Anda di halaman 1dari 16

1

Om Swastiastu

SELAMAT SIANG DOKTER.

TERIMAKASIH ATAS WAKTU YANG TELAH DIBERIKAN.

YANG SAYA HORMATI, PARA PEMBIMBING SAYA:

Dr. Ni Ketut Sri Diniari, Sp.KJ(K)

Dr. Dr. Lely Setyawati Kurniawan, Sp.KJ(K)

Dr.dr. I wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid

YANG SAYA HORMATI, PARA PENGUJI SAYA:

Dr. dr. Ni Luh Alit Aryani, Sp.KJ(K),

dr. Ni Ketut Putri Ariani, Sp.KJ (K)

dr.IA Kusuma Wardani, Sp.KJ(K), MARS

Mohon ijin Dokter mempresentasikan Usulan Penelitian Saya yang berjudul:

‘Hubungan Netrofil Lymphocyte Ratio Dengan Depresi Pada Kanker


Payudara Paska Modified Radical Mastectomy di RSUP Sanglah’

DEMIKIANLAH PRESENTASI SAYA. TERIMAKASIH ATAS WAKTU


DAN PERHATIANYA. MOHON BIMBINGANNYA DOKTER.
2

1. APAKAH ALASAN PEMILIHAN JUDUL PROPOSAL?


 Kasus kanker payudara merupakan penyebab utama kematian akibat kanker pada
wanita
 Kanker ini merupakan kanker yang paling umum dan paling sering mengenai wanita
 Banyak orang yang datang memeriksakan diri dengan stadium yang sudah tidak awal
lagi, sehingga wanita pada umumnya merasa syok dan kaget dengan apa yang diderita.
 Wanita tahu bahwa kanker sendiri tdk ada obatnya, pengibatan yang dilakukan lama
dan tentu berdampak secara fisik dan psikologos, akihrnya itu mebuat banyak pasien
dengan kanker mengalami kekhawatiran, kecemasan, bahkan jatuh ke fase depresi.
 Penanganan kanker itu bisa operable atau non operable. Disini banyak oerempuan
yang datang dengan stadium bukan lagi awal sehingga para dokter memutuskan
tindakan MRM baik dengan kemo sblmnya, atau kemo stelah MRM.
 Nah saat ini sudah ada biomarker yang mencerminkan aktivitas system inflamasi,
neurotransmitter, dan metabolism yng dapat memprediksi outcome kanker yg
berkaitan dgn kondisi fisik dan psikologis.
 Biomarker sederhana NLR, dimna ditemukan peningkatan NLR berkaitan dengan
stress oksidatif da peningkatakn produksi sitokin.
 Oleh karena itu, saya ingin mengetahui apakah ada Hubungan Netrofil
Lymphocyte Ratio Dengan Depresi Pada Kanker Payudara Paska
Modified Radical Mastectomy di RSUP Sanglah’

2. APA ALASAN PEMILIHAN METODE CROSS SECTIONAL


DIBANDINGKAN METODE YANG LAIN?
 Studi cross sectional merupakan suatu bentuk studi observasional (non-
eksperimental) yang paling sering dilakukan. Cross sectional mencakup semua
jenis penelitian yang pengukuran varibelnya dilakukan hanya satu kali pada satu
saat. Variabel independent (faktor resiko NLR) dan tergantung (efek, Depresi)
dinilai secara simultan pada satu saat; jadi tidak ada follow up.
3

 Peneliti mencari hubungan antara variabel bebas (faktor risiko) dengan variabel
tergantung (efek) dengan melakukan pengukuran sesaat.
 Tentunya tidak semua subjek harus diperiksa pada hari ataupun saat yang sama,
namun baik variabel resiko serta efek tersebut diukur menurut keadaan atau
statusnya pada waktu observasi. Jadi pada studi ini tidak ada prosedur tindak
lanjut atau follow up.
 Dapat dipakai sebagai dasar penelitian selanjutnya yang bersifat konklusif.

3. Mengapa kuesioner yang dipilih HDRS?


Instrumen yang sering digunakan untuk menilai depresi di Indonesia, yaitu Mini
International Interview Version ICD 10 (MINI ICD 10), Beck Depression Inventory
(BDI), di mana pertanyaan dijawab sendiri oleh pasien, dan Hamilton Depression Rating
Scale (HDRS) di mana pertanyaan dinilai oleh terapis (Amir, 2016).

