Anda di halaman 1dari 14

HIPERKALEMIA

Pendahuluan
Kalium adalah kation paling banyak pada cairan intraseluler yang berperan
dalam menghantarkan impuls saraf ke serat-serat otot, memberikan kemampuan otot
untuk berkontraksi dan pembebasan tenaga dari protein, lemak, dan karbohidrat
sewaktu metabolisme. Kalium bermanfaat bagi tubuh kita untuk mengendalikan
tekanan darah serta membersihkan karbondioksida di dalam darah. Kalium juga
berperan menjaga keseimbangan cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa.
(Austin, 2017)
Ginjal memainkan peranan penting dalam mempertahankan keseimbangan
konsentrasi ion darah. Karena gradien konsentrasi kalium atau kalium (K+) di
sepanjang membran seluler adalah kunci utama potensial membran pada sel, bahkan
penyimpangan kecil dari kalium serum dari titik normal mampu menimbulkan
gangguan otot yang berat, yang dapat mengarah pada gagal respirasi dan gagal
jantung. (Rodan, 2017)
Hiperkalemia merupakan keadaan darurat medis, terutama karena efeknya
pada jantung. Aritmia jantung yang berkorelasi dengan hiperkalemia meliputi sinus
bradikardi, henti sinus, irama idioventrikular lambat, ventrikular takikardi, fibrasi
ventrikel dan asistol. (Chaitman et al., 2016)
Fungsi Kalium
Kalium (K+) merupakan kation intraseluler yang melimpah, yang memainkan
peranan utama dalam pembentukan dan pemeliharaan potensial membran sel pada
saat istirahat; K+ secara aktif dipompa ke dalam sel oleh enzim elektrogenik natrium-
kalium adenosin trifosfatase (Na+ - K+ ATPase) sehingga membentuk gradien
konsentrasi K+ kimiawi disepanjang sel membran. Sebuah gradien voltase atau listrik
(potensial Nernst), dengan magnitude -90mVolts, diperlukan untuk menyeimbangkan
gradien kimiawi K+ yang telah disebutkan sebelumnya, sehingga dapat mencapai
keseimbangan K+ elektrokimiawi. Perubahan dalam potensial membran penting
dalam generasi dan kehilangan potensial aksi, melalui depolarisasi dan repolarisasi,
pada sel- sel yang dapat bereksitasi, seperti sel-sel otot polos, skeletal dan jantung,
serta sel neuron. (Lakkis, 2018)
Peningkatan ringan pada kalium ekstraseluler memengaruhi fase repolarisasi
potensial aksi jantung, yang berakibat pada perubahan morfologi atau arah
gelombang

Tinjauan Kepustakaan – Departemen-KSM Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Soetomo


Surabaya, 2 Juni 2022
T. Pada hiperkalemia ringan hingga sedang menekan konduksi intrakardia dengan
gelombang PR dan interval QRS memanjang secara progresif. Hiperkalemia berat
menyebabkan hilangnya gelombang P dan kompleks QRS melebar, fusi dengan
gelombang T menyebabkan ritme sinoventrikular. (Chaitman et al., 2016)
Keseimbangan Kalium dalam Tubuh
Total jumlah kalium dalam tubuh diperkirakan sekitar 3300 mMol dengan 2%
atau 65 mMol pada kompartemen ekstraseluler dan 98% pada kompartemen
intraseluler (2500 mMol pada sel-sel otot skeletal, 250 mMol pada hepar, 250 mMol
dalam sel darah merah dan 300 mMol di dalam tulang). (Lakkis, 2018)
Homeostasis kalium bergantung pada asupan dan ekskresi K+, serta berbagai
jalur yang terlibat dalam keseimbangan intraseluler dan ekstraseluler K+.
Perpindahan K+ diantara kompartemen intraseluler dan ekstraseluler membutuhkan
waktu beberapa menit, sedangkan ekskresi K+ memerlukan waktu beberapa jam.
Perlu dipahami bahwa perpindahan K+ dari satu kompartemen ke kompartemen dapat
menimbulkan perubahan bermakna pada K+ plasma secara klinis. (Lakkis, 2018)

