Nim : 2012011
1. Sebutkan, jelaskan dn berikan contoh kasus dari pengakajian primer dan sekunder Triage
2. Sebutkan dan jelaskan prinsip-prinsip Isu end of life menurut NSW Health tahun 2005?
3. Tuliskan perbedaan mati klinis dan biologis?
4. Sebutkan dan jelaskan Isu end of life DNR?
5. Sebutkan dan jelaskan biomekanik dan kinetik dari mekanisme trauma?
6. Sebutkan jenis trauma yang sering terjad?
7. Jelaskan patofisiologi cedera kepala primer dan sekunder?
8. Penilaian Klasifikasi cidera kepala berdasarkan skala Glascow?
9. Jelaskan Asuhan dan diagnosa keperawatan dari EDH, SDH dan perdarahan Sub
arachnoid?
10. Jelaskan patofisiologi trauma dada?
11. Jelaskan patofisiologi pneumotoraks serta asuhan keperawatan nya?
12. Jelaskan patofisiologi dari trauma abdomen serta contoh kasus dan asuhan
keperawatannya?
Jawaban:
b. Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya
pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar
ronchi /aspirasi, whezing, sonor, stidor/ ngorok, ekspansi dinding dada.
c. Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut,
takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan
membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut
d. Disability
Menilai kesadaran dengan cepat,apakah sadar, hanya respon terhadap
nyeri atau atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS.
Adapun cara yang cukup jelasa dan cepat adalah:
Awake :A
Respon bicara :V
Respon nyeri :P
Tidak ada respon :U
e. Eksposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cidera
yang mungkin ada, jika ada kecurigan cedera leher atau tulang belakang,
maka imobilisasi in line harus dikerjakan.
2. Pengkajian Sekunder
Mati klinis ditandai dengan henti nafas dan jantung (sirkulasi) serta berhentinya
aktivitas otak tetapi tidak irreversibel dalam arti masih dapat dilakukan resusitasi jantung
paru dan kemudian dapat diikuti dengan pemulihan semua fungsi. (Soenarjo et al, 2013)
Mati biologis merupakan kelanjutan mati klinis apabila pada saat mati klinis tidak
dilakukan resusitasi jantung paru. Mati biologis berarti tiap organ tubuh secara biologis
akan mati dengan urutan : otak, jantung, ginjal, paru-paru, dan hati. Hal ini disebabkan
karena daya tahan hidup tiap organ berbeda-beda, sehingga kematian seluler pada tiap
akan tetap hidup saat terjadi mati klinis. dapat berfungsi kembali) setelah
mati biologis.
Organ dalam Organ dalam tubuh dapat digunakan Organ dalam tubuh tidak dapat
Pemeriksaan Neurologis
Suhu Tubuh Hipertermia (> 36 C) dan terkadang Hipotermia (< 36oC)
o
ditemui Hipotermia
Kriteria 1) Berhentinya detak jantung 1) Dilatasi bilateral dan fixaxi pupil
bantuan
4) Berhentinya aktivitas
cardiaovaskuler
tindakan dimana dokter menempatkan sebuah instruksi berupa informed concent yang
telah disetujui oleh pasien ataupun keluarga pasien di dalam rekam medis pasien,
yang berfungsi untuk menginformasikan staf medis lain untuk tidak melakukan
resusitasi jantung paru (RJP) atau cardiopulmonary resuscitation (CPR) pada pasien.
Pesan ini berguna untuk mencegah tindakan yang tidak perlu dan tidak diinginkan
yang rendah (Sabatino, 2015). DNR diindikasikan jika seorang dengan penyakit
resuscitation (CPR) ketika jantung atau nafasnya terhenti. Form DNR ditulis oleh
dokter setelah membahas akibat dan manfaat dari CPR dengan pasien atau pembuat
Resuscitate) dengan istilah DNAR (Do Not Attempt Resuscitate) yang artinya adalah
suatu perintah untuk tidak melakukan resusitasi terhadap pasien dengan kondisi
tertentu, atau tidak mencoba usaha resusitasi jika memang tidak perlu dilakukan,
sehingga pasien dapat menghadapi kematian secara alamiah, sedangkan istilah DNR
(Do Not Resuscitate) mengisyaratkan bahwa resusitasi yang dilakukan akan berhasil
tiga prinsip moral yang dapat dikaji oleh perawat, yaitu autonomy, beneficience, dan
perawat berpikir kritis, karena terdapat dua perbedaan nilai terhadap profesionalisme
memberikan pelayanan secara optimal, tetapi disatu sisi terdapat pendapat yang
2. Tahapan DNR
Sebelum menulis form DNR, dokter harus mendiskusikannya dengan pasien
atau seseorang yang berperan sebagai pengambil keputusan dalam keluarga pasien.
