Anda di halaman 1dari 92

MAKALAH PSIKOLOGI INDUSTRI DAN

ORGANISASI
“KEPEMIMPINAN DALAM ORGANISASI”
Dosen Pengampu: Dhini Rama Dhanias.Psi, M.Si

1. Naufal Abbiyan 202060062


2. Leli Khoirul Nisa 202060067
3. Sabrina Dea Raharjo 202060065
4. Vinna Dwi rahma 202060092
5. Dhea Ayu Zuliyanti 202060100

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MURIA KUDUS
2020 / 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam atas segala nikmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya,
sebagai salah satu tugas untuk mengikuti proses perkuliahan Psikologi Industri dan
Organisasi. Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang apa saja
yang berkaitan dengan Kepemimpinan dalam Organisasi.

Penyusunan makalah ini diharapkan bisa menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembacanya. Kami sadar masih banyak kekurangan didalam
penyusunan makalah ini, karena keterbatasan pengetahuan serta pengalaman kami. Untuk
itu kami begitu mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Kudus, 27 februari 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................iii
BAB I..........................................................................................................................................................5
PENDAHULUAN..................................................................................................................................5
BAB II........................................................................................................................................................7
KEPEMIMPINAN.................................................................................................................................7
2.1. Pengertian Kepemimpinan Menurut Para Ahli......................................................................7
2.2. Pengertian Kepemimpinan........................................................................................................8
2.3. Teori Kepemimpinan.................................................................................................................9
2.4. Tipe dan Gaya kepemimpinan................................................................................................10
2.5. Ciri- ciri Kepemimpinan yang Baik.......................................................................................12
BAB III.....................................................................................................................................................13
JURNAL TERKAIT................................................................................................................................13
BAB IV.....................................................................................................................................................26
PENUTUP................................................................................................................................................26
3.1. Kesimpulan...............................................................................................................................26
3.2. Saran.........................................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................27

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Seiring perkembangan zaman, kepemimpinan secara ilmiah mulai berkembang bersamaan
dengan pertumbuhan manajemen ilmiah yang lebih dikenal dengan ilmu tentang memimpin. Hal
ini terlihat dari banyaknya literatur yang mengkaji tentang kepemimpinan dengan berbagai sudut
pandang atau perspektifnya. Kepemimpinan tidak hanya dilihat dari bak saja, akan tetapi dapat
dilihat dari penyiapan sesuatu secara  berencana dan dapat melatih calon-calon pemimpin.

Sejarah timbulnya kepemimpinan, sejak nenek moyang dahulu kala, kerjasama dan saling
melindungi telah muncul bersama-sama dengan peradapan manusia. Kerjasama tersebut muncul
pada tata kehidupan sosial masyarakat atau kelompok-kelompok manusia dalam rangka untuk
mempertahankan hidupnya menentang kebuasan binatang dan menghadapi alam sekitarnya.
Berangkat dari kebutuhan bersama tersebut, terjadi kerjasama antar manusia dan mulai unsur-
unsur kepemimpinan. Orang yang ditunjuk sebagai pemimpin dari kelompok tersebut ialah
orang-orang yang paling kuat dan pemberani, sehingga ada aturan yang disepakati secara
bersama-sama misalnya seorang pemimpin harus lahir dari keturunan bangsawan, sehat, kuat,
berani, ulet, pandai, mempunyai pengaruh dan lain-lain. Hingga sampai sekarang seorang
pemimpin harus memiliki syarat-syarat yang tidak ringan, karena pemimpin sebagai ujung
tombak kelompok.
Kepemimpinan atau leadership merupakan ilmu terapan dari ilmu-ilmu social, sebab
prinsip-prinsip dan rumusannya diharapkan dapat mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan
manusia (Moejiono, 2002). Ada banyak definisi kepemimpinan yang dikemukakan oleh para
pakar menurut sudut pandang masing-masing, definisi-definisi tersebut menunjukkan adanya
beberapa kesamaan.

1.2. RumusanMasalah
1. Apapengertiandarikepemimpinanmenurut para ahli?
2. Apasajapengertiankepemimpinan?
3. Apasajateori- teorikepemimpinanitu?
4. Apasajatipe dan gayakepemimpinan?
5. Bagaimanaciri- cirikepemimpinana yang baik?

4
1.3. TujuanPenulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pengetahuan


kepada para pembaca tentang kepemimpinan baik itu pengertian kepemimpinan,
teori-teori kepemimpinan, tipe dan gaya kepemimpinan dan ciri-ciri kepemimpinan
yang baik itu seperti apa Di samping itu makalah ini juga bertujuan untuk
memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Industri dan Organisasi

5
BAB II
KEPEMIMPINAN
2.1. PengertianKepemimpinanMenurut Para Ahli
Menurut John Piffner.Kepemimpinanadalahsenidalammengkoordinasikan dan
mengarahkanindividuataukelompokuntukmencapaisuatutujuan yang dikehendaki.
MenurutTannebaum, Weschler dan Nassarik.Kepemimpinanadalahpengaruhantarpribadi,
dalamsituasitertentu dan langsungmelalui proses
komunikasiuntukmencapaisatuataubeberapatujuantertentu.
Menurut Jacobs dan Jacques.Kepemimpinanadalahsuatu proses yang memberiarti
(penuhartikepemimpinan) pada
kerjasamadandihasilkandengankemauanuntukmemimpindalammencapaitujuan.
MenurutSlamet.Kepemimpinanmerupakansuatukemampuan, proses, ataufungsi pada
umumnyauntukmempengaruhi orang- orang agar
berbuatsesuatudalamrangkamencapaitujuantertentu.
Menurut Shared Goal, Hemhiel dan
Coons.Kepemimpinanmerupakanaktivitasuntukmempengaruhiperilaku orang lain agar
supayamerekamaudiarahkanuntukmencapaitujuantertentu.

.L. Borwn dalam “Psychology and the Social Order”. Pemimpin tidak dapat dipisahkan
dengan kelompok, tetapi dapat dipandang sebagai suatu posisi yang memiliki potensi yang tinggi
dibidangnya.

Kenry Pratt Fairchild dalam “Dictionary of Sociologi and Related Sciences”. Pemimpin
dapat dibedakan dalam 2 arti; Pertama, pemimpin arti luas, sesorang yang memimpin dengan
cara mengambil inisiatif tingkah laku masyarakat secara mengarahkan, mengorganisir atau
mengawasi usaha-usaha orang lain baik atas dasar prestasi, kekuasaan atau kedudukan. Kedua,
pemimpin arti sempit, seseorang yang memimpin dengan alat-alat yang meyakinkan, sehingga
para pengikut menerimanya secara suka rela.

Dr. Phil. Astrid S. Susanto. Pemimpin adalah orangyang dianggap mempunyai pengaruh
terhadap sekelompok orang banyak.

6
Ensiklopedia Administrasi (disusun oleh Staf Dosen Balai Pembinaan Administrasi
Universitas Gadjah Mada). Pemimpin (Leader) adalah orang yang melakukan kegiatan atau
proses mempengaruhi orang lain dalam situasi tertentu, melalui proses komunikasi, yang
diarahkan guna mencapai tujuan/tujuan-tujuan tertentu.

2.2. PengertianKepemimpinan
Kepemimpinan dalam organisasi adalah sebuah proses dimana seorang pemimpin
memengaruhi dan memberikan contoh kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan
organisasi. Pemimpin yang baik bukan dilihat dari seberapa banyak orang yang menjadi
pengikutnya, bukan juga dilihat dari seberapa lama ia memimpin. Pemimpin yang baik dilihat
dari seberapa banyak ia mampu menciptakan sosok pemimpin yang baru.

Kepemimpinan menjadi salah satu faktor penting bagi keberhasilan sebuah organisasi.
Untuk itu, ada beberapa sikap kepemimpinan dalam organisasi yang perlu diterapkan oleh
seorang pemimpin, diantaranya:

 Menjalin kedekatan dengan anak buah

Kepemimpinan dalam organisasi akan menjadi lebih efektif jika seorang pemimpin telah
mendapat respek dari anak buah. Hal ini bisa dibangun dengan menjalin kedekatan dengan
mereka, sehingga mereka akan percaya dan mau mengikuti arahan Anda.

 Memberikan semangat dan motivasi

Kepemimpinan dalam organisasi bukan melulu soal pangkat dan jabatan, tetapi
kepemimpinan adalah bagaimana seorang pemimpin dapat memberikan semangat dan motivasi,
bahkan untuk setiap hal kecil dari pekerjaan yang anak buah Anda lakukan.

 Memberikan kepercayaan dan tanggung jawab

Kepemimpinan dalam organisasi adalah tentang kepercayaan. Berikan anak buah Anda
kepercayaan dan tanggung jawab yang lebih dalam melakukan tugas mereka. Jika ada hal yang

7
tidak sejalan, jangan langsung menghakimi. Berikanlah feedback agar ke depannya mereka tidak
takut salah dalam mengambil sebuah keputusan.

Agar seseorang dapat menjadi pemimpin yang baik, tentunya akan dibutuhkan pengalaman
panjang selama bertahun-tahun di dalam sebuah organisasi. Namun, hal tersebut bukan lagi
menjadi masalah dengan adanya jasa pelatihan kepemimpinan (leadership training) dan
konsultasi untuk pengembangan SDM dan organisasi dari Kubik Training.

Sejak pendiriannya di tahun 1999, Kubik Training telah dipercaya oleh berbagai
perusahaan papan atas di Indonesia, baik swasta maupun BUMN, nasional maupun internasional,
termasuk diantaranya perusahaan Fortune 100 Indonesia, untuk membantu proses pengembangan
SDM di perusahaan masing-masing.

2.3. TeoriKepemimpinan
Para ahli teori kepemimpinan telah mengemukakan beberapa teori tentang timbulnya
Seorang Pemimpin. Dalam hal ini terdapat 3 (tiga) teori yang menonjol (Sunindhia dan Ninik
Widiyanti, 1988:18), yaitu:
a.     Teori Genetik
Penganut teori ini berpendapat bahwa, “pemimpin itu dilahirkan dan bukan dibentuk”
[Leaders are born and not made]. Pandangan terori ini bahwa, seseorang akan menjadi
pemimpin karena “keturunan” atau ia telah dilahirkan dengan “membawa bakat” kepemimpinan.
Teori keturunan ini, dapat saja terjadi, karena seseorang dilahirkan telah “memiliki potensi”
termasuk “memiliki potensi atau bakat” untuk memimpin dan inilah yang disebut dengan faktor
“dasar”. Dalam realitas, teori keturunan ini biasanya dapat terjadi di kalangan bangsawan atau
keturunan raja-raja, karena orang tuanya menjadi raja maka seorang anak yang lahir dalam
keturunan tersebut akan diangkan menjadi raja.
b.     Teori Sosial
Penganut teori ini berpendapat bahwa, seseorang yang menjadi pemimpin dibentuk dan
bukan dilahirkan (Leaders are made and not born). Penganut teori berkeyakinan bahwa semua
orang itu sama dan mempunyai potensi untuk menjadi pemimpin. Tiap orang mempunyai potensi
atau bakat untuk menjadi pemimpin, hanya saja paktor lingkungan atau faktor pendukung yang

8
mengakibatkan potensi tersebut teraktualkan atau tersalurkan dengan baik dan inilah yang
disebut dengan faktor “ajar” atau “latihan”.
Pandangan penganut teori ini bahwa, setiap orang dapat dididik, diajar, dan dilatih untuk
menjadi pemimpin. Intinya, bahwa setiap orang memiliki potensi untuk menjadi pemimpin,
meskipun dia bukan merupakan atau berasal dari keturunan dari seorang pemimpin atau seorang
raja, asalkan dapat dididik, diajar dan dilatih untuk menjadi pemimpin.
c.     Teori Ekologik
Penganut teori ini berpendapat bahwa, seseorang akan menjadi pemimpin yang baik
“manakala dilahirkan” telah memiliki bakat kepemimpinan. Kemudian bakat tersebut
dikembangkan melalui pendidikan, latihan, dan pengalaman-pengalaman yang memungkinkan
untuk mengembangkan lebih lanjut bakat-bakat yang telah dimiliki.
Jadi, inti dari teori ini yaitu seseorang yang akan menjadi pemimpin merupakan perpaduan
antara faktor keturunan, bakat, dan lingkungan yaitu faktor pendidikan, latihan dan pengalaman-
pengalaman yang memungkinkan bakat tersebut dapat teraktualisasi dengan baik.
Selain ketiga teori tersebut, muncul pula teori keempat yaitu Teori Kontigensi atau Teori
Tiga Dimensi. Penganut teori ini berpendapat bahwa, ada tiga faktor yang turut berperan dalam
proses perkembangan seseorang menjadi pemimpin atau tidak, yaitu: (1) Bakat kepemimpinan
yang dimilikinya. (2) Pengalaman pendidikan, latihan kepemimpinan yang pernah diperolehnya,
dan (3) Kegiatan sendiri untuk mengembangkan bakat kepemimpinan tersebut.
Teori ini disebut dengan teori serba kemungkinan dan bukan sesuatu yang pasti, artinya
seseorang dapat menjadi pemimpin jika memiliki bakat, lingkungan yang membentuknya,
kesempatan dan kepribadian, motivasi dan minat yang memungkinkan untuk menjadi pemimpin.
Menurut Ordway Tead, bahwa timbulnya seorang pemimpin, karana : (1) Membentuk diri
sendiri (self constituded leader, self mademan, born leader). (2) Dipilih oleh golongan, artinya ia
menjadi pemimpin karena jasa-jasanya, karena kecakapannya, keberaniannya dan sebagainya
terhadap organisasi. (3) Ditunjuk dari atas, artinya ia menjadi pemimpin karena dipercaya dan
disetujui oleh pihak atasannya (Imam Mujiono, 2002: 18).
2.4. Tipe dan Gaya kepemimpinan
Kartini Kartono menjelaskan bahwa tipe kepemimpinan terbagi atas:
1. Tipe Kharismatik

9
Tipe ini mempunyai daya tarik dan pembawaan yang luar biasa, sehingga mereka
mempunyai pengikut yang jumlahnya besar. Kesetiaan dan kepatuhan pengikutnya timbul dari
kepercayaan terhadap pemimpin itu. Pemimpin dianggap mempunyai kemampuan yang
diperoleh dari kekuatanYang Maha Kuasa.

2. Tipe Paternalistik
Tipe Kepemimpinan dengan sifat-sifat antara lain;
a. Menganggap bawahannya belum dewasa
b. bersikap terlalu melindungi
c. Jarang memberi kesempatan bawahan untuk mengambil keputusan
d. Selalu bersikap maha tahu dan maha benar.

3. Tipe Otoriter
Pemimpin tipe otoriter mempunyai sifat sebagai berikut:
a. Pemimipin organisasi sebagai miliknnya
b. Pemimpin bertindak sebagai dictator
c. Cara menggerakkan bawahan dengan paksaan dan ancaman.

4. Tipe Militeristik
Dalam tipe ini pemimpin mempunyai siafat sifat:
a. menuntut kedisiplinan yang keras dan kaku
b. lebih banyak menggunakan system perintah
c. menghendaki keputusan mutlak dari bawahan
d. Formalitas yang berlebih-lebihan
e. Tidak menerima saran dan kritik dari bawahan
f. Sifat komunikasi hanya sepihak
5. Tipe Demokrasi
Tipe demokrasi mengutamkan masalah kerja sama sehingga terdapat koordinasi pekerjaan dari
semua bawahan. Kepemimpinan demokrasi menghadapi potensi sikap individu, mau
mendengarkan saran dan kritik yang sifatnya membangun. Jadi pemimpin menitik beratkan pada

10
aktifitas setiap anggota kelompok, sehingga semua unsure organisasi dilibatkan dalam akatifitas,
yang dimulai penentuan tujuan,, pembuatan rencana keputusan, disiplin.
2.5. Ciri- ciriKepemimpinan yang Baik
WA. Gerungan menjelaskan bahwa seorang pemimpin paling tidak harus memiliki tiga ciri,
yaitu:
1. Penglihatan Sosial
Artinya suatu kemampuan untuk melihat dan mengerti gejala-gejala yang timbul dalam
masyarakat sehari-hari.
2. Kecakapan Berfikir Abstrak
Dalam arti seorang pemimpin harus mempunyai otak yang cerdas, intelegensi yang tingggi.
Jadi seorang pemimpin harus dapat menganalisa dan mumutuskan adanya gejala yang terjadi
dalam kelompoknya, sehingga bermanfaat dalam tujuan organisasi.
3. Keseimbangan Emosi
Orang yang mudah naik darah, membuat ribut menandakan emosinya belum mantap dan
tidak memililki keseimbangan emosi. Orang yang demikian tidak bisa jadi pemimpin sebab
seorang pemimpin harus mampu membuat suasana tenang dan senang. Maka seorang
pemimpin harus mempunyai keseimbangan emosi.

11
BAB III

JURNAL TERKAIT
PENGERTIAN

INTERNATIONAL JOURNAL OF ORGANIZATIONAL LEADERSHIP 10(2021) 54-71


(Transglobal Leadership as a Driver for Increasing the Employee Performance ).

Pasolong (2008) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan


mempengaruhi orang lain melalui komunikasi langsung maupun tidak langsung untuk
memobilisasi orang dengan rasa ketelitian dan kemampuan mengikuti keinginan
pemimpin. Lebih lanjut pasolong (2008) juga menyatakan bahwa fungsi kepemimpinan
mencakup dua bidang utama yaitu pencapaian tujuan organisasi (Yaitu inisiasi
pengaturan informasi dukungan dan evaluasi) dan kekompakan orang-orang yang
dipimpinnya. Seiring berjalannya waktu organisasi berkembang dan kepemimpinan
bervariasi seperti Sharkeyet Al 2012 menganalisis permasalahan teoritis mengenai
kepemimpinan transaksional atau transformasional yang diklasifikasikan ke dalam tipe
kepemimpinan lokal. Dalam perkembangan awalnya gaya kepemimpinan muncul dalam
bentuk versi lokal yang tidak mampu menjangkau aspek Global. Oleh karena itu
Sharkeyet Al 2012 membangun jenis kepemimpinan yang lebih Global yang dikenal
sebagai kepemimpinan transglobal kepemimpinan transglobal melampaui batas-batas
budaya yang nasional yang bersifat universal dan berkontribusi besar pada semangat
kemanusiaan untuk mengubah peradaban manusia. Pemberi pinjaman transglobal
membuat hidup orang lebih menarik lebih indah lebih sejahtera lebih bermartabat atau
lebih baik seorang pemimpin transglobal mengambil idenya dan beradaptasi dengan
lingkungan baru, lebih luas, dan lebih kompleks. Seorang pemimpin transglobal lebih
cenderung mendukung dan membantu menentukan pendekatan unik untuk bekerja.
Sedangkan pemimpin lokal melakukan pekerjaan dengan baik dan menjaga operasi yang
stabil dan membangun tim yang berpikiran sama yang akan mencapai tujuan berulang
kali dan dapat diandalkan.

TEORI KEPEMIMPINAN

INTERNATIONAL JOURNAL OF ORGANIZATIONAL LEADERSHIP 6(2017) 456-469

(A Criticalreviewofimplicitleadership teori onthe teori onthevalidity National CultureFitness)

Teori kepemimpinan klasik berurusan dengan perilaku pemimpin yang menonjol


sementara kepemimpinan implisit Teori mencoba untuk mengeksplorasi kerangka
kognitif kepemimpinan diamdiam (Ling, Chia, &Fang, 2000). Kepemimpinan mungkin
tersembunyi dalam proses pertukaran kognitif antara pemimpin dan pengikut (Konrad,
2000). Teori kepemimpinan implisit menyoroti skema kognitif dan peta kognitif

12
(Lim,Othman, Zain, &Pengiran, 2012). Pemimpin harus sesuai dengan harapan kognitif
pengikut (Lim etal., 2012). Pada akhir proses pencocokan kognitif, aktor tersebut akan
diberi label sebagai pemimpin (Lim etal., 2012).

Ciri, atribut, dan perilaku kepemimpinan kognitif yang ideal tentang pemimpin
mungkin saja berawal dari sosialisasi (Nonaka, Toyoma, &Konno, 2000) dan
pengalaman masa lalu (Epitropaki& Martin, 2004, 2005; Epitropaki, Martin, Tram-Quon,
&Topakas, 2013). Ini kualitas spesifik membentuk superset yang disebut prototipe
kepemimpinan kognitif (Epitropaki& Martin, 2004, 2005; Epitropaki dkk., 2013;
Fraser&Lord, 1988). Prototipe kognitif menyediakan gambar sederhana dari seorang
pemimpin yang menyoroti karakteristik pemimpin yang menonjol untuk pengamat
dengan demikian mempercepat proses pengambilan keputusan dan membantu aktor
untuk dengan mudah mengenali pemimpinnya (Fraser&Lord, 1988; Phillips &Lord,
1986). Junker dan Dick (2014) membagi prototipe menjadi dua kategori yaitu norma
prototipe dan valensi prototipe. Norma prototipe mewakili prototipe tipikal-ideal
kepemimpinan dan valensi prototipe mengacu pada positif atau persepsi negatif tentang
prototipe kepemimpinan (Junker& Dick, 2014). Khusus pemimpin tindakan, perilaku,
dan sikap menyebabkan pengikut berkonsultasi dengan prototipe mereka (Cronshaw&
Lord,1987). Pada tahap kognitif pertama, pengikut dengan cepat melabeli seseorang
sebagai “pemimpin” atau “bukan pemimpin”; kemudian, mereka mengatur perilaku
mereka sesuai dengan keputusan awal ini (Phillips &Lord, 1986).Ketika kesesuaian
pemimpin prototipe telah dipastikan, pengikut tidak akan bertanya tentang otoritas
pemimpin untuk waktu yang lama (Cronshaw&Lord, 1987).