- Yang menilai adalah pemeriksa. Dimana pengingat kondisi pasien yang post MRM
dan mgkn ada renacana dilakukan adjuvan terapi.
- Skala nilai depresi dari Hamilton adalah rating skala yg prtama dikembngkan unk
mengukur beratnya depresi.
- Pertama kali diperkenalkan oleh max Hamilton thn 1960 yang kemudian secara luas
digunakan dan diterima unk mngevaluasi beratnya depresi.
- HDRS terdiri dari 24 item
- Terdapat 4 level intensitas depresi yang diperoleh dari total skor setiap pertanyaan:
1. Tidak ada depresi (skor: <10)
2. Ringan (mild, 10-13)
3. Sedang (moderate, 14-17)
4. Parah (severe, ≥17) (Beck, Ward, & Mendelson, 1961; Amir, 2016)
A. The Hamilton Rating Scale for Depression (HDRS)
Suatu skala yang terdiri dari 24 item, tiap item berkisar antara 0 - 4 atau 0 -2
dengan total skor antara 0 - 76.
4

 Dokter mengevaluasi jawaban pasien terhadap pertanyaan tentang rasa bersalah,


pikiran bunuh diri, kebiasaan tidur, dan gejala lain dari depresi, dan penilaian
diperoleh dari wawancara klinik (Elvira, 2015).

B. Mini International Interview Version ICD-10 (MINI ICD-10)


 Suatu wawancara terstruktur yang sangat singkat untuk mendiagnosis gangguan
psikiatrik utama dari International Classification of Diseases dikembangkan oleh
psikiatri dan klinisi di Amerika Serikat dan Eropa untuk gangguan psikiatri dalam
DSM-IV dan ICD-10 (World Health Organization, 1993).
 Setelah suatu sesi pelatihan singkat, wawancara ini dapat digunakan oleh para
klinisi, baik yang mengambil spesialisasi dalam bidang psikiatri maupun yang tidak.
 Instrumen yang dapat mendiagnosis 14 jenis gangguan jiwa (termasuk depresi,
cemas/anxietas, dan gangguan psikotik)
 Memerlukan waktu yang tidak lama (sekitar 15 menit) untuk wawancara psikiatri
dalam uji klinis multisenter ataupun penelitian epidemiologi.
 Saat wawancara, untuk mempertahankan agar interview berlangsung sesingkat
mungkin, informasikan kepada pasien bahwa akan melaksanakan suatu interview
yang tidak lazim, menanyakan kepadanya pertanyaan yang sangat spesifik perihal
masalah psikologisnya, dan mengharapkan kepadanya pertanyaan yang sangat
spesifik perihal masalah psikologisnya dan mengharapkan jawaban “Ya” atau
“Tidak” (Maramis, 2007).

4. Kenapa memilih responden paska MRM?


TNM dan staging kanker
Pasien yang operable itu adalah stadium IIb
Saat pasien diputuskan unk MRM, mengangkat seluaruh payudara samapi
kelemjar axila. Tentu akan menimbulkan berbagai dampak.
Merupakan keputusan berat bagi serorg wanita.
Baik secara fisik dan tentu psikologis. Scra fisik berkaitan dgn body image,
scra psikologis bs mengalami cemas, stress, dan depresi.
5

Berdasarkan Gardikiotis, azoicai 2015 menatakan bahwa MRM


meninggalkan dampak yang dpt mempengaruhi thp kehidupan seseorg
dalam kehidupan psikososial, body image yg secara tdk langsung perilaku
seseorsng yang berhubungan dgn kesejahteraan hidup seseorang.
Fanakidou, 2018 stress psikologis dialami penderita kanker payudara yang
memperngaruhi kesehatan mental dan akan memberi dampak negative pada
kebutuhan emosional yaitu kebutuhan rasa aman dan nyaman.
Khan 2016 MRM menyebbkan depresi dan cemas yg parah, karena
perempuan merasa sudah kehilangan sebagian dari dirinya.

5. Staging kanker Payudara?

6. Stage T N M

0 Tis N0 M0
IA T1b N0 M0
IB T0 N1mi M0
T1b N1mi M0
IIA T0 N1c M0
T1b N1c M0
T2 N0 M0
IIB T2 N1 M0
T3 N0 M0
IIIA T0 N2 M0
T1b N2 M0
T2 N2 M0
T3 N1 M0
T3 N2 M0
IIIB T4 N0 M0
T4 N1 M0
T4 N2 M0
IIIC Any T N3 M0
IV Any T Any N M1
6

7. Pedoman DSM-5 untuk diagnosis kanker Payudara


a. Anamnesis
b. Pmeriksaan fisik
c. Pencitraan (tabel)
d. Biopsi
8. DIAGNOSIS DEPRESI
PPDGJ III menjabarkan tiga gejala utama dari episode depresif (pada derajat ringan,
sedang, dan berat) (Departemen Kesehatan RI, 1993) :

1. Individu biasanya menderita suasana perasaan (mood) yang depresif


2. Kehilangan minat dan kegembiraan
3. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan berkurangnya
aktifitas. Biasanya ada rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja.