Gambar 1. Diagram skematis yang menggambarkan tiga mekanisme kontrol


yang berbeda dalam homeostasis K+. (McDonough, 2017)
Redistribusi
Setelah muatan K+ dicerna, K+ secara cepat berpindah ke dalam sel dalam
waktu beberapa menit untuk mencegah peningkatan bermakna pada kadar plasma K+.
Akibatnya ekskresi muatan K+ intraseluler yang berlebih mengembalikan
keseimbangan K+ tubuh secara total dalam waktu beberapa jam. Ambilan seluler
yang telah dijelaskan sebelumnya, paling banyak dicapai oleh aktivitas yang
dimediasi oleh insulin melalui Na+-K+ATPase dan paling banyak terjadi pada otot
skeletal dan hepar. (Lakkis, 2018)

2
Ekskresi Ginjal
Dalam keadaan normal, sebagian besar ekskresi K+ (90%) berlangsung di ginjal
melalui sebuah respon terhadap asupan K+ dan sensor K+ di gastrointestinal yang
belum teridentifikasi, dimana sebuah pola sekresi dasar yang mengikuti waktu
sirkadian ginjal, dengan beban K+ minor (10%) diekskresikan secara ekstraginjal
melalui feses.
Sekitar 90% K+ bebas yang telah difilitrasi di nefron direabsorpsi kembali di
tubulus proksimal dan lengkung henle asenden yang kemudian menjadi langkah
kunci dalam keseimbangan K+. Proses tersebut bergantung pada reabsorpsi dan
sekresi dari 10% sisa kalium yang terfiltrasi pada nefron (distal tubulus konvolusi
akhir (DCT), tubulus konektivus, dan tubulus kolektivus kortikal). Pada Langkah-
langkah akhir tersebut, sekresi K+ diatur oleh dua kondisi utama: (Lakkis, 2018)
1. Pengiriman Na+ dan air di luminal tubular secara adekuat dan laju aliran pada
nefron distal yang sensitif aldosteron (ASDN (Aldosterone sensitive distal
nefron): tubulus konvolusi distal (DCT), tubulus konektivus, tubulus kolektivus
kortikal). Pengiriman dan laju aliran tersebut juga bergantung pada aktivasi dari
cotransporter natrium-korida yang sensitif terhadap tiazid (Natrium Chloride
Cotransporter NCC) pada DCT; dan
2. Sekresi optimal aldosteron pada zone glomerulosa korteks ginjal (biasanya
terhadap respon hiperkalemia atau angiotensin II), dan pengikatan aldosteron ke
reseptor mineralokortikoid (MR) sitosolik pada sel-sel prinsipal dan sel-sel alfa-
interkalasi di ASDN; hiperkalemia merupakan stimulus langsung dalam
pelepasan aldosteron. (Gambar 2)
Setelah terjadi dua kondisi diatas, sebagai respon peningkatan K+ serum,
mineralokortikoid yang teraktivasi yang merupakan sebuah faktor transkripsi yang
dependen-ligan merangsang ekspresi kanal natrium epithelial apical (luminal)
(ENaC) dengan hasil akhirnya adalah Na+ elektrogenik dan reabsorpsi air yang pada
akhirnya memicu sekresi K+ melalui kanal kalium medular luar (ROMK) ke dalam
lumen untuk mempertahankan neutralitas elektro luminal. (Lakkis, 2018)

3
Gambar 2. Proses Filtrasi, Reabsorpsi, dan Sekresi Ginjal

Tabel 1. Kanal dan transporter kunci untuk pengaturan kalium pada nefron
distal. (Lakkis, 2018)

Ketika kedua kondisi tersebut tidak terjadi, baik karena hipoperfusi ginjal dan
penurunan laju aliran yang mengikuti (pengirman Na+ dan H2O) atau karena
defisiensi aldosteron (absolut atau relatif) atau karena resistensi, maka terjadi
diskalemia. (Lakkis, 2018)
Ekskresi Gastrointestinal
Perlu diketahui, bahwa pada pasien dengan penyakit ginjal kronis (PGK) berat
dan gangguan ekskresi kalium ginjal, sekresi kalium di kolon (nonginjal) diperkuat
sebanyak tiga kali lipat dari 10% menjadi 30%, dalam sebuah mekanisme adaptif
melalui ekspresi yang ditingkatkan pada kanal K+ mukosa kolon dengan konduktansi
tinggi, dan proses ini dapat terus distimulasi dengan penggunan resin kalium-binding
cation-exchanges oral, seperti sulfonate polistiren sodium/kalsium, patiromer atau
siklosilikat zirconium sodium. (Lakkis, 2018)
Antagonis reseptor aldosteron dapat mengganggu laju ekskresi K+
gastrointestinal, yang dapat memicu terjadinya hiperkalemia. (Lakkis, 2018)

