Anda di halaman 1dari 47

Nama : hilderia sinaga

Nim : 2012011

UJIAN MID SEMESTER MATA KULIAH KEPERAWATAN

KEGAWATDARURATAN 01 Mei 2021

Dosen: dr. BAMBANG SUMANTRI, MMRS

1. Sebutkan, jelaskan dn berikan contoh kasus dari pengakajian primer dan sekunder Triage
2. Sebutkan dan jelaskan prinsip-prinsip Isu end of life menurut NSW Health tahun 2005?
3. Tuliskan perbedaan mati klinis dan biologis?
4. Sebutkan dan jelaskan Isu end of life DNR?
5. Sebutkan dan jelaskan biomekanik dan kinetik dari mekanisme trauma?
6. Sebutkan jenis trauma yang sering terjad?
7. Jelaskan patofisiologi cedera kepala primer dan sekunder?
8. Penilaian Klasifikasi cidera kepala berdasarkan skala Glascow?
9. Jelaskan Asuhan dan diagnosa keperawatan dari EDH, SDH dan perdarahan Sub
arachnoid?
10. Jelaskan patofisiologi trauma dada?
11. Jelaskan patofisiologi pneumotoraks serta asuhan keperawatan nya?
12. Jelaskan patofisiologi dari trauma abdomen serta contoh kasus dan asuhan
keperawatannya?

Jawaban:

1. PENGKAJIAN PRIMER DAN SEKUNDER


A. Pengertian
Asuhan keperawatan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek
keperawatan kegawatdaruratan yang diberikan pada klien oleh perawat yang
berkompeten untuk memberikan asuhan keperawatan di ruangan gawat darurat. Asuhan
keperawatan diberikan untuk mengatasi masalah biologi, psikologi dan sosial klien, baik
aktual maupun potensial  yang timbul secara bertahap maupun mendadak.
Kegiatan asuhan keperawatan dilakukan dengan menggunakan sistematikan proses
keperawatan yang merupakan suatu metode ilmiah dan panduan dalam memberikan
asuhan keperawatan yang berkualitas dalam rangka mengatasi masalah kesehatan pasien.
Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan meliputi : pengkajian, diagnosa
keperawatan, tindakan keperawatan, dan evaluasi. asuhan keperawatan di ruang gawat
darurat seringkali dipengaruhi oleh karakteristik ruang gawat darurat itu sendiri, sehingga
dapat menimbulkan asuhan keperawatan spesifik yang sesuai dengan keadaan ruangan.
Karakteristik uni dari raungan gawat darurat yang dapat mempengaruhi sistem asuhan
keperawatan antara lain :
 Kondisi kegawatan seringkali tidak terprediksi, baik kondisi klien dan jumlah
klien yang datang ke ruang gawat darurat.
 Keterbatasan sumber daya dan waktu
 Pengkajian, diagnosis dan tindakan keperawatan diberikan untuk seluruh usia,
seringkali dengan data dasar yang sangat terbatas.
 Jenis tindakan yang diberikan merupakan tindakan yang memerlukan kecepatan
dan ketepatan yang ting
 Adanya saling ketergantungan yang tinggi antara profesi kesehatan yang bekerja
di ruang gawat darurat.
Berdasarkan kondisi di atas, prinsip umum keperawatan yang diberikan oleh perawat
di ruang gawat darurat meliputi :
a. Penjaminan keamanan diri perawat dan klien terjaga : perawat harus menerapkan
prinsip universal precaution dan men cegah penyebaran infeksi.
b.    Perawat bersikap cepat dan tepat dalam melakukan triase, menetapkan diagnosa
keperawatan, tindakan keperawatan dan evaluasi yang berkelanjutan.
c. Tindakan keperawatan meliputi : resucitasi dan stabilisasi diberikan untuk
mengatasi masalah biologi dan psikologi klien.
d. Penjelasan dan pendidikan kesehatan untuk klien dan keluarga diberikan untuk
menurunkan kecemasan dan meningkatkan kerjasama klien-perawat.
e. Sistem monitoring kondisi klien harus dapat dijalankan
f. Sistem dokumentasi yang dipakai dapat digunakan secara mudah, cepat dan tepat
g. Penjaminan tindakan keperawatan secara etik dan legal keperawatan perlu dijaga.
B. Pengkajian
Standard : perawat gawat darurat harus melakukan pengkajian fisik dan psikososial di
awal dan secara berkelanjutan untuk mengetahui masalah keperawatan klien dalam
lingkup kegawatdaruratan.
Keluaran : adanya pengkajian keperawatan yang terdokumentasi untuk setiap klien
gawat darurat
Proses : pengkajian merupakan pendekatan sistematik untuk mengidentifikasi masalah
keperawatan gawat darurat. Proses pengkajian dalam dua bagian : pengkajian primer dan
pengkajian skunder.
C. PENGKAJIAN KEPERAWATAN KRITIS (ABCDE, AMPLE)
1. Pengkajian Primer
a. Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret
akibat kelemahan reflek batuk. Jika ada obstruksi maka lakukan :
 Chin lift / jaw trust
 Suction / hisap
 Guedel airway
 Intubasi trakhea dengan leher ditahan (imobilisasi) pada posisi
netral.

b. Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya
pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar
ronchi /aspirasi, whezing, sonor, stidor/ ngorok, ekspansi dinding dada.
c. Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut,
takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan
membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut
d. Disability
Menilai kesadaran dengan cepat,apakah sadar, hanya respon terhadap
nyeri atau atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS.
Adapun cara yang cukup jelasa dan cepat adalah:
Awake :A
Respon bicara :V
Respon nyeri :P
Tidak ada respon :U
e. Eksposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cidera
yang mungkin ada, jika ada kecurigan cedera leher atau tulang belakang,
maka imobilisasi in line harus dikerjakan.
2. Pengkajian Sekunder

Pengkajian sekunder meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis dapat


meggunakan format AMPLE (Alergi, Medikasi, Post illnes, Last meal, dan
Event/ Environment yang berhubungan dengan kejadian). Pemeriksaan fisik
dimulai dari kepala hingga kaki dan dapat pula ditambahkan pemeriksaan
diagnostik.

Pengkajian sekunder dilakukan dengan menggunakan metode SAMPLE, yaitu


sebagai berikut :
S : Sign and Symptom.
Tanda gejala terjadinya tension pneumothoraks, yaitu Ada jejas pada
thorak, Nyeri pada tempat trauma, bertambah saat inspirasi,
Pembengkakan lokal dan krepitasi pada saat palpasi, Pasien menahan
dadanya dan bernafas pendek, Dispnea, hemoptisis, batuk dan emfisema
subkutan, Penurunan tekanan darah
A    : Allergies
Riwayat alergi yang diderita klien atau keluarga klien. Baik alergi obat-
obatan ataupun kebutuhan akan makan/minum.
M   : Medications
(Anticoagulants, insulin and cardiovascular medications especially).
Pengobatan yang diberikan pada klien sebaiknya yang sesuai dengan
keadaan klien dan tidak menimbulka reaksi alergi. Pemberian obat
dilakukan sesuai dengan riwayat pengobatan klien.
P    :Previous medical/surgical history.
Riwayat pembedahan atau masuk rumah sakit sebelumnya.
L    :Last meal (Time)
Waktu klien terakhir makan atau minum.
E    :Events /Environment surrounding the injury; ie. Exactly what happened
Pengkajian sekunder dapat dilakukan dengan cara mengkaji data dasar klien yang
kemudian digolongkan dalam SAMPLE.
a. Aktivitas / istirahat
Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
b.   Sirkulasi
Takikardi, frekuensi tak teratur (disritmia), S3 atau S4 / irama jantung gallop, nadi
apikal (PMI) berpindah oleh adanya penyimpangan mediastinal, tanda homman (bunyi
rendah sehubungan dengan denyutan jantung, menunjukkan udara dalam
mediastinum).
c.    Psikososial
Ketakutan, gelisah.
d.   Makanan / cairan
Adanya pemasangan IV vena sentral / infuse tekanan.
e.    Nyeri / kenyamanan
Perilaku distraksi, mengerutkan wajah. Nyeri dada unilateral meningkat karena batuk,
timbul tiba-tiba gejala sementara batuk atau regangan, tajam atau nyeri menusuk yang
diperberat oleh napas dalam.
f.    Pernapasan
Pernapasan meningkat/takipnea, peningkatan kerja napas, penggunaan otot aksesori
pernapasan pada dada, ekspirasi abdominal kuat, bunyi napas menurun/ hilang
(auskultasi à mengindikasikan bahwa paru tidak mengembang dalam rongga pleura),
fremitus menurun, perkusi dada : hipersonor diatas terisi udara, observasi dan palpasi
dada : gerakan dada tidak sama bila trauma, kulit : pucat, sianosis, berkeringat, mental:
ansietas, gelisah, bingung, pingsan. Kesulitan bernapas, batuk, riwayat bedah dada /
trauma : penyakit paru kronis, inflamasi / infeksi paru (empiema / efusi), keganasan
(mis. Obstruksi tumor).
g.   Keamanan
Adanya trauma dada, radiasi / kemoterapi untuk keganasan.

