MODEL KEPEMIMPINAN
DISUSUN OLEH
M. KAUSAR RASSALI
UNIT : 1
SEMESTER : VI
Prodi : PAI
Puji syukur tim penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas selesainya
makalah yang berjudul Teori dan Model Kepemimpinan dengan baik dan tepat waktu. Materi
pada makalah ini adalah pembahasan dari materi Mata Kuliah dengan judul Manajemen
Pendidikan.. Materi pada makalah ini diharapkan dapat memperkaya diri dalam memahami
tentang Kepemimpinan di dalam kepengawasan.
Pada kesempatan ini Tim Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah terlibat dan membantu dalam penyusunan makalah ini. Selain itu Tim
Penulis juga mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk penyempurnaan
makalah ini.
Tim Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
Dari Latar Belakang masalah yang diuraikan penulis, banyak permasalahan yang
ditemukan penulis. Permasalahan tersebut antara lain:
1. Apa itu Kepemimpinan?
2. Bagaimana Teori-teori dalam kepemimpinan?
3. Bagaimana Model-model dalam kepemimpinan?
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kepemimpinan
Kepemimpinan telah menjadi topik yang sangat menarik untuk
diperbincangkan. Bahkan jika kita menggunakan mesin pencari kata Google, maka
penelusuran kata Kepemimpinan memiliki hasil sekitar 3.100.000 artikel. Sedangkan
kata Pemimpin memiliki hasil penelusuran sebanyak 7.940.000. ini merupakan hasil
penelusuran yang sangat fantastis. Hal ini menandakan bahwa topik tentang
Pemimpin dan Kepemimpinan merupakan topik yang banyak dicari orang di dunia
maya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kepemimpinan adalah perihal
pemimpin; cara memimpin. Sedangkan dalam Kamus Merriam-Webster kata
Leadership (Kepemimpinan) diterjemahkan sebagai:
1. A position as a leader of a group, organization, etc
2. The time when a person holds the position of leader
3. The power or ability to lead other people.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tampak bahwa defenisi kepemimpinan
sangat berkaitan dengan pemimpin dan cara memimpin, defenisi ini tampaknya sangat
luas untuk ditafsirkan. Sedangkan dalam Kamus Bahasa Inggris Merriam-Webster
Kata Leadership atau Kepemimpinan lebih dijelaskan lebih terperinci sebagai suatu
kekuasaan atau kemampuan untuk memimpin orang lain. Hal ini senada dengan
defenisi Kepemimpinan yang dikemukakan oleh para ahli.
1. Sthepen P. Robins mengatakan kepemimpinan adalah kemampuan untuk
mempengaruhi suatu kelompok kearah tercapainya tujuan
2. Rhicard L. Daft mengatakan kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi
orang yang mengarah pada pencapaian tujuan.
3. R. Terry memberikan defenisi Leadership sebagai Is the activity of influencing
people to strive willingly for mutual objectives.
4. Ricky W. Griffin mengatakan bahwa pemimpin adalah individu yang mampu
mempengaruhi perilaku orang lain, tanpa harus mengandalkan kekerasan, pemimpin
adalah individu yang diterima orang lain.
3
Tim penulis buku Perilaku Organisasi (2004) menyimpulkan Kepemimpinan
adalah gaya dan kemampuan seseorang pimpinan dalam memberdayakan
(empowering), memberikan pengarahan (coaching) kepada bawahannya dalam
mewujudkan visi, melaksanakan misi dan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
Dari penjelasan para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa Kepemimpinan
(Leadership) adalah segala upaya yang dilakukan seseorang (dalam hal ini pemimpin)
untuk mempengaruhi orang lain dengan cara memberdayakannya, mengarahkannya
untuk mewujudkan suatu tujuan bersama.
4
Selanjutnya, Horner (1997 : 270) menyebutkan bahwa setelah teori sifat terungkap,
maka peneliti lain mulai melakukan penelitian lanjutan untuk membuktikan validitas
teori ini seperti Stogdill pada tahun 1948.
Menurut Stogdill Pemimpin yang berhasil harus memiliki:
a) Capacity (kemampuan)
b) Achievement (prestasi)
c) Responsibilities (tanggung-jawab)
d) Status (keadaan yang baik)
e) Participation (partisipasi/ikut serta)
Menurut Judith R. Gordon, karakter yang dimiliki seorang pemimpin harus memiliki
kemampuan dalam:
a) Kemampuan Intelektual
b) Kematangan pribadi
c) Pendidikan
d) Status social dan Ekonomi
e) Human relation
f) Motivasi intrinsic
g) Dorongan untuk maju.
