Sinopsis Film
Tatsuo Ozaki adalah seorang ketua geng dari geng Mafia Jepang. Semasa hidup,
Tatsuo tidak pernah mendapat kasih sayang dan perhatian dari kedua orangtuanya, sehingga
ia tumbuh menjadi pribadi yang kasar dan dingin. Ia memiliki seorang kekasih bernama
Kayoko yang terus menginginkan mereka segera menikah. Didesak oleh hal tersebut, Tatsuo
memutuskan untuk bergabung ke dalam kelompok Yakuza (Mafia Jepang) demi
mendapatkan uang.
Dengan statusnya yang masih sebagai siswa SMA, Tatsuo telah memiliki melakukan
berbagai kejahatan Ia memiliki teman-teman yang sekaligus menjadi anggota geng nya, yaitu
Daimon, Matsuyama dan Shimada. Kelompok geng ini seringkali melakukan kejahatan
seperti penjambretan, pemerasan, pemukulan hingga pelecehan seksual.
Suatu ketika, seorang siswi SMA bernama Misaki berjalan melewati Tatsuo dan
gengnya. Melihat parasnya yang cantik, pikiran jahat pun timbul dalam benak Tatsuo.
Mereka menjebak Misaki dan membawanya ke apartemen. Di situ, mereka mulai melakukan
berbagai tindak kekerasan dan pemerkosaan kepada Misaki. Pada akhir diceritakan jika
Misaki meninggal dunia dan ditemukan dalam sebuah drum besar berisi beton semen. Film
ditutup dengan memperlihatkan Tatsuo yang sedang menjalani masa hukuman.
Analisa dari Aspek Traumatologi
Pada film diperlihatkan kondisi Misaki yang terjatuh dari sepeda dan mengalami luka
lecet tepat pada lutut kiri sisi luar, dengan di sekitarnya terdapat benda warna kehitaman
serprti debu atau aspal (Gambar 1). Luka ini sudah cocok dengan arah jatuh korban yang
diperlihatkan dalam film, dimana korban jatuh ke sisi kiri dengan posisi menyamping, Dari
mekanisme jatuh tersebut, akan lebih logis jika luka muncul pada lutut atau bagian kaki sisi
luar. Sedangkan pada film, tidak diperlihatkan adanya luka selain di lutut sisi depan. (Gambar
1)
Luka lecet sendiri merupakan salah satu jenis luka yang ditemui akibat kekerasan
tumpul. Dari adegan film. luka ini kemungkinan didapati dari gesekan antara aspal jalan
(yang permukaannya kasar) dengan kulit bagian lutut. 1 Pada kasus jatuh dari sepeda, anggota
tubuh yang biasanya mengalami luka adalah ekstremitas, dengan luka sekunder pada dada
ataupun kepala. Derajat cedera yang dialami juga biasanya tidak separah motor, karena laju
kecepatan sepeda tidak terlalu tinggi.2
Selanjutnya Misaki mengalami pemukulan sebanyak 10 kali pada bagian wajah,
seperti terlihat pada Gambar 2. Pemukulan itu menyebabkan beberapa luka memar di dahi,
kedua pipi dan dagu, berwarna ungu kehitaman. Di sekitar nya terdapat beberapa luka lecet di
pipi kiri dan kanan dan sudut bibir luar kanan. Dalam film tidak tampak bagaimana kondisi
kepala korban karena tertutup rambut. Gambaran patah tulang juga tidak tampak. (Gambar 2)
Gambar 2. Gambaran luka pada wajah Misaki
Secara teori luka-luka pada Gambar 2 juga merupakan cedera oleh kekerasan tumpul.
Perlu digarisbawahi bahwa cedera pada kepala dapat menyebabkan jejas di berbagai lokasi
mulai dari kulit kepala, wajah, tulang tengkorak, hingga kerusakan otak, namun hanya
kondisi wajah korban yang diperlihatkan pada film. Warna memar yang kehijauan
menandakan memar telah muncul melebihi 4-5 hari.1
Setelah adegan yang ditunjukkan pada gambar 3 diperlihatkan adanya luka terbuka
dengan tepi tidak rata, dan dasarnya tampak seperti jaringan bawah kulit dan pinggiran
menghitam. Di sekitarnya juga tampak memar-memar berwarna hitam-keunguan,
menunjukkan memar juga sudah muncul sejak 4-5 hari sebelumnya.