2. Prinsip-Prinsip End Of LifeMenurut NSW Health (2005) Prinsip End Of Life antara


lain :
1. Menghargai kehidupan dan perawatan dalam kematianTujuan utama dari perawatan
adalah menpertahankan kehidupan,namun ketika hidup tidak dapat dipertahankan, tugas
perawatan adalahuntuk memberikan kenyamanan dan martabat kepada pasien
yangsekarat, dan untuk mendukung orang lain dalam melakukannya.
2. Hak untuk mengetahui dan memilihSemua orang yang menerima perawatan kesehatan
memiliki hakuntuk diberitahu tentang kondisi mereka dan pilihan
pengobatanmereka.Mereka memiliki hak untuk menerima atau menolak pengobatan
dalam memperpanjang hidup.Pemberi perawatan memilikikewajiban etika dan hukum
untuk mengakui dan menghormati pilihan- pilihan sesuai dengan pedoman.
3. Menahan dan menghentikan pengobatan dalam mempertahankan hidupPerawatan end of
life yang tepat harus bertujuan untukmemberikan pengobatan yang terbaik untuk
individu. Ini berarti bahwa tujuan utama perawatan untuk mengakomodasi kenyamanan
dan martabat, maka menahan atau menarik intervensi untuk mempertahankan hidup
mungkin diperbolehkan dalam kepentingan terbaik dari pasien yang sekarat.
4. Sebuah pendekatan kolaboratif dalam perawatan Keluarga dan tenaga kesehatan memiliki
kewajiban untuk bekerja sama untuk membuat keputusan bagi pasien yang kurang
bisadalam pengambilan keputusan, dengan mempertimbangkan keinginan pasien.
5. Transparansi dan akuntabilitasDalam rangka menjaga kepercayaan dari penerima
perawatan,dan untuk memastikan bahwa keputusan yang tepat dibuat, maka proses
pengambilan keputusan dan hasilnya harus dijelaskan kepada para pasien dan akurat
didokumentasikan
6. Perawatan non diskriminatifKeputusan pengobatan pada akhir hidup harus non-
diskriminatifdan harus bergantung hanya pada faktor-faktor yang relevan dengankondisi
medis, nilai-nilai dan keinginan pasien.
7. Hak dan kewajiban tenaga kesehatanTenaga kesehatan tidak berkewajiban untuk
memberikan perawatan yang tidak rasional, khususnya, pengobatan yang tidak
bermanfaat bagi pasien.Pasien memiliki hak untuk menerima perawatan yang sesuai, dan
tenaga kesehatan memiliki tanggung jawabuntuk memberikan pengobatan yang sesuai
dengan norma-norma profesional dan standar hukum
8. Perbaikan terus-menerusTenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk berusaha
dalammemperbaiki intervensi yang diberikan pada standar perawatan end oflife baik
kepada pasien maupun kepada keluarga.

3. Perbedaan Mati Klinis dan Biologis

Mati klinis ditandai dengan henti nafas dan jantung (sirkulasi) serta berhentinya

aktivitas otak tetapi tidak irreversibel dalam arti masih dapat dilakukan resusitasi jantung

paru dan kemudian dapat diikuti dengan pemulihan semua fungsi. (Soenarjo et al, 2013)

Mati biologis merupakan kelanjutan mati klinis apabila pada saat mati klinis tidak

dilakukan resusitasi jantung paru. Mati biologis berarti tiap organ tubuh secara biologis

akan mati dengan urutan : otak, jantung, ginjal, paru-paru, dan hati. Hal ini disebabkan

karena daya tahan hidup tiap organ berbeda-beda, sehingga kematian seluler pada tiap

organ terjadi secara tidak bersamaan. (Soenarjo et al, 2013)

Perbedaan Mati Klinis (Clinical Death) Mati Biologis (Biological Death)


Tanda Berhentinya detak jantung, denyut nadi Kematian yang terjadi akibat

dan pernafasan. degenerasi jaringan di otak dan


organ lainnya.
Fungsi Organ Beberapa organ seperti mata dan ginjal Beberapa organ akan mati (tidak

akan tetap hidup saat terjadi mati klinis. dapat berfungsi kembali) setelah

mati biologis.
Organ dalam Organ dalam tubuh dapat digunakan Organ dalam tubuh tidak dapat

tubuh sebagai transplantasi. digunakan untuk transplantasi.


Sifat Reversibel / dapat kembali Ireversibel/ tidak dapat kembali
Pemerikasaan Pemeriksaan keadaan klinis Pemeriksaan keadaan klinis dan

Pemeriksaan Neurologis
Suhu Tubuh Hipertermia (> 36 C) dan terkadang Hipotermia (< 36oC)
o

ditemui Hipotermia
Kriteria 1) Berhentinya detak jantung 1) Dilatasi bilateral dan fixaxi pupil

2) Berhentinya denyut nadi 2) Berhentinya semua reflek

3) Berhentinya pernafasan spontan. 3) Berhentinya respirasi tanpa

bantuan

4) Berhentinya aktivitas

cardiaovaskuler

5) Gambaran gelombang otak datar

4. Isu End Of Life DNR

1. Konsep Do Not Resucitation

Do Not Resuscitate (DNR) atau Jangan Lakukan Resusitasi merupakan suatu

tindakan dimana dokter menempatkan sebuah instruksi berupa informed concent yang

telah disetujui oleh pasien ataupun keluarga pasien di dalam rekam medis pasien,

yang berfungsi untuk menginformasikan staf medis lain untuk tidak melakukan

resusitasi jantung paru (RJP) atau cardiopulmonary resuscitation (CPR) pada pasien.
Pesan ini berguna untuk mencegah tindakan yang tidak perlu dan tidak diinginkan

pada akhir kehidupan pasien dikarenakan kemungkinan tingkat keberhasilan CPR

yang rendah (Sabatino, 2015). DNR diindikasikan jika seorang dengan penyakit

terminal atau kondisi medis serius tidak akan menerima cardiopulmonary

resuscitation (CPR) ketika jantung atau nafasnya terhenti. Form DNR ditulis oleh

dokter setelah membahas akibat dan manfaat dari CPR dengan pasien atau pembuat

keputusan dalam keluarga pasien (Cleveland Clinic, 2010).

American Heart Association (AHA) mengganti istilah DNR (Do Not

Resuscitate) dengan istilah DNAR (Do Not Attempt Resuscitate) yang artinya adalah

suatu perintah untuk tidak melakukan resusitasi terhadap pasien dengan kondisi

tertentu, atau tidak mencoba usaha resusitasi jika memang tidak perlu dilakukan,

sehingga pasien dapat menghadapi kematian secara alamiah, sedangkan istilah DNR

(Do Not Resuscitate) mengisyaratkan bahwa resusitasi yang dilakukan akan berhasil

jika kita berusaha (Brewer, 2008).

Keputusan penolakan resusitasi (DNAR) menurut Brewer (2008) melibatkan

tiga prinsip moral yang dapat dikaji oleh perawat, yaitu autonomy, beneficience, dan

nonmalefecience, ketiga prinsip tersebut merupakan dilema etik yang menuntut

perawat berpikir kritis, karena terdapat dua perbedaan nilai terhadap profesionalisme

dalam memberikan asuhan keperawatan, secara profesional perawat ingin

memberikan pelayanan secara optimal, tetapi disatu sisi terdapat pendapat yang

mengharuskan penghentian tindakan.

2. Tahapan DNR
Sebelum menulis form DNR, dokter harus mendiskusikannya dengan pasien

atau seseorang yang berperan sebagai pengambil keputusan dalam keluarga pasien.

Semua hal yang didiskusikan harus didokumentasikan dalam rekam medis, siapa saja

yang mengikuti diskusi, dan yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan, isi

diskusi serta rincian perselisihan apapun dalam diskusi tersebut. Dokter merupakan

orang yang paling efektif dalam membimbing diskusi dengan mengatasi

kemungkinan manfaat langsung dari resusitasi cardiopulmonary dalam konteks

harapan keseluruhan dan tujuan bagi pasien. Formulir DNR harus ditandatangani oleh

pasien atau oleh pembuatan keputusahan yang diakui atau dipercaya oleh pasien jika

pasien tidak dapat membuat atau berkomunikasi kepada petugas kesahatan. Pembuat

keputusan yang dipercaya oleh pasien dan diakui secara hukum mewakili pasien

seperti agen perawat kesehatan yang ditetapkan dalam srata kuasa untuk perawatan

kesehatan, konservator, atau pasangan / anggota keluarga lainnya. Dokter dan pasien

harus menandatangani formulir tersebut, menegaskan bahwa pasien akan diakui

secara hukum keputusan perawatan kesehatannya ketika telah memberikan

persetujuan instruksi DNR ( EMSA).

Beberapa standar yang harus dilakukan pada saat diskusi menentukan

keputusan DNAR yaitu, dokter harus menentukan penyakit/kondisi pasien,

menyampaikan tujuan, memutuskan prognosa, potensi manfaat dan kerugian dari

resusitasi (CPR), memberikan rekomendasi berdasarkan penilaian medis tentang

manfaat/kerugian CPR, dokter penanggung jawab harus hadir dalam diskusi,

mendokumentasikan isi diskusi, dan alasan pasien/keluarga dalam pengambilan

keputusan ( Breault 2011).


3. Peran Perawat dan pelaksanaan DNR

Peran perawat dalam Do Not Resuscitation adalah membantu dokter dalam

memutuskan DNR sesuai dengan hasil pemeriksaan kondisi pasien.Setelah rencana

diagnosa DNR diambil maka sesegera mungkin keluarga diberikan informasi

mengenai kondisi pasien dan rencana diagnosa DNR. Perawat juga dapat berperan

dalam pemberian informasi bersama- sama dengan dokter ( Amestiasih, 2015).

