Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

ANALGETIKA (OBAT ANTI NYERI)


Tugas Mata Kuliah Ilmu Dasar Keperawatan II

Dosen Mata Kuliah : Ns. Lia Mulyati, M.Kep

Disusun oleh:

1. Bella Esterica (CKR 0180005)


2. Egi Septia Priatno (CKR 0180013)
3. Hamzah Syarif Hidayatullah (CKR 0180016)
4. Ida Fatmawati (CKR 0180018)
5. Maula Dewi Az Zahra (CKR 0180022)
6. Nadia Sindia Devi (CKR 0180026)
7. Okky Amelia (CKR 0180027)
8. Reni Anggraeni (CKR 0180031)

S1 Keperawatan Reguler A Semester II

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN


Jalan Lingkar Bayuning No.2, Kadugede, Kab. Kuningan, Jawa Barat 45561
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang maha Esa, karena atas rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul “ANALGETIKA (OBAT NYERI)”.
Dan juga kami ucapakan terimakasih kepada para pengajar atas bimbingan dan pendidikan
yang diberikan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini.

Makalah ini merupakan hasil diskusi kelompok kami dengan materi Analgetika (Obat
Nyeri). Pembahasan di dalamnya kami dapatkan dari buku-buku, internet, diskusi anggota
dan lain-lain, dengan pemahaman berdasarkan pokok bahasa masalah Analgetika (Obat
Nyeri).

Demikian yang dapat kami sampaikan semoga makalah ini dapat bermanfaat
khususnya bagi kami yang sedang menempuh pendidikan dan dapat dijadikan pelajaran bagi
teman-teman.

Kuningan, Juli 2019

Penyusun
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Analgetika atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi dan
menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Analgetika (obat anti nyeri)
merupakan obat yang sudah dikenal luas. Obat ini banyak dijual sebagai kemasan
tunggal maupun kemasan kombinasi dengan bahan obat lain, dan juga tergolong
sebagai obat bebas sehingga mudah ditemukan di apotek maupun warung pinggir
jalan.
Pada umunya (sekitar 90%) analgetik mempunyai efek antipiretik. Bagi para
pengguna mungkin memerlukan bantuan dalam mengkonsumsi obat yang sesuai
dengan dosis-dosis obat. Penggunaan obat analgetik mampu menghilangkan atau
meringankan rasa sakit tanpa berpegaruh pada sistem susunan saraf pusat atau bahkan
hingga efek menurunkan tingkat kesadaran.
1.2 Rumusan masalah
1. Apa definisi dari nyeri?
2. Apa penyebab terjadinya nyeri?
3. Apa yang dimaksud dengan analgetika (obat nyeri)?
4. Apa saja jenis obat yang termasuk analgetika (obat nyeri)?
5. Apa yang dimaksud dengan farmakokinetik?
6. Apa yang dimaksud dengan farmakodinamika?
7. Bagaimana mekanisme dan cara paracetamol bekerja di dalam tubuh?
8. Bagaimana indikasi dari paracetamol?
9. Bagaimana kontraindiksi dari paracetamol?
10. Bagaimana efek samping dari paracetamol?

1.3 Tujuan penulisan


1. Untuk memenuhi nilai atau tugas kelompok mata kuliah Ilmu Dasar Keperawatan
II
2. Untuk mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai analgetika (obat nyeri)
3. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian nyeri


Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan
dengan (ancaman) kerusakan jaringan. Keadaan psikis sangat mempengaruhi nyeri,
misalnya emosi dapat menimbulkan sakit (kepala) atau memperhebatnya, tetapi dapat
pula menghidarkan sensasi rangsangan nyeri. Nyeri merupakan suatu perasaan
subjektif pribadi, dan ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang. Batas
nyeri untuk suhu adalah konstan, yakni pada 44-45℃.
Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang
berfungsi sebagai isyarat bahaya tentang adanya gangguan di jaringan, seperti
peradangan (rema, encok), infeksi jasad remik atau kejang otot. Nyeri yang
disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis (kalor, listrik) dapat
menimbulkan kerusakan pada jaringan rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-zat
tertentu yang disebut mediator nyeri, a.l. histamin, bradikin, leukotriene dan
prostaglandin.
Pada umumnya demam adalah juga suatu gejala dan bukan merupakan
penyakit tersendiri. Kini para ahli berpendapat bahwa demam adaah suatu reaksi
tangkis yang berguna dari tubuh terhadap infeksi. Pada suhu di atas 37℃ limfosit dan
makrofag menjadi lebih aktif. Bila suhu melampaui 40-41℃, barulah terjadi situasi
kritis yang bisa menjadi fatal, karena tidak terkendalikan lagi oleh tubuh.

