Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Antibiotik
Istilah antibiotik merujuk pada zat kimia yang diproduksi
dari bakteri atau fungi pada suatu proses yang tejadi secara alami,
semi-sintetik atau sintetik dimana zat kimia tersebut memiliki
aktivitas antibakteri berupa mekanisme yang menginduksi
kematian sel atau penghambatan pertumbuhan mikroorganisme
(Lara et al., 2012). Antibiotik digunakan untuk pengobatan bagi
manusia dan hewan dengan tujuan mencegah dan mengobati
suatu penyakit akibat infeksi mikroorganisme (Lara et al., 2012).
Mekanisme kerja antibiotik dalam membunuh atau menghambat
pertumbuhan mikroorganisme ada berbagai macam, antara lain
menghambat sintesis DNA, RNA, protein, asam folat dan dinding
sel bakteri (Kohanski et al., 2010; Coyle, 2005). Mekanisme
kerja antibiotik yang menginduksi kematian sel bakteri
merupakan proses kompleks yang dimulai dengan interaksi fisik
antara molekul antibiotik dan target spesifik antibiotik pada
bakteri, dan melibatkan perubahan yang berefek pada bakteri
target pada level biokimia, molekular, dan ultrastruktural
(Kohanski et al., 2010).

Gambar 2. 1 Mekanisme Kerja Antibiotik β-Lactam (Kohanski et


al., 2010)

5
6

Penicilin merupakan salah satu antibiotik β-laktam yang


telah digunakan untuk pengobatan berbagai penyakit akibat
infeksi bakteri selama enam dekade (Lara et al., 2012). Antibiotik
β-laktam adalah jenis antibiotik yang memiliki struktur cincin β-
laktam pada struktur molekularnya. Antibiotik jenis ini
merupakan antibiotik yang paling banyak digunakan, lebih dari
60% antibiotik yang dijual secara komersil di dunia merupakan
antibiotik jenis β-laktam. Antibiotik jenis ini bekerja dengan
menghambat biosintesis dinding sel bakteri (Homem and Santos,
2011). Antibiotik β-laktam menghalangi proses pengikatan silang
unit peptidoglikan dengan menghambat reaksi pembentukan
ikatan peptida yang dikatalisis oleh Penicillin Binding Protein
(PBP) (Holtje, 1998). Antibiotik β-lactam bersifat analog dengan
terminal D-alanyl-D-alanine dipeptida pada peptidoglikan dan
berperan sebagai substrat bagi PBP selama proses pembentukan
ikatan menyilang unit peptidoglikan (Josephine et al., 2004).

2.2 Mekanisme Resistensi Bakteri


Resistensi bakteri terhadap antibiotik merupakan mekanisme
serangan balasan oleh bakteri dengan tujuan mempertahankan diri
dan membentuk relung ekologi (Aliero and Ibrahim, 2015).
Resistensi bakteri terhadap antibiotik terjadi karena beberapa
mekanisme antara lain, inaktivasi antibiotik secara enzimatik,
contohnya enzim β-lactamase yang mampu menghidrolisis empat
ikatan amida pada struktur cincin β-lactam (Davies, 1994; Wilke
et al. 2005), perubahan sisi aktif antibiotik (Spratt, 1994), dan
pompa efflux antibiotik (Nakaido, 1994).
Produksi enzim hidrolitik dan transferase merupakan suatu
strategi yang digunakan beberapa bakteri patogen untuk
meghindari efek yang timbul akibat antibiotik (Wright, 2005).
Gen yang mengkode enzim pendegradasi antibiotik biasanya
terdapat pada plasmid, salah satu enzim tersebut adalah enzim β-
lactamase (Zeighampour et al., 2013). Enzim tersebut mampu
menghidrolisis empat ikatan amida pada struktur cincin β-lactam
sehingga struktur cincin β-lactam terbuka (Wilke et al. 2005).
7