4
Hiperkalemia
Hiperkalemia merupakan gangguan elektrolit dengan potensi untuk
mengancam nyawa dengan frekuensi yang lebih besar terjadi pada pasien dengan
penyakit ginjal, penyakit jantung, dan pasien yang menggunakan obat-obatan
tertentu, seperti inhibitor renin angiotensin aldosteron. (Montford, 2017)
Data epidemiologis menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara
morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan hiperkalemia, namun hubungan ini
tampaknya melemah pada beberapa populasi pasien tertentu dan pada beberapa
kondisi klinis. Adaptasi fisiologis, penyakit jantung structural, penggunaan obat dan
derajat penyakit yang menyertai dapat menjadi predisposisi penurunan ambang batas
pasien sehingga lebih rentan terhadap toksisitas. (Montford, 2017)
Definisi Hiperkalemia
Hiperkalemia didefinisikan sebagai peningkatan konsentrasi serum kalium atau
kalium (K+) lebih dari 5.5 mEq/L. Kondisi ini merupakan kelainan elektrolit yang
dapat mengancam nyawa penderitanya.
Epidemiologi Hiperkalemia
Hiperkalemia termasuk kejadian yang jarang ditemukan pada populasi umum.
Namun, karena gangguan ini termasuk kondisi yang transien, belum ada penelitian
prospektif yang secara khusus memonitor konsentrasi serum K+ secara
intraindividual, sehingga kejadian pasti dari hiperkalemia pada populasi umum masih
belum diketahui. Nilai ambang K+ yang berbeda-beda (>5,0 atau >5,5 mEq/L) juga
memengaruhi pelaporan kejadian hiperkalemia. Diantara pasien yang dirawat inap,
kejadian hiperkalemia dilaporkan sebesar 3,5% Kanada, 4,9% Irlandia, Swedia 7%
dan 11% Amerika Serikat. Kejadian global hiperkalemia kurang terukur karena
kurangnya pemantauan K+ rutin. Oleh karena itu, penelitian epidemiologis pada
populasi global masih diperlukan untuk mengukur kejadian hiperkalemia secara
akurat. Karena ada kemungkinan lebih tinggi dibandingkan dengan yang diobservasi
pada uji klinis yang disebabkan oleh rendahnya frekuensi pemantauan rutin K+ dan
belum adanya standarisasi definisi hiperkalemia yang baik. (Palmer, 2021) (Kovesdy,
2017)
Faktor Risiko Hiperkalemia
Populasi pasien tertentu memiliki risiko yang tinggi terhadap morbiditas dan
mortalitas yang terkait dengan hiperkalemia, termasuk pasien dengan PGK stadium
lanjut, gagal jantung, hipertensi resisten, diabetes, infark miokard (MI), dan/atau
kombinasi dari kondisi-kondisi tersebut. Faktor risiko tambahan lainnya, termasuk
penggunaan RAAS, usia lanjut, dan konsumsi obat-obatan seperti heparin, β-bloker,
obat antiinflamasi nonsteroid, inhibitor kalsineurin, trimethoprim, pentamidine, dan
diuretic K+-sparing.

5
Risiko hiperkalemia secara progresif meningkat seiring dengan penurunan
estimasi laju filtrasi glomerulus (eGFR/ estimated glomerular filtrariton rate). Pada
kondisi dimana fungsi ginjal secara kronis mengalami penurunan, terdapat hubungan
antara respons adaptif pada nefron fungsional yang tersisa, sehingga memungkinan
ekskresi fraksi K+ yang meningkat, dan pemeliharaan kadar K+ serum kurang dari 5.5
mEq/L, maka risiko hiperkalemia secara umum naik begitu eGFR kurang dari
15mL/menit per 1.73 m2.
Pasien dengan terapi RAAS yang memiliki eGFR kurang dari 60mL/menit per
1.73 m2 memiliki risiko hiperkalemia yang meningkat, yang secara progresif
meningkat seiring dengan penurunan eGFR. Pada pasien dengan PGK dan/atau HF
kronis yang menerima RAAS, faktor risiko untuk hiperkalemia berulang dalam
waktu 6 bulan pada kejadian pertama, diantaranya adalah hiperkalemia awal sedang
sampai berat (≥5.6 mEq/L), eGFR rendah (<45mL/menit per 1.73 m2), diabetes dan
penggunaan spironolakton. (Palmer, 2021)
PGK merupakan kondisi tunggal utama yang paling penting dalam predisposisi
hiperkalemia, dengan penurunan GFR (penurunan klirens) dan adanya disfungsi
tubulointerstisial (sekresi tubular yang rendah), yang mengarah pada homeostasis
kalium yang abnormal. (Kovesdy, 2017) (Gambar 3)
Risiko hiperkalemia sedikit lebih tinggi pada pria dibandingkan dengan wanita,
setelah inisiasi terapi RAAS, dan berbeda-beda pada kelompok ras, dimana etnis, diet
dan faktor ekonomis dapat berkontribusi pada risiko tersebut. Saat ini, faktor tersebut
tidak berdampak pada tatalaksana hiperkalemia, namun efek tambahan dari
perbedaan tersebut dapat meningkatkan risiko hiperkalemia. (Palmer, 2021)

