METODE REVIEW
A. Metode
Penulisan tugas ilimiah ini menggunakan metode studi pustaka (literature review)
berupa narrative review dengan menelusuri literatur yang relevan terkait sleep disorders
in stroke.
B. Kriteria Pencarian
Direct, dan Google Schoolar. Artikel yang digunakan dipilih berdasarkan kriteria yang
sesuai dengan topik literatur, dipublikasikan 10 tahun terakhir, dan menggunakan bahasa
Inggris. Kata kunci yang digunakan yaitu “sleep disorders in stroke” dengan strategi
C. Analisis
Artikel yang digunakan terbit dari tahun 2011 hingga 2021, kemudian penulis
mengambil informasi berupa judul penelitian, penullis dan tahun terbit, desain studi yang
Jurnal yang
dieksklusi karena
ketidaksesuaian isi
Jurnal yang digunakan setelah (n=4)
membaca isi (n=17)
BAB III
stroke (sleep disorders in sroke). Selain itu, literature review ini juga membahas beberapa hal
terkait stroke, seperti definisi, epidemiologi, klasifikasi, diagnosis, dan tatalaksana stroke.
Hasil pencarian literatur didapatkan 13 artikel yang relevan dengan topik sleep disorders in
stroke. Sebanyak 5 artikel menggunakan metode literature review, 4 artikel dengan metode
penelitian review. Berikut dipaparkan hasil penelitian yang menunjukan sleep disorders in
Menurut World Health Organization (WHO), stroke merupakan suatu keadaan dimana
ditemukan tanda-tanda klinis yang berkembang cepat berupa defisit neurologik fokal dan
global yang dapat memperberat dan berlangsung lama selama 24 jam atau lebih dan/atau
dapat menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vascular.1
Hasil data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2018 menunjukkan prevalensi stroke di
Indonesia berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk umur ≥15 tahun sebesar 10,9% atau
diperkirakan sebanyak 2.120.362 orang. Provinsi Kalimantan Timur (14,7%) dan D.I
Sedangkan Papua dan Maluku Utara memiliki prevalensi stroke terendah dengan masing-
masing 4,1% dan 4,6%. Sementara itu, prevalensi stroke di Kalimantan Selatan sebesar
12,7%.2
Secara umum, stroke terbagi menjadi stroke hemoragik yang disebabkan oleh pendarahan
di otak dan stroke iskemik yang disebabkan oleh gumpalan pada pembuluh darah otak.
1. Stroke Hemoragik
diketahui.3
2. Stroke Non Hemoragik4,5,6
a. Berdasarkan klinis:7,8
waktu lebih lama dari 24 jam, tapi tidak lebih dari seminggu.
1) Stroke Trombotik
darah di otak. Trombotik dapat terjadi pada pembuluh darah yang besar
dan pembuluh darah yang kecil. Pada pembuluh darah besar trombotik
darah yang cepat. Selain itu, trombotik juga diakibatkan oleh tingginya
pembuluh darah arteri kecil terhalang. Ini terkait dengan hipertensi dan
Penegakan diagnosis pada stoke dilakukan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
1. Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan yang mengarahkan diagnosis stroke, yang perlu
diperhatikan adalah bagaimana onset penyakit muncul. Penyakit stroke akan ditandai
dengan adanya keluhan yang muncul mendadak. Apabila seorang pasien datang
dengan keluhan mirip stroke tetapi memiliki onset gejala yang muncul perlahan, maka
perlu dipikirkan adanya kemungkinan penyebab yang lain. 9 Hal berikutnya yang perlu
diperhatikan ialah faktor resiko penyakit stroke. Faktor-faktor seperti usia tua,
hipertensi, diabetes mellitus, riwayat penyakit jantung, rokok, konsumsi alkohol, dan
adanya riwayat stroke sebelumnya dapat menjadi salah satu penyebab dari stroke.10
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien stroke dapat ditemukan adanya defisit motorik, defisit
sensorik, defisit kognitif atau defisit nervus kranialis. Pemeriksaan fisik perlu
fisiologis dapat ditemukan adanya peningkatan yang menandakan lokasi lesi di upper
motor neuron. Pemeriksaan refleks patologis dapat ditemukan hasil yang positif
stroke. Salah satu skala stroke yang paling sering digunakan ialah skala stroke dari
National Institute of Health (NIH) yang mengklasifikasikan stroke berdasarkan
gerakan mata, lapang pandang, kelemahan wajah, lengan, dan tungkai, ada tidaknya
3. Pemeriksaan Penunjang
dapat dilakukan pemeriksaan darah lengkap, kadar gula darah, dan elektrolit. Pada
pasien stroke biasanya akan diikuti dengan adanya gangguan keseimbangan elektrolit
mengetahui apakah terdapat faktor resiko diabetes mellitus dalam kejadian stroke.
