Anda di halaman 1dari 21

BAB II

METODE REVIEW

A. Metode

Penulisan tugas ilimiah ini menggunakan metode studi pustaka (literature review)

berupa narrative review dengan menelusuri literatur yang relevan terkait sleep disorders

in stroke.

B. Kriteria Pencarian

Sumber literatur didapatkan melalui penelusuran pada database PubMed, Science

Direct, dan Google Schoolar. Artikel yang digunakan dipilih berdasarkan kriteria yang

sesuai dengan topik literatur, dipublikasikan 10 tahun terakhir, dan menggunakan bahasa

Inggris. Kata kunci yang digunakan yaitu “sleep disorders in stroke” dengan strategi

pencarian dapat dilihat pada lampiran.

C. Analisis

Artikel yang digunakan terbit dari tahun 2011 hingga 2021, kemudian penulis

mengambil informasi berupa judul penelitian, penullis dan tahun terbit, desain studi yang

digunakan, subjek penelitian, dan hasil penelitian.

Jurnal hasil Jurnal hasil


Jurnal hasil penelusuran
penelusuran Science penelusuran Google
PubMed (n=1.446)
Direct (n=21.211) Scholar (n=53.100)

Jurnal yang dilakukan pengecekan Jurnal yang


judul dan abstrak (n=75.757) dieksklusi karena
tidak relevan dengan
judul (n=15608)
Jurnal yang diperoleh setelah
membaca judul (n=22)

Jurnal yang
dieksklusi karena
ketidaksesuaian isi
Jurnal yang digunakan setelah (n=4)
membaca isi (n=17)

Jurnal yang digunakan dalam


tinjauan literatur (n=17)

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN


Literature review ini secara umum berfokus pada hubungan gangguan tidur pada pasien

stroke (sleep disorders in sroke). Selain itu, literature review ini juga membahas beberapa hal

terkait stroke, seperti definisi, epidemiologi, klasifikasi, diagnosis, dan tatalaksana stroke.

Hasil pencarian literatur didapatkan 13 artikel yang relevan dengan topik sleep disorders in

stroke. Sebanyak 5 artikel menggunakan metode literature review, 4 artikel dengan metode

penelitian review. Berikut dipaparkan hasil penelitian yang menunjukan sleep disorders in

stroke (tabel 3.1).

3.1 Definisi Stroke

Menurut World Health Organization (WHO), stroke merupakan suatu keadaan dimana

ditemukan tanda-tanda klinis yang berkembang cepat berupa defisit neurologik fokal dan
global yang dapat memperberat dan berlangsung lama selama 24 jam atau lebih dan/atau

dapat menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vascular.1

3.2 Epidemiologi Stroke

Hasil data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2018 menunjukkan prevalensi stroke di

Indonesia berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk umur ≥15 tahun sebesar 10,9% atau

diperkirakan sebanyak 2.120.362 orang. Provinsi Kalimantan Timur (14,7%) dan D.I

Yogyakarta (14,6%) merupakan provinsi dengan prevalensi tertinggi stroke di Indonesia.

Sedangkan Papua dan Maluku Utara memiliki prevalensi stroke terendah dengan masing-

masing 4,1% dan 4,6%. Sementara itu, prevalensi stroke di Kalimantan Selatan sebesar

12,7%.2

3.3 Klasifikasi Stroke

Secara umum, stroke terbagi menjadi stroke hemoragik yang disebabkan oleh pendarahan

di otak dan stroke iskemik yang disebabkan oleh gumpalan pada pembuluh darah otak.

1. Stroke Hemoragik

a. Perdarahan intraserebral (PIS): Perdarahan primer yang berasal dari pembuluh

darah dalam parenkim otak. Penyebab perdarahan intraserebral, antara lain

hipertensi, aneurisma, malformasi arteroivenous, neoplasma, gangguan koagulasi,

antikoagulan, vaskulitis, trauma, dan idiopatik.3

b. Perdarahan subaraknoid (PSA): Suatu keadaan terdapatnya atau masuknya darah

ke dalam ruangan subaraknoid karena pecahnya aneurisma atau sekunder dari

perdarahan intraserebral. Penyebab perdarahan subarachnoid, antara lain

aneurisma, malformasi arteriovenous, antikoagulan, tumor, vaskulitis, dan tidak

diketahui.3
2. Stroke Non Hemoragik4,5,6

a. Berdasarkan klinis:7,8

1) Serangan Iskemik Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA). Gejala

neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak akan

menghilang dalam waktu 24 jam.