Namun ditemukan kelemahan teori ini yaitu tidak adanya jawaban yang valid dan
jelas mengenai berbagai macam sifat yang secara konsisten mampu menggambarkan
sebuah tipe kepemimpinan yang efektif. Kelemahan teori ini memaksa para peneliti
untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Bahasan berikutnya adalah mengenai
efektivitas kepemimpinan, apa yang dilakukan oleh pemimpin agar efektif, bagaimana
mereka mendelegasikan tugas, bagaimana mereka mengkomunikasikan ide dan
memotivasi pengikutnya, bagaimana mereka mencapai target dalam menyelesaikan
tugas, dan bagaimana berbagai perilaku pemimpin mengantarkannya menjadi sukses
(Wahjono, 2010 : 269). Selanjutnya Horner (1997 : 270) menambahkan bahwa
kelemahan lain dari teori sifat adalah tidak mampu menggambarkan hubungan yang
jelas antara atasan dan bawahan serta situasi pekerjaan.
2. Teori Kepemimpinan berdasarkan Perilaku (Behavior Theory)
Tidak seperti teori sifat (traits theory) yang menyatakan bahwa pemimpin itu
dilahirkan, maka pada teori perilaku (behavior theory) justru menyatakan sebaliknya,
bahwa pemimpin itu dibentuk dan diarahkan (Wahjono, 2010 : 269). Kelemahan teori
sifat menjadi dasar munculnya teori kepemimpinan berdasarkan perilaku, dimana
5
Halpin dan Winer pada tahun 1950 dalam Robbins (1996 : 40) mengemukakan sebuah
teori kepemimpinan dengan penekanan pada perbuatan atau perilaku yang
ditunjukkan oleh pemimpin dan bukan dinilai dari sifat yang dibawa sejak lahir. Teori
ini dinamakan teori perilaku (behavior theory), dengan inti teori yaitu seseorang
dikatakan pemimpin atau mengerti konsep kepemimpinan tergantung dari perilaku
yang ditunjukkan dalam meningkatkan efektifitas dalam mencapai tujuan organisasi.
Halpin dan Winer pada tahun 1950 menambahkan bahwa semua orang dapat menjadi
pemimpin yang sukses atau mengerti konsep kepemimpinan dengan mempelajari
perilaku seorang pemimpin yang telah sukses. Yukl (1989 : 257) menyebutkan bahwa
banyak peneliti yang telah melakukan penelitian lanjutan untuk membuktikan
validitas teori ini, di antaranya Mintzberg (1973), McCall, Morrison dan Hannan
(1978), McCall dan Segrist (1980), Kotter (1982), Kurke dan Aldrich (1983), Kanter
(1983), Gabarro (1985), dan Kaplan (1986).
Penelitian lanjutan mengenai teori ini dilakukan oleh Universitas Ohio dan
Michigan yang menghasilkan dua dimensi kepemimpinan berdasarkan perilaku, yaitu
(Robbins, 1996 : 41):
a. Consideration atau kepemimpinan yang berorientasi pekerja, yang menekankan
pada rasa dan hubungan antar individu pekerja.
b. Initiating structure atau kepemimpinan yang berorientasi tugas, yang menekankan
pada pekerjaan dalam mencapai tujuan.
Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa pemimpin yang berorientasi pada
pekerja diyakini dapat menimbulkan produktivitas yang tinggi dan kepuasan kerja.
Selanjutnya Universitas Iowa mengemukakan pendekatan lain yang dianggap mampu
menjelaskan mengenai teori kepemimpinan, yaitu:
a. Democratic, yaitu mendelegasikan tugas dan selalu melibatkan karyawan
b. Autocratic, yaitu melakukan sentralisasi perintah dan pendiktean
c. Laissez-faire style, yaitu kebebasan dalam melakukan apapun atau pemimpin
yang tidak terlalu peduli pada aktivitas karyawan (no leadership)
Blake, shepard dan Mouton pada tahun 1964 mengembangkan model
kepemimpinan lanjutan dengan berbasis pada hasil penelitian dari universitas Ohio,
Michigan dan Iowa (Horner, 1997 : 271). Blake, Shepard dan Mouton merumuskan
dua dimensi yang hampir serupa dengan penelitian Ohio dan Michigan yaitu concern
for people dan concern for output dan dikemudian hari mereka menambahkan dimensi
yang ketiga, yakni fleksibilitas.