Adanya gambaran atrial fibrilasi seringkali berhubungan dengan adanya stroke infark
kelainan pada jantung yang juga menjadi faktor resiko dari stroke. Pemeriksaan
Stroke iskemik atau stroke infark pada CT-scan digunakan untuk mengeksklusi
stroke perdarahan. CT-scan pada infark serebri memiliki gambaran khusus sesuai
teritori area vaskularisasi arteri yang mengalami sumbatan. CT-scan non kontras
meningkat setelah 24 jam onset serangan. Gambaran stroke iskemik akan berwarna
lebih gelap (hipodens) jika dibandingkan dengan bagian korteks serebri lain. MRI
Stroke hemoragik juga dapat terlihat lokasi perdarahan melalui CT Scan kepala.
Gambaran stroke hemoragik pada CT-scan darah akan berwarna lebih terang
Stroke didiognosis berdasarkan defisit neurologis fokal atau global yang muncul
secara tiba-tiba dan dapat disertai tanda peningkatan tekanan intrakranial dan
seperti CT-scan atau MRI. Apabila CT-scan atau MRI tidak tersedia maka untuk
membedakan stroke iskemik akut dan stroke hemoragik dapat digunakan cara scoring.
Skrining stroke akut pada instalasi gawat darurat dapat menggunakan skoring
ROSIER (Recognition of Stroke in Emergency Room) pada tabel 3.2. Bila skor >0 dan
Gejala Poin
Penurunan kesadaran atau sinkop -1
Kejang -1
Onset akut
Kelemahan wajah asimetris +1
Kelemahan lengan asimetris +1
Kelemahan tungkai asimetris +1
Gangguan bicara +1
Defek lapang pandang +1
mmHg.
rendah.
Neuroprotektor.
Neurorehabilitasi
Tujuan terapi adalah memulihkan perfusi jaringan ke otak yang mengalami infark
Obat ini juga disebut dengan tPA atau alteplase. Diberikan dengan dosis
0.6-0.9 mg/kgBB. Pemberian alteplase pada 3-4,5 jam pertama (Golden
2) Pasien berusia ≤80 tahun, tanpa riwayat diabetes melitus dan stroke,
Diuretik).
Neurorehabilitasi.
pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya. Tidur juga dapat didefinisikan
sebagai suatu kondisi reversibel saat seseorang terlepas dari dan tidak responsif terhadap
lingkungan sekitarnya.16
Siklus sadar dan tidur diregulasi oleh interaksi antara sirkuit yang meregulasi kondisi sadar
dan kondisi tidur. Kondisi sadar dipengaruhi oleh aktivitas saraf kolinergik pada batang otak,
basal forebrain, saraf monoaminergik pada batang otak dan hipotalamus posterior, dan saraf
hipokretin pada hipotalamus lateral yang saling berkoordinasi. Transisi dari kondisi bangun
menuju tidur melibatkan inhibisi dari beberapa sistem regulasi kesadaran. Inhibisi ini
dilakukan oleh grup saraf yang berada pada Ventral Lateral Preoptic (VLPO) dan
mammilary posterior nucleus (MnPN) dari hipotalamus. Saraf pada VLPO memiliki
neuromodulator inhibitori yaitu, galanin dan neurotransmitter inhibitori yaitu, Gamma Amino
Butyric Acid (GABA). Saraf pada MnPN mensintesis GABA. Saraf pada VLPO dan MnPN
merupakan sumber projeksi menuju sistem regulasi kesadaran pada hipotalamus posterior dan
Tidur terdiri atas beberapa tahap. Tahap ini ditentukan berdasarkan karakteristik dari
elektroensefalografi (EEG). Tahap tidur meliputi NREM dan REM. NREM terdiri atas 4
tahap. Tahap I ditandai dengan adanya perubahan spektrum EEG ke arah bawah dan
peningkatan gelombang kortikal. Tahap I akan berprogress menjadi tahap II. Tahap II
gelombang EEG, dan peningkatan frekuensi dari klaster spindle (sleep spindles) secara
intermiten. Sleep spindles merupakan sebuah aktivitas periodik dalam skala 10–12 Hz selama
1–2 detik karena adanya interaksi antara saraf talamik dan kortikal. Tahap II diikuti dengan
tahap III yang ditandai dengan adanya penurunan sleep spindles dan peningkatan dari
amplitudo gelombang berfrekuensi rendah. Tahap III akan dilanjutkan oleh tahap IV yang
ditandai dengan rendahnya frekuensi gelombang EEG sebesar 1–4 Hz dan 18 peningkatan
amplitudo dari fluktuasi gelombang EEG (gelombang delta). NREM terjadi selama satu jam.
