Anda di halaman 1dari 68

LAPORAN KERJA PRAKTEK – SB141501

PERKEMBANGAN HEWAN – SB184407

UJI KETERATOGENIKAN TERHADAP FETUS


Mus musculus

ANJALIYA SALMA PUTRI


01311940000068

Dosen Pengampu :
Dr. Awik Puji Dyah Nurhayatim S.Si., M.Si.
Noor Nailis Sa’adah, S.Si., M.Sc.

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN ANALITIKA DATA
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA 2021

i
PERKEMBANGAN HEWAN – SB184407

UJI KETERATOGENIKAN TERHADAP FETUS


Mus musculus

ANJALIYA SALMA PUTRI


01311940000068

Dosen Pembimbing

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN ANALITIKA DATA
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA 2021

ii
FINAL PROJECT – SB141510

METERATOGENIC TEST OF FETUS


Mus musculus

ANJALIYA SALMA PUTRI


0131940000068

Thesis Advisor

DEPARTMENT OF BIOLOGY
FACULTY OF SCIENCE AND DATA ANALYTICS
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA 2021

iii
iv
LEMBAR PENGESAHAN
PROPOSAL TUGAS AKHIR

UJI KETERATOGENIKAN TERHADAP FETUS


Mus musculus

Oleh :

ANJALIYA SALMA PUTRI


NRP. 01311940000068

Disetujui oleh Pembimbing Tugas Akhir:

Surabaya, 16 Mei 2021

Mengetahui
Kepala Departemen Biologi

Dr. Dewi Hidayati, S.Si., M.Si


NIP. 19691121 199802 2 001

v
vi
UJI KETERATOGENIKAN TERAHDAP FETUS
Mus Musculus

Nama : Anjaliya Salma Putri


NRP : 01311440000068
Departemen : Biologi
Dosen Pembimbing :

Abstrak
Uji keteratogenikan adalah uji ketoksikan suatu obat yang
diberikan atau digunakan selama masa organogenesis suatu hewan
bunting. Uji ini digunakan untuk menentukan apakah suatu obat
dapat menyebabkan kelainan atau cacat bawaan pada diri janin
yang dikandung oleh hewan bunting, dan apakah cacat tersebut
berkerabat dengan dosis obat yang diberikan. Alkohol, antibiotik,
kafein, asap rokok dan minuman berkarbonasi diketahui termasuk
zat teratogen karena berdampak pada kerusakan fetus. Hasil
praktikum ini yakni pada alkohol, asap rokok, kafein, antibiotik,
nanas dan minuman berkarbonat bersifat teratogenik dan
berpengaruh terhadap tulang fetus Mus musculus. Data yang
diambil melalui pengamatan adalah mencakup data penulangan
sterna, vertebrae, dan costae untuk mengetahui adanya malformasi
pada fetus. Diamati pada bagian ini karena bahan teratogen
memberikan dampak kerusakan langsung pada organ organ tulang
diatas . Praktikum ini bertujuan secara umum untuk memahami uji
keteratogenikan suatu bahan, tujuan khusus untuk mengetahui
bahan yang bersifat teratogenik dan mengetahui dampak teratogen
terhadap perkembangan fetus.

Kata kunci : Teratogen, Mus musculus, Fetus, Kehamilan,


Teratologi

vii
METERATOGENIC TEST OF FETUS
Mus Musculus

Name : Anjaliya Salma Putri


NRP : 01311940000068
Departement : Biology
Thesis Advisor :

Abstract
The teratogenicity test is the test for the toxicity of a drug that is
given or used during the organogenesis of a pregnant animal. This
test is used to determine whether a drug can cause abnormalities or
congenital defects in the fetus in a pregnant animal, and whether the
defect is related to the dose of the drug given. Alcohol, antibiotics,
caffeine, cigarette smoke and carbonated drinks are known to be
teratogens because they have an impact on fetal damage. The results
of this practicum are alcohol, cigarette smoke, caffeine, antibiotics,
pineapple and carbonated drinks which are teratogenic and affect the
fetal bones of Mus musculus. Data taken through observation
includes data on sterna reinforcement, vertebrae, and ribs to
determine the presence of malformations in the fetus. It is observed
in this section because teratogens have a direct impact on the bone
organs above. This practicum generally aims to understand the
teratogenicity test of a substance, the specific goal of which is to
determine which materials are teratogenic and to determine the
effects of teratogens on fetal development.

Keywords : Teratogens, Mus musculus, Fetus, Pregnancy,


Teratology

viii
ix
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas


berkat dan rahmat yang diberikan sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan Tugas Akhir dengan judul “UJI
KETERATOGENIKAN TERHADAP FETUS Mus musculus”,
sebagai salah satu syarat untuk lulus tahap sarjana di Departemen
Biologi, Fakultas Ilmu Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember
(ITS) Surabaya.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada: Allah SWT atas
rahmat dan karunianya sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas
akhir ini dengan baik dan lancar. Tidak lupa ayahanda dan ibunda
yang tiada henti memberikan doa, semangat dan kasih sayang serta
motivasi kepada penulis dan teman-teman seperjuangan angkatan
2019 yang membantu dalam proses berjalannya penelitian dan
penyusunan laporan.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan
laporan Tugas Akhir ini, namun penulis berharap Tugas Akhir ini
dapat bermanfaat dan dapat digunakan sebagai acuan untuk
penelitian selanjutnya.

Surabaya, 16 Mei 2021


Penulis

x
xi
DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PENGESAHAN..........................................................v
ABSTRAK ................................................................................vii
ABSTRACT .................................................................................ix
KATA PENGANTAR ................................................................xi
DAFTAR ISI ............................................................................xiii
DAFTAR TABEL .....................................................................xv
DAFTAR GAMBAR................................................................xvi
DAFTAR LAMPIRAN...........................................................xxvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.......................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................2
1.3 Batasan Masalah.....................................................................2
1.4 Tujuan....................................................................................2
1.5 Manfaat..................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Teratogenesis..........................................................................3
2.2 Malformasi.............................................................................3
2.3 Faktor Penyebab Malformasi..................................................4
2.4 Macam-macam Teratogenesis................................................4

BAB III METODE PENELITIAN


3.1 Waktu dan Tempat Penelitian.................................................6
3.2 Alat dan Bahan.......................................................................6
3.3 Cara Kerja…...............................….........................................6

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


4.1 Pemberian Efek Zat Teratogenetik.......................................11
4.1.1 Alkohol..............................................................................11
4.1.2 Kafein................................................................................14
4.1.3 Paparan Asap Rokok.........................................................18
xii
4.1.4 Antibiotik..........................................................................22
4.1.4 Ekstrak Nanas dan Minuman Berkarbonasi.......................23

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan..........................................................................31
5.2 Saran ....................................................................................33

DAFTAR PUSTAKA.................................................................35
LAMPIRAN...............................................................................42
BIODATA PENULIS.................................................................47

xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1.5.1 Rataan Jumlah Ruas Metakarpus
Dan Metatarsus Fetus dari Induk 27
yang Mendapat Perlakuan Ekstrak
Buah Nanas
Muda.......................................

xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar Hasil Praktikum Malformasi pada
4.1.1.1 Janin setelah Pemberian 13
Alkohol..............................................
Gambar Hasil Praktikum Malformasi pada 16
4.1.2.1 Janin setelah Pemberian
Kafein................................................

Gambar Malformasi Eksternal Janin Tikus


4.1.3.1 setelah Diberi Asap 20
Rokok................................................
Gambar ...
Fitomikrografi Tengkorak Janin
4.1.3.2 setelah Diberi Asap 20
Rokok...............................................

Gambar Hasil Praktikum Malformasi pada


4.1.4.1 Janin setelah Pemberian 21
Antibiotik..........................................

Gambar Malformasi pada Kerangka Fetus


4.1.5.1 Mencit Setelah Diberi Nanas 25
Hijau……………………….............

Gambar Hasil Praktikum Malformasi 29


4.1.5.2 Kerangka Mencit yang Diberi
Nanas.

xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Diskusi.............................................. 42
Lampiran 2 Diagram Alir
Penelitian........................................... 46

xvi
xvii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Teratogen adalah suatu agen yang dapat menyebabkan cacat
lahir atau kelainan pada embrio atau janin yang sedang berkembang
saat terpapar. Uji teratogenik bertujuan untuk melihat adanya
abnormalitas fetus yang terjadi karena pemberian zat selama masa
perkembangan embrio atau organogenesis, meliputi abnormalitas
bagian tubuh luar, jaringan lunak serta kerangka fetus (Christianty,
dkk. 2015).
Teratologi adalah ilmu yang berhubungan dengan penyebab,
mekanisme, dan gejala penyimpangan perkembangan struktural atau
fungsional selama perkembangan janin. Teratogenesis adalah proses
perkembangan abnormal sel selama kehamilan yang menyebabkan
kelainan atau kecacatan pada embrio. Zat teratogenik adalah suatu
bahan yang diberikan pada induk hamil dimana dapat mempengaruhi
perkembangan abnormal pada janin (Bellinger, 2005).
Uji teratogenik didasarkan oleh banyak ibu hamil yang memiliki
kekhawatiran tersendiri terhadap efek samping dari zat kimia obat
sehingga memilih untuk mengkonsumsi obat tradisional atau obat
herbal untuk mengeliminasi efek samping dari zat kimia obat. Obat
kimia maupun tradisional dapat menyebabkan efek yang tidak
dikehendaki pada janin selama masa kehamilan terutama pada fase
embrionik dan fase organogenesis. Obat yang dikonsumsi oleh ibu
hamil dapat menembus plasenta mencapai janin sehingga dapat
menimbulkan efek sistemik. Dalam plasenta, obat mengalami
biotransformasi dan dapat membentuk senyawa reaktif yang bersifat
teratogenik (Anisa, dkk. 2015).
Uji keteratogenikan adalah uji ketoksikan suatu obat yang
diberikan atau digunakan selama masa organogenesis suatu hewan
bunting. Uji teratogenik digunakan untuk melihat abnormalitas fetus
yang terjadi karena pemberian zat selama fase perkembangan embrio
atau organogenesis, meliputi abnormalitas bagian tubuh luar,
jaringan lunak serta kerangka fetus. Pengujian ini dilakukan secara in
vivo pada hewan percobaan (Christianty, dkk. 2015).

1
1.2 Rumusan Permasalahan
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan uji keteratogenikan?
1.2.2 Bahan apa yang digunakan untuk uji
keteratogenikan?
1.2.3 Dampak apa yang disebabkan oleh bahan teratogen?