2) Defisit Neurologik Iskemik Sepintas/Reversible Ischemic Neurological

Deficit (RIND). Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam

waktu lebih lama dari 24 jam, tapi tidak lebih dari seminggu.

3) Stroke Progresif (Progressive Stroke/Stroke In Evaluation). Gejala

neurologik makin lama makin berat.

4) Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke). Kelainan

neurologik sudah menetap, dan tidak berkembang lagi.

b. Berdasarkan lokasi penggumpalan:

1) Stroke Trombotik

Stroke trombotik terjadi karena adanya penggumpalan pada pembuluh

darah di otak. Trombotik dapat terjadi pada pembuluh darah yang besar

dan pembuluh darah yang kecil. Pada pembuluh darah besar trombotik

terjadi akibat aterosklerosis yang diikuti oleh terbentuknya gumpalan

darah yang cepat. Selain itu, trombotik juga diakibatkan oleh tingginya

kadar kolesterol jahat atau Low Density Lipoprotein (LDL). Sedangkan

pada pembuluh darah kecil, trombotik terjadi karena aliran darah ke

pembuluh darah arteri kecil terhalang. Ini terkait dengan hipertensi dan

merupakan indikator penyakit aterosklerosis.4,8

2) Stroke Emboli/Non Trombotik.


Stroke emboli terjadi karena adanya gumpalan dari jantung atau lapisan

lemak yang lepas. Sehingga, terjadi penyumbatan pembuluh darah yang

mengakibatkan darah tidak bisa mengaliri oksigen dan nutrisi ke otak.7,8

3.4 Diagnosis Stroke

Penegakan diagnosis pada stoke dilakukan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik,

dan pemeriksaan penunjang sebagai berikut.

1. Anamnesis

Pasien datang dengan keluhan yang mengarahkan diagnosis stroke, yang perlu

diperhatikan adalah bagaimana onset penyakit muncul. Penyakit stroke akan ditandai

dengan adanya keluhan yang muncul mendadak. Apabila seorang pasien datang

dengan keluhan mirip stroke tetapi memiliki onset gejala yang muncul perlahan, maka

perlu dipikirkan adanya kemungkinan penyebab yang lain. 9 Hal berikutnya yang perlu

diperhatikan ialah faktor resiko penyakit stroke. Faktor-faktor seperti usia tua,

hipertensi, diabetes mellitus, riwayat penyakit jantung, rokok, konsumsi alkohol, dan

adanya riwayat stroke sebelumnya dapat menjadi salah satu penyebab dari stroke.10

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pasien stroke dapat ditemukan adanya defisit motorik, defisit

sensorik, defisit kognitif atau defisit nervus kranialis. Pemeriksaan fisik perlu

dilakukan pemeriksaan refleks fisiologis dan refleks patologis. Pemeriksaan refleks

fisiologis dapat ditemukan adanya peningkatan yang menandakan lokasi lesi di upper

motor neuron. Pemeriksaan refleks patologis dapat ditemukan hasil yang positif

akibat lesi pada traktus piramidalis.10,11

Pemeriksaan fisik juga dapat dilakukan penghitungan menggunakan skala

stroke. Salah satu skala stroke yang paling sering digunakan ialah skala stroke dari
National Institute of Health (NIH) yang mengklasifikasikan stroke berdasarkan

tingkat keparahan menggunakan komponen pemeriksaan seperti tingkat kesadaran,

gerakan mata, lapang pandang, kelemahan wajah, lengan, dan tungkai, ada tidaknya

ataksia, fungsi sensorik, bahasa, bicara dan inatensi.12

Tabel 3.2 NIH Stroke Scale12

Skor Keparahan stroke


0 Tidak ada gejala stroke
1-4 Minor stroke
5-15 Moderate stroke
16-20 Moderate to severe stroke
21-42 Severe stroke

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah pemeriksaan EKG,

laboratorium, rontgen toraks, dan neuroimaging. Pada pemeriksaan laboratorium

dapat dilakukan pemeriksaan darah lengkap, kadar gula darah, dan elektrolit. Pada

pasien stroke biasanya akan diikuti dengan adanya gangguan keseimbangan elektrolit

sepeti hiponatremia dan hipokalemia. Pemeriksaan gula darah dilakukan untuk

mengetahui apakah terdapat faktor resiko diabetes mellitus dalam kejadian stroke.

