Anda di halaman 1dari 13

Konsumen Era Globalisasi

Dosen :

Fortuna Zain Hamid, S.E, M.Si

Mata Kuliah :

Perilaku Konsumen

Kelompok 2

ABT 7B:

Achmad Alfian 4517030065


Afifah 4517030025
Dania Chairani 4517030029

Program Studi Administrasi Bisnis Terapan, Jurusan Administrasi Niaga

POLITEKNIK NEGERI JAKARTA

Jalan Prof Dr. G.A. Siwabessy, Kampus UI, Depok 16425


Telepon (021) 7270036, Hunting, Fax (021) 7270034
Laman : http://www.pnj.ac.id e-pos : humas@pnj.ac.id
A. Globalisasi
Globalisasi adalah suatu proses dimana batas-batas negara akan bertambah
sempit karena terdapat kemudahan didalam melakukan interaksi antar negara baik
dibidang perdagangan, informasi, gaya hidup dan dalam bentuk interaksi lainnya.
Menurut Jamli et.al., (2005), globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari
gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang
akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama
bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia. Arus globalisasi berpengaruh terhadap kegiatan
eknomi dunia yang mengakibatkan munculnya perdagangan bebas (liberalisasi).
Perdagangan ini terjadi karena tiap-tiap negara saling membutuhkan satu sama lain.
Ricardo (1817), mengatakan bahwa perdagangan bebas merupakan sistem
perdagangan luar negeri dimana setiap negara melakukan perdagangan tanpa ada
halangan pemerintah.
Era globalisasi di bidang ekonomi dan perdagangan sudah tidak terelakkan
lagi. Para pengusaha dan investor asing dari semua belahan dunia bisa dengan bebas
masuk ke Indonesia yang merupakan salah satu pasar terbesar di dunia. Persaingan
bisnis yang semakin ketat sebagai dampak dari pasar bebas sepuluh tahun terakhir,
memaksa para produsen menentukan strategi pemasaran yang paling efektif dan
efisien agar produknya dapat diterima oleh pasar.
Gaya hidup berbelanja masyarakat selalu berubah seiring dengan
perkembangan zaman. Para pelaku bisnis menjadikan Indonesia menjadi pangsa pasar
yang potensial untuk memasarkan produknya. Berbagai tren berbelanja sudah
diadaptasi oleh masyarakat Indonesia, mulai dari midnight shopping sampai yang
sedang tren sekarang adalah berbelanja melalui internet atau yang biasa disebut online
shopping. Perkembangan online shop di era digital kini diperkuat dengan pernyataan
Pudjianto Ketua Umum Asprindo yang dilansir melalui situs mix.co.id. Melihat
perkembangannya, ritel di tanah air sejak tahun 1960-an adalah era pasar tradisional.
Selanjutnya di tahun 1970-an dikenal dengan supermarket dan dalam
perkembangannya di tahun 1980-an berlanjut dengan pasar modern. Masuk tahun
1990-an timbul era supermarket berskala besar dan muncul pula tipe hypermarket,
dan di tahun 2000-an minimarket mulai menjamur hingga ke daerah.
Kebijakan perdagangan bebas pada era global muncul dengan disepakatinya
General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947 dan ditanda
tanganinya Marrakesh Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO)
oleh 124 negara anggota GATT. Fokus terbentuknya GATT tersebut adalah untuk
mengurangi tarif bea masuk serendah mungkin (Winarno, 2011). Kehadiran pasar
bebas justru menyulitkan bagi beberapa negara berkembang. Dalam teorinya, tata
perdagangan dunia harus mencerminkan esensi dari asas-asas perdagangan bebas
untuk semua negara misalnya, dengan membiarkan penggunaan secara benar bea
imbangan dan tindakan anti-dumping untuk mempertahankan perdagangan yang jujur
(fair trade) dan kompetitif (Jagdish, 1992). Namun, pada kenyataannya perdagangan
bebas hanya menimbulkan hambatan baru khususnya pada hambatan non-tarif.
Meneliti lebih lanjut, murahnya transportasi, komunikasi, ekonomi, dan sosial
budaya membuat semakin banyaknya perusahaan-perusahaan yang mulai
memposisikan merek mereka menjadi merek global (Steekamp et. al., 2003). Para
pengusaha menilai bahwa pasar internasional merupakan bentuk kesempatan bagi
perusahaan mereka untuk tumbuh (Lysonski, 2014). Selain itu, banyak perusahaan
memahami bahwa para konsumen memiliki pilihan lebih terhadap merek bercitra
global dibandingkan dengan kompetitor lokal (Strizhakova & Coulter, 2015).