1.3 Batasan Masalah


1.3.1 Praktikum dilakukan secara daring sehingga hasil
pengamatannya diambil dari hasil yang telah
disediakan oleh asisten.
1.3.2 Membandingkan hasil pengamatan dengan literatur

1.4 Tujuan
Praktikum ini bertujuan secara umum untuk memahami uji
keteratogenikan suatu bahan, tujuan khusus untuk mengetahui bahan
yang bersifat teratogenik dan mengetahui dampak teratogen terhadap
perkembangan fetus.

1.5 Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari praktikum uji keteratogenikan
ini adalah dapat mengetahui bahan yang bersifat teratogenik dan
mengetahui dampak teratogen terhadap perkembangan fetus. Serta
dapat digunakan sebagai referensi masyarakat tentang suatu bahan
yang bersifat teratogenik, sehingga mampu mencegah terjadinya
abnormalitas pada janin.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teratogenesis

Teratogenesis adalah proses yang menyebabkan cacat lahir


atau malformasi pada embrio atau janin. Teratologi adalah ilmu yang
berhubungan dengan penyebab, mekanisme, dan gejala
penyimpangan perkembangan struktural atau fungsional selama
perkembangan janin. Hal ini mungkin termasuk gangguan tanpa
malformasi struktural yang jelas, seperti cacat intelektual. Teratogen
adalah zat (dari luar tubuh) yang menyebabkan cacat lahir atau
kelainan bentuk. Contoh teratogen termasuk obat-obatan, seperti
thalidomide; racun lingkungan, misalnya kadmium serta polutan
lingkungan, termasuk pestisida dan senyawa pengganggu endokrin.
Penyebab teratogenesis lainnya termasuk virus, misalnya virus
rubella dan Zika; kompresi fisik dalam rahim dan pola makan yang
buruk. Model hewan digunakan untuk mempelajari mekanisme yang
menyebabkan teratogen menyebabkan cacat lahir atau malformasi,
dan penelitian ini juga dapat memberikan wawasan tentang
perkembangan normal. Studi dan pemahaman tentang teratogenesis
juga penting untuk membuat obat terapeutik yang lebih aman dan
lebih bertarget (Vargesson, 2017).

2.2. Malformasi

Malformasi merupakan suatu kelainan yang terjadi didalam


kandungan sehingga terbawa saat kelahiran janin. Malformasi terjadi
saat proses embryogenesis dimana perkembangan jaringan akan
mengalami penghentian, perlambatan atau penyimpangan. Kelainan
kongenital adalah suatu kelainan baik struktural maupun fungsional
yang timbul pada masa gestasi. Kelainan kongenital merupakan salah
satu kontributor terbesar terhadap tingkat kematian dan kesakitan
baik pada usia neonatus, bayi, dan anak-anak (Maritska dan Kinanti,
2016). Anomali kongenital dapat terjadi selama tahap perkembangan

1
3
embrio, dari genetika abnormal yang diturunkan dari orang tua atau
dari faktor lingkungan (Kaleelullah dan Garugula, 2021). Baik faktor
genetik maupun lingkungan dapat menyebabkan cacat bawaan. Alat
diagnostik dan terapeutik telah meningkat secara progresif dalam
beberapa dekade terakhir dimana dapat berkontribusi pada
identifikasi dan pengurangan morbiditas atau mortalitas jangka
panjang (Corsello dan Giuffrè, 2012).

2.3. Faktor Penyebab Malformasi


Faktor lingkungan bekerja sebagai teratogen yang
menyebabkan kelainan bawaan pada janin yang sedang berkembang.
Kromosom dan gen janin pada anak-anak dengan kelainan bawaan
yang disebabkan oleh teratogen secara genetik normal. Sementara
kelainan bawaan multifaktorial berasal dari berbagai sumber,
termasuk faktor genetik, teratogen hanya dipicu melalui kondisi di
luar rahim seperti obat-obatan, bahan kimia, atau infeksi. Faktor
genetic, malformasi berbasis genetik dapat disebabkan oleh kelainan
pembelahan kromosom atau oleh mutasi gen. Paparan agen infeksi,
menyebabkan kelainan kongenital. Misalnya : infeksi rubella yang
dapat menyebabkan kelainan jantung, mata, dan susunan syaraf pusat
janin ; infeksi virus sitomegalovirus dapat mengakibatkan
hidrosefalus, mikrosefalus dan mikroftalmia. Paparan zat teratogenic,
diphenylhydantoin (phenytoin), valproic acid, dan trimethadione
menyebabkan bibir sumbing. Antidepresan menyebabkan kelainan
jantung fetus. Mycophenolate mofetil menyebabkan aborsi spontan
dan bibir sumbing, telinga kecil, kepala kecil, dan kelainan jantung
(Corsello dan Giuffrè, 2012). Faktor penyebab malformasi
konginetal adalah faktor kromosom, faktor mekanik, faktor infeksi,
faktor obat, faktor hormonal, faktor radiasi, faktor fisik pada rahim,
faktor gizi, riwayat kesehatan ibu, paritas, dan jarak kehamilan.
(Maryanti dan Kusumawati, 2015). Zat apa pun yang dimasukkan ke
dalam organisme (obat-obatan, alkohol, merokok, penyalahgunaan
zat) atau diproduksi oleh metabolisme ibu dalam situasi tertentu
dapat melintasi plasenta, mencapai janin dan berbahaya dalam
perkembangan embrio-janin (Corsello dan Giuffrè, 2012).
2.4. Macam-macam Teratogenesis

Teratogenesis dapat dikelompokkan menjadi beberapa


macam berdasarkan penyebabnya, antara lain teratoma, kembar
4 saat lahir. Teratoma, Tumor
dompet, teratologi cacat, dan cacat fisik
yang mengandung jaringan derivet 2 (tiga lapisan benih). Kembar
dompet, terdapat dua jenis yaitu kembar dompet ringan dan kembar
dompet parah. Kembar dempet yang ringan disebut kembar siam
sedangkan kembar yang parah disebut monster double atau duplex.
Kembar dempet berasal dari 2 kemungkinan. Tak sempurnanya
pembelahan primitive streake kiri kanan. Tak sempurnanya lapis
benih membelah Contoh kembar dempet yaitu Tthoracopagus (dada
bertaut), Eraniopagus (kepala bertaut), dan Phygopagus (pinggul
bertaut). Teratologi cacat, terjadi karena gangguan pertumbuhan
kuncup suatu alat, terhenti pertumbuhan di tengah jalan, dan
kelebihan pertumbuhan. Cacat Fisik saat lahir mencakup kurang jari-
jari tangan dan kaki dll. Kurang organ-organ pital (Suryadinata et al.,
2019).
5
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 5 Mei 2021 pukul
14.bertempat di rumah praktikan, Anjaliya Salma, JL. Ikan Lumba-
Lumba No. 26 Surabaya.

3.2. Alat dan Bahan


Alat yang diperlukan dalam praktikum ini yakni bak
(kendang), kawat kasa, jarum kanul, botol kaca bermulut lebar,
dissecting set, papan bedah, mikroskop dan pipet. Bahan yang
diperlukan dalam praktikum ini yakni mencit (Mus musculus) betina
dan jantan albino umur antara 2-3 bulan, minuman (YOU C1000,
energy drink, minuman soda, kopi, jus durian dan jamu, gliserin,
formalin 5%, etanol 96%, alizarin red, aquades, methylene blue,
garam fisiologis, KOH 1% dan asam pikrat/tinta cina.

3.3. Cara Kerja

3.3.1 Pemeliharaan dan Pengawinan dan Penetapan Masa


Hamil Mencit
Pada pemeliharaannya mencit dipelihara didalam kandang
dengan alas sekam atau pasir. Kandang mencit terbuat dari wadah
plastik dengan alas serutan kayu dan tutup kandang terbuat dari
anyaman kawat yang kuat, tahan gigitan dan tidak mudah rusak
(Rizqi, dkk. 2016). Mencit merupakan hewan pengerat yang dapat
menjadi hospes reservoir bagi parasit. Mencit memiliki daerah
persebaran dan resistren hidup di daerah yang gelap, kotor, lembab,
serta terdapat bahan makanan. Pemberian pakan dan minum
disesuaikan dengan kebutuhan mencit (Harahap dkk., 2017)
Kebersihan kendang selalu dijaga untuk mengurangi tingkat stress
pada mencit. Hal tersebut dikarenakan suhu ruangan untuk
pemeliharaan mencit berkisar antara 20-25 C, dengan kelembaban
berkisar 79 %. Secara teori mencit dapat dipelihara dengan baik pada
suhu 70-80 F setara 21,11-26,67 C. Kelembaban ruangan berkisar

6
45-55 % (Marbawati dkk., 2009). Pengamatan siklus estrus pada
mencit dilakukan setelah aklimasi selama kurang lebih 7 hari.
Aklimatisasi merupakan proses penyesuaian dua kondisi lingkungan
yang berbeda sehingga kondisi tersebut tidak menimbulkan stress
bagi mencit. Aklimatisasi bertujuan untuk membuat objek dapat
bertahan pada perubahan salinitas yang diuji (Arianto dkk., 2018).
Pengawinan dan penetapan masa hamil mencit, Diamati siklus estrus
mencit setiap hari hingga diperoleh mencit dengan keadaan estrus.
Dikawinkan mencit betina (estrus) dan mencit jantan dengan cara
dicampur dalam 1 kandang. Diamati vaginal plug secara berkala
pada mencit betina untuk menentukan hari ke-0 kehamilan.
Dipisahkan mencit betina ke kandang berbeda setelah diketahui
kehamilannya. Dipelihara mencit betina selama ± 6 hari (Harahap,
dkk. 2017).