6
Namun seperti penelitian yang dilakukan pada teori sifat, teori kepemimpinan
berbasis perilaku gagal dalam pelaksanaannya karena teori ini belum sepenuhnya
dapat menjelaskan mengenai kepemimpinan dan mengabaikan faktor situasi. Faktor
situasi pekerjaan seharusnya tidak boleh diabaikan karena tidak ada satupun gaya
kepemimpinan yang tepat bagi setiap pemimpin pada seluruh situasi pekerjaan
(Uprihanto, Harsiwi & Hadi dalam Rahyuda, 2008 : 12).
7
c. Position power (kekuasaan posisi pemimpin), yaitu otoritas pada suatu situasi
seperti penerimaan dan pemberhentian pegawai, disiplin, promosi serta
peningkatan upah.
Teori kepemimpinan situasional lainnya dikemukakan oleh Vroom dan Yetton
pada tahun 1973 (Horner, 1997 : 271). Teori yang dinamakan teori normatif Vroom-
Yetton ini menjelaskan bagaimana seorang pemimpin harus memimpin bawahan
dalam berbagai situasi. Model ini menunjukkan bahwa tidak ada satupun tipe
kepemimpinan yang dapat efektif diterapkan dalam berbagai situasi. Pilihan mengenai
tipe kepemimpinan yang akan dianut hanya efektif jika sesuai dengan situasi yang
dihadapi. Selanjutnya House dan Mitchell pada tahun 1974 mengemukakan teori
situasional dengan berbasis pada hasil penelitian dari Universitas Ohio (Robbins,
1996 : 52). Teori yang dinamakan sebagai teori path-goal ini mengungkapkan bahwa
seorang pemimpin mempunyai tugas untuk membantu bawahan dalam mencapai
tujuan-tujuan (goal) mereka dan menyediakan petunjuk (path) atau dukungan yang
diperlukan untuk memastikan bahwa tujuan tersebut sejalan dengan tujuan organisasi
secara keseluruhan. Pada intinya, teori path-goal menjelaskan empat perilaku
pemimpin, yaitu (Wahjono, 2010 : 284):
a. Pemimpin direktif, mengarahkan tentang apa yang harus dilakukan dan
bagaimana caranya, menjadwalkan pekerjaan, mempertahankan standar kinerja,
dan memperjelas peranan pemimpin dalam kelompok.
b. Pemimpin suportif, melakukan berbagai usaha agar pekerjaan menjadi lebih
menyenangkan, memperlakukan pengikut dengan adil, bersahabat, dan mudah
bergaul serta memperhatikan kesejahteraan bawahannya.
c. Pemimpin partisipatif, melibatkan bawahan, meminta saran bawahan dan
menggunakannya dalam proses pengambilan keputusan.
d. Pemimpin yang berorientasi pada kinerja, menentukan tujuan-tujuan yang
menantang, mengharap kinerja yang tinggi, menekankan pentingnya kinerja yang
berkelanjutan, optimistik dan memenuhi standar-standar yang tinggi.
Intinya, teori path goal mengasumsikan bahwa pemimpin harus fleksibel
sehingga apabila situasi membutuhkan perubahan tipe kepemimpinan, maka
pemimpin mampu mengganti tipe kepemimpinannya secara cepat. Namun Horner
(1997 : 271) mengungkapkan bahwa dari sekian banyak peneliti yang meneliti tentang
teori situasional, ternyata diketahui bahwa teori situasional sangat ambigu karena teori
ini lebih menjelaskan konsep-konsep manajerial, dengan kata lain teori tersebut
8
seharusnya ditujukan untuk manajer. Selain itu, teori situasional tidak mampu
menjelaskan mengenai konsep kepemimpinan itu sendiri. Kelemahan lain dari teori
ini adalah tidak menjelaskan perlu atau tidaknya pekerja mengubah perilaku, seperti
yang dilakukan pemimpin, sesuai dengan perubahan situasi pekerjaan.
9
Berikut ini akan dibahas tentang perkembangan pemikiran ahli-ahli manajemen
mengenai
model-model kepemimpinan yang ada dalam literatur.
10
kemampuan kepemimpinan. Studi tentang kepemimpinan situasional mencoba
mengidentifikasi karakteristik situasi atau keadaan sebagai faktor penentu utama yang
membuat seorang pemimpin berhasil melaksanakan tugas-tugas organisasi secara
efektif dan efisien. Dan juga model ini membahas aspek kepemimpinan lebih
berdasarkan fungsinya, bukan lagi hanya berdasarkan watak kepribadian pemimpin.