Perawat sebagai care giver dituntut untuk tetap memberikan perawatan pada pasien

DNR tidak berbeda dengan pasien lain pada umumnya, perawat harus tetap

memberikan pelayanan sesuai dengan advice dan kebutuhan pasien tanpa mengurangi

kualitasnya. End of life care yang perawat lakukan dengan baik diharapkan dapat

memberikan peacefull end of life bagi pasien, seperti yang digambarkan dalam teori

keperawatan peacefull end of life oleh Rulland and Moore yang meliputi terhindar

dari rasa sakit, merasakan kenyamanan, penghormatan, kedamaian, dan mendapatkan

kesempatan untuk dekat dengan seseorang yang dapat merawatnya (Amestiasih,

2015).

Perawat sebagai advokat pasien, menerima dan menghargai keputusan

pasien/keluarganya sekalipun keputusan tersebut tidak sesuai dengan harapan

perawat, karena perawat tidak dibenarkan membuat keputusan untuk

pasien/keluarganya dan mereka bebas untuk membuat keputusan (Kozier et al, 2010).

Pemahaman tentang peran perawat sebagai pendukung dan advokasi pasien dapat

bertindak sebagai penghubung dan juru bicara atas nama pasien/keluarganya kepada

tim medis.
Menurut ANA (2004) Perawat sebaiknya memperhatikan dan berperan aktif

terhadap perkembangan kebijakan DNAR di institusi tempat mereka bekerja, dan

diharapkan dapat berkerja sama dengan dokter selaku penanggung jawab masalah

DNAR. Perawat berperan sebagai pemberi edukasi kepada pasien dan keluarga

tentang keputusan yang mereka ambil dan memberikan informasi yang relevan terkait

perannya sebagai advokat bagi pasien dalam memutuskan cara mereka untuk

menghadapi kematian.

4. Prinsip Etik Pelaksanaan DNR

Keputusan keluarga atau pasien untuk tidak melakukan resusitasi pada

penyakit kronis adalah merupakan keputusan yang dipandang sulit bagi dokter dan

perawat, karena ketidakpastian prognosis dan pada saat keluarga menghendaki untuk

tidak lagi dipasang alat pendukung kehidupan. Keputusan sulit tersebut disebabkan

karena kurangnya kejelasan dalam peran tenaga profesional dalam melakukan

tindakan atau bantuan pada saat kondisi kritis, meskipun dukungan perawat terhadap

keluarga pada proses menjelang kematian adalah sangat penting (Adams, Bailey Jr,

Anderson, dan Docherty (2011).

Pasien DNAR pada kondisi penyakit kronis atau terminal dari sisi tindakan

keperawatan tidak akan berbeda dengan pasien pada umumnya, hanya memiliki

makna bahwa jika pasien berhenti bernapas atau henti jantung, tim medis tidak akan

melakukan resusitasi/Resusitasi Jantung Paru (RJP), hal ini sesuai dengan definisi

yang dikemukakan AHA, bahwa jika RJP yang dilakukan tidak memberikan hasil

signifikan pada situasi tertentu, dan lebih membawa kerugian bagi


pasien/keluarganya dari segi materil maupun imateril, maka pelaksanaan RJP tidak

perlu dilakukan (Ardagh, 2000 dalam Basbeth dan Sampurna, 2009).

Dalam pelaksanaan DNR masih terdapat dilema, dalam keperawatan prinsip

etik yang digunakan dalan pelaksanan DNR yaitu:

1) Prinsip etik otonomy, di sebagian besar negara dihormati secara legal, tentunya

hal tersebut memerlukan keterampilan dalam berkomunikasi secara baik, perawat

secara kognitif memiliki komunikasi terapeutik yang dapat dijadikan acuan untuk

membicarakan hak otonomi pasien/keluarganya, melalui informed consent, pasien

dan keluarga telah menentukan pilihan menerima/menolak tindakan medis,

termasuk resusitasi, meskipun umumnya pasien/keluarga tidak memiliki rencana

terhadap akhir kehidupannya. Pada prinsip etik otonomy, perawat memberikan

edukasi tentang proses tersebut dengan cara-cara yang baik dan tidak menghakimi

pasien/keluarga dengan menerima saran/masukan, tetapi mendukung keputusan

yang mereka tetapkan (AHA, 2005 dalam Basbeth dan Sampurna, 2009).

2) Prinsip etik beneficence pada penerimaan/penolakan tindakan resusitasi

mengandung arti bahwa pasien memilih apa yang menurut mereka terbaik

berdasarkan keterangan-keterangan yang diberikan perawat. Pada etik ini, perawat

memberikan informasi akurat mengenai keberhasilan resusitasi, manfaat dan

kerugiannya, serta angka harapan hidup pasca resusitasi, termasuk efek

samping/komplikasi yang terjadi, lama masa perawatan, serta penggunaan alat

bantu pendukung kehidupan yang memerlukan biaya cukup besar. Data-data dan

informasi yang diberikan dapat menjadi acuan pasien/keluarganya dalam

menentukan keputusan (Basbeth dan Sampurna, 2009).


3) Prinsip etik nonmalefecience berkaitan dengan pelaksanaan tindakan RJP tidak

membahayakan/merugikan pasien/keluarganya. Menurut Hilberman, Kutner J,

Parsons dan Murphy (1997) dalam Basbeth dan Sampurna (2009) dikatakan

bahwa banyak pasien mengalami gangguan neurologi berupa disabilitas berat

yang diikuti dengan kerusakan otak pasca RJP, menyebabkan kerusakan otak

permanen (brain death), tingkat kerusakan otak berkaitan dengan tindakan RJP

bervariasi antara 10-83%. Tindakan RJP dikatakan tidak merusak jika keuntungan

yang didapatkan lebih besar.Pada etik ini, perawat membantu dokter dalam

mempertimbangkan apakah RJP dapat dilakukan atau tidak terutama pada pasien

dengan angka harapan hidup relatif kecil dan prognosa yang buruk.

Menurut Adam et al (2011) dikatakan bahwa beberapa penelitian

menyebutkan bahwa masih didapatkan komunikasi yang kurang baik antara

perawat dan pasien/keluarganya mengenai pelaksanaan pemberian informasi

proses akhir kehidupan, sehingga keluarga tidak memiliki gambaran untuk

menentukan/mengambil keputusan, serta pengambilan keputusan pada proses

menjelang kematian masih didominasi oleh perawat, sebaiknya perawat berperan

dalam memberikan dukungan, bimbingan, tetapi tidak menentukan pilihan

terhadap pasien/keluarganya tentang keputusan yang akan dibuat.

5. Dilema Etik

Di Indonesia, kebijakan DNR sudah lama diterapkan namun masih menjadi

dilema bagi tenaga medis termasuk perawat. Sesuai dengan Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 519/Menkes/Per/Iii/2011 tentang Pedoman

Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi dan Terapi Intensif di Rumah Sakit,


disebutkan didalamnya bahwa prosedur pemberian atau penghentian bantuan hidup

ditetapkan berdasarkan klasifikasi setiap pasien di ICU dan HCU yaitu semua

bantuan kecuali RJP (DNAR = Do Not Attempt Resuscitation), dilakukan pada

pasien-pasien dengan fungsi otak yang tetap ada atau dengan harapan pemulihan otak,

tetapi mengalami kegagalan jantung, paru atau organ lain, atau dalam tingkat akhir

penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Tidak dilakukan tindakan-tindakan luar

biasa, pada pasien-pasien yang jika diterapi hanya memperlambat waktu kematian

dan bukan memperpanjang kehidupan.Untuk pasien ini dapat dilakukan penghentian

atau penundaan bantuan hidup.Sedangkan pasien yang masih sadar dan tanpa

harapan, hanya dilakukan tindakan terapeutik/paliatif agar pasien merasa nyaman dan

bebas nyeri (Depkes, 2011).

Keputusan DNR dapat menimbulkan dilema psikis pada perawat dikarenakan

timbulnya penolakan dari hati nurani perawat terhadap label DNR dan kondisi dilema

itu sendiri. Timbulnya dilema psikis ini juga dapat dipengaruhi oleh masih belum

adekuatnya sumber informasi tentang DNR yang dimiliki oleh perawat.Perawat tidak

dapat terhindar dari perasaan dilema. Merawat pasien setiap hari, melihat

perkembangan kondisi pasien, membuat rencana DNR seperti dua sisi mata uang bagi

perawat, disatu sisi harus menerima bahwa pemberian tindakan CPR sudah tidak lagi

efektif untuk pasien namun di sisi lain muncul perasaan iba dan melihat pasien

seolah-olah keluarganya. Dua hal tersebut dapat menjadikan perawat merasa dilemma

(Amestiasih, 2015). Perasaan empati juga dapat dirasakan oleh perawat karena

DNR.Perasan empati ini dapat disebabkan pula oleh keputusan DNR yang ada dan

tidak adekuatnya sumber informasi DNR yang dimiliki perawat. Perasaan empati
yang muncul juga dapat menjadi dampak dari tingginya intensitas pertemuan antara

perawat dengan pasien (Elpern, et al. 2005)

