osmotik dalam cairan tubuh menurun. Volume cairan, termasuk tekanan darah akan menurun. Aldosteron,
hormone yang ada di konteks adrenal, membantu menahan natrium dengan cara menyerap kembali natrium
bersama air dalam ginjal. Dengan cara ini volume cairan ekstraseluler dalam sirkulasi darah kembali normal.
Teh setidaknya dapat membantu menyediakan kebutuhan tubuh akan natrium. zat mineral yang kita andalkan
sebagai pembentuk garam didalam tubuh dan sebagai penghantar impuls dalam serabut syaraf dan tekanan
osmosis pada sel yang menjaga keseimbangan cairan sel dengan cairan yang ada disekitarnya
Unsur Na terdapat pada garam dapur (NaCl), susu, dan telur. Na berfungsi memelihara tekananosmosis sel, pH,
serta mengatur permeabilitas membran sel. Selain itu, Na mempunyai peranan dalam konduksi impuls dari
saraf. Defisiensi Na akan menyebabkan ganguan pada ginjal, perubahan nilai osmotik, dan perubahan suhu
tubuh. Hal-hal tersebut akan menimbulkan gejala hipertensi (tekanan darah meningkat).
BAB I
PENDAHULUAN
Tubuh manusia merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai proses fisikokimia yang
menunjang kehidupan sehari – hari. Tubuh selalu berusaha agar segala sesuatu yang ada
didalamnya berada dalam rentang konstan agar tercapai keadaan homeostasis. Seluruh sistem
metabolisme bekerja sama dengan harmonis satu sama lain dalam menjalankan fungsinya masing –
masing. 1,2
Elektrolit dan cairan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam menjaga keseimbangan ini.
Secara kimiawi, elektrolit adalah unsur – unsur yang berperan sebagai ion dalam larutan dan memiliki
kapasitas untuk konduksi listrik. Dan keseimbangan elektrolit merupakan suatu hal yang penting agar
sel dan organ dapat berfungsi secara normal. Elektrolit terdiri atas kation dan anion. Di dalam tubuh
ada beberapa kation yang penting yaitu, natrium, kalium, kalsium dan magnesium. Sedangkan anion
yang penting adalah klorida, bikarbonat, dan fosfat.1,2,3
Gangguan keseimbangan elektrolit diartikan sebagai suatu keadaan dimana kadar elektrolit di dalam
darah berada dalam rentang nilai yang tidak normal. Bisa melebihi nilai normal atau dibawah nilai
normal. Implikasi dari keadaan ini berpengaruh dalam hal keseimbangan cairan dan fungsi – fungsi
organ tubuh lainnya. Berbagai macam hal dapat menyebabkan ketidakseimbangan ini.
Ketidakseimbangan antara kebutuhan dengan asupan serta ekskresi adalah penyebab utamanya.
Adanya gangguan dari sistem regulasi yang berperan, juga memberikan dampak dalam
keseimbangan elektrolit.1,3
Dalam praktek klinik sehari – hari gangguan elektrolit merupakan kelainan yang sangat sering
dijumpai. Keadaan ini biasanya merupakan bagian manifestasi klinis dari penyakit dasar yang diderita
pasien. Hampir 20 % pasien rawat inap mengalami gangguan elektrolit, yang disebabkan oleh
bermacam hal, sehingga dalam pembiayaanpun menjadi hal yang diperhitungkan.4,5
Gangguan elektrolit seringkali terdiagnosis saat pasien dirawat di rumah sakit, terutama pada pasien
– pasien dengan penyakit kritis. Keadaan ini berhubungan dengan meningkatnya risiko mortalitas di
rumah sakit. Insidensi gangguan elektrolit terbanyak adalah gangguan kalium dan natrium. Sebanyak
lebih dari 21 % pasien di rumah sakit mengalami hipokalemia dan 15 – 20 % mengalami
hiponatremia. Pasien – pasien dengan hiperkalemia mencapai 1 – 10 %, sedangkan hipernatremia
0,3 – 5,5 % dari seluruh pasien yang dirawat. Hiperkalsemia terjadi pada lebih dari 70 % kasus
keganasan. Hipomagnesemia muncul pada lebih dari 12% pasien, yang terkadang sering diabaikan
oleh para klinisi. 6,7,8,9,10,11
Mengingat tingginya angka kejadian gangguan keseimbangan elektrolit dalam praktek klinik sehari–
hari, terutama gangguan keseimbangan natrium, kalium, kalsium dan magnesium, maka perlu
adanya suatu pemahaman yang lebih baik. Dengan pemahaman ini, akan memudahkan dalam hal
penentuan diagnosis yang cepat dan akurat, sehingga terapi dan penatalaksanaan dapat diberikan
dengan cepat dan akurat pula. Atas dasar inilah refrat ini ditulis.