3.3.2 Pemberian Zat Teratogen


Pemberian zat teratogen pada mencit dilakukan pada masa
kehamilan hari ke-6 hingga hari ke-28. Pemberian zat ini melalui
mekanisme pencekokan yang dilakukan sehari sekali. Untuk asap
rokok, mencit diberi paparan asap rokok sebanyak 1-2 batang per
hari menggunakan bantuan aerator. Digunakan aerator sebagai alat
bantu untuk meletakkan punting tokok yang menyala dimana
pangkal rokok dihubungkan dengan aerator melalui selang dengan
diameter sama dengan diameter rokok agar rokok tetap menyala
selama perlakuan (Rizqi, dkk. 2016). Dosis yang diberikan adalah
1% dari berat badan mencit. Volume injeksi dibatasi oleh toksisitas
bahan dan ukuran tikus. Itu harus dijaga sekecil mungkin. Jumlah
larutan yang berlebihan dapat mengejutkan hewan tersebut.
Frekuensi pemberian harus dibatasi seminimal mungkin, untuk
menghindari stres yang tidak perlu (Shimizu, 2004). Terdapat
langkah-langkah mencekok mencit, pertama-tama disiapkan jarum
sonde berisi zat teratogen. Penggunaan jarum sonde oral bertujuan
untuk memudahkan dalam memasukkan zat karena bentuknya yang
kecil dengan cara menempelkan pada langit-langit mulut atas mencit,
kemudian perlahan-lahan dimasukkan sampai ke esofagus dan cairan

7
obat dimasukkan (Puspita, 2017). Lalu diambil mencit dari kandang
lalu diletakkan diatas penutup kawat sambil dipegang bagian ekor
lalu dijepit kulit tengkuk mencit dengan ibu jari dan telunjuk dengan
tangan berbeda. Kemudian dipindahkan ekor mencit ke sela-sela
kelingking dan jari manis. Hal tersebut bertujuan untuk mencegah
tendangan dengan kaki belakang, sehingga meminimalkan adanya
cakaran dari mencit (Ridwan, 2013).
Dicekokkan secara perlahan zat teratogen menggunakan
jarum sonde melalui oral hingga kedalam kerongkongan mencit.
Pemberian langsung dengan oral lebih disukai daripada mencampur
zat dengan makanan atau air minum karena asupan zat dapat diukur
dengan tepat. Jarum ujung bola digunakan untuk mencegah
kerusakan esofagus dan melewati lubang glotal ke dalam trakea.
Jarum ujung bola 22 G cocok untuk diberikan pada tikus dewasa.
ikus yang sadar ditahan secara manual dengan kuat dengan
mencengkeram lipatan kulit dari tengkuk di bagian belakang. Saat
leher diperpanjang posisinya vertikal. Sebuah garis lurus terbentuk
antara mulut dan sfingter jantung melalui lubang esofagus. Zat
tersebut kemudian diberikan secara perlahan. Jika ada halangan yang
dirasakan, jika tikus batuk, tersedak atau mulai meronta dengan kuat
setelah pemukulan dimulai, atau jika cairan terlihat keluar melalui
hidung, ini mungkin menunjukkan bahwa jarum telah memasuki
paru-paru. Salah satu dari tanda-tanda ini mengharuskan pencabutan
jarum segera, dan tikus harus diamati dengan sangat hati-hati. Jika
ada tanda-tanda bahwa cairan telah masuk ke paru-paru, tikus harus
di-eutanasia. Segera setelah pemberian selesai, jarum harus ditarik
(Shimizu, S. 2004).

3.3.3. Pemberian Dosis


Mencit betina yang hamil dicekok dengan mulai hari
kehamilan ke 6 sampai kehamilan ke 12 karena pada rentang hari
tersebut fetus telah memasuki fase organogenesis (Damayanti, 2019).
Kedua, dosis yang digunakan adalah 1% dari bb mencit. Hal ini
dikarenakan jumlah larutan yang berlebihan dapat mengejutkan
hewan tersebut. Frekuensi pemberian harus dibatasi seminimal
mungkin, untuk menghindari stres yang tidak perlu (Xavier, et al.
2018). Ketiga, pencekokan dilakukan dengan jarum kanul setiap hari.
Hal ini dilakukan karena biasanya dengan ukuran 26–27-G, 1 / 2-
hingga 5/8-in. (12,5–15,6-mm) jarum suntik cocok untuk injeksi.
Pengukur terkecil harus dipilih karena jarum halus mencegah
kebocoran cairan dan akan membantu meminimalkan
ketidaknyamanan pada hewan. Keempat, setelah hari kehamilan ke
18 mencit betina dimatikan dengan cara dibedah dari anus, hal ini
bertujuan agar kecacatan dari janin lebih jelas terlihat untuk diamati
(Damayanti, 2019).

3.3.4. Pengamatan Fetus


Dilakukan dislokasi servikalis untuk diambil embrio pada
uterus mencit betina. Pengamatan terhadap fetus meliputi kategori :
jumlah, mortalitas, berat, panjang, morfologi dan sistem rangka
fetus. Untuk mengamati sistem rangka fetus dilakukan pewarnaan
preparate fetus dengan Alizarin Red. Alizerin red suatu metode
mikroteknik untuk mengetahui pembentukan tulang pada embrio
atau untuk mendeteksi proses kalsifikasi pada tulang embrio. Tulang
yang diwarnai dengan alizarin red akan berwarna merah tua apabila
tulang tersebut telah mengalami kalsifikasi (Fan, 2012).
Dibedah uterus mencit dan dipisahkan embrio dari uterus
induk. Hal ini untuk memudahkan pengamatan. Percobaan dengan
hewan uji biasanya akan berakhir dengan mematikan hewan tersebut,
baik karena akan diambil organ in vitro nya selama atau pada akhir
percobaan (misalnya pengamatan histologi paru), untuk menilai
bagaimana efek obat (misalnya efek toksik obat), atau karena hewan
tersebut mengalami penderitaan atau sakit dan cacat yang tidak
mungkin sembuh lagi. Embrio yang dibedah dari induknya difiksasi
dengan etanol selama 2 hari dalam botol pelakon. Hal tersebut
bertujuan untuk memastikan semua aktifitas seperti diferensiasi dan
pembelahan yang ada dalam janin berhenti dan juga memastikan
tidak adanya mikroba pada janin yang memungkinkan terjadinya
pembusukan (Musyarifah dkk., 2018).
Setelah 2 hari, isi rongga perut embrio dikeluarkan kemudian
embrio dimaserasi dengan KOH 1 % selama 2 hari sampai daging
mengelupas dan embrio tampak transparan. Larutan KOH 1%
berfungsi untuk maserasi, yakni pelunakan pada jaringan otot
(daging). Embrio tersebut lalu dimasukkan dalam larutan Alizarin
Red S 0,1% kemudian dimasukkan ke dalam KOH 1% selama 10
menit untuk dibilas hingga warna 9 ungu pada selaput transparan
memudar. Alizarin Red merupakan pewarna yang digunakan untuk
mewarnai tulang pada fetus hewan uji. Ruas tulang yang terwarnai
adalah tulang rawan yang telah mengalami pembentukan tulang.
Warna merah tua karena zat warna terikat oleh kalsium pada matriks
tulang. Pewarnaan Alizarin red digunakan untuk mengidentifikasi
bagian kerangka yang sudah terbentuk pada masa embrio serta
proses kalsifikasinya. Hal ini dapat dilihat dari perubahan warna
tulang yang berubah dari putih menjadi merah tua. Perubahan warna
menandakan bahwa tulang telah mengalami klasifikasi
(Purwatiningsih, et al. 2019).
Embrio yang telah diwarnai dimasukkan ke dalam campuran
KOH-Gliserin dengan perbandingan 3:1, 1:1, 1:3 masing-masing
selama 1 hari. Perbedaan perbandingan pada KOH-gliserin tiap
harinya dilakukan agar jaringan otot tidak terlepas secara serentak
yang menyebabkan kerusakan pada sistem rangka (Musyarifah, dkk.
2018). Embrio kemudian dimasukkan ke dalam gliserin murni dan
disimpan untuk pemeriksaan yang dilakukan dengan menggunakan
mikroskop stereo Penyimpanan dengan gliserin bertujuan agar tulang
menjadi awet. (Husna, dkk. 2020).
Data yang diambil melalui pengamatan adalah mencakup
data penulangan sterna, vertebrae, dan costae untuk mengatahui
adanya malformasi pada fetus. Diamati pada bagian ini karena bahan
teratogen memberikan dampak kerusakan langsung pada organ organ
tulang diatas (Fan, 2012).
10
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Efek Pemberian Zat Teratogenik

4.1.1. Alkohol

Konsumsi alkohol selama kehamilan menyebabkan efek


merusak yang besar pada janin manusia yang sedang berkembang,
yang menyebabkan berbagai kelainan fisik dan kognitif pada anak-
anak yang berlanjut hingga dewasa. Berbagai macam dampak negatif
mulai dari defisit neurokognitif hingga malformasi fisik, atau
gangguan spektrum alkohol janin (FASD). Salah satu efek yang
paling mengganggu dan bertahan lama dari paparan alkohol prenatal
terjadi di otak yang sedang berkembang, di mana terjadi kecacatan
struktural dan fungsional, bersamaan dengan berbagai kecacatan
yang terjadi pada neuropsikologis dan perilaku (Wells, et al. 2016).

Konsumsi alkohol selama kehamilan memicu respon imun


ibu dan janin dengan menginduksi aktivasi mikroglial bersamaan
dengan produksi sitokin / kemokin dalam otak janin dan pascanatal.
Efek ini mungkin terkait dengan perubahan struktural pada myelin
kortikal dan protein sinaptik, serta dengan disfungsi perilaku jangka
panjang (Pascual, et al. 2017).

Otak adalah salah satu organ yang paling rentan terhadap


etanol dan bahwa paparan alkohol selama ontogeni otak
menyebabkan disfungsi kognitif dan perilaku jangka panjang yang
penting. Paparan alkohol prenatal mempengaruhi semua tahap
perkembangan otak, dari neurogenesis, gliogenesis, dan mielinisasi
hingga mekanisme yang berbeda yang mencakup interaksi sel-sel
yang terganggu, ekspresi gen yang berubah, stres oksidatif, dan
gangguan sinyal faktor pertumbuhan. Paparan alkohol tingkat rendah

11
/ sedang pada tahap perkembangan embrio tikus awal (contoh:
gastrulasi atau neurulasi) berhubungan dengan defisit perilaku dalam
pembelajaran spasial, ketidakmampuan memori, perkembangan
sensorimotor yang tertunda, hipoaktivitas, dan peningkatan
emosionalitas dalam masa dewasa (Shan, T. et al. 2020)

Ibu hamil yang minum alkohol tidak hanya dapat memicu


pelepasan sitokin / kemokin dalam darah ibu (IL-1β, MCP-1, dan
fraktalkin) dan otak tetapi juga meningkatkan kadar MIP-1α, IL-17,
dan fraktalkin dalam cairan ketuban, dan di korteks janin WT berusia
15 hari yang terpapar etanol (IL-1β, MIP-1α, dan fraktalkin). Penting
untuk memperkuat bahwa IL-1β dan IL-17 adalah sitokin
proinflamasi yang penting dan ekspresi berlebih mereka dikaitkan
dengan cedera otak. Misalnya, IL-1β telah dikaitkan dengan
peradangan sistemik yang berkontribusi terhadap cedera otak akut,
sedangkan IL-17 menutup proliferasi sel induk saraf dan mengurangi
jumlah astrosit dan sel prekursor oligodendrosit dengan memainkan
peran langsung dalam menutup remielinasi dan perbaikan saraf pada
kerusakan SSP. Lalu dapat meningkatkan perkembangan kortikal
yang abnormal dan menyebabkan kelainan perilaku pada
keturunannya (Feltham, et al, 2019).