Pada dasar luka sekilas tampak seperti nanah berwarna kekuningan. Berdasarkan
teori, nanah pada luka biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri multipel pada luka (biasanya
bakteri anaerob. Gambaran luka “gangren basah” ini mengindikasikan luka yang lebih parah,
karena dapat mengakibatkan infeksi sistemik (sepsis) dan berujung pada kematian. Pada
beberapa kasus diperlukan amputasi kaki untuk menyelamatkan nyawa korban dengan luka
demikian.3 Pada film, diceritakan jika Misaki sudah menderita luka sejak awal disekap dan
tidak mendapat perawatan luka yang memadai. Hal tersebut membuat luka yang awalnya
berupa lecet biasa menjadi terinfeksi dan menjadi gangren.
Pada film ditampilkan bahwa Tatsuo dan gengnya melakukan pemerkosaan terhadap
Misaki. Korban telah meminta pelaku untuk berhenti, namun pelaku tetap melakukan
aksinya. Pelaku juga mengancam akan membunuh korban jika tidak mau menurut, sehingga
korban tampak ketakutan dan tidak melawan. Pada film ditunjukkan adegan seperti penetrasi,
namun tidak jelas apakah pelaku memasukkannya ke liang kelamin atau liang pelepas (anus).
Tidak ada adegan menghisap atau mengocok kemaluan pelaku.
Pada kasus korban meninggal dengan curiga persetubuhan, kita masih dapat mencari
3
beberapa tanda pada pemeriksaan autopsi, yaitu :
- Kondisi TKP yang mungkin masih tersisa darah
- Luka di rongga mulut (akibat penetrasi penis pada seks oral)
- Tanda-tanda kekerasan (baik tajam atau tumpul) pada kulit
- Tanda aberasi atau laserasi pada vulva atau ostium serviks
Pengambilan sampel cairan vagina postmortem masih dapat dilakukan, namun tetap perlu
diingat bahwa kondisi mayat dapat mengaburkan hasil pemeriksaan penunjang. Oleh karena
itu, pengambilan forensik sebaiknya dilakukan secepatnya. Setelah kematian, dikatakan
sperma dapat bertahan lebih lama pada tubuh jenazah, karena posisi tubuh yang relatif
telentang diam dan suhu tubuh yang relative menurun. 4, 5
Karena usia pelaku yang masih berstatus pelajar, maka dianggap usianya di bawah 18
tahun sehi berlaku hukum peradilan pidana anak. Proses diversi tidak dilakukan karena tindak
pidana yang dilakukan Tatsuo adalah tindak pidana berat (pembunuhan dan pemerkosaan).
Selanjutnya, dari delik yang ada, ancaman hukuman terberat bagi Tatsuo dan gengnya adalah
ancaman hukuman seumur hidup, namun berdasarkan UU no 11 tahun 2012, ancaman
penjara pada kasus pidana anak demikian adalah maksimal 10 tahun. Selama proses hukum,
anak juga perlu mendapatkan pendampingan dan dapat diringankan separuh dari hukumannya
bila pelaku menunjukkan perilaku baik selama ditahan.
Referensi
1. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Mun’im A, Sidhi, dkk. Ilmu Kedokteran
Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 1997.p.25-44, 64-70.
2. Payne-James J, Jones R, Karch SB, Manlove J. Simpson’s forensic medicine. 13th ed.
Hodder and Stoughton Ltd. London : 2011. p147-8.
3. Talthip J. An autopsy report case of rape victim by the application of PSA test kit as a
new innovation for sexual assault investigation in Thailand. J Med Assoc Thai. 90(2)
348-351.
4. Lincoln CA. Sexual assault: Forensic examination in the living and deceased. Acad
Forensic Pathol. 2018; 8(4): 912-923.
5. Collins KA, Bennett AT. Persistence of spermatozoa and prostatic acid phosphatase
in specimens from deceased individuals during varied postmortem intervals. Am J
Forensic Med Pathol. 22(3): 228-232.
6. Tsutsumi Y. Pathology of gangrene. IntechOpen. 2002; DOI:
10.5772/intechopen.93505
7. Preuß J, Strehler M, Dressler J, Riße M, Anders S, Madea B. Dumping after homicide
using setting in concrete and/or sealing with bricks-Six case reports. Forensic Science
international. 2006; 159(1) : 55-60
8. Undang-undang Republik Indonesia. UU no. 35 tahun 2014 pasal 1. (17 Oktober
2014)
9. Undang-undang Republik Indonesia. UU no. 11 tahun 2012 (30 Juli 2012)
10. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. KUHP Pasal 285, 328, 338, 351. (20
September 1958).