BAB II
FISIOLOGI ELEKTROLIT
Peningkatan osmolalitas akibat absorpsi Na atau kehilangan cairan yang berlebihan, menyebabkan
cairan intraseluler keluar untuk menyeimbangkan tekanan osmotik. Untuk itu, perlu adanya suatu
osmoregulator. Dalam hal ini, ada suatu sensor atau osmoreseptor yang ada di hipotalamus, dan Anti
Diuretic Hormone (ADH), yang dikenal juga dengan antidiuretin atau vasopressin. Ginjal berperan
sebagai organ target ADH. 12,13
Naik turunnya ekskresi natrium dalam urin diatur oleh filtrasi glomerulus dan reabsorpsi oleh tubulus
ginjal. Kondisi hipervolemi dan peningkatan asupan Na akan meningkatkan Laju Filtrasi Glomerulus
(LFG), begitupula sebaliknya. Perubahan pada LFG akan mempengaruhi reabsorpsi natrium di
tubulus. Hampir 99 % Na yang sudah difiltrasi direabsorpsi kembali. Paling banyak direabsorpsi di
tubulus proksimal 65 %, ansa henle 25 – 30 %, dan 5 % saja di tubulus distal dan 4 % di duktus
koligentes.12,13
Setiap hari, sekitar 8 – 15 mg Natrium diabsorpsi setiap harinya. Ginjal harus mengekskresikan
dalam jumlah yang sama setiap waktu, untuk mempertahankan homeostasis CES. Adapun faktor –
faktor yang mempengaruhi regulasi ini adalah 12:
Sistem Renin Angiotensin / Renin Angiotensin System ( RAS )
Aktivasi sistem ini meningkatkan retensi natrium melalui angiotensin II, aldosteron dan ADH
Atriopeptin / Atrial Natriuretic Peptide (ANP)
Adalah hormon peptida yang disekresikan oleh sel spesifik dari atrium jantung sebagai respon
terhadap peningkatan volume CES. Hormon ini meningkatkan ekskresi Na pada ginjal dengan
meningkatkan fraksi filtrasi dan menginhibisi reasorpsi natrium dari duktus koligentes.
ADH
Sekresi hormon ini distimulasi oleh :
Peningkatan osmolalitas plasma dan cairan serebrospinal
Reflek Gauer-Henry, yang muncul ketika terjadi peregangan reseptor di atrium yang memberikan
sinyal ke hipotalamus bahwa telah terjadi penurunan jumlah CES > 10 %.
Angiotensin II
Aldosteron
Efek hormon ini adalah menstimulasi reabsorpsi natrium. Sekresi hormon ini distimulasi oleh
angiotensin II
BAB III
ETIOPATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI
3.1. Gangguan Keseimbangan Natrium
3.1.1. Hiponatremia
Hiponatremia dapat terjadi pada keadaan tonisitas atau osmolalitas yang rendah, normal ataupun
tinggi. Sebagian besar kejadian hiponatremia berkaitan dengan hipotonisitas, yang berarti bila jumlah
asupan cairan melebihi kemampuan eskresi.1,17,18
Etiologi dari hiponatremia dapat dibagi atas1,17 :
Hiponatremia dengan osmolalitas plasma normal
pemberian cairan iso-osmotik yang tidak mengandung natrium ke cairan ekstra sel dapat
menimbulkan hiponatremia dengan osmolalitas plasma normal. Termasuk dalam hal ini, keadaan
hiperproteinemia dan hiperlipidemia
Hiponatremia dengan osmolalitas plasma tinggi
Pada keadaan osmolalitas plasma yang tinggi, seperti pada keadaan hiperglikemia berat atau
pemberian manitol intravena. Cairan intrasel akan keluar ke ekstrasel menyebabkan dilusi cairan
ekstrasel, dan menyebabkan hiponatremia.