Alkohol dapat menginduksi oksigen reaktif tingkat tinggi,


meningkatkan kematian sel, menghambat adhesi sel, mempengaruhi
proses metabolisme. Alkohol juga dapat menyebabkan hambatan
pertumbuhan intrauterin atau janin, ukuran kecil atau berat badan
untuk usia kehamilan. Kerangka juga dapat dipengaruhi oleh alkohol,
menyebabkan fusi dari tubuh vertebral atau elemen posteriornya
(skoliosis), kelainan pada rongga dada dan malformasi anggota tubuh
seperti sinostosis radioulnar, fusi karpal, digit yang sedikit
memendek atau hilang dan kelengkungan digit (secara klinodaktyly).
Kelainan ginjal dapat mencakup obstruksi ureteropelvis, kandung

12
kemih neurogenik, dan malrotasi ginjal. Malformasi jantung dapat
mencakup defek septum atrium atau ventrikel serta anomali arteri
aorta dan pulmonal. Pada anak-anak yang terkena FAS,
microphthalmia dan cacat telinga bagian dalam menyebabkan
masalah penglihatan dan pendengaran. Meskipun dianggap sebagai
bagian dari SSP, malformasi mata dan telinga dapat timbul karena
mekanisme yang tidak bergantung SSP (Shabtai dan Fainsod, 2018).

Gambar 4.1.1.1. Hasil Praktikum Malformasi pada Fetus dengan


Perlakuan Alkohol (a) Costae bergelombang, (b) Fusi costae, (c)
tidak adanya falanges

Dari hasil praktikum diketahui alcohol berpengaruh pada


costae dimana pada gambar (a) costae bergelombang, gambar (b)
costae berdifusi dan (c) tidak adanya falanges. Hal ini sesuai dengan
literatur dimana alkohol menyebabkan fusi dari tubuh vertebral atau
elemen posterior (skoliosis), kelainan pada rongga dada dan
malformasi anggota tubuh seperti sinostosis radioulnar, fusi karpal,

13
digit yang sedikit memendek atau hilang dan kelengkungan digit
(secara klinodaktyly) (Shabtai dan Fainsod, 2018).

4.1.2. Kafein

Kafein adalah salah satu makanan dan suplemen yang paling


banyak dikonsumsi di dunia. Di A.S., sekitar 85% orang dewasa
mengonsumsi kafein. Sebagian besar kafein dikonsumsi sebagai
kopi, tetapi kafein juga terdapat dalam berbagai makanan, obat-
obatan dan minuman. Kafein bersifat psikoaktif dan merupakan
bahan aktif dalam minuman berenergi. Dosis konsumsi harian yang
masih aman sebesar 400 mg (∼5,5 mg kg − 1 untuk individu seberat
75 kg) tidak memberikan resiko kesehatan. Kafein (1,3,7-
trimetilxantin) terbentuk ketika tiga gugus metil disubstitusi pada
senyawa induk xantin. Kafein dengan cepat didistribusikan ke semua
jaringan dan dengan mudah melewati sawar darah-otak untuk
memberikan efeknya. Waktu paruh kafein dalam sirkulasi biasanya
3-5 jam, sehingga berinteraksi dengan banyak jaringan untuk waktu
yang lama. Kafein memberikan efeknya pada fungsi kognitif dan
fisik melalui blokade reseptor adenosin A1 dan A2a di SSP dan
jaringan perifer. Efek kafein pada keterampilan eksekutif tingkat
tinggi, penilaian kompleks, pemahaman emosional, dan pengambilan
keputusan tidak jelas dan membutuhkan studi lebih lanjut; d.
Kemampuan kafein untuk meningkatkan fungsi kognitif dan fisik
bergantung pada dosis. Kafein adalah strategi efektif untuk melawan
degradasi fisik dan kognitif yang terkait dengan kurang tidur
(McLellana et al., 2016).

Meskipun begitu, asupan kafein yang berlebihan pada ibu


hamil dianggap berpotensi menimbulkan bahaya pada hasil
kehamilan atau pada janin itu sendiri (Cornelis, 2019)

Konsumsi bahan makanan yang mengandung kafein banyak


dikaitkan dengan penurunan massa tulang dan peningkatan resiko
patah ulang. Pernyataan tersebut diperkuat dengan penelitian Heaney
dan Recker yang menunjukkan bahwa diuresis yang diinduksi kafein

14
meningkatkan kehilangan kalsium urin secara akut. Konsumsi kafein
telah dilaporkan dapat menurunkan kepadatan mineral tulang
(BMD), meningkatkan risiko patah tulang pinggul dan secara negatif
mempengaruhi retensi kalsium. Dalam studi longitudinal tentang
interaksi antara asupan kafein, polimorfisme reseptor vitamin D
(VDR), dan kepadatan mineral tulang (BMD), menunjukkan bahwa
jika asupan kafein dalam jumlah lebih dari 300 mg / hari (sekitar 514
g, atau 18 ons, kopi yang diseduh) mempercepat keropos tulang di
tulang belakang pada wanita pascamenopause lanjut usia (Tsuang et
al., 2006).

Pada ibu hamil, kafein dengan cepat diserap melalui sistem


pencernaan ibu dan dengan bebas melewati sekundin dapat
menurunkan pertumbuhan janin. Kafein juga meningkatkan siklus sel
adenosin monofosfat dan dapat mempengaruhi pertumbuhan sel.
Kadar katekolamin pada kafein daapat menyebabkan kontraksi
pembuluh darah uteroplasenta yang mengakibatkan kekurangan
oksigen pada janin yang semuanya di atas dapat menyebabkan
penurunan pertumbuhan janin. Kafein juga mempengaruhi
pertumbuhan sel dengan cara meningkatkan siklus sel adenosin
monofosfat. Asupan kafein selama kehamilan selain kemungkinan
cacat pada janin, mungkin memiliki efek negatif dan berbahaya pada
pertumbuhan janin, berat badan, dan jumlah komponen penting yang
mempengaruhi osifikasi dan perkembangan tulang. Sedangkan
paparan kafein pada saat sebelum organogenesis dapat menyebabkan
keguguran janin (Ghorbani et al., 2017)

15
a b c

Gambar 4.1.2.1 Malformasi pada fetus dengan perlakuan


teratogen kafein (a) sternum tidak termineralisasi dengan baik,
(b) phalanges tidak terklasifikasi, (c) costae pendek serta jari
tangan memiliki jumlah kurang lengkap.

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan pada mencit


betina (Mus musculus) yang sedang hamil dan diberikan kafein
sebagai zat teratogen, terdapat hasil berupa 3 preparat yang
menunjukkan malformasi fetus pada tulang. Pada preparat pertama

16
embrio Mus musculus yang terpapar kafein menunjukkan adanya
sternum yang tidak termineralisasi. Hal ini sesuai literatur yang
menyatakan bahwa pemberian teratogen kafein pada mencit betina
yang sedang bunting dengan dosis 50 dan 100 mg/kg berat badan
dapat menyebabkan pengerasan endokondral pada janin yang
dikandung. Pemberian kafein dengan dosis yang melebihi juga dapat
menyebabkan rusaknya pertumbuhan tulang karena implantasi
subkutan dari fragmen tulang yang mengalami demineralisasi pada
tikus di mana kondrogenesis dihambat oleh penurunan ekspresi
kolagen II, histon dan TGF beta juga menghasilkan ukuran yang
lebih kecil (Reis et al., 2014).

Penelitian lainnya dengan menggunakan dosis 2 mg


teratogen kafein juga dapat menyebabkan pengurangan kandungan
mineral di bagian femur (Ghorbani et al., 2017). Pada preparat kedua
embrio Mus musculus yang terpapar kafein menunjukkan malformasi
pada janin berupa phalanges yang tidak terkalsifikasi. Hal ini sesuai
dengan literatur yang menyatakan bahwa pemberian teratogen kafein
pada mencit betina yang sedang bunting dengan dosis 2,4 mg/kg
berat badan dapat menyebabkan kecacatan pada phalanges (Lashein,
et al., 2016).

Pada preparat ketiga embrio Mus musculus yang terpapar


kafein menunjukkan malformasi pada janin berupa costae pendek
serta jari tangan memiliki jumlah kurang lengkap. Hal ini sesuai
dengan literatur yang menyatakan bahwa kafein mengganggu
perkembangan tulang dengan memperpendek panjang tulang,
menurunkan kepadatan tulang, dan penurunan kondrosit atau
osteoblast. Dalam penelitian lain juga disebutkan bahwa pemberian
kafein memiliki efek buruk pada reproduksi dan perkembangan janin
termasuk peningkatan risiko persalinan prematur, aborsi spontan,

17
penurunan aliran darah plasenta, detak jantung janin, dan retardasi
pertumbuhan intrauterine (Kuczkowski, 2009).

4.1.3. Paparan Asap Rokok

Endometrium adalah jaringan yang penting dalam


kehamilan. Setelah terjadinya kehamilan, Integrin β3 terdiferensiasi
menjadi lebih efektif sebagai penanda endometrium terkoneksi
dengan matriks ekstraseluler. Kekurangan Integrin β3 menyebabkan
endometriosis, hidrosalping, sindrom ovarium polikistik dan
menurunnya fisiologi endometrium. Sekresi integrin yang kurang
menjadi salah satu penyebab kegagalan infertilitas, terlebih jika
kehamilan terpapar asap rokok. Diperkiraan 27,2% wanita usia subur
yang merokok, memiliki prevalensi kehamilan berkisar antara 15-
30%. Merokok saat hamil dapat menyebabkan banyak komplikasi
kehamilan termasuk kematian janin. Terdapat 4.000 senyawa dan
600 aditif (seperti karbon monoksida, kadmium, timbal, benzena,
nikotin, radioaktif polonium-210) di dalam rokok (Akpak et al.,
2017).

Meski hanya terpapar asap tembakau melalui perokok aktif,


perokok pasif juga menerima komplikasi selama kehamilan. Efek
potensial senyawa asap rokok pada endometrium sangatlah buruk.
Nikotin merupakan bahan beracun utama rokok, yaitu senyawa
alkaloid tersusun dari cincin piridin dan pirolidin dan diisolasi dari
daun tembakau. Ini menyebabkan efek berbahaya pada plasenta
dengan mengganggu hubungan antara asetilkolin dan reseptornya.
Mengganggu aliran darah, cairan ketuban dan transfer nutrisi.
Kehamilan yang terpapar asap rokok biasanya mengalami kegagalan
implantasi endometrium. Paparan rokok diketahui berdampak negatif
pada embrio hingga menyebabkan kegagalan pembuahan dan aborsi
dini yang spontan (Akpak et al., 2017). Nikotin, tar dan zat alkaloid

18
dapat berdampak fatal karena ketidakseimbangan antara kadar
oksidan dan antioksidan dalam tubuh. Sehingga berakibat pada
terjadinya penurunan drastis jumlah folikel di ovarium, degradasi
produksi hormon steroid dan pematangan folikel, gangguan gerakan
silia di tuba fallopii. Dalam kasus infertilitas, rokok dapat
meningkatkan keguguran berulang di awal periode kehamilan
(Luqman, 2020).