Perubahan struktur kimia pada antibiotik dapat menyebabkan


afinitas antibiotik terhadap sisi aktif tempat berikatannya
antibiotik dengan target berkurang (Lambert, 2005). Mekanisme
tersebut terjadi dimediasi oleh induksi enzim (Aliero and Ibrahim,
2015). Beberapa studi menunjukkan bahwa efflux aktif dapat
menjadi mekanisme resistensi bakteri terhadap hampir semua
antibiotik (Li et al., 1994; Gill et al., 1999; Lin et al., 2002).
Mayoritas sistem efflux pada bakteri merupakan protein dengan
target yang tidak spesifik yang mampu mengenali dan memompa
keluar senyawa yang tidak memiliki keterkaitan secara kimia
maupun struktural dengan sel bakteri itu sendiri (Kumar and
Schweizer, 2005). Protein pompa efflux dikode oleh gen house-
keeping yang tersebar luas pada genom bakteri (Lomovskaya and
Bostian, 2006).

2.3 Tanaman Obat sebagai Alternatif Antibiotik Alami


Manusia telah mengenal manfaat tanaman obat selama lebih
dari 60.000 tahun dan sampai saat ini, tanaman obat masih
digunakan oleh 80% dari populasi manusia untuk kesehatan
(Basappa et al., 2013). Tanaman obat merupakan sumber agen
antibiotik dan obat yang potensial dan sangat kuat (Basappa et al.,
2013). Kelebihan tanaman obat sebagai antibiotik antara lain
lebih aman dibanding antibiotik sintetik, relatif murah karena
mudah didapatkan dan dapat disimpan dalam waktu yang lama
pada kondisi suhu ruang (Basappa et al., 2013).
Penelitian mengenai kandungan tanaman obat yang memiliki
aktivitas antibakteri telah banyak dilakukan dan hasilnya
menunjukkan bahwa banyak tanaman obat yang memiliki
aktivitas antibakteri (Dabur et al. 2007). Hal ini disebabkan
karena tanaman obat memiliki berbagai macam metabolit
sekunder yang bersifat antimikroba seperti saponin, tanin,
alkaloid, alkenyl fenol, glikoalkaloid, flavonoid, seskuiterpen
lakton, terpenoid, dan phorbol ester (Lewis and Ausubel, 2006).
Senyawa-senyawa metabolit sekunder tersebut memiliki aktivitas
antimikroba yang berbeda seperti gangguan pada membran sel
8

bakteri yang disebabkan oleh senyawa terpenoid dan fenolik,


kelasi kandungan metal oleh senyawa fenol dan flavonoid,
gangguan pada materi genetik oleh senyawa coumarin dan
penghambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh senyawa
alkaloid (Cowan, 1999).

2.4 Tanaman Obat di Pulau Poteran sebagai Antibiotik Alami

Gambar 2. 2 Pulau Poteran, Madura (Google Maps, 2017).

Pulau Poteran merupakan pulau yang berada di Kecamatan


Talango, Kabupaten Sumenep, Pulau Poteran terletak di sebelah
tenggara Pulau Madura. Luas Pulau Poteran mencapai 49,8 km 2
(Direktori Pulau-Pulau Kecil Indonesia, 2017). Secara
astronomis, Pulau Poteran berada antara 113,92º sampai 114,08
LS dan antara 7,04º sampai 7,12º BT. Pulau Poteran termasuk
pulau yang bertopografi landai dengan tingkat kemiringan kurang
dari 30% dan berada pada ketinggian kurang dari 500m dpl,
sehingga termasuk dalam kategori dataran rendah (Direktori
Pulau-Pulau Kecil Indonesia, 2017). Pulau Poteran Madura
memiliki banyak tanaman obat yang berpotensi sebagai antibiotik
alami. Beberapa tanaman obat yang berpotensi sebagai antibiotik
alami antara lain Bidara laut (S. lucida), Kelor (M. oleifera),
9

Kayu jaran (L.coromandelica), Tanaman Penisilin/ Yodium (J.


multifida) dan Kaktus centong (O. cochenillifera).