2.2 Penyebab nyeri


1. Trauma
a. Mekanik, yaitu rasa nyeri timbul akibat ujung-ujung saraf bebas mengalami
kerusakan, misalnya; akibat benturan, gesekan, luka, dan lain-lain.
b. Termal, yaitu nyeri timbul karena ujung saraf reseptor mendapat rangsangan
akibat panas dan dingin, misalnya; terkena api atau air.
c. Kimia, yaitu timbul karena kontak dengan zat kimia yang bersifat asam atau
basakuat.
d. Elektrik, yaitu timbul karena pengaruh aliran listrik yang kuat mengenai
reseptor rasa nyeri yang menimbulkan kekejangan otot dan luka bakar.
2.Peradangan, yakni nyeri terjadi karena kerusakan ujung-ujung saraf reseptor akibat
adanya peradangan atau terjepit oleh pembekakan, misalnya; abses.
3. Gangguan sirkulasi darah dan kelainan pembuluh darah.
4. Gangguan pada jaringan tubuh, misalnya karena edema akibat terjadinya
penekanan pada reseptor nyeri.
5. Tumor, dapat juga menekan pada reseptor nyeri.
6. Iskemi pada jaringan, misalnya terjadi blockade pada arteri koronaria yang
menstimulasi reseptor nyeri akibat tertumpuknya asam laktat.
7. Spasme otot, dapat menstimulasi mekanik.
2.3 Definisi analgetik
Analgetik adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi
rasa sakit atau nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Kesadaran akan perasaan sakit
terdiri dari dua proses, yakni penerimaan rangsangan sakit dibagian otak besar dan
reaksi-reaksi emosional dan individu terhadap perangsang ini. Obat penghalang nyeri
(analgetik) mempengaruhi proses pertama dengan mempertinggi ambang kesadaran
akan perasaan sakit, sedangkan narkotik menekan reaksi-reaksi psikis yang
diakibatkan oleh rangsangan sakit.
Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala, yang
fungsinya adalah melindungi dan memberikan tanda bahaya tentang adanya
gangguan-gangguan di dalam tubuh, seperti peradangan (rematik, encok), infeksi-
infeksi kuman atau kejang-kejang otot. Penyebab rasa nyeri adalah rangsangan-
rangsangan mekanis, fisik, atau kimiawai yang dapat menimbulkan kerusakan-
kerusakan pada jaringan dan melepaskan zat-zat tertentu yang disebut mediator-
mediator nyeri yang letaknya pada ujung-ujung saraf bebas di kulit, selaput lender,
atau jaringan-jaringan (organ-organ) lain. Dari tempat ini rangsangan dialirkan
melalui saraf-saraf sensoris ke sistem saraf-saraf pusat (SSP) melalui sum-sum tulang
belakang ke thalamus dan kemudian ke pusat nyeri di dalam otak besar dimana
rangsangan dirasakan sebagai nyeri. Mediator-mediator nyeri yang terpenting adalah
histamine, serotonin, plasmakinin-plasmakinin dan prostaglandini-prostaglandin, serta
ion-ion kalium.

