Hardcover
Hardcover
Dosen Pengampu :
Dr. Awik Puji Dyah Nurhayatim S.Si., M.Si.
Noor Nailis Sa’adah, S.Si., M.Sc.
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN ANALITIKA DATA
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA 2021
i
PERKEMBANGAN HEWAN – SB184407
Dosen Pembimbing
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN ANALITIKA DATA
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA 2021
ii
FINAL PROJECT – SB141510
Thesis Advisor
DEPARTMENT OF BIOLOGY
FACULTY OF SCIENCE AND DATA ANALYTICS
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA 2021
iii
iv
LEMBAR PENGESAHAN
PROPOSAL TUGAS AKHIR
Oleh :
Mengetahui
Kepala Departemen Biologi
v
vi
UJI KETERATOGENIKAN TERAHDAP FETUS
Mus Musculus
Abstrak
Uji keteratogenikan adalah uji ketoksikan suatu obat yang
diberikan atau digunakan selama masa organogenesis suatu hewan
bunting. Uji ini digunakan untuk menentukan apakah suatu obat
dapat menyebabkan kelainan atau cacat bawaan pada diri janin
yang dikandung oleh hewan bunting, dan apakah cacat tersebut
berkerabat dengan dosis obat yang diberikan. Alkohol, antibiotik,
kafein, asap rokok dan minuman berkarbonasi diketahui termasuk
zat teratogen karena berdampak pada kerusakan fetus. Hasil
praktikum ini yakni pada alkohol, asap rokok, kafein, antibiotik,
nanas dan minuman berkarbonat bersifat teratogenik dan
berpengaruh terhadap tulang fetus Mus musculus. Data yang
diambil melalui pengamatan adalah mencakup data penulangan
sterna, vertebrae, dan costae untuk mengetahui adanya malformasi
pada fetus. Diamati pada bagian ini karena bahan teratogen
memberikan dampak kerusakan langsung pada organ organ tulang
diatas . Praktikum ini bertujuan secara umum untuk memahami uji
keteratogenikan suatu bahan, tujuan khusus untuk mengetahui
bahan yang bersifat teratogenik dan mengetahui dampak teratogen
terhadap perkembangan fetus.
vii
METERATOGENIC TEST OF FETUS
Mus Musculus
Abstract
The teratogenicity test is the test for the toxicity of a drug that is
given or used during the organogenesis of a pregnant animal. This
test is used to determine whether a drug can cause abnormalities or
congenital defects in the fetus in a pregnant animal, and whether the
defect is related to the dose of the drug given. Alcohol, antibiotics,
caffeine, cigarette smoke and carbonated drinks are known to be
teratogens because they have an impact on fetal damage. The results
of this practicum are alcohol, cigarette smoke, caffeine, antibiotics,
pineapple and carbonated drinks which are teratogenic and affect the
fetal bones of Mus musculus. Data taken through observation
includes data on sterna reinforcement, vertebrae, and ribs to
determine the presence of malformations in the fetus. It is observed
in this section because teratogens have a direct impact on the bone
organs above. This practicum generally aims to understand the
teratogenicity test of a substance, the specific goal of which is to
determine which materials are teratogenic and to determine the
effects of teratogens on fetal development.
viii
ix
KATA PENGANTAR
x
xi
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN..........................................................v
ABSTRAK ................................................................................vii
ABSTRACT .................................................................................ix
KATA PENGANTAR ................................................................xi
DAFTAR ISI ............................................................................xiii
DAFTAR TABEL .....................................................................xv
DAFTAR GAMBAR................................................................xvi
DAFTAR LAMPIRAN...........................................................xxvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.......................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................2
1.3 Batasan Masalah.....................................................................2
1.4 Tujuan....................................................................................2
1.5 Manfaat..................................................................................2
DAFTAR PUSTAKA.................................................................35
LAMPIRAN...............................................................................42
BIODATA PENULIS.................................................................47
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1.5.1 Rataan Jumlah Ruas Metakarpus
Dan Metatarsus Fetus dari Induk 27
yang Mendapat Perlakuan Ekstrak
Buah Nanas
Muda.......................................
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar Hasil Praktikum Malformasi pada
4.1.1.1 Janin setelah Pemberian 13
Alkohol..............................................