B. Bisnis Digital
Bisnis Digital ialah aktivitas promosi baik itu untuk sebuah brand ataupun
produk menggunakan media elektronik (digital). Puluhan tahun silam, media digital
marketing sangatlah terbatas, sebutlah televisi atau radio yang hanya dapat
menyampaikan informasi secara satu arah. Bisnis digital adalah suatu jenis bisnis
jasa yang memanfaatkan kecanggihan teknologi ketika menciptakan sebuah produk
ataupun memasarkannya.
Bisnis digital juga tidak hanya tentang produk fisik yang dikemas dalam
bentuk digital seperti ebook (buku elektronik). Lebih dari itu, semua jenis usaha yang
menjual produknya secara online, baik menggunakan website atau aplikasi termasuk
dalam ranah bisnis digital. Ecommerce adalah salah satu contohnya.
Produk bisnis digital bisa berupa barang ataupun jasa. Sebagai contoh, jika
Anda memiliki kemampuan dalam memberikan motivasi pengembangan diri, Anda
bisa menjadi seorang motivator online yang sukses. Keahlian ini bisa menjadi inti
bisnis digital yang Anda tekuni. Adapun kelebihan bisnis dgital antara lain:
1. Pilihan yang Beragam
Perkembangan teknologi diprediksi belum akan berhenti bahkan hingga
beberapa dekade mendatang. Artinya, masih banyak inovasi yang bisa
dihasilkan sebagai peluang usaha. Anda hanya perlu cermat mengamati
kebutuhan pasar dan menciptakan produk yang dibutuhkan masyarakat.  
2. Jangkauan Pasar yang Luas
Jika Anda menggeluti bisnis digital yang dijalankan secara online, pangsa
pasarnya tentu akan lebih luas. Hal ini karena Anda tetap bisa menjalankan
bisnis tersebut di mana pun Anda berada, selama 24 jam. Hal ini tentu
bergantung dengan bisnis yang Anda geluti.
3. Bertujuan Jangka Panjang
Pengguna internet di Indonesia terus meningkat, mencapai 171 juta jiwa di
tahun 2018 lalu. Itulah alasan mengapa banyak perusahaan melakukan
transformasi digital, untuk meraih potensi besar tersebut. Tidak hanya itu,
bisnis digital juga merupakan upaya untuk membangun identitas online yang
bertujuan jangka panjang. Anda tentu menyadari bahwa Anda akan
ketinggalan jika tidak turut ambil bagian.
4. Memberikan Kenyamanan kepada Pelanggan
Di tengah kesibukan menjalankan rutinitas, sebagian orang mungkin tidak
sempat pergi ke suatu tempat untuk membeli sesuatu. Bisnis digital mampu
memberikan solusi untuk permasalahan ini. Ya, bisnis digital menawarkan
kenyamanan yang lebih kepada pelanggan. 
5. Potensi Penghasilan Tanpa Batas
Inilah yang terpenting. Bisnis digital yang dipasarkan secara online memiliki
potensi penghasilan tanpa batas. Bayangkan jika pelanggan Anda berasal dari
seluruh dunia. Tentu omset penghasilan Anda akan semakin berlipat ganda.
Beberapa contoh teknik pemasaran yang termasuk dalam bisnis digital:
1. SEO – Search Engine Optimization
2. Periklanan online
3. GoogleAds, FB ads, Adwords.
4. Promosi media Iklan televisi & radio
5. Billboard elektronik (video tron)
6. Email marketing
7. Website and blog
8. Podcaster
Secara umum, bisnis digital terbagi menjadi empat bagian. Bisnis digital
murni, versi digital dari bisnis nondigital, fasilitator digital dari bisnis nondigital, dan
hybrid.
1. Digital murni adalah bisnis yang menawarkan produk dengan komponen “bits
and bytes”, seperti pembuatan software secara luas. Misalnya software
pendidikan, software khusus bisnis, dan lain-lain.
2. Versi digital dari bisnis nondigital adalah bisnis yang menawarkan versi digital
dari barang/jasa yang biasanya dijual dalam bentuk fisik, seperti menjual e-
book, e-journal, dan e-comic.
3. Fasilitator digital dari bisnis nondigital adalah bisnis yang memfasilitasi bisnis
barang dan jasa menggunakan teknologi digital, seperti online shop.
4. Hybrid merupakan kombinasi penggunaan berbagai jenis bisnis digital untuk
memaksimalkan pendapatan.
Mengetahui dan memahami jenis-jenis bisnis digital ini sangat penting, karena
setiap jenisnya memiliki cara pemasaran dan target pasar yang berbeda, sehingga
diperlukan strategi yang sesuai. Bisnis digital juga memiliki basic service yang
berbeda, seperti media sosial (social media), pencarian dan analisis (search and
analytics), pengaturan konten web (web content management), digital content
provider, distribusi dan pengiriman (distribution and delivery), aplikasi hiburan, dan
lainnya.

