Anda di halaman 1dari 44

REFERAT TAHAP I

RECOVERY SCHIZOPHRENIA

Penyaji :

dr. Putu Anastasia Kharisma M.

NIM : 1871052003

Pembimbing :

dr. Ni Ketut Putri Ariani, SpKJ(K)

PROGRAM STUDI SPESIALIS PSIKIATRI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmatNya

Referat Tahap I ini bisa diselesaikan. Tugas ini disusun untuk memenuhi salah

satu tugas di ruangan Tahap I oleh residen Program Pendidikan Dokter Spesialis I

Psikiatri FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar dan juga sebagai suatu upaya untuk

terus mencari dan menambah ilmu pengetahuan yang kiranya dapat memberi

manfaat bagi penulis sendiri maupun para pembaca lainnya.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. dr. Ni Ketut Putri Ariani, SpKJ(K) selaku Kepala Departemen/ KSM

Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah

sekaligus sebagai dosen pembimbing dalam penyusunan Referat Tahap I

ini yang telah membimbing dengan penuh kesabaran dan telah

meluangkan waktu untuk memberikan masukan-masukan dalam Referat

Tahap I ini. .

2. dr. Luh Nyoman Alit Aryani, SpKJ(K) selaku Koordinator Program Studi

Psikiatri Fakultas Kedokteran UNUD/RSUP Sanglah.

3. Seluruh staf pengajar Departemen/KSM Psikiatri FK UNUD/RSUP

Sanglah yang sudah memberikan dukungan baik berupa ide, bahan

referensi, dan dorongan semangat dalam Referat Tahap I.

4. Rekan-rekan Residen dan semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu

persatu atas bantuan dan dukungan dalam penyusunan Referat Tahap I ini.

ii
5. Keluarga, suami beserta anak-anak atas dukungan dan doa nya sehingga

bisa sampai di tahap ini.

Akhir kata penulis menyadari bahwa Referat Tahap I ini jauh dari

sempurna sehingga memerlukan bimbingan, kritik dan saran dari para senior

maupun teman teman residen lainnya. Atas masukannya penulis mengucapkan

banyak terima kasih.

Hormat saya,

dr. Putu Anastasia Kharisma M.

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i

DAFTAR ISI................................................................................................................iv

DAFTAR TABEL.........................................................................................................v

DAFTAR SINGKATAN..............................................................................................vi

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1

1.1. Latar Belakang................................................................................................1

1.2. Batasan Pembahasan.......................................................................................2

1.3. Tujuan dan Manfaat........................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................4

2.1. Definisi Skizofrenia........................................................................................4

2.2. Epidemiologi Skizofrenia...............................................................................6

2.3. Etiopatalogi Skizofrenia.................................................................................8

2.4. Gambaran Klinis dan Diagnosis...................................................................13

2.5. Klasifikasi Skizofrenia..................................................................................15

2.6. Managemen Skizofrenia...............................................................................17

2.7 Recovery Skizofrenia....................................................................................22

BAB III RINGKASAN...............................................................................................33

iv
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR TABEL

v
DAFTAR SINGKATAN

WHO : World Health Organization

DSM IV : Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders

YLD : Years of life lost to disability

GABA : Gamma Amino Butyric Acid

NMDA : N-methylD-aspartate

NMDAR : N-methylD-aspartate receptor

vi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

World Health Organization (WHO) memasukkan skizofrenia sebagai

salah satu dari sepuluh penyakit yang berkontribusi pada beban penyakit global

[ CITATION Aya16 \l 1033 ] . Dalam data terbaru tahun 2017, skizofrenia memang

tidak tercantum dalam rangking tinggi sebagai penyebab beban penyakit, namun

tetap dinilai sebagai salah satu penyakit di bidang kejiwaan yang menimbulkan

beban ekonomi [ CITATION Col18 \l 1033 ].

Skizofrenia terjadi sekitar pada 1% populasi dunia [ CITATION Mar19 \l 1033

]. Prevalensi gangguan mental berat di Indonesia adalah 0,17% [ CITATION Kem13 \l

1033 ]. Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 menunjukkan prevalensi gangguan jiwa

di Indonesia sebesar 1,8 per 1000 penduduk dengan 95% CI=0,17-0,19.

Prevalensi gangguan psikosis lebih tinggi di perdesaan dibandingkan di perkotaan

(p=0,099). Provinsi dengan prevalensi gangguan psikotik yang tinggi adalah

Provinsi DI Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi

Selatan. Prevalensi psikosis di Provisi Bali yaitu 3,0 per 1000 penduduk

[ CITATION Idi19 \l 1033 ].

Onset gejala skizofrenia laki-laki terjadi lebih awal dibandingkan wanita.

Pria cenderung mengalami episode skizofrenia pertama diawal usia 20-an,

sedangkan wanita pada usia akhir 20-an atau awal 30-an dan manifestasi klinis

skizofrenia pada wanita lebih ringan [ CITATION Pat \l 1033 \m Aya16] . Onset awal

1
2

skizofrenia berkorelasi dengan hasil yang lebih buruk, meskipun intervensi awal

berkorelasi dengan hasil yang lebih baik [CITATION Cal19 \l 1033 ]. Skizofrenia

yang muncul di usia muda dan perjalanan klinisnya yang kronis tersebut dapat

melumpuhkan pasien dan keluarga yang menyebabkan beban kesehatan.

Konsep recovery skizofrenia adalah secara simultan memenuhi kriteria

remisi dan fungsi sosial yang memadai (remisi fungsional) [ CITATION Pri13 \l

1033 ]. Recovery merupakan sebuah proses, bukan pada titik akhir. Recovery tidak

hanya berfokus pada pengurangan atau mengatasi gejala namun juga fokus pada

bagaimana cara penurunan tingkat rehospitalisasi dan mampu melakukan tugas

kembali seperti semula. Recovery merupakan suatu perubahan dimana seseorang

meningkat kesehatan dan kesejahteraannya, hidup sesuai dengan arah kehidupan

yang dipilihnya, dan berjuang mencapai tujuan hidup sesuai dengan seluruh

kemampuan yang dipunyainya (Substance Abuse and Mental Health Service

Administrasion (SAMHSA), 2020). Kriteria durasi recovery yang disarankan

yaitu setidaknya dalam periode dua tahun gejala skizofrenik dapat hadir hanya

dalam intensitas minimal dan hal tersebut tidak dapat dibedakan dari individu

sehat [ CITATION Pri13 \l 1033 ].

1.2. Batasan Pembahasan

Referat Tahap I ini membahas tentang epidemiologi skizofrenia,

etiopatofisiologi skizofrenia, klasifikasi serta konsep recovery pada skizofrenia.


3

1.3. Tujuan dan Manfaat

Penulisan Referat Tahap I ini bertujuan untuk memberikan gambaran

mengenai skizofrenia, epidemiologi skizofrenia, etiopatofisiologi skizofrenia,

klasifikasi serta konsep recovery pada skizofrenia.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Skizofrenia adalah sindrom kejiwaan yang ditandai dengan gejala psikotik

berupa halusinasi, delusi, dan bicara yang tidak terkendali (disorganized speech),

gejala negatif berupa afek tumpul dan motivasi menurun, disertai defisit kognitif

yang melibatkan gangguan fungsi eksekutif, memori, dan kecepatan pemrosesan

mental [ CITATION Mar19 \l 1033 ] . Gejala utama skizofrenia adalah psikosis seperti

mengalami halusinasi pendengaran (suara) dan delusi (waham). Bisa dikatakan

skizofrenia adalah gangguan kejiwaan yang paling parah[ CITATION Aya16 \l 1033 ].

Skizofrenia menjadi beban penyakit cukup tinggi yang bisa melumpuhkan

ekonomi, World Health Organization (WHO) memasukkan skizofrenia sebagai

salah satu dari sepuluh penyakit yang berkontribusi pada beban penyakit global

[ CITATION Aya16 \l 1033 ] . Beban ekonomi kesehatan dihitung menggunakan years

of life lost to disability (YLD). Pada tahun 2017, skizofrenia tidak tercantum

dalam rangking yang tinggi sebagai penyebab beban penyakit, namun tetap dinilai

sebagai salah satu penyakit di bidang kejiwaan yang menimbulkan beban ekonomi

[ CITATION Col18 \l 1033 ].