Pemeriksaan EKG dilakukan untuk melihat gambaran aliran listrik jantung.

Adanya gambaran atrial fibrilasi seringkali berhubungan dengan adanya stroke infark

trombotik. Pemeriksaan rontgen toraks dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya

kelainan pada jantung yang juga menjadi faktor resiko dari stroke. Pemeriksaan

neuroimaging, dapat dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala yang juga merupakan

‘baku emas’ untuk menentukan lokasi stroke pada pasien.

Stroke iskemik atau stroke infark pada CT-scan digunakan untuk mengeksklusi

stroke perdarahan. CT-scan pada infark serebri memiliki gambaran khusus sesuai

teritori area vaskularisasi arteri yang mengalami sumbatan. CT-scan non kontras
meningkat setelah 24 jam onset serangan. Gambaran stroke iskemik akan berwarna

lebih gelap (hipodens) jika dibandingkan dengan bagian korteks serebri lain. MRI

sekuens dapat mendiagnosis stroke iskemik akut. Serebral angiografi dapat

mendeteksi adanya stenosis vaskular.

Stroke hemoragik juga dapat terlihat lokasi perdarahan melalui CT Scan kepala.

Gambaran stroke hemoragik pada CT-scan darah akan berwarna lebih terang

(hiperdens).Perdarahan subarachnoid gambaran darah akan terlihat mengikuti

bentukan sulkus serebri. Perdarahan intracerebral akan menunjukkan adanya darah

pada korteks dan perdarahan intraventrikular akan menunjukkan adanya darah di

dalam ruang ventrikel.9

Stroke didiognosis berdasarkan defisit neurologis fokal atau global yang muncul

secara tiba-tiba dan dapat disertai tanda peningkatan tekanan intrakranial dan

dibuktikan dengan adanya lesi perdarahan pada pemeriksaan neuroimaging otak

seperti CT-scan atau MRI. Apabila CT-scan atau MRI tidak tersedia maka untuk

membedakan stroke iskemik akut dan stroke hemoragik dapat digunakan cara scoring.

Skrining stroke akut pada instalasi gawat darurat dapat menggunakan skoring

ROSIER (Recognition of Stroke in Emergency Room) pada tabel 3.2. Bila skor >0 dan

tanpa hipoglikemia, maka pasien kemungkinan mengalami stroke.13

Tabel 3.3 Skoring ROSIER13

Gejala Poin
Penurunan kesadaran atau sinkop -1
Kejang -1
Onset akut
Kelemahan wajah asimetris +1
Kelemahan lengan asimetris +1
Kelemahan tungkai asimetris +1
Gangguan bicara +1
Defek lapang pandang +1

3.5 Tatalaksana Stroke

a. Tatalaksana stroke hemoragik14,15

 Koreksi koagulopati menggunakan Prothhrombine Complex Concentrate

(PCC) bila disebabkan karena antikogulan.

 Manajemen hipertensi: pasien dengan TDS 150-220 mmHg tanpa

kontraindikasi, dapat diberikan antihipertensi hingga TDS mencapai 140

mmHg.

 Manajemen gula darah.

 Pencegahan stroke hemoragik berulang.

 Pencegahan DVT dengan menggunakan LMW heparin subkutan dosis

rendah.

 Neuroprotektor.

 Perawatan di Unit stroke.

 Neurorehabilitasi

 Tindakan intervensi: Kraniotomi evakuasi hematom, kraniotomi

dekompresi, VP shunt/ external drainage.

b. Tatalaksana stroke iskemik14,15

Tujuan terapi adalah memulihkan perfusi jaringan ke otak yang mengalami infark

dan mencegah serangan stroke berulang.

 Intravenous recombinant tissue plasminogen activator (rt-PA)

Obat ini juga disebut dengan tPA atau alteplase. Diberikan dengan dosis
0.6-0.9 mg/kgBB. Pemberian alteplase pada 3-4,5 jam pertama (Golden

Period) setelah onset gejala menghasilkan outcome yang lebih baik

dibandingkan penundaan terapi. Alteplase direkomendasikan pada pasien

yang memenuhi kriteria berikut:

1) Diberikan dalam 3-4,5 jam setelah onset stroke iskemik

2) Pasien berusia ≤80 tahun, tanpa riwayat diabetes melitus dan stroke,

skor NIHSS ≤25, tidak menggunakan obat antikoagulan, kerusakan

iskemik tidak melebihi sepertiga area arteri seberi media.

