Makalah Al Qur'an Baru k.10
Makalah Al Qur'an Baru k.10
Kelompok 10
DAFTAR ISI
BAB 1 …………………………………………………………………………………. 1
BAB 2 ………………………………………………………………………………….. 3
BAB 3 ………………………………………………………………………………….. 5
A. Kesimpulan ……………………………………………………………….. 5
B. Saran ………………………………………………………………………… 6
Lampiran ……………………………………………………………………………….
BAB 1
PENDAHULUAN
Untuk mengetahui keshahihan suatu hadis dalam ilmi hadis dikembangkan dua cabang
ilmu yakni ilmu hadis riwayat yang obyek kajiannya ialah bagaimana cara menerima,
menyampaikan kepada orang lain dan memindahkan atau mendewankan dalam suatu diwan
hadits. Dalam menyampaikan dan mendewankan hadis dinukilkan dan dituliskan apa adanya
baik mengenai matan maupun sanad nya. Ilmu tidak membicarakan hal ihwal sifat perawi yang
berkenaan dengan ‘adil, dhabith atau fasiq yang dapat berpengaruh terhadap shahih tidaknya
suatu hadis . perihal perawi merupakan obyek kajian ilmu hadits di royah. Karena kedudukan
perawi sangat penting dalam menentukan keshahihan suatu hadits, maka ilmu hadits diroyah
membahas secara khusus keadaan perawi.
Kedudukan hadis (al-sunnah) sebagai sumber ajaran islam setelah alquran sudah tidak
diperdebatkan lagi oleh para ulama. Berhujjah dengan hadis shahih jelas tidak diperdebatkan
lagi, bahkan demikianlah yang semestinya.Maka ilmu dirayah membahas secara khusus keadaan
perawi. Jalan untuk mengetahui keadaan perawi itu adalah melalui ilmu “al-jarh wa al ta’dil “.
B.Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang ada berdasarkan latar belakang diatas adalah sebagi berikut:
1. Apa Pengertian Objek Jarh Wa Ta’dil ?
2. Apa saja Lafadz-lafadz Jarh Wa Ta’dil ?
C.Tujuan Masalah
Adapun yang menjadi tujuan masalah dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Objek Jarh Wa Ta’dil !
2. Untuk mengetahui Lafadz-lafadz Jarh Wa Ta’dil !
BAB 2
Secara Bahasa jarh adalah akibat atau bekas lupa pada tubuh disebabkan oleh senjata.
Akibat perkataan, yang menimbulkan bekas secara maknawi atau mengenai sisi kehormatan
seseorang. Secara istilah, jarh adalah sifat sifat atau keadaan seorang rawi yang menyebabkan
ditolak atau dilemahkan periwayatannya terhadap suatu hadis.
Secara Bahasa ta’dil sama artinya dengan taswiyah, yaitu mengukur atau menimnbang
Sesuatu dengan yang lainnya.Pengertian ta’dil menurut ahli hadist antara lain: “ sifat rowi dari
segi diterima dan dhohir keadilannya”. Dengan demikian ilmu jarh dan ta’dil adalah suatu ilmu
yang membahas hal ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatannya.
Ulama mendefinisikan al-jarh dan at-ta’dil dalam satu definisi yaitu: “Ilmu yang
membahas tentang para perawi hadis dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik
yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafaz tertentu”.Maka
dapat disimpulkan jarh wa ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang
dihadapkan kepada perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi).
Naqdun Dakhiliyun, merupakan kritik dari dalam hadis, yaitu berpautan dengan hadis itu
sendiri apakah makna shahih atau tidak akan apa jalan-jalan keshahihannya dan ketiadaan
keshahihannya. Tiadalah diterima suatu pencacatan,melaikan dengan adanya sesuatu
yang benar-benar mencacatkan.
C.Manfaat ilmu al-jarh wa at’dil
Bermaanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seseorang rawi itu dapat diterima atau
harus di tolak sama sekali.Apabila seseorang rawi dinilai oleh para ahli sebagai rawi yang cacat,
periwayatnya, harus ditolak dan apabila seorang rawi diuji swbagai seorang yang adil, niscaya
periwayatnya diterima selama ayat-ayat yang lain untuk menerima hadis terpenuhi.