Skizofrenia merupakan salah satu spektrum klinis sindroma psikosis

bersama dengan psikotik akut, gangguan skizoafektif, schizophreniform,

gangguan waham, psikotik yang diinduksi zat, psikotik sekunder akibat kondisi

medis umum, katatonia terkait dengan kondisi medis umum, dan gangguan

4
5

psikotik yang tidak dapat ditentukan [ CITATION Car13 \l 1033 ]. Skizofrenia

dibedakan terutama berdasarkan durasi sindrom psikotik yaitu onset klinis yang

≥6 bulan[ CITATION Lie18 \l 1033 ]. Gejala skizofrenia muncul di usia muda dan

perjalanan klinis yang kronis menjadi suatu gangguan yang melumpuhkan pasien

dan keluarga. Disabilitas ditimbulkan gejala negatif dan gejala kognitif (gangguan

perhatian, memori kerja dan fungsi eksekutif). Kekambuhan juga sering terjadi

akibat gejala positif seperti curiga, delusi, dan halusinasi [CITATION Pat \l 1033 ].

Penegakan diagnosis skizofrenia sulit karena tidak ada gejala tunggal

yang unik untuk skizofrenia dan tidak ada tes darah definitif atau pemeriksaan

penunjang imaging definitif untuk gangguan ini. Penegakan diagnosis didasarkan

pada konstelasi gejala selama setidaknya 6 bulan, penurunan fungsi orang dengan

gejala, serta 'mengeksklusi' penyebab lain yang menunjukkan gejala serupa

[ CITATION Aya16 \l 1033 ] . Terdapat enam kriteria untuk menentukan diagnosis

skizofrenia [ CITATION APA13 \l 1033 ].

Konsep recovery skizofrenia adalah secara simultan memenuhi kriteria

remisi dan fungsi sosial yang memadai (remisi fungsional)[ CITATION Pri13 \l

1033 ]. Recovery merupakan sebuah proses, bukan pada titik akhir. Recovery tidak

hanya berfokus pada pengurangan atau mengatasi gejala namun juga fokus pada

bagaimana cara penurunan tingkat rehospitalisasi dan mampu melakukan tugas

kembali seperti semula. Kriteria durasi recovery yang disarankan yaitu setidaknya

dalam periode dua tahun gejala skizofrenik dapat hadir hanya dalam intensitas

minimal dan hal tersebut tidak dapat dibedakan dari individu sehat. Insiden
6

recovery skizofrenia berkisar sekitar 4% dan 20% dan terkait erat dengan ketatnya

kriteria yang dipilih [ CITATION Pri13 \l 1033 ].

2.2 Epidemiologi

Skizofrenia mempengaruhi hampir 1% dari populasi dunia dan kedalam 10

penyebab global utama kecacatan. Terdapat variasi luas dalam kemampuan

seseorang dengan skizofrenia untuk menjalan fungsi sehari-hari, beberapa

menunjukkan disabilitas berat dan yang lain mampu menjalankan fungsi dengan

baik [ CITATION Mar19 \l 1033 ]. Dalam review sistematik oleh Saha et al, 2012

(dalam Ayano, 2016) dari 188 penelitian yang diambil dari 46 negara ditemukan

bahwa risiko seumur hidup skizofrenia adalah 4,0 per 1000 populasi, dimana

estimasi prevalensi negara-negara yang dianggap paling tidak berkembang jauh

lebih rendah daripada negara-negara yang digolongkan sebagai negara

berkembang atau maju.

Prevalensi penyakit mental berat di Indonesia adalah 0,17% [ CITATION

Kem13 \l 1033 ]. Di Indonesia, 14,3% rumah tangga memiliki pasien dengan

gangguan mental, dan sebagian besar berada di daerah pedesaan. Di Provinsi Jawa

Barat, prevalensi gangguan mental berat adalah 0,16% [ CITATION Kem13 \l 1033 ].

Dalam Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, prevalensi gangguan jiwa di Indonesia

sebesar 1,8 per 1000 penduduk dengan 95% CI=0,17-0,19. Prevalensi antar

provinsi berkisar 0.9 sampai 3.5 per 1000 penduduk. Prevalensi gangguan

psikosis lebih tinggi di perdesaan dibandingkan di perkotaan (p=0,099). Provinsi

dengan prevalensi gangguan psikotik yang tinggi adalah Provinsi DI Yogyakarta,


7

Bali, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Prevalensi

psikosis di Provisi Bali yaitu 3,0 per 1000 penduduk [ CITATION Idi19 \l 1033 ].

Prevalensi gangguan jiwa lebih tinggi di perdesaan dibandingkan di

perkotaan [ CITATION Idi19 \l 1033 ] . Hal tersebut berbeda dengan teori kepadatan

penduduk bahwa skizofrenia lebih tinggi pada area padat penduduk seperti di

perkotaan karena faktor lingkungan kepadatan penduduk merupakan faktor

berpengaruh terhadap terjadinya ganguan jiwa antara lain psikosis [CITATION Sad15

\l 1033 ]. Penelitian oleh McGrath, Saha, Welham, 2004 (dalam Patel 2014)

menemukan bahwa berdasarkan review data dari 33 negara menyimpulkan insiden

skizofrenia memang bervariasi menurut lokasi geografis.

Prevalensi skizofrenia tampak berimbang pada laki-laki dan perempuan,

meskipun onset gejala pada laki-laki terjadi diusia yang lebih awal dibandingkan

wanita. Pria cenderung mengalami episode skizofrenia pertama diawal usia 20-an,

sedangkan wanita pada usia akhir 20-an atau awal 30-an dan manifestasi klinis

skizofrenia pada wanita lebih ringan [ CITATION Pat \l 1033 \m Aya16]. Hal ini

dijelaskan melalui pengaruh antidopaminergik estrogen. Onset awal berkorelasi

dengan hasil yang lebih buruk, meskipun intervensi awal berkorelasi dengan hasil

yang lebih baik [CITATION Cal19 \l 1033 ].

Menurut Andresean dan Black, 2006 (dalam Laila, 2019) sebagian besar

pasien skizofrenia tinggal di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah

dengan akses layanan kesehatan yang mungkin lebih sulit. Hal tersebut

meningkatkan risiko bunuh diri di antara pasien dengan skizofrenia [ CITATION

Lai19 \l 1033 ]. Diantara penderita skizofrenia di seluruh dunia sekitar 20-50%


8

telah melakukan percobaan bunuh diri dan 10% diantaranya meninggal karena

bunuh diri. Angka kematian penderita skizofrenia ini 8 kali lebih tinggi daripada

angka kematian penduduk pada umumnya [ CITATION Haw12 \l 1033 ].

2.3 Etiopatologi

2.3.1 Etiologi

Etiologi skizofrenia bersifat multifaktorial, diperkirakan interaksi antara

faktor genetik, faktor psikologis dan berbagai faktor lingkungan mendukung

skizofrenia. Orang dengan skizofrenia 2-2,5 kali lebih mungkin meninggal pada

usia dini. Skizofrenia juga sering disebabkan oleh penyakit fisik seperti

kardiovaskular, metabolisme, atau infeksi [CITATION WHO18 \l 1033 ]. Faktor

lingkungan dan sosial berperan dalam perkembangan skizofrenia terutama pada

individu yang rentan terhadap gangguan tersebut. Stresor lingkungan yang terkait

dengan skizofrenia termasuk trauma masa kanak-kanak, merupakan etnis

minoritas, tempat tinggal di daerah perkotaan, dan isolasi sosial. Selain itu, stres

sosial seperti diskriminasi atau kesulitan ekonomi juga menjadi faktor predisposisi

pemikiran delusi atau paranoid [ CITATION Mar19 \l 1033 ]. Pada tingkat neurokimia

perkembangan skizofrenia dipengaruhi oleh pensinyalan abnormal dopamin yaitu

peningkatan sintesis dopaminergik presinaptik limbik-striatal yang menyebabkan

gejala positif dan gejala kognitif skizofrenia, sementara gejala negatif dikaitkan

oleh pengaruh neurotransmiter lain [ CITATION Kes14 \l 1033 ].

a. Faktor genetik

Mode penularan genetik skizofrenia tidak diketahui, tetapi beberapa gen

tampaknya berkontribusi terhadap kerentanan skizofrenia. Risiko


9

skizofrenia pada kerabat tingkat pertama orang dengan skizofrenia adalah

10%. Jika kedua orang tua menderita skizofrenia, risiko skizofrenia pada

anak sebesar 40% atau terjadi peningkatan gangguan 10-15 kali lebih

tinggi daripada populasi umum [ CITATION Aya16 \l 1033 \m Lie18].