3) Tekanan darah <185/110 mmHg

4) Level glukosa >50 mg/dL

 Terapi endovascular: trombektomi mekanik, pada stroke iskemik dengan

oklusi karotis interna atau pembuluh darah intracranial, onset<8 jam.

 Manjemen hipertensi (Nikardipin, ARB, ACE-Inhibitor, CCB, B- bloker,

Diuretik).

 Manajemen gula darah (Insulin, Anti Diabetik Oral).

 Pencegahan stroke sekunder menggunakan antiplatelet. Pemberian

antiplatetel (aspirin, klopidogrel, silostazol) dalam 48 jam setelah onset

serangan dapat menurunkan risiko kematian dan mengurangi terjadinya

stroke iskemik ulangan sebesar 25%.

 Neuroprotektor (sitikolin, pirasetam, pentoksifilin).

 Perawatan di Unit Stroke.

 Neurorehabilitasi.

 Tindakan intervensi: Carotid Endartersctomy (CEA), Carotid Artery

Stenting (CAS), dan Stenting pembuluh darah intracranial.

3.6 Fisiologi Tidur


Tidur adalah suatu keadaan bawah sadar dimana seseorang masih dapat dibangunkan dengan

pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya. Tidur juga dapat didefinisikan

sebagai suatu kondisi reversibel saat seseorang terlepas dari dan tidak responsif terhadap

lingkungan sekitarnya.16

Siklus sadar dan tidur diregulasi oleh interaksi antara sirkuit yang meregulasi kondisi sadar

dan kondisi tidur. Kondisi sadar dipengaruhi oleh aktivitas saraf kolinergik pada batang otak,

basal forebrain, saraf monoaminergik pada batang otak dan hipotalamus posterior, dan saraf

hipokretin pada hipotalamus lateral yang saling berkoordinasi. Transisi dari kondisi bangun

menuju tidur melibatkan inhibisi dari beberapa sistem regulasi kesadaran. Inhibisi ini

dilakukan oleh grup saraf yang berada pada Ventral Lateral Preoptic (VLPO) dan

mammilary posterior nucleus (MnPN) dari hipotalamus. Saraf pada VLPO memiliki

neuromodulator inhibitori yaitu, galanin dan neurotransmitter inhibitori yaitu, Gamma Amino

Butyric Acid (GABA). Saraf pada MnPN mensintesis GABA. Saraf pada VLPO dan MnPN

merupakan sumber projeksi menuju sistem regulasi kesadaran pada hipotalamus posterior dan

lateral, dan batang otak rostral.17

Tidur terdiri atas beberapa tahap. Tahap ini ditentukan berdasarkan karakteristik dari

elektroensefalografi (EEG). Tahap tidur meliputi NREM dan REM. NREM terdiri atas 4

tahap. Tahap I ditandai dengan adanya perubahan spektrum EEG ke arah bawah dan

peningkatan gelombang kortikal. Tahap I akan berprogress menjadi tahap II. Tahap II

ditandai dengan adanya penurunan frekuensi gelombang EEG, peningkatan amplitudo

gelombang EEG, dan peningkatan frekuensi dari klaster spindle (sleep spindles) secara

intermiten. Sleep spindles merupakan sebuah aktivitas periodik dalam skala 10–12 Hz selama

1–2 detik karena adanya interaksi antara saraf talamik dan kortikal. Tahap II diikuti dengan

tahap III yang ditandai dengan adanya penurunan sleep spindles dan peningkatan dari

amplitudo gelombang berfrekuensi rendah. Tahap III akan dilanjutkan oleh tahap IV yang
ditandai dengan rendahnya frekuensi gelombang EEG sebesar 1–4 Hz dan 18 peningkatan

amplitudo dari fluktuasi gelombang EEG (gelombang delta). NREM terjadi selama satu jam.

Setelah otak melalui tahap NREM, maka aktivitas otak pada EEG akan kembali seperti

kondisi bangun. Tahap ini disebut juga tahap REM. Otak akan memasuki tahap REM selama

kurang lebih 10 menit dan nantinya dilanjutkan dengan memasuki kembali tahap NREM. Hal

ini terjadi dalam siklus sampai tahap REM terjadi sekitar empat periode dengan durasinya

yang semakin menurun. Jumlah waktu tahap REM akan menurun seiring bertambahnya usia.