Hiponatremia dengan osmolalitas plasma rendah
Terjadi pada keadaan seperti gagal jantung, sirosis, insufisiensi renal, sindroma nefrotik. Keadaan-
keadaan ini terjadi dengan volume CES yang meningkat. Pada SIADH, volume CES normal dan
pada keadaan muntah atau pada pemakaian diuretik, volume CES menurun.
Hiponatremia akut diartikan sebagai kejadian hiponatremia dalam jangka waktu kurang dari 48 jam.
Pada keadaan ini tertjadi perpindahan cairan dari ekstrasel ke intrasel, termasuk ke sel otak. Hal ini
akan menyebabkan terjadinya edema otak yang mana keadaan ini merupakan keadaan berat yang
dapat menyebabkan kejang dan penurunan kesadaran. Edema otak yang terjadi, dibatasi oleh
kranium disekitarnya, yang mengakibatkan terjadinya hipertensi intrakranial dengan resiko brain
injury17,18
Hiponatremia kronik diartikan sebagai keadaan hiponatremia dalam jangka waktu yang lebih dari 48
jam. Gejala yang timbul tidak berat karena ada proses adaptasi. Pada keadaan ini, cairan akan
keluar dari jaringan otak dalam beberapa jam. Gejala yang timbul hanya berupa lemas dan
mengantuk, bahkan dapat tanpa gejala. Keadaan ini dikenal juga dengan hiponatremia asimtomatik.
Namun perlu diperhatikan pada proses adaptasi ini dapat menjadi proses yang berlebihan yang
berisiko terjadinya demyelinisasi osmotik.1,18
3.1.2 Hipernatremia
Hipernatremia adalah suatu keadaan dengan defisit cairan relatif, dalam artian merupakan keadaan
hipertonisitas, atau hiperosmolalitas. Etiologi dari hipernatremia adalah10,19 :
Adanya defisit cairan tubuh akibat ekskresi air yang melebihi ekskresi natrium. Seperti pada
pengeluaran keringat, insesible water loss, diare osmotik akibat pemberian laktulosa atau sorbitol
Asupan air yang kurang, pada pasien dengan gangguan pusat rasa haus di hipotalamus akibat tumor
dan gangguan vaskuler
Penambahan natrium yang berlebihan, seperti pada koreksi asidosis dengan bikarbonat, atau
pemberian natrium yang berlebihan
Masuknya air tanpa elektrolit ke dalam sel, misalnya setelah latihan fisik berat.
Keadaan hipernatremia akan membuat cairan intraseluler keluar ke ekstraseluler untuk
menyeimbangkan osmolalitas cairan ekstrasel. Hal ini akan membuat terjadinya pengkerutan sel, dan
bila terjadi pada sel saraf sistem saraf pusat, maka akan menimbulkan disfungsi kognitif, seperti
lemah, bingung, sampai kejang.10,19
3.2. Gangguan Keseimbangan Kalium
3.2.1. Hipokalemia
Penyebab hipokalemia antara lain1,7,13 :
Asupan kalium yang kurang. Secara fisiologis, ekskresi kalium di ginjal sebanding dengan jumlah
asupan. Hipokalemia jarang yang hanya disebabkan asupan kalium yang rendah saja.