Konkordansi genetic skizofrenia adalah sekitar 10% untuk kembar

dizigotik dan 40-50% untuk kembar monozigot [ CITATION Aya16 \l 1033 ].

Penelitian oleh Sahoo, Theisen dan Rosenfeld melibatkan 39,000 orang

yang dirujuk ke laboratorium diagnostic, didapatkan sekitar 1000 varian

nomor salinan di 1 lokus berikut: 1q21.1, 15q11.2, 15q13.3, 16p11.2,

16p11.11, dan 22q11.2. Secara klinis, orang-orang ini memiliki berbagai

gangguan neurologis atau kejiwaan, termasuk keterlambatan

perkembangan, cacat intelektual, gangguan terkait autisme dan anomali

bawaan [ CITATION Sah11 \l 1033 ].

b. Faktor neurostransmiter

Beberapa jalur biokimia berkontribusi pada perkembangan skizofrenia.

Dopamin, serotonin, norepinefrin, GABA dan glutamat adalah beberapa

neurotransmiter yang terlibat dalam patogenesis skizofrenia [ CITATION

Aya16 \l 1033 ]. Peran dopamin dalam skizofrenia didasarkan pada

hipotesis dopamin, yang berevolusi dari dua pengamatan. Pertama,

kelompok obat yang menghambat fungsi dopamin, yang dikenal sebagai

fenotiazin yang dapat mengurangi gejala psikotik. Kedua, amfetamin,

meningkatkan pelepasan dopamin yang menyebabkan psikosis paranoid

dan memperburuk skizofrenia serta disulfram yaitu obat yang menghambat


10

dopamin hidroksilase dan juga memperburuk skizofrenia [ CITATION

Aya16 \l 1033 ]. Peningkatan sintesis dopamin teramati baik saat fase

prodromal dan episode psikotik pertama skizofrenia, khususnya pada

sistem kortikostriatal. Jika peningkatan sintesis dan pelepasan dopamin

terjadi, sebagaimana diteorikan dalam skizofrenia, terlepas dari

pengalaman sebelumnya, terjadi peningkatan “sense of salience” atau

“innocuous stimuli”, yang menjelaskan terjadinya paranoia dan ide-ide

referensi yang dipisahkan dari kenyataan [ CITATION Mar19 \l 1033 ].

Peran glutamat dalam skizoprenia sebagian besar didasarkan pada

hipotesis Glutamat, penurunan fungsi reseptor glutamat NMDA terlibat

dalam patofisiologi skizofrenia.Defisiensi penghambat interneuron γ-

aminobutirat acid (GABA) dan hipofungsi N-methylD-aspartate (NMDA)

reseptor glutamat (NMDAR), mengubah keseimbangan sistem inhibitorik

- eksitatorik saraf yang dimediasi oleh neurotransmitter glutamat dan

dopamine. Kelebihan kadar dopamin dan glutamat sinaptik yang

menyebabkan peningkatan stimulasi postinaptik, efek hilir tersebut

menyebabkan terjadinya gejala psikotik [ CITATION Lie18 \l 1033 ].

c. Faktor perinatal

Studi longitudinal pada anak dari keluarga beresiko tinggi gangguan

psikotik menunjukkan bahwa skizofrenia berasal dari perubahan kognitif,

neuromotor, sosial, perubahan struktur dan fungsional otak yang terjadi

sejak masa kanak-kanak. Fungsi kognitif dan volume substansia grisea

mengalami penurunan selama fase prodromal yang mengimplikasikan


11

masa prenatal atau perinatal dan masa lanjutan (perialdolescent) ikut

terlibat dalam perkembangan skizofrenia[ CITATION Kes14 \l 1033 ].

Perkembangan skizofrenia dimulai saat masih dalam kandungan.

Komplikasi obstetri seperti perdarahan selama kehamilan, diabetes

gestasional, seksio sesarea, asfiksia, dan berat badan lahir rendah dikaitkan

dengan kejadian skizofrenia di kemudian hari. Gangguan janin selama

trimester kedua yang merupakan tahapan penting perkembangan saraf

janin, telah menjadi perhatian khusus bagi para peneliti. Infeksi dan

tingkat stres berlebih selama periode tersebut dikaitkan dengan risiko

skizofrenia dua kali lipat [ CITATION Mar19 \l 1033 ].

d. Penyalahgunaan zat

Berbagai studi menunjukkan bahwa penyalahgunaan ganja berat pada

remaja 15-17 tahun dapat mempercepat timbulnya psikosis diantara

mereka yang berisiko tinggi mengalami gangguan psikotik. Namun, para

peneliti belum menyatakan apakah penggunaan ganja atau apakah pada

orang yang memiliki kecenderungan psikosis sebenarnya yang

menyebabkan perkembangan lebih awal [ CITATION Aya16 \l 1033 ].

2.3.2 Patofisiologi

Abnormalitas neurotransmisi menjadi dasar teori patofisiologi skizofrenia.

Sebagian besar teori berpusat pada kelebihan atau kekurangan neurotransmiter,

termasuk dopamin, serotonin, dan glutamat. Aktivitas abnormal situs reseptor

dopamin (khususnya D2) diduga berhubungan dengan banyak gejala skizofrenia.

Empat jalur dopaminergik terlibat dalam patofisiologi skizofrenia (Gambar 1).


12

Jalur nigrostriatal berasal dari substantia nigra dan berakhir di nukleus kaudatus.

Kadar dopamin yang rendah dalam jalur ini memengaruhi sistem ekstrapiramidal

dan menyebabkan gejala motorik. Jalur mesolimbik, memanjang dari ventral

tegmental area (VTA) ke area limbik, berperan dalam gejala positif skizofrenia

ketika terjadi kelebihan dopamin. Jalur mesokortikal memanjang dari VTA ke

korteks. Gejala negatif dan kekurangan kognitif pada skizofrenia diduga

disebabkan oleh rendahnya tingkat dopamin mesokortikal. Jalur

tuberoinfundibular terproyeksi dari hipotalamus ke kelenjar hipofisis. Penurunan

atau blokade dopamin tuberoinfundibular menghasilkan peningkatan kadar

prolaktin yang menyebabkan klinis galaktorea, ammenorea, dan penurunan libido

[ CITATION Pat \l 1033 ].

Hipotesis serotonin dalam perkembangan skizofrenia muncul sebagai hasil dari

penemuan bahwa asam lisergat dietilamid (LSD) meningkatkan efek serotonin di

otak. Penelitian lanjutan melakukan pengembangan senyawa obat yang

menghambat reseptor dopamin dan serotonin, berbanding terbalik dengan obat

sebelumnya yang hanya mempengaruhi reseptor dopamin. Senyawa obat yang

lebih baru tersebut ditemukan efektif mengurangi gejala positif dan negatif

skizofrenia [ CITATION Pat \l 1033 ].

Teori lain gejala skizofrenia melibatkan aktivitas glutamate yaitu neurotransmitter

eksitatorik utama di otak. Teori ini muncul sebagai tanggapan terhadap temuan

bahwa fenilkisid dan ketamine, dua antagonis NMDA/glutamat nonkompetitif,

menginduksi gejala mirip skizofrenia. Hal tersebut selanjutnya menunjukkan

bahwa reseptor NMDA tidak aktif dalam regulasi normal neuron dopamin
13

mesokortikal dan mungkin bisa menjelaskan mengapa pasien dengan skizofrenia

menunjukkan gejala negatif, afektif, dan kognitif. Jaringan otak pasien skizofrenia

juga mengalami perubahan fisik. Terjadi peningkatan ukuran ventrikel ketiga dan

ventrikel lateral dan individu yang berisiko tinggi mengalami skizofrenia juga

memiliki lobus temporal medial yang lebih kecil [ CITATION Pat \l 1033 ].