Tujuh gejala lainnya pada episode depresif :

1. Konsentrasi dan perhatian berkurang


2. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
3. Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna (bahkan pada episode tipe ringan sekali
pun)
4. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
5. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
6. Tidur terganggu
7. Nafsu makan berkurang

Untuk episode depresif dari ketiga-tiganya tingkat keparahan, biasanya diperlukan masa
sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek
dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.

Kategori diagnosis episode depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1), dan berat (F32.2)
hanya digunakan untuk episode depresi tunggal (yang pertama). Episode depresif berikutnya
harus diklasifikasi di bawah salah satu diagnosis gangguan depresif berulang (F33.).
7

1. Episode Depresif Ringan (F32.0)


 Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi
 Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya: 1-7
 Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya
 Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu
 Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan social yang dilakukannya.
Karakter kelima:

- F32.00= Tanpa gejala somatik


- F32.1= Dengan gejala somatik
2. Episode Depresif Sedang (f32.1)
 Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada episode depresi
ringan (F32.0)
 Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya
 Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu
 Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan social, pekerjaan, dan urusan
rumah tangga
Karakter kelima:

- F32.00= Tanpa gejala somatik


- F32.1= Dengan gejala somatik
3. Episode Depresif Berat
a. Episode Depresif Berat Tanpa Gejala Psikotik (F32.2)
 Semua 3 gejala utama depresi harus ada
 Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa di antaranya harus
berintensitas berat.
 Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang mencolok,
maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak
gejalanya secara rinci.
Dalam hal demikian, peniliaian secara menyeluruh terhadap episode depresif berat
masih dapat dibenarkan.
8

 Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, akan


tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan untuk
menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu.
 Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, atau
urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.

b. Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik (F32.3)


 Episode depresif berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2 tersebut di atas
 Disertai waham, halusinasi, atau stupor depresif. Waham biasanya melibatkan ide tentang
dosa, kemiskinan/malapetaka yang mengancam, dan pasien merasa bertanggung jawab
atas hal itu. Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya berupa suara yang menghina
atau menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat
dapat menuju pada stupor.
 Jika diperlukan waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi
dengan afek (mood-congruent)

4. Episode Depresif Lainnya (F32.8)


5. Episode Depresif YTT (F32.9)

9. Prevalensi depresi lebih banyak pada wanita atau perempuan?


 Jumlah depresi mayor yang lebih tinggi di antara perempuan masih belum diketahui.
 Mengingat bahwa puncak onset gangguan depresi pada perempuan bertepatan dengan
reproduksi tahun (antara usia 25 sampai 44 tahun usia), faktor resiko hormon mungkin
memainkan peran. Estrogen dan progesteron telah ditunjukkan untuk mempengaruhi
neurotransmitter, neuroendokrin dan sistem sirkadian yang telah terlibat dalam gangguan
suasana perasaan. Fakta bahwa perempuan sering mengalami gangguan suasana hati yang
berhubungan dengan siklus menstruasi mereka, seperti gangguan pramenstruasi dysphoric,
juga menunjukkan hubungan antara hormon seks wanita dan suasana perasaan. Selain itu,
fluktuasi hormon yang berhubungan dengan kelahiran adalah pemicu umum bagi gangguan
suasana perasaan. Meski menopause adalah saat ketika seorang wanita risiko depresi
berkurang, periomenopausal periode adalah masa peningkatan resiko bagi orang-orang
9