Hencley (1973) menyatakan bahwa faktor situasi lebih menentukan
keberhasilan seorang pemimpin dibandingkan dengan watak pribadinya. Menurut
pendekatan kepemimpinan situasional ini, seseorang bisa dianggap sebagai pemimpin
atau pengikut tergantung pada situasi atau keadaan yang dihadapi. Banyak studi yang
mencoba untuk mengidentifikasi karakteristik situasi khusus yang bagaimana yang
mempengaruhi kinerja para pemimpin. Hoy dan Miskel (1987), misalnya, menyatakan
bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi kinerja pemimpin, yaitu sifat
struktural organisasi (structural properties of the organisation), iklim atau lingkungan
organisasi (organisational climate), karakteristik tugas atau peran (role characteristics)
dan karakteristik bawahan (subordinate characteristics). Kajian model kepemimpinan
situasional lebih menjelaskan fenomena kepemimpinan dibandingkan dengan model
terdahulu. Namun demikian model ini masih dianggap belum memadai karena model
ini tidak dapat memprediksikan kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang
mana yang lebih efektif dalam situasi tertentu.
11
pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan komunikasi dua arah, partisipasi dan
hubungan manusiawi (human relations).
Halpin (1966), Blake and Mouton (1985) menyatakan bahwa tingkah laku
pemimpin yang efektif cenderung menunjukkan kinerja yang tinggi terhadap dua
aspek di atas. Mereka berpendapat bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin
yang menata kelembagaan organisasinya secara sangat terstruktur, dan mempunyai
hubungan yang persahabatan yang sangat baik, saling percaya, saling menghargai dan
senantiasa hangat dengan bawahannya. Secara ringkas, model kepemimpinan efektif
ini mendukung anggapan bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang dapat
menangani kedua aspek organisasi dan manusia sekaligus dalam organisasinya.
12
Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang
dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk
menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka
masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin
(misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan,
promosi dan penurunan pangkat (demotions).
Model kontingensi yang lain, Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas
pemimpin ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan
karakteristik situasi (House 1971). Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat
dikelompokkan dalam 4 kelompok: supportive leadership (menunjukkan perhatian
terhadap kesejahteraan bawahan dan menciptakan iklim kerja yang bersahabat),
directive leadership (mengarahkan bawahan untuk bekerja sesuai dengan peraturan,
prosedur dan petunjuk yang ada), participative leadership (konsultasi dengan bawahan
dalam pengambilan keputusan) dan achievement-oriented leadership (menentukan
tujuan organisasi yang menantang dan menekankan perlunya kinerja yang
memuaskan).
Menurut Path-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan
efektifitas pemimpin adalah karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan
lingkungan internal organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada.
Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan
modelmodel sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi,
namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang
kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan
variabel situasional.
13
bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para
bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin
transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi.
Untuk memotivasi agar bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para
pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan
dan hukuman kepada bawahannya. Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model
kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin
perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih
dari yang mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu
mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan
bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya.
Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa "the dynamic of transformational
leadership involve strong personal identification with the leader, joining in a shared
vision of the future, or goingbeyond the self-interest exchange of rewards for
compliance". Dengan demikian, pemimpin transformasional merupakan pemimpin
yang karismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa
organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harusmempunyai
kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta
mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang
mereka butuhkan. Menurut Yammarino dan Bass (1990), pemimpin transformasional
harus mampu membujuk para bawahannya melakukan tugas-tugas mereka melebihi
kepentingan mereka sendiri demi kepentingan organisasi yang lebih besar.
Yammarino dan Bass (1990) juga menyatakan bahwa pemimpin
transformasional mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik,
menstimulasi bawahan dengan cara yang intelektual, dan menaruh parhatian pada
perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh bawahannya. Dengan demikian, seperti yang
diungkapkan oleh Tichy and Devanna (1990), keberadaan para pemimpin
transformasional mempunyai efek transformasi baik pada tingkat organisasi maupun
pada tingkat individu.
Dalam buku mereka yang berjudul "Improving Organizational Effectiveness
through Transformational Leadership", Bass dan Avolio (1994) mengemukakan
bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai empat dimensi yang disebutnya
sebagai "the Four I's". Dimensi yang pertama disebutnya sebagai idealized influence
(pengaruh ideal). Dimensi yang pertama ini digambarkan sebagai perilaku pemimpin
14
yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus
mempercayainya. Dimensi yang kedua disebut sebagai inspirational motivation
(motivasi inspirasi).
Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai
pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi
bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan
mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan entusiasme dan
optimisme. Dimensi yang ketiga disebut sebagai intellectual stimulation (stimulasi
intelektual). Pemimpin transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru,
memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi
bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-
pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi.