Semua hal yang didiskusikan harus didokumentasikan dalam rekam medis, siapa saja
yang mengikuti diskusi, dan yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan, isi
diskusi serta rincian perselisihan apapun dalam diskusi tersebut. Dokter merupakan
harapan keseluruhan dan tujuan bagi pasien. Formulir DNR harus ditandatangani oleh
pasien atau oleh pembuatan keputusahan yang diakui atau dipercaya oleh pasien jika
pasien tidak dapat membuat atau berkomunikasi kepada petugas kesahatan. Pembuat
keputusan yang dipercaya oleh pasien dan diakui secara hukum mewakili pasien
seperti agen perawat kesehatan yang ditetapkan dalam srata kuasa untuk perawatan
kesehatan, konservator, atau pasangan / anggota keluarga lainnya. Dokter dan pasien
mengenai kondisi pasien dan rencana diagnosa DNR. Perawat juga dapat berperan
Perawat sebagai care giver dituntut untuk tetap memberikan perawatan pada pasien
DNR tidak berbeda dengan pasien lain pada umumnya, perawat harus tetap
memberikan pelayanan sesuai dengan advice dan kebutuhan pasien tanpa mengurangi
kualitasnya. End of life care yang perawat lakukan dengan baik diharapkan dapat
memberikan peacefull end of life bagi pasien, seperti yang digambarkan dalam teori
keperawatan peacefull end of life oleh Rulland and Moore yang meliputi terhindar
2015).
pasien/keluarganya dan mereka bebas untuk membuat keputusan (Kozier et al, 2010).
Pemahaman tentang peran perawat sebagai pendukung dan advokasi pasien dapat
bertindak sebagai penghubung dan juru bicara atas nama pasien/keluarganya kepada
tim medis.
Menurut ANA (2004) Perawat sebaiknya memperhatikan dan berperan aktif
diharapkan dapat berkerja sama dengan dokter selaku penanggung jawab masalah
DNAR. Perawat berperan sebagai pemberi edukasi kepada pasien dan keluarga
tentang keputusan yang mereka ambil dan memberikan informasi yang relevan terkait
perannya sebagai advokat bagi pasien dalam memutuskan cara mereka untuk
menghadapi kematian.
penyakit kronis adalah merupakan keputusan yang dipandang sulit bagi dokter dan
perawat, karena ketidakpastian prognosis dan pada saat keluarga menghendaki untuk
tidak lagi dipasang alat pendukung kehidupan. Keputusan sulit tersebut disebabkan
tindakan atau bantuan pada saat kondisi kritis, meskipun dukungan perawat terhadap
keluarga pada proses menjelang kematian adalah sangat penting (Adams, Bailey Jr,
Pasien DNAR pada kondisi penyakit kronis atau terminal dari sisi tindakan
keperawatan tidak akan berbeda dengan pasien pada umumnya, hanya memiliki
makna bahwa jika pasien berhenti bernapas atau henti jantung, tim medis tidak akan
melakukan resusitasi/Resusitasi Jantung Paru (RJP), hal ini sesuai dengan definisi
yang dikemukakan AHA, bahwa jika RJP yang dilakukan tidak memberikan hasil
secara kognitif memiliki komunikasi terapeutik yang dapat dijadikan acuan untuk
edukasi tentang proses tersebut dengan cara-cara yang baik dan tidak menghakimi
yang mereka tetapkan (AHA, 2005 dalam Basbeth dan Sampurna, 2009).
mengandung arti bahwa pasien memilih apa yang menurut mereka terbaik
bantu pendukung kehidupan yang memerlukan biaya cukup besar. Data-data dan
Parsons dan Murphy (1997) dalam Basbeth dan Sampurna (2009) dikatakan
yang diikuti dengan kerusakan otak pasca RJP, menyebabkan kerusakan otak
permanen (brain death), tingkat kerusakan otak berkaitan dengan tindakan RJP
bervariasi antara 10-83%. Tindakan RJP dikatakan tidak merusak jika keuntungan
yang didapatkan lebih besar.Pada etik ini, perawat membantu dokter dalam
mempertimbangkan apakah RJP dapat dilakukan atau tidak terutama pada pasien
dengan angka harapan hidup relatif kecil dan prognosa yang buruk.