Tikus menjadi satu-satunya studi model hewan yang


membandingkan efek (transdermal) nikotin, bahan yang spesifik,
paling banyak, dan Integrin β3 yang secara langsung mengevaluasi
penerimaan endometrium. Paparan nikotin dimulai 3 hari sebelum
kehamilan dan berlanjut sampai usia 19 hari kehamilan. Selain itu,
dalam penelitian nikotin berulang kali diberikan yang terpola
menyebabkan stres metabolik pada kehamilan sehingga
mempengaruhi hasil ilmiah, seperti suntikan intraperitoneal, pompa
mini osmotik dan infus jugularis (Akpak et al., 2017). Paparan asap
rokok dapat meningkatkan apoptosis plasenta dalam mekanisme
gangguan kehamilan tikus putih (Rattus norvegicus) termasuk
mengubah ekspresi protein tight junction dan mengubah stabilitas
barrier plasenta, cacat kongenital eksternal, penurunan berat badan,
ukuran janin, kecacatan fisik dan meningkatkan kejadian aborsi
(Luqman, 2020).

19
Gambar 4.1.3.1 Fotografi janin tikus menunjukkan malformasi
eksternal. (A) Janin normal dan (B) Janin yang menyajikan
makroglossia (lidah besar) dan exencephaly (otak terletak di
luar tengkorak) (Dallaqua et al., 2013).

Gambar 4.1.3.2 a) Fotomikrografi tengkorak janin yang


menunjukkan penutupan normal fontanel (panah) dan (b) foto
mikrografi tengkorak janin yang terpapar asap rokok
menunjukkan retak selama kehamilan. Kepala panah
menunjukkan tidak adanya penutupan normal dari fontanelle
(perbesaran x8) (Souza-Silva et al., 2020).

20
Gambar 4.1.3.3 Malformasi pada fetus dengan perlakuan
paparan asap rokok (a) tidak terdapat kaki, (b) terjadi osifikasi,
(c) fusi pada tulang ekstremitas

Berdasarkan hasil praktikum, Nikotin dapat mempengaruhi


perkembangan tulang pada janin. Dapat dilihat malformasi yang
ditunjukkan pada fetus dengan perlakuan paparan asap rokok, yaitu
tidak terdapat pertumbuhan kaki, tidak terjadi osifikasi, terdapat fusi
pada tulang ekstremitas. Hal ini berkaitan dengan dosis paparan yang
dierima mencit baik pada saat sebelum kehamilan maupun saat
kehamilan berlagsung. Semakin tinggi dosis paparan asap rokok
pada sebelum ataupun saat kehamilan berlangsung, maka semakin
tinggi pula risiko terjadinya kelainan seperti rendahnya tingkat
perkembangan tulang, tidak terjadinya osifikasi tulang, dan lain-lain.
Frekuensi malformasi juga djelaskan pada penelitian Damasceno et
al., (2011) yang menyatakan bahwa malformasi fetus tikus yang
terpapar asap rokok pada sebelum ataupun saat kehamilan
berlangsung terbagi menjadi 3 yaitu anomali eksternal, anomaly
kerangka dan visceral dalam kelompok tikus eksperimental. Yang
mana pada kehamilan dapat menunjukkan kelainan yang berbeda
beda. Pada anomali kerangka atau skeletal, dijumpai kelainan jumlah

21
janin, vertebra centrum berbentuk abnormal, rusuk yang tidak
berkembang, rusuk supernumerary, sternebra berbentuk abnormal,
sternebrae yang tidak berkembang, dan kraniofenestria. Pada
anomali viseral, dijumpai kelainan jumlah janin, kandung kemih
membesar, kristal len yang tidak berkembang, hidronefosis, dan
hidroureter. Pada osifikasi tulang, dijumpai kelainan pada anterior
phalange, metacarpus, posterior phalange, metatarsus, kelainan
sejumlah ruas ekor, dan sternebra (Damasceno et al., 2011).

4.1.4. Antibiotik

Antibiotik merupakan senyawa yang dirancang untuk


menghambat atau membunuh mikroorganisme penyebab penyakit
(Escobar, et.al, 2020). Banyak antibiotik bersifat teratogenik dan
harus dihindari selama kehamilan. Seperti streptomisin, kanamisisn,
dan terasiklin yang dapat menganggu perkembangan janin. Obat-
obatan tersebut menyebabkan gangguan pendengaran, hipoplasia,
dan menodai tulang dan gigi. Penggunaan antibiotik selama
diresepkan oleh dokter dapat diminimalkan, namun tetap harus
menghindari penggunaanya di trisemester pertama karena
transformasi struktural utama janin terjadi selama periode tersebut
(Muacevic,et.al, 2021).
Pemberian antibiotik di kehamilan trisemester kedua dan
ketiga, dapat menyebabkan efek kecil pada gigi seperti hipoplasia
enamel, warna gigi menjadi kuning samapai coklat dan distori pada
pertumbuhan tulang (Nurhayati, 2017).
Berdasarkan hasil praktikum, pemberian zat antibiotik juga
dapat membuat tulang megalami pemendekan dan osifikasi elemen
rangka tungkai. Antibiotik yang digunakan dalam praktikum
sebelumnya yaitu Amoxilin dan Amaxan, dimana zat teratogen pada
antibiotik yang menyebabkan retardasi dan malformasi kerangka
pada fetus yaitu Beta-Lactam (Muacevic, et al. 2021).

22
Gambar 4.1.4.1 Pengamatan malformasi fetus dengan perlakuan
antibiotic pada pengamatan sebelumnya
Fetus mengalami osifikasi yang tidak sempurna, yaitu pada
gambar a costae pendek, vertebrae tidak menyatu, pada gambar b
terjadi lordosis, dimana vertebrae bengkok, tulang belum mengalami
osifikasi sempurna. Pada gambar c terjadi skoliosis, vertebrae tidak
menyatu, costaceae kiri bengkok dan terjadi fusi. Dan pada gambar d
costaceae kiri juga bengkok dan terjadi fusi. Hal ini sesuai dengan
literatur, dimana pemberian antibiotik menyebabkan osifikasi tulang
depan dan belakang kaki yang tidak lengkap, kolom vertrbral yang
tidak tertutup dengan celah abnormal antar tulang rusuk, tulang rusuk
dan tulang dada yang tidak mengeras, osifikasi tidak lengkap dari
daerah serviks dan toraks (Majeed, et.al, 2020)

4.1.5. Ekstrak Nanas dan Minuman Berkarbonasi

Nutrisi bagi ibu hamil mempengaruhi perkembangan janin di


dalam kandungan. Masa organogenesis merupakan masa paling
penting dalam perkembangan janin terutama terhadap perkembangan
plasenta. Nanas muda memiliki enzim bromelain yang bermanfaat
dalam penggunaan obat, sebagai emmenagogue, abortifacient dan
menyembuhkan gangguan lambung, adanya proses fibrinolitik,
proses anti-inflamasi, debridemen kulit dan peningkatan penyerapan

23
obat. Aktivitas proteolitik enzim bromelain juga menimbulkan efek
teratogenik sehingga dapat dianggap sebagai agen teratogenik
(Debnath, et al. 2019).

Bromelin adalah enzim proteolitik eksogen golongan


proteinase sistein yang banyak digunakan dalam industri sebagai
pelunak daging bersama dengan enzim papain dari tanaman pepaya.
Tingkat keempukan daging sebagian besar disebabkan oleh
degradasi jaringan ikat. Enzim bromelin menunjukkan aktivitas
hidrolitik pada jaringan ikat terutama terhadap kolagen dibandingkan
terhadap protein myofibrilar yang lain. Aktivitas kolagenase
bromelin dengan menghidrolisis kolagen diduga melalui akumulasi
hidroksiprolin. Kolagen yang terhidrolisis oleh enzim bromelin
membuat tubuh fetus menjadi sangat lunak. Kolagen adalah protein
yang ditemukan melimpah di seluruh tubuh hewan dan manusia.
Sekitar 30 persen dari total protein dalam tubuh adalah kolagen.
Kolagen ditemukan pada semua jaringan ikat seperti dermis, tulang,
tendon dan ligamen, yang memberikan integritas struktural terhadap
semua organ internal dan jaringan yang normal (Setyawati, dkk.
2011).

Komponen utama bromelain adalah fraksi proteolitik


sulfhidril yang juga mengandung peroksidase, asam fosfatase,
beberapa penghambat protease, dan kalsium yang terikat secara
organik dan terdiri dari 212 asam amino dengan berat molekul 33
kDa. Bromelain stabil pada pH 3,0-6,5 dan setelah dikombinasikan
dengan substratnya, aktivitas tersebut tidak lagi rentan terhadap
pengaruh pH. Kisaran suhu efektif adalah 40 C - 65 C dengan
optimum 50 C-60 C. Bromelain dapat diaktifkan oleh kalsium
klorida, sistein, garam bisulfat, NaCN, H2 S, Na2 S dan benzoat.
Namun, bromelain biasanya cukup aktif tanpa penambahan aktivator.
Bromelain dapat dihambat oleh Hg ++, Ag +, Cu ++, antitripsin,

24
estatin A dan B, iodoacetat. Aktivitas enzimatik pada ekstrak kasar
ditemukan 2.100 unit / gram untuk batang bromelain, sedangkan
untuk buah bromelain adalah 1.450 unit / gm. Sehingga diketahui
pada batang nanas lebih banyak enzim bromelain daripada bagian
buah (Manzoor, et al. 2016).

Komponen struktural utama dari matriks tulang adalah


kolagen tipe I, tipe X dan XXIV serta protein non-kolagen seperti
Bone Morphogenic Protein (BMP) yang berfungsi dalam
pertumbuhan dan mineralisasi tulang. Serat kolagen dan protein lain
dapat didegradasi oleh proteinase atau fragmen kolagen yang
dihasilkan proteolitik. Aktivitas proteolitik bromelain mendegradasi
kolagen tipe I, X dan XXIV yang menyebabkan retardasi osifikasi
sehingga berat dan panjang janin menurun (Setyawati, dkk. 2011).