Pengeluaran Kalium yang berlebihan. Ekskresi kalium dapat melalui sistem pencernaan, keringat
atau ginjal. Beberapa etiologi ekskresi kalium meningkat adalah muntah, pemakaian NGT, diare,
pemakaian diuretik loop dan tiazid serta hiperaldosteronisme.
Kalium berpindah dari ekstrasel ke intrasel (Redistribusi). Terjadi pada keadaan alkalosis, pemberian
insulin, pemakaian beta 2 agonis, paralysis periodic hypokalemic, dan hipotermia. Konsentrasi ion
kalium pada pada ekstrasel sangat keci dan keadaan ini tidak tercermin pada jumlah kalium serum.
Pada hipokalemia kronik, penurunan kalium serum 1 mmol/L sebanding dengan defisit 200 mmol/L
kalium total tubuh, maka perlu dipertahankan kalium serum > 4 mEq/L.
Defisiensi kalium dapat mempengaruhi berbagai sistem organ, seperti sistem kardiovaskuler, otot
dan ginjal. Hipokalemia dapat menyebabkan hipertensi dan aritmia ventrikel. Mekanisme terjadinya
hipertensi masih belum dapat dijelaskan dengan baik. Akan tetapi, keadaan ini dihubungkan dengan
retensi garam di ginjal, selain akibat berbagai proses hormonal. Aritmia terjadi akibat membran
potensial otot jantung yang terdepolarisasi sebagian, sehingga terjadi automatisasi, atau akan
muncul gelombang ‘u’, dan pemanjangan QT. Gangguan jantung diperburuk oleh pengobatan
digoksin dan pasien dengan iskemia. Keadaan hipokalemia dapat memeperburuk hiperglikemia pada
pasien diabetes, akibat pengaruh terhadap pelepasan insulin dan sensitivitas organ terhadap insulin.
Rabdomiolisis dapat terjadi sebagai akibat dari hiperpolarisasi sel otot rangka, selain adanya gejala
kram, mialgia, dan mudah lelah. Hipokalemia dapat mempengaruhi keseimbangan asam basa
sistemik, melalui efek terhadap berbagai komponen dari regulasi asam basa di ginjal. 20
3.2.2. Hiperkalemia
Ada 2 mekanisme terjadinya hiperkalemia, yaitu1,20 :
Kelebihan asupan kalium melalui makanan. Buah–buahan dan sayur–sayuran banyak mengandung
kalium. Campuran garam dapat mengandung kalium, dan kelebihan asupan dapat terjadi pada
pemberian makanan enteral.
Keluarnya kalium dari intra sel ke ekstrasel. Keadaan asidosis metabolik, selain yang disebabkan
oleh KAD atau asidosis laktat, defisisensi insulin, pemakaian beta blocker, dan pseudohiperkalemia
akibat pengambilan sampel darah yang lisis. Kelainan klinik bergantung kepada kadar kalsium, dan
keseimbangan asam-basa.
Berkurangnya ekskresi melalui ginjal. Terjadi pada keadaan hiperaldosteronisme, gagal ginjal,
deplesi volume sirkulasi efektif pada CHF dan pemakaian siklosporin. Dewasa ini diketahui
pemakaian ACE inhibitor juga faktor resiko untuk hiperkalemia.
Pada hiperkalemia, terjadi peningkatan kepekaan membran sel, sehingga dengan sedikit perubahan
depolarisasi, potensial aksi dapat dengan mudah terjadi. Hal ini menimbulkan kelemahan otot sampai
paralisis dan gagal nafas. Gejala yang paling buruk adalah penurunan kecepatan sistem konduksi
miokard dan meningkatkan repolarisasi miokard. Gangguan konduksi akan menimbulkan
pemanjangan PR interval, gelombang P yang mendatar atau QRS kompleks melebar pada EKG.