Gambar 1. Patofisiologi Skizofrenia. Sumber: [ CITATION Pat \l 1033 ]

2.4 Gambaran Klinis dan Diagnosis

Skizofrenia memiliki 3 gejala utama yaitu gejala positif, gejala negatif,

dan gejala disorganisasi. Gejala positif mudah teridentifikasi dan tidak terlihat

pada orang yang sehat. Gejala positif meliputi, halusinasi, waham, gaduh gelisah,

dan perilaku motorik yang abnormal. Gejala negatif tidak mudah teridentifikasi

dan berhubungan dengan tingginya morbiditas. Gejala negatif meliputi afek

tumpul atau datar, menarik diri, berkurangnya motivasi, miskin kontak emosional,

pasif, apatis, dan sulit berpikir abstrak. Gejala-gejala disorganisasi meliputi

disorganisasi pembicaraan, disorganisasi perilaku, serta gangguan pemusatan


14

perhatian, dan pengolahan informasi. Gejala-gejala ini juga dikaitkan dengan

hendaya sosial dan pekerjaan pada pasien skizofrenia (Sadock, 2010). Kriteria

Diagnostik Skizofrenia menurut DSM V yaitu (Sadock et al, 2015) :

a) Karakteristik Gejala

Terdapat 2 atau lebih dari kriteria dibawah ini yang terjadi dalam kurun

waktu yang signifikan selama 1 bulan (atau kurang bila telah berhasil

diterapi). Paling tidak salah satu harus ada (1), (2), atau (3):

(1) Delusi/Waham

(2) Halusinasi

(3) Bicara Kacau (sering melantur atau inkoherensi)

(4) Perilaku yang sangat kacau atau katatonik

(5) Gejala negatif (ekspresi emosi yang berkurang atau kehilangan minat)

b) Disfungsi Sosial

Selama kurun waktu yang signifikan sejak onset gangguan, terdapat satu

atau lebih disfungsi pada area fungsi utama seperti pekerjaan, hubungan

interpersonal, atau perawatan diri, yang berada jauh di bawah tingkat yang

dicapai sebelum awitan (atau jika awitan pada masa anak-anak atau

remaja, ada kegagalan untuk mencapai beberapa tingkat pencapaian

hubungan interpersonal, akademik, atau pekerjaan yang diharapkan).

c) Tanda kontinu gangguan berlangsung selama minimal 6 bulan. Periode 6

bulan ini harus mencakup minimal 1 bulan gejala (atau kurang bila telah

berhasil diobati) yang memenuhi kriteria A (gejala fase aktif) dan dapat

mencakup periode gejala prodromal atau residual. Selama periode gejala


15

prodromal atau residual, tanda gangguan dapat bermanifestasi sebagai

gejala negatif saja atau 2 atau lebih gejala yang terdaftar dalam kriteria A

yang muncul dalam bentuk yang lebih lemah (keyakinan aneh, pengalaan

perseptual yang tidak lazim)

d) Gangguan skizoafektif dan gangguan depresif atau bipolar dengan ciri

psikotik telah disingkirkan baik karena:

(1) Tidak ada episode depresif manik, atau campuran mayor yang terjadi

bersamaan dengan gejala fase aktif.

(2) Jika episode mood terjadi selama gejala fase aktif durasi totalnya relatif

singkat dibandingkan durasi periode aktif dan residual.

e) Gangguan tersebut tidak disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat

(obat yang disalahgunaan, obat medis) atau kondisi medis umum.

f) Jika terdapat riwayat gangguan autistik atau keterlambatan perkembangan

global lainnya, diagnosis tambahan skizofrenia hanya dibuat bila waham

atau halusinasi yang prominen juga terdapat selama setidaknya satu bulan

(atau kurang bila telah berhasil diterapi).

2.5 Klasifikasi Skizofrenia

Lima subtipe skizofrenia telah dijelaskan berdasarkan presentasi klinis:

paranoid, diorganized, katatonik, tidak berdiferensiasi, dan residual. DSM-5 tidak

lagi menggunakan subtipe ini tetapi klasifikasi ini ada dalam (ICD-10) (Sadock et

al, 2015).

a. Tipe Paranoid
16

Jenis skizofrenia paranoid ditandai oleh preokupasi dengan satu atau lebih

delusi atau halusinasi pendengaran. Secara umum, jenis skizofrenia

paranoid ditandai terutama dengan adanya delusi penganiayaan atau

kebesaran.

b. Tipe disorganized

Skizofrenia tipe disorganized ditandai oleh regresi yang ditandai untuk

perilaku primitif, disinhibited, dan tidak terorganisir dan oleh tidak adanya

gejala yang memenuhi kriteria untuk jenis katatonik. Timbulnya subtipe

ini umumnya dini, terjadi sebelum usia 25 tahun.

c. Tipe katatonik.

Gambara klasik dari tipe katatonik adalah gangguan fungsi motorik;

gangguan ini seperti stupor, negativisme, kekakuan, kegembiraan, atau

posturing/sikap.

d. Tipe tak terinci

Seringkali, pasien yang jelas menderita skizofrenia tidak dapat dengan

cocok diklasifikasikan ke dalam tipe lainnya. Pasien-pasien ini

diklasifikasikan memiliki skizofrenia dari tipe yang tidak terinci.

e. Tipe residual

Skizofrenia residual ditandai dengan adanya gejala dari gangguan

skizofrenia tanpa adanya serangkaian gejala aktif untuk memenuhi

diagnosis skizofrenia jenis lain. Emosional tumpul, penarikan sosial,

perilaku eksentrik, pemikiran tidak logis, dan asosiasi longgar biasanya

muncul dalam tipe residual.


17

2.6 Manajemen Skizofrenia

Meskipun obat-obatan antipsikotik merupakan pengobatan utama untuk

skizofrenia, penelitian menemukan bahwa intervensi psikososial, termasuk

psikoterapi, dapat meningkatkan perbaikan klinis. American Psychiatry

Association (dalam Ayano, 2016) menjelaskan bahwa pasien dengan skizofrenia

mendapat manfaat lebih dari kombinasi penggunaan obat antipsikotik dan

pengobatan psikososial dibandingkan dari kedua pengobatan yang digunakan

sendiri (Ayano, 2016).

a. Manajemen farmakologis

Manajemen farmakologis skizofrenia telah berubah selama dekade

terakhir, sebagian karena penerimaan kelas obat baru, antipsikotik atipikal

atau generasi kedua. Obat-obat ini dilaporkan memiliki insiden efek samping

yang lebih rendah dibandingkan dengan antipsikotik lama, dan dapat

digunakan menjadi lini pertama (Ayano, 2016).

Antipsikotik generasi kedua menunjukkan efektivitas yang serupa

tetapi lebih sedikit memiliki efek ekstra-piramidal. Obat-obat generasi kedua

yang lebih baru ini umumnya lebih disukai dan merupakan pengobatan lini

pertama untuk skizofrenia, karena mereka memiliki risiko efek samping yang

lebih rendah daripada obat tipikal. Obat yang termasuk golongan ini antara

lain Aripiprazole, clozapine, olanzapine, quetiapine, risperidone, riprasidone.

Clozapine adalah obat pilihan untuk penatalaksanaan pasien skizofrenia yang

berat yang gagal merespons secara adekuat terhadap pengobatan standar untuk

skizofrenia dan mengurangi risiko perilaku bunuh diri berulang pada pasien
18

dengan skizofrenia atau gangguan skizoafektif. Sementara clozapine

digunakan pada pasien dengan penyakit yang kurang responsif terhadap obat

antipsikotik yang tersedia, risperidone merupakan antipsikotik lini pertama

yang dapat diberikan kepada hampir setiap pasien dengan penyakit psikotik

(Ayano, 2016).