Dimensi yang terakhir disebut sebagai individualized consideration
(konsiderasi individu). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan
sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian
masukan-masukan bawahan dan secara khusus mau memperhatikan kebutuhan-
kebutuhan bawahan akan pengembangan karir. Walaupun penelitian mengenai model
transformasional ini termasuk relatif baru, beberapa hasil penelitian mendukung
validitas keempat dimensi yang dipaparkan oleh Bass dan Avilio di atas. Banyak
peneliti dan praktisi manajemen yang sepakat bahwa model kepemimpinan
transformasional merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan
karakteristik pemimpin (Sarros dan Butchatsky 1996).
Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang
dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (style) dan
kontingensi, dan juga konsep kepemimpinan transformasional menggabungkan dan
menyempurnakan konsep-konsep terdahulu yang dikembangkan oleh ahli-ahli
sosiologi (seperti misalnya Weber 1947) dan ahli-ahli politik (seperti misalnya Burns
1978).
Beberapa ahli manajemen menjelaskan konsep-konsep kepimimpinan yang
mirip dengan kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan yang
karismatik, inspirasional dan yang mempunyai visi (visionary). Meskipun terminologi
yang digunakan berbeda, namun fenomenafenomana kepemimpinan yang
digambarkan dalam konsep-konsep tersebut lebih banyak persamaannya daripada
perbedaannya. Bryman (1992) menyebut kepemimpinan transformasional sebagai
15
kepemimpinan baru (the new leadership), sedangkan Sarros dan Butchatsky (1996)
menyebutnya sebagai pemimpin penerobos (breakthrough leadership).
Disebut sebagai penerobos karena pemimpim semacam ini mempunyai
kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap
individu-individu maupun organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali (reinvent)
karakter diri individu-individu dalam organisasi ataupun perbaikan organisasi,
memulai proses penciptaan inovasi, meninjau kembali struktur, proses dan nilai-nilai
organisasi agar lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara yang menarik dan
menantang bagi semua pihak yang terlibat, dan mencoba untuk merealisasikan tujuan-
tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan. Pemimpin
penerobos memahami pentingnya perubahan-perubahan yang mendasar dan besar
dalam kehidupan dan pekerjaan mereka dalam mencapai hasil-hasil yang
diinginkannya. Pemimpin penerobos mempunyai pemikiran yang metanoiac, dan
dengan bekal pemikiran ini sang pemimpin mampu menciptakan pergesaran
paradigma untuk mengembangkan Praktekorganisasi yang sekarang dengan yang
lebih baru dan lebih relevan. Metanoia berasal dari kata Yunani meta yang berarti
perubahan, dan nous/noos yang berarti pikiran.
Dengan perkembangan globalisasi ekonomi yang makin nyata, kondisi di
berbagai pasar dunia makin ditandai dengan kompetisi yang sangat tinggi (hyper-
competition). Tiap keunggulan daya saing perusahaan yang terlibat dalam permainan
global (global game) menjadi bersifat sementara (transitory). Oleh karena itu,
perusahaan sebagai pemain dalam permainan global harus terus menerus
mentransformasi seluruh aspek manajemen internal perusahaan agar selalu relevan
dengan kondisi persaingan baru.
Pemimpin transformasional dianggap sebagai model pemimpin yang tepat dan
yang mampu untuk terus-menerus meningkatkan efisiensi, produktifitas, dan inovasi
usaha guna meningkatkan daya saing dalam dunia yang lebih bersaing.
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Berdasarkan teori dan model kepemimpinan yang telah dipaparkan, kita dapat
mengadaptasi bahkan membuat model kepemimpinan yang baru sesuai dengan
setiap pribadi kita masing-masing, dengan tentu saja menekankan pada pencapaian
tujuan akhir yang terbaik dan berdaya guna untuk kebersamaan akibat dari suatu
kepemimpinan .
Kami menyadari dari uraian di atas akan ada hal-hal yang memunculkan
pandangan-pandangan baru. Oleh sebab itu, kami sangat terbuka dengan segala
saran yang tentunya membangun sehingga makalah ini menjadi lebih layak sebagai
17
referensi kita dalam menjalankan kepemimpinan di masa yang akan datang di
Negara kita dengan cinta sepenuh hati.
Tiada gading yang tak retak karena retaknyalah nilai jualnya mahal. Tiada
insan yang tak khilaf karenanya berilah maaf janganlah maaf dijual mahal. Semoga
setiap perjuangan kita diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa, amin.
18
DAFTAR PUSTAKA
19