5. Biomekanika sebagai ilmu aplikasi mekanika pada sistem biologi,


merupakan kombinasi antara disiplin ilmu mekanika terapan dan ilmu-ilmu
biologi dan fisiologi. menyangkut tubuh manusia pada tubuh mahluk hidup.
Biomekanika trauma mempelajari kejadian cidera pada suatu jenis
kekerasan atau kecelakaan, untuk membantu dalam menyelidiki akibat yang
di timbulkan trauma dan waspada terhadap perlukaan yang diakibatkan trauma,
menduga perlukaan yang ada, waspada terhadap perlukaan tertentu, dapat
menyiapkan tindakan yang akan dilakukan dan mengetahui mekanisme cedera
yang terdiri dari : cidera langsung, cidera perlambatan / deselerasi, dan
cidera percepatan / akselerasi.
6. Jenis trauma yang sering terjadi yaitu:
1. Trauma dada
2. Trauma abdomen
3. Trauma mata
4. Trauma kepala
7. Patofisiologi
Cedera kepala didasarkan pada proses patofisiologi dibagi menjadi dua yang didasarkan
pada asumsi bahwa kerusakan otak pada awalnya disebabkan oleh kekuatan fisik yang
lalu diikuti proses patologis yang terjadi segera dan sebagian besar bersifat permanen.
Dari tahapan itu, dikelompokkan cedera kepala menjadi dua (Youmans, 2011):
2.Cedera Otak Primer
Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan mekanik yang
merusak jaringan otak saat trauma terjadi (hancur, robek, memar, dan perdarahan).
Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan/tekanan seperti akselerasi
rotasi, kompresi, dan distensi akibat dari akselerasi atau deselerasi. Tekanan itu
mengenai tulang tengkorak, yang dapat memberi efek pada neuron, glia, dan
pembuluh darah, dan dapat mengakibatkan kerusakan lokal, multifokal ataupun difus
(Valadka, 1996). Cedera otak dapat mengenai parenkim otak dan atau pembuluh
darah. Cedera parenkim berupa kontusio, laserasi atau Diffuse Axonal Injury (DAI),
sedangkan cedera pembuluh darah berupa perdarahan epidural, subdural,
subarachnoid dan intraserebral (Graham, 1995), yang dapat dilihat pada CT scan.
Cedera difus meliputi kontusio serebri, perdarahan subarachnoid traumatik dan DAI.
Sebagai tambahan sering terdapat perfusi iskemik baik fokal maupun global (Valadka,
1996).
3.Cedera Otak Sekunder
Cedera otak sekunder merupakan lanjutan dari cedera otak primer yang dapat terjadi
karena adanya reaksi inflamasi, biokimia, pengaruh neurotransmitter, gangguan
autoregulasi, neuro-apoptosis dan inokulasi bakteri. Melalui mekanisme
Eksitotoksisitas, kadar Ca++ intrasellular meningkat, terjadi generasi radikal bebas dan
peroxidasi lipid. Perburukan mekanis awal sebagai akibat cedera kepala berefek pada
perubahan jaringan yang mencederai neuron, glia, axon dan pembuluh darah. Cedera
ini akan di ikuti oleh fase lanjut, yang di mediasi jalur biologis intraselular dan
ekstraseluler yang dapat muncul dalam menit, jam, maupun hari, bahkan minggu
setelah cedera kepala primer (Cloots dkk, 2008). Selama fase ini, banyak pasien
mengalami cedera kepala sekunder yang dipengaruhi hipoksia, hipotensi, odema
serebri, dan akibat peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK). Faktor sekunder inilah
yang akan memperberat 22 cedera kepala primer dan berpengaruh pada outcome
pasien (Czosnyka dkk, 1996). Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang
terjadi akibat proses metabolisme dan homeostatis ion sel otak, hemodinamika
intrakranial dan kompartement CSS yang dimulai segera setelah trauma tetapi tidak
tampak secara klinis segera setelah trauma. Cedera otak sekunder ini disebabkan oleh
banyak faktor antara lain kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak
(ADO), gangguan metabolisme dan homeostatis ion sel otak, gangguan hormonal,
pengeluaran neurotransmitter dan reactive oxygen species (ROS), infeksi dan asidosis.
Kelainan utama ini meliputi perdarahan intrakranial, edema otak, peningkatan
tekanan intrakranial dan kerusakan otak. Cedera kepala menyebabkan sebagian sel
yang terkena benturan mati atau rusak irreversible, proses ini disebut proses primer
dan sel otak disekelilingnya akan mengalami gangguan fungsional tetapi belum mati
dan bila keadaan menguntungkan sel akan sembuh dalam beberapa menit, jam atau
hari. Proses selanjutnya disebut proses patologi sekunder. Proses biokimiawi dan
struktur massa yang rusak akan menyebabkan kerusakan seluler yang luas pada sel
yang cedera maupun sel yang tidak cedera. Secara garis besar cedera kepala sekunder
pasca trauma diakibatkan oleh beberapa proses dan faktor dibawah ini :
1. Lesi massa, pergeseran garis tengah dan herniasi yang terdiri atas :
a. Perdarahan intrakranial (hematom epidural/ subdural/ intraserebral).
b. Edema serebral.
2. Iskemik cerebri yang diakibatkan oleh :
a. Penurunan tekanan perfusi serebral.
b. Hipotensi arterial, hipertensi intrakranial.
c. Hiperpireksia dan infeksi.
d. Hipokalsemia/ anemia dan hipotensi.
e. Vasospasme serebri dan kejang
8. Klasifikasi cedera kepala Cedera kepala pada umumnya dikategorikan berdasarkan
Glasgow coma scale (GCS). Glasgow coma scale (GCS) pertama kali diperkenalkan oleh
Teasdale dan Jennet tahun 1974 untuk menyediakan suatu metode yang mudah dan
dapat dipercaya untuk menilai tingkat kesadaran pasien dan mengawasi perubahan
yang terjadi (Teasdale dan Jennet,1974). Glasgow coma scale (GCS) menilai tingkatan
kesadaran berdasarkan tiga komponen klinis yaitu respon membuka mata, motorik dan
verbal (Teasdale dan Jennet,1974). Nilai GCS adalah nilai total dari ketiga komponen
yaitu antara 3-15. Nilai 3 berarti penderita tidak memberikan respon terhadap
rangsangan apapun sedangkan nilai 15 berarti penderita sadar penuh. Penilai GCS
dilakukan pasca resusitasi setelah trauma. Klasifikasi cedera kepala dibagi menjadi 3
dimana cedera kepala berat dengan skor GCS dibawah 8, cedera kepala sedang dengan
skor GCS 9 sampai 12, cedera kepala ringan dengan skor GCS 13 sampai 15 (ATLS,
1993).

9. EDH: Epidural Hematoma (EDH) adalah penumpukan darah di antara tulang tengkorak dengan
duramater, kejadiannya 1-5 % dari seluruh pasien cedera kepala (Ndoumbe, 2016). Tanda gejala EDH
adalah penurunan kesadaran diikuti oleh lucid interval beberapa jam kemudian dan kadang disertai
tanda neurologis fokal (Ndoumbe, 2016). Cedera otak sekunder akibat epidural hematoma diakibatkan
iskemia atau hipoksia. Iskemia memungkinkan terjadinya penurunan ATP sehingga mengakibatkan
kegagalan pompa membran sel. Sel akan mati dan menjadi bengkak (edema sitotoksik).
Diagnosa keperawatan dari EDH

Diagnosis dari epidural hematoma umumnya ditentukan dari wawancara medis yang mendetail,
pemeriksaan fisis secara langsung, dan pemeriksaan penunjang tertentu. Bila dokter mencurigai adanya
epidural hematoma, dapat dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosisnya.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:

•Pemeriksaan computerized tomography (CT) scan, yang dapat menunjukkan adanya massa padat yang
mendesak struktur otak menjauh dari tulang tengkorak.

•Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI), yang juga ditujukan untuk melihat struktur otak dan
jaringan lunak di kepala.

•Elektroensefalogram (EEG) untuk menilai aktivitas listrik otak.

SDH

Subdural hematoma, sering juga disebut perdarahan otak subdural, adalah kondisi perdarahan yang
terjadi di antara dua lapisan otak, yaitu lapisan arachnoidal dan lapisan dura (meningeal). Perdarahn
tersebut menyebabkan munculnya kumpulan darah yang disebut dengan hematoma. Jika volume
darahnya sangat besar, atau kejadiannya akut (tiba-tiba dan langsung), hal ini dapat menyebabkan
peningkatan tekanan dalam otak.

Tekanan tinggi di dalam otak bisa menyebabkan kerusakan jaringan otak dan membahayakan nyawa jika
tidak cepat ditangani.

Diagnosa keperawatan dari SDH

Untuk mendiagnosis hematoma subdural, dokter akan melakukan wawancara medis dan pemeriksaan
fisik. Selain itu, dokter juga akan melakukan pemeriksaan penunjang dengan menggunakan CT scan atau
MRI. Pemeriksaan penunjang ini bertujuan untuk memastikan ada-tidaknya darah yang bocor dan
berkumpul di otak pasien.

Diagnosa Keperawatannya yaitu:

a.Nyeri akut berhubungan dengan luka post operasi.

b.Gangguan eliminasi bowel : konstipasi berhubungan dengan penurunan peristaltik usus.


c.Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive Perdarahan Sub arachnoid

Pendarahan pada ruang antara otak dan jaringan yang menutupi otak. Perdarahan subarachnoid,
keadaan darurat medis, biasanya dari pembuluh darah menonjol yang memasuki otak (aneurisma). Hal
ini dapat menyebabkan kerusakan otak permanen atau kematian jika tidak segera ditangani. Gejala
utamanya adalah sakit kepala tiba-tiba dan parah. Rawat inap diperlukan untuk penanganan suportif
serta menghentikan pendarahan dan membatasi kerusakan otak. Penanganan dapat berupa operasi
atau terapi berbasis kateter.