Gambar 4.1.5.1. Malformasi kerangka janin mencit yang


diberikan ekstrak buah nanas muda/hijau. Sternebra kelima
dari (a) dan (c) tidak mengeras. Sternebra ketiga (b) dan
sternebra keempat (a), (b), dan (c) telah mengalami pengerasan

25
yang tidak lengkap sehingga tampak asimetris. (a), (b) dan (c)
adalah tulang dada dari perlakuan dosis 80% ekstrak buah
nanas muda. (d) costae menjadi berbelit-belit pada janin mencit
yang diberikan ekstrak buah nanas muda dosis 40%
(Prasetyawati, et al. 2017).

Ekstrak buah nanas muda/hijau menyebabkan penurunan


berat dan panjang fetus, perdarahan, retardasi osifikasi pada
sternebra, metacarpal, metatarsal, vertebra kaudal, costae
bergelombang dan sternebra asimetris (Prasetyawati, et al. 2017).

Kadar dan aktifitas enzim bromelain dipengaruhi tingkat


kematangan buah dan bagian buah. Aktivitas dan kadar enzim
bromelain pada nanas muda/hijau lebih tinggi daripada nanas tua.
(Dewi, 2017). Pada nanas muda, enzim bromealin menstimulasi
pengeluaran prostaglandin sehingga meningkatnya kadar
prostaglandin menyebabkan stimulasi kontraksi uterus. Pada saat
ovulasi, kadar progesteron meningkat dan akan merangsang
pengeluaran prostaglandin yaitu PGF2α dari endometrium dan
selanjutnya akan merangsang kontraksi dari otot polos uterus
Selain itu nanas muda juga mengandung serotonim yang mampu
merangsang kontraksi uterus (Prasetyawati, et al. 2017).

Efek terpenting yakni asam dari enzim bromelain dimana


kandungan asamnya mampu melemahkan leher rahim sehingga
tidak kuat menahan janin sehingga terjadi keguguran terutama pada
usia kehamilan yang masih muda. Selain itu enzim bromealin
merupakan zat proteolitik yang mampu merusak struktur protein dan
menyebabkan peluruhan dinding endometrium sehingga bayi juga
ikut terluruhkan. Untuk itu disarankan untuk tidak mengkonsumsi
nanas pada awal kehamilan sebelum terjadinya implantasi (Dewi,
2017). Sedangkan menurut Airaodion, et al. (2019), jus nanas

26
menyebabkan beberapa kontraksi pada tikus hamil uteri setelah
pemberian in vitro tetapi tidak menyebabkan aborsi saat diberikan
pada tikus bunting. Hal ini menunjukkan bahwa nanas mengandung
zat aktif yang dapat diisolasi dan diproses menjadi zat utero-tonik
murni untuk digunakan melalui rute selain oral. Sehingga, konsumsi
nanas relatif tetap aman selama kehamilan (Airaodion, et al. 2019).

Tabel 4.1.5.1 Rataan Jumlah Ruas Metakarpus Dan Metatarsus


Fetus dari Induk yang Mendapat Perlakuan Ekstrak Buah
Nanas Muda (Setyawati, dkk. 2011).

Semua fetus dari kelompok kontrol memiliki 3 ruas (100%

fetus mengalami penulangan normal) pada metakarpus dan


metatarsus. Secara statistika kelompok kontrol nyata mengalami
penulangan lebih banyak dibandingkan dengan semua kelompok
dosis perlakuan, sementara kelompok dosis 20% berbeda nyata
dengan kelompok dosis 40% maupun 80%. Sedangkan antara
kelompok dosis 40% dan 80% tidak berbeda nyata. Metakarpus
dengan penulangan hanya 1 ruas paling banyak ditemukan pada
kelompok dosis 40% dan 80% (Setyawati, dkk. 2011).

Soft drink adalah minuman berkarbonasi dengan tambahan


pemanis atau perasa. Berdasarkan zat pemanis yang digunakan, soft
drink terbagi menjadi sugar-sweetened soft drink yaitu soft drink
dengan pemanis berbahan dasar gula dan non-sugar soft drink yang

27
menggunakan pemanis buatan. Beberapa zat yang sering
ditambahkan ke dalam soft drink antara lain kafein, sakarin, fruktosa,
asam benzoat, sukrosa, asam sorbat, aspartam dan asam fosfat
(Berawi, dkk. 2017). Pada softdrink terdapat zat kafein yang cukup
tinggi dimana jika dikonsumsi terus menerus hingga mencapai dosis
kafein lebih dari 300 mg / hari dapat meningkatkan risiko janin
mengalami retardasi pertumbuhan, kelainan tulang, dan keguguran.
Selain itu juga dapat menyebabkan cacat lahir, kelahiran prematur,
penurunan kesuburan, dan meningkatkan risiko kelahiran dengan
berat badan rendah yang mengarah pada aborsi (Dillasamola, et al.
2018). Lalu pada percobaan tikus yang diberi larutan fruktosa dan
sukrosa, konsumsi sukrosa selama kehamilan dan menyusui
menghasilkan jaringan adiposa visceral yang tinggi sementara
konsumsi HFCS meningkatkan jaringan adiposa subkutan sehingga
memiliki akumulasi lemak tubuh yang lebih tinggi dan berpotensi
terjadinya obesitas karena mampu meningkatkan pula nafsu makan
pada ibu hamil (Kisioglu, et al. 2020).

28
Gambar 4.1.5.2. Hasil praktikum malformasi pada fetus dengan
perlakuan ekstrak nanas dan minuman berkarbonasi (fusi pada
costae, vertebrae, jadi kaki dan tangan)

Sehingga dari hasil praktikum sesuai dengan literatur


Prasetyawati, et al. (2017) dapat diketahui pada efek pemberian
nanas muda terjadi retardasi osifikasi pada sternebra, metacarpal,
metatarsal, vertebra kaudal, costae bergelombang dan sternebra
asimetris. Lalu untuk nanas muda sendiri dapat berpotensi adanya
aborsi saat kehamilan muda karena adanya kandungan asam yang
tinggi yang mampu melemahkan leher rahim dan termasuk zat
proteolitik yang mampu merusak struktur protein sehingga
menyebabkan peluruhan dinding endometrium dan bayi ikut
terluruhkan namun kejadiannya minim (Dewi, 2017). Sedangkan
menurut Airaodion, et al. (2019), jus nanas tidak berpotensi
menimbulkan aborsi dan hanya mengakibatkan kontraksi uterus.

29
Lalu untuk minuman berkarbonasi terkandung zat kafein yang
menyebabkan retardasi pertumbuhan, kelainan tulang, dan
keguguran. Selain itu juga dapat menyebabkan cacat lahir, kelahiran
prematur, penurunan kesuburan, dan meningkatkan risiko kelahiran
dengan berat badan rendah yang mengarah pada aborsi. Lalu terdapat
pula gula seperti fruktosa dan glukosa yang jika dikonsumsi dengan
dosis berlebih menyebabkan akumulasi lemak tubuh yang lebih
tinggi dan nafsu makan yang tinggi sehingga dapat terjadi obesitas
(Kisioglu, et al. 2020).

30
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Uji keteratogenikan adalah uji ketoksikan suatu obat yang
diberikan atau digunakan selama masa organogenesis suatu hewan
bunting. Uji ini digunakan untuk menentukan apakah suatu obat
dapat menyebabkan kelainan atau cacat bawaan pada diri janin yang
dikandung oleh hewan bunting, dan apakah cacat tersebut berkerabat
dengan dosis obat yang diberikan. Alkohol, antibiotik, kafein, asap
rokok dan minuman berkarbonasi diketahui termasuk zat teratogen
karena berdampak pada kerusakan fetus. Dampak teratogen
berpengaruh pada perkembangan fetus berupa malformasi yaitu
organogenesis yang tidak sesuai dengan tempat dan bentuknya.
Pada alkohol, menyebabkan perubahan bentuk pada 3 preparat
yakni preparate pertama, costae bergelombang, preparate kedua
costae berdifusi dan preparate ketiga tidak adanya falanges. . Hal ini
sesuai dengan literatur dimana alkohol menyebabkan fusi dari tubuh
vertebral atau elemen posterior (skoliosis), kelainan pada rongga
dada dan malformasi anggota tubuh seperti sinostosis radioulnar, fusi
karpal, digit yang sedikit memendek atau hilang dan kelengkungan
digit (secara klinodaktyly)
Pada antibiotik, Fetus mengalami osifikasi yang tidak sempurna,
yaitu pada preparate pertama costae pendek, vertebrae tidak
menyatu, pada preparate kedua terjadi lordosis, dimana vertebrae
bengkok, tulang belum mengalami osifikasi sempurna. Pada
preparate ketiga terjadi skoliosis, vertebrae tidak menyatu, costaceae
kiri bengkok dan terjadi fusi. Dan pada preparate keempat, costaceae
kiri juga bengkok dan terjadi fusi. Hal ini sesuai dengan literatur,
dimana pemberian antibiotik menyebabkan osifikasi tulang depan
dan belakang kaki yang tidak lengkap, kolom vertrbral yang tidak
tertutup dengan celah abnormal antar tulang rusuk, tulang rusuk dan
tulang dada yang tidak mengeras, osifikasi tidak lengkap dari daerah
serviks dan toraks.
Pada asap rokok, dapat mempengaruhi perkembangan tulang
pada janin. Dapat dilihat malformasi yang ditunjukkan pada fetus
dengan perlakuan paparan asap rokok, yaitu tidak terdapat
pertumbuhan kaki, tidak terjadi osifikasi, terdapat fusi pada tulang
ekstremitas. Hal ini berkaitan dengan dosis paparan yang dierima
mencit baik pada saat sebelum 31 kehamilan maupun saat kehamilan
berlagsung. Semakin tinggi dosis paparan asap rokok pada sebelum
ataupun saat kehamilan berlangsung, maka semakin tinggi pula
risiko terjadinya kelainan seperti rendahnya tingkat perkembangan
tulang, tidak terjadinya osifikasi tulang, dan lain-lain. malformasi
fetus tikus yang terpapar asap rokok pada sebelum ataupun saat
kehamilan berlangsung terbagi menjadi 3 yakni pada anomali
kerangka, dijumpai kelainan jumlah janin, vertebra centrum
berbentuk abnormal, rusuk yang tidak berkembang, rusuk
supernumerary, sternebra berbentuk abnormal, sternebrae yang tidak
berkembang, dan kraniofenestria. Pada anomali viseral, dijumpai
kelainan jumlah janin, kandung kemih membesar, kristal len yang
tidak berkembang, hidronefosis, dan hidroureter. Pada osifikasi
tulang, dijumpai kelainan pada anterior phalange, metacarpus,
posterior phalange, metatarsus, kelainan sejumlah ruas ekor, dan
sternebra.
Pada kafein, menyebabkan perubahan bentuk dimana pada
preparat pertama embrio Mus musculus yang terpapar kafein
menunjukkan adanya sternum yang tidak termineralisasi. Hal ini
sesuai literatur yang menyatakan bahwa pemberian teratogen kafein
pada mencit betina yang sedang bunting dengan dosis 50 dan 100
mg/kg berat badan dapat menyebabkan pengerasan endokondral pada
janin yang dikandung. Pemberian kafein dengan dosis yang melebihi
juga dapat menyebabkan rusaknya pertumbuhan tulang karena
implantasi subkutan dari fragmen tulang yang mengalami
demineralisasi pada tikus di mana kondrogenesis dihambat oleh
penurunan ekspresi kolagen II, histon dan TGF beta juga
menghasilkan ukuran yang lebih kecil.
Pada efek pemberian nanas muda terjadi retardasi osifikasi pada
sternebra, metacarpal, metatarsal, vertebra kaudal, costae
bergelombang dan sternebra asimetris. Lalu untuk nanas muda
sendiri dapat berpotensi adanya aborsi saat kehamilan muda karena
adanya kandungan asam yang tinggi yang mampu melemahkan leher
rahim dan termasuk zat proteolitik yang mampu merusak struktur
protein sehingga menyebabkan peluruhan dinding endometrium dan
bayi ikut terluruhkan namun kejadiannya minim. Lalu untuk
minuman berkarbonasi terkandung zat kafein yang menyebabkan
retardasi pertumbuhan, kelainan tulang, dan keguguran. Selain itu
juga dapat menyebabkan cacat lahir, kelahiran prematur, penurunan
kesuburan, dan meningkatkan risiko kelahiran dengan berat badan
rendah yang mengarah pada aborsi. Lalu terdapat pula gula seperti
fruktosa dan glukosa yang jika dikonsumsi dengan dosis berlebih
menyebabkan akumulasi lemak tubuh yang lebih tinggi dan nafsu
makan yang tinggi sehingga dapat terjadi obesitas.