Teori kepemimpinan implisit berkaitan dengan proses pelabelan, tetapi


masalahnya adalah “siapa yang mau dicap sebagai pemimpin? ” Dalam hal ini, karya
Kenney, Blascovih dan Shaver (1994) adalah dari sangat penting untuk makalah ini.
Menurut Kenneyetal. (1994), seorang aktor yang berbeda kualitas daripada anggota
kelompok lainnya juga dapat dilihat sebagai pemimpin. Artinya memiliki ciri khas
karakteristik dapat membuat seseorang menjadi pemimpin di mata pemirsanya. Kenney
dkk. (1994) menekankan bahwa pengikut memberikan gelar kepemimpinan kepada
seorang aktor yang dapat membuat perubahan. Membuat perbedaan mungkin
membutuhkan pandangan hidup yang berbeda atau memiliki nilai budaya yang berbeda.
Argumen-argumen ini terlihat cukup meskipun mungkin ada penjelasan lain tentang hasil
yang menarik. Orang mungkin mengira bahwa gelar kepemimpinan harus diberikan
kepada seorang aktor yang mampu mengatasi kesulitan yang bersumber dari budaya
nasional yang dominan. Kebudayaan nasional dapat dianggap sebagai sisi lain dari mata
uang yang sama (Hampden-Turner &Trompenaars, 2000). Orang yang dapat mengatasi
tantangan budaya dapat menjadi pemimpin dalam pikirannya.

Brodbeck dkk. (2000) meneliti dua puluh dua negara Eropa dan menentukan
prototipe kepemimpinan luar biasa khusus negara. Sebagian besar faktor kepemimpinan

13
ditemukan koheren dengan budaya nasional, namun ada beberapa hasil yang menarik
(Brodbecketal., 2000). Misalnya, orang Rusia menempatkan kepemimpinan yang
berorientasi manusiawi ke dalam kategori kepemimpinan negatif (rendah) (Brodbecketal.,
2000). Negara kolektivis dan feminin seharusnya menilai kepemimpinan yang
berorientasi kemanusiaan secara lebih positif. Harus ada penjelasan teoritis tentang
pandangan ini. Karyawan atau pengikut mungkin ingin melihat sesuatu yang berbeda dari
pemimpin mereka. Kono, Ehrhart, Ehrhart, dan Schultze (2012) membandingkan persepsi
kepemimpinan implisit dan prototipe orang-orang dari Jepang dan A.S. Mereka datang
dengan hasil yang menarik dan berlawanan yang sama (Kono etal., 2012). Dibandingkan
dengan peserta Jepang, orang-orang dari A.S. mendapat nilai lebih tinggi pada dimensi
kompetensi administratif, orientasi tim kolaboratif, dan integrator tim kolaboratif.
Dengan kata lain, orang yang diwawancarai dari A.S. menilai semua dimensi
kepemimpinan berorientasi tim lebih tinggi dar ipada rekan Jepang mereka (Kono
etal.,2012). Kompetensi, dan keserbagunaan. Sebagian besar faktor tersebut sesuai
dengan budaya nasional Tionghoa, terutama kompetensi interpersonal yang sangat terkait
dengan kolektivisme; Namun, beberapa aspek efisiensi tujuan mirip dengan nilai-nilai
budaya maskulin seperti ketabahan, ketegasan, kompetensi, dan ilmiah (Ling etal., 2000).

Holmberg dan Akerblom (2006) meneliti prototipe kepemimpinanimplisit orang


Swedia. Mereka menemukan bahwa gaya kepemimpinan yang berorientasi tim,
partisipatif dan otonom sangat diinginkan di Swedia (Holmberg&Akerblom, 2006).
Pemimpin di Swedia harus mampu menyatukan individu dan menciptakan kelompok
kerja yang efisien (Holmberg&Akerblom, 2006). Terlepas dari orientasi individualistik
Swedia (Hofstede, 1980, 1983), orang Swedia memberikan penekanan besar pada
semangat tim dan kelompok kerja (Holmberg&Akerblom, 2006). Dalam hal ini, aktor
yang berorientasi kolektif dapat dianggap sebagai pemimpin dalam pikiran orang melalui
keterampilan manajemen relasionalnya.

Abdala dan Al-Hamoud (2001) mengeksplorasi prototipe kepemimpinan implisit


di negara-negara Teluk Arab. Hasil mereka sebagian besar sesuai dengan budaya nasional
Arab, tetapi wawancara mereka dengan beberapa orang Kuwait menyoroti pentingnya
keberanian dan keberanian dalam kepemimpinan (Abdala& Al-Hamoud, 2001). Oleh
karena itu, bukan tidak mungkin menemukan orang-orang yang memiliki feminitas tinggi
mengharapkan perilaku yang lebih maskulin dari pemimpinnya. Bauer (2015)
mengidentifikasi teori kepemimpinan implisit Slovakia dalam ruang lingkup penelitian
Globe. Faktor pemimpin tim paternalistik yang baik hati ditemukan sebagai salah satu
prototipe terpenting bagi orang Slovakia (Bauer, 2015). Slovakia memiliki budaya
nasional yang individualistis dan sangat maskulin (Hofstede, 1980, 1983; Hofstedeetal.,
2010) tetapi tampaknya orang-orang ini menghargai perilaku baik hati dan paternalistik.
Bauer (2015) menyoroti jumlah yang berlebihan dari “organisasi keluarga” (bentuk

14
organisasi yang paling umum di Slovakia) dan pengaruh “budaya Katolik” yang dalam
sebagai alasan utama dari hasil yang luar biasa ini.

Beberapa Pengaruh kepemimpinan Transglobal terhadap beberapa aspek

INTERNATIONAL JOURNAL OF ORGANIZATIONAL LEADERSHIP 10(2021) 54-71

(TransglobalLeadership as a DriverforIncreasingtheEmployee Performance )

1.Pengaruh Kepemimpinan Transglobal (X1) terhadap Motivasi (Y)

Hasil analisis menunjukkan bahwa Kepemimpinan Transglobal berpengaruh


signifikan terhadap motivasi. Koefisien positif menunjukkan hubungan satu arah. Artinya
peningkatan kepemimpinan transglobal (X) berpengaruh signifikan terhadap peningkatan
motivasi (Y1), semakin tinggi nilai kepemimpinan transglobal (X1) maka semakin tinggi
pula nilai motivasi (Y11).

Hasil penelitian ini mendukung teori Greenleaf’sTransglobalLeadership (1970),


dimana elemen utama melayani sesama, pemimpin mempengaruhi, mendorong, dan
memberdayakan orang lain untuk berbuat lebih baik. Untuk mewujudkan pemberdayaan,
pemimpin harus menarik, bukan hanya mendorong, karena kekuatan yang ditarik akan
memperkuat dan memotivasi karyawan. Temuan penelitian ini mendukung bukti empiris
dari model yang dikembangkan oleh Vogel (2011) dimana dalam tesisnya terbukti bahwa
pendekatan kuantitatif dan kualitatif kepemimpinan transglobal dan transaksional
berpengaruh terhadap motivasi. Meskipun masih belum terjawab mana dari dua jenis
kepemimpinan, yang diterapkan secara tepat pada sektor publik, yang dapat
mempengaruhi motivasi karyawan, dan bagaimana mengukur motivasi mereka. Namun,
Koh etal., (1995) menemukan bahwa terdapat hubungan positif yang lemah antara
kepemimpinan transglobal dan komitmen normatif dan komitmen normatif berpengaruh
positif terhadap perilaku dan reaksi karyawan tetapi tidak berpengaruh signifikan
terhadap komitmen afektif.

2.Pengaruh Kepemimpinan Transglobal (X1) terhadap Budaya Organisasi (Y2)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kepemimpinan Transglobal berpengaruh


signifikan terhadap Budaya Organisasi. Artinya semakin tinggi nilai
TransglobalLeadership maka semakin tinggi pula nilai Budaya Organisasi.

Penelitian ini mendukung dan secara empiris membuktikan model Russell dan
Stone (2002) bahwa budaya organisasi dan sikap karyawan dapat mempengaruhi
efektivitas Kepemimpinan Transglobal dan sebaliknya. Jika “melayani” dilakukan secara
terus menerus dan diinternalisasikan dalam kelompok, maka akan menjadi nilai yang
dipahami dan mampu mengarahkan perilaku pegawai. Peran TransglobalLeadership
mempengaruhi Budaya Organisasi terkait dengan perkembangan organisasi dan

15
perubahan serta sentuhan pada kegiatan pendidikan dan pelatihan karyawan sehingga
karyawan memiliki nilai budaya yang kuat, adaptif, dan mengikuti tuntutan dunia usaha.
Penelitian ini juga mendukung teori Budaya Organisasi sebagai perekat normatif dari
Tichy (1982) bahwa budaya mempunyai peran yang sangat strategis untuk mendorong
dan meningkatkan efektivitas organisasi, tergantung pada pemimpinnya. Kepemimpinan
dapat mengembangkan berbagai sikap dan perilaku yang mengarah pada lingkungan
budaya. Avolio dan Bass (2004) menjelaskan bahwa variasi dalam sikap dan budaya
berasal dari ide pekerjaan yang berbeda dari gaya kepemimpinan yang dipengaruhi
budaya yang berbeda.

3.Pengaruh Kepemimpinan Transglobal (X1) terhadap Komitmen Organisasi (Y3)

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa Kepemimpinan Transglobal


berpengaruh signifikan terhadap Komitmen Organisasi. Artinya semakin tinggi nilai
TransglobalLeadership maka semakin tinggi pula nilai OrganizationalCommitment.

Penelitian ini mendukung Agarwal (2013) yang berpendapat bahwa perilaku


(sebagai salah satu komponen kuat dalam melayani kepemimpinan) berkaitan erat dengan
Komitmen Organisasi. Studi ini memperluas temuan bahwa ada pengaruh positif antara
gaya kepemimpinan dan komitmen organisasi. Bateman dan Strasser (1984) serta Bono
dan Judge (2003) juga memperluas temuan mereka dan membuktikannya dalam XYZ.

Organisasi di Malaysia terdapat hubungan positif yang signifikan antara


TransglobalLeadership dan OrganizationalCommitment. Namun temuan penelitian ini
tidak mendukung Drury (2004) yang menemukan bahwa terdapat hubungan negatif yang
signifikan antara TransglobalLeadership dan OrganizationalCommitment. Hernawati, A
(2017) dalam penelitiannya membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara
TransglobalLeadership dan OrganizationalCommitment, namun secara umum hampir
semua literatur membuktikan adanya hubungan antara LeadershipStyle dan
OrganizationalCommitment, kemungkinan karena adanya keyakinan bahwa “karyawan
yang berprestasi tinggi komitmen kepada manajemen puncak akan memberikan
keuntungan besar bagi pemegang saham “.

4.Pengaruh Kepemimpinan Transglobal (X1) terhadap Kinerja Karyawan (Y4)

Berdasarkan hasil analisis, kepemimpinan Transglobal berpengaruh signifikan


terhadap kinerja karyawan. Artinya semakin tinggi nilai TransglobalLeadership maka
semakin tinggi pula nilai kinerja karyawannya.

Temuan ini mendukung pernyataan Hall (1996) bahwa kepemimpinan organisasi


secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kinerja karyawan. Peran pemimpin
akan mendukung proses kompetensi, dan kreativitas karyawan, pada akhirnya karyawan
akan mencapai kinerja terbaiknya dan berkembang. Cohen (1999) menyatakan bahwa

16
kepemimpinan transglobal adalah kemampuan mengubah seseorang untuk tumbuh,
berubah untuk memimpin, termasuk menilai dorongan yang saling terkait untuk
memenuhi kebutuhan karyawan dan menghormati mereka, sehingga kepemimpinan
transglobal dapat meningkatkan kinerja karyawan dan perusahaan serta tujuan
perusahaan. Bisa dicapai dengan lebih baik. Temuan ini meluas ke Hayward (2005) yang
menemukan bahwa ada hubungan antara Kinerja Karyawan, Kepemimpinan, dan
Kecerdasan Emosional pada perusahaan parastatal di Afrika Selatan.

Sejalan dengan tipologi perilaku para pemimpin Astabrata, hal itu terkait erat dengan
kecerdasan kepemimpinan transglobal. Perilaku pemimpin mengikuti jalur matahari, bulan,
bintang, angin, awan api, samudra, dan bumi; pemimpin harus memiliki keenam kecerdasan utuh
seperti kecerdasan kognitif (IQ), kecerdasan emosional (EI), kecerdasan moral (SI), kecerdasan
budaya (CI), kecerdasan bisnis (BI), dan terutama kecerdasan global (GI). Elaborasi Astabrata
dan hubungannya dengan kecerdasan kepemimpinan dijelaskan sebagai berikut: (1) jalan
matahari; matahari itu panas dan penuh energi. Itu menyediakan sarana kehidupan. Artinya
setiap pemimpin harus mampu mendorong, memberi kehidupan, dan memberi energi kepada
masyarakat. Perilaku ini membutuhkan SI, CI dan Gl. (2) Garis bulan; bulan yang indah bisa
menerangi kegelapan. Artinya, setiap pemimpin harus menyenangkan dan mencerahkan
rakyatnya dalam kegelapan; seorang pemimpin yang bisa bersinar dalam kegelapan berfungsi
sebagai bulan dalam kekacauan karena kekacauan. (3) Jalur bintang; Selain indah, bintang juga
menyediakan kompas, arah, dan arah. Artinya, pemimpin harus menjadi panutan dan
pembimbing. (4) Jalur angin; angin ada di manamana, di setiap inci ruangan. Artinya, pemimpin
harus bertindak hati-hati, tegas, dan terjun ke lapangan untuk mengeksplorasi kehidupan
bawahannya. (5) Jalur mendung: Artinya, menakutkan, tetapi begitu turun hujan ada berkah.
Artinya, seorang pemimpin harus berwibawa tetapi tindakannya harus bermanfaat bagi
kehidupan rakyatnya. (6) Jalan api; api itu tegak dan mampu membakar apapun yang ada di
dekatnya. Artinya seorang pemimpin harus mampu bersikap adil, berprinsip, tegak tanpa
diskriminasi. (7) Rute laut; lautan luas dan datar. Artinya seorang pemimpin harus memiliki
pandangan yang luas dan mampu menerima masalah serta tidak merasa benci kepada siapapun.
(8) Jalur bumi: Bumi tenang dan suci. Artinya setiap pemimpin harus mampu berfungsi layaknya
bumi yaitu memiliki karakter yang tenang, jujur dan bersedia memberikan hadiah kepada
bawahan yang berkontribusi.

Siagian (1985) tentang jenis kepemimpinan Ki Hajar Dewantoro, konsep berpikir tentang
kepemimpinan mencakup tiga filosofi yang dapat dikatakan telah mencakup dimensi-dimensi
yang dibutuhkan dalam kepemimpinan. Kepemimpinan transglobal dengan demikian mencakup
semua aspek, termasuk kepemimpinan hati (karakter hati), kepala (metode kepala), dan tangan
(perilaku tangan). Seorang pemimpin, seperti halnya pemimpin regional di dunia publik, juga
merupakan pemimpin tim untuk bawahannya dalam organisasi, sebagai mitra dan direktur bisnis
global bagi pemegang saham. Sedangkan tiga prinsip kepemimpinan Ki Hajar Dewantoro adalah
sebagai berikut: Ing Ngarso Sung Tulodo (di depan memberi contoh), Ing Madya Mangun Karso

17
di tengah membimbing), Tut Wuri Handayani (di belakang memberi semangat). Prinsip
kepemimpinan pertama KiHadjar Dewantara adalah Ing Ngarso Sung Tulodo; depan adalah
memberikan contoh. Seorang pemimpin berjalan di depan orang-orang yang mereka pimpin
menuju tujuan yang diinginkan. Hubungan antara prinsip ini dengan kelima indikator perilaku
kepemimpinan nomor 1 dan 2. Prinsip kedua adalah Ing Madya Mangun Karso. Artinya seorang
pemimpin harus membekali setiap anggotanya dengan kemampuan mengenali potensi diri,
kemampuan memanfaatkan, dan kemampuan belajar untuk terus meningkatkan potensinya.
Singkatnya, kepemimpinan berarti menginspirasi, memotivasi, dan mendorong diri sendiri atau
sesama anggota tim untuk mengoptimalkan kemampuannya. Prinsip ketiga adalah Tut Wuri
Handayani. Seorang pemimpin dapat dikatakan sukses jika organisasi terus menunjukkan
prestasi dan kinerja yang tinggi meskipun pemimpin tersebut tidak hadir secara fisik. Pemimpin
yang hebat membangun organisasi sedemikian rupa sehingga mereka terus tumbuh dan
berkembang sendiri. Pemimpin yang berhasil adalah mereka yang dapat menjadi pemimpin bagi
kehidupan dan jiwa orang yang dipimpinnya.

5.Pengaruh Motivasi (Y1) terhadap Kinerja Karyawan (Y4)

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa motivasi berpengaruh signifikan


terhadap kinerja karyawan. Artinya semakin tinggi nilai motivasi maka semakin tinggi
pula kinerja karyawan. Hasil penelitian ini mendukung motivasi dan lingkungan kerja
yang mengarah pada kinerja seseorang (Porter&Lawler, 1968) bahwa seseorang akan
membuat pilihan dengan berbagai alternatif perilaku dan tingkatan bisnis berdasarkan
daya tarik yang akan diperoleh sebagai akibatnya. Penelitian ini memperluas temuan Sari
dan Ja’far (2010) yang menemukan hubungan positif yang kuat antara Motivasi
Manajerial dan Kinerja Manajerial. Secara empiris pengaruh dorongan untuk bekerja
dengan baik dan kebebasan menggunakan sarana untuk menyelesaikan pekerjaan akan
mempengaruhi kemampuan karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan yang bermanfaat
bagi koperasi.

6.Pengaruh Budaya Organisasi (Y2) terhadap Kinerja Karyawan (Y4).

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa budaya organisasi mempunyai


pengaruh yang signifikan terhadap kinerja karyawan. Artinya semakin tinggi nilai
Budaya Organisasi maka semakin tinggi pula nilai Kinerja Karyawan. Budaya organisasi
yang berkembang dan tertata dengan baik di dalam perusahaan akan berdampak pada
peningkatan kinerja karyawan. Jika budaya organisasi harus diubah, maka hal pertama
yang harus dilakukan seorang karyawan adalah belajar memodifikasi budaya lama agar
dapat mempengaruhi kinerjanya. Temuan ini juga meluas ke Nystrom (1993). Koesmono
(2005), Kartiningsih (2007) yang menyatakan bahwa budaya organisasi mempengaruhi
kinerja karyawan.

7.Pengaruh Komitmen Organisasi (Y3) terhadap Kinerja Karyawan (Y4)

18
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa komitmen organisasi tidak
berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan. Artinya setiap nilai komitmen
organisasi tidak akan berpengaruh terhadap nilai kinerja karyawan karena gaji karyawan
masih rendah sehingga banyak karyawan yang bekerja di koperasi mencari perusahaan
dengan gaji yang lebih tinggi setelahnya. Diterima di perusahaan yang gajinya lebih
tinggi dari gaji di koperasi, mereka meninggalkan kantor koperasi.

Hasil penelitian ini berbeda dengan teori pertukaran sosial Blau (1987) yang
menyatakan bahwa komitmen afektif yang tinggi membawa organisasi pada kinerja yang
baik dengan karyawan OCB. Temuan penelitian ini berbeda dengan teori Meyer etal.
(1989) bahwa karyawan yang dengan sepenuh hati berkomitmen untuk tujuan organisasi
akan mendedikasikan usahanya untuk kesuksesan organisasi. Penelitian ini juga berbeda
dengan pernyataan Brown dan Leigh (1996) bahwa komitmen organisasional merupakan
proses yang berkelanjutan. Selain itu, pengalaman individu dengan organisasi tidak
sejalan dengan temuan Rostini etal., (2020) yang menyatakan bahwa pengembangan daya
saing tidak cukup untuk dapat meningkatkan kinerja, tanpa adanya komitmen. Secara
umum komitmen yang lebih tinggi akan meningkatkan kinerja. Namun, Steers (1977)
menemukan hubungan yang lemah antara komitmen dan kinerja.

Faktor yang menyebabkan komitmen organisasi tidak berpengaruh signifikan


terhadap kinerja karyawan adalah karena sebagian karyawan merasa tidak puas dengan
gajinya sehingga mudah berhenti dan pindah (turnoverintention untuk pekerjaan
organisasi lain karena karyawan merasa dirugikan. Menurut Ramlawati etel. (2020),
terdapat banyak alasan ingin pindah (turnoverintention, diantaranya keinginan untuk
mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Diantara faktor penyebab keinginan karyawan
perusahaan untuk meninggalkan tempat kerja adalah faktor eksternal, seperti lingkungan
kerja, stres, dan kepuasan kerja.

Budaya Organisasi

Ide ayu brahmasari dan Agus suprayetno pasca sarjana Universitas 17 Agustus
Surabaya (Pengaruh motivasi kerja kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap
kepuasan kerja karyawan serta dampaknya pada kinerja perusahaan studi kasus pada PT
Pei Hai International Wiratama Indonesia).

Seperti halnya pengertian motivasi dan kepemimpinan, pengertian budaya


organisasi banyak diungkapkan oleh para ilmuwan yang merupakan ahli dalam ilmu
budaya organisasi, namun masih sedikit kesepahaman tentang arti konsep budaya
organisasi atau bagaimana budaya organisasi harus diobservasi dan diukur (Brahmasari,
2004). Lebih lanjut Brahmasari (2004:16) mengemukakan bahwa hal tersebut

19
dikarenakan oleh kurangnya kesepahaman tentang formulasi teori tentang budaya
organisasi, gambarannya, dan kemungkinan hubungannya dengan dampak kinerja.