C. Perlindungan Konsumen
Menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Perlindungan konsumen
sangatlah penting karena perkembangan pasar bebas Masyarakat Ekonomi Asean
(MEA) yang semakin pesat membuat cara berniaga berubah menuju electronic
commerce (e-commerce). Di era modern dan digital saat ini, aktifitas perdagangan e-
commerce telah menjadi senjata utama yang dapat memudahkan transaksi
perdagangan. E-commerce adalah proses pembelian, penjualan, transfer, atau
pertukaran produk, jasa dan informasi melalui jaringan computer termasuk internet.
Laporan Digital In 2017 Growth Overview menyatakan secara statistik bahwa
masyarakat Indonesia menghabiskan waktu sekitar 3 jam 16 menit per-hari untuk
media sosial. Data “Time on Site” dari SimilarWeb yang menghitung waktu
kunjungan dari 30 toko online yang beroperasi di Indonesia dan telah dibuat dari
Maret 2017 lalu menunjukkan rata-rata konsumen Indonesia menghabiskan waktu
sebanyak 4 menit 9 detik dalam sekali kunjungan ke situs belanja online. Riset
Nielsen tahun 2014 menunjukkan 80% perilaku konsumen Indonesia masih
menggunakan situs toko online untuk melihat review produk yang diinginkan sebelum
membelinya secara offline. Hal tersebut dikarenakan masih banyak konsumen
Indonesia yang belum percaya terhadap sistem transaksi online yang bahkan
terkadang ada toko online yang meminta data informasi kartu kredit konsumen.
Berdasarkan data terakhir Bank Indonesia (BI) pada tahun 2016, transaksi e-
commerce mencapai Rp 75 triliun per tahun. Nilai itu termasuk transaksi e-commerce
non market place. Jika diasumsikan selama 10 tahun terakhir rata-rata pertumbuhan
nilai transaksi e-commerce mencapai 17%, maka tahun 2018 nilai transaksi e-
commerce diperkirakan sampai Rp 102 triliun.12 Perkembangan e-commerce di
Indonesia seperti sekarang ini memang sangat signifikan.
Beberapa permasalahan yang timbul yang berkenaan dengan hak-hak
konsumen dalam transaksi e-commerce, antara lain:
1. Konsumen tidak dapat langsung mengidentifikasi, melihat, atau menyentuh
barang yang akan dipesan.
2. Ketidakjelasan informasi tentang produk yang ditawarkan dan/atau tidak
adanya kepastian apakah konsumen telah memperoleh berbagai informasi
yang layak diketahui, atau yang seharusnya dibutuhkan untuk mengambil
suatu keputusan dalam bertransaksi.
3. Tidak jelasnya status subjek hukum, dari pelaku usaha.
4. Tidak ada jaminan keamanan bertransaksi dan privasi serta penjelasan
terhadap risiko-risiko yang berkenaan dengan sistem yang digunakan,
khususnya dalam hal pembayaran secara elektronik baik dengan menggunakan
credit card maupun electronic cash.
5. Pembebanan risiko yang tidak berimbang, karena umumnya terhadap jual beli
di internet, pembayaran telah lunas dilakukan di muka oleh konsumen,
sedangkan barang belum tentu diterima atau akan menyusul kemudian, karena
jaminan yang ada adalah jaminan pengiriman barang bukan penerimaan
barang.
6. Transaksi yang bersifat lintas batas negara borderless, menimbulkan
pertanyaan mengenai yurisdiksi hukum negara mana yang sepatutnya
diberlakukan.
Berdasarkan data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), sepanjang
tahun 2017, YLKI telah menerima 642 aduan di luar pengaduan biro perjalanan
umrah. Dari 642 aduan tersebut, aduan yang berasal dari belanja online mendominasi
dengan jumlah 101 aduan. Sementara dari toko online yang paling sering diadukan,
urutan pertama adalah Lazada dengan 18 aduan, Akulaku dengan 14 aduan,
Tokopedia dengan 11 aduan, Bukalapak dengan 9 aduan, Shopee dengan 7 aduan,