2.4 Jenis obat yang termasuk analgetika (obat nyeri)


Atas dasar kerja farmakologisnya, analgetika dibagi dalam dua kelompok besar,
yakni:
1. Analgetika perifer (non-narkotik) yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat
narkotik dan tidak bekerja sentral.
Secara kimiawi, analgetika perifer dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yakni:
a. Parasetamol
b. Salisilat: asetosal, salisilamida, dan benorilate
c. Pengahambat prostaglandin (NSAIDs): ibuprofen, dll
d. Derivat-antranilat: mefenaminat, glafenin
e. Derivat-pirazolinon: propifenazon, isopropilaminofenazon dan metamizol
f. Lainnya: benzidamin (tantum)
2. Analgetika narkotik khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti
pada fractura dan kanker.
Atas dasar cara kerjanya, obat-obat ini dapat dibagi dalam tiga kelompok, yakni:
a. Agonis opiat, yang dapat dibagi dalam:
- Alkaloida candu: morfin, kodein, heroin, nikomorfin
- Zat-zat sintetis: metadon dan derivatnya (dekstromoramida, propoksifen,
bezitramida), petidin dan derivatnya (fentanil, sufentanil) dan tramadol.
Cara kerja obat-obat ini sama dengan morfin, hanya berlainan mengenai potensi
dan lama kerjanya, efek samping dan resiko akan kebiasaan dengan
ketergantungan fisik.
b. Antagonis opiat: nalokson, nalorfin, pentazosin dan buprenorfin (temgesi). Bila
digunakan sebagai analgetikum, obat-obat ini menduduki salah satu reseptor.
c. Campuran: nalorfin, nalbufin (nubain). Zat-zat ini dengan kerja campuran juga
mengikat pada reseptor-opioid, tetapi tidak atau hanya sedikit mengaktivasi daya
kerjanya. Kurva dosis/efeknya memperlihatkan plafon, sesudah dosis tertentu
peningkatan dosis tidak memperbesar lagi efek analgetiknya. Praktis tidak
menimbulkan depresi pernapasan.

2.5 Definisi Farmakokinetika


Farmakokinetika adalah cabang ilmu dari farmakologi yang mempelajari
tentang perjalanan obat mulai sejak diminum hingga keluar melalui organ ekskresi
ditubuh manusia. Umumnya sejumlah fase yang dilalui ketika obat masuk kedalam
tubuh dan memulai kontak dengan organ tubuh terbagi menjadi: proses aliran tersebut
dimulai dari penyerapan (absorpsi), lalu tersebar melalui darah ke seluruh jaringan
tubuh (distribusi), selanjutnya dimetabolisis dalam organ-organ tertentu terutama hati
(biotransfromasi), lalu sisa atau hasil metabolisme dikeluarkan dari tubuh dengan
ekskresi (eliminasi) atau dapat disingkat menjadi ADME. Selain itu farmakokinetika
juga mempelajari berbagai faktor yang mempengaruhi efektifitas obat.

2.6 Definisi Farmakodinamika


Farmakodinamika (pengaruh obat terhadap organ-organ tubuh) adalah cabang
ilmu yang mempelajari efek biokimia dan fisiologi obat serta mekanisme kerjanya.
Mekanisme kerja obat yaitu obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal (fisiologi)
tubuh, obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi
yang sudah ada (ini tidak berlaku bagi terapi gen). Tujuan mempelajari mekanisme
kerja obat ialah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel,
mengetahui respons khas yang terjadi, dan interkasi obat dengan biopolimer. Semua
molekul obat yang masuk dalam tubuh, kemungkinan besar berikatan dengan
konstituen jaringan atau biopolimer seperti protein, lemak, asam nukleat,
mukopolisakarida, enzim biotrasnsformasi, dan reseptor. Pengikatan obat oleh
biopolimer dipengaruhi oleh bentuk konformasi molekul obat dan pengaturan ruang
dari gugus-gugus fungsional senyawa obat. Interaksi obat dapat berupa interaksi tidak
khas dan interaksi khas.
a. Interaksi tidak khas adalah interkasi yang hasilnya tidak menghasilkan efek yang
berlangsung lama dan tidak menyebabkan perubahan struktur molekul obat maupun
biopolimer. Iteraksi ini bersifat reversibel (terpulihkan) dan tidak menghasilkan
respons biologis.
b. Iteraksi khas adalah interaksi yang menyebabkan perubahan struktur makromolekul
reseptor sehingga timbul rangsangan perubahan fungsi fisiologis normal yang dapat
diamati sebagai respons biologis.

2.7 Mekanisme dan cara obat bekerja di dalam tubuh


Di dalam makalah ini kami akan menjelaskan mekanisme dan cara
paracetamol bekerja di dalam tubuh. Paracetamol atau acetaminophen adalah obat
analgetik non-opiat yang berfungsi untuk meredakan nyeri dan menurunkan demam.
Nyeri yang dapat diatasi dengan paracetamol adalah nyeri ringan sampai sedang.
Paracetamol dapat digunakan pada beberapa keluhan seperti nyeri kepala, nyeri otot,
arthritis, nyeri punggung, nyeri dada, dan demam. paracetamol merupakan obat yang
dijual bebas dan analgetik yang paling sering digunakan oleh dokter dan masyarakat
sebagai lini pertama untuk meredakan nyeri.
Paracetamol tersedia dalam bentuk sediaan oral, intravena, dan rektal.
Paracetamol masuk dalam kategori B untuk penggunaan pada kehamilan menurut
FDA, dan kategori A menurut TGA.