2.4.1 Bidara Laut (S. lucida)


a b c

Gambar 2. 3 Bidara Laut (S. lucida) di Pulau Poteran


(Dokumentasi pribadi, 2017). a. Pohon Bidara Laut b. Batang
Bidara Laut c. Daun Bidara laut

Bidara laut (S. lucida) merupakan salah satu tanaman


obat potensial yang banyak digunakan untuk mengobati
berbagai macam penyakit seperti malaria, demam, penyakit
kulit, gangguan sirkulasi darah (Setiawan, 2012). Bidara Laut
biasanya tumbuh secara liar di hutan – hutan yang letaknya di
dekat pantai (Heyne, 1987).
Klasifikasi dari bidara laut menurut (Gusmailina dan
Komarayati, 2015) adalah adalah sebagai berikut,
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Sub kelas : Sympetalae
Bangsa : Gentianales
Suku : Longaniaceae
10

Marga : Strychnos
Jenis : Strychnos lingustrida
Sinonim : S. lucida

2.4.2 Kelor (M. oleifera)


a b

Gambar 2. 4 Kelor (M. oleifera) di Pulau Poteran


(Dokumentasi pribadi, 2017). a. Pohon Kelor b. Daun Kelor

Kelor (M. oleifera) merupakan tanaman yang menarik


karena kegunaan senyawa aktif yang terkandung didalamnya
(Leone et al., 2015). Pohon kelor mampu tumbuh hingga
ketinggian 12 m dan merupakan tanaman indegenus di daerah
kaki bukit Himalaya (India utara, Pakistan, dan Nepal)
(Sharma et al., 2011; Roloff et al., 2009). Pohon Kelor mampu
tumbuh pada daerah tropis maupun subtropis dengan kondisi
lingkungan yang kering hingga lembab dimana rata-rata
tingkat presipitasi 760 hingga 2500 mm per tahun dan
temperatur antara 18 hingga 28ºC (Palada, 1996; Nouman et
al., 2014).
Semua bagian tanaman Kelor mampu dimanfaatkan
secara tradisional untuk keperluan yang berbeda, tetapi daun
11

Kelor merupakan bagian yang paling banyak dimanfaatkan


(Popoola et al., 2013). Daun Kelor dimanfaatkan untuk
mengobati beberapa macam penyakit termasuk malaria,
demam tipus, penyakit akibat parasit, arthritis, penyakit kulit,
hipertensi dan diabetes. Daun Kelor juga dimanfaatkan
memperbanyak air susu ibu dan meningkatkan sistem imun
(Popoola et al., 2013; Sivasankari et al., 2014; Anwar et al.,
2007). Beberapa senyawa aktif dalam daun Kelor yang
bermanfaat antara lain vitamin, karotenoid, polifenol, asam
fenolik. flavonoid, alkaloid, glukosinolat, isothiocyanates,
tanin, saponin, oksalat, dan phytates (Leone et al., 2015).
Klasifikasi dari tanaman Kelor menurut (Roloff et al.,
2009) adalah sebagai berikut,
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Subkelas : Dialypetalae
Bangsa : Rhoeadales (Brassicales)
Suku : Moringaceae
Marga : Moringa
Jenis : M. oleifera

2.4.3 Kayu Jaran (L. coromandelica)


12

a b c

Gambar 2. 5 Kayu Jaran (L. coromandelica) di Pulau Poteran


(Dokumentasi pribadi, 2017). a. Pohon Kayu Jaran b. Batang
Kayu Jaran c. Daun Kayu Jaran