Gambar Hasil Praktikum Malformasi pada 16
4.1.2.1 Janin setelah Pemberian
Kafein................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Diskusi.............................................. 42
Lampiran 2 Diagram Alir
Penelitian........................................... 46
xvi
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Permasalahan
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan uji keteratogenikan?
1.2.2 Bahan apa yang digunakan untuk uji
keteratogenikan?
1.2.3 Dampak apa yang disebabkan oleh bahan teratogen?
1.4 Tujuan
Praktikum ini bertujuan secara umum untuk memahami uji
keteratogenikan suatu bahan, tujuan khusus untuk mengetahui bahan
yang bersifat teratogenik dan mengetahui dampak teratogen terhadap
perkembangan fetus.
1.5 Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari praktikum uji keteratogenikan
ini adalah dapat mengetahui bahan yang bersifat teratogenik dan
mengetahui dampak teratogen terhadap perkembangan fetus. Serta
dapat digunakan sebagai referensi masyarakat tentang suatu bahan
yang bersifat teratogenik, sehingga mampu mencegah terjadinya
abnormalitas pada janin.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teratogenesis
2.2. Malformasi
1
3
embrio, dari genetika abnormal yang diturunkan dari orang tua atau
dari faktor lingkungan (Kaleelullah dan Garugula, 2021). Baik faktor
genetik maupun lingkungan dapat menyebabkan cacat bawaan. Alat
diagnostik dan terapeutik telah meningkat secara progresif dalam
beberapa dekade terakhir dimana dapat berkontribusi pada
identifikasi dan pengurangan morbiditas atau mortalitas jangka
panjang (Corsello dan Giuffrè, 2012).
6
45-55 % (Marbawati dkk., 2009). Pengamatan siklus estrus pada
mencit dilakukan setelah aklimasi selama kurang lebih 7 hari.
Aklimatisasi merupakan proses penyesuaian dua kondisi lingkungan
yang berbeda sehingga kondisi tersebut tidak menimbulkan stress
bagi mencit. Aklimatisasi bertujuan untuk membuat objek dapat
bertahan pada perubahan salinitas yang diuji (Arianto dkk., 2018).
Pengawinan dan penetapan masa hamil mencit, Diamati siklus estrus
mencit setiap hari hingga diperoleh mencit dengan keadaan estrus.
Dikawinkan mencit betina (estrus) dan mencit jantan dengan cara
dicampur dalam 1 kandang. Diamati vaginal plug secara berkala
pada mencit betina untuk menentukan hari ke-0 kehamilan.
Dipisahkan mencit betina ke kandang berbeda setelah diketahui
kehamilannya. Dipelihara mencit betina selama ± 6 hari (Harahap,
dkk. 2017).
7
obat dimasukkan (Puspita, 2017). Lalu diambil mencit dari kandang
lalu diletakkan diatas penutup kawat sambil dipegang bagian ekor
lalu dijepit kulit tengkuk mencit dengan ibu jari dan telunjuk dengan
tangan berbeda. Kemudian dipindahkan ekor mencit ke sela-sela
kelingking dan jari manis. Hal tersebut bertujuan untuk mencegah
tendangan dengan kaki belakang, sehingga meminimalkan adanya
cakaran dari mencit (Ridwan, 2013).
Dicekokkan secara perlahan zat teratogen menggunakan
jarum sonde melalui oral hingga kedalam kerongkongan mencit.
Pemberian langsung dengan oral lebih disukai daripada mencampur
zat dengan makanan atau air minum karena asupan zat dapat diukur
dengan tepat. Jarum ujung bola digunakan untuk mencegah
kerusakan esofagus dan melewati lubang glotal ke dalam trakea.
Jarum ujung bola 22 G cocok untuk diberikan pada tikus dewasa.
ikus yang sadar ditahan secara manual dengan kuat dengan
mencengkeram lipatan kulit dari tengkuk di bagian belakang. Saat
leher diperpanjang posisinya vertikal. Sebuah garis lurus terbentuk
antara mulut dan sfingter jantung melalui lubang esofagus. Zat
tersebut kemudian diberikan secara perlahan. Jika ada halangan yang
dirasakan, jika tikus batuk, tersedak atau mulai meronta dengan kuat
setelah pemukulan dimulai, atau jika cairan terlihat keluar melalui
hidung, ini mungkin menunjukkan bahwa jarum telah memasuki
paru-paru. Salah satu dari tanda-tanda ini mengharuskan pencabutan
jarum segera, dan tikus harus diamati dengan sangat hati-hati. Jika
ada tanda-tanda bahwa cairan telah masuk ke paru-paru, tikus harus
di-eutanasia. Segera setelah pemberian selesai, jarum harus ditarik
(Shimizu, S. 2004).