Setelah otak melalui tahap NREM, maka aktivitas otak pada EEG akan kembali seperti
kondisi bangun. Tahap ini disebut juga tahap REM. Otak akan memasuki tahap REM selama
kurang lebih 10 menit dan nantinya dilanjutkan dengan memasuki kembali tahap NREM. Hal
ini terjadi dalam siklus sampai tahap REM terjadi sekitar empat periode dengan durasinya
yang semakin menurun. Jumlah waktu tahap REM akan menurun seiring bertambahnya usia.
Pada saat kelahiran, durasi waktu REM adalah delapan jam. Pada umur 10 tahun, durasi
waktu REM adalah dua jam. Pada umur 70 tahun, durasi waktu REM adalah 45 menit.Di sisi
lain, beberapa studi menunjukkan bahwa tahap NREM dan REM berperan penting dalam
proses belajar dan konsolidasi memori. Tahap REM berperan penting dapat memproses
memori dan ilmu yang baru dipelajari secara sensorik dan motorik. Tahap NREM berperan
dalam homeostasis tidur dan memiliki pengaruh terhadap fungsi kognitif. Studi lain
membuktikan bahwa gelombang lambat pada tahap NREM dapat meningkatkan plastisitas
saraf.16,18
Siklus tidur diatur oleh otak dan stroke dapat menyebabkan gangguan tidur karena kelainan
siklus tidur dan terjaga, yang menyebabkan insomnia dan agitasi di malam hari, dan kantuk
parah di siang hari.Kurang tidur setelah stroke dapat diikuti oleh kelelahan kronis, disfungsi
kognitif dan emosional, hasil neurologis dan kualitas kehidupan yang lebih buruk.19
Gangguan tidur dapat menjadi faktor resiko dari stroke ataupun manifestasi klinis dari stroke.
Ada 21–77% dari pasien stroke memiliki gangguan tidur yang terjadi setelah stroke.
Gangguan tidur setelah stroke meliputi Sleep Disordered Breathing (SDB), insomnia,
circadian rhythm sleep disturbance, hipersomnia, parasomnia dan sleep-related movement
disorder.20
Sebuah studi klinis menemukan tiga gangguan tidur tersering pada pasien stroke, yaitu sleep
apnea, excessive daytime sleepiness (EDS) dan insomnia. SDB adalah suatu penyakit yang
meliputi masalah pernapasan dan ventilasi saat tidur. Masalah pernapasan dan ventilasi saat
tidur tersebut dapat berupa habitual snoring, obstructive sleep apnea (OSA), dan central
sleep apnea (CSA). Gejala tersering yang terjadi pada pasien dengan SDB adalah daytime
sleepiness. Salah satu metode untuk mendiagnosisnya adalah dengan menggunakan Epworth
Sleepiness Scale (ESS). Ada pula metode lain yaitu, dengan menggunakan Berlin
Questionnaire (BQ).Insomnia adalah suatu penyakit yang berkarakteristik sulit tidur, sulit
bertahan tidur, bangun tidur lebih dini pada pagi hari, dan tidak memiliki tidur yang restoratif
menggunakan ESS, diari tidur, polisomnogram, dan aktigrafi. Ketika seseorang terkena
stroke, maka dapat terjadi perubahan neurokimia pada otaknya, seperti terjadinya perubahan
biomarker. Perubahan biomarker yang dapat berkontribusi dalam terjadinya gangguan tidur
dan translasi gen 23 Bmal1 & Cry1, dan penurunan ekskresi dari melatonin. Ada pula faktor
lainnya yang berkontribusi dalam terjadinya gangguan tidur pada stroke yaitu depresi, rasa
Gold standard dari diagnosis gangguan tidur adalah polisomnografi. Polisomnografi meliputi