Peningkatan repolarisasi akan menimbulkan gelombang T yang meninggi ( peaked T waves ), yang
merupakan keadaan yang berisiko terjadinya aritmia.21
3.3. Gangguan Keseimbangan Kalsium
3.3.1 Hipokalsemia
Keseimbangan kalsium diatur oleh hormon paratiroid (PTH) dan Vitamin D. Hormon paratiroid
bergantung kepada Calsium-sensing reseptor (CSR), untuk mendeteksi adanya kelebihan kalium
serum, dan merangsang PTH yang akan meningkatkan kadar kalsium darah. Apabila CSR ini tidak
ada maka akan terjadi hipokalsemia. Pada gagal ginjal, PTH menstimulasi reabsorpsi osteoklas
tulang. Pada hipokalsemia serum, belum tentu terjadi hipokalsemia total. Total serum dapat
tergambar dari penurunan albumin pada penyakit sirosis, sindroma nefrotik dan malnutrisi.
Hipokalsemi dapat menyebabkan iritabilitas dan tetani. Pada keadaan alkalosis, dapat menimbulkan
tetani akibat penurunan kadar kalsium.21
Penyebab hipokalsemia antara lain:
Hipoparatiroidisme. Keadaan ini dapat herediter maupun didapat. Untuk yang didapat, bisa terjadi
karena iradiasi leher atau pasca paratiroidektomi, yang dikenal dengan Hungry Bone Syndrome.
Keadaan ini memberikan efek tulang yang akan meabsorpsi Ca dalam jumlah besar
Penyebab yang berhubungan dengan Vitamin D yaitu, asupan yang kurang, dan gangguan absorpsi.
Pada keadaan penyakit kritis dan sepsis berat dapat menjadi penyebab.21,22
Pada keadaan hipokalsemia, terjadi peningkatan eksitabilitas saraf di tangan dan lengan, yang
disebabkan oleh hipokalsemia, dan bila iskemia dibuat, yaitu dengan menggunakan
sfigmomanometer, akan muncul twitching. Keadaan in dikenal dengan Trousseau’s Sign. Chovtek’s
Sign dapat muncul dengan cara mengetok pada titik tertentu pada wajah, yang ditandai dengan
adanya respon berupa twitching. Mekanisme terjadinya adalah adanya stimulasi mekanik langsung
serabut motorik wajah. Pada sistem kardiovaskuler, efek berat hipokalsemia adalah ‘QT’ memanjang
pada dan ST interval yang memanjang pada EKG.22
3.3.2. Hiperkalsemia
Pada 90% kasus hiperkalsemia disebabkan oleh keganasan dan hiperparatiroidisme. Pada
keganasan, disekresikan suatu PTH-related peptide yang akan meningkatkan kadar Ca plasma.
Keadaan ini muncul pada 80% kasus hiperkalsemia pada keganasan. Pada 20 % kasus lainnya,
terjadi akibat hiperkalsemia osteolitik, dimana terjadi aktifitas osteoklastik yang mana terjadi resorpsi
tulang di sekitar jaringan tumor. Hal ini terjadi pada tumor dengan metastase ke tulang.23
Hiperkalsemia mempengaruhi hampir semua organ tubuh. Akan tetapi yang paling utama adalah
sistem saraf pusat dan ginjal. Pada sistem saraf pusat, kalsium memberikan efek sebagai depresan
langsung. Sehingga pada keadaan kalsium yang tinggi, akan terjadi gangguan psikis berupa
ansietas, depresi dan perubahan kepribadian, Pada keadaan lanjut, dapat menyebabkan penurunan
kesadaran, bahkan kematian. Efek pada ginjal adalah nefrolitiasis akibat dari hiperkalsiuria. Selain itu
dapat terjadi poliuria dan polidipsia. Fungsi ginjal menurun akibat vasokonstriksi renal akibat
hiperkalsemia. Efek pada saluran pencernaan adalah berupa mual, muntah, konstipasi atau diare.
Pada kardiovaskler, efek hiperkalsemia adalah berupa pemendekan QT, pelebaran gelombang t, dan
pelebaran QRS kompleks.2,9
3.4.2. Hipermagnesemia
Hipermagnesemia dapat terjadi pada keadaan gangguan ginjal terminal, dimana ginjal tidak dapat
lagi mengekskresikan Mg sebagai mana mestinya. Selain itu, dapat juga disebabkan oleh asupan
yang berlebihan, walaupun sangat jarang terjadi. Penyebab paling banyak adalah akibat penggunaan
obat–obatan yang mengandung magnesium seperti pada antasida dan beberapa laksansia.