Kalau ilmu al jarh wa ta’dil ini tidak dipelajari dengan seksama, paling tidak akan muncul
penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadis dinilai sama.Dengan mengetahui ilmu
al-jarh wa at-ta’dil, kita akan bisa menyeleksi mana hadis shahih, hasan maupun hadis dhaif,
terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matan nya.
Sasaran pokok dalam mempelajari ilmu al-jarh wa ta’dil adalah sebagai berikut:
a) Untuk menghukumi dan mengetahui status perawi hadis
b) Untuk mengetahui kedudukan hadis atau martabat hadis, karena tidak mungkin
mengetahui status suatu hadis tanpa mengetahui kaidah ilmu al-jarh wa ta’dil
c) Mengetahui syarat-syarat perawi yang maqbul. Bagaimana keadilannya, kedhabitan nya
serta perkara yang berkaitan dengannya.
E.Tingkatan-tingkatan Jarh Wa Ta’dil
Melalui cara al jarh wa ta’dil seperti yang dikemukakan diatas, akan terungkap kualitas
hadist diungkapkan dengan lafadz-lafadz tertentu baik untuk al-jarh dan ta’dil.
Masing-masing jarh dan ta’dil dikutip olejhb ajaz al-khatib, mempunyai 6 tingkatan yaitu:
1.Tingkatan lafadz ta’dil , secara berurutan dari yang tertinggi tingkat keadilannya sampai
kepada yang terendah, adalah dengan menggunakan lafal-lafal sebagai berikut ;
Orang yang paling tsiqat/terpercaya, paling dhabith, tiada bandingannya baginya.
Sifulan tidak perlu dipertanyakan tentang dirinya, atau diragukan lagi
keadilannya.
Terpercaya lagi terpercaya, terpercaya lagi jujur, terpercaya lagi mempunyai
kekuatan hafalan yang baik.
2.Tingkatan lafadz al-jar, Berikut ini disebutkan secara berurutan tingkatan tarjih mulai
dari berat jarh nya sampai kepada yang paling ringan jarh nya.
Menggunakan kecacatan perawi yang sangat parah, misal (manusia yang paling
mendusta, Tiangnya dusta.
Menggunakan lafadz yang menunjukkan bahwa perawi memang sering berdusta
namun tidak separah tingkatan pertama. Misal: (pendusta, pengada-ngada).
Menggunakan lafadz yang menunjukkan bahwa perawi di tuduh berdusta. Misal:
(tertuduh dusta, tertuduh mengada-ngada, mencari hadis,celaka,ditinggalkan, tidak
tsiqat).
Menggunakkan lafadz-lafadz yang menunjukkan hadis diriwayatkan sangat lemah.
Misal (ditolak hadisnya, dibuang hadisnya, lemah sekali, tidak apa-apanya, tidak
dituliskan hadisnya).
A. Tingkatan Ta’dilla
Pertama, yakni Sahabat
Kedua, yakni Tingkatan orang-orang yang rekomendasikan para ulama dengan
menggunakan ungkapan-ungkapan yang hiperbolis,adhbath al-nas (manusia yang
paling cerdas), ilayhi muntaha altastbit (dialah puncak keshahihannya), dan lain-
lain.
Ketiga, yakni tingkatan orang yang dipuji para ualama dengan ungkapan ganda
yang berbeda, misalnya tsabat harbefizh (kuat lagi hafal), tsiqqah tsabat (tsiqqah
yang kuat), dan lain-lain.
Keempat, yakni tingkatan orang-orang yang dipuji para ulama dengan memakai
satu ungkapan yang menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan adalah
tsiqqah, missal dengan kata-kata tsabat, hujjah, ka annahu mushaf, ‘adil, dhabit,
qawi dan lain-lain.
B.Tingkatan Ta’dil
Pertama, tingkatan para perawi yang dikomentari para ulama dengan ungkapan-
ungkapan seperti fihi maqal (ada yang diperbincangkan adalah sesuatu yang paling
rendah)
Kedua, tingkatan yang lebih buruk dari tingkatan diatasnya, yakni para perawi yang
dikomentari para ualama dengan ungkapan-ungkapan seperti la yuhtaju bihi (ia tidak
dibutuhkan).
Ketiga, tingkatan yang lebih buruk dari tingkatan diatasnya, yaitu yakni para perawi
yang dikomentari para ulama dengan ungkapan-ungkapan seperti fulan rudda
haditshuhu (ia ditolak hadisnya).