5. Dilema Etik
dilema bagi tenaga medis termasuk perawat. Sesuai dengan Peraturan Menteri
ditetapkan berdasarkan klasifikasi setiap pasien di ICU dan HCU yaitu semua
pasien-pasien dengan fungsi otak yang tetap ada atau dengan harapan pemulihan otak,
tetapi mengalami kegagalan jantung, paru atau organ lain, atau dalam tingkat akhir
biasa, pada pasien-pasien yang jika diterapi hanya memperlambat waktu kematian
atau penundaan bantuan hidup.Sedangkan pasien yang masih sadar dan tanpa
harapan, hanya dilakukan tindakan terapeutik/paliatif agar pasien merasa nyaman dan
timbulnya penolakan dari hati nurani perawat terhadap label DNR dan kondisi dilema
itu sendiri. Timbulnya dilema psikis ini juga dapat dipengaruhi oleh masih belum
adekuatnya sumber informasi tentang DNR yang dimiliki oleh perawat.Perawat tidak
dapat terhindar dari perasaan dilema. Merawat pasien setiap hari, melihat
perkembangan kondisi pasien, membuat rencana DNR seperti dua sisi mata uang bagi
perawat, disatu sisi harus menerima bahwa pemberian tindakan CPR sudah tidak lagi
efektif untuk pasien namun di sisi lain muncul perasaan iba dan melihat pasien
seolah-olah keluarganya. Dua hal tersebut dapat menjadikan perawat merasa dilemma
(Amestiasih, 2015). Perasaan empati juga dapat dirasakan oleh perawat karena
DNR.Perasan empati ini dapat disebabkan pula oleh keputusan DNR yang ada dan
tidak adekuatnya sumber informasi DNR yang dimiliki perawat. Perasaan empati
yang muncul juga dapat menjadi dampak dari tingginya intensitas pertemuan antara
9. EDH: Epidural Hematoma (EDH) adalah penumpukan darah di antara tulang tengkorak dengan
duramater, kejadiannya 1-5 % dari seluruh pasien cedera kepala (Ndoumbe, 2016). Tanda gejala EDH
adalah penurunan kesadaran diikuti oleh lucid interval beberapa jam kemudian dan kadang disertai
tanda neurologis fokal (Ndoumbe, 2016). Cedera otak sekunder akibat epidural hematoma diakibatkan
iskemia atau hipoksia. Iskemia memungkinkan terjadinya penurunan ATP sehingga mengakibatkan
kegagalan pompa membran sel. Sel akan mati dan menjadi bengkak (edema sitotoksik).
Diagnosa keperawatan dari EDH
Diagnosis dari epidural hematoma umumnya ditentukan dari wawancara medis yang mendetail,
pemeriksaan fisis secara langsung, dan pemeriksaan penunjang tertentu. Bila dokter mencurigai adanya
epidural hematoma, dapat dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosisnya.
•Pemeriksaan computerized tomography (CT) scan, yang dapat menunjukkan adanya massa padat yang
mendesak struktur otak menjauh dari tulang tengkorak.
•Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI), yang juga ditujukan untuk melihat struktur otak dan
jaringan lunak di kepala.
SDH
Subdural hematoma, sering juga disebut perdarahan otak subdural, adalah kondisi perdarahan yang
terjadi di antara dua lapisan otak, yaitu lapisan arachnoidal dan lapisan dura (meningeal). Perdarahn
tersebut menyebabkan munculnya kumpulan darah yang disebut dengan hematoma. Jika volume
darahnya sangat besar, atau kejadiannya akut (tiba-tiba dan langsung), hal ini dapat menyebabkan
peningkatan tekanan dalam otak.
Tekanan tinggi di dalam otak bisa menyebabkan kerusakan jaringan otak dan membahayakan nyawa jika
tidak cepat ditangani.