Gambar 3. Mekanisme aksi perkembangan hiperkalemia pada pasien dengan


PGK dan komorbid terkait lainnya.
Selain spironolakton sebagai antagonis MR, beberapa obat-obatan lain juga
dikaitkan dengan kejadian hiperkalemia. (Hunter, 2019)
Tabel 2. Obat-obatan yang dapat menyebabkan hiperkalemia

6
Gejala Hiperkalemia
Sebagian besar pasien dengan hiperkalemia bersifat asimtomatik, dimana
beberapa pasien secara klinis akan menunjukkan kelemahan otot. Paresthesia dan
fasikulasi muskulus pada ekstremitas atas dan bawah di malam hari dapat menjadi
gejala dini hiperkalemia. Paralisis, kelainan konduksi jantung, dan aritmia jantung
dapat bersifat mematikan. Biasanya, kelemahan otot dikaitkan dengan hiperkalemia
yang berawal dari bagian ekstremitas bawah dan berkembang ke tubuh bagian,
terkadang menyerupai sindrom Guillain – Barre. (Lindler, 2020)
Manifestasi hiperkalemia pada jantung disebabkan oleh efek depolarisasi pada
sel-sel otot jantung dan seringkali bersifat progresif. Meskipun sebuah tinjauan baru-
baru ini mengindikasikan bahwa adanya perubahan EKG bersamaan dengan
perubahan konsentrasi absolut kalium dapat digunakan sebagai penanda prognosis,
namun perlu dipahami masih sulit menemukan penelitian berkualitas tinggi tentang
manifestasi EKG pada hiperkalemia karena sebagian besar data berasal dari laporan
kasus dan series dengan jumlah kasus yang kecil. (Lindler, 2020)
Salah satu penelitian terbaru dan terbesar tentang perubahan EKG pada pasien
hiperkalemia, yang mencakup 90 pasien, melaporkan bahwa EKG kurang sensitif
untuk mendeteksi hiperkalemia dan tidak menemukan adanya korelasi antara
keberadaan perubahan gelombang T dan konsentrasi kalium serum. Namun,
gelombang T yang tinggi dan memuncak, bisa jadi merupakan gejala dini untuk
hiperkalemia. Penurunan amplitudo gelombang P, interval PR yang memanjang, dan
pelebaran kompleks QRS juga sering terlihat, yang disebabkan oleh masuknya
sodium ke dalam sel otot jantung yang menghilang. Pola EKG klasik pada
hiperkalemia, yang ditandai dengan pelebaran QRS yang berat dan fusi kompleks
QRS dengan pelebaran segmen ST-T, merupakan pola sine wave. Pada beberapa
kasus, perubahan EKG

7
terkait dengan hiperkalemia juga dapat membentuk gambaran ST-elevasi infark akut
atau sindrom Brugada. Dalam sebuah penelitian retrospektif pada 188 pasien,
kelainan EKG yang terkait dengan prognosis yang kurang baik adalah pemanjangan
QRS, bradikardia simpotmatik, dan ritme junctional. (Gambar 4)