Blibli.com dengan 5 aduan, JD.ID dengan 4 aduan, dan Elevenia dengan 3 aduan.
Adapun permasalahan yang sering diadukan kepada YLKI adalah pesanan barang
yang belum sampai, cacat produk, sulitnya proses pengembalian barang, hingga
proses refund atau pengembalian uang.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebenarnya telah mengatur hak dan
kewajiban pelaku usaha serta larangan-larangan yang bertujuan untuk memberi
perlindungan terhadap konsumen. Selain itu UUPK juga mengatur mengenai hak dan
kewajiban konsumen. Beberapa hak konsumen yang diatur dalam Pasal 4 UUPK
adalah:
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa.
2. Hak untuk memilih serta mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan
nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur.
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya.
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya.
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Selain haknya yang sebagaimana disebutkan di atas, konsumen juga memiliki
beberapa kewajiban yang diatur dalam Pasal 5, dalam hal ini supaya konsumen tidak
mendapatkan kerugian karena ketidakhati-hatiannya sendiri. Kewajiban tersebut di
antaranya adalah:
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
Meski UUPK telah mengatur hak serta kewajiban pengusaha untuk
memberikan perlindungan pada konsumen maupun hak dan kewajiban konsumen,
namun pada kenyataannya belum dapat sepenuhnya melindungi konsumen dalam
transaksi e-commerce karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam proses
produksi barang dan jasa ternyata belum diikuti dengan kemajuan perangkat hukum
yang ada. Pengaturan perlindungan hukum terhadap konsumen dalam transaksi e-
commerce perlu mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Perlindungan hukum dari sisi pelaku usaha, pelaku usaha berkewajiban
mencantumkan identitas dalam website. Adanya lembaga penjamin keabsahan
toko online, di Indonesia tidak ada lembaga penjaminan keabsahan toko
tersebut, sehingga dimungkinkan konsumen bertransaksi dengan toko online
yang fiktif. Untuk itu, pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan
Informatika sedang mempersiapkan lembaga Certification Authority (CA)
untuk menjamin keabsahan suatu toko online dalam beroperasi dengan
menerbitkan sertifikat digital.
2. Perlindungan hukum dari sisi konsumen, adanya jaminan perlindungan
kerahasiaan data-data pribadi konsumen, karena datadata tersebut jika tidak
dijaga kerahasiaannya oleh pelaku usaha, dapat diperjual-belikan oleh pihak
lain untuk kepentingan promosi.
3. Perlindungan hukum terhadap konsumen dari sisi produk, dimana pelaku
usaha diwajibkan untuk memberikan informasi yang jelas dan lengkap
mengenai produk yang ditawarkan, informasi produk mengenai produk harus
diberikan melalui bahasa yang mudah dimengerti dan tidak menimbulkan
penafsiran lain, memberikan jaminan bahwa produk yang ditawarkan aman
atau nyaman untuk dikonsumsi atau dipergunakan, serta memberi jaminan
bahwa produk yang ditawarkan sesuai dengan apa yang dipromosikan oleh
pelaku usaha.
4. Perlindungan hukum terhadap konsumen dari sisi transaksi, tidak semua
konsumen paham akan cara bertransaksi melalui media internet sehingga
dalam hal ini, pelaku usaha perlu mencantumkan dengan jelas dan lengkap
mengenai mekanisme transaksi serta hal-hal lain berkenaan dengan transaksi
(diatur dalam Terms and Conditions). Apabila terjadi sengketa di antara para
pihak yang bertransaksi, maka dokumen-dokumen kertas itulah yang akan
diajukan sebagai bukti oleh masing-masing pihak untuk memperkuat posisi
hukum masing-masing.