Kayu Jaran (L. coromandelica) merupakan pohon yang


termasuk dalam famili Anacardiaceae dan tersebar luas pada
negara-negara dengan iklim tropis (Alam et al., 2012). Kulit
kayu tanaman ini dikenal sebagai obat untu penyakit kulit,
luka, dan sebagai agen antibakteri serta antifungal (Franco et
al., 2009; Heda et al., 2009; Queiroz et al., 2013).
Klasifikasi dari tanaman Kayu Jaran menurut (Wahid,
2008) adalah sebagai berikut,
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Spermatophyta
Subkelas : Rosids
Bangsa : Sapindales
Suku : Anacardiaceae
Marga : Lannea
Jenis : L. coromandelica

2.4.4 Yodium/ Penisilin (J. multifida)


13

a b c

Gambar 2. 6 Tanaman Yodium/ Penisilin (J. multifida) di


Pulau Poteran (Dokumentasi pribadi, 2017). a. Daun Tanaman
Penisilin b. Pohon Penisilin c. Bunga Tanaman Penisilin

Tanaman Yodium (J. multifida) merupakan pohon kecil


menyerupai semak yang memiliki pertumbuhan yang relatif
cepat. Tanaman ini termasuk kedalam famili Euphorbiaceae.
Akar, batang, daun, biji dan minyak dalam tanaman Yodium
digunakan orang Afrika sebagai obat tradisional untuk
mengobati gonore, demam, luka dan infeksi pada kulit
(Falodun et al., 2014; Dehgan, 1982; Aiyelaagbe, 2001).
Klasifikasi dari tanaman Yodium menurut (Depkes, 2000)
adalah sebagai berikut,
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Euphorbiales
Suku : Euphorbiaceae
Marga : Jatropha
Jenis : J. multifida

2.4.5 Kaktus Centong (O. cochenillifera)


14

a
b

Gambar 2. 7 Kaktus Centong (O. cochenillifera) (Shafiei et al.,


2013). a. Daun Kaktus b. Buah kaktus centong

Kaktus centong (O. cochenillifera) dikenal juga dengan


nama Nopalea cochenillifera. Hal yang membedakan kaktus
centong dengan katus yang lainnya adalah tubuhnya berbentuk
bantalan yang rata yang disebut cladodes (Pooja et al., 2016).
Tanaman ini merupakan tanaman asli dari Mexico atau Amerika
tengah yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan, obat-obatan,
bahan kosmetik, dan sebagai pagar alami (Ellof, 1998; Barthlott
et al., 1993).
Beberapa penelitian menunjukkan adanya kandungan
senyawa aktif pada Kaktus Centong sehingga tanaman ini
dimanfaatkan untuk mengobati rematik, peradangan, dan diare
(Nerd et al., 1997; Mabberley, 1997; Park et al., 1998). Analisa
ekstrak cladodes dari Kaktus Centong menunjukkan adanya
kandungan alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, dan resin (Pooja et
al., 2016).
Klasifikasi dari tanaman Kaktus Centong menurut (Shetty
et al., 2012) adalah sebagai berikut,
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Bangsa : Caryophyllales
15

Suku : Cactaceae
Marga : Opuntia
Jenis : O. cochenillifera

2.5 Uji Antibiotik


Uji antibiotik terhadap bakteri pada prinsipnya adalah untuk
melihat kemampuan suatu antibiotik dalam menghambat
petumbuhan bakteri yang tumbuh secara in vitro dan penentuan
bakteri penyebab penyakit yang kemungkinan menunjukkan
resistensi terhadap antibiotik yang diujikan (Soleha, 2015; Coyle,
2005). Metode dasar uji antibiotik antara lain, metode dilusi dan
metode difusi (Soleha, 2015).
Metode dilusi bertujuan untuk penentuan aktivitas antimikroba
secara kuantitatif. Metode dilusi terdiri dari dua teknik pengerjaan
yaitu teknik dilusi perbenihan cair dan teknik dilusi agar.
Antimikroba yang diuji dilarutkan kedalam media agar atau kaldu
dan ditambahkan bakteri yang akan diuji. Konsentrasi terendah
yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri disebut MIC
(Minimum Inhibitory Concentration) (Al Ani et al., 2015; Soleha,
2015).
Metode difusi dilakukan dengan menggunakan cakram kertas
yang telah diberi sejumlah antimikroba dan ditempatkan pada
media yang telah ditumbuhi mikroorganisme. Aktivitas
antimikroba diukur dengan terbentuknya zona jernih yang
terbentuk di sekitar cakram (Koneman, 2006; Soleha, 2015).
Ukuran zona jernih tergantung pada kecepatan difusi antimikroba,
derajat sensitivitas mikroorganisme dan kecepatan pertumbuhan
bakteri uji (Koneman, 2006).