4.1.1. Alkohol
11
/ sedang pada tahap perkembangan embrio tikus awal (contoh:
gastrulasi atau neurulasi) berhubungan dengan defisit perilaku dalam
pembelajaran spasial, ketidakmampuan memori, perkembangan
sensorimotor yang tertunda, hipoaktivitas, dan peningkatan
emosionalitas dalam masa dewasa (Shan, T. et al. 2020)
12
kemih neurogenik, dan malrotasi ginjal. Malformasi jantung dapat
mencakup defek septum atrium atau ventrikel serta anomali arteri
aorta dan pulmonal. Pada anak-anak yang terkena FAS,
microphthalmia dan cacat telinga bagian dalam menyebabkan
masalah penglihatan dan pendengaran. Meskipun dianggap sebagai
bagian dari SSP, malformasi mata dan telinga dapat timbul karena
mekanisme yang tidak bergantung SSP (Shabtai dan Fainsod, 2018).
13
digit yang sedikit memendek atau hilang dan kelengkungan digit
(secara klinodaktyly) (Shabtai dan Fainsod, 2018).
4.1.2. Kafein
14
meningkatkan kehilangan kalsium urin secara akut. Konsumsi kafein
telah dilaporkan dapat menurunkan kepadatan mineral tulang
(BMD), meningkatkan risiko patah tulang pinggul dan secara negatif
mempengaruhi retensi kalsium. Dalam studi longitudinal tentang
interaksi antara asupan kafein, polimorfisme reseptor vitamin D
(VDR), dan kepadatan mineral tulang (BMD), menunjukkan bahwa
jika asupan kafein dalam jumlah lebih dari 300 mg / hari (sekitar 514
g, atau 18 ons, kopi yang diseduh) mempercepat keropos tulang di
tulang belakang pada wanita pascamenopause lanjut usia (Tsuang et
al., 2006).
15
a b c
16
embrio Mus musculus yang terpapar kafein menunjukkan adanya
sternum yang tidak termineralisasi. Hal ini sesuai literatur yang
menyatakan bahwa pemberian teratogen kafein pada mencit betina
yang sedang bunting dengan dosis 50 dan 100 mg/kg berat badan
dapat menyebabkan pengerasan endokondral pada janin yang
dikandung. Pemberian kafein dengan dosis yang melebihi juga dapat
menyebabkan rusaknya pertumbuhan tulang karena implantasi
subkutan dari fragmen tulang yang mengalami demineralisasi pada
tikus di mana kondrogenesis dihambat oleh penurunan ekspresi
kolagen II, histon dan TGF beta juga menghasilkan ukuran yang
lebih kecil (Reis et al., 2014).
17
penurunan aliran darah plasenta, detak jantung janin, dan retardasi
pertumbuhan intrauterine (Kuczkowski, 2009).
18
dapat berdampak fatal karena ketidakseimbangan antara kadar
oksidan dan antioksidan dalam tubuh. Sehingga berakibat pada
terjadinya penurunan drastis jumlah folikel di ovarium, degradasi
produksi hormon steroid dan pematangan folikel, gangguan gerakan
silia di tuba fallopii. Dalam kasus infertilitas, rokok dapat
meningkatkan keguguran berulang di awal periode kehamilan
(Luqman, 2020).
19
Gambar 4.1.3.1 Fotografi janin tikus menunjukkan malformasi
eksternal. (A) Janin normal dan (B) Janin yang menyajikan
makroglossia (lidah besar) dan exencephaly (otak terletak di
luar tengkorak) (Dallaqua et al., 2013).
20
Gambar 4.1.3.3 Malformasi pada fetus dengan perlakuan
paparan asap rokok (a) tidak terdapat kaki, (b) terjadi osifikasi,
(c) fusi pada tulang ekstremitas
21
janin, vertebra centrum berbentuk abnormal, rusuk yang tidak
berkembang, rusuk supernumerary, sternebra berbentuk abnormal,
sternebrae yang tidak berkembang, dan kraniofenestria. Pada
anomali viseral, dijumpai kelainan jumlah janin, kandung kemih
membesar, kristal len yang tidak berkembang, hidronefosis, dan
hidroureter. Pada osifikasi tulang, dijumpai kelainan pada anterior
phalange, metacarpus, posterior phalange, metatarsus, kelainan
sejumlah ruas ekor, dan sternebra (Damasceno et al., 2011).