Untuk mendiagnosis hematoma subdural, dokter akan melakukan wawancara medis dan pemeriksaan
fisik. Selain itu, dokter juga akan melakukan pemeriksaan penunjang dengan menggunakan CT scan atau
MRI. Pemeriksaan penunjang ini bertujuan untuk memastikan ada-tidaknya darah yang bocor dan
berkumpul di otak pasien.
Pendarahan pada ruang antara otak dan jaringan yang menutupi otak. Perdarahan subarachnoid,
keadaan darurat medis, biasanya dari pembuluh darah menonjol yang memasuki otak (aneurisma). Hal
ini dapat menyebabkan kerusakan otak permanen atau kematian jika tidak segera ditangani. Gejala
utamanya adalah sakit kepala tiba-tiba dan parah. Rawat inap diperlukan untuk penanganan suportif
serta menghentikan pendarahan dan membatasi kerusakan otak. Penanganan dapat berupa operasi
atau terapi berbasis kateter.
Diagnosa keperawatan yang muncul secara teori pada klien ada 3 diagnosa antara lain adalah
a.Perfusi jaringan tidak efektif (spesifik: cerebral) berhubungan dengan penurunan suplai O2 ke otak
akibat pendarahan intracerebral,
b.kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan pada saraf fasialis dan saraf dapat
lengkap dan waktunya hanya sebentar
Utuhnya suatu dinding Toraks sangat diperlukan untuk sebuah ventilasi pernapasan yang normal.
Pengembangan dinding torakske arah luar oleh otot-otot pernapasan diikuti dengan turunnya
diafragma menghasilkan tekanan negatifdari intratoraks. Prosesini menyebabkan masuknya udara
pasif ke paru-paru selama inspirasi.Trauma toraksmempengaruhi strukur-struktur yang berbeda dari
dinding toraksdan rongga toraks.Toraksdibagi kedalam 4 komponen, yaitudinding dada,rongga pleura,
parenkim paru,dan mediastinum. Dalam dinding dada termasuk tulang-tulang dada dan otot-otot
yang terkait.Ronggapleura berada diantara pleura viseral dan parietal dan dapat terisi oleh darah
ataupun udara yang menyertai suatu trauma toraks. Parenkim paru termasuk paru-paru dan jalan
nafas yang berhubungan, dan mungkin dapat mengalami kontusio,laserasi,hematomadan
pneumokel. Mediastinum termasuk jantung, aorta/pembuluh darah besar dari toraks,cabang
trakeobronkial dan esofagus.Secara normal toraksbertanggungjawab untukfungsi vital fisiologi
kardiopulmoner dalam menghantarkan oksigenasi darah untuk metabolismejaringan pada
tubuh.Gangguan pada aliran udaradan darah, salah satunyamaupun kombinasi keduanya dapat
timbulakibat dari cedera toraks(Eckstein & Handerson, 2014; Lugo,,et al.,2015).Secara klinis
penyebab dari trauma toraksbergantung juga pada beberapa faktor, antara lain mekanisme dari
cedera,luas dan lokasi dari cedera, cedera lain yang terkait,dan penyakit-penyakit komorbidyang
mendasari.Pasien -pasien trauma torakscenderung akan memburuk sebagai akibat dari efek pada
fungsi
25respirasinya dan secarasekunder akan berhubungan dengan disfungsi jantung. Pengobatan dari
trauma Toraksbertujuan untuk mengembalikan fungsi kardiorespirasi menjadi
normal,menghentikan perdarahan dan mencegah sepsis(Saaiq,et al.,2010; Eckstein & Handerson,
2014; Lugo,,et al.,2015)Kerusakan anatomi yang terjadi akibat traumatoraksdapat ringan sampai
berat tergantung pada besar kecilnya gaya penyebabterjadinya trauma. Kerusakan anatomi yang ringan
pada dinding toraksberupa fraktur kosta simpel. Sedangkan kerusakan anatomi yang lebih berat
berupa fraktur kosta multipeldengan komplikasi pneumotoraks, hematotoraksdan kontusio
pulmonum. Trauma yang lebih berat menyebakan robekan pembuluh darah besar dan trauma
langsung pada jantung(Saaiq et al.,2010; Lugo,et al.,2015).Akibat kerusakananatomi dindingtoraksdan
organ didalamnya dapat mengganggu fungsi fisiologis dari sistem respirasidan kardiovaskuler.