2.6 Biosintesis Peptidoglikan


Peptidoglikan bakteri tidak hanya memungkinkan bakteri
untuk bertahan terhadapa tekanan intraseluler dari beberapa
atmosfir yang terjadi dalam sel, tetapi juga menyediakan
bentukan sel yang digunakan dari generasi-ke generasi (Sauvage
et al., 2008). Peptidoglikan tersusun dari rantai glikan dimana N-
16

asetilglukosamin dan asam N-asetilmuramic saling bersilangan


dengan rantai peptida pendek yang menempel pada N-
asetilmuramic (Schleifer et al., 1972; Vollmer et al., 2008).
Biosintesis peptidoglikan terjadi dalam tiga tahap, yang
pertama, prekursor nukleotida (UDP-N-asetilglukosamin dan
UDP-N-asetilmuramil pentapeptida) yang dapat larut dan
teraktivasi, disintesis di dalam sitoplasma (Barretau et al., 2008).
Tahap yang kedua, pada bagian dalam lembaran membran dalam,
prekursor nukelotida dipasangkan dengan undecaprenyl
phosphates untuk membentuk monomer subunit lipid disakarida-
pentapeptida (lipid II) (Bouhss et al., 2008; Mohammadi et al.,
2011). Tahap yang ketiga, lipid II berpolimerisasi, melepaskan
undecaprenyl pyrophosphates, dan menghasilkan rantai glikan
yang tersisipkan ke dalam sacculus (Sauvage et al., 2008).
Biosintesis peptidoglikan membutuhkan glikosiltransferase
(GTase) untuk mempolimerisasi rantai glikan dan DD-
transpeptidase (DD-TPase) untuk menyilangkan peptida (Vollmer
and Bertsche, 2008) dan TP-ase yang disebut juga Penicillin-
Binding Protein (PBP), karena memiliki kemampuan untuk
mengikat penisilin secara kovalen (Suginaka et al., 1972).
Penicillin-binding Protein (PBP) terbagi menjadi tiga kelas,
dimana PBP kelas A dan B berperan dalam biosintesis
peptidoglikan, sedangang PBP kelas C berperan dalam hidrolisis
peptidoglikan. PBP mengandung sisi aktif residu Serin dimana
merupakan target dari antibiotik β-lactam (seperti penisilin)
(Typas et al., 2012).
17

Gambar 2. 8 Jalur Biosintesis Peptidoglikan pada Bakteri dan


Intervensi Kerja Antibiotik pada Biosintesis Peptidoglikan
Bakteri (Katayama et al., 2003)

Karena lapisan peptidoglikan tidak terdapat pada sel hewan,


jalur biosintesis peptidoglikan merupakan target utama dari kerja
antibiotik (Katayama et al., 2003).
18

2.7 Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-


PCR)
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah teknik untuk
mengamplifikasi sekuens DNA spesifik menjadi ribuan hingga
jutaan kopi sekuens DNA (Hewajuli et al., 2014). Proses PCR
merupakan siklus berulang dari denaturasi template DNA, proses
annealing primer, dan pemanjangan primer untuk
mengamplifikasi sekuens DNA (Santos et al., 2004). PCR
dikembangkan oleh Kary Mullis pada tahun 1983 (Saiki et al.,
1983).
Reverse Transcriptase PCR (RT-PCR) digunakan untuk
mendeteksi atau menghitung ekspresi mRNA (Santos et al.,
2004). RT-PCR mengkombinasikan sintesis cDNA dari template
RNA dengan PCR sebagai metode yang cepat dan sensitif untuk
menganalisis ekspresi gen (Santos et al., 2004). Template untuk
RT-PCR dapat berupa total RNA atau poly (A) RNA terpilih
(Santos et al., 2004). Reaksi Reverse Transcriptase dapat
menggunakan primer acak, oligo(dT), atau menggunakan primer
dengan gen spesifik (Santos et al., 2004).