5.2 Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut efek teratogenik pada
alkohol, kafein, asap rokok, antibiotik, nanas dan minuman
berkarbonat dengan dosis yang lebih bervariasi untuk
melihat hubungan antara dosis dengan efek
2. Perlu dilakukan penelitian pada hewan uji lainya seperti
tikus, kelinci dan marmut mengingat agen teratogen dapat
memberikan hasil yang berbeda tergantung pada jenis
hewan coba yang berbeda.
3. Perlu dilakukan pengamatan lebih lanjut pada organ dalam
maupun kerangka fetus.
33
DAFTAR PUSTAKA

Airaodion, A. I., Okoroukwu, V. N., Ogbuagu, E. O., & Ogbuagu, U.


(2019). In vitro and in vivo evaluation of Ananas comosus fruit
(pineapple) on abortion/miscarriage in Wistar rats. International
Journal Of Bio-Science And Bio-Technology, 11(9), 69-75.

Akpak, Y. K., Çekmez, Y., Erdoğan Çakır, A., Karaca, N., Batmaz,
G., Gülşen, S., & Tuştaş Haberal, E. (2017). An animal model of
effects of nicotine exposure on endometrial receptivity and embryo
implantation in pregnancy. The Journal Of Maternal-Fetal &
Neonatal Medicine, 30(23), 2818-2823.

Anisa, I. N., Muslimah, I., Sutjiatmo, A. B., & Soemardji, A. (2015).


Uji Teratogenik Ekstrak Air Daun Kecubung Gunung (Brugmansia
suaveolens Bercht & Presl.) Pada Tikus Wistar. Kartika: Jurnal
Ilmiah Farmasi, 2(1), 20-26.

Arianto, Richard Maco, Aristi Dian Purnama Fitri, and Bogi Budi
Jayanto. "Pengaruh Aklimatisasi Kadar Garam terhadap Nilai
Kematian dan Respon Pergerakan Ikan Wader (Rasbora
argyrotaenia) untuk Umpan Hidup Ikan Cakalang." Journal Of
Fisheries Resources Utilization Management And Technology 7.2
(2018): 43-51.

Bellinger, D. C. (2005). Teratogen update: lead and pregnancy. Birth


Defects Research Part A: Clinical And Molecular Teratology,
73(6), 409-420.

Berawi, K. N., & Dzulfiqar, D. (2017). Konsumsi soft drink dan


efeknya terhadap peningkatan resiko terjadinya osteoporosis. Jurnal
Majority, 6(2), 23-27.

35
Christianty, Fransiska Maria, and Lina Winarti. "Uji Teratogenik
Campuran Serbuk Biji Jinten Hitam (Nigella Sativa L.), Biji Kelabet
(Trigonella Foenum-Graecum L.), Dan Ginseng (Panax Ginseng CA
Mey.) Pada Tikus Putih Galur Wistar." STOMATOGNATIC. Jurnal
Kedokteran Gigi 9.3 (2015): 155-161.

Cornelis, M.C. 2019. The Impact of Caffeine and Coffee on Human


Health. Nutrients. Vol 11(416): 1-4

Dallaqua, B., Saito, F. H., Rodrigues, T., Calderon, I. M. P., Rudge,


M. V. C., Volpato, G. T., & Damasceno, D. C. (2013). Azadirachta
indica treatment on the congenital malformations of fetuses from
rats. Journal Of Ethnopharmacology, 150(3), 1109-1113.

Damasceno, D. C., Volpato, G. T., Sinzato, Y. K., Lima, P. H. O.,


Souza, M. S. S., Iessi, I. L., ... & Calderon, I. D. M. P. (2011).
Genotoxicity and fetal abnormality in streptozotocin-induced
diabetic rats exposed to cigarette smoke prior to and during
pregnancy. Experimental And Clinical Endocrinology &
Diabetes, 119(09), 549-553.

Damayanti, D. R. (2019). Efek Teratogenik Timbal Asetat Pada


Mencit (Mus Musculus) Prenatal Yang Diinduksi Pada Masa
Organogenesis (Doctoral dissertation, Universitas Airlangga).

Debnath, R., Chatterjee, N., Das, S., Mishra, S., Bose, D., Banerjee,
S., ... & Maiti, D. (2019). Bromelain with peroxidase from pineapple
are more potent to target leukemia growth inhibition-A comparison
with only bromelain. Toxicology In Vitro, 55, 24-32.

Dewi, R. (2017). Efek pemberian ekstrak buah nanas muda dan tua
(ananas. CL merr) terhadap kejadian abortus pada mencit (mus

36
musculus). Jurnal Bahana Kesehatan Masyarakat (Bahana of
Journal Public Health), 1(1), 1-7.

Dillasamola, D., Sari, N. P., Putri, B. O., Noverial, N., & Diliarosta,
S. (2018). Evaluation of Propolis and Milk Administration on
Caffein-Induced Mus musculus Fetus Skeletal. Pharmaceutical
Sciences & Research, 5(1), 7.

Escobar-Huerfano, F., Gómez-Oliván, L. M., Luja-Mondragón, M.,


SanJuan-Reyes, N., Islas-Flores, H., & Hernández-Navarro, M. D.
(2020). Embryotoxic And Teratogenic Profile Of Tretracycline

Fan, Lulu, et al. "Removal of alizarin red from water environment


using magnetic chitosan with Alizarin Red 32 as imprinted
molecules." Colloids and Surfaces B: Biointerfaces 91 (2012): 250-
257.

Feltham, B. A., Louis, X. L., Kapourchali, F. R., Eskin, M. N., &


Suh, M. (2019). DHA supplementation during prenatal ethanol
exposure alters the expression of fetal rat liver genes involved in
oxidative stress regulation. Applied Physiology, Nutrition, And
Metabolism, 44(7), 744-750.

Ghorbani, R., Ghanbari, A., Jalili, F., Jalili, P., Sohrabi, M., and
Jalili, C. 2017. Effect of caffeine on prenatal malformation skeletal
system. Executive Editor. Vol 8(2): 369-373.

Harahap, Armansyah Maulana, Endang Sulistyarini Gultom, and


Ahmad Shafwan S. Pulungan. "Pengaruh Frekuensi Penggantian
Sekam dengan Kehadiran Ektoparasot pada Mencit (Mus
musculus)." Jurnal Biosains 3.3 (2017): 162-166.
Husna, F. Z., Santoso, H., & Lisminingsih, R. D. (2020). Studi
Osifikasi Anggota Tubuh Embrio Ayam Buras dengan Pewarnaan
Alizarin Red. Biosaintropis (Bioscience-Tropic), 5(2), 30-37.

Kisioglu, B., & Nergiz-Unal, R. (2020). Potential effect of maternal


dietary sucrose or fructose syrup on CD36, leptin, and ghrelin-
mediated fetal programming of obesity. Nutritional Neuroscience,
23(3), 210-220.

Kuczkowski, K. M. 2009. Caffeine


37 in pregnancy. Archives Of
Gynecology And Obstetrics. Vol 280(5): 695-698.

Lashein, F. E. D. M., Seleem, A. A., and Ahmed, A. A. 2016. Effect


of caffeine and retinoic acid on skeleton of mice embryos. The
Journal Of Basic & Applied Zoology. Vol 75(1): 36-45.

Luqman, M. (2020). The Effect of Cigarette Smoke Exposure due to


Placental Apoptosis and Gestation Outcomes at Gestation Disorders
Mechanism In White Rat (Rattus norvegicus). International
Journal Of Pharmaceutical Research, (1).

Majeed, A., Javed, F., Akhtar, S., Saleem, U., Anwar, F., Ahmad, B.,
... & Sohail, M. F. (2020). Green synthesized selenium doped zinc
oxide nano-antibiotic: Synthesis, characterization and evaluation of
antimicrobial, nanotoxicity and teratogenicity potential. Journal Of
Materials Chemistry B, 8(36), 8444-8458.

Manzoor, Z., Nawaz, A., Mukhtar, H., & Haq, I. (2016). Bromelain:
Methods of extraction, purification and therapeutic applications.
Brazilian Archives Of Biology And Technology, 59.

McLenna, T.M., Caldwell, J.A., and Liebermanc, H.R. 2016. A


Review of Caffeine’s Effects on Cognitive, Physical and
Occupational Performance. Neuroscience And Biobehavioral
Reviews. Vol 71(1): 294–312

Muacevic, A., Adler, J., Kaleelullah, R., & Garugula, N. (2021).


Teratogenic Genesis in Fetal Malformations. Cureus, 13(2).