dengan riwayat depresi besar. Hormon lain faktor yang dapat menyebabkan risiko wanita
untuk depresi adalah perbedaan jenis kelamin berhubungan dengan hypothalmic-hipofisis-
adrenal (HPA) axis dan untuk tiroid berfungsi.
 Wanita mungkin mengalami pelecehan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga
dibandingkan laki-laki. Faktor-faktor semacam ini juga mungkin terlibat dalam
peningkatan risiko depresi mereka.
 Depresi yang dominan pada perempuan muncul saat pubertas dan tampaknya lebih terkait
dengan perubahan kadar hormon seks daripada usia kronologis. Meskipun dulu dianggap
bahwa risiko gangguan depresi meningkat seiring bertambahnya usia, survei terbaru
menunjukkan bahwa depresi berat paling umum terjadi pada kelompok usia 18-44
tahun (Harrison, P, & Fazel, 2019).
 Proporsi populasi global dengan depresi pada 2015 diperkirakan 4,4%:
- Depresi lebih sering terjadi perempuan (5,1%) dibandingkan laki-laki (3,6%).
- Tingkat prevalensi bervariasi menurut usia, puncaknya pada usia lanjut (di atas 7,5% pada
wanita berusia 55-74 tahun, dan di atas 5,5% pada pria).
- Depresi juga terjadi pada anak-anak dan remaja di bawah usia 15 tahun, tetapi pada lebih
rendah daripada kelompok usia yang lebih tua.
- Jumlah total orang yang hidup dengan depresi di dunia adalah 322 juta. Hampir
setengah dari orang-orang ini tinggal di Wilayah Asia Tenggara dan Wilayah Pasifik Barat
(World Health Organization, 2017).
- Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 oleh Kementerian Kesehatan RI 
prevalensi depresi total penduduk yang berusia >> 15 tahun di Indonesia  6,1%.
- Jumlah penduduk Kota Denpasar secara keseluruhan yang mengalami depresi sebesar
3.12% dari jumlah populasi (Kementrian Kesehatan RI, 2018).

10.Etiologi Depresi
a. Faktor Biologis
1. Biogenic Amine
 Neurotransmiter monoamine-norepinefrin, dopamin, serotonin, dan histamin menjadi
fokus utama teori dan penelitian tentang etiologi gangguan ini (Sadock, Sadock, &
Ruiz, 2015; Stahl, 2013).
10

2. Norepineprin
Studi korelasi penurunan sensitivitas reseptor β2 adrenergik dan respons
antidepresan menunjukkan peran langsung sistem noradrenergik dalam depresi.
Pengaktifan reseptor presinaptik β2 pada depresi  penurunan jumlah norepinefrin
yang dilepaskan.
Presinaptik reseptor β2 terletak pada neuron serotonergik dan mengatur jumlah
serotonin yang dilepaskan. Efektivitas klinis obat antidepresan dengan efek
noradrenergik - venlafaxine (Effexor) - menjelaskan peran norepinefrin dalam
patofisiologi gejala depresi.
3. Serotonin
Penurunan serotonin dapat memicu depresi dan beberapa pasien dengan
kecenderunggan bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit serotonin yang rendah dan
konsentrasi rendah dari tempat uptake serotonin pada trombosit.
4. Dopamin
Aktivitas dopamin dapat menurun pada depresi dan meningkat pada mania. Dua
teori terbaru dopamin dan depresi adalah bahwa jalur dopamin mesolimbik tidak
berfungsi serta reseptor dopamin D1 yang hipoaktif pada pasien depresi.

2. Perubahan Regulasi Hormonal


Peningkatan aktivitas HPA merupakan respons stres mamalia yang berkaitan antara
depresi dan biologi stres kronis. Hiperkortisolemia pada depresi menunjukkan satu atau
lebih gangguan sentral berikut:
- Penurunan tone penghambat serotonin
- Peningkatan drive dari norepinefrin, ACh, atau Corticotropin-Releasing Hormone
(CRH); atau
- Penurunan penghambat umpan balik dari hipokampus (Sadock et al., 2015 (Stahl,
2013)).
11

3. Perubahan Neurofisiologi Tidur


Depresi berhubungan dengan penurunan tidur lelap dini (gelombang lambat) dan
peningkatan arrousal nokturnal. Hal tersebut dicerminkan dalam empat jenis gangguan:
- peningkatan terbangun dini hari
- Pengurangan total waktu tidur
- Peningkatan fase tidur rapid eye movement (REM)
- Peningkatan suhu inti tubuh (Sadock et al., 2015).

4. Pencitraan Struktural dan Fungsional Otak


Kelainan konsisten diamati pada gangguan depresi adalah peningkatan frekuensi
hiperintensitas abnormal di daerah subkortikal, seperti daerah periventrikular, ganglia
basal, dan thalamus (Sadock et al., 2015).

b. Faktor Genetik

 Sejumlah penelitian keluarga, adopsi, dan studi kembar telah lama mendokumentasikan
heritabilitas gangguan mood.

