai pasal ini diatur dalam UU. Ini merupakan
pelanggaran konstitusi pertama di dalam UU SJSN yang berdampak terhadap
kebijakan kesehatan di Indonesia.

Tugas dan tanggung jawab negara sebagaimana pasal 34 UUD 1945 itu harus diatur
terlebih dahulu di dalam satu undang-undang yang tidak boleh terpisah. Tujuannya
agar isu kesejahteraan sosial menjadi pijakan yang kuat untuk menyusun kebijakan
jaminan sosial dan fasilitas sosial lainnya. Kebijakan tentang fakir miskin dan anak
terlantar, jaminan sosial, ketersediaan fasilitas pelayanan umum dan kesehatan
harus saling menguatkan satu sama lainnya sehingga hak-hak rakyat sebagaimana
pasal 28H UUD 1945 dapat terpenuhi.

Pemerintah seharusnya menyusun UU kesejahteraan sosial terlebih dahulu sebelum


menyusun UU jaminan sosial. Isi dari UU kesejahteraan sosial tersebut menyangkut
tentang penanganan fakir miskin dan anak-anak terlantar, pengembangan sistem
jaminan sosial, pemberdayaan masyarakat lemah dan tidak mampu, serta
ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum. Setelah
ada kepastian hukum terhadap kesejahteraan sosial bagi masyarakat, barulah
pemerintah dapat merancang peraturan-peraturan selanjutnya seperti SJSN yang
disusun berdasarkan undang-undang tentang kesejahteraan sosial tersebut.

Faktanya, amanah pasal 34 UUD 1945 ini dijalankan secara terpisah menurut
peraturan perundang-undangan masing-masing. UU No. 40 tahun 2004 tentang
SJSN disusun jauh lebih awal dibandingkan UU No. 11 tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial. Kemudian setelah itu barulah ada UU tentang pelayanan
publik (UU No. 25 tahun 2009), kesehatan (UU No.36 tahun 2009), penanganan fakir
miskin (UU No. 13 tahun 2011), dan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum (UU No. 2 tahun 2012). Pemerintah lalu “tancap gas” untuk
mempercepat pelaksanaan UU SJSN ini dengan mengesahkan UU No. 24 tahun 2011
tentang BPJS, jauh meninggalkan implementasi peraturan perundang-undangan
kesejahteraan sosial lainnya.

Implementasi SJSN kesehatan menjadi sangat diprioritaskan oleh Pemerintah, di


atas kebijakan kesehatan lainnya. Hal ini dapat dilihat pada RAPBN 2014 yang baru
saja disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. SJSN bidang Kesehatan
dijadikan salah satu isu strategis pertama dan utama dalam peningkatan
kesejahteraan rakyat. Sedangkan isu tentang penurunan angka kematian ibu dan
angka kematian bayi yang merupakan target Millenium Development Goals (MDGs)
tahun 2015 dinomorduakan.

Untuk memaksa pelaksanaan SJSN pada 1 Januari 2014 tersebut, Pemerintah


mengeluarkan Peraturan Presiden No. 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
yang mengingkari keberadaan UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan PerPres
No. 72/2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Desakan-desakan oleh
oknum-oknum tertentu untuk mengeluarkan peraturan-peraturan lainnya
sebagaimana amanah UU SJSN dan UU BPJS sangat kuat, mengingat implementasi
kedua UU ini akan dilaksanakan yang tidak sampai hitungan bulan lagi.

Program jaminan kesehatan menjadi “anak emas”, sedangkan program kesehatan


lainnya menjadi “anak tiri” dalam upaya pencapaian pembangunan bidang
kesehatan di Indonesia. Pemerintah sangat bersemangat untuk
mengimplementasikan SJSN bidang kesehatan, namun mengabaikan keberadaan
fasilitas pelayanan kesehatan. Padahal ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan
juga merupakan amanah UUD 1945 yang harus diatur di dalam Undang-Undang.
Pemerintah hanya menyusun UU Kesehatan, sedangkan fasilitas pelayanan
kesehatan hanya diatur dalam beberapa produk hukum yang sebagian besar adalah
setingkat Peraturan Menteri Kesehatan (PerMenkes). Aturan-aturan tentang fasilitas
pelayanan kesehatan yang disahkan setelah UU SJSN adalah UU No. 44 tahun 2009
tentang Rumah Sakit dan PerMenkes No. 28 tahun 2011 tentang Klinik. Sedangkan
PerMenkes No. 6 tahun 2013 tentang Kriteria Fasilitas Pelayanan Kesehatan diatur
setelah disahkannya UU BPJS. Semua kebijakan yang dikeluarkan, penuh dengan
pemaksaan-pemaksaan agar SJSN dapat dilaksanakan per 1 Januari 2014.

Jika kita memahami bunyi pasal 34 ayat 3 dan 4, fasilitas pelayanan kesehatan
seharusnya diatur setingkat Undang-undang. Namun pemerintah mengabaikan hal
ini. Aturan tentang fasilitas pelayanan kesehatan dibuat ‘terpecah-pecah’, tidak
terpadu antar aturan yang satu dengan lainnya. Yang paling berbahaya, aturan-
aturan tentang fasilitas pelayanan kesehatan terkesan membiarkan terjadinya
liberalisasi pelayanan kesehatan di Indonesia, seperti bisnis rumah sakit dan klinik,
bisnis asuransi kesehatan komersil, praktek kolusi dalam akreditasi fasiltas
kesehatan, mafia farmasi, dan komersialisasi pendidikan kesehatan (terutama
pendidikan kedokteran).

Anda mungkin juga menyukai