Ndraha (2003:4) dalam Brahmasari (2004:12) mengemukakan bahwa budaya


perusahaan (corporateculture) merupakan aplikasi dari budaya organisasi
(organizationalculture) terhadap badan usaha atau perusahaan. Kedua istilah ini sering
dipergunakan untuk maksud yang sama secara bergantian. Marcoulides dan Heck (1993)
dalam Brahmasari (2004:16) mengemukakan bahwa budaya organisasi sebagai suatu
konsep dapat menjadi suatu sarana untuk mengukur kesesuaian dari tujuan organisasi,
strategi dan organisasi tugas, serta dampak yang dihasilkan. Tanpa ukuran yang valid dan
reliabel dari aspek kritis budaya organisasi, maka pernyataan tentang dampak budaya
pada kinerja akan terus berdasarkan pada spekulasi, observasi personal dan studi kasus.
Glaseretal. (1987) dalam Koesmono (2005:9) mengemukakan bahwa budaya
organisasionalseringkali digambarkan dalam arti yang dimiliki bersama. Pola-pola dari
kepercayaan, simbol-simbol, ritualritual, dan mitormitos yang berkembang dari waktu ke
waktu dan berfungsi sebagai perekat yang menyatukan organisasi. Hofstede (1986:21)
dalam Koesmono (2005:9) mengemukakan bahwa budaya dapat didefinisikan sebagai
berbagai interaksi dari ciri-ciri kebiasaan yang mempengaruhi kelompok kelompok orang
dalam lingkungannya. Tika (2006:16) mengemukakan bahwa dalam pembentukan
budaya organisasi ada ua hal penting yang harus diperhatikan yaitu unsur-unsur
pembentuk budaya organisasi dan proses pembentukan budaya organisasi itu sendiri.
Sementara itu Robbins (1996) dalam Tika (2006:20-21) menjelaskan mengenai 3 (tiga)
kekuatan untuk mempertahankan suatu budaya organisasi sebagai berikut: (1) Praktik
seleksi, proses seleksi bertujuan mengidentifikasi dan mempekerjakan individu-individu
yang mempunyai pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan
dengan sukses dalam organisasi. (2) Manajemen puncak, tindakan manajemen puncak
mempunyai dampak besar pada budaya organisasi. Ucapan dan perilaku mereka dalam
melaksanakan norma-norma sangat berpengaruh terhadap anggota organisasi. (3)
Sosialisasi, sosialisasi dimaksudkan agar para karyawan baru dapat menyesuaikan diri
dengan budaya organisasi. Proses sosialisasi ini meliputi tiga tahap yaitu tahap
kedatangan, tahap pertemuan, dan tahapmetromofis.

Tahap metromofis. Selanjutnya Tika (2006:21) memberikan kesimpulan tentang


proses pembentukan budaya organisasi melalui 4 (empat) tahapan, yaitu tahap pertama
terjadinya interaksi antar pimpinan atau pendiri organisasi dengan kelompok/perorangan
dalam organisasi. Pada tahap kedua adalah dari interaksi menimbulkan ide yang
ditransformasikan menjadi artifak, nilai, dan asumsi. Tahap ketiga adalah bahwa artifak,
nilai, dan asumsi akan diimplementasikan sehingga membentuk budaya organisasi. Tahap
terakhir adalah bahwa dalam rangka mempertahankan budaya organisasi dilakukan
pembelajaran (learning) kepada anggota baru dalam organisasi. Hofstide (1997) dalam
Munandar, Sjabadhyni, dan Wutun (2004:20) mengemukakan bahwa budaya organisasi

20
mempunyai 5 (lima) ciri-ciri pokok yaitu: (1) Budaya organisasi merupakan satu
kesatuan yang integral dan saling terkait, (2) Budaya organisasi merupakan refleksi
sejarah dari organisasi yang bersangkutan, (3) Budaya organisasi berkaitan dengan hal-
hal yang dipelajari oleh para antropolog, seperti ritual, simbol, ceritera, dan ketokohan,
(4) Budaya organisasi dibangun secara sosial, dalam pengertian bahwa budaya organisasi
lahir dari konsensus bersama dari sekelompok orang yang mendirikan organisasi tersebut,
(5) Budaya organisasi sulit diubah.

Kepuasan Kerja

Ide ayu brahmasari dan Agus suprayetno pasca sarjana Universitas 17 Agustus Surabaya
(Pengaruh motivasi kerja kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap kepuasan kerja
karyawan serta dampaknya pada kinerja perusahaan studi kasus pada PT Pei Hai International
Wiratama Indonesia)

Werther dan Davis (1986) dalam Prabowo (2003) dan Munandar, Sjabadhyni,
Wutun (2004:73) mengemukakan bahwa kepuasan kerja adalah kondisi kesukaan atau
ketidaksukaan menurut pandangan karyawan terhadap pekerjaannya. Dole dan Schroeder
(2001) dalam Koesmono (2005), mengemukakan bahwa kepuasan kerja dapat
didefinisikan sebagai perasaan dan reaksi individu terhadap lingkungan pekerjaannya.

Testa (1999) dan Locke (1983) dalam Koesmono (2005) mengemukakan bahwa
kepuasan kerja merupakan kegembiraan atau pernyataan emosi yang positif hasil dari
penilaian salah satu pekerjaan atau pengalaman-pengalaman pekerjaan. Lebih lanjut
Koesmono (2005) mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan penilaian, perasaan
atau sikap seseorang atau karyawan terhadap pekerjaannya dan berhubungan dengan
lingkungan kerja, jenis pekerjaan, kompensasi, hubungan antar teman kerja, hubungan
sosial ditempat kerja dan sebagainya. Sehingga dapat dikatakan bahwa kepuasan kerja
adalah dipenuhinya beberapa keinginan dan kebutuhannya melalui kegiatan kerja atau
bekerja.

Gibson, Ivancevich, dan Donnely (1996) dalam Sylvana (2002:4) mengemukakan


bahwa kepuasan kerja merupakan bagian dari proses motivasi. Kepuasan anggota
organisasi dapat dihubungkan dengan kinerja dan hasil kerja mereka serta imbalan dan
hukuman yang mereka terima. Oleh karena itu, tingkat kepuasan kerja dalam organisasi
dapat ditunjukkan dengan hasil seperti sikap anggota organisasi, pergantian pekerjaan
anggota organisasi, kemangkiran atau absensi, keterlambatan, dan keluahan yang biasa
terjadi dalam suatu organisasi.

Robbins (2001:148) mengemukakan bahwa kepuasan kerja adalah sebagai suatu


sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya. Pekerjaan menuntut interaksi
dengan rekan sekerja dan atasan, mengikuti aturan dan kebijakan organisasi, memenuhi
standar kinerja, hidup pada kondisi kerja yang sering kurang dari ideal, dan hal serupa

21
lainnya. Ini berarti penilaian (assesment) seorang karyawan terhadap puas atau tidak
puasnya dia terhadap pekerjaan merupakan penjumlahan yang runit dari sejumlah unsur
pekerjaan yang diskrit (terbedakan dan terpisahkan satu sama lain).

Menurut Ramayah (2001) dan Janssen (2001) dalam Koesmono (2005:28)


mengemukakan bahwa seorang manajer akan sangat peduli pada aspek kepuasan kerja,
karena mempunyai tanggung jawab moral apakah dapat memberikan lingkungan yang
memuaskan kepada karyawannya dan percaya bahwa perilaku pekerja yang puas akan
membuat kontribusi yang positif terhadap organisasi. Para manajer merasakan usaha dan
kinerja mereka berhasil apabila keadilan dalam penghargaan memberikan tingkat
kepuasan kerja dan kinerja. Situasi pekerjaan yang seimbang akan meningkatkan
perasaan dalam kontrol terhadap kehidupan kerja dan menghasilkan kepuasan kerja.
Sehingga para manajer mempunyai tanggung jawab untuk meningkatkan kepuasan kerja
para bawahannya agar dapat memberikan kontribusi yang positif pada organisasinya.

Davis (1985) dalam Mangkunegara (2005:117) mengemukakan bahwa


jobsatisfactionisrelatedto a numberofmajoremployeevariables, such as turnover,
absences, age, occupation, andsizeoftheorganization in whichanemployeeworks. Berdasar
pendapat tersebut, Mangkunegara (2005:117) mengemukakan bahwa kepuasan kerja
berhubungan dengan variabel-variabel seperti turnover, tingkat absensi, umur, tingkat
pekerjaan, dan ukuran organisasi perusahaan.

Kepuasan kerja berhubungan dengan turnover mengandung arti bahwa kepuasan


kerja yang tinggi selalu dihubungkan dengan turnover pegawai yang rendah, dan
sebaliknya jika pegawai banyak yang merasa tidak puas maka turnover pegawai tinggi.
Kepuasan kerja berhubungan dengan tingkat absensi (kehadiran) mengandung arti bahwa
pegawai yang kurang puas cenderung tingkat ketidakhadirannya tinggi.

Kepuasan kerja berhubungan dengan umur mengandung arti bahwa pegawai yang
cenderung lebih tua akan merasa lebih puas daripada pegawai yang berumur relatif lebih
muda, karena diasumsikan bahwa pegawai yang tua lebih berpengalaman menyesuaikan
diri dengan lingkungan pekerjaan dan pegawai dengan usia muda biasanya mempunyai
harapan yang ideal tentang dunia kerjanya, sehingga apabila antara harapannya dengan
realita kerja terdapat kesenjangan atau ketidak-seimbangan dapat menyebabkan mereka
menjadi tidak puas.

Kepuasan kerja dihubungkan dengan tingkat pekerjaan mengandung arti bahwa


pegawai yang menduduki tingkat pekerjaan yang lebih tinggi cenderung lebih puas
daripada pegawai yang menduduki pekerjaan yang lebih rendah, karena pegawai yang
tingkat pekerjaannya lebih tinggi menunjukkan kemampuan kerja yang baik dan aktif
dalam mengemukakan ide-ide serta kreatif dalam bekerja. Kepuasan kerja berhubungan
dengan ukuran organisasi perusahaan mengandung arti bahwa besar kecilnya perusahaan

22
dapat mempengaruhi proses komunikasi, koordinasi, dan partisipasi pegawai sehingga
dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan. Mangkunegara (2005:120)

Mengemukakan bahwa ada 2 (dua) faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja


yaitu faktor yang ada pada diri pegawai dan faktor pekerjaannya. Faktor yang ada pada
diri pegawai yaitu kecerdasan (IQ), kecakapan khusus, umur, jenis kelamin, kondisi fisik,
pendidikan, pengalaman kerja, masa kerja, kepribadian, emosi, cara berpikir, persepsi,
dan sikap kerja. Sedangkan faktor pekerjaan yaitu jenis pekerjaan, struktur organisasi,
pangkat (golongan), kedudukan, mutu pengawasan, jaminan keuangan, kesempatan
promosi jabatan, interaksi sosial, dan hubungan kerja.

Perilaku Kepemimpinan

Kun Hendrawan & Sri Seventi ANALISIS PENGARUH PERILAKU KEPEMIMPINAN DAN

PERCEIVED ORGANIZATIONAL SUPPORT (POS) PADA KEPUASAN KERJA

(Studi pada Karyawan PT. Perkebunan Nusantara X Klaten)

Yukl (2006) mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi orang


lain untuk mengerti dan menyetujui tentang apa yang perlu dilakukan dan bagaimana
melakukannya, dan proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kolektif untuk
mencapai tujuan bersama.Northouse (2007) mendefinisikan kepemimpinan sebagai
proses dimana seorang individu mempengaruhi sekelompok individu untuk mencapai
tujuan bersama. Definisi ini menunjukkan beberapa komponen sentral pada fenomena
kepemimpinan,Antara lain

a. Kepemimpinan adalah sebuah proses


b. Kepemimpinan adalah tentang mempengaruhi orang lain
c. Kepemimpinan terjadi dalam konteks kelompok
d. Kepemimpinan melibatkan pencapaian tujuan
e. Tujuan tersebut disampaikan oleh pemimpin kepada pengikut.

Rowe&Guerrero (2010) juga berpendapat bahwa mendefinisikan kepemimpinan


sebagai suatu proses membuat kepemimpinan juga berlaku bagi semua orang, bukan
hanya beberapa orang terpilih yang terlahir sebagai pemimpin. Yang lebih penting bahwa
kepemimpinan tidak dibatasi hanya satu orang dalam kelompok yang memiliki kekuatan
posisi formal (pemimpin resmi yang diangkat).Kepemimpinan adalah tentang
mempengaruhi. Kemampuan untuk mempengaruhi bawahan, rekan-rekan,dan atasan di
tempat kerja atau dalam konteks organisasional. Tanpa pengaruh mustahil untuk menjadi
pemimpin. Tentu saja, memiliki pengaruh berarti bahwa ada keinginan yang lebih besar
di pihak para pemimpin untuk menunjukkan pengaruh mereka secara etis
(Rowe&Guerrero, 2010).Penilitian ini kemudian lebih berfokus pada dua dimensi dari

23
perilaku kepemimpinan yakni Perilaku Kepemimpinan Konsiderasi dan Perilaku
Kepemimpinan Struktur Inisiasi. Seperti yang telah dijelaskan bahwa Perilaku
Kepemimpinan Konsiderasi dan Perilaku Kepemimpinan Struktur Inisiasi muncul
sebagai hasil dari penelitian atau studi yang dilakukan oleh Studi Ohio State University.

24
BAB IV

PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain, bawahan atau
kelompok, kemampuan mengarahkan tingkah laku bawahan atau kelompok, memiliki
kemampuan atau keahlian khusus dalam bidang yang diinginkan oleh kelompoknya, untuk
mencapai tujuan organisasi atau kelompok.
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain
untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama. Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi
dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan,
mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya.
Seorang pemimpin yang baik harus memiliki integritas (kepribadian), intelektual
(pengetahuan), intelegensi (spiritual), skill atau kemampuan/keahlian, memiliki power
atau dapat mempengaruhi orang lain, mau belajar, mendengar dan siap dikritik. Apabila
ketujuh isi dari esensi/hakikat kepemimpinan tersebut telah dimiliki oleh seorang
pemimpin maka pemimpin tersebut akan arif dan bijaksana.

3.2. Saran
Mengingat keterbatasan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh penulis, maka
untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendasar lagi, disarankan kepada pembaca untuk
membaca literatur-literatur yang telah dilampirkan pada daftar rujukan.

25
DAFTAR PUSTAKA
https://www.kubikleadership.com/kepemimpinan-dalam-organisasi/#:~:text=Kepemimpinan
%20Dalam%20Organisasi.%20Kepemimpinan%20dalam%20organisasi%20adalah
%20sebuah,bukan%20juga%20dilihat%20dari%20seberapa%20lama%20ia%20memimpin

https://uptown.id/id/2020/09/10/10-jenis-gaya-kepemimpinan-dalam-organisasi-dan-
perbedaannya/

https://ijol.cikd.ca/article_60540_en.html

https://www.researchgate.net/publication/321361546_INTERNATIONAL_JOURNAL_OF_OR
GANIZATIONAL_LEADERSHIP_A_Critical_Review_of_Implicit_Leadership_Theory_on_the
_Validity_of_Organizational_Actor-National_Culture_Fitness

https://sinta.ristekbrin.go.id/authors/detail?id=5996952&view=documentsgs

26
International Journal of Organizational Leadership 10(2021) 54-71

INTERNATIONAL JOURNAL OF
ORGANIZATIONAL LEADERSHIP
WWW.CIKD.CA

Transglobal Leadership as a Driver for


Increasing the Employee Performance

A. Nur Insan1*, Masmarulan R.2, Ashariana3, Nurfatwa Andriani Yasin4

1
Departement of Communication Science, Universitas Fajar, Indonesia
2, 4
Department of Management Science, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Tri Dharma Nusantara, Indonesia
3
Departement of Public Administration, Universitas Pejuang Republik Indonesia, Indonesia

ABSTRACT
Keywords: This study aims to analyze and explain the influence of transglobal leadership on employee Transglobal
Leadership, work motivation, the influence of transglobal leadership on organizational culture, the effect
Motivation, Organizational of transglobal leadership on organizational commitment, the effect of transglobal leadership
Culture, Commitment on employee performance, the influence of motivation on employee performance, the Organizational,
Performance influence of organizational culture on employee performance, and the influence of organizational commitment
on employee performance. This research is an explanatory study
Received using a survey methodology. This research was conducted in 42 cooperative units of
06 December 2020 government agencies in Makassar City. The population is 418 cooperative employees.
Received in revised form The sample was taken using the Stratified Random Sampling method of 180 people. Data
01 January 2021 were collected through questionnaires and interviews. Data analysis used Partial Least
Square (PLS). The results obtained from testing of the seven hypotheses showed that
Accepted
there were six hypotheses accepted because they had a positive and significant effect and
03 January 2021
one hypothesis was

27
rejected because it had an insignificant effect, namely the effect of organizational
commitment
on employee performance. Cooperative managers need to pay more attention to relationships
*Correspondence: with customers, review fair wages and regulations and rewards to employees, increase
anurinsan9@gmail.com understanding of shared values and meanings, increase understanding of aspects of work,
and improve employee positive attitudes.

©CIKD Publishing

In the early 19th century in developed countries such as America and Europe, humans began to
form organizations which is an indispensable element in human life. As time goes by,
organizations began to advance in developed countries. Likewise, in Indonesia at the end of the
19th century, organizations developed rapidly. In this regard, there are various leadership styles
such as autocratic, democratic, militaristic, transformational, and transactional leadership. In
2012, Sharkey et al. formulated transglobal leadership. Leadership is the ability to influence a
group to achieve a predetermined vision or set of goals (Robbins, 2003). At the same time, the
community felt the need to establish cooperatives in both government agencies and private
cooperatives with the presence of cooperatives; the community has felt the role and benefits of
cooperatives in Indonesia, although with different degrees and intensities. Achievement
Cooperatives are cooperatives that outdo in achieving their performance both from
organizational aspects, management aspects, productivity aspects, and beneficial aspects. In this
case, the government determines the existence of cooperatives in Indonesia with Number: 06 /
Per / M. KUKM / V / 2006) through the Decree of the State Minister for Cooperatives and Small
and Medium Enterprises. In East Java, Cooperatives and SMEs contributed 53.04% (IDR
469.950 trillion) to East Java's GRDP (Office of Cooperatives and SMEs, 2018). Njotoprajitno
(2011) stated that what is dishonest in cooperatives is a human resource problem.
Anoraga (2008) argues that cooperative development must start from the leadership sector
where leaders need to be selected and developed for visionary, alertness, and responsiveness, to
be able to harmonize, motivate and empower the management, employees, and members of the
cooperative. Kartikandari (2002) posited that motivation has a positive effect on employee
performance. Cooperatives in Indonesia, especially cooperatives in South Sulawesi Province,
need leaders who can bring cooperative continuity and achieve goals. One of the good leadership
styles is transglobal leadership even though the leadership is still relatively new. Transglobal
leadership motivates employees so that employees are enthusiastic about working. Vogel (2011)
found that transglobal and transactional leadership influences motivation. This proves that
transglobal leadership can increase employees’ motivation so that transglobal leadership will be
able to influence and support the development of human resource competencies in organizations,
especially in cooperatives in Indonesia. Furthermore, cooperatives also need the presence of
leaders that can serve their members and employees according to the cooperative principles.
Transglobal leadership is expected to increase employees’ motivation/morale. Calmness,
coolness, beauty, trust, and harmony describes the existing leadership in the organization and the
culture that exists in the organization.

28
With a strong culture, the organization can survive and continue to improve employee
performance in the organization. Nystrom (1993) found that organizational culture and
organizational commitment impact employee performance. Likewise, Fey and Denison (2000)
found that organizational culture affects employee performance. However, if the organizational
culture is weak, it does not affect organizational commitment and employee performance. The
phenomenon that occurs in cooperatives in the city of Makassar, South Sulawesi Province is that
the management of cooperatives is not optimal because the skills and competencies of leaders
still need to be improved in managing human resources. In addition, employee rewards are still
low so that organizational commitment is also low which ultimately affects employee
performance. Employee performance is also related to organizational culture. If the
organizational culture and work culture is strong and upheld by employees, it can improve
employee performance. The organizational culture that is continuously applied in cooperative
organizations is also a basic human characteristic as a general characteristic of work culture in
Indonesia. According to Setyadi (2005), good work culture can accommodate conflicts in
cooperative organizations and will be a driving force for the creation of a productive work
process.
Although empirical research on transglobal leadership is still scarce, Drury (2004) proves that
there is a negative relationship between transglobal leadership and organizational commitment,
and

56

there is a relationship between transglobal leadership and organizational commitment.


Organizational commitment is a psychological condition that characterizes the relationship
between employees and the organization which has implications for the employee's decision to
continue or quit as a member of the organization (Meyer & Allen, 1991). Organizational
commitment is one of the factors that can affect the success of an organization facing an
increasingly complex environment. Employees who have high organizational commitment will
identify their interests with the interests of the organization, be seriously involved in work, and
have loyalty and affection for achieving organizational goals. Age and gender and education are
often determinants of organizational commitment (Becker, 1960). Employees over forty years of
age tend to have high organizational commitment because they are less likely to get jobs in other
organizations. Organizational commitment is related to employee performance. Research by
Wasti and Can (2008) revealed that organizational commitment has a significant effect on
employee performance, whereas if the organizational commitment is low it will reduce employee
performance.
Based on these descriptions, this study aims to analyze and explain the influence of
transglobal leadership on motivation, the effect of transglobal leadership on organizational
culture, transglobal leadership on organizational commitment, transglobal leadership on

29
employee performance, motivation on employee performance, organizational culture on
employee performance, and organizational commitment. on employee performance.
The originality of this study is that transglobal leadership is a leadership style suitable for
cooperatives, although the theory is still weak. Researchers conducted an empirical test of
leadership styles (transformational, transactional, and laissez-faire) in cooperatives that have
been carried out before, but research on transglobal leadership style which is associated with the
performance of cooperative employees is still rare. Therefore, researchers conducted more
comprehensive research on transglobal leadership and cooperative employee performance. The
mediating effect of the three variables, namely motivation, organizational culture, and
organizational commitment, also differentiates this study from previous studies.
Theoretically, Sharkey et al. (2012) state that these three variables should be contained in the
transglobal type of leadership, which transactional leadership does not yet have (Kartasasmita,
1996). Likewise, transformational leadership by Friedman and Macaulay (1969) which only sees
the aspect of the transaction system or the transformation between leaders and subordinates is
still local (scale). This has not taken into account the global aspects related to the broader public
interest. Thus, it can be concluded that the transglobal leadership theory needs to be applied to
cooperatives in Indonesia.
Transglobal leadership has a high level of intelligence both cognitive, moral, business,
cultural, global, and emotional, and is superior to some previous leadership theories
(transactional or transformational).Besides, there is a paucity of research that has examined the
effect of transglobal leadership on work motivation, organizational culture, organizational
commitment, and employee performance.