Gangguansistem respirasidan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat tergantung kerusakan
anatominya. Gangguan faal respirasidapat berupa gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi,dan
gangguan mekanikalat pernafasan. Salah satu penyebab kematian pada trauma toraksadalah
gangguan faal jantung dan pembuluh darah.
11. Patofisiologi Pleura secara anatomis merupakan satu lapis mesoteral, ditunjung oleh
jaringan ikat,pembuluh-pembuluh dara kapiler dan pembuluh getah bening, rongga
pleura dibatasi oleh 2 lapisan tipis sel mesotelial, terdiri atas pleura parietalis yang
melapisi otot-otot dinding dada, tulang dan kartilago, diapragma dan menyusup kedalam
pleura dan tidak sinsitif terhadap nyeri. Rongga pleura individu sehat terisi cairan (10-
20ml) dan berfungsi sebagai pelumas diantara kedua lapisan pleura, (Prince. 2006).
Patogenesis pneumotorak spontan sampai sekarang belum jelas.
Pneumotorak Spontan Primer Pneumotorak spontan primer terjadi karena robeknya suatu
kantong udara dekat pleura viseralis. Penelitian secara petologis membuktikan
bahwa pasien pneumotorak spontan yang parunya dipesersi tampak adanya satu atau dua
ruang berisi udara dalam bentuk blab dan bulla. (Prince. 2006). Bulla merupakan suatu
kantong yang dibatasi sebagian oleh pelura fibrotik yang menebal sebagian oleh jaringan
fibrosa paru sendiri dan sebagian lagi oleh jaraingan paru emfisematus. Blab terbentuk
dari suatu alveoli yang pecah melalui suatu jaringan intertisial kedalam lapisan tipis
pleura viseralis yang kemudian berkumpul dalam bentuk kista. Mekanisme pembentukan
bulla/blab belum jelas , banyak pendapat mengatakan terjadainya kerusakan bagian
apeks paru akibat tekanan pleura lebih negatif. Pada pneumotorak spontan terjadi apabila
dilihat secara patologis dan radiologis terdapat bulla di apeks paru. Observasi
klinik yangdilakukan pada pasien pneumotorak spontan primer ternyata
mendapatkan pneumotorak lebih banyak dijumpai pada pasien pria berbadan kkurus
dan tinggi. Kelainan intrinsik jaringan konetif mempunyai kecenderungan
terbentuknya blab atau bulla yang meningkat, (Prince. 2006). Blab atau bulla yang pecah
masih belum jelas hubungan dengan aktivitas yang berlebihan,karena pada orang-orang
yang tanpa aktivitas (istirahat) juga dapat terjadi pneumotorak. Pecahnya alveoli juga
dikatakan Asuhan Keperawatan Pada..., IMAM AJI SANTOSO, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP,
2015
berhubungan dengan obstruksi check-valve pada saluran napas dapat diakibatkan oleh
beberapa sebab antara lain : infeksi atau infeksi tidak nyata yang menimbulkan suatu
penumpukan mukus dalam bronkial, (Prince. 2006). 2.Pneumotorak Spontan Sekunder
Disebutkann bahwa terjadinya pneumotorak ini adalah akibat pecahnya blab viseralis
atau bulla pneumotorak dan sering berhubungan dengan penyakit paru yang medasarinya.
Patogenesis penumotorak ini umumnya terjadi akibat komplikasi asma, fibrosis kistik,
TB paru, penyakit-penyakit paru infiltra lainnya misalnya pneumotoral supuratif,
penumonia carinci. Pneumotorak spontan sekunder lebih serius keadaanya karena adanya
penyakit yang mendasarinya (Corwin, E. 2006)
Kasus
“ Bapak M datang ke rumah sakit dengan keluhan berupa rasa sakit yang tiba-tiba dan bersifat
unilateral serta diikuti sesak nafas. Umur Bapak M 47 tahun. Keluarga menyatakan bahwa klien
tiba-tiba merasakan sesak ketika membantu istrinya mengepel rumah.”