D. Perubahan Perilaku Konsumen


Diawal 1990-an muncul adanya suatu konsep yang disebut dengan Global
Consumer Culture (GCC). Terpstra dan David (1991) mendefinisikan GCC sebagai
persepsi umum konsumen dan kecenderungan mereka berkaitan dengan simbol-
simbol konsumsi global seperti merek, kategori produk, dan aktivitas konsumsi. GCC
dapat juga diartikan sebagai satu kesatuan budaya yang lebih besar melampaui budaya
nasional.
Munculnya GCC membuat konsumen rentan untuk mengkonsumsi produk
dengan merek-merek global. Kecenderungan mereka dalam mengkonsumsi merek-
merek global tersebut dapat dianalisis melalui perilaku konsumen, dimana konsumen
dengan latar belakang budaya yang berbeda memiliki kesamaan psikologi didalam
mempersepsikan merek-merek global. Hal tersebut juga didukung oleh Keillor et. al.
(2001) yang menyatakan bahwa individu-individu dalam pasar yang beragam
memiliki kecenderungan pada pola pikir yang sama dalam peran mereka sebagai
konsumen.
Kesamaan psikologi konsumen sebagai dampak dari kecenderungan mereka
dalam mengkonsumsi merek-merek global dapat dipelajari melalui suatu model
konsep yang disebut dengan Susceptibility to Global Consumer Culture (SGCC).
SGCC diartikan sebagai karakteristik atau sifat-sifat laten konsumen yang tercermin
pada keinginan atau kecenderungan mereka dalam menguasai dan menggunakan
merek-merek global (Zhou et. al, 2008). Secara singkat, SGCC dapat diartikan
sebagai keinginan konsumen atau kecenderungan mereka untuk menggunakan merek-
merek global. Sifat ini juga ditandai adanya kebebasan budaya dan didorong oleh
karakteristik individual konsumen (Dawar dan Parker, 1994). Konsep SGCC sendiri
digagas pertama kali oleh Zhou di tahun 2008, dimana model konsep SGCC tersebut
terdiri atas conformity to social norms, quality perception, dan social prestige. Konsep
SGCC ini diteliti lebih lanjut oleh Yue di tahun 2008, dimana ia menemukan bahwa
Internet technology readiness merupakan salah satu dimensi baru dari SGCC.
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian terdahulu, secara keseluruhan dimensi-
dimensi SGCC tersebut memiliki dampak terhadap minat beli konsumen.
Minat beli terjadi sebagai dampak dari pengaruh kesamaan konsumen pada
persepsi kualitas dan persepsi prestise mereka terhadap merek-merek global
(Steenkamp, Batra, and Alden’s, 2003). Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan
Merino (2015) bahwa “buying intention” atau minat beli sebagai hasil dari
kecenderungan konsumen dalam mengkonsumsi merek-merek global. Minat beli ini
pada akhirnya akan menuntun konsumen dalam membeli atau tidaknya suatu barang.
SGCC ini terdiri atas tiga skala dimensional yaitu conformity to social norms,
quality perception dan social prestige. SGCC ini, kemudian diteliti lebih lanjut oleh
Yue di tahun 2008, dimana ia menemukan bahwa Internet technology readiness
merupakan salah satu dimensi baru dari SGCC. Berikut penjelasan masing-masing
dimensi SGCC:
1. Conformity to social norms.
Conformity to Social Norms adalah proses menyesuaikan diri anggota
kelompok dengan cara mengindahkan nilai-nilai dan norma-norma yang
berlaku di dalam kelompok acuan, agar diterima dan mendapat pengakuan dari
kelompok acuan tersebut. Kalimat tersebut berasal dari kata conformit
(konformitas) yang berarti penyesuaian yang dilakukan agar tercapai tujuan
dan keselarasan dengan anggota kelompok (Willis dalam Sarwono, 2006).
Mengacu pada penelitian terdahulu, ditemukan adanya pengaruh dari
conformity to social norms terhadap minat beli konsumen (Yue, 2008; Zhou &
Poon, 2011). Hal ini juga didukung oleh teori yang dikemukakan Kotler
(2000) yang menyatakan bahwa perilaku membeli seseorang akan dipengaruhi
oleh kelompok di mana mereka mempunyai pengaruh langsung maupun tidak
langsung terhadap sikap atau perilaku seseorang.
2. Quality Perception
Persepsi kualitas (quality perception) merupakan persepsi atau anggapan dari
konsumen terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau
jasa layanan berkaitan dengan kesesuaian dengan apa yang diharapkan dan
