Kecerdasan kinestetik merupakan kapasitas untuk memanipulasi objek dan melakukan berbagai
macam keterampilan fisik. Hal yang menonjol dari kecerdasan ini meliputi keseimbangan,
kelenturan, kecepatan, dan koordinasi dalam keterampilan fisik. Anak-anak dengan kecerdasan ini
menjelajahi dunia dengan otot-ototnya, senang bergerak, serta dapat menggunakan objek dengan
tangkas. Mereka memiliki keterampilan motorik kasar dan halus yang baik. Mereka juga
mengekspresikan diri atau belajar melalui aktivitas fisik.
Menurut Howard Gardner, seorang pakar psikologi, kecerdasan kinestetik merupakan hadiah
tersembunyi bagi banyak anak karena membantu mereka belajar dalam arti praktis. Dengan
kecerdasan ini, anak dapat belajar sesuai tingkat kenyamanan, tingkat kepercayaan diri, dan potensi
kreatif mereka. Mereka terlibat dalam interaksi sosial yang positif, menjadi terampil memecahkan
masalah, dan dapat mengasah kreativitasnya dengan cara mengekspresikan diri.
Contoh :
Nomor 2
1. Prinsip Individual
Metode pembelajaran yang perlu diterapkan oleh orangtua dalam mendidik
anak tunanetra menurut Smart (2010) perlu memperhatikan beberapa prinsip.
Salah satu metodenya adalah prinsip individual.
Prinsip individual berarti dalam mendidik anak tunanetra, tenaga pendidik
maupun orangtua perlu memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan
individu anak.
Hal-hal seperti; perbedaan umum, mental, fisik, kesehatan dan tingkat
ketunanetraan setiap anak perlu diperhatikan dengan baik.
3. Prinsip totalitas
Totalitas yang dimaksud di sini bukanlah berarti pembelajaran yang diberikan
harus menyangkut banyak mata pelajaran. Tetapi maksudnya ialah
menggunakan seluruh fungsi indra yang masih berfungsi pada anak tunanetra
dengan baik dalam pembelajaran.
Semisal ketika anak belajar mengenai objek buah-buahan, orangtua atau
guru dapat mengajak anak untuk mengenal objek tersebut secara
keseluruhan.
Mulai dari bentuk buah, sifat permukaannya, ukuran, rasa dan ciri khasnya
masing-masing. Ini membantu anak mengenali objek dengan sempurna.
5. Huruf brailleafb.org
Beralih dari metode dan prinsip yang perlu diperhatikan selagi mendidik anak
tunanetra, sekarang kita akan membahas beberapa alat atau media yang juga
dapat mendukung kegiatan belajarnya.
Huruf braille seolah menjadi kebutuhan utama bagi para penderita tunanetra.
Melalui huruf yang ditemukan oleh Louis Braille inilah mereka dapat membaca
dan memahami tulisan.
Huruf braille merupakan kumpulan titik-titik timbul yang disusun untuk
menggantikan huruf biasa. Huruf ini tersusun atas enam buah titik, dua dalam
posisi vertikal, sedangkan tiga lainnya berada dalam posisi horizontal.
Semua titik yang timbul ini dapat ditutup menggunakan satu jari sehingga
memudahkan anak dalam membaca ataupun menulis braille.
8. Optaconwikipedia.org
Optacon merupakan istilah dari Optical-to-Tactile converter. Optacon ini
merupakan alat yang memungkinkan pembaca tunanetra untuk membaca
tulisan lawas.
Alat ini dapat mengubah tulisan atau gambar menjadi getaran yang dapat
dirasakan dan dibaca oleh penggunanya.
Sebuah kamera dengan elemen photosensitive dalam Optacon membuatnya
dapat mendeteksi tulisan tertentu. Kamera ini dihubungkan ke susunan sandi
raba yang sesuai dengan huruf tertentu.
Ketika salah satu huruf yang terdeteksi oleh kamera, maka akan dihasilkan
pola getaran tertentu yang bisa dirasakan dengan meraba.
Nomor 3
Menurut Soewito dalam buku Ortho paedagogik Tunarungu adalah : “Seseorang yang mengalami
ketulian berat sampai total, yang tidak dapat menangkap tuturkata tanpa membaca bibir lawan
bicaranya”. Anak tunarungu adalah anak yang mengalami kehilangan kemampuan mendengar baik itu
sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan kerusakan fungsi pendengaran baik sebagian atau
seluruhnya sehingga membawa dampak kompleks terhadap kehidupannya.
Anak tunarungu merupakan anak yang mempunyai gangguan pada pendengarannya sehingga tidak
dapat mendengar bunyi dengan sempurna atau bahkan tidak dapat mendengar sama sekali, tetapi
dipercayai bahwa tidak ada satupun manusia yang tidak bisa mendengar sama sekali. Walaupun sangat
sedikit, masih ada sisa-sisa pendengaran yang masih bisa dioptimalkan pada anak tunarungu tersebut.
Berkenaan dengan tunarungu, terutama tentang pengertian tunarungu terdapat beberapa pengertian
sesuai dengan pandangan masing-masing. Menurut Andreas Dwidjosumarto mengemukakan bahwa
seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu. Ketunarunguan
dibedakan menjadi dua kategori, yaitu tuli (deaf) atau kurang dengar (hard of hearing) (Laila, 2013: 10).
Anak tunarungu memiliki hambatan dalam pendengaran akibatnya individu tunarungu memiliki
hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Cara berkomunikasi seseorang
yang menyandang tuna rungu dengan individu lain yaitu menggunakan bahasa isyarat, untuk abjad jari
telah dipatenkan secara internasional sedangkan untuk isyarat bahasa berbeda-beda di setiap negara.
Intelegensi anak tunarungu tidak berbeda dengan anak normal yaitu tinggi, rata-rata dan rendah. Pada
umumnya anak tunarungu memiliki entelegensi normal dan rata-rata. Prestasi anak tunarungu seringkali
lebih rendah daripada prestasi anak normal karena dipengaruhi oleh kemampuan anak tunarungu dalam
mengerti pelajaran yang diverbalkan. Namun untuk pelajaran yang tidak diverbalkan, anak tunarungu
memiliki perkembangan yang sama cepatnya dengan anak normal. Prestasi anak tunarungu yang rendah
bukan disebabkan karena intelegensinya rendah namun karena anak tunarungu tidak dapat
memaksimalkan intelegensi yang dimiliki. Aspek intelegensi yang bersumber pada verbal seringkali
rendah, namun aspek intelegensi yang bersumber pada penglihatan dan motorik akan berkembang
dengan cepat.
Contoh :
Sering merasa curiga dan berprasangka. Sikap seperti ini terjadi akibat adanya kelainan fungsi
pendengarannya. Mereka tidak dapat memahami apa yang dibicarakan orang lain sehingga anak-anak
tunarungu menjadi mudah merasa curiga.
Nomor 4