Gambar 4. Perubahan EKG tipikal, terkait dengan hiperkalemia


Tatalaksana Hiperkalemia
Pada semua pasien yang diduga hiperkalemia harus dilakukan penilaian secara
cepat dan tepat karena kondisi pasien dapat memburuk dan menyebabkan kematian.
Penentuan konsentrasi kalium yang cepat harus dilakukan, yaitu pemeriksaan “point-
of-care”, diikuti oleh pemeriksaan laboratorium yang lengkap. Riwayat medis dapat
membantu menilai penyebab hiperkalemia. (Lindler, 2020)
Pasien dengan hiperkalemia pada kondisi akut biasanya datang dengan gejala
nonspesifik. EKG biasanya normal dan gejala klinis mungkin tidak ada, dimana
semuanya dapat membuat terhambatnya diagnosis dan penundaan terapi. Pengukuran
kalium serum merupakan metode satu-satunya yang dapat dipercaya untuk
mengidentifikasi hiperkalemia. (Rossignol, 2016)
Pemantauan EKG, tekanan darah serta pengukuran saturasi oksigen dengan
frekuensi yang disesuaikan dengan kondisi klinis sebaiknya dilakukan. (Lindler,
2020) Tatalaksana hiperkalemia merupakan algoritma yang dimulai dari terapi
kegawatan kemudian terapi jangka pendek dan terapi jangka panjang yang dapat
diaplikasikan pada pasien rawat inap maupun rawat jalan. Selain itu terdapat
perbedaan tatalaksana untuk hiperkalemia akut dan hiperkalemia kronik. (Palmer,
2021)
Tatalaksana Hiperkalemia Akut
Episode hiperkalemia akut (didefinisikan sebagai kadar K+ serum yang tinggi
tanpa ada riwayat kondisi tersebut sebelumnya), timbul ketika terjadi peningkatan
konsentrasi K+, ekstraseluler sebagai akibat dari defek redistribusi internal,
penurunan ekskresi total yang tiba-tiba. Perpindahan K+ ke kompartemen
ekstraseluler secara

8
cepat akibat pembalikan sel yang massif atau pada kondisi klinis yang kritis dapat
menyebabkan aritmia ventrikel. (Lopes, 2019)
Tingkat keparahan hiperkalemia akut diklasifikan menjadi ringan (≥5 – 5,5
mEq/l), sedang (5,5 – 6 mEq/l), atau berat (≥6 mEq/l) dengan tetap memperhatikan
ada atau tidaknya perubahan pada EKG. Pada pasien rawat jalan dengan
hiperkalemia akut, dengan pengukuran K+ serum maksimal 6,0 mEq/l, atau
hiperkalemia apapun dengan perubahan EKG, sebaiknya diobservasi tanda-tanda
vital dan kondisi jantung. Direkomendasikan untuk selalu melakukan pengukuran K+
repetitive untuk menyingkirkan kemungkinan pseudohiperkalemia, selama
memungkinkan dan tanpa menunda terapi, khususnya ketika kasus hiperkalemia
berat mungkin terjadi. (Lopes, 2019)
Pada pasien hiperkalemia dengan perubahan EKG, kami merekomendasikan
pemberian kalsium garam secara intravena untuk stabilisasi membran seluler, yang
mencegah artemia ventrikel (1g kalsium klorida atau 3mg kalsium glukonas selama 2
– 5 menit). Dosis kedua dapat diberikan jika perubahan EKG tetap ada setelah 5
menit. Kalsium glukonas merupakan pilihan yang lebih disukai dibandingkan dengan
garam kalsium, karena toksisitas jaringan yang lebih rendah. Untuk memindahkan K+
ke intraseluler, kami merekomendasikan pemberian insulin dan glukosa. (Lopes,
2019)
Ketika insulin berikatan dengan reseptornya pada otot skeletal, jumlah dan
aktifitas enzim sodium-kalium adenosin trifosfatase dan jumlah transporter glukosa
(GLUT4) pada sel membran meningkat melalui sebuah jalur sinyal independen.
Pemberian insulin regular 5 U efektif dalam menurunakn kadar K+ dengan dosis 10
U, meskipun buktinya masih terbatas. Pada beberapa kasus, sebagai alternatif (atau
tambahan) untuk insulin dan glukosa, pemberian β-agonis juga direkomendasikan.
(Lopes, 2019; Sterns, 2016)
Pengunaan salbutamol atau albuterol 10-mg melalui nebulizer atau inhaler
metered-dose memberikan penurunan bermakna K+ dengan puncak pada 120 menit
setelah pemberian (90 menit pada pemberian 20mg). Penelitian tentang senyawa
beta- 2 agonis ini telah dilakukan pada pasien hiperkalemia stabil dengan penyakit
ginjal stadium akhir. Kalium serum dapat turun sebesar 0,3 – 0,6 mmol/l dalam
waktu 30 menit, terlepas dari mode pemberian, namun beberapa pasien juga gagal
berespon. Dosis yang diberikan per inhalasi biasanya 4 – 8 kali diberikan
dibandingkan dengan terapi untuk asma akut, dan meskipun beberapa efek samping
pernah dilaporkan dalam penelitian pada pasien stabil, beberapa penelitian
mengeksklusikan pasien dengan penyakit jantung. Pada dosis tinggi, albuterol dapat
merangsang kedua reseptor beta- 1, yang dapat memicu aritmia dan reseptor alfa,
yang dapat menyebabkan pelepasan