Beberapa ketentuan dalam jarh dan ta’dil para perawi yang ada pokoknya meliputi:
Bersikap jujur dan proporsional, yaitu mengemukakan keadaan perawi secara apadanya.
Cermat dalam melakukan penelitian. Ulama misalnya secara cermat dapat membedakan
antara dha’ifnya suatu hadis karena lemahnya agama perawi dan dha’ifnya suatu hadist.
Tetap menjaga batas-batas kesopanan dalam melakukan jarh dan ta’dil.
Bersifat Global dalam menta’dil dan terperinci dalam mentarjih.
G.Pertentangan jarh dan ta’dil
Diantara para ulama terkadang terjadi pertentangan pendapat terhadap seorang perawi. Ulama
yang satu menta’dilkan nya dan mentarjihkannya.Apabila dipermasalahkan,Apabila dipilih
dipermasalahkan di atas maka dapat dibagi kedalam dua kategori. Pertama, pertentangan ulama
itu diketahui sebabnya dan kedua pertentangan itu tidak diketahui sebabnya. Adapun terhadap
kategori yang pertama, sebab-sebab terjadinya:
Terkadang ulama mengenal seprang perawi, ketika perawi masih fasik, sehingga
mereka mentarjih perawi tersebut.sebagian ulama lainnya mengetahui perawi itu
setelah ia bertaubat,sehingga mereka menta’dilkannya.
Terkadang pula ada ulama yang mengetahui perawi sebagai orang yang daya hafalnya
lemah, sehingga mereka mentajrih perawi itu.sementara ulama yang lainnya
mengetahui perawi itu sebagai orang yang dhabith, sehingga mereka menta’dilkannya.
Jumlah peringkat lafadz yang berlaku untuk al jarh wa ta’dil tidak disepakati oleh
ulama. Ibn hatim al-Razi yang pendapatnya diikuti oleh ibn al-shalah dan al-nawawi menetapkan
empat tingkatan untuk masing-masing sifat al ta’dil mapun al-jarh.
Bentuk lafadz dan ungkapan untuk al ta’dil:
Dingkapkan dengan lafadz: tsiqah, mutqin,tsabat,dhabith,hafidz,hujjah.merupakan
tingkat tertinggi
Diungkap dengan lafadz :saduq,mahallahu,al-saduq
Tingkat terakhir adalah yang disifati dengan:shalih al-hadith
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadis merupakan sumber kedua hukum syarak selepas al-quran. Para ulama sejak zaman
awal islam sangat mengambil berat tentang segala perkara yang berkaitan dengan hadith, sama
ada dari sudut periwayatan, pengumpulan,penulisan , pemahaman makna serta penjelasan hadith
menurut kategori tertentu. Jarh adalah akibat perkataan, yang menimbulkan bekas secara
maknawi atau mengenai sisi kehormatan seseorang.
Sedangkan jarh adalah akibat perkataan, yang menimbulkan bekas secara maknawi atau
mengenai sisi kehormatan seseorang. Ilmu Al-jarh wa At-ta’dil merupakan materi pembahasan
dari cabang ilmu hadis yang membahas cacat atau adilnya seorang yang berpengaruh besar
terhadap klarifikasi hadisnya.
Dalam menentukan sebuah hadis, konsep mendahulukan jarh daripada ta’dil bukan
merupakan konsep yang mutlak, tetapi merupakan konsep dari mayoritas ulama, kemudian
lafadz-lafadz yang digunakan untuk mentarjih hadis dan menta’dil itu memiliki tingkatan.
Dengan demikian, Ilmu Al jarh Wa Al-ta’dil merupakan bagian penting dari cabang
ilmun’ulumul hadis dalam proses penyeleksian sebuah hadits.
B.SARAN
Saya sebagai penulis menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan sangat jauh
dari kata sempurna, tentunya penulis akan memperbaiki makalah dengan mengacu pada sumber
yang dapat di pertanggung jawabkan, maka dari itu saya berharap kritik dan sarannya untuk
kesempurnaan makalah ini.
Dengan mempelajari kedua ilmu ini, maka jelaslah para perawi yang bisa diterima
riwayatnya tanpa ada keraguan lagi. Mudah-mudan makalah ini yang sederhana dapat di jadikan
sebagai referensi untuk bagi para pembaca. Untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan dan
saran yang sangat membantu penyempurnaan makalah ini.
Daftar Pustaka