Antipsikotik tipikal memiliki efek samping neurologis yang sering dan

signifikan seperti gangguan gerakan (tardive dyskinesia). Kelompok obat-

obatan ini antara lain klorpromazin, fluphenazine, haloperidol dan

thioiridazine. Obat generasi pertama jauh lebih murah daripada antipsikotik

generasi kedua, sehingga mereka tetap menjadi pilihan dalam pengobatan

gangguan psikotik (Sadock dalam Ayano, 2016).

Pada pasien skizofrenia yang tidak patuh dapat diberikan antipsikotik

long acting. Antipsikotik Long Acting Injectable (LAI) merupakan strategi

farmakologis untuk mengobati pasien dengan skizofrenia yang kambuh karena

tidak patuh terhadap pengobatan. Antipsikotik LAI diberikan dengan injeksi

pada interval dua hingga empat minggu (Sadock dalam Ayano, 2016).

b. Intervensi psikososial

Setelah gejala psikosis mulai menghilang, intervensi psikologis dan sosial

(psikososial) penting dilakukan selain melanjutkan pengobatan. Berikut ini

yang termasuk intervensi psikososial (Ayano, 2016):

- Psikoedukasi merupakan intervensi psikoedukasi mencakup program

terpisah yang melibatkan interaksi antara penyedia informasi dan


19

pengguna layanan yang memiliki tujuan utama memberikan informasi

mengenai kondisi serta strategi manajemen dukungan (Ayano, 2016).

- Terapi perilaku kognitif (CBT) juga disebut sebagai CBT untuk

psikosis (CBTp) merupakan intervensi psikologis tersendiri yang

bertujuan untuk membuat hubungan eksplisit antara pemikiran, emosi,

fisiologi dan perilaku saat ini atau masalah masa lalu. Tujuannya

adalah untuk membantu individu menormalkan dan memahami

pengalaman psikotik mereka, dan untuk mengurangi tekanan dan

dampak yang terkait dengan fungsi mereka. Hasil yang diharapkan

adalah pengurangan gejala (gejala psikotik positif atau negatif

termasuk suasana hati), mengurangi kekambuhan, meningkatkan

fungsi sosial, mengembangkan tilikan, meminimalkan tekanan, dan

mendorong pemulihan (Ayano, 2016).

- Pelatihan keterampilan sosial adalah intervensi psikososial terstruktur

yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja sosial dan mengurangi

tekanan dan kesulitan dalam menghadapi situasi sosial. Intervensi

meliputi penilaian berbasis perilaku dari berbagai keterampilan sosial

dan interpersonal dan menempatkan pentingnya komunikasi verbal dan

nonverbal, kemampuan individu untuk memahami dan memproses

isyarat sosial yang relevan, dan menanggapi dan memberikan

penguatan sosial yang sesuai (Ayano, 2016).

- Intervensi keluarga
20

Lingkungan emosional dalam keluarga merupakan prediktor

kekambuhan skizofrenia. Dalam konteks ini, 'keluarga' termasuk

orang-orang yang memiliki hubungan emosional yang signifikan

dengan pasien, seperti orang tua, saudara kandung, dan pasangan.

Berbagai model intervensi keluarga bertujuan untuk membantu

keluarga mengatasi masalah keluarga mereka dengan lebih efektif,

memberikan dukungan dan edukasi bagi keluarga, mengurangi tingkat

stres, meningkatkan cara keluarga untuk berkomunikasi dan

menegosiasikan masalah, dan untuk mencegah kekambuhan (Ayano,

2016).

- Terapi kepatuhan adalah intervensi singkat yang mengeksplorasi

ambivalensi seseorang terhadap pengobatan. Hal ini melibatkan

interaksi dukungan, informasi, dan strategi manajemen untuk

meningkatkan kepatuhan mereka terhadap pengobatan dengan tujuan

spesifik untuk mengurangi gejala, meningkatan kualitas hidup dan

mencegah kekambuhan (Ayano, 2016).

- Terapi seni (seni, berorientasi tubuh atau musik) menggabungkan

teknik psikoterapi dengan kegiatan yang bertujuan berekspresi kreatif.

Terapi seni bertujuan untuk membantu orang mengekspresikan diri

mereka dan mengekspresikan pengalaman mereka ke dalam bentuk

estetika yang memuaskan dan 'berisi'; dan untuk membantu orang

menerima dan memahami perasaan yang mungkin muncul selama

proses kreatif (Ayano, 2016).


21

- Remediasi kognitif adalah manajemen perilaku orang-orang yang

mengalami gangguan kognitif yang dapat mengganggu fungsi sehari-

hari. Kognisi mengacu pada serangkaian luas kemampuan yang

memungkinkan kita untuk memahami proses, memanipulasi, dan

merespons informasi. Contoh fungsi kognitif adalah perhatian,

memori, organisasi dan fungsi. Banyak orang dengan skizofrenia

mengalami beberapa masalah dalam domain ini dan ini dapat

membatasi pemulihan mereka di bidang-bidang seperti kehidupan

sehari-hari, fungsi sosial atau kejuruan (Ayano, 2016).

- Manajemen kontingensi

Strategi manajemen kontingensi merujuk pada program perilaku di

mana perilaku target spesifik diperkuat menggunakan insentif moneter

atau sistem reward lainnya (Ayano, 2016).

- Terapi Elektrokonvulsif (ECT) merupakan pengobatan yang efektif

untuk gejala skizofrenia akut dan bukan untuk penderita skizofrenia

kronis. Pasien dengan skizofrenia yang memiliki gejala positif,

katatonia, atau gejala afektif dianggap paling mungkin merespons

ECT. Pada pasien tersebut, efikasi ECT hampir sama dengan

antipsikotik, tetapi perbaikan gejala terjadi lebih cepat. Dalam situasi

tertentu, misalnya, skizofrenia yang resisten terhadap pengobatan,

augmentasi ECT masih menjadi pengobatan pilihan. ECT sering

digunakan selain antipsikotik dalam pengobatan skizofrenia.

Kombinasi ECT dan antipsikotik memiliki keunggulan signifikan


22

sehubungan dengan kecepatan atau kualitas respons (Taylor dalam

Ayano, 2016).

2.7 Recovery Skizofrenia

2.7.1 Definisi Recovery

Liberman et al. (dalam Vita and Barlati, 2018) mendefinisikan revovery

atau pemulihan sebagai fungsi profesional dan sosial serta kemampuan untuk

hidup mandiri. Lebih khusus lagi, Vita dan Barliati (2018) mendefinisikan

pemulihan sebagai tahap (24 bulan) di mana pasien berfungsi secara sosial dan

profesional dengan baik dan relatif bebas dari gejala psikotik yang diukur dengan

Skala Penilaian Psikiatri Singkat (Brief Psychiatric Rating Scale) dengan skor '4'

(yaitu, sedang). Torgaslbeen (dalam Vita and Barlati, 2018) mendefinisikan skor

lebih dari 65 pada Global Assessment of Functioning sebagai kriteria pemulihan.

Remisi klinis merupakan suatu keharusan, tetapi bukan prasyarat untuk pemulihan

(Vita and Barlati, 2018).

Fase-fase pengobatan pada skizofrenia adalah fase akut, respons,

stabilisasi, remisi, dan recovery. Pada fase akut gejala skizofrenia muncul cukup

berat, terdapat perilaku membahayakan untuk diri sendiri dan orang lain, tidak

dapat bekeja dan melakukan aktivitas, tidak ada efek pada pemberian obat, dan

memerlukan intervensi segera. Pada fase respons, obat yang diberikan sudah

memberikan efek, gejala mulai berkurang 50%, dosis obat dapat dinaikkan secara

bertahap, dan evaluasi dilakukan dalam 1 bulan. Pasien juga sudah dapat di latih

ketrampilan sosialnya. Pada fase stabilisasi gejala sudah mulai hilang atau

minimal, pasien Nampak lebih stabil. Sudah mulai dapat melakukan aktivitas dan
23

bekerja, minum obat dapat dikontrol. Waspada kekambuhan pada fase ini. Dan

sangat dibutuhkan dukungan keluarga dan komunitas. Dapat dilakukan latihan

okupasi dan vokasional. Pada fase remisi gejala minimal atau sudah hilang,

minimal 6 bulan, aktivitas mulai teratur, remediasi kognitif, latihan ktrampilan

social. Kekambuhan atau relaps dikarenakan tidak patuh minum obat, adanya

stressor dala kehidupan, pala hidup sehat yang kurang, kurangnya dukungan

keluarga dan masyarakat, tidak ada aktivitas atau pekerjaan, dan pasien

menggunakan alcohol dan narkoba.