Diagnosa keperawatan dari Perdarahan Sub arachnoid

Diagnosa keperawatan yang muncul secara teori pada klien ada 3 diagnosa antara lain adalah

a.Perfusi jaringan tidak efektif (spesifik: cerebral) berhubungan dengan penurunan suplai O2 ke otak
akibat pendarahan intracerebral,

b.kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan pada saraf fasialis dan saraf dapat
lengkap dan waktunya hanya sebentar

c.deficit perawatan diri berhubungan dengan kerusakan mobilitas fisik.

10. Patofisiologi trauma dada

Utuhnya suatu dinding Toraks sangat diperlukan untuk sebuah ventilasi pernapasan yang normal.
Pengembangan dinding torakske arah luar oleh otot-otot pernapasan diikuti dengan turunnya
diafragma menghasilkan tekanan negatifdari intratoraks. Prosesini menyebabkan masuknya udara
pasif ke paru-paru selama inspirasi.Trauma toraksmempengaruhi strukur-struktur yang berbeda dari
dinding toraksdan rongga toraks.Toraksdibagi kedalam 4 komponen, yaitudinding dada,rongga pleura,
parenkim paru,dan mediastinum. Dalam dinding dada termasuk tulang-tulang dada dan otot-otot
yang terkait.Ronggapleura berada diantara pleura viseral dan parietal dan dapat terisi oleh darah
ataupun udara yang menyertai suatu trauma toraks. Parenkim paru termasuk paru-paru dan jalan
nafas yang berhubungan, dan mungkin dapat mengalami kontusio,laserasi,hematomadan
pneumokel. Mediastinum termasuk jantung, aorta/pembuluh darah besar dari toraks,cabang
trakeobronkial dan esofagus.Secara normal toraksbertanggungjawab untukfungsi vital fisiologi
kardiopulmoner dalam menghantarkan oksigenasi darah untuk metabolismejaringan pada
tubuh.Gangguan pada aliran udaradan darah, salah satunyamaupun kombinasi keduanya dapat
timbulakibat dari cedera toraks(Eckstein & Handerson, 2014; Lugo,,et al.,2015).Secara klinis
penyebab dari trauma toraksbergantung juga pada beberapa faktor, antara lain mekanisme dari
cedera,luas dan lokasi dari cedera, cedera lain yang terkait,dan penyakit-penyakit komorbidyang
mendasari.Pasien -pasien trauma torakscenderung akan memburuk sebagai akibat dari efek pada
fungsi

25respirasinya dan secarasekunder akan berhubungan dengan disfungsi jantung. Pengobatan dari
trauma Toraksbertujuan untuk mengembalikan fungsi kardiorespirasi menjadi
normal,menghentikan perdarahan dan mencegah sepsis(Saaiq,et al.,2010; Eckstein & Handerson,
2014; Lugo,,et al.,2015)Kerusakan anatomi yang terjadi akibat traumatoraksdapat ringan sampai
berat tergantung pada besar kecilnya gaya penyebabterjadinya trauma. Kerusakan anatomi yang ringan
pada dinding toraksberupa fraktur kosta simpel. Sedangkan kerusakan anatomi yang lebih berat
berupa fraktur kosta multipeldengan komplikasi pneumotoraks, hematotoraksdan kontusio
pulmonum. Trauma yang lebih berat menyebakan robekan pembuluh darah besar dan trauma
langsung pada jantung(Saaiq et al.,2010; Lugo,et al.,2015).Akibat kerusakananatomi dindingtoraksdan
organ didalamnya dapat mengganggu fungsi fisiologis dari sistem respirasidan kardiovaskuler.
Gangguansistem respirasidan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat tergantung kerusakan
anatominya. Gangguan faal respirasidapat berupa gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi,dan
gangguan mekanikalat pernafasan. Salah satu penyebab kematian pada trauma toraksadalah
gangguan faal jantung dan pembuluh darah.

11. Patofisiologi Pleura secara anatomis merupakan satu lapis mesoteral, ditunjung oleh
jaringan ikat,pembuluh-pembuluh dara kapiler dan pembuluh getah bening, rongga
pleura dibatasi oleh 2 lapisan tipis sel mesotelial, terdiri atas pleura parietalis yang
melapisi otot-otot dinding dada, tulang dan kartilago, diapragma dan menyusup kedalam
pleura dan tidak sinsitif terhadap nyeri. Rongga pleura individu sehat terisi cairan (10-
20ml) dan berfungsi sebagai pelumas diantara kedua lapisan pleura, (Prince. 2006).
Patogenesis pneumotorak spontan sampai sekarang belum jelas.

Pneumotorak Spontan Primer Pneumotorak spontan primer terjadi karena robeknya suatu
kantong udara dekat pleura viseralis. Penelitian secara petologis membuktikan
bahwa pasien pneumotorak spontan yang parunya dipesersi tampak adanya satu atau dua
ruang berisi udara dalam bentuk blab dan bulla. (Prince. 2006). Bulla merupakan suatu
kantong yang dibatasi sebagian oleh pelura fibrotik yang menebal sebagian oleh jaringan
fibrosa paru sendiri dan sebagian lagi oleh jaraingan paru emfisematus. Blab terbentuk
dari suatu alveoli yang pecah melalui suatu jaringan intertisial kedalam lapisan tipis
pleura viseralis yang kemudian berkumpul dalam bentuk kista. Mekanisme pembentukan
bulla/blab belum jelas , banyak pendapat mengatakan terjadainya kerusakan bagian
apeks paru akibat tekanan pleura lebih negatif. Pada pneumotorak spontan terjadi apabila
dilihat secara patologis dan radiologis terdapat bulla di apeks paru. Observasi
klinik yangdilakukan pada pasien pneumotorak spontan primer ternyata
mendapatkan pneumotorak lebih banyak dijumpai pada pasien pria berbadan kkurus
dan tinggi. Kelainan intrinsik jaringan konetif mempunyai kecenderungan
terbentuknya blab atau bulla yang meningkat, (Prince. 2006). Blab atau bulla yang pecah
masih belum jelas hubungan dengan aktivitas yang berlebihan,karena pada orang-orang
yang tanpa aktivitas (istirahat) juga dapat terjadi pneumotorak. Pecahnya alveoli juga
dikatakan Asuhan Keperawatan Pada..., IMAM AJI SANTOSO, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP,
2015

berhubungan dengan obstruksi check-valve pada saluran napas dapat diakibatkan oleh
beberapa sebab antara lain : infeksi atau infeksi tidak nyata yang menimbulkan suatu
penumpukan mukus dalam bronkial, (Prince. 2006). 2.Pneumotorak Spontan Sekunder
Disebutkann bahwa terjadinya pneumotorak ini adalah akibat pecahnya blab viseralis
atau bulla pneumotorak dan sering berhubungan dengan penyakit paru yang medasarinya.
Patogenesis penumotorak ini umumnya terjadi akibat komplikasi asma, fibrosis kistik,
TB paru, penyakit-penyakit paru infiltra lainnya misalnya pneumotoral supuratif,
penumonia carinci. Pneumotorak spontan sekunder lebih serius keadaanya karena adanya
penyakit yang mendasarinya (Corwin, E. 2006)

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN PNEUMOTORAKS KANAN

Kasus

“ Bapak M datang ke rumah sakit dengan keluhan berupa rasa sakit yang tiba-tiba dan bersifat
unilateral serta diikuti sesak nafas. Umur Bapak M 47 tahun. Keluarga menyatakan bahwa klien
tiba-tiba merasakan sesak ketika membantu istrinya mengepel rumah.”
 PENGKAJIAN

Nama: Tn. M
Umur: 45 tahun
Jenis Kelamin: L
Agama: Islam
Suku/Bangsa: Madura
Bahasa: Indonesia
Pendidikan: SMA
Pekerjaan: Pedagang
Status: Kawin
Alamat: Semeru, Jember
Keluhan Utama
sesak nafas
Riwayat Penyakit Sekarang
Sesak tiba-tiba yang timbul saat beraktivitas dan berkurang saat istirahat.
Upaya yang Telah Dilakukan
• Klien membeli obat yang dijual bebas
• Istirahat dirumah saja
Riwayat Penyakit Dahulu
• Klien pernah mengidap gangguan pernafasanefusi pleura dan telah
dilakukan penyedotan pada paru kanan dengan selang WSD.
• Asma akut

Riwayat Kesehatan Keluarga

Keadaan Lingkungan yang Menimbulkan Penyakit


• Klien tinggal diperkampungan padat penduduk.
• Klien adalah perokok aktif.
• Klien sering bepergian menggunakan motor.
Pola Fungsi Kesehatan
1. Pola persepsi dan tata laksana kesehatan
• Selama masih bisa bekerja, walaupun badanya panas klien tetap
melakukan pekerjaan rutin.
• Merokok 1 pak/hari, lebih banyak minum kopi daripada miinum air putih.
• Kalau sakit sering diobati sendiri.
2. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Sebelum sakit: Klien makan dalam porsi yang banyak, kuantitas lebih penting
dari kualitas, lebih banyakk minum kopi daripada minum air putih.
Setelah sakit: Makan setengah porsi dari biasanya dan mengurangi merokok dan
kopi.
3. Pola Eliminasi
Sebelum sakit: BAB pada pagi hari, kencingnya juga normal.
Setelah sakit: Klien malas untuk BAB karena dada terasa sakit ketika mengejan.
4. Pola Aktivitas dan Kebersihan Diri
Sebelum sakit: bekerja sebagai pedagang di pasar trasisional, mandi 2X sehari,
Toileting, makan dan minum dilakukan mandiri.
Sesudah sakit: Berhenti bekerja, mandi 1X sehari ketika siang hari selebihnya
dilap saja, toileting, makan minum masih dilakukan mandiri.