Berikut mekanisme dan cara kerja parasetamol:


a. Absorpsi. Paracetamol diabsorpsi dengan baik di usus halus melalui transport pasif
pada pemberian oral. Pemberian dengan makanan akan sedikit memperlambat
absorpsi paracetamol.
b. Ditribusi. Setelah pemberian oral, konsentrasi puncak pada plasma akan dicapai
dalam waktu 10-60 pada tablet biasa dan 60-120 menit untuk tablet lepas-lambat.
Konsentrasi rata-rata di plasma adalah 2,1 lug/mL dalam 6 jam dan kadarnya hanya
dideteksi dalam jumlah kecil setelah 8 jam. Paracetamol memiliki waktu paruh 1-3
jam.
Paracetamol memiliki biovailabilitas yang tinggi. Sekitar 25% paracetamol dalam
darah diikat oleh protein.
c. Metabolisme. Metabolism paracetamol terutama berada di hati melalui proses
glukoronidasi dan sulfasi menjadi konjugat non toksik. Sebagian kecil paracetamol
juga dioksidasi melalui enzim sitkrom P450 menjadi metabolit toksik berupa N-
acetyl-p-benzo-quinone imine (NAPQI).
d. Pada kondisi normal, NAPQI akan dikonjugasi oleh glutation menjadi sistein dan
konjugat asam merkapturat. Ketika diberikan dosis dalam jumlah yang besar atau
terdapat defisiensi glutation, maka NAPQI tidak dapat terdektotifikasi dan
menyebabkan nekrosis hepar akut.
e. Eliminasi. Sekitar 85% paracetamol dieksresi dalam bentuk terkonjugasi dan bebas
melalui urin dalam waktu 24 jam. Pada paracetamol oral, eksresi melalui renal
berlangsung dalam laju 0,16 – 0,2 Ml/menit/kg. eliminasi ini akan berkurang pada
individu berusia >65 tahun atau dengan gangguan ginjal.
Selain ginjal, sekitar 2,6% akan dieksresikan melalui bilier. Paracetamol juga dapat
dieksresikan dengan hemodialisa.

2.8 Indikasi paracetamol


Indikasi paracetamol adalah untuk meredakan gejala demam dan nyeri pada
berbagai penyakit seperti demam dengue tifoid, dan infeksi saluran kemih. Pada
pasien anak, paracetamol digunakan saat suhu >38,5 C. Paracetamol juga dapat
digunakan pada keluhan osteoarthritis, nyeri punggung belakang, nyeri kepala, nyeri
pasca operasi, dan nyeri pada gigi. Dosis paracetamol untuk semua kasus tersebut
sama. Dosis dibedakan berdasarkan usia.
Paracetamol dapat digunakan sebanyak 325 – 650 mg setiap 4 – 6 jam dengan
maksimal 3250 mg atau mencapai 4000 mg per 24 jam dengan pengawasan. Untuk
nyeri dengan intesitas lebih tinggi, paracetamol dapat digunakan 1000 mg setiap 6
jam. Untuk sediaan lepas lambat, dosis yang digunakan adalah 1300 mg setiap jam 8
jam.
Dosis pada anak adalah 10 – 50 mg/kgBB per pemberian, dengan maksimal
pemberian adalah 4 kali dalam 1 hari.
Pasien dengan gangguan ginjal secara umum tidak membutuhkan penyesuaian
dosis. Pada beberapa studi, pasien dengan gangguan ginjal yang berat (CrCl < 30
mL/menit) disarankan memanjangkan interval pemberian dari 6 jam menjadi 8 jam.
Pasien dengan gangguan ginjal ringan – sedang tidak membutuhkan penyesuaian
dosis.
Pasien dengan gangguan hepar juga secara umum tidak memerlukan penyesuaian
dosis apabila digunakan dalam jangka pendek. Penyesuaian dosis digunakan apabila
dalam jangka pendek. Penyesuaian dosis dapat dilakukan pada penyakit hepar
stadium akhir.
Pada pasien dengan usia > 65 tahun, waktu paruh akan meningkat sehingga
peningkatan interval pemberian perlu dipertimbangkan. Penyesuian dosis spesifik
tidak dibutuhkan.