 Data keluarga :
jika salah satu orang tua mengalami gangguan mood, seorang anak akan memiliki risiko
antara 10-25 persen mengalami gangguan mood.
Jika kedua orang tua mengalami gangguan mood, risiko menjadi dua kali lipat.
Semakin banyak anggota keluarga yang mengalami gangguan mood, semakin besar
risikonya bagi seorang anak.
Risikonya lebih besar jika anggota keluarga yang terkena adalah kerabat tingkat
pertama daripada kerabat jauh (Stahl, 2013; Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015).
 Studi kembar memberikan bukti kuat bahwa gen menjelaskan 50-70 persen penyebab
gangguan mood. Faktor lingkungan atau faktor lain yang tidak dapat diwariskan
menjelaskan sisanya. Oleh karena itu, terdapat predisposisi atau kerentanan terhadap
penyakit yang diturunkan (Stahl, 2013; Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015).
12

c. Faktor Psikososial
1. Peristiwa Kehidupan dan Stres Lingkungan
Beberapa klinisi  peristiwa kehidupan memainkan peran utama dalam depresi; Peristiwa
kehidupan yang paling sering dikaitkan dengan perkembangan depresi:

-Kehilangan orang tua sebelum usia 11 tahun (Sadock et al., 2015).


-Pernikahan yang tidak bahagia, masalah di tempat kerja, atau rumah tangga yang tidak
memuaskan.
-Dukungan sosial yang buruk, yang diukur sebagai kurangnya keintiman atau integrasi sosial,
dikaitkan dengan peningkatan risiko depresi (Harrison et al., 2018).
-Stresor lingkungan yang paling sering dikaitkan dengan permulaan episode depresi adalah
kehilangan pasangan dan adanya rasa bersalah.
-Faktor risiko lainnya adalah pengangguran; Orang yang tidak bekerja tiga kali lebih mungkin
untuk terjadi gejala episode depresi berat dibandingkan mereka yang bekerja (Sadock et al.,
2015).

2. Efek Terhadap Penyakit Fisik


- Semua penyakit medis dan perawatannya dapat menjadi stressor yang tidak spesifik yang
dapat menyebabkan gangguan mood pada individu yang memiliki kerentanan.
- Kondisi medis tertentu diyakini berperan langsung sebagai etiologi gangguan mood
(misalnya penyakit otak, infeksi tertentu, termasuk HIV, dan gangguan endokrin). Gangguan
mood yang diakibatkannya dikenal sebagai gangguan mood organik (Harrison et al., 2018).

3. Faktor Kepribadian
Orang dengan gangguan kepribadian tertentu, seperti OCD, histrionik, dan kepribadian
ambang mungkin berisiko lebih besar mengalami depresi daripada orang dengan gangguan
kepribadian antisosial atau paranoid (Sadock et al., 2015).

4. Faktor Psikodinamik Pada Depresi


Pengertian psikodinamik depresi didefinisikan oleh Sigmund Freud dan dikembangkan
oleh Karl Abraham dikenal sebagai pandangan klasik tentang depresi.
Teori tersebut melibatkan empat poin kunci:
13

a. Gangguan dalam hubungan bayi-ibu selama fase oral (10 sampai 18 bulan pertama
kehidupan) yang mempengaruhi kerentanan terhadap depresi;
b. Depresi dapat dikaitkan dengan kehilangan objek nyata atau imajiner;
c. Introjeksi objek yang hilang adalah mekanisme pertahanan yang digunakan untuk
mengatasi kesulitan yang terkait dengan kehilangan objek; dan
d. Karena objek yang hilang dianggap dengan campuran cinta dan benci, perasaan marah
diarahkan ke dalam diri (Sadock et al., 2015)

11. Patofisiologi depresi


 Faktor neurokimia pada otak akibat stressor. Menurut Taylor (dalam Anggraieni,
2014), secara klinis stres digerakkan oleh sistem saraf simpatis dan sistem
endokrin dalam tubuh. Sistem saraf simpatis menstimulasi kelenjer adrenalin
untuk mengeluarkan hormon stres yaitu epinephrine, norepinefrin dan kortisol.