PENGKAJIAN
Nama: Tn. M
Umur: 45 tahun
Jenis Kelamin: L
Agama: Islam
Suku/Bangsa: Madura
Bahasa: Indonesia
Pendidikan: SMA
Pekerjaan: Pedagang
Status: Kawin
Alamat: Semeru, Jember
Keluhan Utama
sesak nafas
Riwayat Penyakit Sekarang
Sesak tiba-tiba yang timbul saat beraktivitas dan berkurang saat istirahat.
Upaya yang Telah Dilakukan
• Klien membeli obat yang dijual bebas
• Istirahat dirumah saja
Riwayat Penyakit Dahulu
• Klien pernah mengidap gangguan pernafasanefusi pleura dan telah
dilakukan penyedotan pada paru kanan dengan selang WSD.
• Asma akut
2 1. Auskultasi bunyi napas. Catat adanya bunyi napas, mis., mengi, krekles,
ronki.
2. Kaji / pantau frekuensi pernapasan. Catat rasio inspirasi / ekspirasi
3. Catat adanya dispnea, gelisah, ansietas, distres pernapasan, penggunaan otot
bantu
4. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, mis., peninggian kepala tempat tidur,
duduk pada sandaran tempat tidur.
5. Pertahankan polusi lingkungan minimum, mis., debu, asap, dan bulu bantal
yang berhubungan dengan kondisi individu.
6. Dorong / bantu latihan napas abdomen atau bibir.
7. Berikan obat sesuai indikasi
Bronkodilator, mis., β-agonis : epinefrin (Adrenalin, Vaponefrin); albuterol
(Proventil, Ventolin); terbutalin (Brethine, Brethaire); isotetarin (Brokosol,
Bronkometer); Xantin, mis., aminofilin, oxitrifilin (Choledyl); teofilin
(Bronkodyl, Theo-Dur)
8. Berikan fisioterapi dada
3 1. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan
makan. Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
2. Auskultasi bunyi usus
3. Dorong periode istirahat semalam 1 jam sebelum dan sesudah makan. Berikan
makan porsi kecil tapi sering
EVALUASI
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan Pneumotoraks adalah :
a. Pola pernafasan efektif.
b. Nafsu makan bertambah
c. Nyeri berkurang
d. Pasien dapat menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
e. Infeksi tidak terjadi.
f. Pengetahuan klien bertambah
12 Jelaskan patofisiologi dari trauma abdomen serta contoh kasus dan asuhan
keperawatannya
Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka pada
abdomen bisa disebabkan oleh jatuh, kekerasan fisik atau pukulan, kecelakaan kendaraan
bermotor, cedera akibat berolahraga, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi/sabuk
pengaman. Lebih dari 50% disebabkan oleh kecelakaan.
2.Trauma tembus
Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka tembus
pada abdomen disebabkan oleh tusukan benda tajam atau luka tembak. Berdasarkan organ
yang terkena trauma abdomen dibagi 2, yaitu :
•Trauma pada organ padat seperti hepar, limpa/lien, dengan gejala utama perdarahan.
•Trauma pada organ padat berongga seperti usus, saluran empedu dengan gejala utama
adalah peritonitis.
3.1 Pengkajian
Identitas Klien
Nama : Tn. P
Umur : 65 tahun
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : -
Umur : 41 tahun
Riwayat Penyakit
. Keluhan Utama
± 2 jam yang lalu sebelum masuk rumah sakit, ketika sedang mengendarai sepeda motor,
klien mengalami kecelakaan. Sepeda motor klien menabrak truk yang ada di depannya. Klien
terjatuh dengan posisi dada dan perut kanan membentur aspal. Setelah kejadian, klien masih
bisa pulang sendiri dengan mengendarai sepeda motornya. Tapi setelah beberapa saat di
rumah, klien merasa perut sebelah kanan ampeg sampai punggung dan terasa sesak nafas.
Oleh keluarga di antar ke IGD Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar Malang.
3. Riwayat Keluarga
Keluarga dan klien mengatakan anggota keluarga tidak ada yang menderita penyakit serupa.
Primary Survay
. Airway
2. Breathing
Klien bernafas secara spontan. Klien menggunakan O2 2 l/menitR : 26x/menit, pernafasan
reguler
3. Circulasi
TD : 120/80 mmHg
Disability
Terdapat luka lecet ,jejas dan hematoma pada abdomen sebelah kanan
Alergi: Klien dan keluarga mengatakan klien tidak memiliki alergi, baik makanan
ataupun obat-obatan.