5. Pola Istirahat Tidur


Sebelum sakit: Sering begadang, dapat tidur dengan nyenyak.
Setelah sakit: tiddak bergadang, sering terbangun jika mulai sesak dan nyeri
didada.
6. Pola Kognisi dan Persepsi Sensori
Klien dapat berbicara dengan lancar, melihatdan memebaca koran, mengikuti
instruksi perawat dengan tepat, dan dapat merasa sesuatu.
7. Pola Konsep Diri
• Gambaran diri: Klien menerima sakitnya dengan pasrah.
• Ideal diri: Klien ingin cepat sembuh agar dapat bekerja seperti biasanya.
• Harga diri: klien merasa bersalah pada keluarga atas sakitnya, karena
sementara waktu tidak bisa menjadi kepala keluarga yang baik.
• Peran diri: klien berusaha agar cepat sembuh dan berharap dapat
melakukannya semula.
• Identitas diri: Klien menyadari bahwa penyakitnya merupakan teguran
dari Allah SWT. Dan berusaha sembuh untuk dapat menjadi kepala keluarga
yang baik.
8. Pola Peran-Berhubungan
Hubungan klien dengan keluarga masih harmonis sepertisaatklien sehat.
9. Pola sekksual dan seksualitas
Akhir-akhir ini klien sering mengalami syeri dada dan sesak ketika berhubungan
suami istri, hubungan seksual lebih dikurangi dari biasanya.
10. Pola Mekanisme Koping
Klien cenderung menyembunyikan penyakitnya hanya beristirahat saja ketika
mulai merasa sakt.
11. Pola Nilai Kepercayaan
Klien tetap melaksanakan ibadah shalat lima waktu, dan menyerahkan hasil
pengobatan kepada Allah SWT.
• Pemeriksaan Fisik
• Inspeksi: dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit, pada waktu
respirasi, bagian yang sakit gerakannnya tertinggal, trakea dan jantung terdorong
ke sisi yang sehat.
• Palpasi: pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar,
Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat. Fremitus suara melemah atau
menghilang pada sisi yang sakit.
• Perkusi: suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak
menggetar batas jantung ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan intrapleura
tinggi
• Auskultasi: Pada bagian yang sakit, suara nafas melemah sampai
menghilang. Suara nafas terdengar amforik bila ada fistel bronkopleura yang
cukup besar pada pneumotoraks terbuka. Suara fokal melemah dan tidak
menggetar serta bronkofoni negatif.
• Pemeriksaan Penunjang
Foto rotngen

 DIAGNOSIS KEPERAWATAN DAN INTERVENSI


1) Pola pernapasan tak efektif b.d penurunan ekspansi paru, gangguan
musculoskeletal, nyeri, ansietas, proses inflamasi.
Ditandai : Dispnea, takipnea
Perubahan kedalaman pernapasan
Penggunaan otot aksesori, pelebaran nasal
Gangguan pengembangan dada
Sianosis, GDA tak normal
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1 X 24 jam bersihan jalan napas
klien efektif.
KH : Menunjukkan pola pernapasan normal / efektif dengan GDA dalam batas
normal.
Bebas sianosis dan hipoksia
• Intervensi :
a. Mengidentifikasikan etiologi / factor pencetus ex : kolaps spontan, trauma,
keganasan.
b. Evaluasi fungsi pernapasan, catat kecepatan / pernapasan sesak, dispnea,
terjadinya sianosis, perubahan tanda vital.
c. Awasi kesesuaian pola pernapasan bila menggunakan ventilasi mekanik, catat
perubahan tekanan udara.
d. Auskultasi bunyi napas
e. Catat pengembangan dada dan posisi trakea
f. Kaji fremitus
g. Kaji pasien adanya area nyeri tekan bila batuk, napas dalam.
h. Pertahankan posisi nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur,
anjurkan pasien untuk duduk sebanyak mungkin.
• Rasional :
a. Pemahaman penyebab kolaps paru perlu untuk pemasangan selang dada yang
tepat.
b. Distres pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat
stres fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syok sehubungan
dengan hipoksia / perdarahan.
c. Kesulitan bernapasn dengan ventilator atau peningkatan jalan napas diduga
memburuknya kondisi atau terjadinya komplikasi (mis. ruptur spontan dari bleb,
terjadinya pneumotoraks)
d. Bunyi napas dapat menurun atau tak ada pada lobus, segmen paru, atau
seluruh area paru (unilateral). Area atelektasis tak ada bunyi napas, dan sebagian
area kolaps paru menurunya bunyinya. Evaluasi juga dilakukan untuk area yang
baik pertukaran gasnya dan memberikan data evaluasi perbaikan pneumotoraks.
e. Pengembangan dada sama dengan ekspansi paru. Deviasi trakea dari area sisi
yang sakit pada tegangan pneumotoraks.
f. Suara dan taktil fremitus (vibrasi) menurun pada jaringan yang terisi cairan /
konsolidasi.
g. Sokongan terhadap dada dan otot abdominal membuat batuk lebih efektif /
mengurangi trauma.
h. Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi
pada sisi yang sakit.
2) Bersihan jalan napas tak efektif b.d peningkatan produksi sekresi kental
Ditandai : Pernyataan kesulitan bernapas
Perubahan kedalaman/kecepatan pernapasan, penggunaan otot aksesori
Bunyi napas tak normal, mis., mengi, ronki, krekels
Batuk (menetap), dengan/tanpa produksi sputum.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1X24 jam klien menunjukan
bersihan jalan napas.
KH : Mempertahankan jalan napas pasien dengan bunyi napas bersih/ jelas
Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas, mis., batuk
efektif dan mengeluarkan sekret.
Intervensi :
1. Auskultasi bunyi napas. Catat adanya bunyi napas, mis., mengi, krekles, ronki.
2. Kaji / pantau frekuensi pernapasan. Catat rasio inspirasi / ekspirasi
3. Catat adanya dispnea, gelisah, ansietas, distres pernapasan, penggunaan otot
bantu
4. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, mis., peninggian kepala tempat tidur,
duduk pada sandaran tempat tidur.
5. Pertahankan polusi lingkungan minimum, mis., debu, asap, dan bulu bantal
yang berhubungan dengan kondisi individu.
6. Dorong / bantu latihan napas abdomen atau bibir.
7. Berikan obat sesuai indikasi
Bronkodilator, mis., β-agonis : epinefrin (Adrenalin, Vaponefrin); albuterol
(Proventil, Ventolin); terbutalin (Brethine, Brethaire); isotetarin (Brokosol,
Bronkometer); Xantin, mis., aminofilin, oxitrifilin (Choledyl); teofilin
(Bronkodyl, Theo-Dur)
8. Berikan fisioterapi dada
Rasional :
1. Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan napas dan
dapat/tak dimanifestasikan adanya bunyi napas adventisius, mis., penyebaran,
krekles basah (bronkitis); bunyi napas redup dengan ekspirasi mengi (emfisema);
atau tak adanya bunyi napas (asma berat).
2. Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada
penerimaan atau selama stres / adanya proses infeksi memanjang dibanding
inspirasi
3. Disfungsi pernapasan adalah variabel yang tergantung pada tahap proses
kronis selain proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit, mis.,
infeksi, reaksi alergi.
4. Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernapasan dengan
menggunakan gravitasi. Namun, pasien dengan distres berat akan mencari posisi
yang paling mudah untuk bernapas.
5. Pencetus tipe reaksi alergi pernapasan yang dapat mentriger episode akut
6. Memberikan pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol dispnea
dan menurunkan jebakan udara
7. Merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti lokal, menurunkan spasme
jalan napas, mengi, dan produksi mukosa. Obat-obat mungkin per oral, injeksi,
atau inhalasi.
8. Drainase postural dan perkusi bagian penting untuk membuang banyaknya
sekret kental dan memperbaiki ventilasi pada segmen dasara paru.
3) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d produksi sputum
Ditandai : Penurunan berat badan
Kehilangan massa otot, tonus otot buruk
Kelemahan
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan 3X24 jam klien menunjukan
peningkatan nutrisi yang adekuat
KH : Menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat
Menunjukkan perilaku/ perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan atau
mempertahankan berat yang tepat
Intervensi :
1. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makan.
Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
2. Auskultasi bunyi usus
3. Dorong periode istirahat semalam 1 jam sebelum dan sesudah makan. Berikan
makan porsi kecil tapi sering
Rasional :
1. Pasien distres pernapasan akut sering anoreksia karena dispnea, produksi
sputum, dan obat.
2. Penurunan bising usus menunjukkan penurunan motilitas gaster dan konstipasi
(komplikasi umum) yang berhubungan dengan pembatasan pemasukan cairan,
pilihan makanan buruk, penurunan aktivitas, dan hipoksemia.
3. Membantu menurunkan kelemahan selama waktu makan dan memberikan
kesempatan untuk meningkatkan masukan kalori total.
4) Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan b.d kurang terpajan
pada informasi.
Ditandai : kurang terpajang pada informasi
Mengekspresikan masalah, meminta informasi,
Berulangnya masalah
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1X24 jam klien dan keluarga
dapat mengerti tentang kondisi kesehatan klien.
KH : Menyatakan pemahaman penyebab masalah (bila tahu)
Mengidentifikasikan tanda / gejala yang memerlukan evaluasi medik
Mengikuti program pengobatan dan menunjukkan perubahan pola hidup yang
perlu untuk mencegah terulangnya masalah
• Intervensi :
a. Kaji patologi masalah individu
b. Identifikasikasi kemungkinan kambuh / komplikasi jangka panjang.
c. Kaji ulang praktik kesehatan yang baik ex. Nutrisi baik, istirahat, latihan.
d. Kaji ulang tanda / gejala yang memerlukan evaluasi medik cepat, contoh nyeri
dada tiba-tiba, dispnea, distres pernapasan lanjut.
• Rasional :
a. Informasi menurunkan takut karena ketidaktauan. Memberikan pengetahuan
dasar untuk pemahaman kondisi dinamik dan pentingnya intervensi terapeutik.
b. Penyakit paru yang ada seperti PPOM berat dan keganasan dapat
meningkatkan insiden kambuh. Selain itu pasien sehat yang menderita
pneumotoraks spontan, insiden kambuh 10 %- 50 %.
c. Mempertahankan kesehatan umum meningkatkan penyembuhan dan dapat
mencegah kekambuhan.
d. Berulangnya pneumotoraks memerlukan intervensi medik untuk mencegah /
menurunkan potensial komplikasi.
 PELAKSANAAN