Penyebab lainnya adalah penggunaan litium untuk terapi maupun diagnostik, hipotiroidisme, penyakit
adison, penyakit hipokalsiurik hiperkalsemia, milk alkali syndrome dan ketoasidosis diabetik. Selain
itu, pada keadaan kerusakan jaringan eksesif, seperti syok, sepsis atau luka bakar, juga dapat
menjadi penyebab. Hemolisis juga dapat menjadi faktor pencetus hipermagnesemia, mengingat
kadar Mg eritrosit tiga kali lebih banyak dari Mg serum.2,21
BAB IV
DIAGNOSIS
Tabel. 1. Estimasi efek pemberian cairan infus untuk menaikkan kadar natrium plasma18
Koreksi natrium secara intravena harus diberikan secara lambat, untuk mencegah central pontin
myelinolysis (CPM). Kadar Na plasma tidak boleh dinaikkan lebih dari 10-12 mmol/L dalam 24 jam
pertama. Terapi inisial diberikan untuk mencegah udem serebri. Untuk hiponatremia akut dengan
gejala serius, koreksi dilakukan agak cepat. Kadar natrium plasma harus dinaikkan sebanyak 1,5-2
mmol/L dalam waktu 3-4 jam pertama, sampai gejala menghilang. Kecepatan cairan infus diberikan
2-3 ml/kg/jam, setelah itu dilanjutkan dengan 1 ml/kg/jam, sampai kadar Na 130 mmol/L. Untuk
koreksi hiponatremia kronik, diberikan dengan target kenaikan sebesar 0,5 mmol/L setiap 1 jam,
maksimal 10 mmol/L dalam 24 jam. Kecepatan infus dapat diberikan 0,5 – 1 ml/kg/jam. Pemantauan
kadar Na serum harus dilakukan setiap 2-4 jam. Untuk menetukan estimasi efek pemberian cairan
infus dalam menaikkan kadar natrium plasma, digunakan rumus:18,25
Saat ini sedang mulai dipakai sediaan vasopressin receptor antagonis untuk meningkatkan kadar
natrium. Sediaan ini akan menghambat reseptor V2 di tubulus yang akan meningkatkan ekskresi air,
kemudian akan memperbaiki keadaan hiponatremia. Demeclocycline dan litium juga dapat dipakai
dimana sedian ini akan mengahambat respon ginjal terhadap vasopressin. Selain itu, sediaan ini
dapat juga diberikan sebagai pencegahan overkoreksi. Dosis democlocycline dapat diberikan 300-
600 mg perhari. 24,25
Tabel 2. Estimasi efek pemberian cairan infus untuk menurunkan kadar natrium plasma19
Untuk menghitung perubahan kadar Na serum, dapat ditentukan dengan mengetahui kadar Na infus
yang digunakan, dengan menggunakan rumus yang sama pada koreksi hiponatremia. Perbedaannya
hanya terletak pada cairan infus yang digunakan. Dengan begitu, kita dapat melakukan estimasi
jumlah cairan yang akan digunakan dalam menurunkan kadar Na plasma.19
BAB VI PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Diagnosis gangguan keseimbangan elektrolit ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan hasil laboratorium dengan nilai
diatas atau dibawah normal
Penatalaksanaan gangguan keseimbangan elektrolit mencakup koreksi elektrolit dan mengatasi penyakit yang
mendasarinya
Pemahaman terhadap patofisiologi gangguan keseimbangan elektrolit akan menuntun para klinisi untuk menetukan
diagnosis dan penyebab gangguan tersebut, sehingga penatalaksanaan dapat diberikan secara tepat.
6.2. Saran
Diperlukan pemahaman yang baik terhadap gangguan keseimbangan elektrolit, sehingga dapat menegakkan diagnosis
dengan cepat dan tepat, dan pada akhirnya dapat memberikan penanganan yang tepat dan cepat pula.