9
kalium dari hepar dan menimbulkan peningkatan serum kalium yang transien, sekitar
>0.4 mmol/l. (Lopes, 2019; Sterns, 2016)
Pemberian bikarbonat meningkatkan pengambilan kembali kalium oleh otot
skeletal dengan mendukung cotransport sodium-bikarbonat dan pertukaran sodium-
hidrogen, yang dengan melalui peningkatan sodium intraseluler, meningkatan
aktifitas sodium-kalium adenosine trifosfatase. Sodium bikarbonat dapat
dipertimbangkan hanya pada pasien hiperkalemia dengan asidosis metabolik. Infus
sodium bikarbonat dalam 5% dekstrosa selama 4 jam pada pasien dengan PGK
menghasilkan penurunan konsentrasi serum kalium yang bermakna yang sejalan
dengan peningkatan serum bikarbonat, dengan rerata penurunan sekitar 2 mmol/l
setelah peningkatan konsentrasi serum bikarbonat sebesar 10 mmol/l. Bikarbonat
juga merupakan terapi rasional untuk mendukung ekskresi kalium pada pasien
dengan fungsi ginjal normal. (Lopes, 2019; Sterns, 2016)
Terapi lain yang dapat digunakan adalah agen anti-hiperkalemik (khususnya
zirconium siklosilikat karena mekanisme kerja yang cepat) dan penggunaan loop
diuretic pada kasus akut yg berfokus mempercepat proses perpindahan kalium.
Sodium polistiren sulfonate (SPS) atau Kayexalate merupakan resin pertukaran
kation, yang namanya berasal dari bentuk serbuk dari SPS, yang menukarkan sodium
dengan kalsium, ammonium dan magnesium. Pada pH asam, kelompok sulfonatnya
diisi oleh ion hidrogen dan tidak dapat berikatan dengan kalium. Karena alasan
tersebut, dan karena konsentras kalium lebih tinggi pada kolon distal, Kayexalat
paling efektif berikatan dengan kalium ketika mencapai rektum, baik melalui retensi
enema atau pemberian oral dengan katartik. Karena resin tersebut mengembang
ketika berkontak dengan air, dosis Kayexalat dalam jumlah besar dapat menyebabkan
obstruksi usus. Untuk menghindari komplikasi tersebut dan untuk mempercapat
pengirimannya ke distal kolon, Kayexalate dapat diberikan bersamaaan dengan
sorbitol, sebuah katartik ostmotik.
Patirometer, merupakan polimer sintesis nonabsorbsi yang tidak membengkak
ketika berkontak dengan air, sehingga tidak membutuhkan laksatif untuk mencapai
kolon. Kelompok aktif patirometer terdiri atas asam alfa-fluorokarboksilik yang
berpasangan dengan ion kalsium, bukan sodium. Ketika melalui tractus
gastrointestinal, beberapa kalsium akan digantikan dengan ion hidrogen. Kadar
keasaman kelompok pengikatan kation Patiromer sedemikian rupa, sehingga ketika
berada pada pH yang sesuai, kelompok asam akan terpisah dan berikatan dengan
kalium, yang jumlahnya tinggi dalam segmen usus, serta ammonium dan magnesium.
Eksperimen kontrol baik pada relawan hewan dan manusia telah menunjukkan bahwa
ketika diberikan secara oral, polimer tersebut akan meningkatkan kalium feses yang