dibutuhkan konsumen. Aaker (dalam Tjiptono, 2005) menyatakan bahwa
persepsi kualitas adalah penilaian konsumen terhadap keunggulan atau
superioritas produk secara keseluruhan. Pada hakekatnya persepsi akan
berhubungan dengan perilaku seseorang dalam mengambil tindakan terhadap
apa yang dikehendaki. Yue (2008) mengungkapkan bahwa quality perception
memiliki pengaruh positif terhadap minat beli konsumen. Salah satu cara
untuk mengetahui perilaku konsumen adalah dengan menganalisis persepsi
konsumen terhadap kualitas produk. Dengan demikian, produsen dapat
mengetahui hal– hal apa saja yang menjadi kekuatan, kelemahan, kesempatan
ataupun ancaman bagi produk mereka.
3. Social Prestige
Menurut Moslehpour & Huyen (2014), pretige merupakan fenomena
psikologis yang bervariasi dari orang ke orang, yang melibatkan antara satu
negara dengan negara lain, kelas-kelas sosial serta nilai-nilai budaya yang
berbeda. Orang seringkali memilih produk yang menunjukkan statusnya dalam
masyarakat. Konsumen menggunakan status produk sebagai simbol untuk
mengkomunikasikan kepada kelompok referensi yang responnya sangat
penting bagi pemakai produk (Wibisono, 2010). Wong & Zhou (2005)
mengemukakan bahwa konsumsi produk-produk merek global oleh konsumen
adalah sebagai sinyal akan kekayaan, kekuasaan, dan status. Mereka
menyatakan bahwa anggapan prestise memiliki pengaruh langsung terhadap
niat pembelian. Lebih lanjut, berdasarkan penelitian terdahulu, diketahui
bahwa social prestige memiliki dampak signifikan pada keinginan untuk
membeli (Zhou et. al. 2008 ; Yue, 2008).
4. Internet Technology Readiness
Menurut Parasuraman (2000) Internet technology merupakan kesiapan mental
konsumen untuk menerima teknologi atau kecenderungan konsumen untuk
menggunakan dan memanfaatkan teknologi baru dalam kegiatan mereka
sehari-hari. Menurut Penelitian Yue (2008) dalam jurnal internasioanl yang
berjudul “Susceptibility to Global Consumer Culture: Scale Development and
Purchase Behaviour of Shanghai Consumers” ia mengungkapkan bahwa
Internet Technology Readiness merupakan salah satu dimensi dari
Susceptibility to Global Consumer (SGCC) yang terinspirasi dari Technology
Readiness Index (TRI) karena peran teknologi di dalam interaksi antar
konsumen dengan perusahaan telah berkembang sangat pesat. Thompson
(2001) menyebutkan bahwa sejumlah batasan penelitian telah menguji
hubungan di antara pencapaian pendidikan dan penggunaan komputer.
Konsumen dengan tingkat pendidikan tinggi menunjukkan kecenderungan
tinggi untuk menggunakan inovasi dan konsumen ini lebih sering melakukan
belanja online daripada konsumen lain Li, et al (dalam Nilson, 2005).
Kemajuan teknologi dan internet ini juga mempengaruhi perkembangan jenis
bisnis ritel. Salah satunya adalah ritel dengan format nonstore yaitu bisnis ritel
yang lebih banyak mengoptimalkan kemajuan teknologi informasi untuk
interaksi dengan konsumen (Demirci et. al. 2008).
Disadari ataupun tidak, revolusi digital telah membuka pintu seluas-luasnya
terhadap customization produk, jasa dan pesan-pesan komunikasi daripada marketing
tools yang konvensional. Dengan revolusi digital, pemasar menjadi lebih efisien dan
terlibat lebih besar dalam membangun dan menjaga hubungan dengan konsumennya.
Teknologi digital juga memudahkan pemasar dalam mengumpulkan dan menganalisa
data yang kompleks terhadap pola pembelian dan karakter pribadi konsumennya. Di
sisi lain, teknologi digital juga memudahkan konsumen dalam mencari informasi
mengenai produk dan jasa, termasuk harga, secara lebih efisien. Selama lebih dari
satu dekade, revolusi digital telah memperkenalkan perubahan yang drastis terhadap
lingkungan bisnis, yaitu:
1. Konsumen memiliki “power” yang lebih dari sebelumnya.
2. Konsumen dapat mengakses berbagai informasi lebih mudah dari sebelumnya
3. Pemasar dapat menawarkan lebih banyak produk dan jasa dari sebelumnya.
4. Transaksi antara pemasar dan konsumen menjadi lebih interaktif dan cepat.
5. Pemasar dapat mengumpulkan informasi mengenai konsumennya dengan lebih
cepat dan mudah.
Daftar Pustaka