Musyarifah, Zulda, and Salmiah Agus. "Proses Fiksasi pada


Pemeriksaan Histopatologik." Jurnal Kesehatan Andalas 7.3
(2018): 443-453.

Nurhayati. A. P. D. 2017. Perkembangan Hewan:Edisi 4. ITS


38
Press:Surabaya

Pascual, M., Montesinos, J., Montagud-Romero, S., Forteza, J.,


Rodríguez-Arias, M., Miñarro, J., & Guerri, C. (2017). TLR4
response mediates ethanol-induced neurodevelopment alterations in a
model of fetal alcohol spectrum disorders. Journal Of
Neuroinflammation, 14(1), 1-15.

Prasetyawati, F., Gofur, A., & Lestari, U. (2017). Skeletal


Malformation on Balb-C Foetal Mice (Mus musculus) Administered
by Immature Pineapple Fruits Extract. Kne Life Sciences, 86-93.

Purwatiningsih, W., Aryani, D. E., Vidiastuti, D., Oktanella, Y., &


Firmawati, A. (2019). The Effect of Triponyl Sulphate on Fetuses
Development and Placental Abnormalities in Inducing Preeclampsia
of Rattus norvegicus animal model. Veterinary Biomedical And
Clinical Journal, 1(1), 41-46.

Puspitasari, Sagita Candra. "Pengaruh Ekstrak Kulit Buah Naga


Merah (Hylocereus Polyrhizus) Terhadap Kadar Interleukin-6
Mencit Model Endometriosis." Jurnal Biosains Pascasarjana 19.3
(2017): 197-210.
Reis, A. M. S., Batista, A. C. M., Ocarino, N. M., & Serakides, R.
2014. Effects of caffeine intake in mothers on maternal cortisol
levels and offspring endochondral ossification. Actualizaciones En
Osteología. Vol 10(1): 20-36.

Ridwan, Endi. "Etika pemanfaatan hewan percobaan dalam


penelitian kesehatan." J Indon Med Assoc 63.3 (2013): 112-116.

Rizqi, C. A., & Mas’ud Hariadi, S. H. W. (2016). Pengaruh


Pemberian Beta Karoten terhadap Persentase Jumlah Fetus Mencit
(Mus musculus) Hidup yang diberi
39 Paparan Asap Rokok Kretek The
Influence of Beta Carotene to Live Fetus Percentage in Mice (Mus
musculus) That Exposured by Cigarette Smoke. Veterina Medika,
9(3), 15-22.

Setyawati, I., & Yulihastuti, D. A. (2011). Penampilan reproduksi


dan perkembangan skeleton fetus mencit setelah pemberian ekstrak
buah nanas muda. Jurnal Veteriner, 12(3), 192-199.

Shabtai, Y., & Fainsod, A. (2018). Competition between ethanol


clearance and retinoic acid biosynthesis in the induction of fetal
alcohol syndrome. Biochemistry And Cell Biology, 96(2), 148-160.

Shan, T., Zhao, Y., Jiang, S., & Jiang, H. (2020). In‐vivo
hemodynamic imaging of acute prenatal ethanol exposure in fetal
brain by photoacoustic tomography. Journal Of Biophotonics,
13(5), e201960161.

Shimizu, S. (2004). Routes of administration. The laboratory mouse,


527-541.

Sinaga, Ernawati, and Nonon Saribanon. "Ikan marga Channa,


Potensinya sebagai bahan nutrasetikal." (2019).
Snow, Mary Elizabeth. The effects of prenatal alcohol exposure on
endochondral bone development in the fetal rat. Diss. University of
British Columbia, 2006.

Souza-Silva, E. M., Alves, R. B., Simon, K. A., & Hueza, I. M.


(2020). Crack cocaine smoke on pregnant rats: Maternal evaluation
and teratogenic effect. Human & Experimental Toxicology, 39(4),
411-422.

Suryadinata, Rivan Virlando, et al. "The Role Of Selenium


Micronutrients As Antioxidants In Exposure To E-Cigarette Smoke."
Asian Journal Pharmaceutical And Clinical Research (AJPCR)
12.8 (2019): 265-268. 40

Tsuang, Y.H., Sun, J.S., Chen, L.T., Sun, S.C.K., and Chen, S.C.
2006. Direct Effects of Caffeine on Osteoblastic Cells Metabolism:
The Possible Causal Effect of Caffeine on The Formation of
Osteoporosis. Journal Of Orthopaedic Surgery And Research.
Vol 1(7) 1-10

Vargesson, Neil. (2017). "Medical Sciences, University of Aberdeen,


Aberdeen, UK Lucas Fraga, School of Medicine, Medical Sciences
and Nutrition, Institute of Med-ical Sciences, University of
Aberdeen, Aberdeen, UK."

Wells, P. G., Bhatia, S., Drake, D. M., & Miller ‐Pinsler, L. (2016).
Fetal oxidative stress mechanisms of neurodevelopmental deficits
and exacerbation by ethanol and methamphetamine. Birth Defects
Research Part C: Embryo Today: Reviews, 108(2), 108-130.

Xavier, A. L., Hauglund, N. L., von Holstein-Rathlou, S., Li, Q.,


Sanggaard, S., Lou, N., ... & Nedergaard, M. (2018). Cannula
implantation into the cisterna magna of rodents. Journal Of
Visualized Experiments: Jove, (135).
41
Lampiran 1: Diskusi

1. Mengapa dalam uji keteratogenikan, sediaan uji harus


diberikan pada masa organogenesis hewan bunting?
Jawaban:
Dalam uji keteratogenikan, sediaan uji harus diberikan
pada masa organogenesis karena masa organogenesis
merupakan masa pembentukan organ namun organ tersebut
belum berfungsi dan efek keteratogenikan ini terlihat dari
adanya cacat makroskopis dan mikroskopis yang meliputi
kelainan tangan, kaki serta organ lainnya dan juga sistem
rangka. Oleh karena itulah pada uji keteratogenikan,
sediaan uji harus diberikan pada masa organogenesis.

2. Mengapa hewan yang dipilih harus memiliki daur


estrus yang teratur, anak banyak dan masih virgin
serta memiliki masa laktasi yang pendek?
Jawaban:
Hewan yang dipilih sebagai subjek uji keteratogenikan
sebaiknya memiliki daur esterus yang teratur, anaknya
banyak, masih perawan, dan masa laktasinya pendek
karena bila hewan uji memiliki daur esterus yang teratur,
maka akan lebih mudah memperkirakan tingkat kesuburan

42
hewan uji yaitu waktu perkawinan dan perkiraan lama
kehamilan. Hewan yang dipilih yang jumlah anaknya
banyak agar hasil yang diperoleh lebih akurat, karena akan
lebih mudah membandingkan antara jumlah anak yang
cacat/ mati dengan kontrol. Dipilih hewan uji yang masih
perawan untuk mengeliminasi faktor yang tidak diinginkan
dalam pengamatan janin dan sistem hormonal hewan uji
yang masih perawan belum berubah. Untuk mendapatkan
hewan uji yang yang masih perawan dilakuakn dengan cara
pemisahan antara hewan uji jantan dan betinba setelah
masa laktasinya berakhir. Dipilih hewan uji yang masa
laktasinya pendek agar dapat dipisahkan antara hewan uji
jantan dan betina sehingga dapat dihasilkan hewan uji yang
murni dan masih perawan.

3. Mengapa masa bunting hewan uji harus diakhiri


beberapa waktu sebelum masa kelahiran normal
dengan cara bedah caesar?
Jawaban:
Masa bunting hewan harus diakhiri beberapa waktu
sebelum masa kelahiran normal dengan cara bedah seisar
karena supaya dalam uji teratogenik diperoleh data yang

43
lebih akurat, karena apabila hewan uji dipejankan obat dan
terjadi kecacatan pada janin yang dilahirkan. Kecacatan
tersebut bukan berasal dari obat yang dipejankan tapi dari
posisi kelahirannya seperti sungsang atau terjepit untuk
menghindari dimakannya anak yang lahir cacat itu oleh
induknya. Oleh karena itu, masa bunting hewan uji harus
diakhiri beberapa waktu sebelum kelahiran normal dengan
bedah seisar.

4. Jelaskan tujuan, sasaran, manfaat uji keteratogenikan


suatu obat?
Jawaban:
Tujuan, sasaran, dan manfaat uji teratogenikan sesuatu
obat yaitu : uji teratogenik merupakan salah satu jenis uji
ketksikan khas, yaitu uji ketoksikan suatu obat yang
diberikan selama proses atau masa organogenesis suatu obat
dapat menyebabkan kelainan atau cacat bawaan pada janin
yang dikandung oleh hewan uji dan apakah cacat tersebut
berkerabat dengan dosis yang diberikan.
 Tujuan

44
Untuk mengetahui apakah suatu obat dapat menyebabkan
kelainan/ cacat bawaan pada diri janin yang dikandung
oleh hewan uji.
 Sasaran
Janin tikus yang masih berada dalam kandungan
 Manfaat
Sebagai landasan evaluasi batas keamanan dan resiko
penggunaan suatu obat oleh wanita hamil, utamanya
yang berkaitan dengan obat yang diberikan dengan cacat
bawaan janin yang dikandungnya.

45
Lampiran 2: Diagram Alir Penelitian

Mencit dikawinkan dan ditetapkan masa hamil

Mencit dicekok (Penanganan hewan percobaan)

Dosis pada mencit diberikan

Fetus mencit diamati

46
BIODATA PENULIS

Penulis dilahirkan di Surabaya, 13 Agustus 2001.


Penulis merupakan anak pertama dari dua
bersaudara dari pasangan alm. M. Setyo
Pramono dan Aristiana P. Rahayu. Penulis
memulai pendidikan di SD Muhammadiyah 11
Surabaya, SMPN 3 Surabaya dan SMAN 9
Surabaya.
Setelah lulus pendidikan SMA, penulis
melanjutkan pendidikan S1 Biologi Institut Teknologi Sepuluh
Nopember Surabaya. Penulis aktif mengikuti organisasi mahasiswa
seperti Himpunan Mahasiswa Biologi ITS sebagai staff Sosial
Masyarakat 2021/2021. Riwayat kepanitiaan yang pernah diikuti
oleh penulis adalah Sie Humas RDK 41 2020, dan Sie Danus BOF
2021.
Penulis memiliki ketertarikan pada ilmu biologi khususnya di
bidang Ekologi Tumbuhan. Penulis membuka kesempatan adanya
kegiatan penelitian dengan alamat email yang bisa dihubungi
anjaliyasalmaputri@gmail.com.
“Halaman ini sengaja dikosongkan”

46

Anda mungkin juga menyukai