10
bergantung pada dosis pemberian; dosis 15 – 30 g/hari menaikkan kalium feses
harian sebelah 15 – 20 mmol. Pada subjek penelitian dengan diet restriksi kalium dan
sodium, patirometer menurunkan kalium serum sebesar 0,23 mmol/l dalam waktu 7
jam. Kemampuan obat dalam mencapai normokalemia telah terbukti pada sebuah uji
klinis acak multisenter yang terkontrol dengan plasebo, dengan 603 pasien
hiperkalemia yang diterapi secara aktif. Selain efek samping minor dan jarang pada
gastrointestinal, efek samping obat yang paling perlu menjadi perhatian adalah
hipomagnesemia (0,58 mmol/l), yang terjadi pada satu bulan pertama terapi pada
8,6% pasien. Secara umum, patirometer tampaknya dapat ditoleransi dengan angka
efek samping yang rendah. Efek samping yang paling sering adalah konstipasi ringan
sampai sedang, diare, hipokalemia, dan hipomagnesemia. (Liu; 2019; Lopes, 2019;
Sterns, 2016)
Pada tahun 2018, zirconium silikat (ZS-9) diterima oleh Food and Drugs
Administration (FDA) sebagai obat untuk hiperkalemia. Kemanjuran ZS-9 dalam
menurunkan kalium serum telah ditunjukkan dalam berbagai uji klinis acak dengan
melibatkan sekitar 1100 pasien. Di tahun 2015, dalam sebuah penelitian fase 2, Ash
et al, meneliti 90 pasien dewasa dengan PGK dan hiperkalemia. Mereka
menunjukkan perbandingan penurunan kalium yang dependen dengan dosis oral ZS-
9 dibandingkan dengan plasebo. Menariknya, pemberian 10 g tiga kali sehari
menurunkan serum kalium sebesar 0,11 mmol/L dalam waktu 1 jam, dan mencapai
penurunan maksimum sebesar 0.92 mmol/L dalam waktu 38 jam. Efek samping dari
ZS-9 termasuk edema, gejala gastrointestinal, dan hipokalemia. Secara umum,
tampaknya obat tersebu dapat ditoleransi dengan baik dengan beberapa efek samping
serius yang pernah dilaporkan sebelumnya. (Liu, 2019)
Dialisis dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan disfungsi ginjal persisten
dan peningkatan K+ lebih dari 6 mEq/l atau perubahan EKG yang gagal ditatalaksana
secara medikamentosa. (Lopes, 2019)

11
Tabel 4. Karakteristik agen pengikat K+ untuk terapi hiperkalemia. (Bianchi,
2019)

Tabel 5. Ringkasan tatalaksana hiperkalemia akut. (Lopes, 2019)

Tatalaksana hiperkalemia kronik


Pasien dengan risiko tinggi untuk kadar K + serum yang tinggi, dapat terpapar
secara terus-menerus oleh peningkatan K+ darah yang terdeteksi pada pengukuran
serial selama evaluasi dan pemantauan klinis. Hiperkalemia rekuren atau relaps
terkait dengan peningkatan risiko hospitalisasi dan mortalitas. Diantara faktor risiko
untuk hiperkalemia, GFR rendah merupakan prediktor yang paling kuat untuk
hiperkalemia. Prevalensi hiperkalemia pada sebuah kohort untuk 238 pasien dengan
nilai mean GFR pada 14ml/menit dilaporkan sebesar 54%, untuk nilai K+ minimial
5mEq/L, dan 8% untuk nilai K+ minimal 6 mEq/L. Begitu nilai GFR pasien menurun
menjadi kurang dari 15 ml/menit/1.73 m2, maka tercapai sebuah titik perubahan,
dimana kenaikan perkembangan PGK yang kecil memerlukan kenaikan serum K+
menjadi normal. (Gambar 5)