Kurniaratri, Alisa Dwi dan Brillyanes Sanawiri. 2017. Pengaruh Susceptibility To Global
Consumer Culture (SGCC) Terhadap Minat Beli Konsumen. Jurnal
Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu Administrasi, Univеrsitas Brawijaya. Vol.
50 No. 6.
Setiantoro, Arfian; Fayreizha Destika Putri; Anisah Novitarani; dan Rinitami Njatrijani.
2018. Urgensi Perlindungan Hukum Konsumen dan Penyelesaian Sengketa E-
Commerce Di Era Masyarakat Ekonomi Asean. Jurnal Rechts Vinding
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Vol. 7 No. 1.
Schiffman, Leon G. dan Leslie Lazar Kanuk. 2004. Consumer Behavior. USA: Prentice hall.
Subawa, Nyoman Sri dan Ni Wayan Widhiasthini. 2018. Transformasi Perilaku Konsumen
Era Revolusi Industri 4.0. Conference on Management and Behavioral
Studies, Universitas Tarumanagara.
http://www.ruangfreelance.com/ide-peluang-usaha/ (Diakses pada tanggal 23 Oktober 2020)
https://karinov.co.id/mengenal-apa-itu-digital-marketing/ (Diakses pada tanggal 23 Oktober
2020)
https://www.niagahoster.co.id/blog/bisnis-digital/ (Diakses pada tanggal 23 Oktober 2020)

Anda mungkin juga menyukai