Literature Review Leadership


Pasolong (2008) argues that leadership is the ability to influence others through direct or indirect
communication to mobilize people with a sense of thoroughness and the ability to follow the
leader's wishes. Furthermore, Pasolong (2008) also states that the leadership function includes
two main areas, namely the achievement of organizational goals (i.e., initiation of support and
evaluation information arrangements) and the cohesiveness of the people they lead (i.e.,
encouraging, expressing feelings, harmonizing, compromising, and maintaining gates and
establishing gates standard). As time goes by, organizations develop and leadership varies as
Sharkey et al. (2012) analyze theoretical problems regarding transactional or transformational
leadership which are classified into local leadership types. In its early development, the
leadership style appeared in the form (version) of local which was unable to reach global
aspects. Therefore, Sharkey et al. (2012) construct a more global type of leadership known as
transglobal leadership. Transglobal leadership transcends cultural and national boundaries,
which is universal and contributes greatly to the spirit of humanity to change human civilization.
Transglobal leaders make people's lives more attractive, more beautiful, more prosperous, more
dignified, or better. A transglobal leader takes the idea and adapts to a new, wider, and more
complex environment. A transglobal leader is more likely to support and help define a unique
approach to work. Whereas local leaders do a good job of keeping a stable operation and

30
building like-minded teams that will achieve goals repeatedly and reliably. Furthermore, the
image of the transglobal leadership model can be seen in Figure 1:

Figure 1. Transglobal leadership model

Figure 1 explains the relationship between transglobal leadership behavior and organizational
success (in this case, employee performance). Sharkey et al. (2012) explain that transglobal
leadership styles have five characteristics, namely uncertainty resilience, team connectivity,
pragmatic flexibility, perspective responsiveness, and talent orientation that can increase
effectiveness and success. Thus, transglobal leadership will lead to better organizational
performance results. Theoretically, it illustrates strongly the evidence for the relationship
between transglobal leadership and employee performance.

Motivation
Motivation is a strong desire from a person that influences one's thoughts and behavior.
Maslow's motivation theory (2010) states that humans have five basic needs, namely: physical
needs (clothing, food, shelter, social and health needs). The need for security, social needs (love,
gathering, friends, need for self-esteem (respect and trust), and need for self-actualization)
develop their full potential
58

Robbins and Coulter (1993) define motivation as a process that produces intensity, direction,
and individual persistence to achieve a goal. With this motivation, a person will be able to
increase his efforts as much as possible, with the abilities they have, so that the achievement will
be maximized. Motivation is related to employee performance. Employee performance is a
function of ability, motivation, and opportunity (Robbins, 2003). Reliable performance cannot
only be achieved by ability alone but a combination of effort and ability (knowledge, skills,
training, etc.). In this study, the motivation was measured by indicators put forward in Luthans’s
(2002) study.

31
They include: valence, expectations, and instruments, with the following points: (1) The Valence
Indicator consists of Trust, True, and Comfort, (2) Expectation indicators consist of Activating,
Recognizing, and Enjoying, (3) Instrumental indicators consist of Wages/salaries, rules of
achievement awards, opportunities, and forms of appreciation.

Organizational Culture
Schein (1985, as cited in Luthans, 2002) argues that organizational culture is a common pattern
of assumptions that companies generally get when solving internal and external adjustment
problems, working quite well that are considered legitimate. Likewise, Robbins (2006) explains
that organizational culture is a system of shared meanings of primary values shared and valued
by organizations that function to create clear differences between one organization and another,
creating a sense of identity for organizational members. Also, organizational culture facilitates
collective commitment to the organization, increases the stability of the social system, creates
meaning-making, and controls mechanisms that guide, shape the attitudes, and behavior of
members of the organization.
Robbins (2006) emphasizes the existence of 10 key characteristics that are at the core of
organizational culture: Member identity, group emphasis, focus on people, unit integration,
control, risk tolerance, reward criteria, conflict tolerance, edge-to-edge orientation, and open-
focus systems. Robbins (2006) also explains the benefits of organizational culture, namely
limiting roles that differentiate between organizations, creating a sense of identity for members,
prioritizing common goals, and maintaining organizational stability. Likewise, Kotter and
Heskett (1992) stated that there are three types of organizational culture such as strong culture
and weak culture, harmonious and strategic culture, and adaptive and non-adaptive culture.
According to Robbins (2006), there are six dimensions of organizational culture, namely the
relationship with the environment, time orientation, human nature, activity orientation,
responsibility, and variations in the concept of space.
Cooperative is one of the economic organization forms that is currently growing rapidly in
Indonesia carrying multiple missions (social and economic) so that the organizational culture
that develops in the cooperative is also different from the organizational culture that thrives on
other forms of economic organizations such as SOEs and POEs (privately owned enterprises)
oriented to seek profit.

Organizational Commitment
Commitment is defined as "an employee level of attachment to some aspect of work" (Allen,
Meyer, & Smith, 1993). That is, organizational commitment is described as the level of
employee engagement in several aspects of work. Employment commitment can be classified
into three groups, namely: work/job commitment, career / professional commitment, and
organizational commitment to the organization.Organizational commitment is the psychological
bond that employees have in the organization related to the alignment of goals and values; the
organization which allows employees to stay in the organization. Organizational commitment is
a sense of identification, involvement, and loyalty displayed by employees to the organization or
organizational unit (Gibson, 1982). Likewise, Mowday et al. (1982) explained that

32
organizational commitment is a dimension of behavior that can be used to assess the tendency of
employees to survive as members of the organization
Organizational commitment is an attitude that reflects employee loyalty to the organization
and a continuous process where organizational actors express their concern for the organization
and their desire to be successful and prosperous (Luthans, 2001).The main theoretical
approaches emerge from previous research on organizational commitment, namely: the attitude
approach; according to the approach to organizational commitment, it shows the problems of
engagement and loyalty (Muthuveloo & Rose, 2005). Furthermore, Minner (1998) concluded
that four factors influence commitment, namely personal factors, job characteristics, structural
characteristics, and work experience. Meanwhile, Kanter (1999) suggested three forms of
commitment, namely (1) Continuance Commitment; commitment related to member dedication,
(2) Cohesion Commitment; member commitment to the organization as a result of social
relations with members and other members, and (3) Commitment Control; commitment of
members to the organization that directs member behavior to the desired goal.

Performance
Robbins (1993) states that employee performance is a function of the interaction between ability
and motivation. If the employee's ability is low, it will affect the employee's performance.
Likewise, Bernadin and Russel, (1993) explain six criteria that can be used to measure
individual/employee performance, namely quality, work results, the number of work results,
timeliness, costeffectiveness, ability to work, and ability to build work relationships. Another
definition states that employee performance is related to organizational goals such as quality,
efficiency, and several other criteria of effectiveness (Gibson, 1982).
Likewise, Soedjono (2005) mentions six criteria that can be used to measure individual
employee performance, namely quality, quantity, timeliness, effectiveness, independence, work
commitment, and employee responsibility to the organization. Employee performance is a
description of the level of achievement of the implementation of a program or policy in realizing
the goals, objectives, vision, and mission of the organization as outlined in the strategic planning
of an organization (Muheriono, 2012).

Method
This research is explanatory with a survey methodology. As shown in Table 1, the research
sample included 180 respondents from 42 cooperative units in government agencies of Makassar
city, South Sulawesi Province. The sampling was conducted using the stratified random
sampling method. Stratified Random Sampling is a sampling method in which a heterogeneous
population is divided into layers (strata) that are completely separated from each other, and from
each stratum, a random sample can be taken (Sugiyono, 2010). Table 2 presents the respondent's
data based on gender, age, educational level, and years of service.

60

33
Table 1
The Number of Respondents based on their Position in 42 Cooperative Units
Position Total Sample Calculations Total Samples
Manager 59 (59 / 418) x 180 25
assistant manager 70 (70 / 418) x 180 30
Staff 289 (289 / 418) x 180 125
TOTAL 418 180

Table 2
Respondents’ Demographic
Men Woma Total
n
Age 25-39 Years 56 33 89
40-50 Years 45 46 91
Educational stage Senior High School 79 49 128
Bachelor 28 24 52
Years of service >6 Years 36 29 65
7-15 Years 61 54 115

Data collection was carried out using the questionnaire method and interview method. The
questionnaire in this study was made directly by the researcher who adjusted to the conditions of
the cooperative under study. The items of the questionnaire consist of indicators of the constructs
(variables) under study, and instruments used to measure research variables using a Likert scale.
The constructs in the questionnaire include indicators as follows:
1. Transglobal Leadership Variables (X1) whose indicators include Uncertainty Resistance
(X1.1), Team Connectivity (X1.2), Pragmatic Flexibility (X1.3), Talent Orientation (X1.4).
2. Motivation Variables (Y1) with Valence Indicators (Y1.1), Expectation (Y1.2), Instrumental
(Y1.3).
3. Organizational Culture Variables (Y2) with indicators of uncertainty avoidance (Y2.1),
Masculine and feminine (Y2.2), Individualism and togetherness (Y2.3), Power distance
(Y2.4).
4. Commitment Variables (Y3) with indicators Desire (Y3.1), Willingness (Y3.2), Confidence
(Y3.3).
5. Performance Variables (Y4), with indicators measuring work results (Y4.1), work behavior
(Y4.2), personal characteristics (Y4.3).
The interviews were conducted by researchers through dialogues with respondents. The
interview was an unstructured interview which only contained an outline that would be asked
only about the conditions of the cooperative where the respondent worked. The results of this
interview would help researchers in seeing the conditions and developments of the cooperative.
In this study, data analysis was run employing Partial Least Square (PLS) approach. PLS is a
Structural Equation Modeling (SEM) equation model based on components or variants. PLS is
an alternative approach that shifts from a covariance-based to variant-based SEM approach.
First, the model determines the relationship between latent variables (structural model). Second,
the external model determines the relationship between latent variables and the measurement

34
model. Third, the weight relationship where the case value of the latent variable can be estimated
(Yasin et al., 2019) The main hypotheses of this research are as follows:
H1: Transglobal leadership has a significant effect on motivation.
H2: Transglobal leadership has a significant effect on organizational culture.
H3: Transglobal leadership has a significant effect on organizational commitment.
H4: Transglobal leadership has a significant effect on employee performance.
H5: Motivation has a significant effect on employee performance.
H6: Organizational culture has a significant effect on employee performance.
H7: Organizational commitment has a significant effect on employee performance.

Results and DiscussionEvaluation of Measurement (Outer) Model


The measurement model is a sub-model in SEM which is used to evaluate the quality of the
relationship between latency and its manifest variables. Confirmatory Factor Analysis (CFA)
itself is known as a statistical tool that is useful in finding the construct form of a set of manifest
variables or testing a variable on the manifest assumptions that construct it. So that confirmatory
analysis is used to test a variable theory on the manifest or indicators that build it, where the
variable is assumed to be measured only by these indicators (Ferdinand, 2002). CFA is a factor
analysis that is used with the aim of testing or empirically confirming the measurement model,
which aims to test whether the data built has the validity and reliability of the latent construct-
forming indicators. In Smart PLS, CFA is built from the validity test and Reliability test, so that
to find out whether the CFA is feasible or not, it can be seen from the value of the validity test
and the Reliability test which must meet the standards (Maruyama, 1998). The validity test itself
is seen from the Outer Loading, Cross Loading, Average Variance Extracted (Ave) values.
Meanwhile, the Reliability test is seen from the Composite reliability value and Cronbach’s
Alpha.

Validity Test
An indicator is declared valid if it has a loading factor above .5 against the intended construct.
Table 3 shows that the loading factor provides a value above the recommended value of .5. The
smallest value is .69 for the Avoidance of uncertainty (Y2.1) indicator. It means that the
indicators used in this study are valid or have met convergent validity. Figure 1 presents the
loading factor for each indicator in the research model.
Table 3
Result for Outer Loading
Transglobal Motivation Organizational Commitment Performance
Leadership Culture
Uncertainty resilience (X1.1 .74
Team Connectivity (X1.2) .87
Pragmatic Flexibility (X1.3) .70
Talent Orientation (X1.4) .76
Valence (Y1.1) .86
Expectation (Y1.2) .87
Instrumental (Y1.3) .87
Avoidance of uncertainty (Y2.1) .69

35
Masculine and feminine (Y2.2) .83
Individualism and togetherness (Y2.3) .80
Distance of power (Y2.4) .86
Desire (Y3.1) .83
Willingness (Y3.2) .80
Confidence (Y3.3) .86
Work result (Y4.1) .98
Work behavior (Y4.2) .98
Personal Traits (Y4.3) .63
Source: PLS data processing (2020)

62

Figure 2. SEM-Pls measurement model (outer model)

Furthermore, reflective indicators also need to be tested for discriminant validity by cross
loading as shown in Table 4. An indicator is declared valid if it has the highest loading factor for
the intended construct compared to the loading factor for other constructs. Table 4 shows that the
loading factor for the Transglobal Leadership indicator (X1.1 to X1.4) has a higher loading
factor for the Transglobal Leadership construct than other constructs. As an illustration, the
loading factor of Uncertainty resilience (X1.1) to Transglobal Leadership is .74 which is higher
than the loading factor of Valence (Y1.1) of .43, Avoidance of uncertainty (Y2.1) that is .21, and
Desire (Y3.1) of .42. The same is seen in other indicators. Thus, latent constructs predict
indicators on their block better than indicators on other blocks.
Table 4
Result for Cross Loading
Transglobal Motivation Organizational Commitment Performanc
Leadership Culture e
Uncertainty resilience (X1.1) .74 .14 .51 .47 .47

36
Team Connectivity (X1.2) .87 .53 .26 .44 .19
Pragmatic Flexibility (X1.3) .70 .39 .56 .31 .39
Talent Orientation (X1.4) .76 .39 .14 .22 .39
Valence (Y1.1) .43 .86 .12 .44 .37
Expetation (Y1.2) .21 .87 .14 .42 .47
Instrumental (Y1.3) .62 .87 .24 .45 .52
Avoidance of uncertainty (Y2.1) .21 .38 .69 .34 .53
Masculine and feminine (Y2.2) .43 .46 .83 .34 .15
Individualism and togetherness (Y2.3) .21 .53 .80 .33 .14
Distance of power (Y2.4) .31 .25 .86 .33 .19
Desire (Y3.1) .42 .38 .24 .83 .42
Willingness (Y3.2) .43 .48 .23 .80 .24
Confidence (Y3.3) .21 .53 .15 .86 .26
Work result (Y4.1) .42 .51 .21 .11 .98
Work behavior (Y4.2) .43 .54 .23 .45 .98
Personal Traits (Y4.3) .47 .46 .33 .54 .63
Source: PLS data processing (2020)
Another method to see discriminant validity is to look at the square root of the Average Variance
Extracted (AVE) value. The recommended values are above .5. As indicated in Table 5, the
AVE values are above .5 for all constructs contained in the research model. The lowest value of
AVE is .60 for the Motivation and Organizational Culture construct.
Table 5
Average Variance Extracted (AVE)
Average Variance Extracted (AVE)
Transglobal Leadership (X1) .73
Motivation (Y1) .60
Organizational Culture (Y2) .60
Commitment (Y3) .77
Performance (Y4), .89
Source: PLS data processing
(2020)
Reliability Test
A Reliability test is done by looking at the composite reliability value of the indicator block that
measures the construct. The result of composite reliability shows the required value if it is
above .7. The reliability test can also be strengthened with Cronbach's Alpha and the nested
value is above .6. Table 6 presents data on the value of Composite reliability and Cronbach's
Alpha from five indicators. As shown in Table 6, all the Composite Reliability and Cronbach's
Alpha values of all indicators meet the standards so that it can be concluded that all indicators
are reliable. Based on the results of the analysis of the validity test and reliability test, it can be
said that the CFA is feasible or the research model has good suitability.
Table 6
Composite Reliabilityand Cronbach’s Alpha
Composite Reliability Cronbach’s Alpha
Transglobal Leadership (X1) .82 .74
Motivation (Y1) .85 .77
Organizational Culture (Y2) .85 .76
Commitment (Y3) .93 .89
Performance (Y4), .97 .96
Source: PLS data processing (2020)

37
Structural Model Testing (Inner Model)
After the estimated model meets the Outer Model criteria, the next step is to test the structural
model (Inner model). Table 7 demonstrates the R2values of the constructs. As presented in Table
7, measurement of the endogenous variable, namely motivation (Y1) obtained R 2 of .50 or
50.89%. This shows that 50.89% of Motivation (Y1) is influenced by Transglobal Leadership
(X). Measurement of the endogenous variable, namely Organizational Culture (Y2) obtained R 2
of .67 or 67.50%. This shows that 67.50% of Organizational Culture (Y2) is influenced by
Transglobal Leadership (X) and Motivation (Y1). Measurement of the endogenous variable,
namely Commitment (Y3) obtained R2 of .70 or 70.50%. This shows that 70.50% Commitment
(Y3) is influenced by Transglobal Leadership (X), Motivation (Y1), and Organizational Culture
(Y2). Measurement of the endogenous variable, namely performance (Y4) obtained R2 of .77 or
77.50%.
This shows that 77.50% Performance (Y4) is influenced by Transglobal Leadership (X),
Motivation (Y1), Organizational Culture (Y2), and Commitment (Y3)
Table 7
R2 Results
R2
Transglobal Leadership
(X1)Motivation (Y1) .50
Organizational Culture (Y2) .67
Commitment (Y3) .70
Performance (Y4), .77
Source: PLS data processing (2020)

64

Thus, the predictive relevance (Q2) is obtained as follows:


Q2 = 1 – (1 – R12) (1 – R22) ... (1- RP2)
Q2 = 1 – (1 – 0.5089) (1 – 0.6750) (1 – 0.7050) (1 – 0.7750)
Q2 = 0.9894.
The calculation result shows the predictive-relevance value of .98 or 98.94%. The prediction
relevance score of 98.94% also shows that the diversity of data that can be explained by the
model is 98.94% or in other words, the information contained in the data is 98.94% can be
explained by the model. While the remaining 1.06% is explained by other variables (which are
not included in the model) and error. From the phenomena above, the model deserves to be said
to have a relevant predictive value.
Next is the structural model interpretation. The structural model presents the relationship
between the research variables. The structural model coefficient represents the magnitude of the
relationship between one variable and another. There is a significant effect between one variable
and another if the P-value < .05 or based on the T-Count value < T-Table. With the structural
model interpretation in Table 8, we can answer hypothesis testing and determine the significance
of the effect of exogenous variables on endogenous variables. SEM-PLS explains that the
hypothesis measures the significance by comparing the T-table and T-statistic values. If the

38
calculated T value is greater than the T table value, then the hypothesis is accepted. The
confidence level of 95 percent (or 5%; < .05) for the two-way hypothesis is > 1.96.
The coefficient value of the relationship between variables can be seen in Table 8. The results
indicated that Transglobal Leadership (X1) has a unidirectional and significant relationship to
Motivation (Y1), β = .21, t = 14.06 (t count > 1.96). Transglobal Leadership (X1) has a
unidirectional and significant relationship with Organizational Culture (Y2), β = .39, t = 47.06 (t
count > 1.96). Transglobal Leadership (X1) has a unidirectional and significant relationship with
the Organization of Commitment (Y3), β = .30, t = 35.22 (t count > 1.96). Transglobal
Leadership (X1) has a unidirectional and significant relationship with Employee Performance
(Y4), β = .22, t = 2.80 (t count> 1.96). Motivation (Y1) has a unidirectional and significant
relationship with Employee Performance (Y4), β = .44, t = 5.63 (t count> 1.96). Organizational
Culture (Y2) has a unidirectional and significant relationship with Employed Performance (Y4),
β =.56, t = 8.42 (t count> 1.96). Organizational Commitment (Y3) has a unidirectional
relationship with Employed Performance (Y4), β = .25, but it is not significant because the t-
count value is only 1.81 (t count <1.96).
Table 8
Path Coefficients (Mean, STDEV, T-Values)

Original Sample Standard T Statistics Informat


Sample Mean Deviation (|O/STDEV|) ion
(O) (M) (STDEV)
Transglobal Leadership(X1) Motivation(Y1) .21 .21 .05 14.06 Significant
Transglobal Leadership (X1) Organizational Culture(Y2) .39 .39 .02 47.06 Significant
Transglobal Leadership (X1) Organizational Commitment(Y3) .30 .31 .03 35.22 Significant
Transglobal Leadership (X1) Employee Performance(Y4) .22 .23 .13 2.80 Significant
Motivation (Y1) Employee Performance(Y4) .44 .45 .08 5.63 Significant
Organizational Culture (Y2) Employee Performance(Y4) .56 .56 .11 8.42 Significant
Organizational Commitment (Y3) Employee Performance(Y4) .25 .25 .14 1.81 Not Significant

Source: PLS data processing (2020)

Discussion Effect of Transglobal Leadership (X1) on Motivation (Y)


The results of the analysis show that Transglobal Leadership has a significant effect on
motivation. The positive coefficient indicates a one-way relationship. This means that the
increase in transglobal leadership (X) has a significant effect on increasing motivation (Y1), the
higher the transglobal leadership value (X1), the higher the motivation value (Y11).
The results of this study support the theory of Greenleaf's Transglobal Leadership (1970),
wherewith the main element serving others, leaders influence, encourage, and empower others to
do better. To realize empowerment, leaders must attract, not just encourage, because the power
that is drawn will strengthen and motivate employees. The findings of this study support the
empirical evidence of the model developed by Vogel (2011) wherein his thesis, it is proven that
the quantitative and qualitative approaches of transglobal and transactional leadership affect
motivation. Although it remains unanswered which of the two types of leadership, which are

39
applied appropriately to the public sector, can influence employee motivation, and how to
measure their motivation. However, Koh et al., (1995) found that there is a weak positive
relationship between transglobal leadership and normative commitment and normative
commitment has a positive effect on employee behavior and reactions but does not have a
significant effect on affective commitment.

Effect of Transglobal Leadership (X1) on Organizational Culture (Y2)


The results showed that Transglobal Leadership has a significant effect on Organizational
Culture. This means that the higher the value of Transglobal Leadership, the higher the value of
Organizational Culture.
This study supports and empirically proves Russell and Stone’s (2002) model that
organizational culture and employee attitudes can influence the effectiveness of Transglobal
Leadership and vice versa. If "serving" is done continuously and internalized in a group, it will
become a value that is understood and be able to direct employee behavior. The role of
Transglobal Leadership affects Organizational Culture related to organizational development and
change and touches on employee education and training activities so that employees have strong
cultural values, adaptive, and following the demands of the business world. This study also
supports the theory of Organizational Culture as the normative glue of Tichy (1982) that culture
has a very strategic role to encourage and increase organizational effectiveness, depending on the
leader. Leadership can develop various attitudes and behaviors that lead to a cultural
environment. Avolio and Bass (2004) explain that variations in attitudes and cultures stem from
different job ideas from different cultural-influenced leadership styles.