Medicasi: Klien mengatakan sebelum masuk rumah sakit tidak mengkonsumsi obat
apapun.
Pastillnes: Klien sebelumnya pernah di rawat di RS Dr. Saiful Anwar Malang dengan
penyakit paru-paru.
Lastmeal : Klien mengatakan sebelum kecelakaan, klien hanya minum segelas teh.
Kepala
Bentuk simetris, rambut dan kulit kepala tampak cukup bersih. Kepala dapat digerakkan
kesegala arah, pupil isokor, sklera tidak ikhterik, konjungtiva tidak anemis. Hidung simetris
tidak ada secret.
Leher
• Perkusi : sonor
• Auskultasi : vesikuler
Abdomen Inspeksi:
• Perkusi : pekak
• Ekstremitas ;Ekstermitas atas dan bawah tidak ada edema, turgor kulit baik.
Kekuatan otot ektermitas atas dan bawah dalam batas normal.
Pemeriksaan Penunjang
6. Trombosit : 204
7. Gol darah :O
8. HBSAG :-
1 DS :
DO :
RR : 26x/menit
Kecelakaan motor
Perdarahan tertutup
2 DS :
DO :
P :-
Q : skor 7
S : nyeri tumpul
T : terus-menerus
Kecelakaan motor
Menyebabkan nyeri
Nyeri terus-menerus
↓
Nyeri akut
Nyeri Akut
3 DS : -
DO :
Akral dingin
Ht :36%
CRT : 3 detik
Kecelakaan motor
Perdarahan tertutup
Risiko syok
Resiko Syok
C. Resiko syok
Diagnosa 1
Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan ansietas, nyeri ditandai dengan
pola nafas abnormal
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam pola napas klien
menjadi normal
Kriteria Hasil : Pada evaluasi hasil didapatkan skor 5 pada indikator NOC dengan
penurunan ekspansi paru
no Indikator 1 2 3 4 5
1 RR 26x/m 12-20x/m
Diagnosa 2
Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik ditandai dengan ekspresi wajah nyeri,
mengekspresikan perilaku
Kriteria Hasil : Pada evaluasi hasil didapatkan skor pada indikator NOC
NO INDIKATOR1 2 3 4 5
3 Ekspresi wajah nyeri Skala 8 pada pengukuran nyeri Wong Baker Skala
1-2 pada pengukuran nyeri Wong Baker
Intervensi (NIC):
Pain Management
2. Monitor TTV
4. Control lingkungan yang dapat menpengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan
dan kebisingan
9. Tingkatkan istirahat
10. Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
Administrasi analgetik:
Diagnosa 3
Resiko Syok
Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan pasien tidak mengalami syok
hipovolemik.
Indikator 1 2 3 4 5
• Peningkatan RR26x/m12-20x/m
• CRT 3 s 1-2 S
3. Monitor adanya tanda dan gejala adanya perdarahan tertutup dan persistent
3. Monitor TD pasien
5. Bombing keluarga dan pasien untuk memberitahu perawat jika ada tanda dan gejala
perburukan pendarahan.
A. Airway
B. Breathing
C. Circulation
TD : 120/80 mmHg
N : 90x/menit
2. Posisikan klien semifowler Dengan posisi ini ekspansi paru maksimal sehingga
memudahkan pernapasan
N : 90x/menit
Airway
Menilai jalan nafas bebas. Apakah pasien dapat bicara dan bernafas dengan bebas?
Chin lift / jaw thrust (lidah itu bertaut pada rahang bawah)
Breathing
Menilai pernafasan cukup. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas.
Penilaian ulang ABC harus dilakukan lagi jika kondisi pasien tidak stabil
Sirkulasi
Menilai sirkulasi / peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas dan
pernafasan cukup. Jika sirkulasi tidak memadai maka lakukan:
Disability
Menilai kesadaran dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya respons terhadap nyeri atau
sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur Glasgow Coma Scale
AWAKE = A
RESPONS NYERI = P
3.6 Implementasi
No Tanggal/jam No dx Implementasi
Dx 2: Nyeri Akut
b. Sirkulasi normal
c. Akral hangat