4.1.4. Antibiotik
22
Gambar 4.1.4.1 Pengamatan malformasi fetus dengan perlakuan
antibiotic pada pengamatan sebelumnya
Fetus mengalami osifikasi yang tidak sempurna, yaitu pada
gambar a costae pendek, vertebrae tidak menyatu, pada gambar b
terjadi lordosis, dimana vertebrae bengkok, tulang belum mengalami
osifikasi sempurna. Pada gambar c terjadi skoliosis, vertebrae tidak
menyatu, costaceae kiri bengkok dan terjadi fusi. Dan pada gambar d
costaceae kiri juga bengkok dan terjadi fusi. Hal ini sesuai dengan
literatur, dimana pemberian antibiotik menyebabkan osifikasi tulang
depan dan belakang kaki yang tidak lengkap, kolom vertrbral yang
tidak tertutup dengan celah abnormal antar tulang rusuk, tulang rusuk
dan tulang dada yang tidak mengeras, osifikasi tidak lengkap dari
daerah serviks dan toraks (Majeed, et.al, 2020)
23
obat. Aktivitas proteolitik enzim bromelain juga menimbulkan efek
teratogenik sehingga dapat dianggap sebagai agen teratogenik
(Debnath, et al. 2019).
24
estatin A dan B, iodoacetat. Aktivitas enzimatik pada ekstrak kasar
ditemukan 2.100 unit / gram untuk batang bromelain, sedangkan
untuk buah bromelain adalah 1.450 unit / gm. Sehingga diketahui
pada batang nanas lebih banyak enzim bromelain daripada bagian
buah (Manzoor, et al. 2016).
25
yang tidak lengkap sehingga tampak asimetris. (a), (b) dan (c)
adalah tulang dada dari perlakuan dosis 80% ekstrak buah
nanas muda. (d) costae menjadi berbelit-belit pada janin mencit
yang diberikan ekstrak buah nanas muda dosis 40%
(Prasetyawati, et al. 2017).
26
menyebabkan beberapa kontraksi pada tikus hamil uteri setelah
pemberian in vitro tetapi tidak menyebabkan aborsi saat diberikan
pada tikus bunting. Hal ini menunjukkan bahwa nanas mengandung
zat aktif yang dapat diisolasi dan diproses menjadi zat utero-tonik
murni untuk digunakan melalui rute selain oral. Sehingga, konsumsi
nanas relatif tetap aman selama kehamilan (Airaodion, et al. 2019).
27
menggunakan pemanis buatan. Beberapa zat yang sering
ditambahkan ke dalam soft drink antara lain kafein, sakarin, fruktosa,
asam benzoat, sukrosa, asam sorbat, aspartam dan asam fosfat
(Berawi, dkk. 2017). Pada softdrink terdapat zat kafein yang cukup
tinggi dimana jika dikonsumsi terus menerus hingga mencapai dosis
kafein lebih dari 300 mg / hari dapat meningkatkan risiko janin
mengalami retardasi pertumbuhan, kelainan tulang, dan keguguran.
Selain itu juga dapat menyebabkan cacat lahir, kelahiran prematur,
penurunan kesuburan, dan meningkatkan risiko kelahiran dengan
berat badan rendah yang mengarah pada aborsi (Dillasamola, et al.
2018). Lalu pada percobaan tikus yang diberi larutan fruktosa dan
sukrosa, konsumsi sukrosa selama kehamilan dan menyusui
menghasilkan jaringan adiposa visceral yang tinggi sementara
konsumsi HFCS meningkatkan jaringan adiposa subkutan sehingga
memiliki akumulasi lemak tubuh yang lebih tinggi dan berpotensi
terjadinya obesitas karena mampu meningkatkan pula nafsu makan
pada ibu hamil (Kisioglu, et al. 2020).