No. Diagnosis Tindakan Paraf


1 a. Mengidentifikasikan etiologi / factor pencetus ex : kolaps spontan,
trauma, keganasan.
b. Evaluasi fungsi pernapasan, catat kecepatan / pernapasan sesak, dispnea,
terjadinya sianosis, perubahan tanda vital.
c. Awasi kesesuaian pola pernapasan bila menggunakan ventilasi mekanik, catat
perubahan tekanan udara.
d. Auskultasi bunyi napas
e. Catat pengembangan dada dan posisi trakea
f. Kaji fremitus
g. Kaji pasien adanya area nyeri tekan bila batuk, napas dalam.
h. Pertahankan posisi nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur,
anjurkan pasien untuk duduk sebanyak mungkin.

2 1. Auskultasi bunyi napas. Catat adanya bunyi napas, mis., mengi, krekles,
ronki.
2. Kaji / pantau frekuensi pernapasan. Catat rasio inspirasi / ekspirasi
3. Catat adanya dispnea, gelisah, ansietas, distres pernapasan, penggunaan otot
bantu
4. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, mis., peninggian kepala tempat tidur,
duduk pada sandaran tempat tidur.
5. Pertahankan polusi lingkungan minimum, mis., debu, asap, dan bulu bantal
yang berhubungan dengan kondisi individu.
6. Dorong / bantu latihan napas abdomen atau bibir.
7. Berikan obat sesuai indikasi
Bronkodilator, mis., β-agonis : epinefrin (Adrenalin, Vaponefrin); albuterol
(Proventil, Ventolin); terbutalin (Brethine, Brethaire); isotetarin (Brokosol,
Bronkometer); Xantin, mis., aminofilin, oxitrifilin (Choledyl); teofilin
(Bronkodyl, Theo-Dur)
8. Berikan fisioterapi dada

3 1. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan
makan. Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
2. Auskultasi bunyi usus
3. Dorong periode istirahat semalam 1 jam sebelum dan sesudah makan. Berikan
makan porsi kecil tapi sering

4 a. Kaji patologi masalah individu


b. Identifikasikasi kemungkinan kambuh / komplikasi jangka panjang.
c. Kaji ulang praktik kesehatan yang baik ex. Nutrisi baik, istirahat, latihan.
d. Kaji ulang tanda / gejala yang memerlukan evaluasi medik cepat, contoh nyeri
dada tiba-tiba, dispnea, distres pernapasan lanjut.

 EVALUASI
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan Pneumotoraks adalah :
a. Pola pernafasan efektif.
b. Nafsu makan bertambah
c. Nyeri berkurang
d. Pasien dapat menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
e. Infeksi tidak terjadi.
f. Pengetahuan klien bertambah

12 Jelaskan patofisiologi dari trauma abdomen serta contoh kasus dan asuhan
keperawatannya

PATOFISIOLOGI TRAUMA ABDOMEN

Trauma abdomen disebabkan oleh 2 mekanisme yang merusak, yaitu :


1.Trauma tumpul

Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka pada
abdomen bisa disebabkan oleh jatuh, kekerasan fisik atau pukulan, kecelakaan kendaraan
bermotor, cedera akibat berolahraga, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi/sabuk
pengaman. Lebih dari 50% disebabkan oleh kecelakaan.

2.Trauma tembus

Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka tembus
pada abdomen disebabkan oleh tusukan benda tajam atau luka tembak. Berdasarkan organ
yang terkena trauma abdomen dibagi 2, yaitu :

•Trauma pada organ padat seperti hepar, limpa/lien, dengan gejala utama perdarahan.

•Trauma pada organ padat berongga seperti usus, saluran empedu dengan gejala utama
adalah peritonitis.

ASKEP TRAUMA ABDOMEN

ASUHAN KEPERAWATAN BERDASARKAN KASUS

3.1 Pengkajian

Identitas Klien

Nama : Tn. P

Umur : 65 tahun

Pendidikan : SD

Pekerjaan : Wiraswasta

Agama : -

Alamat : Terusan Sigura-gura Blok E60 Kota Malang

Tangga&Jam Pengkajian : 24 Februari 2021 & 12.31 WIB

B. Identitas Penanggung Jawab


Nama : Tn. W

Umur : 41 tahun

Alamat : Terusan Sigura-gura Blok E60 Kota Malang

Hubungan dengan klien : Anak

Riwayat Penyakit

. Keluhan Utama

Sakit pada perut sebelah kanan.

2. Riwayat Penyakit Sekarang

± 2 jam yang lalu sebelum masuk rumah sakit, ketika sedang mengendarai sepeda motor,
klien mengalami kecelakaan. Sepeda motor klien menabrak truk yang ada di depannya. Klien
terjatuh dengan posisi dada dan perut kanan membentur aspal. Setelah kejadian, klien masih
bisa pulang sendiri dengan mengendarai sepeda motornya. Tapi setelah beberapa saat di
rumah, klien merasa perut sebelah kanan ampeg sampai punggung dan terasa sesak nafas.
Oleh keluarga di antar ke IGD Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar Malang.

3. Riwayat Keluarga

Keluarga dan klien mengatakan anggota keluarga tidak ada yang menderita penyakit serupa.

Primary Survay

. Airway

Bebas, tidak ada sumbatan, tidak ada secret

2. Breathing
Klien bernafas secara spontan. Klien menggunakan O2 2 l/menitR : 26x/menit, pernafasan
reguler

3. Circulasi

TD : 120/80 mmHg

N : 90x/menit Capillary reffil : 3 detik

Disability

GCS : E4M5V6 Kesadaran : Compos Mentis Exposure

Terdapat luka lecet ,jejas dan hematoma pada abdomen sebelah kanan

Secondary Survay AMPLE

Alergi: Klien dan keluarga mengatakan klien tidak memiliki alergi, baik makanan
ataupun obat-obatan.

Medicasi: Klien mengatakan sebelum masuk rumah sakit tidak mengkonsumsi obat
apapun.

Pastillnes: Klien sebelumnya pernah di rawat di RS Dr. Saiful Anwar Malang dengan
penyakit paru-paru.

Lastmeal : Klien mengatakan sebelum kecelakaan, klien hanya minum segelas teh.

Environment Klien tinggal di daerah yang padat penduduknya.

Pemeriksaan Fisik Head To Toe

Kepala

Bentuk simetris, rambut dan kulit kepala tampak cukup bersih. Kepala dapat digerakkan
kesegala arah, pupil isokor, sklera tidak ikhterik, konjungtiva tidak anemis. Hidung simetris
tidak ada secret.

Leher

Tidak ada kaku kuduk


Paru

• Inspeksi : bentuk simetris, gerakan antara kanan dan kiri sama

• Palpasi : fremitus vokal kanan dan kiri sama

• Perkusi : sonor

• Auskultasi : vesikuler

Abdomen Inspeksi:

terdapat jejas dan hematoma pada abdomen sebelah kanan

• Auskultasi : peristaltik usus 7x/menit

• Palpasi : tidak ada pembesaran hati

• Perkusi : pekak

• Ekstremitas ;Ekstermitas atas dan bawah tidak ada edema, turgor kulit baik.
Kekuatan otot ektermitas atas dan bawah dalam batas normal.