DAFTAR PUSTAKA
Darwis D, Munajat Y, Nur MB, Madjid SA, Siregar P, Aniwidyaningsih, W, dkk. Gangguan Keseimbangan Air, Elektrolit
dan Asam Basa. Edisi 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2010
Siregar P. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4, Jilid I. Jakarta
: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006 : 529-37
Brenner R, Rector H, Livine AS. The Kidney. 7th ed. Pennsylvania: Elsevier; 2004: 775-1064
Shea MA, Hammil GB, Curtis HL, Szczech AL, Schulman AK et al. Medical Cost of Abnormal Serum Sodium Levels. J
Am Soc Nephrol 2008; 19: 764-70,
Stelfox TH, Ahmed BS, Khandwala F, Zygun D, Shahpory R, Laupland K. The Epidemiology of Intensive Care Unit-
acquired hyponatremia and Hyperatremia in Medical-surgical Intensive Care Units. Critical Care. 2008; 12 (6): 1-8
Thompson JC. Hyponatremia : New Association and New Treatment. European Journal of Endocrinology. 2010; 162 :
161-3
Weiner DI, Wingo SC. Hypoklaemia – Consequences, Causes, and Correction. J Am Soc Nephrol. 2000; 13 : 1180-87
Martin, JK. Clinical Consequences and Management of Hypomagnesemia. J Am Soc Nephrol. 2009; 20: 2291-95
Ziegler R. Hypercalcemic Crisis. J Am Soc Nephrol. 2001; (12) S3-S9
Semenovskaya Z, Hypernatremia. [Internet] 2008 [Updated August 18, 2008; Cited November 15, 2010]. Available
from: http://www.emedicine.com
Lederer E. Hyperkalemia. [Internet] 2010 [Updated March 19, 2010; Cited November 15, 2010]. Available from
: http://www.emedicine.com
Dispopulous. Color Atlas of Physiology. 5th Ed. Stuttgart. AppleDruck; 2003
Guyton CA, Hall EJ. Text Book of Medical Physiology 11th ed. Pensylvania: McGrawHills; 2006: 348-81
Mardiana N. Dissoreder of Potassium Metabolism. In Book of Annual Meeting Pernefri 2009. Pernefri; Jakarta: 2009
Bindels JMR. 2009 Homer Smith Award : Minerals in Motion: From New Ion Transporters to New Conceots. J Am Soc
Nephrol 2008; 19: 764-770
Orson W, Bony O. Genetic Hypercalciuria. J Am Soc Nephrol. 2005; 16: 729-45
Fauci SA, Braunwald E, Kasper LD, Hauser LS, Longo LD, Jameson LJ, et al. Electrolites and Fluid Balances. In
Harrison’s Manual of Medicine. 17th ed. New York: McGraw-Hill; 2009: 3-21
Adrogue JH, Madias EN. Hyponatremia. N Engl J Med 2000; 342 (21): 1581-89
Adrogue JH, Madias EN. Hypernatremia. N Engl J Med 2000; 342 (21): 1493-99
Weiner DI, Wingo SC. Hyperkalemia : A Potential Silent Killer. J Am Soc Nephrol. 1998; 9: 1535-43
Grabber AM. Terapi Cairan, Elektrolit dan Metabolik. Edisi ke 2. Jakarta: Framedia; 2003
Urbano LF. Sign of Hypocalcemia : Chvostek’s and Trousseau’s Sign. Hospital Physician. 2000 : 43-45
Agraharkar M. Hypercalcemia. [Internet] 2010. [Update: March 2010; Cited: November 2010] available
from: http://www.emedicine.com
Agus SZ. Hypomagnesemia. J Am Soc Nephrol. 1999; 10: 1616-22
Vaidya C, Ho W, Freda JB. Management of Hyponatremia : Providing Treatment and Avoiding Harm. Cleve Clin J Med.
October 2010; 77 (10): 715-25