28
Gambar 4.1.5.2. Hasil praktikum malformasi pada fetus dengan
perlakuan ekstrak nanas dan minuman berkarbonasi (fusi pada
costae, vertebrae, jadi kaki dan tangan)
29
Lalu untuk minuman berkarbonasi terkandung zat kafein yang
menyebabkan retardasi pertumbuhan, kelainan tulang, dan
keguguran. Selain itu juga dapat menyebabkan cacat lahir, kelahiran
prematur, penurunan kesuburan, dan meningkatkan risiko kelahiran
dengan berat badan rendah yang mengarah pada aborsi. Lalu terdapat
pula gula seperti fruktosa dan glukosa yang jika dikonsumsi dengan
dosis berlebih menyebabkan akumulasi lemak tubuh yang lebih
tinggi dan nafsu makan yang tinggi sehingga dapat terjadi obesitas
(Kisioglu, et al. 2020).
30
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Uji keteratogenikan adalah uji ketoksikan suatu obat yang
diberikan atau digunakan selama masa organogenesis suatu hewan
bunting. Uji ini digunakan untuk menentukan apakah suatu obat
dapat menyebabkan kelainan atau cacat bawaan pada diri janin yang
dikandung oleh hewan bunting, dan apakah cacat tersebut berkerabat
dengan dosis obat yang diberikan. Alkohol, antibiotik, kafein, asap
rokok dan minuman berkarbonasi diketahui termasuk zat teratogen
karena berdampak pada kerusakan fetus. Dampak teratogen
berpengaruh pada perkembangan fetus berupa malformasi yaitu
organogenesis yang tidak sesuai dengan tempat dan bentuknya.
Pada alkohol, menyebabkan perubahan bentuk pada 3 preparat
yakni preparate pertama, costae bergelombang, preparate kedua
costae berdifusi dan preparate ketiga tidak adanya falanges. . Hal ini
sesuai dengan literatur dimana alkohol menyebabkan fusi dari tubuh
vertebral atau elemen posterior (skoliosis), kelainan pada rongga
dada dan malformasi anggota tubuh seperti sinostosis radioulnar, fusi
karpal, digit yang sedikit memendek atau hilang dan kelengkungan
digit (secara klinodaktyly)
Pada antibiotik, Fetus mengalami osifikasi yang tidak sempurna,
yaitu pada preparate pertama costae pendek, vertebrae tidak
menyatu, pada preparate kedua terjadi lordosis, dimana vertebrae
bengkok, tulang belum mengalami osifikasi sempurna. Pada
preparate ketiga terjadi skoliosis, vertebrae tidak menyatu, costaceae
kiri bengkok dan terjadi fusi. Dan pada preparate keempat, costaceae
kiri juga bengkok dan terjadi fusi. Hal ini sesuai dengan literatur,
dimana pemberian antibiotik menyebabkan osifikasi tulang depan
dan belakang kaki yang tidak lengkap, kolom vertrbral yang tidak
tertutup dengan celah abnormal antar tulang rusuk, tulang rusuk dan
tulang dada yang tidak mengeras, osifikasi tidak lengkap dari daerah
serviks dan toraks.
Pada asap rokok, dapat mempengaruhi perkembangan tulang
pada janin. Dapat dilihat malformasi yang ditunjukkan pada fetus
dengan perlakuan paparan asap rokok, yaitu tidak terdapat
pertumbuhan kaki, tidak terjadi osifikasi, terdapat fusi pada tulang
ekstremitas. Hal ini berkaitan dengan dosis paparan yang dierima
mencit baik pada saat sebelum 31 kehamilan maupun saat kehamilan
berlagsung. Semakin tinggi dosis paparan asap rokok pada sebelum
ataupun saat kehamilan berlangsung, maka semakin tinggi pula
risiko terjadinya kelainan seperti rendahnya tingkat perkembangan
tulang, tidak terjadinya osifikasi tulang, dan lain-lain. malformasi
fetus tikus yang terpapar asap rokok pada sebelum ataupun saat
kehamilan berlangsung terbagi menjadi 3 yakni pada anomali
kerangka, dijumpai kelainan jumlah janin, vertebra centrum
berbentuk abnormal, rusuk yang tidak berkembang, rusuk
supernumerary, sternebra berbentuk abnormal, sternebrae yang tidak
berkembang, dan kraniofenestria. Pada anomali viseral, dijumpai
kelainan jumlah janin, kandung kemih membesar, kristal len yang
tidak berkembang, hidronefosis, dan hidroureter. Pada osifikasi
tulang, dijumpai kelainan pada anterior phalange, metacarpus,
posterior phalange, metatarsus, kelainan sejumlah ruas ekor, dan
sternebra.