Effect of Transglobal Leadership (X1) on Organizational Commitment (Y3)


Based on the analysis, it is known that Transglobal Leadership has a significant influence on
Organizational Commitment. This means that the higher the value of Transglobal Leadership,
the higher the value of Organizational Commitment.
This study supports Agarwal (2013) who argues that behavior (as a strong component of
serving leadership) is closely related to Organizational Commitment. This study extends the
findings that there is a positive influence between leadership style and organizational
commitment. Bateman and
Strasser (1984) and Bono and Judge (2003) also expand their findings and prove that in the XYZ
66

organization in Malaysia there is a significant positive relationship between Transglobal


Leadership and Organizational Commitment. However, the findings of this study do not support
Drury (2004) who found that there is a significant negative relationship between Transglobal
Leadership and Organizational Commitment. Hernawati, A (2017) in her research proves that
there is no relationship between Transglobal Leadership and Organizational Commitment, but in
general, almost all literature proves a relationship between Leadership Style and Organizational
Commitment, possibly because of the belief that "employees who are highly committed to top
management will contribute big profits for shareholders".

40
Effect of Transglobal Leadership (X1) on Employee Performance (Y4)
Based on the results of the analysis, Transglobal leadership has a significant effect on employee
performance. This means that the higher the value of Transglobal Leadership, the higher the
value of employee performance.
These findings support Hall's (1996) statement that organizational leadership directly or
indirectly affects employee performance. The role of the leader will support the competency
process, and employee creativity, in the end, the employees will achieve their best performance
and develop. Cohen (1999) states that transglobal leadership is the ability to change a person to
grow, change to lead, including assessing the interrelated drive to meet the needs of employees
and respect them, so that transglobal leadership can improve employee and company
performance and company goals can be achieved better. This finding extends to Hayward (2005)
who found that there is a relationship between Employee Performance, Leadership, and
Emotional Intelligence in parastatal firms in South Africa.
In line with the behavioral typology of Astabrata leaders, it is fully related to transglobal
leadership intelligence. Leader's behavior follows the paths of the sun, moon, stars, wind, clouds,
fire, ocean, and earth; leaders must have a sixth intact intelligence such as cognitive intelligence
(IQ), emotional intelligence (EI), moral intelligence (SI), cultural intelligence (CI), business
intelligence (BI), and especially global intelligence (GI). Astabrata's elaboration and its
relationship with leadership intelligence are described as follows: (1) the path of the sun; the sun
is hot and full of energy. It provides the means of life. This means that every leader must be able
to encourage, give life, and give energy to society. This behavior requires SI, CI, and GI. (2)
Moon line; a beautiful moon can light up the darkness. That is, every leader must please and
enlighten his people in the dark; a leader who can shine in the dark serves as the moon in chaos
due to chaos. (3) The path of the star; apart from being beautiful, the star also provides a
compass, direction, and direction. This means that the leader must be a role model and guide. (4)
The path of the wind; the wind is everywhere, in every inch of the room. This means that leaders
must act carefully, decisively, and go out into the field to explore the lives of their subordinates.
(5) Overcast path; It means, scary, but once it rains there is a blessing. This means that a leader
must be authoritative but his actions must be beneficial for the lives of his people. (6) The path
of the fire; the fire is upright and capable of burning whatever is near it. This means that a leader
must be able to act fairly, have principles, be upright without discrimination. (7) Ocean routes;
wide and flat oceans. This means that a leader must have a broad view and be able to accept
problems and not feel hatred towards anyone. (8) Earth path; The earth is calm and holy. This
means that every leader must be able to function like the earth, which is to have a calm, honest
character and be willing to give gifts to subordinates who contribute.
Siagian (1985) regarding the type of leadership of Ki Hajar Dewantoro, the concept of
thinking about leadership includes three philosophies which can be said to have covered the
dimensions needed in leadership. Transglobal leadership thus includes all aspects, including the
leadership of the heart (heart character), head (head method), and hands (hand behavior). A
leader, like a regional leader in the public world, is also a team leader for his subordinates in the
organization, as a partner and director of global business for shareholders. Meanwhile, the three
leadership principles of Ki Hajar Dewantoro are as follows: Ing Ngarso Sung Tulodo (in the

41
front gives an example), Ing Madya Mangun Karso (in the middle of guiding), Tut Wuri
Handayani (behind is encouraging). Ki Hadjar Dewantara's first leadership principle was Ing
Ngarso Sung Tulodo; ahead is setting an example. A leader walks in front of the people they
lead towards the desired goal. The relationship between this principle and the five indicators of
leadership behavior number 1 and 2. The second principle is Ing Madya Mangun Karso. This
means that a leader must equip each member with the ability to recognize self-potential, the
ability to utilize, and the ability to learn to continue to increase their potential. In short,
leadership means inspiring, motivating, and encouraging oneself or fellow team members to
optimize their abilities. The third principle is Tut Wuri Handayani. A leader can be said to be
successful if the organization continues to show high achievement and performance even though
the leader is not physically present. Great leaders build organizations in such a way that they
continue to grow and develop on their own. Successful leaders are those who can become
leaders for the life and soul of the people they lead.

Effect of Motivation (Y1) on Employee Performance (Y4)


Based on the analysis, it is known that motivation has a significant effect on employee
performance. This means that the higher the motivation value, the higher the employee's
performance. The results of this study support the motivation and work environment that leads to
one's performance (Porter & Lawler, 1968) that a person will make choices with various
alternative behaviors and business levels based on the attractiveness that will be obtained as a
result. This study extends the findings of Sari and Ja'far (2010) which found a strong positive
relationship between Managerial Motivation and Managerial Performance. Empirically the
influence of the drive to work well and the freedom to use the means to complete work will
affect the ability of employees to complete work that is beneficial to the cooperative.

Effect of Organizational Culture (Y2) on Employee Performance (Y4)


Based on the analysis, it is known that organizational culture has a significant influence on
employee performance. This means that the higher the value of Organizational Culture, the
higher the value of Employee Performance. The organizational culture that develops and is well
organized within the company will affect increasing employee performance. If the organizational
culture must be changed, then the first thing an employee must do is to learn to modify the old
culture so that it can affect his performance. These findings also extend to Nystrom (1993),
Koesmono (2005), Kartiningsih (2007) who state that organizational culture affects employee
performance.

Effect of Organizational Commitment (Y3) on Employee Performance (Y4)


Based on the results of the analysis, it is known that organizational commitment has no
significant effect on employee performance. This means that each value of organizational
commitment will not affect the value of employee performance because employee salaries are
still low so that many employees who work in cooperatives look for companies with higher
salaries after they are
68

42
accepted in companies whose salaries are higher than the salaries in the cooperative, they leave
the office cooperative.
The results of this study differ from Blau's (1987) social exchange theory which states that
high affective commitment leads the organization to good performance with OCB employees.
The findings of this study differ from the theory of Meyer et al. (1989) that employees who are
wholeheartedly committed to organizational goals will dedicate their efforts to organizational
success. This research is also different from Brown and Leigh's (1996) statement that
organizational commitment is an ongoing process. Besides, individual experiences with
organizations are not in line with the findings of Rostini et al., (2020) which state that
competitiveness development is not sufficient to be able to improve performance, without
commitment. In general, a higher commitment will increase performance. However, Steers
(1977) found a weak relationship between commitment and performance.
The factors that cause organizational commitment not to have a significant effect on
employee performance are because some employees feel dissatisfied with their salaries so that
they easily quit and move (turnover intention) to work for other organizational jobs because
employees feel disadvantaged. According to Ramlawati et el. (2020), there are many reasons for
wanting to move (turnover intention) including the desire to get a better job. Among the factors
causing the desire of company employees to leave the workplace are external factors, such as
work environment, stress, and job satisfaction.

Conclusion
The results of seven hypothesis testing indicate that six hypotheses were confirmed and have a
significant effect: transglobal leadership on organizational culture, transglobal leadership
towards organizational commitment, transglobal leadership on employee performance,
motivation for employee performance, and organizational culture on employee performance. The
analysis revealed that one hypothesis was not supported as there was no significant effect of
organizational commitment on employee performance.
This research was only conducted in 42 cooperatives in government agencies in Makassar
City, South Sulawesi Province with 418 employees, so researchers should use longitudinal data
to enrich and deepen research as well as take other collaborative objects. Cooperative leaders
and administrators also need to pay more attention to relationships with customers, review
employee salaries and increase understanding of shared values and meanings, increase
understanding of aspects of work, and increase employee positive attitudes.
The contribution of this research is to test the performance of cooperative employees in
Makassar City, South Sulawesi Province. The existence of cooperatives in Indonesia can be felt
because they can help cooperative members provide both in the form of money and goods
needed by their members. Without a cooperative in a government agency, employees will find it
difficult if they need loans in the form of money and goods needed by employees. This study
found that organizational commitment has no significant effect on employee performance. This
means that the management of cooperatives at government institutions in Makassar City is not
optimal, especially the payroll system which is still low so that it affects organizational
commitment which in turn affects employee performance. Low organizational commitment can

43
affect turnover intention because employees are dissatisfied with organizational rewards so that
it affects employee performance. The results of our interviews with respondents indicate that the
salaries of cooperative employees are still minimal, which causes low organizational
commitment.
To improve employee performance in cooperative units in government agencies in the city of
Makassar, it is not enough if the leadership only motivates subordinates, treats them as whole
individuals, and respects the caring attitude of subordinates to the organization without providing
adequate rewards. But leaders must also be able to find ways for employees to survive and be
loyal to the organization.

References
Agarwal, U. A. (2013). Examining the impact of social exchange relationships on innovative work behavior. Team
Performance Management,20(3), 102–120.
Allen, N. J., Meyer, J. P, & Smith, C. (1993). Commitment organizations and occupations: Extension and test of a
threecomponent conceptualization. Journal of Applied Psychology,87, 538–551
Anoraga, P. (2008). Koperasi, kewirausahaan dan usaha kecil [Cooperatives, entrepreneurship and small business]. Jakarta:
Rineka Cipta.
Avolio, B. J., & Bass, B. M. (2004). Multi-factor leadership questionnaire, manual and sampler set. (3rd ed.). Mind Garden,
Inc
Bateman, T. S., & Strasser, S. (1984). A longitudinal analysis of the antecedents of organizational commitment. Academy of
Management Journal, l27, 95–112.
Becker, H. S. (1960). Notes on the concept of commitment. American Journal of Sociology, 66, 32–40
Bernadin, H. J., & Russel, J. E. A, (1993). Human resource management: An experiential approach. USA: McGraw-Hill. Inc
Blau, G. J., & Boal, K. B (1987). Conceptualizing how job involvement and organizational commitment affect turnover and
absenteeism. Academy of Management Review, 12(2), 288–300.
Brown, S. P., & Leigh, T. W (1996). A new look at psychological climate and its relationship to job involvement, effort, and
performance. Journal of Applied Psychology, 81(4), 358–368.
Bono, J. E., & Judge, T. A (2003). Self-concordance at work: Toward understanding the motivational effects of transglobal
leaders. Academy of Management Journal,46(5), 554–571.
Cohen, A (1999). Relationship among five forms of commitment: An empirical assessment. Journal of Organizational
Behavior, 20(4), 285–308.
Drury, S. (2004), Employee perceptions of transglobal leadership: comparisons by level and with job satisfaction and
organizational commitment (Unpublished doctoral dissertation). Regent University, Indiana.
Ferdinand., A. (2006). Structural equation modelling dalam penelitian manajemen [Structural equation modeling in
management research]. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Fey, C. F., & Denison, D. N. (2000). Organizational culture and effectiveness: The case of foreign firms in Russia and Sweden.
Working Paper Services in Business Administration,4(5), 32–44.
Friedman, L. M., & Macaulay., S. (1969). Law and the behavioral sciences. New York: The Bobbs-Merill Company.
Gibson, J. (1982). Organization, behaviour, structure, processes. New York: McGraw Hill Inc.
Greenleaf, R.K. (1970). The servant as leader. Indianapolis: The Robert K Greenleaf Center.

44
Hall, J. (1996). The competence connection: A blueprint for excellence. Woodlands: Woodstead Press.
Hayward, B. A. (2005). Relationship between employee performance, leadership and emotional intelligence in a South
African parastatal organisation (Unpublished master’s thesis). Rhodes University, Grahamstown.
Hernawati, A., & Nasharuddin (2017). Implementation of quality of work life dan keterlibatan pekerjaan berbasis transglobal
leadership sebagai upaya strategi pencapaian optimalisasi kinerja karyawan [Implementation of quality of work life and
transglobal leadership-based job involvement as strategic efforts to achieve employee performance optimization]. Journal of
Research in Economics and Management, 17(2),163–177.
Kanter, R. (1999). Managing change - the human dimension. Boston. MA: Goodmeasure.
70

Kartasasmita, G. (1996). Pembangunan untuk rakyat: Memadukan pertumbuhan dan pemerataan[Development for the people:
Integrating growth and equalization]. Jakarta: CIDES
Kartikandari, D. (2002). Pengaruh motivasi, iklim organisasi, EQ dan IQ terhadap kinerja karyawan: Studi kasus DPU dan
setda kabupaten bantul [Influence of motivation, organizational climate, EQ and IQ on employee performance: A case study
of DPU and Regional Secretariat of Bantul district]. Sinergi, 4(2), 41–48.
Kartiningsih. (2007). Analisis pengaruh budaya organisasi dan interaksi kerja terhadap organisasi dalam meningkatkan
kinerja karyawan [Analysis of the influence of organizational culture and work interactions on the organization in improving
employee performance](Unpublished doctoral dissertation). Universitas Diponegoro, Semarang
Koesmono, H. T. (2005). Kepuasan kerja serta kinerja karyawan pada sub sektor industri pengolahan kayu skala menengah di
jawa timur karyawan[Job satisfaction and employee performance in the medium-scale wood processing industry sub-sector
in East Java]. Jurnal Puslit Universitas Kristen Petra Surabaya, 6(2), 163–175.
Koh, W. L., Steers, R. M., & Terborg, J. R. (1995). The effects of transglobal leadership on teacher attitudes and student
performance in Singapore. Journal of Organization Behavior, 8, 319–333
Kotter, J. P., & Heskett J. L. (1992). Corporate culture and performance. New York: The Free Press.
Luthans, F. (2001), Organizational behavior (9th ed.). Boston: McGraw Hill.
Luthans, F. (2002). Organizational behavior (7th ed.). New York: McGraw-Hill.
Maruyama, G. M. (1998). Basic of structural equation modeling. Thousand Oaks: Sage Publications.
Maslow, A. H. (2010). Motivation and personality. Jakarta: Rajawali.
Meyer, J. P., Paunonen, S. P., Gellaty, I. R., Goffin, R. D., & Jackson, D. N. (1989). Organizational commitment and job
performance: It’s the nature of the commitment that counts. Journal of Applied Psychology,74(8), 152–156.
Meyer, J. P., & Allen, N. J. (1991). A three-component conceptualization of organizational commitment . Human Resource
Management Review, 1,61–89.
Minner. (1998). Organizational behavior: Performance and productivity. New York: Random House Inc.
Mowday, R. T., Porter, L. W., & Steers, R. M. (1982). Employee organizational linkages: The Psychology of commitment,
absenteeism and turnover. New York: Academic Press.
Muheriono, M. (2012). Pengukuran kinerja berbasis kompetensi [Competency-based performance measurement]. Bandung: PT
Rajagrafindo Persada.
Muthuveloo, R., & Rose, R. C. (2005). Typology of organizational commitment. AmericanJournal of Applied Science, 296,
1078– 1081.
Njotoprajitno, R. S. (2011). Peran kepemimpinan, kompetensi sdm, dan pengelolaan manajemen dalam meningkatkan daya
saing koperasi di Indonesia [The role of leadership, human resources competence, and management in increasing the
competitiveness of cooperatives in Indonesia]. Universitas Kristen Maranatha Bandung.
Nystrom, P. C (1993). Organizational cultures, strategies, and commitments in health care organizations. Health Care Manage
Review, 18(4), 43–49.

45
Office of Cooperatives and SMEs. (2018). 2018 Performance Report. Surabaya: Office of Cooperatives and SMEs, East Java
Province.
Pasolong, H. (2008). Kepemimpinan birokrasi [Bureaucratic leadership]. Bandung: CV, Alfabeta.
Porter, L. W., & Lawler, E. E. (1968). Behavior in organizations. New York: McGraw-Hill Inc.
Ramlawati., R., Trisnawati, E., Yasin., N., & Kurniawaty, K. (2020). External alternatives, job stress on job satisfaction and
employee turnover intention. Management Science Letters, 11(2), 511–518
Robbins, S. P. (2003). Organisational behaviour: Global and South African perspective. Englewood Cliffs: Prentice Hall.
Robbins, S. P., & Coulter, M. (1993). Organizational behavior concepts controversies, and applications. New Jersey: Prentice
Hall International, Inc.
Robbins, S. P. (2006). Perilaku organisasi [Organizational behavior]. Jakarta: Salemba Empat.
Rostini, R., Souisa, W., Masmarulan, R., & Yasin, N. (2020). Competitiveness development, learning orientation,
entrepreneurial commitment and business performance in the silk industry. Management Science Letters, 11(3), 903–908.
Russell, R. F., & Stone, A. G. (2002). A review of transglobal leadership attributes: Developing a practical model. Leadership
and Organization Development Journal,23(3), 145–157.
Sari, A. R., & Ja’far, M. S. (2010). The impact of target setting on managerial motivation and performance. Paper presented at
Simposium Nasional Akuntansi XIII. Universitas Jendral Soedirman Purwokerto.
Setyadi, D. (2005). Pengaruh komitmen organisasi dan budaya kerja serta strategi kompetitif dan partisipasi anggota
terhadap motivasi kerja koperasi di provinsi kalimantan timur. [The influence of organizational commitment and work
culture as well as competitive strategies and member participation on the work motivation of cooperatives in the province of
East Kalimantan] (Unpublished doctoral dissertation). Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
Sharkey, L. D., Razi, N., Cooke, R. A., & Barge, P. A. (2012). Winning with transglobal leadership: How to find and develop
top global talent to build world-class organizations. New York: McGraw Hill Professional.
Siagian, S. P. (1985). Organisasi kepemimpinan dan perilaku adminstrasi [Organizational leadership and administrative
behavior]. Jakarta: CV Haji Mas Agung.
Soedjono. S. (2005). Pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja organisasi dan kepuasan kerja karyawan pada terminal
penumpang umum di Surabaya [Organizational leadership and administrative behavior].Manajemen dan Usahawan
Indonesia, 7(1), 37–58.
Steers, R. M. (1977). Antecedents and outcomes of organizational commitment. Administrative Science Quarterly,22(5), 46–
56.
Sugiyono, P. (2010). Metode penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D [Educational research methods
with quantitative, qualitative, and R&D approaches]. Bandung: Alfabeta
Tichy, N. M. (1982). Managing change strategically: The technical, political, and cultural keys. Organizational Dynamics
(Autumn), 59–80.
Vogel, D. (2011). How to motivate public employees? Focusing on leadership as an important motivational factor . Paper
presented at the Annual Conference of EGPA, Romania.
Wasti, S. A., & Can, Ö. (2008). Affective and normative commitment to organization, supervisor, and coworkers: Do
collectivist values matter? Journal of Vocational Behavior, 73(3), 404–413.
Yasin, N. A., Ridjal, S., & Jjufri, M. (2019). Human capital and entrepreneurship and their impact on the productivity of
traditional craftsmen. Revista ESPACIOS, 40(04), 8–20.

46
International Journal of Organizational Leadership6(2017) 456-469

INTERNATIONAL JOURNAL OF INDUSTRIAL


ORGANIZATIONAL LEADERSHIP MANAGEMENT
WWW.AIMIJOURNAL.COM INSTITUTE

A Critical Review of Implicit Leadership


Theory on the Validity of
Organizational Actor-National Culture
Fitness

Alperen Öztürk1*, M. Abdülkadir Varoğlu2, Demet Varoğlu3


1, 2
Baskent University, Faculty of Economics and Administrative Sciences
2 TOBB University of Economics and
Technology, Faculty of Economics and
Administrative Sciences

ABSTRACT

Keywords:
According to implicit leadership literature, actor-national culture fitness is a necessity to
Leadership, National be labeled as a leader. However, studies which focus on implicit leadership theory and
Culture, Implicit national culture have some contradictory findings. A systematic review of these studies
Leadership Theory reveals that participants could score high on opposite implicit leadership values and a
sufficient
theoretical explanation for these surprising results have not been given so far. This paper
argues that showing full harmony with the cultural expectations of followers is not a
Received
necessity to be seen as a leader. Actors who can fill the cultural gap with their different
02 December 2016
cultural values can also be labeled as leaders. This paper contends that organizational
Received in revised form actors with cultural values differing from those of the followers with certain cultural
01 November 2017 orientations are more likely to be labeled as leaders. People from individualistic
Accepted societies may be more prone to label ‘team oriented leadership’ dimension as their
24 November 2017 outstanding leadership prototype whereas

people from masculine societies may show ‘humane oriented leadership’ as their

47
outstanding
Correspondence: leadership prototype.
alperen@baskent.edu.tr
©AIMI Journals

This study reevaluates that the notion of “implicit leadership prototype-national culture
fitness must be ensured for becoming a leader on followers’ minds” (Bass, 1997; Byrne &
Bradley 2007; Dorfman et al., 2012; Javidan, Bullough, & Dibble, 2006; Pasa, Kabasakal,
& Bodur, 2001; Ronen &Shenkar, 1985; Shim & Steers, 2012; Smith et al., 1989). Culture
studies generally focus on a vast majority of population for determining dominant cultural
values. However, focusing only on majority may cause some problems. Every single
individual may not adopt the same cultural values like the rest of the majority. People who
live in same country may hold very different or opposing cultural values. These different
people may find some opportunities to turn into leaders through the cultural constraints
(Hofstede, 1993). Culture directs people to favor some specific organizing and working
models over others in organizations (team work vs individual work). Turbulent and
uncertain work conditions may cause unusual problems. Different viewpoints may be
needed for finding solutions to this kind of problems. If culturally different actors solve
problems with their social skills, they may be assumed as leaders by employees. On the
other hand, leadership recognition and acceptance process may not have the same
momentum among different cultures. Some cultures may be more open to distinctness and
they may approve leadership of different actors more quickly. Employees who embrace one
pole of culture may be in need of a different kind of leadership. Highly individualistic
people may want to work with team oriented leaders. Highly masculine oriented people may
prefer humane leadership in organizations.