 Menurut pandangan neurofisiologi dalam (Davison, 2000) orang yang mengalami


depresi berawal dari ketidakseimbangan zat kimia pada otak. Depresi terjadi
akibat stres yang dapat memicu peningkatan produksi hormon stress yaitu
kortisol.
 Hormon stres kortisol ini dapat merusak dan membuat hippocampus menjadi
lebih kecil dengan cara menghambat pembentukan sel saraf dan jaringan saraf
baru. Hippocampus yang lebih kecil memiliki reseptor serotonin lebih sedikit.
 Serotonin adalah zat kimia otak yang menenangkan atau dopamin.
 Dopamin adalah sebuah neurotransmiter yang membantu mengontrol pusat
kepuasan dan kesenangan di otak. Dopamin juga membantu mengatur tindakan
dan komunikasi antara saraf di otak dengan tubuh yang mendorong untuk
beraktivitas
 Silverthorne (2001) mengatakan bahwa hormon stres kortisol diproduksi secara
berlebihan pada orang depresi. Peneliti tersebut percaya bahwa kortisol memiliki
efek toksik atau beracun bagi hippocampus  Apabila hippocampus ini
mengecil dan rusak maka otak memiliki reseptor serotonin atau dopamin
lebih sedikit. Namun ada juga beberapa ahli berteori bahwa penderita depresi
14

terlahir dengan hippocampus yang lebih kecil dan karena itu cenderung
untuk menderita depresi.

Gejala-gejala GSPT timbul sebagai akibat dari respons biologik dan juga psikologis seseorang

individu, kondisi ini terjadi oleh karena aktivasi dari beberapa sistem di otak yang berkaitan

dengan timbulnya perasaan takut pada seseorang. Terpaparnya seseorang oleh peristiwa yang

traumatik akan menimbulkan respons takut sehingga otak dengan sendirinya akan menilai

kondisi keberbahayaan peristiwa yang dialami, serta mengorganisasi suatu respons perilaku yang

sesuai. Dalam hal ini, amigdala merupakan bagian otak yang sangat berperan besar. Amigdala

akan mengaktivasi beberapa neurotransmitter serta bahan-bahan neurokimiawi di otak jika

seseorang menghadapi suatu peristiwa traumatik yang mengancam nyawa sebagai respons tubuh

untuk menghadapi peristiwa tersebut.

Dalam waktu beberapa mili detik setelah mengalami peristiwa tersebut, amigdala dengan

segera akan bereaksi dengan memberikan stimulus berupa tanda darurat kepada:

1. Sistem saraf simpatis (Katekolamin)


2. Sistem saraf Parasimpatis
3. Aksis hipotalamus-hipofisis-kelenjar adrenal (Aksis HPA)

Akibat dari perangsangan pada sistem saraf simpatis segera setelah mengalami peristiwa

traumatik, maka akan terjadi peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Kondisi ini disebut

sebagai reaksi ”flight or flight reaction”. Reaksi ini juga akan meningkatkan aliran darah dan

jumlah glukosa pada otot-otot skeletal, sehingga membuat seseorang sanggup untuk berhadapan

dengan peristiwa tersebut atau jika mungkin memberikan reaksi interaktif terhadap ancaman

yang optimal. Reaksi sistem saraf simpatis pada beberapa jaringan tubuh, namun respons ini

bekerja secara bebas dan tidak berkaitan dengan respons yang diberikan oleh sistem saraf

simpatis.
15

Aksis HPA juga akan terstimulasi oleh beberapa neuropeptida otak pada waktu orang

berhadapan dengan peristiwa traumatik. Hipotalamus akan mengeluarkan Cortico-Realising

Factor (CRF) dan beberapa neuropeptida regulator lainnya, sehingga kelenjar hipofisis akan

terangsang dan mensekresi pengeluaran adrenoorticotropic hormone (ACTH) yang akhirnya

menstimulasi pengeluaran hormon kortisol dari kelenjar adrenal.

Jika seseorang mengalami tekanan, maka tubuh secara alamiah akan meningkatkan

pengeluaran katekolamin dan hormon kortisol. Pengeluran kedua zat ini tergantung pada derajat

tekanan yang dialami oleh individu. Katekolamin berperan dalam menyediakan energi yang

cukup dari beberapa organ vital tubuh dalam bereaksi terhadap tekanan tersebut. Hormon

kortisol berperan dalam menghentikan aktivasi saraf simpatik dari beberapa sistem yang bersifat

defensif tadi yang timbul akibat dari peristiwa traumatik yang dialami oleh individu tersebut.
16

Dengan kata lain, hotmon kortisol berperan dalam proses terminasi dari respons tubuh dalam

menghadapi tekanan. Peningkatan hormon kortisol akan menimbulkan efek umpan balik negatif

pada aksis HPA tersebut.

Anda mungkin juga menyukai