12
Gambar 5. Rekomendasi tatalaksana hiperkalemia kronis, berdasarkan
karakteristik klinis pasien.
Beberapa penelitian telah mengevaluasi terapi kombinasi untuk hiperkalemia.
Pada tahun 1990, Allon dan Copkney melaporkan penurunan yang lebih besar pada
kadar K+ serum dengan terapi insulin intravena dan nebulisasi alubterol dibandingkan
dengan jika diberikan secara terpisah, dengan penurunan maksimal K + sebesar 1.21
mmol/L. Penambahan sodium karbonat pada terapi kombinasi juga masih menjadi
pertanyaan, karena satu penelitian menunjukkan tidak adanya perubahan kadar K+
dalam waktu 30 atau 60 menit, sedangkan penelitian kedua menunjukkan bahwa
tidak ada kelebihan dari pemberian bikarbonat tambahan pada insulin intravena atau
nebulisasi albuterol. Tinjauan Cochrane dan tinjauan literatur lainnya
merekomendaskan terapi kombinasi dengan insulin dan glukosa dan beta-agonis.
(Long, 2018)
Kesimpulan
Hiperkalemia merupakan suatu kelainan yang dapat menyebabkan mortalitas.
Data epidemiologi terkait kelainan ini belum begitu tepat dikarenakan kalium jarang
diperiksakan sebagai suatu pemeriksaan rutin. Seringkali kondisi hiperkalemia
merupakan akibat sekunder dari penyakit utamanya. Karena itu penting bagi kita
memberikan perhatian yang khusus terkait kondisi hiperkalemia terutama penyebab
dari hiperkalemia itu sendiri. Kita harus menyingkirkan pseudohiperkalemia sebelum
mendiagnosa pasien.
Pemeriksaan yang tepat pada pasien dengan hiperkalemia dapat menuntun
kita untuk memberikan tatalaksana yang tepat dan akurat. Sehingga dapat
menurunkan mortalitas pasien dalam perawatan.

Daftar Pustaka
Bianchi, S, Regolisti, G, 2019, ‘Pivotal clinical trials, meta-analyses and current
guidelines in the treatment of hyperkalemia’, dalam Nephrol Dial Transplant,
Vol 34, pp iii51 – iii61.

13
Chaitman, M., Dixit, D., Bridgeman, M. B. 2016. Potassium-Binding Agents for the
Clinical Management of Hyperkalemia. Pharmacy and Therapeutics. 41 (1). Pp.
43-50.
Hunter, RW, Bailey, MA, ‘Hyperkalemia: pathophysiology, risk faktors and
consequences’, dalam Nephrol Dial Transplant, Vol 34, pp iii2 – iii11.
Kovesdy, CP, 2017, ‘Updates in hyperkalemia: Outcomes and therapeutic strategies’,
dalam Rev Endocr Metab Disord, Vol 18, No 1, pp 41 - 47
Lakkis, JI, Weir, MR, 2018, ‘Hyperkalemia in the Hypertensive Patient’, dalam
Current Cardiology Reports, Vol 20, No 12.
Lindler, G, et al, 2020, ‘Acute hyperkalemia in the emergency department: a
summary from a Kidney Disease: Improving Global Outcomes conference’,
dalam European Journal of Emergency Medicine, Vol 27, pp 329 – 337.
Liu, M, Rafique, Z, 2019, ‘Acute Management of Hyperkalemia’, dalam Current
Heart Failure Reports.
Long, B, Warix, JR, Koyfman, A, 2018, ‘Controversies In Management Of
Hyperkalemia’, dalam The Journal of Emergency Medicine, Vol 55, No 2, pp
192
– 205.
Lopes, MB, et al, 2019, ‘Updates on medical management of hyperkalemia’, dalam
Current Opinion in Nephrology and Hypertension, Vol 28, No 5, pp 417–423
McDonough, AA, Youn, JH, 2017, ‘Kalium Homeostasis: The Knowns, the
Unknowns, and the Health Benefits’, dalam Physiology, Vol 32, pp 100 – 111.
Montford, JR, Linas, S, 2017, ‘How Dangerous Is Hyperkalemia?’, dalam J Am Soc
Nephrol, Vol 28, No 11, pp 3155 – 3165
Palmer, BF, Clegg, DJ, 2019, ‘Physiology and Pathophysiology of Kalium
Homeostasis: Core Curriculum 2019’, dalam Am J Kidney Dis.
Palmer, BF, et al, 2021, ‘Clinical Management of Hyperkalemia’, dalam Mayo Clin
Proc, Vol 96, No 3, pp 744 – 762
Rodan, AR, 2017, ‘Kalium: Friend or Foe?’, dalam Pediatr Nephrol, Vol 32, No 7,
pp 1109 – 1121.
Rossignol, P, et al, 2016, ‘Emergency management of severe hyperkalemia:
Guideline for best practice and opportunities for the future’, dalam
Pharmacological Research, No. 113, pp 585 – 591.
Sterns, RH, Grieff, M, Bernstein, PL, 2016, ‘Treatment of hyperkalemia: something
old, something new’, dalam Kidney International, Vol 89, pp 546 – 554.

14

Anda mungkin juga menyukai