Substance Abuse and Mental Health Service Administrasion (SAMHSA)

menyatakan bahwa recovery merupakan suatu perubahan dimana seseorang

meningkat kesehatan dan kesejahteraannya, hidup sesuai dengan arah kehidupan

yang dipilihnya, dan berjuang mencapai tujuan hidup sesuai dengan seluruh

kemampuan yang dipunyainya (Substance Abuse and Mental Health Service

Administrasion (SAMHSA), 2020)

Penelitian telah mengidentifikasi proses utama pemulihan seperti: harapan,

pembentukan identitas kembali, menemukan makna kehidupan, mengambil

tanggung jawab untuk pemulihan, keterhubungan, identitas, dan pemberdayaan

(Vita and Barlati, 2018). Resnick et al. (dalam Vita and Barlati, 2018)

menjelaskan pandangan dimensi pemulihan, terdiri dari dua fenomena yang

berbeda, yaitu mencerminkan berkurangnya masalah objektif yang terkait dengan

penyakit (domain pemulihan/recovery obyektif) dan mencerminkan perubahan

dalam pengalaman subjektif kehidupan (domain pemulihan subyektif). Dalam

perspektif ini, recovery clinical objektif didefinisikan sebagai tingkat beratnya


24

gejala dan fungsi, sedangkan pemulihan subyektif didefinisikan sebagai kualitas

hidup, keyakinan dan harapan, kesediaan untuk meminta bantuan, mengandalkan

orang lain, dan tidak ada dominasi oleh gejala. Perubahan dalam domain

pemulihan subyektif dan obyektif dapat mempengaruhi satu sama lain (Jørgensen

R, Zoffmann V, 2015).

2.7.2 Dimensi Recovery

Lloyd (dalam Arfikhah, 2018) mengidentifikasi bahwa terdapat empat dimensi

dalam recovery, yaitu :

1. Clinical Recovery (Pemulihan Klinis)

Clinical Recovery berfokus pada mengurangi gejala psikotik dan

perawatan terhadap kesehatan mental dan fisik serta berbasis pada

perawatan kesehatan berkelanjutan jangka panjang. Perawatan penting

diberikan untuk mengurangi risiko kekambuhan. Hal ini dapat dicapai

dengan memfasilitasi pengguna layanan untuk melibatkan sumber daya

lokalnya, termasuk keluarga dan perawat, masyarakat setempat dan

layanan kesehatan setempat, seperti dokter umum, dalam semua aspek

perawatan mereka bila hal ini sesuai (Lloyd dalam Arfikhah, 2018).

2. Personal Recovery

Pada awalnya konsep recovery hanya berfokus pada sisi klinis atau

prespektif klinis saja tanpa mempertimbangkan prespektif dari pasien.

Belakangan ini beberapa negara dari bagian Barat telah mengusulkan

konsep recovery sebagai personal recovery atau ditilik dari persepsi pasien

juga untuk mengevaluasi recovery mereka. Prospektif subyektif tersebut


25

mencakup harapan, pemberdayaan, swadaya, dukungan sebaya dan

mengatasi stigma yang berkembang dimasyarakat (Arfikhah, 2018).

3. Social Recovery

Pada dimensi social recovery berfokus pada membangun hubungan

sosial di masyarakat yang lebih luas. Social recovery ini dapat dimulai

pada saat tahap awal pengobatan dengan membangun percakapan untuk

mengidentifikasi dan memanfaatkan secara optimal sumber daya di

lingkungan sekitar. Terapis okupasi dapat memberikan bantuan untuk

berhubungan dengan orang lain dan mencari teman baru; menawarkan

pelatihan keterampilan berkomunikasi dalam konteks tertentu; dan

membantu mengembangkan strategi untuk mengelola informasi pribadi,

serta untuk mencegah dan melawan stigma dan diskriminasi yang tidak

adil. Hasil yang diharapkan dari proses ini adalah transfer keterampilan

sosial dan penyertaan sosial yang lebih besar di masyarakat luas (Lloyd

dalam (Arfikhah, 2018).

4. Functional Recovery

Functional Recovery mengacu pada kembalinya melakukan peran

fungsi seperti sebelumnya di masyarakat luas. Contoh dalam peran sosial

ini seperti tugas rumah, perawatan mandiri, perjalanan independen dan

manajemen keuangan. Pendidikan formal atau pelatihan kejuruan dan

pekerjaan kompetitif adalah dua domain peran bernilai sosial lainnya yang

juga perlu dipertimbangkan saat membantu seseorang mengidentifikasi


26

tujuan recovery fungsionalnya di dunia nyata (Lloyd dalam (Arfikhah,

2018).

Bagian recovery yang telah disebutkan mancakup lima domain Recovery

Assessment Scale oleh Corrigan et al (dalam Arfikhah, 2018). Lima domain

tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi kondisi recovery pada pasien

skizofrenia. Recovery Assessment Scale atau RAS merupakan sebuah kuesioner

dimana terdapat lima domain, meliputi (Corrigan et al dalam Arfikhah, 2018):

a) Kepercayaan diri dan harapan (pernyataan nomor 7,8,9,10, dan 11)

b) Kesediaan meminta pertolongan (pada pernyataan nomor 15,16, dan

17)

c) Tujuan dan orientasi sukses (pada pernyataan nomor 1,2,3,4, dan 5)

d) Bergantung pada orang lain (pada pernyataan nomor 6,18,19, dan 20)

e) Serta tidak didominasi oleh gejala (pada pernyataan nomor 12,13, dan

14)

2.7.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Recovery

Recovery dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pendidikan, usia, angka

kekambuhan, dan gejala-gejala yang dialami. Penelitian yang telah ada

menunjukkan bahwa mereka yang berpendidikan >10 tahun memiliki skor

recovery yang lebih tinggi dibanding dengan mereka yang berpendidikan dibawah

10 tahun. Kemudian mereka dengan usia yang lebih tua menunjukkan skor

domain "kepercayaan diri dan harapan" yang cenderung lebih rendah dibanding

dengan mereka yang memiliki usia lebih muda. Seseorang dengan angka

kekambuhan yang lebih banyak memiliki skor yang cenderung lebih rendah pada
27

domain "kepercayaan diri dan harapan" dan "tujuan dan orientasi sukses"

dibanding dengan mereka yang jarang kambuh. Semakin banyak gejala positif

yang dimiliki semakin banyak skor domain “kesediaan untuk untuk meminta

bantuan” serta “tujuan dan orientasi sukses”. Sedangkan mereka yang memiliki

gejala negatif yang lebih tinggi menujukkan skor yang lebih rendah pada domain

"ketergantungan pada orang lain” dibandingkan mereka yang hanya memiliki

beberapa gejala negatif saja (Corrigan dan Grover dalam Arfikhah, 2018).

Sebuah meta-analisis terbaru oleh Van Eck et al. (dalam Vita and Barlati,

2018) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara recovery clinical

dan personal, dimana gejala psikotik menunjukkan korelasi yang lebih kecil

dibandingkan gejala afektif dengan personal recovery. Vita and Barlati (2018)

menggaris bawahi bahwa clinical recovery dan personal recovery membutuhkan

perhatian dalam pengobatan dan pemantauan pasien skizofrenia, dengan fokus

khusus pada interaksi antara gejala afektif dan recovery personal (Vita and

Barlati, 2018).

Proses recovery orang dengan skizofrenia didukung oleh beberapa faktor.

Faktor pendukung recovery antara lain (Arfikhah, 2018; Substance Abuse and

Mental Health Service Administrasion (SAMHSA), 2020) :

1. Kesehatan

Orang dengan skizofrenia yang mempunyai penyakit fisik berat akan lebih

sulit untuk pulih dari gangguan jiwanya. Oleh karena itu penting untuk

memiliki fisik yang sehat dengan mengatasi gejala penyakit dan


28

mengetahuiinformasi penyakit yang diderita untuk mendukung kesehatan

fisik dan jiwanya.