Leadership
Even though leadership literature is getting richer every day, in this regard, it is still hard to
define leadership or determine the main characteristics of leaders. Some researchers treated
leadership as a context dependent phenomenon (Smircich & Morgan, 1982; Summerfield,
2014). According to Smircich and Morgan (1982) leadership is embedded in the
environment and beholder’s observations convert an actor to a leader. Kotter (2001) argues
that the main job of a leader is to manage and to execute organizational change. Classic
leadership definitions involve a particular environment, extraordinary leader behaviors,
goals, and leader–follower interactions (Day & Antonakis, 2012; Horner, 1997). However,
Day and Antonakis (2012) criticize these definitions for being too much leader-centric.
Instead of trying to define leadership, reviewing leadership literature and examining
evolution of leadership paradigms may be more helpful for a better understanding of this
concept.
Leadership literature has divergent and contesting paradigms (Day & Antonakis, 2012).
These paradigms are trait-personality, behavioral, contingency (situational), interpersonal

48
leader-member relations, transformational-transactional, neo charismatic, information
processing (implicit leadership), culture dependent, biological-evolutionary, and globally
thinking leadership theories (Day et al., 2014; Day & Antonakis, 2012; Dinh et al., 2014;
Horner, 1997; House & Aditya; 1997; Javidan et al., 2016; Mathews, 2016; Mortensen et
al., 2014).The main purpose of the first leadership paradigm, trait school of leadership (Day
& Antonakis, 2012; Dinh et al., 2014; House & Aditya 1997; Mortensen et al., 2014), is to
specify the great leaders, then, deeply examine these leaders and discover their great traits
(Horner, 1997).Researches conducted within the trait school of leadership have failed to
identify universal leadership characteristics which would be valid in any cultural context
(Northouse, 2010).Nowadays, the trait paradigm seems to be obsolete, even though it is not
completely abandoned.
Second important leadership paradigm is the behavioral leadership theory (Derue,
Nahrgang, Wellman, & Humphrey, 2011). In this framework, leadership can be defined as
the actor’s functional behavior which effects all others positively in an organization (Bowers
& Seashore, 1966). Generally, behavioral leadership theory tries to discover and classify
actions which leaders use for effectiveness (Derue et al., 2011). The third leadership school
is contingency theory (Day & Antonakis, 2012; Dinh et al, 2014; House & Aditya, 1997).
With contingency theory, researchers have shifted their focus from actor to situation (Hill,
1969; Justis, 1975). Contingency theory is about matching leadership styles with contingent
factors (Campbell, 1968). Most known forms of contingency theory can be listed as path-
goal theory (House, 1971), situational leadership theory and life cycle theory (Dinh et al.,
2014; House & Aditya, 1997). Even though theories like situational leadership brought new
insights to leadership studies, they cannot completely explain the leadership concept. Graeff
(1983) heavily criticized situational leadership theory for having internal consistency
problems and a lack of theoretical explanations. Vecchio (1987) asserted that situational
leadership theory only works on certain types of employees. Blank, Weitzel, and Green
(1990) also could not find empirical support for situational leadership theory’s prescriptions.
After the disputes concerning contingency school, more social and relational theories have
emerged in the field of leadership. Social and relational leadership theories can be thought
as the fourth paradigm of leadership. One of the most prominent social-relational leadership
theory is leader-member exchange theory (LMX) (Dinh et al., 2014). LMX theory focuses
on dyadic and continuous interactions between two parties or two partners (Graen & Uhl-
Bien, 1991) Brower, Schoorman, and Tan (2000) shortly explain that leaders work with
some followers more closely, and in return these particular followers are more likely to trust
their leaders, comply with their orders, and work intensively.
Fifth major leadership paradigm is neo charismatic (new leadership) leadership theory
(Bass, 1997; Day & Antonakis, 2012; Dinh et al, 2014). Transactional/transformational
leadership is an important subject in this leadership paradigm (Bass, 1997). Transactional
leadership is about managing and monitoring followers with a sanction-reward mechanism
(Antonakis, Avolio, & Sivasubramaniam, 2003; Bass, 1997). On the other hand,
transformational leaders have proactive personality; they set higher goals and have concerns

49
about collective interests (Antonakis et al., 2003; Horner, 1997). Transformational
leadership is more suitable to organizations which require continuous creativity (Shin &
Zhou, 2003). However, all five leadership paradigms are relatively old and some of their
implications may no longer be effective at contemporary work environments (Metcalfe &
Metcalfe, 2005). According to Hutchinson and Jackson (2013), these theories did not give
enough attention to dark and undesired leadership behaviours. Main claims of these
paradigms may not be suitable for young workers (Anderson, Baur, Griffith, & Buckley,
2017). For instance, it is argued that the concept of authentic leadership may have some
pitfalls (Algera & Wiersma, 2012). Contemporary work conditions may force authentic
leaders to dismiss their key values and virtues (Algera & Wiersma, 2012).
Currently, leadership studies are focusing on sequential events in a particular setting
(Broome & Hughes, 2004). Besides, researchers generally limit the scope of their study into
one leadership dimension and they commonly overlook effects of other leadership
paradigms on the phenomenon. However, leadership studies have to embrace a more
comprehensive approach. Leadership may be more relevant with consciousness, awareness,
cognition, thoughts, information processing, and labeling. This comprehensive approach
brings us to implicit leadership theory.

Implicit Leadership Theory


Classic leadership theories deal with leaders’ prominent behaviors meanwhile implicit
leadership theory tries to explore tacit cognitive framework of leadership (Ling, Chia, &
Fang, 2000). Leadership may be hidden in the cognitive exchange process between leader
and followers (Konrad, 2000). Implicit leadership theory highlights cognitive schema and
cognitive map (Lim, Othman, Zain, & Pengiran, 2012). Leader has to fit cognitive
expectations of followers (Lim et al., 2012). At the end of the cognitive matching process,
the actor will be labeled as a leader (Lim et al., 2012). Ideal cognitive leadership traits,
attributes and behaviors about the leader may be originated from socialization (Nonaka,
Toyoma, & Konno, 2000) and past experiences (Epitropaki & Martin, 2004, 2005;
Epitropaki, Martin, Tram-Quon, & Topakas, 2013). These specific qualities constitute a
superset called cognitive leadership prototype (Epitropaki & Martin, 2004, 2005; Epitropaki
et al., 2013; Fraser & Lord, 1988).Cognitive prototypes provide a simplified image of a
leader which highlights prominent leader characteristics for perceiver thereby expediting
decision making process and helping the actor to easily recognize the leader (Fraser &Lord,
1988; Phillips & Lord, 1986).Junker and Dick (2014) divided prototypes into two
categories, namely norm of prototype and valence of prototype. Norm of prototype
represents typical-ideal prototypes of leadership and valence of prototype refers to positive
or negative perceptions about leadership prototype (Junker & Dick, 2014). Leader’s specific
actions, behaviors and attitudes cause followers to consult their prototypes (Cronshaw &
Lord, 1987). At the first cognitive stage, followers quickly label a person as “leader” or “not
leader”; then, they regulate their behaviors according to this initial decision (Phillips &

50
Lord, 1986). When prototype-leader fitness has been ensured, followers do not ask about the
leader’s authority for a long time (Cronshaw & Lord, 1987).
Implicit leadership theory is concerned with a labeling process, but the problem is “who
will be labeled as a leader?” In this respect, the work of Kenney, Blascovih and Shaver
(1994) is of great importance for this paper. According to Kenney et al. (1994), an actor
who has different qualities than other group members may also be seen as a leader. This
means having distinctive characteristics can make a person a leader in the beholders’ eyes.
Kenney et al. (1994) emphasized that followers give leadership title to an actor who can
make a difference. Making differences may require having different view of life or having
different cultural values.

Culture and National Culture


Culture has become a very complex research area in organization studies because of the
interpretation differences among researchers (Leidner & Kayworth, 2006). Hofstede,
Hofstede, and Minkov (2010) and Hofstede, Jonker, and Verwaart (2012) defined culture as
software of the mind which determines unwritten rules of the social game. Culture
originated from survival styles of societies and it helps to distinguish one community from
another (Hofstede, Pedersen, & Hofstede, 2002). Culture can be conceptualized as shared
and constructed collective meaning systems at the group level (Fischer, 2009; Lazear, 1999;
Minkov & Hofstede, 2014). According to Steers, Meyer, and Sunchez-Runde (2008) culture
is embedded into social structure of society and its informal rules are followed
unconsciously by the majority of society. These informal rules can be learned and passed
down with minor changes from generation to generation through time (Steers et al., 2008).
Hofstede et al. (2010) disintegrate the concept of culture and sort its components from
deepest to shallowest as values, rituals, heroes, and symbols. Values rest at the deepest level
and they are extremely resistant to change (DeLong& Fahey, 2000). Trompenaars and
Hampden-Turner (1998) divided culture into layers. In the core of the culture there are basic
assumptions (implicit); on the middle layer there are norms and values and the outer layer is
comprised of artifacts and products (Trompenaars & Hampden-Turner, 1998). Hofstede et
al. (2012) mentioned that culture is unconscious shared systems of values. On the other
hand, culture may have a more cognitive and schematic structure. According to DiMaggio
(1997), culture has a deep, complex, and implicit structure. Actors use culture as a cognitive
schema and this cognitive map mostly manages the decision making process (DiMaggio,
1997). In this way, there may be a relation between cognitive cultural maps and cognitive
leadership schemas. In order to relate culture and implicit leadership theory within an
alternative perspective, national cultureleadership studies should be examined.
National culture is a very divergent research area. Researchers have tried to build
relationship between national culture and other variables. National culture has been related
to corporate social responsibility (Peng, Dashdeley, & Chih, 2014), personality and
persuasibility (Chu, 1966), first impression bias reduction (Fang & Rajkumar, 2013),
international business (Leung et al, 2005), fairness in inter-organizational relationships

51
(Lund, Scheer, & Kozlenkova, 2013), organizational learning culture (Skerlavaj, Su, &
Huang, 2013), management practices (Newman & Nollen, 1996) and information
technology with organizational culture (Leidner & Kayworth, 2006).Nevertheless, main
focus of this study is the relationship between national culture and leadership. The field of
management and organization has a rich literature concerning the relationship between
national culture and leadership (Bass, 1997; Byrne & Bradley, 2007; Dorfman et al., 2012;
Pasa et al., 2001; Ronen & Shenkar, 1985; Shaw, 1990; Shim & Steers, 2012; Smith et al.,
1989; Suliman & Moradkhan, 2013).
This paper evaluates national culture within Hofstede’s (1980, 1983) famous cultural
framework. Systematic review approach is embraced for answering the main research
question. The aim of the systematic review method is to answer a well-defined research
question via comprehensive literature review. In systematic review studies, researchers have
to explain article selection criteria. In this respect we followed a multi-stage process. First,
we collected the most cited papers which focused on implicit leadership theory and national
culture. We also reviewed Turkish literature on this subject and added the most cited studies
to our collection. We analyzed findings of these papers and separated them into two
categories: Category A consists of articles which were found to show an exact match
between preferred leadership values and dominant national culture. Category B consists of
studies which failed to identify an exact match between preferred leadership values and
national culture on each research hypothesis. Then, we focused on Category B and realizing
that researchers were not able to provide theoretical assertions for previously mentioned
findings, we searched for a theoretical explanation for those results. At the end of our
systematic analysis we discovered a particular pattern in these studies. In the following
section we make an attempt at establishing a theoretical basis for that pattern.
Hofstede (1980, 1983) defined four main cultural dimensions as power distance,
uncertainty avoidance, individualism-collectivism, and masculinity-femininity. We will
focus on individualism and masculinity dimensions to explore the gaps between implicit
leadership theory and national culture. In collectivistic cultures society consisting of
multilayered, interwoven social groups, every person is obligated to faithfully look after
other group members (Hofstede, 1980, 1983; Mooji & Hofstede, 2002; Oyserman, Coon, &
Kemmelmeier, 2002). On the contrary, individualistic people give emphasis to their private
life and their immediate environment (Hofstede, 1980, 1983). Individualistically oriented
people live their life without binding local groups and communities (Veiga, Floyd, &
Dechant, 2001). Social context may be more inhibitive for people who live in collectivistic
societies. As for feminine culture, it can be a care oriented society and masculine culture
can be explained as an achievement oriented society (Hofstede et al., 2002). Masculine
people strive for reputable jobs with high salaries and they are used to deal with competitive
work environments (Hofstede et al., 2010). Feminine people prefer warm, relation oriented,
nurturing work environments (Hofstede et al., 2010).

National Culture and Implicit Leadership Theory

52
This study questions whether organizational actors with different cultural values can be
accepted as leaders by employees. In terms of national culture, people may accept a person
as a leader who is most matched with cultural values. Nevertheless, every employee may
not expect a complete cultural fitness from his/her leader. Some people may think that: “the
leader should be different than the rest of us”. In this respect, the person who has different
cultural values may be labeled as a leader. Most of the leadership-culture studies
recommend that leader should be coherent with dominant national cultural values (Bass,
1997; Byrne & Bradley, 2007; Dorfman et al., 2012; Javidan, Dorfman, De Luque, &
House, 2006; Pasa et al., 2001; Ronen & Shenkar, 1985; Shim & Steers, 2012; Smith et al.,
1989; Suliman & Moradkhan, 2013; Tabak, Kızıloğlu, & Türköz, 2013). For example, Pasa
et al. (2001) conducted a leadership research on Turkish subjects and they found that most
prominent national cultural value is collectivism and it affects paternalistic, considerate,
laissez-faire leadership behaviors. Tabak et al. (2013) developed an implicit leadership scale
in Turkey and their dimensions (personal morality, skillfulness, sensitiveness, power, and
impressiveness) are also compatible with prominent national cultural values of Turkey.
Dorfman et al. (2012) asserted that actors who meet the cultural expectations and demands
of followers are the most effective leaders. According to Byrne and Bradley (2007) leaders
should embrace pluralistic (culturally) leadership styles. Leaders should be aware of cultural
differences and try to adapt to the local context (Byrne & Bradley, 2007). Actor-national
culture fitness looks strong up till now. People may want to share common cultural values
with their leader and the best representative of national culture may be labeled as a leader in
organizations, but some studies found surprising results.
Epitropaki and Martin (2004) developed an implicit leadership scale on British subjects.
They specified four leadership prototypes (sensitivity, intelligence, dedication, and
dynamism) and two anti-leadership prototypes (tyranny and masculinity);furthermore,
sensitivity (helpful, understanding and sincere) was the most prominent factor. The factor of
sensitivity may not be fully compatible with the masculine and individualistic national
culture of Great Britain (Hofstede, 1980,1983; Hofstede et al., 2010) but people of Great
Britain assumed sensitivity as a leadership prototype.
Ling, Chia, and Fang (2000) tried to find out Chinese implicit leadership prototypes.
Ling et al. (2000) stated four major prototypes as personal morality, goal efficiency,
interpersonal competence, and versatility. Most of the factors were matching with Chinese
national culture, especially interpersonal competence was highly related with collectivism;
however, some aspects of goal efficiency resembled to masculine cultural values like
fortitude, decisiveness, competence, and being scientific (Ling et al., 2000).
Holmberg and Akerblom (2006) examined implicit leadership prototypes of Swedish
people. They found that team-oriented, participative and autonomous leadership styles are
extremely desirable in Sweden (Holmberg & Akerblom, 2006). Leaders in Sweden should
be capable of bringing individuals together and create efficient working groups (Holmberg
& Akerblom, 2006). Despite Sweden’s individualistic orientations (Hofstede, 1980, 1983),
people of Sweden give great emphasis to team spirit and work groups (Holmberg &

53
Akerblom, 2006). In this respect, a collectivistically oriented actor may be perceived as a
leader on people’s minds through his/her relational management skills.
Abdala and Al-Hamoud (2001) explored implicit leadership prototypes in the Arabian
Gulf states. Their results are mostly congruent with Arabian national culture, but their
interviews with some Kuwaiti people highlighted the importance of boldness and courage
on leadership (Abdala & Al-Hamoud, 2001). Therefore, it would not be impossible to find
people who have high femininity to expect more masculine behaviors from the leader.
Bauer (2015) identified Slovak implicit leadership theories within the scope of the Globe
research. Benevolent paternalistic team leader factor was found as one of the most important
prototypesfor Slovakian people (Bauer, 2015). Slovakia has moderate individualistic and
highly masculine national culture (Hofstede, 1980, 1983; Hofstede et al., 2010) but it looks
like these people appreciate benevolent and paternalistic behaviors. Bauer (2015)
highlighted excessive numbers of “family organizations” (most common form of
organization in Slovakia) and the effect of deep “Catholic culture” as the main reasons of
these remarkable results.
These arguments look sufficient although there may be another explanation about the
interesting results. People may think that leadership title should be given to an actor who
can overcome the difficulties originated from dominant national culture. National culture
can be thought as the other side of the same coin (Hampden-Turner & Trompenaars, 2000).
The person who can overcome cultural challenges may become a leader on minds.
Brodbeck et al. (2000) examined twenty-two European countries and determined country
specific outstanding leadership prototypes. Most of the leadership factors found coherence
with national culture, nonetheless there were some interesting results (Brodbeck et al.,
2000). For instance, Russian people put humane oriented leadership into the negative (low)
leadership category (Brodbeck et al., 2000). A collectivist and feminine country should have
evaluated humane oriented leadership more positively. There should be a theoretical
explanation of these views. Employees or followers may want to see something different
from their leaders. Kono, Ehrhart, Ehrhart, and Schultze (2012) compared implicit
leadership perceptions and prototypes of people from Japan and U.S. They came up with the
same interesting and opposing results (Kono et al., 2012). Compared with the Japanese
participants, people from U.S. scored higher on administratively competent, collaborative
team orientation, and collaborative team integrator dimensions. In other words, the
interviewees from U.S. rated all of the team oriented leadership dimensions higher than
their Japanese counterparts (Kono et al., 2012). Furthermore, participants from U.S. found
the autocratic leadership more favorable in comparison to Japanese participants (Kono et al.,
2012).
This paper aims at building a theoretical framework for the opposite results of implicit
leadership researches. People may be impressed by the effective unusual behaviors and
attitudes. Hofstede & McCrae (2004) underlined that a particular culture does not cover all
the people living in that society. In every society, some people may have distinct cultural
values compared to the majority. For example, a person may encounter highly

54
individualistically oriented people in Turkey. Highly collectivistic people exist in USA and
all other individualistic societies. These unusual actors may solve major problems of
organizations with their exceptional skills. Culture implicitly manages knowledge creation,
sharing, and use at organizational level (DeLong & Fahey, 2000). Organizational actors
who have different cultural values may be more capable of disseminating and managing
knowledge in organizations. At the end of this problem solving and knowledge managing
process, people may convert this person into a leader in their minds. In this respect,
contemporary leadership studies are neglecting the notion of early leadership studies which
put forward the idea of leaders who should be different than others (Day et al, 2014; Dinh et
al., 2014; House & Aditya, 1997; Judge, Piccolo, & Kosalka, 2009; Mortensen et al., 2014).
Meeting the demands of cultural expectations or becoming a good representative of national
culture may not be enough to be labeled as a leader.

Proposition1: Organizational actors who have different cultural values than the majority of
employees are more likely to be labeled as leaders by those employees.

This cognitive labeling and evaluating process will probably not proceed identically
within individualistic and collectivistic societies. Shaw (1990) mentioned that leadership
prototypes of highly collectivistic cultures will be more similar to each other compared to
highly individualistic societies. Shortly, collectivistic cultures are more close to
discrepancies and diversities among organization members in their environment (Shaw,
1990). Collectivistic people may be emotionally attached to their work groups and they may
even feel obligated to the other group members (Swaidan & Hayes, 2005). Collectivistic
people may not give credit to importance of diversity and variety very quickly. The
information processing and accepting variety probably will take more time for them in
comparison with individualistic people.

Proposition2: Organizational actors who have different cultural values than the majority of
employees are more likely to be labeled as leaders by the individualistically oriented
employees.

In order to achieve complicated, intensive, and challenging tasks, organizations need


team work and work groups (Driskel, Salas, & Hughes, 2000). Teamwork concentrates and
integrates dispersed information, regulates this information, and accelerates business
process (Salas, Cooke, & Rosen, 2008). Organizations require an actor who is capable of
bringing individuals together and organize them for accomplishing specific tasks. This kind
of leadership is called as team oriented leadership. Team oriented leadership is one of the
implicit leadership dimensions which is determined in the Globe study (Dorfman et al.,
2012). Team leadership is mostly concerned with managing social issues, guiding social
affairs, and looking after everyone’s interest in the social group (Burke et al., 2006).
Organizational actors from collectivistic countries may be more skillful when overcoming

55
social problems. Actors who have high collectivistic orientation feel more dependent to
their working groups and these people have high tendency to work collaboratively (Wagner,
1995). Individualistic people give priority to their own desires instead of the collective
interests (Wagner, 1995). Highly individualistic employees may feel pressured or distressed
when the team work is a necessity for completing certain tasks. Non-cooperative work
teams may cause numerous problems in organizations (Driskel et al., 2000). Culture can
easily be seen as a scapegoat in this kind of situations (Leidner & Kayworth, 2006). On the
other hand, actors with high collective orientation canassure effective team performance
(Driskel et al., 2000). In this respect, highly individualistic employees may assume
collectivistic orientation as a leadership prototype.

Proposition3: People from highly individualistic societies are prone to label team oriented
leadership dimension as their outstanding leadership prototype.

Humane oriented leadership is also an important implicit leadership dimension (Bauer,


2015; Brodbeck et al., 2000; Dorfman et al., 2012). Humane oriented leaders prefer to be
kind, assistive, empathetic, thoughtful, compassionate to their followers, and their
humanistic behaviors are appreciated by employees (Dorfman et al., 2012; Javidan et al.,
2006). The general aspects of masculine culture like speed, rivalry, money, competition, and
ambition (Hofstede, 1980,1983) may cause adverse effects. People may require more
altruistically oriented leadership in that kind of work environments. In a highly masculine
society people may be impressed by a humane oriented leadership.

Proposition4: People from highly masculine societies are prone to label humane oriented
leadership dimension as their outstanding leadership prototype.