2.9 Kontraindikasi paracetamol


Paracetamol tidak dapat digunakan pada pasien yang memiliki
hipersensitivitas terhadap paracetamol dan penyakit hepar aktif derajat berat.
Penggunaan paracetamol, terutama dalam jangka Panjang perlu diperhatikan pada
pasien dengan:
- Penyakit hepar kronis dekompensata
- Hipovolemia berat
- Malnutrisi kronis
- Defisiensi G6PD
- Fenilketonuria
- Konsumsi alcohol dalam jangka waktu lama
Pada pasien dengan hypovolemia berat seperti saat dehidrasi atau kehilangan darah
serta pasien dengan malnutrisi kronis, diperlukan pengurangan dosis paracetamol
karena akan meningkatkan resiko kerusakan hepar.
Pada pasien asma yang dapat dipicu oleh aspirin, penggunaan paracetamol, terutama
pada produk paten yang mengandung sulfide pada komponennya, dapat memicu
terjadinya asma bahkan menimbulkan reaksi anafilaksis. Selain sulfit, komponen pada
produk paten paracetamol yang perlu diperhatikan adalah aspartame yang jika
dimetabolisme akan menghasilkan fenilalanin yang berbahaya bagi pasien
fenilketonuria.
Paracetamol terdiri dari berbagai sediaan obat lain. Oleh karena itu,
penggunaan polifarmasi perlu memperhatikan dosis paracetamol dari masing-masing
sediaan agar tidak terjadi overdosis.

2.10 Efek samping paracetamol


Efek samping pada paracetamol dapat dikelompokkan berdasarkan sistem
organ. Efek samping yang sering ditemukan adalah gangguan pada hepar. Hal ini
ditemukan pada 1 – 10 % penggunaan paracetamol. Pada sistem gastrointestinal, mual
dan muntah dapat ditemukan sampai 15%. Efek samping lain seperti nyeri perut,
diare, konstipasi, dyspepsia juga dapat ditemukan.
Pada kulit, dapat ditemukan efek samping berupa ruam dan gatal, terutama
pada pasien dengan hipersensitivitas terhadap paracetamol. Reaksi pada kulit yang
lebih berat seperti exanthema generalisata akut, sindrom Steven Jonshon atau nekroris
epidermal toksik dapat ditemukan walaupun jarang.

BAB III
PENUTUP

3.1.1 Kesimpulan
Analgetik adalah obat yang mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran. Berdasarkan aksinya, analgetik dibagi menjadi 2 yaitu
analgetik narkotik dan analgetik non-narkotik. Umunya cara kerja analgetik adalah
dengan menghambat sintesa neurotransmitter tersebut, maka otak tidak lagi
mendapatkan sinyal sehingga rasa nyerinya berangsur-angsur menghilang.

3.1.2 Saran
Untuk dapat memahami tentang analgetik, selain membaca dan memahami
materi-materi dari sumber keilmuan yang ada baik itu berupa referensi dari buku,
internet, situs blog, dan lain-lain. Lalu kita harus belajar untuk mencoba mengkaitkan
materi-materi tersebut dengan kehidupan kita sehari-hari, agar lebih mudah untuk
paham dan akan selalu diingat. Selain itu, semoga makalah dapat bermanfaat, dan
dapat dijadikan sebagai referensi baik itu untuk belajar, menambah pengetahuan dan
wawasan, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA

Mubarak, Wahit iqbal., dkk. 2015. Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar Buku 1.
Jakarta: Salemba Medika.

Tambayong, Jan. 2012. Farmakologi Keperawatan Edisi 2. Jakarta: Buku Kedokteran


EGC.

Tjay, Tan hoan dan Kirana Rahardja. 2008. Obat-obat penting kasiat, penggunaan
dan efek-efek sampingnya. Jakarta: Elex Media Komputindo.

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Farmakokinetika

https://www.alomedika.com/obat/analgesik/analgesik-non-narkotik-
atipiretik/paracetamol/farmakologi

Anda mungkin juga menyukai