Pemeriksaan Penunjang

Hasil laboratorium tanggal 15 -10-2009

2. Hemoglobin : 14,5 g/dl (n : 14-17,5 g/dl)

3. Eritrosit : 5,05 106/ul (n : 4,5-5,9 106/ul)

4. Leukosit : 12,1 103/ul (n : 4,0-11,3 103/ul)

5. Hematokrit : 43,8% (n : 40-52%)

6. Trombosit : 204

7. Gol darah :O

8. HBSAG :-

3.2 Analisa Data


NO Data Etiologi Masalah

1 DS :

Klien mengatakan tidak nyaman ketika bernapas

Klien mengatakan perut sebelah kanan terasa kembung

Klien dan keluarga mengatakan cemas akan kondisinya saat ini

DO :

RR : 26x/menit

Ritme pernafasan irregule

Kecelakaan motor

Cedera intra abdomen

Perdarahan tertutup

Dalam waktu lama menyebabkan kdar Hb turun

Proses pengikatan oksigen di paru tidak maksimal

Respon paru-paru bernafas lebih cepat

Pola nafas irregular


Ketidakefektifan pola nafas

Pola nafas tidak efektif

2 DS :

Klien mengatakan perut sebelah kanan nyeri

DO :

P :-

Q : skor 7

R : perut sebelah kanan

S : nyeri tumpul

T : terus-menerus

Terdapat jejas pada abdomen sebelah kanan

Kecelakaan motor

Menyebabkan cedera abdomen

Cedera organ intra abdomen

Menyebabkan nyeri

Nyeri terus-menerus


Nyeri akut

Nyeri Akut

3 DS : -

DO :

Akral dingin

Mukosa bibir kering

Wajah tampak pucat

Terdapat luka lecet pada perut kanan

Terdapat jejas dan hematoma pada abdomen sebelah kanan

Ht :36%

Leukosit : 12,1 103/ul

CRT : 3 detik

Kecelakaan motor

Menyebabkan cedera abdomen

Perdarahan tertutup

Penurunan volume darah

Penurunan perfusi perifer

Risiko syok
Resiko Syok

3.3 Diagnosa Keperawatan

A. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru

B. Nyeri berhubungan adanya trauma abdomen atau luka penetrasi abdomen.

C. Resiko syok

3.4 Intervensi Keperawatan

Diagnosa 1

Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan ansietas, nyeri ditandai dengan
pola nafas abnormal

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam pola napas klien
menjadi normal

Kriteria Hasil : Pada evaluasi hasil didapatkan skor 5 pada indikator NOC dengan
penurunan ekspansi paru

NOC: Respiratory Status: Airway Patency

no Indikator 1 2 3 4 5

1 RR 26x/m 12-20x/m

2 Ritme respirasi Ireguler reguler

3 Ansietas Kliien & keluarga cemas Menjadi tidak


cemas

NIC: Respiratory Monitoring

1. Monitor ritme, kedalaman & RR

2. Monitor saturasi oksigen

3. Monitor apabila ada peningkatan ansietas


4. Monitor tanda tanda kelelahan otot diafragma

5. Monitor adanya dipsneu & kondisi yang memperburuk klien

Diagnosa 2

Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik ditandai dengan ekspresi wajah nyeri,
mengekspresikan perilaku

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam nyeri klien


berkurang

Kriteria Hasil : Pada evaluasi hasil didapatkan skor pada indikator NOC

NOC : Pain Level

NO INDIKATOR1 2 3 4 5

1 Pelaporan nyeri Terus menerus (sejak kecelakaan Jarangmelaporkan nyeri

2 Respiratory Rate 26x/m12-20x/m

3 Ekspresi wajah nyeri Skala 8 pada pengukuran nyeri Wong Baker Skala
1-2 pada pengukuran nyeri Wong Baker

4 Tekanan darah 130/80 mmHg

Intervensi (NIC):

Pain Management

1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, durasi,


frekuensi, kualitas dan factor resipitasi

2. Monitor TTV

3. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan

4. Control lingkungan yang dapat menpengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan
dan kebisingan

5. Kurangi faktor presipitasi yg meningkatkan nyeri


6. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi

7. Berikan analgesic untuk mengurangi nyeri

8. Evaluasi keefektifan control nyeri

9. Tingkatkan istirahat

10. Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil

Administrasi analgetik:

1. Cek program pemberian analogetik; jenis, dosis, dan frekuensi.

2. Cek riwayat alergi.

3. Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal.

4. Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian analgetik.

5. Berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri muncul

Diagnosa 3

Resiko Syok

Masalah keperawatan: Risiko syok hipovolemik

Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan pasien tidak mengalami syok
hipovolemik.

NOC “Shock severity: Hypovolemic “

Indikator 1 2 3 4 5

• Peningkatan RR26x/m12-20x/m

• CRT 3 s 1-2 S

• Akral Dingin Akral dingin Akral hangat

Intervensi: NIC “Bleeding Reduction: Gastrointestinal”

1. Evaluasi respon psikologis klien terhadap pendarahan


2. Pertahankan patensi airway (bila perlu)

3. Monitor adanya tanda dan gejala adanya perdarahan tertutup dan persistent

4. Monitor adanya tanda dari syok hipovolemik

5. Minta pasien dan/atau keluarga untuk mempersiapkan replacement darah

NIC: Bleeding Precautions

1. Monitor perdarahan pasien (perdarahan dalam) hematoma

2. Catat kadar Hb dan HCT sebelum dan setelah kehilangan darah

3. Monitor TD pasien

4. Kolaborasi terkait pemberian obat (antacid) jika diperlukan

5. Bombing keluarga dan pasien untuk memberitahu perawat jika ada tanda dan gejala
perburukan pendarahan.

3.5 Tindakan resusitasi

A. Airway

Pasien merasa sesak dan tidak enak pada waktu bernafas

B. Breathing

Klien bernafas secara spontan. Klien menggunakan O2 2 l/menit

R : 26x/menit, pernafasan reguler

C. Circulation

TD : 120/80 mmHg

N : 90x/menit

Capillary reffil : 3 detik

No Tindakan resusitasi keterangan

1. Kaji pola napas klien Klien bernafas secara spontan


R : 26x/menit, pernafasan reguler

2. Posisikan klien semifowler Dengan posisi ini ekspansi paru maksimal sehingga
memudahkan pernapasan

3. Beri nasal kanul 4 liter/menit

4. Monitor TTV TD : 130/80 mmHg

N : 90x/menit

Airway

Menilai jalan nafas bebas. Apakah pasien dapat bicara dan bernafas dengan bebas?

Jika ada obstruksi maka lakukan:

 Chin lift / jaw thrust (lidah itu bertaut pada rahang bawah)

 Suction / hisap (jika alat tersedia)

 Guedel airway / nasopharyngeal airway

 Intubasi trakhea dengan leher di tahan (imobilisasi) pada posisi netral

Breathing

Menilai pernafasan cukup. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas.

Jika pernafasan tidak memadai maka lakukan:

 Dekompresi rongga pleura (pneumotoraks)

 Tutuplah jika ada luka robek pada dinding dada

 Pernafasan buatan Berikan oksigen jika ada

Penilaian ulang ABC harus dilakukan lagi jika kondisi pasien tidak stabil

Sirkulasi
Menilai sirkulasi / peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas dan
pernafasan cukup. Jika sirkulasi tidak memadai maka lakukan:

 Hentikan perdarahan eksternal

 Segera pasang dua jalur infus dengan jarum besar (14 - 16 G)

 Berikan infus cairan

Disability

Menilai kesadaran dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya respons terhadap nyeri atau
sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur Glasgow Coma Scale

 AWAKE = A

 RESPONS BICARA (verbal) = V

 RESPONS NYERI = P

 TAK ADA RESPONS = U

Cara ini cukup jelas dan cepat.

3.6 Implementasi

Nama pasien: Tn.P

No Tanggal/jam No dx Implementasi

1 5 juni 2016/14.15 1 o Mengkaji pola nafas klien

o Memposisikan klien semi fowler

o Memberikan nasal kanul 4L/menit

2 5 juni 2016/14.15 3 o Evaluasi respon psikologis klien terhadap


pendarahan

o Pertahankan patensi airway (bila perlu)


o Monitor adanya tanda dan gejala adanya perdarahan tertutup dan persistent

o Monitor adanya tanda dari syok hipovolemik

3 5 juni 2016/14.30 2 o Mengkaji tingkat nyeri

o Memberikan injeksi analgesik

o Mengajarkan nafas dalam bila nyeri timbul

3.7 Discharge planning

Dx 1: Pola nafas tidak efektif

1. Evaluasi kesiapan klien untuk pulang

a. Tidak ada secret di saluran pernafasan

b. RR dalam rentan normal; (12-20 X/Menit)

c. Rencana Perawatan untuk di rumah:

- Keperluan perawatan di rumah dan istirahat disediakan

- Keluarga memiliki dukungan sosial yang dibutuhkan

- Keluarga memahami prosedur monitoring RR

- Keluarga memiliki sumber komunikasi dan akses ke pelayanan kesehatan

2. Instruksi Pemulangan kepada keluarga:

a. Penjelasan tentang kondisi klien saat ini

b. Pemahaman bagaimana memantau tanda tanda distress pernafasan

c. Pemahaman kapan harus menghubungi tenaga kesehatan

Dx 2: Nyeri Akut

1. Evaluasi kesiapan klien untuk pulang

a. Tidak ada secret di saluran pernafasan

b. RR dalam rentan normal; (12-20 X/Menit)


c. Rencana Pengobatan untuk di rumah:

- Keperluan perawatan di rumah dan istirahat disediakan

- Keluarga memiliki dukungan sosial yang dibutuhkan

- Keluarga memahami prosedur monitoring RR

- Keluarga memiliki sumber komunikasi dan akses ke pelayanan kesehatan

2. Instruksi Pemulangan kepada keluarga:

a. Penjelasan tentang kondisi klien saat ini

b. Pemahaman bagaimana memantau tanda tanda distress pernafasan

c. Pemahaman kapan harus menghubungi tenaga kesehatan

Dx 3: Resiko Shock Hipovolemik

1. Evaluasi kesiapan klien untuk pulang

a. Tidak terjadi shock

b. Sirkulasi normal

c. Akral hangat

2. Rencana keperawatan dirumah

a. Keluarga mengerti dan memahami tanda-tanda syok

b. Keluarga mengetahui kapan harus menghubungi pelayanan kesehatan

c. Keluarga memiliki dukungan sosial yang dibutuhkan

3. Instruksi Pemulangan kepada keluarga

a. Penjelasan tentang kondisi klien saat ini

b. Pemahaman bagaimana memantau tanda tanda syok pernafasan

c. Pemahaman kapan harus menghubungi tenaga kesehatan

Anda mungkin juga menyukai