Pada kafein, menyebabkan perubahan bentuk dimana pada
preparat pertama embrio Mus musculus yang terpapar kafein
menunjukkan adanya sternum yang tidak termineralisasi. Hal ini
sesuai literatur yang menyatakan bahwa pemberian teratogen kafein
pada mencit betina yang sedang bunting dengan dosis 50 dan 100
mg/kg berat badan dapat menyebabkan pengerasan endokondral pada
janin yang dikandung. Pemberian kafein dengan dosis yang melebihi
juga dapat menyebabkan rusaknya pertumbuhan tulang karena
implantasi subkutan dari fragmen tulang yang mengalami
demineralisasi pada tikus di mana kondrogenesis dihambat oleh
penurunan ekspresi kolagen II, histon dan TGF beta juga
menghasilkan ukuran yang lebih kecil.
Pada efek pemberian nanas muda terjadi retardasi osifikasi pada
sternebra, metacarpal, metatarsal, vertebra kaudal, costae
bergelombang dan sternebra asimetris. Lalu untuk nanas muda
sendiri dapat berpotensi adanya aborsi saat kehamilan muda karena
adanya kandungan asam yang tinggi yang mampu melemahkan leher
rahim dan termasuk zat proteolitik yang mampu merusak struktur
protein sehingga menyebabkan peluruhan dinding endometrium dan
bayi ikut terluruhkan namun kejadiannya minim. Lalu untuk
minuman berkarbonasi terkandung zat kafein yang menyebabkan
retardasi pertumbuhan, kelainan tulang, dan keguguran. Selain itu
juga dapat menyebabkan cacat lahir, kelahiran prematur, penurunan
kesuburan, dan meningkatkan risiko kelahiran dengan berat badan
rendah yang mengarah pada aborsi. Lalu terdapat pula gula seperti
fruktosa dan glukosa yang jika dikonsumsi dengan dosis berlebih
menyebabkan akumulasi lemak tubuh yang lebih tinggi dan nafsu
makan yang tinggi sehingga dapat terjadi obesitas.
5.2 Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut efek teratogenik pada
alkohol, kafein, asap rokok, antibiotik, nanas dan minuman
berkarbonat dengan dosis yang lebih bervariasi untuk
melihat hubungan antara dosis dengan efek
2. Perlu dilakukan penelitian pada hewan uji lainya seperti
tikus, kelinci dan marmut mengingat agen teratogen dapat
memberikan hasil yang berbeda tergantung pada jenis
hewan coba yang berbeda.
3. Perlu dilakukan pengamatan lebih lanjut pada organ dalam
maupun kerangka fetus.
33
DAFTAR PUSTAKA
Akpak, Y. K., Çekmez, Y., Erdoğan Çakır, A., Karaca, N., Batmaz,
G., Gülşen, S., & Tuştaş Haberal, E. (2017). An animal model of
effects of nicotine exposure on endometrial receptivity and embryo
implantation in pregnancy. The Journal Of Maternal-Fetal &
Neonatal Medicine, 30(23), 2818-2823.
Arianto, Richard Maco, Aristi Dian Purnama Fitri, and Bogi Budi
Jayanto. "Pengaruh Aklimatisasi Kadar Garam terhadap Nilai
Kematian dan Respon Pergerakan Ikan Wader (Rasbora
argyrotaenia) untuk Umpan Hidup Ikan Cakalang." Journal Of
Fisheries Resources Utilization Management And Technology 7.2
(2018): 43-51.
35
Christianty, Fransiska Maria, and Lina Winarti. "Uji Teratogenik
Campuran Serbuk Biji Jinten Hitam (Nigella Sativa L.), Biji Kelabet
(Trigonella Foenum-Graecum L.), Dan Ginseng (Panax Ginseng CA
Mey.) Pada Tikus Putih Galur Wistar." STOMATOGNATIC. Jurnal
Kedokteran Gigi 9.3 (2015): 155-161.
Debnath, R., Chatterjee, N., Das, S., Mishra, S., Bose, D., Banerjee,
S., ... & Maiti, D. (2019). Bromelain with peroxidase from pineapple
are more potent to target leukemia growth inhibition-A comparison
with only bromelain. Toxicology In Vitro, 55, 24-32.