Gambar 2. 9 Diagram Skematik dari Proses RT-PCR


Menunjukkan bahwa RNA yang Diisolasi dari Sel atau Jaringan
Digunakan sebagai Substrat dalam Proses Reverse Transcription
untuk Sintesis cDNA yang akan Tersaji sebagai Template untuk
Amplifikasi oleh PCR (Santos et al., 2004).
19

RT-PCR dapat dilakukan dengan satu tahap saja atau


dibagi menjadi dua tahap. Pada proses yang melibatkan dua
tahap, setiap tahapan dilakukan pada kondisi yang optimal,
sintesis cDNA dilakukan pertama kali dalam RT buffer dan
sepersepuluh dari reaksi dihilangkan untuk PCR (Santos et al.,
2003). Pada RT-PCR satu tahap proses reverse transcription dan
PCR dilakukan berurutan pada satu tube pada kondisi yang
dioptimalkan untuk reverse transcription maupun PCR (Santos et
al., 2004).

2.8 Gen Pengkode Penicillin Binding Protein (PBP)


Peptidoglikan merupakan makromolekul besar yang terdiri
dari untai glikan yang terhubung secara menyilang oleh ikatan
peptida pendek. Peptidoglikan mengelilingi sel dan melindungi
sel dari berbagai macam cekaman seperti tekanan osmosis
(Vollmer et al., 2008). Peptidoglikan disintesis oleh banyak
enzim, salah satunya adalah Penicillin Binding Protein (PBP).
Bentuk peptidoglikan akan menentukan bentuk sel, sehingga
sangat penting bagi sel untuk meregulasi aktivitas dan lokalisasi
PBP yang berfungsi untuk mensintesis peptidoglikan secara
benar. Pada Eschericia coli, antibiotik β-laktam terikat paling
kuat pada protein PBP2 yang merupakan enzim spesifik yang
mensintesis peptidoglikan yang dikode oleh gen mrdA (Spratt,
1975; Adler et al., 2016). Mutasi yang terjadi pada gen mrdA
menyebabkan bakteri Escherichia coli lebih sensitif terhadap
mecillinam, inhibitor spesifik dari protein PBP. Tetapi, secara
keseluruhan, mutasi yang terjadi pada gen mrdA tidak
mempengaruhi struktur sisi aktif PBP2 secara signifikan, tetapi
mungkin dapat mengubah proses seluler yang berkaitan dengan
fungsi RodZ (Shiomi et al., 2013). RodZ merupakan protein yang
berinteraksi dengan protein MreB dimana keduanya merupakan
faktor yang dibutuhkan oleh bakteri E. coli untuk menjaga bentuk
selnya tetap berbentuk batang (rod) (Shiomi et al., 2013).
Pada S. aureus gen yang mengkode PBP adalah gen
SAOUHSC_01145 atau dapat juga disebut gen pbp1 karena
20

mengkode pembentukan protein PBP1 (Sun et al., 2013). Mutasi


yang terjadi pada gen pbp1 belum terlibat pada resistensi S.
aureus sebelumnya (Ba et al., 2013). Namun, pada
Staphylococcus lugdunensis, duplikasi tetrapeptida pada domain
tetrapeptidase PBP1 A/B telah terbukti memiliki hubungan
dengan peningkatan resistensi β-laktam (Kotsakis et al., 2012).
21

Anda mungkin juga menyukai