mendiagnosis gangguan tidur organik seperti sleep disorder breathing (SDB) dan periodic
limb movement disorder, namun sebuah studi klinis mengatakan bahwa penggunaan
polisomnografi pada pasien stroke tidak mungkin dilakukan pada pasien stroke akut. Hal ini
menyebabkan penggunaan kuesioner pada pasien stroke untuk mendiagnosis gangguan tidur
lebih sering digunakan.4 Di sisi lain, pada beberapa penelitian sebelumnya, menggunakan
kuesioner dalam menemukan gangguan tidur pada pasien stroke. Kuesioner yang sering
digunakan di antaranya adalah pittsburgh sleep quality index (PSQI), insomnia severity
iIndex (ISI), Berlin Questionarre (BQ), dan sleep obstructive apnea score optimized for
stroke (SOS). PSQI dapat mengidentifikasi kualitas tidur secara umum. ISI dapat
tidurnya, dan seberapa mengganggunya tidur seseorang dengan fungsi kesehariannya. ESS
keparahan mendengkur saat tidur, excessive daytime sleepiness, riwayat tekanan darah tinggi
dan obesitas. SOS memiliki akurasi yang 24 lebih besar daripada BQ dan ESS, dan dapat
Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), PSQI digunakan untuk menilai gangguan tidur dan
kebiasaan tidur seseorang hanya dalam waktu satu bulan sebelumnya. PSQI terdiri atas 19
item yang dapat menilai kualitas tidur secara subyektif, waktu yang diperlukan untuk
memulai tidur, durasi tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan obat dalam
membantu tidur, dan gangguan tidur yang sering terjadi pada siang hari. Ada empat skala dari
tidur (good sleepers), sementara hasil dengan lebih dari 5 menunjukkan seseorang memiliki
gangguan tidur (bad sleepers). PSQI telah diuji validitas dan reliabilitasnya untuk menilai
gangguan tidur pada populasi pasien yang telah memiliki lesi otak akut. PSQI juga telah
banyak digunakan oleh peneliti untuk mengidentifikasi gangguan tidur pada pasien
3.9 Hubungan Lokasi Lesi Otak dengan Gangguan Tidur pada Pasien Stroke
Beberapa penelitian sebelumnya mengenai hubungan lokasi lesi otak dengan gangguan tidur
pada pasien stroke baru hanya dilakukan pada beberapa gangguan tidur spesifik seperti rest
less leg syndrome (RLS), insomnia dan REM sleep behavior disorder (RDB). Sebuah studi
kasus mengenai RLS menemukan bahwa lesi subkortikal seperti traktus piramidal dan axis
basal ganglia-batang otak, yang berperan dalam fungsi motorik dan siklus tidur, dapat
bahwa lesi pada dorsomedial frontal kiri berasosiasi dengan insomnia. Sebuah studi
eksperimental mengenai RDB menemukan bahwa lesi pada pons berasosiasi dengan
RDB.Sebuah studi klinis yang meneliti hubungan gangguan tidur dengan stroke yang juga
mempertimbangkan adanya hubungan dengan lokasi lesi otak, namun studi klinis tersebut
menemukan tidak adanya hubungan yang signifikan antara lokasi lesi otak dengan gangguan
tidur.17
Gangguan tidur merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien dengan stroke iskemik
atau hemoragik akut, kira-kira 20-40% pasien stroke mengalami berbagai gangguan tidur-
Pada sebagian besar penderita stroke menderita insomnia, hal ini dapat dikurangi dengan
dengan hipnoterapi.