Dewi, R. (2017). Efek pemberian ekstrak buah nanas muda dan tua
(ananas. CL merr) terhadap kejadian abortus pada mencit (mus
36
musculus). Jurnal Bahana Kesehatan Masyarakat (Bahana of
Journal Public Health), 1(1), 1-7.
Dillasamola, D., Sari, N. P., Putri, B. O., Noverial, N., & Diliarosta,
S. (2018). Evaluation of Propolis and Milk Administration on
Caffein-Induced Mus musculus Fetus Skeletal. Pharmaceutical
Sciences & Research, 5(1), 7.
Ghorbani, R., Ghanbari, A., Jalili, F., Jalili, P., Sohrabi, M., and
Jalili, C. 2017. Effect of caffeine on prenatal malformation skeletal
system. Executive Editor. Vol 8(2): 369-373.
Majeed, A., Javed, F., Akhtar, S., Saleem, U., Anwar, F., Ahmad, B.,
... & Sohail, M. F. (2020). Green synthesized selenium doped zinc
oxide nano-antibiotic: Synthesis, characterization and evaluation of
antimicrobial, nanotoxicity and teratogenicity potential. Journal Of
Materials Chemistry B, 8(36), 8444-8458.
Manzoor, Z., Nawaz, A., Mukhtar, H., & Haq, I. (2016). Bromelain:
Methods of extraction, purification and therapeutic applications.
Brazilian Archives Of Biology And Technology, 59.
Shan, T., Zhao, Y., Jiang, S., & Jiang, H. (2020). In‐vivo
hemodynamic imaging of acute prenatal ethanol exposure in fetal
brain by photoacoustic tomography. Journal Of Biophotonics,
13(5), e201960161.
Tsuang, Y.H., Sun, J.S., Chen, L.T., Sun, S.C.K., and Chen, S.C.
2006. Direct Effects of Caffeine on Osteoblastic Cells Metabolism:
The Possible Causal Effect of Caffeine on The Formation of
Osteoporosis. Journal Of Orthopaedic Surgery And Research.
Vol 1(7) 1-10
Wells, P. G., Bhatia, S., Drake, D. M., & Miller ‐Pinsler, L. (2016).
Fetal oxidative stress mechanisms of neurodevelopmental deficits
and exacerbation by ethanol and methamphetamine. Birth Defects
Research Part C: Embryo Today: Reviews, 108(2), 108-130.
42
hewan uji yaitu waktu perkawinan dan perkiraan lama
kehamilan. Hewan yang dipilih yang jumlah anaknya
banyak agar hasil yang diperoleh lebih akurat, karena akan
lebih mudah membandingkan antara jumlah anak yang
cacat/ mati dengan kontrol. Dipilih hewan uji yang masih
perawan untuk mengeliminasi faktor yang tidak diinginkan
dalam pengamatan janin dan sistem hormonal hewan uji
yang masih perawan belum berubah. Untuk mendapatkan
hewan uji yang yang masih perawan dilakuakn dengan cara
pemisahan antara hewan uji jantan dan betinba setelah
masa laktasinya berakhir. Dipilih hewan uji yang masa
laktasinya pendek agar dapat dipisahkan antara hewan uji
jantan dan betina sehingga dapat dihasilkan hewan uji yang
murni dan masih perawan.
43
lebih akurat, karena apabila hewan uji dipejankan obat dan
terjadi kecacatan pada janin yang dilahirkan. Kecacatan
tersebut bukan berasal dari obat yang dipejankan tapi dari
posisi kelahirannya seperti sungsang atau terjepit untuk
menghindari dimakannya anak yang lahir cacat itu oleh
induknya. Oleh karena itu, masa bunting hewan uji harus
diakhiri beberapa waktu sebelum kelahiran normal dengan
bedah seisar.
44
Untuk mengetahui apakah suatu obat dapat menyebabkan
kelainan/ cacat bawaan pada diri janin yang dikandung
oleh hewan uji.
Sasaran
Janin tikus yang masih berada dalam kandungan
Manfaat
Sebagai landasan evaluasi batas keamanan dan resiko
penggunaan suatu obat oleh wanita hamil, utamanya
yang berkaitan dengan obat yang diberikan dengan cacat
bawaan janin yang dikandungnya.
45
Lampiran 2: Diagram Alir Penelitian
46
BIODATA PENULIS
46