Pada saat kelahiran, durasi waktu REM adalah delapan jam. Pada umur 10 tahun, durasi

waktu REM adalah dua jam. Pada umur 70 tahun, durasi waktu REM adalah 45 menit.Di sisi

lain, beberapa studi menunjukkan bahwa tahap NREM dan REM berperan penting dalam

proses belajar dan konsolidasi memori. Tahap REM berperan penting dapat memproses

memori dan ilmu yang baru dipelajari secara sensorik dan motorik. Tahap NREM berperan

dalam homeostasis tidur dan memiliki pengaruh terhadap fungsi kognitif. Studi lain

membuktikan bahwa gelombang lambat pada tahap NREM dapat meningkatkan plastisitas

saraf.16,18

3.7 Gangguan tidur pada stroke

Siklus tidur diatur oleh otak dan stroke dapat menyebabkan gangguan tidur karena kelainan

yang dapat terjadi pada struktur otak yang mengatur tidur.17

Infark serebral di subkorteks, talamus atau mesensefalon dapat sepenuhnya mengganggu

siklus tidur dan terjaga, yang menyebabkan insomnia dan agitasi di malam hari, dan kantuk

parah di siang hari.Kurang tidur setelah stroke dapat diikuti oleh kelelahan kronis, disfungsi

kognitif dan emosional, hasil neurologis dan kualitas kehidupan yang lebih buruk.19

Gangguan tidur dapat menjadi faktor resiko dari stroke ataupun manifestasi klinis dari stroke.

Ada 21–77% dari pasien stroke memiliki gangguan tidur yang terjadi setelah stroke.

Gangguan tidur setelah stroke meliputi Sleep Disordered Breathing (SDB), insomnia,
circadian rhythm sleep disturbance, hipersomnia, parasomnia dan sleep-related movement

disorder.20

Sebuah studi klinis menemukan tiga gangguan tidur tersering pada pasien stroke, yaitu sleep

apnea, excessive daytime sleepiness (EDS) dan insomnia. SDB adalah suatu penyakit yang

meliputi masalah pernapasan dan ventilasi saat tidur. Masalah pernapasan dan ventilasi saat

tidur tersebut dapat berupa habitual snoring, obstructive sleep apnea (OSA), dan central

sleep apnea (CSA). Gejala tersering yang terjadi pada pasien dengan SDB adalah daytime

sleepiness. Salah satu metode untuk mendiagnosisnya adalah dengan menggunakan Epworth

Sleepiness Scale (ESS). Ada pula metode lain yaitu, dengan menggunakan Berlin

Questionnaire (BQ).Insomnia adalah suatu penyakit yang berkarakteristik sulit tidur, sulit

bertahan tidur, bangun tidur lebih dini pada pagi hari, dan tidak memiliki tidur yang restoratif

walaupun memiliki banyak waktu untuk tidur.Insomnia dapat didiagnosis dengan

menggunakan ESS, diari tidur, polisomnogram, dan aktigrafi. Ketika seseorang terkena

stroke, maka dapat terjadi perubahan neurokimia pada otaknya, seperti terjadinya perubahan

biomarker. Perubahan biomarker yang dapat berkontribusi dalam terjadinya gangguan tidur

adalah perubahan signaling dari neurotransmitter seperti hipokretin, perubahan transkripsi

dan translasi gen 23 Bmal1 & Cry1, dan penurunan ekskresi dari melatonin. Ada pula faktor

lainnya yang berkontribusi dalam terjadinya gangguan tidur pada stroke yaitu depresi, rasa

sakit, kecemasan, dan lingkungan rumah sakit.17


Gambar 1. Patofisiologi Terjadinya Gangguan Tidur pada Pasien Stroke.17

3.8 Diagnosis Gangguan Tidur pada Stroke

Gold standard dari diagnosis gangguan tidur adalah polisomnografi. Polisomnografi meliputi