Discussion and Conclusion


National culture and implicit leadership seem to be two separate concepts which can hardly
be related to each other. This paper provides theoretical basis for the unexpected and
opposite results of national culture-leadership studies. Exceptional individuals who have
cultural values opposite to the majority may be quite useful for organizations. Unusual
actors always have a chance to make highly positive impressions. If culturally differentiated
actors can use their competencies effectively, then they may overcome cultural constraints
(Hofstede, 1993). Different cultural values may bring along different perspectives. Having a
different point of view may reveal hidden solutions otherwise unseen to organizational
actors. These remarkable actors may be skillful in problem solving as well as organizing
other people. Team work versus individual work is one of the major dilemmas of the
organizational behavior literature. Some people are much more productive when they work
alone, other people may prefer working with a team or a group. National culture may have
an effect on these preferences. Highly individualistic people may prefer working alone and
being responsible only for their actions. These people may not have adequate competencies

56
to accomplish group tasks. In the same manner, highly collectivistic employees may have
difficulties focusing on individual missions.
In situations where employees may have organizing problems, a culturally differentiated
actor can guide the organization to a better administration. At the end of this guiding
process, culturally differentiated actor may be seen as a leader.
Cultural diversity and discrepancy are very important issues in the leadership process.
Some cultures are more eager to accept diversity. People’s tolerance to diversity may differ
among different cultures. People from individualistic cultures are more willing to accept
diversity (Shaw, 1990). Collectivistically oriented people may prefer to give more credit to
resemblances and similarities. In this respect, individualistically oriented employees are
more likely to recognize the importance of distinctness in organizations. Organizational
actors who have different cultural values can turn into leaders more quickly in
individualistic societies.
Every national culture in the world has positive and negative aspects. Organizations may
need a leader who can counterbalance cultural gaps. In individualistic societies,
organizations may require an actor who has the capacity of unifying employees and
converting them into work teams. Organizations may require team oriented leaders for
achieving group tasks in highly individualistic societies. In such societies, organizational
actors may have to put extra effort to build coherent work teams. Convincing people about
the benefits of team work may be much more difficult. Highly individualistic people may
evaluate the team oriented leadership dimension as outstanding leadership prototype:
Because the team oriented leadership may be the most needed leadership style in highly
individualistic settings. In a similar manner, people in highly masculine societies may be in
need of humane oriented leadership. Humane oriented leaders can balance masculine
tendencies in organizations. They can compensate for the emotional needs of employees.
That kind of organizational actors can be assumed as leaders.
Consequently, the present study explored theoretical reasons of unexpected and opposite
results of national culture-implicit leadership theory researches. The importance of
distinctness has been highlighted throughout the study. Organizations always need actors
who have different points of view. Organizational actors who have different cultural values
may enrich the organization’s knowledge capital and become a leader on beholders’ eyes.
Despite its theoretical contributions, this paper has several limitations. Our first
limitation is time constraint. This study is prepared in a limited time interval. The conditions
and circumstances in which unusual actors stand out as leaders can be explained more
deeply in a broader time interval. The sociology of culture may be used for more extensive
explanations. Second, the propositions of this study were not tested. In order to obtain more
generalizable results, future researchers may convert our propositions to hypotheses and test
them on a proper sample. References
Abdalla, I. A., & Al-Homoud, M. A. (2001). Exploring the implicit leadership theory in the Arabian Gulf states. Applied
Psychology: An International Review, 50(4), 506–531.
Algera, P. M., & Lips-Wiersma, M. L. (2012). Radical authentic leadership: Co-creating the conditions under which all
members of the organization can be authentic. The Leadership Quarterly, 23(1), 118–131.

57
Anderson, H. J., Baur, J. E., Griffith, J. A., & Buckley, M. R. (2017). What works for you may not work for (Gen) me:
Limitations of present leadership theories for the new generation. The Leadership Quarterly, 28(1), 245–260.
Antonakis, J., Avolio, B., & Sivasubramaniam, N. (2003). Context and leadership: An examination of the nine-factor full-
range leadership theory using the multifactor leadership questionnaire. The Leadership Quarterly, 14, 261–295.
Bass, B. M. (1997). Does the transactional-transformational leadership paradigm transcend organizational and national
boundaires? American Psychologist, 52(2), 130–139.
Bauer, D. (2015). Successful leadership behaviours in Slovak organizations’ environment an introduction to Slovak
implicit leadership theories based on GLOBE study findings. Journal for East European Management Studies, 20(1),9–
35.
Blank, W., Weitzel, J. R., & Green, S. G. (1990). A test of situational leadership theory. Personal Psychology, 43(3), 579–
597.
Bowers, D. G., & Seashore, S. E. (1966). Predicting organizational effectiveness with a four factor theory of leadership.
Administrative Science Quarterly, 11(2), 238–263.
Broome, G. H., & Hughes, R. L. (2004). Leadership development: Past, present and future. Human Resource Planning,
27(1), 24–32.
Brodbeck, F. C., Frese, M., Akerblom, S., Audia, G., Bakacsi, G., Bendova, H., . . . Wunderer, R. (2000). Cultural
variation of leadership prototypes across 22 European countries. Journal of Occupational & Organizational Psychology,
73(1), 1–29.
Brower, H. H., Schoorman, F. D., & Tan, H. H. (2000). A model of relation leadership: The integration of trust and
leadermember exchange. Leadership Quarterly, 11(2), 227–250.
Burke, S. C., Stagl, K. C., Klein, C., Goodwin, G. F., Salas, E., & Halpin, S. M. (2006). What type of leadership behaviors
are functional in teams? A meta-analysis. The Leadership Quarterly, 17, 288–307.
Byrne, G. J., & Bradley, F. (2007). Culture’s influence on leadership efficiency: How personal and national cultures affect
leadership style. Journal of Business Research, 60, 168–175.
Campbell, R. N. (1968). Review of the book: A theory of leadership effectiveness by Fred E. Fiedler. Administrative
Science Quarterly, 13(2), 344–348.
Chu, G. C. (1966). Culture, personality and persuasibility. Sociometry, 29(2), 169–174.
Cronshaw, S. F., & Lord, G. R. (1987). Effects of categorization, attribution and encoding processes on leadership
perceptions. Journal of Applied Psychology, 72(1), 97–106.
Day, D., & Antonakis, J. (2012). Leadership: Past, Present, and Future. In D. V. Day, & J. Antonakis (Eds.), The Nature of
Leadership(pp. 3–25). California: SAGE Publishing.
Day, D. V., Fleenor, J. W., Atwater, L. E., Sturm, R. E., & McKee, R. A. (2014). Advances in leader and leadership
development: A review of 25 years of research and theory. The Leadership Quarterly, 25(1),63–82.
DeLong, D. W., & Fahey, L. (2000). Diagnosing cultural barriers to knowledge management. Academy of Management
Executive, 14(4), 113–127.
Derue, S.D., Nahrgang, J. D., Wellman, N., & Humphrey, S. E. (2011). Trait and behavioral theories of leadership: An
integration and meta-analytic test of their relative validity. Personnel Psychology, 64(1),7–52.
DiMaggio, P. (1997). Culture and Cognition. Annual Review of Sociology, 23(1), 263–287.
Dinh, J. E., Lord, R. G., Gardner, W. L., Meuser, J. D., Liden, R. C., & Hu, J. (2014). Leadership theory and research in
the new millennium: Current theoretical trends and changing perspectives. The Leadership Quarterly, 25(1), 36–62.
Dorfman, P., Javidan, M., Hanges, P., Dastmalchian, A., & House, R. (2012). Globe: A twenty-year journey into the
intriguing world of culture and leadership. Journal of World Business, 47(4), 504–518.
Driskel, J. E., Salas, E., & Hughes, S. (2010). Collective orientation and team performance: Development of an individual
differences measure. The Journal of Human Factors & Ergonomics Society, 52, 316–328.
Epitropaki, O., & Martin, R. (2004). Implicit leadership theories in applied settings: Factor structure, generalizability, and
stability over time. Journal of Applied Psychology, 89(2), 293–310.
Epitropaki, O., & Martin, R. (2005). From ideal to real: A longitudinal study of the role of implicit leadership theories on
leader– member exchanges and employee outcomes. Journal of Applied Psychology, 90(4), 659–676.

58
Epitropaki, O., Martin, R., Tram-Quon, S. & Topakas, A. (2013). Implicit leadership and followership theories “in the
wild”: Taking stock of information-processing approaches to leadership and followership in organizational settings. The
Leadership Quarterly, 24, 858–881.
Fang, X., &Rajkumar, T. M. (2013). The role of national culture and multimedia on first impression bias reduction: an
experimental study in US and China. IEEE Transactions on Professional Communication, 56(4), 354–371.
Fischer, R. (2009). Where is culture in cross cultural research? An outline of a multilevel research process for measuring
culture as a shared meaning system. Cross Cultural Management, 9(1), 25–49.
Fraser, S. L. & Lord, R. G. (1988). Stimulus prototypicality and general leadership impressions: Their role in leadership
and behavioral ratings. The Journal of Psychology, 122(3), 291–303.
Graeff, C. L. (1983). The situational leadership theory: A critical review. Academy of Management Review, 8(2),285–291.
Graen, G. B., & Uhl-Bien, M. (1991). The transformation of professionals into self-managing and partially self-designing
contributors: Toward a theory of leadership-making. Journal of Management Systems, 3(3), 25–39.
Hampden-Turner, C. M., & Trompenaars, F. (2000). Building cross cultural competence: How to create wealth from
conflicting values. New Heaven, CT: Yale University Press.
Hill, W. (1969). The validation and extension of Fiedler’s theory of leadership effectiveness. The Academy of
Management Journal, 12(1), 33–47.
Hofstede, G. (1980). Motivation, leadership, and organization: Do American theories apply abroad. Organizational
Dynamics, 9(1), 42–63.
Hofstede, G. (1983). The cultural relativity of organizational practices and theories. Journal of International Business
Studies, 14(2), 75–89.
Hofstede, G. (1993). Cultural constraints in management theories. Academy of Management Executive, 7(1), 81–94.
Hofstede, G. H., Hofstede, G. J., & Minkov, M. (2010). Cultures and organizations: Software of the mind. New York, NY:
The McGraw Hill Companies.
Hofstede, G, J., Jonker, C. M., & Verwaart, T. (2012). Cultural differentiation of negotiating agents. Group Decision &
Negotiation, 21(1),79–98.
Hofstede, G., & McCrae, (2004). Personality and culture revisited: linking traits and dimensions of culture. Cross-Cultural
Research, 38(1), 52–88.
Hofstede, G. J., Pedersen, P. B., & Hofstede, G. (2002). Exploring culture: Exercises, stories and synthetic cultures.
Boston: Intercultural Press.
Holmberg, I., & Akerblom, S. (2006). Modelling leadership: Implicit leadership theories in Sweden. Scandinavian Journal
of Management, 22,307–329.
Horner, M. (1997). Leadership theory: Past, present and future. Team Performance Management, 3(4), 270–287.
House, R. J. (1971). A path goal theory of leader effectiveness.Administrative Science Quarterly, 16(3), 321–339.
House, R. J., & Aditya, R. N. (1997). The social scientific study of leadership: Quo vadis? Journal of Management, 23(3),
409– 473.
Hutchinson, M., & Jackson, D. (2013). Transformational leadership in nursing: Towards a more critical interpretation.
Nursing Inquiry, 20(1), 11–22.
Javidan, M., Bullough, A. & Dibble, R. (2016). Mind the gap: Gender differences in global leadership self-efficacies. The
Academy of Management Perspectives, 30(1),59–73.
Javidan, M., Dorfman, P. W., De Luque, M. S., & House, R. J. (2006). In the eye of the beholder: Cross cultural lessons in
leadership from project GLOBE. Academy of Management Perspectives, 20(1), 67–90.
Judge, T. A., Piccolo, R. F., & Kosalka, T. (2009). The bright and dark sides of leader traits: A review and theoretical
extension of the leader trait paradigm. The Leadership Quarterly, 20, 855–875.
Junker, N. M., & van Dick, R. (2014). Implicit theories in organizational settings: A systematic review and research agenda
of implicit leadership and followership theories. The Leadership Quarterly, 25(6), 1154–1173.
Justis, R. T. (1975). Leadership effectiveness: A contingency approach. Academy of Management Journal, 18(1),160–167.

59
Kenney, R. A., Blascovich, J., & Shaver, P. (1994). Implicit leadership theories: Prototypes for new leaders. Basic &
Applied Social Psychology, 15(4), 409–437.
Kono, T., Ehrhart, K. H., Ehrhart, M. G., & Schultze, T. (2012). Implicit leadership theories in Japan and the US. Asia
Pacific Journal of Human Resources, 50, 367–387.
Konrad, E. (2000). Implicit leadership theories in Eastern and Western Europe. Social Science Information, 39(2),335–347.
Kotter, J. P. (2001). What leaders really do. Harward Business Review, 79(11),85–96.
Lazear, E. P. (1999). Culture and language. Journal of Political Economy, 107(6), 95–126.
Leidner, D. E., & Kayworth, T. (2006). A review of culture in information systems research: Toward a theory of
information technology culture conflict. MIS Quarterly, 30(2), 357–399.
Leung, K., Bhagat, R. S., Buchan, N. R., Erez, M., & Gibson, C. B. (2005). Culture and international business: Recent
advances and their implications for future research. Journal of International Business Studies, 36(4), 357–378.
Lim, S., Othman, R., Zain, A. Y., & Pengiran, D. S. R. (2012). Implicit leadership theories of Bruneians. Journal of Asia-
Pacific Business, 13(4), 302–319.
Ling, W., Chia, R., & Fang, L. (2000). Chinese implicit leadership theory. The Journal of Social Psychology, 140(6), 729–
739.
Lund, D. J., Scheer, L. K., & Kozlenkova, I. V. (2013). Culture’s impact on the importance of fairness in inter-
organizational relationships. Journal of International Marketing, 21(4), 21–43.
Mathews, J. (2016). Toward a conceptual model of global leadership. IUP Journal of Organizational Behavior, 15(2),38–
55.
Metcalfe, B. A., & Metcalfe, J. A. (2005). Leadership: Time for new a new direction? Leadership, 1(1), 51–71.
Minkov, M., & Hofstede, G. (2014). Clustering of 316 European regions on measures of values: do Europe’s countries
have national cultures? Cross-Cultural Research, 48(2), 144–176.
Mooij, M. D., & Hofstede, G. (2002). Convergence and divergence in consumer behavior: implications for international
retailing. Journal of Retailing, 78, 61–69.
Mortensen, J., Lichty, L., Foster-Fishman, P., Harfst, S., Hockin, S., Warsinke, K., & Abdullah, K. (2014). Leadership
through a youth lens: Understanding of youth conceptualization of leadership. Journal of Community Psychology, 42(4),
447–462.
Newman, K, L., & Nollen, S. D. (1996). Culture and congruence: The fit between management practices and national
culture. Journal of International Business Studies, 27(4), 753–779.
Nonaka, I., Toyoma, R., & Konno, N. (2000). SECI, ba and leadership: A unified model of dynamic knowledge creation.
Long Range Planning, 33, 5–34.
Northouse, P. G. (2010). Leadership: Theory and practice. California, Thousand Oaks: SAGE Publications.
Oyserman, D., Coon, H. M., & Kemmelmeier, M. (2002). Rethinking individualism and collectivism: Evaluation of
theoretical assumptions and meta-analyses. Psychological Bulletin, 128(1), 3–72.
Pasa, S. F., Kabasakal, H., & Bodur, M. (2001). Society, organizations and Leadership in Turkey. Applied Psychology: An
International Review, 50(4), 559–589.
Peng, Y. S., Dashdeleg, A. U., & Chih, H. L. (2014). National culture and firm’s CSR engagement: A cross-nation study.
Journal of Marketing & Management, 5(1), 38–49.
Phillips, J. S., & Lord, R. G. (1986). Notes on the practical and theoretical consequences of implicit leadership theories for
the future of leadership measurement. Journal of Management, 12(1),31–41.
Ronen, S., & Shenkar, O. (1985). Clustering countries on attitudinal dimensions: A review and synthesis. Academy of
Management Review, 10(3), 435–454.
Salas, E., Cooke, N. J. & Rosen, M. A. (2008). On teams, team work, and team performance: Discoveries and
developments. Human Factors, 50(3),540–547.
Shaw, J. B. (1990). A cognitive categorization model for the study of intercultural management. The Academy of
Management Review, 15(4), 626–645.

60
Shim, W. S., & Steers, R. M. (2012). Symmetric and asymmetric leadership cultures: A comparative study of leadership
and organizational culture at Hyundai and Toyota. Journal of World Business, 47, 581–591.
Shin, S. J., & Zhou, J. (2003). Transformational leadership, conservation, and creativity: Evidence from Korea. The
Academy of Management Journal, 46(6),703–714.
Skerlavaj, M., Su, C., & Huang, M. (2013). The moderating effects of national culture on the development of
organisational learning culture: A multilevel study across seven countries. Journal for East European Management
Studies, 18(1), 97–134.
Smircich, L., & Morgan, G. (1982). Leadership: The management of meaning. The Journal of Applied Behavioral Science,
18(3), 257–273.
Smith, P. B., Misumi, J., Tayeb, M., Peterson, M., & Bond, M. (1989). On the generality of leadership style measures
across cultures. Journal of Occupational Psychology, 62, 97–109.
Steers, R. M., Meyer, A. D., & Sanchez-Runde, C. J. (2008). National culture and the adoption of new technologies.
Journal of World Business, 43, 255–260.
Suliman, A., &Moradkhan, E. (2013). Leadership and national culture in the UAE. Global Conference on Business &
Finance Proceedings, 8(2), 408–423.
Summerfield, M. R. (2014). Leadership: A simple definition. American Journal of Health-System Pharmacy, 71(3), 251–
253.
Swaidan, Z., & Hayes, L. A. (2005). Hofstede theory and cross cultural ethics conceptualization, review, and research
agenda. The Journal of American Academy of Business, 6(2), 10–15.
Tabak, A., Kızıloğlu, A., &Türköz, T. (2013). Örtülü liderlik ölçeği geliştirme çalışması. ODTÜ Gelişme Dergisi, 40, 97–
138.
Trompenaars, F., & Hampden-Turner, C. (1998). Riding the waves of culture: Understanding cultural diversity in global
business. London: Nicholas Brealey Publishing.
Vecchio, R. P. (1987). Situational leadership theory: an examination of a prescriptive theory. Journal of Applied
Psychology, 72(3), 444–451.
Veiga, J. F., Floyd, S., & Dechant, K. (2001). Towards modelling the effects of national culture on IT implementation and
acceptance. Journal of Information Technology, 16, 145–158
Wagner, J. A. (1995). Studies of individualism-collectivism: Effects on cooperation in groups. Academy of Management
Journal, 38(1), 152–172.

61
Pengaruh Motivasi Kerja, Kepemimpinan dan Budaya Organisasi
Terhadap
Kepuasan Kerja Karyawan serta Dampaknya pada Kinerja
Perusahaan
(Studi kasus pada PT. Pei Hai International Wiratama Indonesia)

Ida Ayu Brahmasari dan Agus Suprayetno


Pasca Sarjana Universitas 17 Agustus Surabaya

ABSTRACT

This research aims at analyzing the influence of job motivation, leadership, and corporate
culture toward employee job satisfaction, and their impact to the corporate performance. The
proposed hypotheses: The job motivation have significance influence to the employee’s job
satisfaction, The leadership have significance influence to the employee’s job satisfaction, The
organizational culture have significance influence to the employee’s job satisfaction, The work
motivation have significance influence to the corporate performance, The leadership have
significance influence to the corporate performance, The organizational culture have significance
influence to the corporate performance, The employee’s job satisfaction have significance
influence to the corporate performance. The result of the research has evidenced that job
motivation, leadership, and organizational culture are significantly related to the employee’s job
satisfaction. Leadership, however, is negatively related to the employee’s job satisfaction. Job
motivation is not significantly related to the corporate performance influenced by the intervening
variable is employee’s job satisfaction. Leadership and organizational culture are significantly
related to the corporate performance. From this result, there are two main conclutions that can be
drawn in this study. First, the job motivation can not be related directly to the corporate
performance if it is not connected by the employee’s job satisfaction variable. And the second
conclution is that the leaderhip is negatively related to the employee’s job satisfaction.

Keywords: job motivation, leadership, organizational culture, employee’s job satisfaction, and corporate

124
performance.
PENDAHULUAN dalam Ermayanti (2001:3) dan Brahmasari
(2005:96), mengemukakan bahwa kinerja
organisasi tergantung dari kinerja individu atau
Lingkungan bisnis dewasa ini yang tumbuh dengan kata lain kinerja individu akan
dan berkembang dengan sangat dinamis, sangat memberikan kontribusi pada kinerja organisasi,
memerlukan adanya sistem manajemen yang artinya bahwa perilaku anggota organisasi baik
efektif dan efisien artinya dapat dengan mudah secara individu maupun kelompok memberikan
berubah atau menyesuaikan diri dan dapat kekuatan atas kinerja organisasi sebab
mengakomodasikan setiap perubahan baik yang motivasinya akan mempengaruhi pada kinerja
sedang dan telah terjadi dengan cepat, tepat dan organisasi.
terarah serta biaya yang murah. Dengan
Sujak (1990) dalam Ermayanti (2001:3),
demikian, organisasi sudah tidak lagi dipandang
mengemukakan bahwa pemahaman motivasi,
sebagai sistem tertutup (closed-system)
baik yang ada dalam diri karyawan maupun
tetapi organisasi merupakan sistem terbuka yang berasal dari lingkungan akan dapat
(openedsystem) yang harus dapat merespon dan membantu dalam peningkatan kinerja. Dalam
mengakomodasikan berbagai perubahan hal ini seorang manajer perlu mengarahkan
eksternal dengan cepat dan efisien. motivasi dengan menciptakan kondisi (iklim)
Krisis ekonomi yang berdampak pada organisasi melalui pembentukan budaya kerja
lesunya iklim dunia usaha mengakibatkan atau budaya organisasi sehingga para karyawan
banyak perusahaan harus melakukan upaya merasa terpacu untuk bekerja lebih keras agar
perampingan atau konsolidasi internal lainnya kinerja yang dicapai juga tinggi. Pemberian
sebagai upaya penghematan keuangan untuk motivasi harus diarahkan dengan baik menurut
dapat mempertahankan kelangsungan hidup prioritas dan dapat diterima dengan baik oleh
(survive) dan mencapai pertumbuhan (growth) karyawan, karena motivasi tidak dapat diberikan
melalui kinerja yang efektif dan efisien. untuk setiap karyawan dengan bentuk yang
Kelangsungan hidup dan pertumbuhan dari berbedabeda.
suatu perusahaan bukan hanya ditentukan dari Salah satu elemen yang bernilai penting
keberhasilan dalam mengelola keuangan yang dalam sistem manajemen perusahaan selain
berdasarkan pada kekuatan modal atau uang motivasi kerja kepada para karyawan adalah
semata, tetapi juga ditentukan dari kepemimpinan (leadership). Hasil dari beberapa
keberhasilannya mengelola sumber daya penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan
manusia. Pengelolaan sumber daya manusia sangat diperlukan untuk meningkatkan daya
yang dimaksudkan adalah bahwa perusahaan saing perusahaan secara berkelanjutan.
harus mampu untuk menyatukan persepsi atau Kepemimpinan adalah suatu proses dimana
cara pandang karyawan dan pimpinan seseorang dapat menjadi pemimpin (leader)
perusahaan dalam rangka mencapai tujuan melalui aktivitas yang terus menerus sehingga
perusahaan antara lain melalui pembentukan dapat mempengaruhi yang dipimpinnya
mental bekerja yang baik dengan dedikasi dan (followers) dalam rangka untuk mencapai tujuan
loyalitas yang tinggi terhadap pekerjaannya, organisasi atau perusahaan.
memberikan motivasi kerja, bimbingan,
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan
pengarahan dan koordinasi yang baik dalam
dan menganalisis pengaruh:
bekerja oleh seorang pemimpin kepada
bawahannya. 1. Pengaruh motivasi kerja terhadap kepuasan
kerja karyawan PT. Pei Hai International
Menciptakan kepuasan kerja karyawan
Wiratama Indonesia.
adalah tidak mudah karena kepuasan kerja dapat
tercipta jika variabel-variabel yang 2. Pengaruh kepemimpinan terhadap kepuasan
mempengaruhinya antara lain motivasi kerja, kerja karyawan PT. Pei Hai International
kepemimpinan dan budaya organisasi/ Wiratama Indonesia.
perusahaan dapat diakomodasikan dengan baik 3. Pengaruh budaya organisasi terhadap
dan diterima oleh semua karyawan di dalam kepuasan kerja karyawan PT. Pei Hai
suatu organisasi/perusahaan. Gibson (1996) International Wiratama Indonesia.