2. Perumahan

Perumahan yang dimaksud adalah tempat tinggal yang aman dan stabil.

Tempat tinggal yang aman dan stabil akan terhindar dari rasa khawatir

akan diusir oleh pihak lain dan menggelandang dijalan, sehingga dapat

mendukung proses recovery.

3. Tujuan

Individu yang memiliki tujuan dalam hidupnya akan memiliki kegitan

harian yang bermakna seperti: bekerja, bersekolah, melakukan pekerjaan

rumah, kegiatan kreatif. Adanya tujuan hidup atau kemauan untuk meraih

sesuatu dimasa depan dapat menjadikan orang dengan skizofrenia (ODS)

berpartisipasi dalam kehidupan sosial yang dapat menjadi penggerak

dalam proses recovery.

4. Komunitas

Orang dengan skizofrenia perlu memiliki jaringan pertemanan atau

komunitas yang mendukung. Pertemanan yang mendukung dapat

menciptakan harapan, persaudaran dan kehangatan yang secara tidak

langsung dapat mencegah penderita mengisolasi diri dan menjauhkan dari

kekambuhan.

2.7.4 Komponen Proses Recovery

Definisi SAMHSA juga disertai dengan prinsip-prinsip sebagai perawatan

berorientasi pemulihan. Prinsip-prinsip meliputi: pengarahan diri (self-direction),


29

berpusat pada pribadi dan orang lain, pemberdayaan, holistik, non-linier, berbasis

kekuatan (strength), dukungan teman, penghargaan (respect), tanggung jawab,

dan harapan (Ahmed et al, 2011).

1. Pengarahan diri (self-direction) - melibatkan pasien agar membuat tujuan

hidup dan menentukan bagaimana cara mencapai tujuan tersebut. Pasien

bertanggung jawab pada diri sendiri melalui perawatan yang berorientasi

pemulihan sehingga menumbuhkan efikasi diri dan kemandirian. Sistem

harus memberi peluang kepada pasien untuk membuat pilihan,

memberikan pilihan, dan memberi peluang untuk berhasil atau gagal.

2. Berpusat pada individual dan Orang Lain - domain ini melibatkan pasien

untuk menentukan langkah pemulihan sesuai dengan preferensi,

kebutuhan, pengalaman mereka sendiri, dan disesuaikan dengan kekuatan

masing-masing.

3. Pemberdayaan - seperti pengarahan diri di atas, pemberdayaan melibatkan

pasien untuk memegang kendali atas hidup mereka, membuat keputusan

yang memengaruhi masa depan mereka, memegang tanggung jawab,

menggunakan hak-hak mereka, dan membuat pilihan untuk memenuhi

kebutuhan dan aspirasi mereka.

4. Holistik - Proses pemulihan menggabungkan semua aspek kehidupan

pasien termasuk kehidupan masyarakat, pendidikan, pekerjaan, hubungan

sosial, spiritualitas, sumber daya masyarakat, dan perawatan kesehatan

mental, yang memainkan peran dalam kesejahteraan pasien. Konsep diri

pasien bukan salah satu dari "orang dengan gangguan mental" tetapi
30

individu dengan berbagai segi dan perawatan yang berorientasi pada

pemulihan mendorong untuk memberikan peluang terlibat dalam peran

sosial lainnya.

5. Non-linier - Proses pemulihan konsumen tidak terjadi secara linier yang

dapat diprediksi tetapi dapat ditandai atau terjadi kemunduran sesekali

(adanya hari baik dan hari yang buruk). Proses pemulihan melibatkan

pembelajaran dari kemunduran dan pengalaman positif untuk mendorong

pemulihan yang berkelanjutan.

6. Berbasis Kekuatan - Proses pemulihan berfokus pada pemanfaatan

kualitas, kemampuan, bakat, dan keterampilan mengatasi individu untuk

menangani kebutuhan, aspirasi, dan peran sosial.

7. Dukungan Teman - Proses pemulihan melibatkan saling ketergantungan

pada sistem pendukung. Teman-teman pasien memainkan peran penting

bagi individu dalam pemulihan sebagai panutan, sumber informasi

pengalaman yang berguna, faktor pendorong, dan dukungan sosial.

8. Penghargaan – Menghargai pasien termasuk perlindungan hak-hak

mereka, penghapusan diskriminasi dan stigma dalam sikap terhadap

konsumen, penggunaan bahasa yang tidak diskriminatif dan non-stigma,

dan penerimaan konsumen oleh penyedia layanan kesehatan dan

komunitas yang lebih luas.

9. Tanggung jawab – Pasien secara aktif terlibat dalam mendorong

pemulihan mereka sendiri termasuk mengambil tanggung jawab untuk

perawatan diri mereka sendiri, belajar dan menerapkan strategi koping


31

mereka sendiri untuk mempromosikan kesehatan, memahami dan

menafsirkan pengalaman kesehatan mental mereka sendiri.

10. Harapan - Unsur penting dari proses pemulihan dan kekuatan

pendorongnya adalah kepercayaan pasien yang mendalam mengenai

kemampuan mereka untuk mengatasi penyakit, kemunduran, dan

hambatan lain yang menghambat mereka saat mereka berusaha untuk

mencapai tujuan mereka.

2.7.5 Prediktor Recovery

Peneliti mengidentifikasi beberapa faktor yang dapat memprediksi atau

memodifikasi perjalanan skizofrenia, termasuk beberapa karakteristik demografi

(misalnya, usia saat onset, jenis kelamin), tingkat fungsi premorbid, beberapa

gambaran klinis, dan pengobatan (misalnya, gejala negatif dan kognitif, durasi

penyakit), durasi psikosis yang tidak diobati, intervensi dini), penggunaan

narkoba, serta beberapa variabel sosial ekonomi (misalnya, stigma) (Corrigan

dalam Vita and Barlati, 2018).

Sejumlah besar literatur mempelajari faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi outcome fungsional ini. Kognisi merupakan variabel neurokognitif

secara signifikan terkait dengan outcome fungsional. Kognisi sosial, metakognisi

dan motivasi intrinsik dapat berfungsi sebagai mediator antara neurokognisi dan

outcome fungsional. The Network for Research on Psychoses meneliti pada pasien

skizofrenia dan mengelompokkan mereka ke dalam 3 kategori yaitu varibel yang

berkaitan dengan penyakit (kognisi, sosial kognisi, gejala dan kapasitas

fungsional), variabel yang berhubungan dengan pribadi/personal (keterlibatan


32

pada pelayanan), dan variabel yang berhubungan dengan kehidupan orang

tersebut (stigma dan dukungan sosial). Studi tersebut menunjukkan stigma dan

keterlibatan dengan layanan kesehatan jiwa memediasi hubungan antara gejala,

kognitif, dan real-world functioning/fungsi dunia nyata (Galderisi dalam Vita and

Barlati, 2018).

2.7.6 Intervensi untuk Meningkatkan Recovery

Antipsikotik merupakan elemen dasar dari pengobatan skizofrenia,

meskipun antipsikotik yang tersedia masih memiliki keterbatasan. Secara khusus,

gejala negatif dan kognitif tidak diterapi secara adekuat dan banyak pasien tidak

mencapai remisi fungsional. Terapi maintenance mengurangi risiko kekambuhan

dan rawat inap pada pasien dengan skizofrenia. Antipsikotik dapat menjamin

tahap stabilitas dan manajemen tambahan seperti intervensi psikososial

memainkan peran penting dalam meningkatkan outcome fungsional dan

meningkatkan pemulihan skizofrenia. Intervensi rehabilitasi atau psikososial telah

dilakukan untuk melengkapi manajemen psikoterapi dan psikofarmakologis.