EEG, electromyografi (EMG), dan electrookulografi (EOG). Polisomnografi dapat

mendiagnosis gangguan tidur organik seperti sleep disorder breathing (SDB) dan periodic

limb movement disorder, namun sebuah studi klinis mengatakan bahwa penggunaan

polisomnografi pada pasien stroke tidak mungkin dilakukan pada pasien stroke akut. Hal ini

menyebabkan penggunaan kuesioner pada pasien stroke untuk mendiagnosis gangguan tidur

lebih sering digunakan.4 Di sisi lain, pada beberapa penelitian sebelumnya, menggunakan

kuesioner dalam menemukan gangguan tidur pada pasien stroke. Kuesioner yang sering
digunakan di antaranya adalah pittsburgh sleep quality index (PSQI), insomnia severity

iIndex (ISI), Berlin Questionarre (BQ), dan sleep obstructive apnea score optimized for

stroke (SOS). PSQI dapat mengidentifikasi kualitas tidur secara umum. ISI dapat

mengidentifikasi kesulitan tidur pada seseorang, kepuasan seorang individu terhadap

tidurnya, dan seberapa mengganggunya tidur seseorang dengan fungsi kesehariannya. ESS

dapat mengidentifikasi excessive daytime sleepiness. BQ meliputi pertanyaan mengenai

keparahan mendengkur saat tidur, excessive daytime sleepiness, riwayat tekanan darah tinggi

dan obesitas. SOS memiliki akurasi yang 24 lebih besar daripada BQ dan ESS, dan dapat

digunakan untuk melakukan screening sleep apnea pada pasien stroke.20

Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), PSQI digunakan untuk menilai gangguan tidur dan

kebiasaan tidur seseorang hanya dalam waktu satu bulan sebelumnya. PSQI terdiri atas 19

item yang dapat menilai kualitas tidur secara subyektif, waktu yang diperlukan untuk

memulai tidur, durasi tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan obat dalam

membantu tidur, dan gangguan tidur yang sering terjadi pada siang hari. Ada empat skala dari

masing-masing pertanyaan. Hasil dari seluruh pertanyaan akan dijumlahkan dan

diinterpretasikan. Hasil dengan 0 sampai 5 menunjukkan seseorang tidak memiliki gangguan

tidur (good sleepers), sementara hasil dengan lebih dari 5 menunjukkan seseorang memiliki

gangguan tidur (bad sleepers). PSQI telah diuji validitas dan reliabilitasnya untuk menilai

gangguan tidur pada populasi pasien yang telah memiliki lesi otak akut. PSQI juga telah

banyak digunakan oleh peneliti untuk mengidentifikasi gangguan tidur pada pasien

stroke.PSQI memiliki spesifisitas sebesar 86,5% dan sensitifitas sebesar 89,6%.17

3.9 Hubungan Lokasi Lesi Otak dengan Gangguan Tidur pada Pasien Stroke

Beberapa penelitian sebelumnya mengenai hubungan lokasi lesi otak dengan gangguan tidur

pada pasien stroke baru hanya dilakukan pada beberapa gangguan tidur spesifik seperti rest

less leg syndrome (RLS), insomnia dan REM sleep behavior disorder (RDB). Sebuah studi
kasus mengenai RLS menemukan bahwa lesi subkortikal seperti traktus piramidal dan axis

basal ganglia-batang otak, yang berperan dalam fungsi motorik dan siklus tidur, dapat

menyebabkan terjadinya gejala RLS.Sebuah studi observatif mengenai insomnia menemukan

bahwa lesi pada dorsomedial frontal kiri berasosiasi dengan insomnia. Sebuah studi

eksperimental mengenai RDB menemukan bahwa lesi pada pons berasosiasi dengan

RDB.Sebuah studi klinis yang meneliti hubungan gangguan tidur dengan stroke yang juga

mempertimbangkan adanya hubungan dengan lokasi lesi otak, namun studi klinis tersebut

menemukan tidak adanya hubungan yang signifikan antara lokasi lesi otak dengan gangguan

tidur.17

3.10 Penatalaksanaan Gangguan Tidur pada stroke

Gangguan tidur merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien dengan stroke iskemik

atau hemoragik akut, kira-kira 20-40% pasien stroke mengalami berbagai gangguan tidur-

bangun, seperti insomnia, hipersomnia, gangguan perilaku tidur REM (RBD),gangguan

gerakan tungkai periodik (PLMD).21

Pada sebagian besar penderita stroke menderita insomnia, hal ini dapat dikurangi dengan

pemberian farmakologis dan non farmakologis. Pengobatan secara farmakologis dilakukan

dengan pemberian obat antikolinergik, antiepileptik, bupropion, betaagonis, methylphenidate,

nikotin,selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI). Sedangkan nonfarmakologis dilakukan

dengan hipnoterapi.

a. Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI)

SSRI telah digunakan selama bertahun-tahun untuk mengatasi depresi dan berfungsi

menghambat ambilan serotonin. Baru-baru ini, percobaan kecil telah menunjukkan

bahwa SSRI dapat meningkatkan pemuliha setelah stroke, bahkan pada orang yang

tidak depresi. Pada penderita stroke salah satu faktor penyebab gangguan tidur adalah

depresi. Pemberian SSRI dapat mengatasi depresi, gangguan mood, gangguan


kecemasan. Pemberian SSRI dapat memiliki efek samping seperti gangguan fungsi

seksual, diare, konstipasi dan peningkatan tekanan darah. Dosis pemberian SSRI pada

pasien  pasien stroke dengan gangguan gangguan tidur adalah 50-200 mg dan

disarankan untuk dimulai dari dosis 50 mg/hari. SSRI akan mensupresi fase REM dan

meningkatkan latensi fase REM.22

b. Agonis GABA

Pemberian agonis GABA seperti benzodiazepin memberikan efek   jangka pendek

yang memuaskan dalam pengobatan insomnia pada penderi6a stroke. Aktivasi dari

reseptor GABA akan menyebabkan rasa kantuk.

Dosis pemberian benzodiazepin untuk terapi insomnia sebaiknya diberikan sampai 2

minggu,sedangkan untuk mencegah ansietas dapat diberikan selama 4 minggu dan

untuk mendapatkan efek anti panik dapat diberikan hingga 12 minggu. Penggunaan

benzodiazepin yang lama akan menyebabkan ketergantungan dan munculnya efek

withdrawal seperti gangguan kecemasan, letargi, fotofobia, mual, dan nyeri kepala.23

c. Agonis selektif reseptor Melatonin MT1/ MT2

Ramelteon adalah chronohypnotic  yang bekerja pada reseptor  melatonin MT1 dan

MT2, yang terutama terletak di SCN, dan dikenal sebagai pengatur waktu tubuh.

Ramelteon merupakan pilihan terapi baru yang dapat di berikan pada pasien dengan

insomnia pada lebih dari tiga dekade. Ramelteon telah menunjukkan efek yang 6i8

dalam efektif dalam mencegah insomnia dalam uji klinis, memiliki tingkat keamanan

yang menguntungkan serta potensi lebih sedikit dalam penyalahgunaan atau

ketergantungan. Ramel6eon memiliki struktur kimia yang hampir mirip dengan

melatonin, sehingga defisit melatonin pada pasien stroke dapat diterapi dengan

ramelteon.

d. Agonis Reseptor 5-HT


Menurut penelitian, kombinasi SSRI dengan antagonis reseptor 5-HT memiliki efek

lebih besar terhadap ritme sirkadian.Histamin H dan serotonin 5-HT reseptor

mempengaruhi dua mekanisme yang berbeda yang terlibat dalam regulasi tidur yaitu:

H1 antagonis menginisiasi tidur, sementara 5-HT antagonis berfungsi menjaga

seseorang agar tetap masuk  dalam fase tidur. Berdasarkan penelitian, pemberian

antagonis reseptor 5-HT akan meningkatkan latensi fase REM pertama dan

mengurangi waktu  pada fase REM tanpa mempengaruhi fase NREM.

Pemberian obat pada penderita insomnia

3.10 Tatalaksana pada sleep apnea

Continuous positive airway pressure (CPAP) adalah lini pertama pengobatan untuk pasien

dengan OSA sedang sampai berat. CPAP adalah diadministrasikan oleh unit motor kecil yang

mendorong udara bertekanan melalui selang yang terpasang pada masker yang diikatkan pada

wajah pasien. CPAP bekerja sebagai 'pneumatic splint' dengan memberikan tekanan

intraluminal positif, mengurangi episode berulang dari karakteristik kolaps saluran napas atas

sleep apnea, dan sepenuhnya atau sebagian membalikkan konsekuensi siang hari. Selain

meningkatkan kualitas tidur dan gejala disiang hari yang berhubungan dengan OSA, CPAP
telah terbukti menurunkan risiko untuk kejadian kardiovaskular dan memiliki efek sederhana

pada tekanan darah.24

Pengobatan CSA meliputi penggunaan CPAP dan/atau suplementasi oksigen diperlukan

pasien dari waktu ke waktu untuk memantau efektivitas pengobatan. Yang lebih baru

perangkat ventilator, ventilasi servo adaptif, memberikan dukungan ventilasi yang

menyesuaikan dengan fase siklus dalam Cheyne–Stokes respiration (CSR) memungkinkan

dukungan maksimal selama fase apnea dan dukungan minimum selama hiperpnea,

memungkinkan normalisasi pola pernapasan selama malam pertama penggunaan.24

DAFTAR PUSTAKA

1. Johnson, Walter, Oyere Onuma, Mayowa Owolabi and Sonal Sachdev. Stroke: a global

response is needed. Bulletin of the World Health Organization. 2016;94:634-643A.

2. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2018. Jakarta: Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2018.

3. Mahmudah Raisa. Left hemiparesis e.c hemorrhagic stroke. Medula. 2014;2(4):70-9.

4. Nuartha. Penanganan terkini stroke. Laboratorium Neurologi Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana: Denpasar; 2008.

5. Adams and Victor's. Cerebrovascular disease. Principles of neurology. McGraw- Hill:

New York; 2005.p.700-4.

6. Price S, Wilson L. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6. EGC:

Jakarta; 2005.

7. National Clinical Guideline for diagnosis and Initial for Management of Acute Stroke

and Transient Ischemic Attack. Royal College of Physicians: London; 2008.


8. The European Stroke Organization (ESO) Executive Committee and the ESO Writing

Committee. Guidelines for Management of Ischemic Attack. Cerebrovasc Dis.

2008;25:457-507.

9. Lahdimawan, Ardik. Buku ajar ilmu bedah saraf. Banjarbaru: Zukzez Express; 2019.

10. PERDOSSI. Panduan praktis diagnosis dan tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: EGC;

2009.

11. Greenly, W. Larry. An overview of normal and pathological reflexes. 2016: 165-168.

12. Neurotoolkit. NIH Stroke Scale. [Cited 11 Aug 2020]. Available from:

https://www.neurotoolkit.com/nihss/

13. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan

Kesehatan Primer. Edisi 1. Jakarta: Pengurus besar IDI;2017.

14. Mutiarasari D. Ischemic Stroke: Symptoms, Risk Factors, and Prevention. Fakultas

Kedokteran, Universitas Tadulako. 2019;6(1):61-62.

15. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Acuan Praktik Klinis

Neurologi. PERDOSSI; 2016.

16. Camilo MR, Sander HH, Eckeli AL, Fernandes RMF, dos Santos-Pontelli TEG, Leite

JP, et al. SOS score: an optimized score to screen acute stroke patients for obstructive

sleep apnea. Sleep Med. 2014;15(9):1021–4.

17. Amalia L. Gangguan Tidur pada Pasien Stroke Fase Akut. 2021;10(1):47–54.

18. Koenigs M, Holliday J, Solomon J, Grafman J. Left dorsomedial frontal brain damage

is associated with insomnia. Journal of Neuroscience. 2010 Nov 24;30(47):16041–3.

19. Zunzunegui C, Gao B, Cam E, Hodor A, Bassetti CL. Sleep disturbance impairs stroke

recovery in the rat. Sleep. 2011 Sep;34(9):1261–69.

20. Pajediene E, Pajeda A, Urnieziute G, Paulekas E, Liesiene V, Bileviciute-Ljungar I, et

al. Subjective and objective features of sleep disorders in patients with acute ischemic
or haemorrhagic stroke: It is not only sleep apnoea which is important. Med

Hypotheses [Internet]. 2020;136(October 2019):109512. Available from:

https://doi.org/10.1016/j.mehy.2019.109512

21. Pearce SC, Stolwyk RJ, New PW, Anderson C. Sleep disturbance and deficits of

sustained attention following stroke. Journal of clinical and experimental

neuropsychology. 2016 Jan 2;38(1):1–7.

22. Mead GE, Hsieh CF, Lee R, Kutlubaev MA, Claxton A, Hankey GJ, Hackett ML.

Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI)  for stroke recovery recovery. (Abstrak)

Cochrane Database Syst Rev. 2012 N0v 14;11:CD009286

23. Professor Malcolm Lader. Benefits and risks of benzodiazepines in anxiety and

insomnia. Institute of Psychiatry,University of London 2012;1(23):1-14

24. Wallace DM, Ramos AR, Rundek T. Review Sleep disorders and stroke.

2012;7(April):231–42.

Anda mungkin juga menyukai