SSRI telah digunakan selama bertahun-tahun untuk mengatasi depresi dan berfungsi
bahwa SSRI dapat meningkatkan pemuliha setelah stroke, bahkan pada orang yang
tidak depresi. Pada penderita stroke salah satu faktor penyebab gangguan tidur adalah
seksual, diare, konstipasi dan peningkatan tekanan darah. Dosis pemberian SSRI pada
pasien pasien stroke dengan gangguan gangguan tidur adalah 50-200 mg dan
disarankan untuk dimulai dari dosis 50 mg/hari. SSRI akan mensupresi fase REM dan
b. Agonis GABA
yang memuaskan dalam pengobatan insomnia pada penderi6a stroke. Aktivasi dari
untuk mendapatkan efek anti panik dapat diberikan hingga 12 minggu. Penggunaan
withdrawal seperti gangguan kecemasan, letargi, fotofobia, mual, dan nyeri kepala.23
Ramelteon adalah chronohypnotic yang bekerja pada reseptor melatonin MT1 dan
MT2, yang terutama terletak di SCN, dan dikenal sebagai pengatur waktu tubuh.
Ramelteon merupakan pilihan terapi baru yang dapat di berikan pada pasien dengan
insomnia pada lebih dari tiga dekade. Ramelteon telah menunjukkan efek yang 6i8
dalam efektif dalam mencegah insomnia dalam uji klinis, memiliki tingkat keamanan
melatonin, sehingga defisit melatonin pada pasien stroke dapat diterapi dengan
ramelteon.
mempengaruhi dua mekanisme yang berbeda yang terlibat dalam regulasi tidur yaitu:
seseorang agar tetap masuk dalam fase tidur. Berdasarkan penelitian, pemberian
Continuous positive airway pressure (CPAP) adalah lini pertama pengobatan untuk pasien
dengan OSA sedang sampai berat. CPAP adalah diadministrasikan oleh unit motor kecil yang
mendorong udara bertekanan melalui selang yang terpasang pada masker yang diikatkan pada
wajah pasien. CPAP bekerja sebagai 'pneumatic splint' dengan memberikan tekanan
intraluminal positif, mengurangi episode berulang dari karakteristik kolaps saluran napas atas
sleep apnea, dan sepenuhnya atau sebagian membalikkan konsekuensi siang hari. Selain
meningkatkan kualitas tidur dan gejala disiang hari yang berhubungan dengan OSA, CPAP
telah terbukti menurunkan risiko untuk kejadian kardiovaskular dan memiliki efek sederhana
pasien dari waktu ke waktu untuk memantau efektivitas pengobatan. Yang lebih baru
dukungan maksimal selama fase apnea dan dukungan minimum selama hiperpnea,
DAFTAR PUSTAKA
1. Johnson, Walter, Oyere Onuma, Mayowa Owolabi and Sonal Sachdev. Stroke: a global
Jakarta; 2005.
7. National Clinical Guideline for diagnosis and Initial for Management of Acute Stroke
2008;25:457-507.
9. Lahdimawan, Ardik. Buku ajar ilmu bedah saraf. Banjarbaru: Zukzez Express; 2019.
10. PERDOSSI. Panduan praktis diagnosis dan tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: EGC;
2009.
11. Greenly, W. Larry. An overview of normal and pathological reflexes. 2016: 165-168.
12. Neurotoolkit. NIH Stroke Scale. [Cited 11 Aug 2020]. Available from:
https://www.neurotoolkit.com/nihss/
13. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan
14. Mutiarasari D. Ischemic Stroke: Symptoms, Risk Factors, and Prevention. Fakultas
15. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Acuan Praktik Klinis
16. Camilo MR, Sander HH, Eckeli AL, Fernandes RMF, dos Santos-Pontelli TEG, Leite
JP, et al. SOS score: an optimized score to screen acute stroke patients for obstructive
17. Amalia L. Gangguan Tidur pada Pasien Stroke Fase Akut. 2021;10(1):47–54.
18. Koenigs M, Holliday J, Solomon J, Grafman J. Left dorsomedial frontal brain damage
19. Zunzunegui C, Gao B, Cam E, Hodor A, Bassetti CL. Sleep disturbance impairs stroke
al. Subjective and objective features of sleep disorders in patients with acute ischemic
or haemorrhagic stroke: It is not only sleep apnoea which is important. Med
https://doi.org/10.1016/j.mehy.2019.109512
21. Pearce SC, Stolwyk RJ, New PW, Anderson C. Sleep disturbance and deficits of
22. Mead GE, Hsieh CF, Lee R, Kutlubaev MA, Claxton A, Hankey GJ, Hackett ML.
Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI) for stroke recovery recovery. (Abstrak)
24. Wallace DM, Ramos AR, Rundek T. Review Sleep disorders and stroke.
2012;7(April):231–42.