Perawatan obat dan terapi suportif tidak memiliki efek spesifik pada gangguan

kognitif, tilikan, keterampilan sosial, dan gangguan interaksi, sedangkan

rehabilitasi menargetkan hal ini. Intervensi rehabilitasi mengharuskan untuk aktif

melawan gangguan tersebut sehingga mendorong self-determination dan

empowerment. Manajemen yang dapat digunakan dalam rehabilitasi antara lain

manajemen kasus, pekerjaan yang mendukung (supported employment/SE),

remediasi kognitif, psikoedukasi, dan terapi perilaku kognitif (Vita and Barlati,

2018).
33

Dalam tinjauan sistematis terbaru tentang intervensi rehabilitasi untuk

meningkatkan pemulihan, Morin dan Franck melaporkan efikasi pemulihan

kognitif mengurangi dampak gangguan kognitif pada fungsi, pelatihan

keterampilan sosial mempelajari berbagai keterampilan mengurangi gejala

negatif, psikoedukasi dapat meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan dan

mengurangi kekambuhan, dan terapi perilaku kognitif dapat mengurangi intensitas

gejala positif. Pengobatan menargetkan neurokognisi, kognisi sosial, gejala

negatif dan kapasitas fungsional, dan intervensi integratif bersama terapi

psikososial yang berbeda perlu mempertimbangkan kebutuhan spesifik setiap

pasien. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengidentifikasi efek sinergis dari

intervensi gabungan untuk mencapai modalitas terapi yang sukses serta intervensi

rehabilitasi psikososial perlu menjadi bagian dari pengobatan standar dalam

skizofrenia (Morin and Franck, 2017).


BAB III

RANGKUMAN

Konsep recovery skizofrenia adalah secara simultan memenuhi kriteria remisi dan

fungsi sosial yang memadai (remisi fungsional). Recovery merupakan sebuah

proses, bukan pada titik akhir. Recovery tidak hanya berfokus pada pengurangan

atau mengatasi gejala namun juga fokus pada bagaimana cara penurunan tingkat

rehospitalisasi dan mampu melakukan tugas kembali seperti semula. Revovery

atau pemulihan didefinisikan sebagai fungsi profesional dan sosial serta

kemampuan untuk hidup mandiri. Pemulihan merupakan tahap di mana pasien

berfungsi secara sosial dan profesional dengan baik dan relatif bebas dari gejala

psikotik yang diukur dengan Skala Penilaian Psikiatri Singkat (Brief Psychiatric

Rating Scale) dengan skor '4' (yaitu, sedang) atau menggunakan skor lebih dari 65

pada Global Assessment of Functioning sebagai kriteria pemulihan. Intervensi

yang dapat dilakukan untuk meningkatkan proses pemulihan adalah proses

rehabilitasi dan psikososial.

34
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, A. O., Alex Mabe, P., and Buckley, P. F. (2011) ‘Recovery in

Schizophrenia: Perspectives, Evidence, and Implications’, Handbook of

Schizophrenia Spectrum Disorders, Volume III, pp. 1–22. doi: 10.1007/978-

94-007-0834-1_1.

American Psychiatric Association. (APA). (2013) Diagnostic and Statistical

Manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5), American Psychiatric

Association, Arlington

Arfikhah, U. (2018). Gambaran Recovery Pada Orang Dengan SKIZOFRENIA

(ODS) DI RUANG RAWAT INAP RSJD DR. AMINO GONDOHUTOMO

SEMARANG. Skripsi. Departemen Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran

Universitas Diponegoro.

Ayano, G. (2016) ‘Schizophrenia: A concise overview of etiology, epidemiology

diagnosis and management: Review of literatures’, Journal of

Schizophrenia Research, 3(2), p. 1026. Available at:

www.austinpublishinggroup.com.

Calabrese, J. & Khalili, YA. (2019). Psychosis. Update 27 Oktober 2019.

StatPearls, Bookshelf. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK546579/.

Diakses pada 4 Juni 2020

Carpenter, WT. & Tandon, R. (2013). Psychotic disorders in DSM-5

Summary of changes. Asian journal of Psychiatri. Available at

www.elsevier.com/locate/ajp. Diakses pada 3 Juni 2020

35
36

Collaborators GDaH. (2018) Global, regional, and national disability-adjusted

life-years (DALYs) for 359 diseases and injuries and healthy life

expectancy (HALE) for 195 countries and territories,1990–2017: a

systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2017

Lancet;392:1859-922.

Hawari D. (2012). Skizofrenia Edisi Ketiga PendekatanHolistik (BPSS) Bio-

Psiko-Sosial Spiritual, Badan Penerbit Fakultas Kedokteran UI, Jakarta

Idiani, S., Yunita, I., Tjandrarini, D., Indrawati, L., Darmayanti, I.,

Kusumawardani, N., Mubasyiroh, R. (2019). Prevalensi Psikosis di

Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018. Jurnal Penelitian dan

Pengembangan Pelayanan Kesehatan. Vol. 3, No. 1.

https://doi.org/10.22435/jpppk.v3i1.1882. Diakses pada 3 Juni 2020

Jørgensen R., Zoffmann V., M.-J. P. (2015) ‘Relationships over time of subjective

and objective elements of recovery in persons with schizophreni’,

Psychiatry Res, 228(1), pp. 14–19. doi: 10.1016/j.psychres.2015.03.013.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes). (2013). Riset Kesehatan

Dasar (RISKESDAS) Indonesia Tahun 2013. Badan Penelitian dan

Pengenbangan Kesehatan, Jakarta

Keshavan, MS., Giedd, J., Lau, JYF., Lewis, DA., & Paus, T. (2014). Adolescent

mental health 1: Changes in the adolescent brain and the pathophysiology of

psychotic disorders. Lancet Psychiatry.1: 549–58.

www.thelancet.com/psychiatry. Diakses pada 3 Juni 2020


37

Laila, N., Mahkota, R., Shivalli, S., Bantas, K., Krianto, T. (2019). Factors

associated with pasung (physical restraint and confinement) of

schizophrenia patients in Bogor regency, west java province, Indonesia

2017. BMC Psychiatry. 19:162. Available at

https://doi.org/10.1186/s12888-019-2138-z

Liebermant, JA. & First, MB. (2018). Review article: Psychotic Disorders. The

new England Journal and Medicine. N Engl J Med ;379:270-80. DOI:

10.1056/NEJMra1801490. Diakses pada 3 Juni 2020

Marder, S. & Cannon, T. (2019). Schizophrenia. The New England Journal of

Medicine. 381:1753-61. Available at DOI: 10.1056/NEJMra1808803

Morin, L. & Franck, N. (2017) ‘Rehabilitation interventions to promote recovery

from schizophrenia: A systematic review’, Frontiers in Psychiatry, 8(JUN).

doi: 10.3389/fpsyt.2017.00100.

Patel, K., Cherian, J., Gohil, K., Atkinson, D. (2014). Schizophrenia: Overview

and Treatment Options. P&T. Vol 39. N0.9

Prikry R., Kholova, M., Kucerova, H., Ceskova, E. (2013). Prevalence of

remission and recovery in schizophrenia in the Czech Republic.

Sciencedirect. 1111-1116 (54). Available at

http://dx.doi.org/10.1016/j.comppsych.2013.05.006

Sadock BJ. (2010) Buku Ajar Psikiatri Klinis. 2nd edn. Jakarta: EGC.

Sadock BJ., Sadock VA., Ruiz P. (2015). Synopsis of psychiatry: Behavioral

Sciences Clinical Psychiatry (11th ed). New York: Wolters Kluwer; 300-

323
38

Sahoo T., Theisen A., Rosenfeld JA. (2011). Copy number variants of

schizophrenia susceptibility loci are associated with a spectrum of speech

and developmental delays and behavior problems. Genet Med; 13: 868-880

Substance Abuse and Mental Health Service Administrasion (SAMHSA) (2020)

Recovery and Recovery Support. Available at:

https://www.samhsa.gov/find-help/recovery (Accessed: 25 June 2020).

Vita, A. & Barlati, S. (2018) ‘Recovery from schizophrenia: Is it possible?’,

Current Opinion in Psychiatry, 31(3), pp. 246–255. doi:

10.1097/YCO.0000000000000407.

WHO. Schizophrenia [Internet]. Who.int. (2018) [cited 15 October 2018].

Available from: http://www.who.int/en/news-room/fact-

sheets/detail/schizophrenia

Anda mungkin juga menyukai