125
4. Pengaruh motivasi kerja terhadap kinerja manajemen. Hubungan motivasi, gairah kerja
perusahaan PT. Pei Hai International dan hasil optimal mempunyai bentuk linear
Wiratama Indonesia. dalam arti dengan pemberian motivasi kerja
5. Pengaruh kepemimpinan terhadap kinerja yang baik, maka gairah kerja karyawan akan
perusahaan PT. Pei Hai International meningkat dan hasil kerja akan optimal sesuai
Wiratama Indonesia. dengan standar kinerja yang ditetapkan. Gairah
6. Pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja kerja sebagai salah satu bentuk motivasi dapat
perusahaan PT. Pei Hai International dilihat antara lain dari tingkat kehadiran
Wiratama Indonesia. karyawan, tanggung jawab terhadap waktu kerja
yang telah ditetapkan.
7. Pengaruh kepuasan kerja karyawan dengan
kinerja perusahaan PT. Pei Hai International Mangkunegara (2005:101) mengemukakan
Wiratama Indonesia. bahwa terdapat 2 (dua) teknik memotivasi kerja
pegawai yaitu: (1) Teknik pemenuhan
LANDASAN TEORI kebutuhan pegawai, artinya bahwa pemenuhan
kebutuhan pegawai merupakan fundamen yang
Motivasi Kerja mendasari perilaku kerja. (2) Teknik
komunikasi persuasif, adalah merupakan salah
satu teknik memotivasi kerja pegawai yang
Robbin (2002:55) mengemukakan bahwa dilakukan dengan cara mempengaruhi pegawai
motivasi adalah keinginan untuk melakukan secara ekstra logis. Teknik ini dirumuskan
sebagai kesediaan untuk mengeluarkan tingkat dengan istilah “AIDDAS”yaitu Attention
upaya yang tinggi untuk tujuan-tujuan (perhatian), Interest (minat), Desire (hasrat),
organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan Decision (keputusan), Action (aksi atau
upaya itu untuk memenuhi suatu kebutuhan tindakan), dan Satisfaction (kepuasan).
individual. Penggunaannya, pertama kali pemimpin harus
Siagian (2002:94) mengemukakan bahwa memberikan perhatian kepada pegawai tentang
dalam kehidupan berorganisasi, termasuk pentingnya tujuan dari suatu pekerjaan agar
kehidupan berkarya dalam organisasi bisnis, timbul minat pegawai terhadap pelaksanaan
aspek motivasi kerja mutlak mendapat perhatian kerja, jika telah timbul minatnya maka
serius dari para manajer. Karena 4 (empat) hasratnya akan menjadi kuat untuk mengambil
pertimbangan utama yaitu: (1) Filsafat hidup keputusan dan melakukan tindakan kerja dalam
manusia berkisar pada prinsip “quit pro quo”, mencapai tujuan yang diharapkan oleh
yang dalam bahasa awam dicerminkan oleh pemimpin. Dengan demikian, pegawai akan
pepatah yang mengatakan “ada ubi ada talas, bekerja dengan motivasi tinggi dan merasa puas
ada budi ada balas”, (2) Dinamika kebutuhan terhadap hasil kerjanya.
manusia sangat kompleks dan tidak hanya
bersifat materi, akan tetapi juga bersifat Kepemimpinan
psikologis, (3) Tidak ada titik jenuh dalam
pemuasan kebutuhan manusia, (4) Perbedaan
karakteristik individu dalam organisasi atau DuBrin (2005:3) mengemukakan bahwa
perusahaan, mengakibatkan tidak adanya kepemimpinan itu adalah upaya mempengaruhi
satupun teknik motivasi yang sama efektifnya banyak orang melalui komunikasi untuk
untuk semua orang dalam organisasi juga untuk mencapai tujuan, cara mempengaruhi orang
seseorang pada waktu dan kondisi yang dengan petunjuk atau perintah, tindakan yang
berbeda-beda. menyebabkan orang lain bertindak atau
Radig (1998), Soegiri (2004:27-28) dalam merespons dan menimbulkan perubahan positif,
Antoni (2006:24) mengemukakan bahwa kekuatan dinamis penting yang memotivasi dan
pemberian dorongan sebagai salah satu bentuk mengkoordinasikan organisasi dalam rangka
motivasi, penting dilakukan untuk mencapai tujuan, kemampuan untuk
meningkatkan gairah kerja karyawan sehingga menciptakan rasa percaya diri dan dukungan
dapat mencapai hasil yang dikehendaki oleh diantara bawahan agar tujuan organisasional
dapat tercapai.

126
Siagian (2002:62) mengemukakan bahwa Anoraga et al. (1995) dalam Tika (2006:64)
kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mengemukakan bahwa ada sembilan peranan
untuk mempengaruhi orang lain (para kepemimpinan seorang dalam organisasi yaitu
bawahannya) sedemikian rupa sehingga orang pemimpin sebagai perencana, pemimpin sebagai
lain itu mau melakukan kehendak pemimpin pembuat kebijakan, pemimpin sebagai ahli,
meskipun secara pribadi hal itu mungkin tidak pemimpin sebagai pelaksana, pemimpin sebagai
disenanginya. Nimran (2004:64) pengendali, pemimpin sebagai pemberi hadiah
mengemukakan bahwa kepemimpinan atau atau hukuman, pemimpin sebagai teladan dan
leadership adalah merupakan suatu proses lambang atau simbol, pemimpin sebagai tempat
mempengaruhi perilaku orang lain agar menimpakan segala kesalahan, dan pemimpin
berperilaku seperti yang akan dikehendaki. sebagai pengganti peran anggota lain.
Robbins (1996:39) mengemukakan bahwa
kepemimpinan adalah sebagai kemampuan
untuk mempengaruhi suatu kelompok kearah Budaya Organisasi
tercapainya tujuan.
Siagian (2002:66) mengemukakan bahwa Seperti halnya pengertian motivasi dan
peranan pemimpin atau kepemimpinan dalam kepemimpinan, pengertian budaya organisasi
organisasi atau perusahaan ada tiga bentuk yaitu banyak diungkapkan oleh para ilmuwan yang
peranan yang bersifat interpersonal, peranan merupakan ahli dalam ilmu budaya organisasi,
yang bersifat informasional, dan peran namun masih sedikit kesepahaman tentang arti
pengambilan keputusan. Yang dimaksud dengan konsep budaya organisasi atau bagaimana
peranan yang bersifat interpersonal dalam budaya organisasi harus diobservasi dan diukur
organisasi adalah bahwa seorang pemimpin (Brahmasari, 2004). Lebih lanjut Brahmasari
dalam perusahaan atau organisasi merupakan (2004:16) mengemukakan bahwa hal tersebut
simbol akan keberadaan organisasi, seorang dikarenakan oleh kurangnya kesepahaman
pemimpin bertanggung jawab untuk memotivasi tentang formulasi teori tentang budaya
dan memberikan arahan kepada bawahan, dan organisasi, gambarannya, dan kemungkinan
seorang pemimpin mempunyai peran sebagai hubungannya dengan dampak kinerja.
penghubung. Peranan yang bersifat Ndraha (2003:4) dalam Brahmasari
informasional mengandung arti bahwa seorang (2004:12) mengemukakan bahwa budaya
pemimpin dalam organisasi mempunyai peran perusahaan (corporate culture) merupakan
sebagai pemberi, penerima dan penganalisa aplikasi dari budaya organisasi (organizational
informasi. Sedangkan peran pemimpin dalam culture) terhadap badan usaha atau perusahaan.
pengambilan keputusan mempunyai arti bahwa Kedua istilah ini sering dipergunakan untuk
pemimpin mempunyai peran sebagai penentu maksud yang sama secara bergantian.
kebijakan yang akan diambil berupa strategi- Marcoulides dan Heck (1993) dalam
strategi bisnis yang mampu untuk Brahmasari (2004:16) mengemukakan bahwa
mengembangkan inovasi, mengambil peluang budaya organisasi sebagai suatu konsep dapat
atau kesempatan dan bernegosiasi dan menjadi suatu sarana untuk mengukur
menjalankan usaha dengan konsisten. kesesuaian dari tujuan organisasi, strategi dan
Mintzberg dalam Luthans (2002) dan organisasi tugas, serta dampak yang dihasilkan.
Sutiadi (2003:4) mengemukakan bahwa peran Tanpa ukuran yang valid dan reliabel dari aspek
kepemimpinan dalam organisasi adalah sebagai kritis budaya organisasi, maka pernyataan
pengatur visi, motivator, penganalis, dan tentang dampak budaya pada kinerja akan terus
penguasaan pekerjaan. Yasin (2001:6) berdasarkan pada spekulasi, observasi personal
mengemukakan bahwa keberhasilan kegiatan dan studi kasus.
usaha pengembangan organisasi, sebagian besar Glaser et al. (1987) dalam Koesmono
ditentukan oleh kualitas kepemimpinan atau (2005:9) mengemukakan bahwa budaya
pengelolanya dan komitmen pimpinan puncak organisasional seringkali digambarkan dalam
organisasi untuk investasi energi yang arti yang dimiliki bersama. Pola-pola dari
diperlukan maupun usaha-usaha pribadi kepercayaan, simbol-simbol, ritualritual, dan
pimpinan.

127
mitor-mitos yang berkembang dari waktu ke Budaya organisasi merupakan satu kesatuan
waktu dan berfungsi sebagai perekat yang yang integral dan saling terkait, (2) Budaya
menyatukan organisasi. Hofstede (1986:21) organisasi merupakan refleksi sejarah dari
dalam Koesmono (2005:9) mengemukakan organisasi yang bersangkutan, (3) Budaya
bahwa budaya dapat didefinisikan sebagai organisasi berkaitan dengan hal-hal yang
berbagai interaksi dari ciri-ciri kebiasaan yang dipelajari oleh para antropolog, seperti ritual,
mempengaruhi kelompokkelompok orang dalam simbol, ceritera, dan ketokohan, (4) Budaya
lingkungannya. Tika (2006:16) mengemukakan organisasi dibangun secara sosial, dalam
bahwa dalam pembentukan budaya organisasi pengertian bahwa budaya organisasi lahir dari
ada ua hal penting yang harus diperhatikan yaitu konsensus bersama dari sekelompok orang yang
unsur-unsur pembentuk budaya organisasi dan mendirikan organisasi tersebut, (5) Budaya
proses pembentukan budaya organisasi itu organisasi sulit diubah.
sendiri.
Sementara itu Robbins (1996) dalam Tika Kepuasan Kerja
(2006:20-21) menjelaskan mengenai 3 (tiga)
kekuatan untuk mempertahankan suatu budaya
organisasi sebagai berikut: (1) Praktik seleksi, Werther dan Davis (1986) dalam Prabowo
proses seleksi bertujuan mengidentifikasi dan (2003) dan Munandar, Sjabadhyni, Wutun
mempekerjakan individu-individu yang (2004:73) mengemukakan bahwa kepuasan
mempunyai pengetahuan, ketrampilan, dan kerja adalah kondisi kesukaan atau
kemampuan untuk melakukan pekerjaan dengan ketidaksukaan menurut pandangan karyawan
sukses dalam organisasi. (2) Manajemen terhadap pekerjaannya. Dole dan Schroeder
puncak, tindakan manajemen puncak (2001) dalam Koesmono (2005),
mempunyai dampak besar pada budaya mengemukakan bahwa kepuasan kerja dapat
organisasi. Ucapan dan perilaku mereka dalam didefinisikan sebagai perasaan dan reaksi
melaksanakan norma-norma sangat berpengaruh individu terhadap lingkungan pekerjaannya.
terhadap anggota organisasi. (3) Sosialisasi, Testa (1999) dan Locke (1983) dalam
sosialisasi dimaksudkan agar para karyawan Koesmono (2005) mengemukakan bahwa
baru dapat menyesuaikan diri dengan budaya kepuasan kerja merupakan kegembiraan atau
organisasi. Proses sosialisasi ini meliputi tiga pernyataan emosi yang positif hasil dari
tahap yaitu tahap kedatangan, tahap pertemuan, penilaian salah satu pekerjaan atau pengalaman-
dan tahap metromofis. pengalaman pekerjaan. Lebih lanjut Koesmono
Selanjutnya Tika (2006:21) memberikan (2005) mengemukakan bahwa kepuasan kerja
kesimpulan tentang proses pembentukan budaya merupakan penilaian, perasaan atau sikap
organisasi melalui 4 (empat) tahapan, yaitu seseorang atau karyawan terhadap pekerjaannya
tahap pertama terjadinya interaksi antar dan berhubungan dengan lingkungan kerja, jenis
pimpinan atau pendiri organisasi dengan pekerjaan, kompensasi, hubungan antar teman
kelompok/perorangan dalam organisasi. Pada kerja, hubungan sosial ditempat kerja dan
tahap kedua adalah dari interaksi menimbulkan sebagainya. Sehingga dapat dikatakan bahwa
ide yang ditransformasikan menjadi artifak, kepuasan kerja adalah dipenuhinya beberapa
nilai, dan asumsi. Tahap ketiga adalah bahwa keinginan dan kebutuhannya melalui kegiatan
artifak, nilai, dan asumsi akan kerja atau bekerja.
diimplementasikan sehingga membentuk Gibson, Ivancevich, dan Donnely (1996)
budaya organisasi. Tahap terakhir adalah bahwa dalam Sylvana (2002:4) mengemukakan bahwa
dalam rangka mempertahankan budaya kepuasan kerja merupakan bagian dari proses
organisasi dilakukan pembelajaran (learning) motivasi. Kepuasan anggota organisasi dapat
kepada anggota baru dalam organisasi. dihubungkan dengan kinerja dan hasil kerja
Hofstide (1997) dalam Munandar, mereka serta imbalan dan hukuman yang
Sjabadhyni, dan Wutun (2004:20) mereka terima. Oleh karena itu, tingkat
mengemukakan bahwa budaya organisasi kepuasan kerja dalam organisasi dapat
mempunyai 5 (lima) ciri-ciri pokok yaitu: (1) ditunjukkan dengan hasil seperti sikap anggota
organisasi, pergantian pekerjaan anggota

128
organisasi, kemangkiran atau absensi, turnover pegawai tinggi. Kepuasan kerja
keterlambatan, dan keluahan yang biasa terjadi berhubungan dengan tingkat absensi (kehadiran)
dalam suatu organisasi. mengandung arti bahwa pegawai yang kurang
Robbins (2001:148) mengemukakan bahwa puas cenderung tingkat ketidakhadirannya
kepuasan kerja adalah sebagai suatu sikap tinggi. Kepuasan kerja berhubungan dengan
umum seorang individu terhadap pekerjaannya. umur mengandung arti bahwa pegawai yang
Pekerjaan menuntut interaksi dengan rekan cenderung lebih tua akan merasa lebih puas
sekerja dan atasan, mengikuti aturan dan daripada pegawai yang berumur relatif lebih
kebijakan organisasi, memenuhi standar kinerja, muda, karena diasumsikan bahwa pegawai yang
hidup pada kondisi kerja yang sering kurang tua lebih berpengalaman menyesuaikan diri
dari ideal, dan hal serupa lainnya. Ini berarti dengan lingkungan pekerjaan dan pegawai
penilaian (assesment) seorang karyawan dengan usia muda biasanya mempunyai harapan
terhadap puas atau tidak puasnya dia terhadap yang ideal tentang dunia kerjanya, sehingga
pekerjaan merupakan penjumlahan yang runit apabila antara harapannya dengan realita kerja
dari sejumlah unsur pekerjaan yang diskrit terdapat kesenjangan atau ketidak-seimbangan
(terbedakan dan terpisahkan satu sama lain). dapat menyebabkan mereka menjadi tidak puas.
Menurut Ramayah (2001) dan Janssen Kepuasan kerja dihubungkan dengan tingkat
(2001) dalam Koesmono (2005:28) pekerjaan mengandung arti bahwa pegawai
mengemukakan bahwa seorang manajer akan yang menduduki tingkat pekerjaan yang lebih
sangat peduli pada aspek kepuasan kerja, karena tinggi cenderung lebih puas daripada pegawai
mempunyai tanggung jawab moral apakah dapat yang menduduki pekerjaan yang lebih rendah,
memberikan lingkungan yang memuaskan karena pegawai yang tingkat pekerjaannya lebih
kepada karyawannya dan percaya bahwa tinggi menunjukkan kemampuan kerja yang
perilaku pekerja yang puas akan membuat baik dan aktif dalam mengemukakan ide-ide
kontribusi yang positif terhadap organisasi. Para serta kreatif dalam bekerja. Kepuasan kerja
manajer merasakan usaha dan kinerja mereka berhubungan dengan ukuran organisasi
berhasil apabila keadilan dalam penghargaan perusahaan mengandung arti bahwa besar
memberikan tingkat kepuasan kerja dan kinerja. kecilnya perusahaan dapat mempengaruhi
Situasi pekerjaan yang seimbang akan proses komunikasi, koordinasi, dan partisipasi
meningkatkan perasaan dalam kontrol terhadap pegawai sehingga dapat mempengaruhi
kehidupan kerja dan menghasilkan kepuasan kepuasan kerja karyawan.
kerja. Sehingga para manajer mempunyai Mangkunegara (2005:120) mengemukakan
tanggung jawab untuk meningkatkan kepuasan bahwa ada 2 (dua) faktor yang mempengaruhi
kerja para bawahannya agar dapat memberikan kepuasan kerja yaitu faktor yang ada pada diri
kontribusi yang positif pada organisasinya. pegawai dan faktor pekerjaannya. Faktor yang
Davis (1985) dalam Mangkunegara ada pada diri pegawai yaitu kecerdasan (IQ),
(2005:117) mengemukakan bahwa job kecakapan khusus, umur, jenis kelamin, kondisi
satisfaction is related to a number of major fisik, pendidikan, pengalaman kerja, masa kerja,
employee variables, such as turnover, absences, kepribadian, emosi, cara berpikir, persepsi, dan
age, occupation, and size of the organization in sikap kerja. Sedangkan faktor pekerjaan yaitu
which an employee works.Berdasar pendapat jenis pekerjaan, struktur organisasi, pangkat
tersebut, Mangkunegara (2005:117) (golongan), kedudukan, mutu pengawasan,
mengemukakan bahwa kepuasan kerja jaminan keuangan, kesempatan promosi jabatan,
berhubungan dengan variabel-variabel seperti interaksi sosial, dan hubungan kerja.
turnover, tingkat absensi, umur, tingkat
pekerjaan, dan ukuran organisasi perusahaan. Kinerja
Kepuasan kerja berhubungan dengan turnover
mengandung arti bahwa kepuasan kerja yang
tinggi selalu dihubungkan dengan turnover Setiap manusia mempunyai potensi untuk
pegawai yang rendah, dan sebaliknya jika bertindak dalam berbagai bentuk aktivitas.
pegawai banyak yang merasa tidak puas maka Kemampuan bertindak itu dapat diperoleh
manusia baik secara alami (ada sejak lahir) atau

129
dipelajari. Walaupun manusia mempunyai kuantitatif maupun kualitatif, kreatifitas,
potensi untuk berperilaku tertentu tetapi fleksibilitas, dapat diandalkan, atau hal-hal lain
perilaku itu hanya diaktualisasi pada saat-saat yang diinginkan oleh organisasi. Penekanan
tertentu saja. Potensi untuk berperilaku tertentu kinerja dapat bersifat jangka pendek maupun
itu disebut ability (kemampuan), sedangkan jangka panjang, juga dapat pada tingkatan
ekspresi dari potensi ini dikenal sebagai individu, kelompok ataupun organisasi.
performance (kinerja). Manajemen kinerja merupakan suatu proses
Hasibuan dalam Sujak (1990) dan Sutiadi yang dirancang untuk menghubungkan tujuan
(2003:6) mengemukakan bahwa kinerja adalah organisasi dengan tujuan individu, sehingga
suatu hasil kerja yang dicapai seorang dalam kedua tujuan tersebut bertemu. Kinerja juga
melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan dapat merupakan tindakan atau pelaksanaan
kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, tugas yang telah diselesaikan oleh seseorang
pengalaman dan kesungguhan serta waktu. dalam kurun waktu tertentu dan dapat diukur.
Dengan kata lain bahwa kinerja adalah hasil Tika (2006:121) mengemukakan bahwa ada
kerja yang dicapai oleh seseorang dalam 4 (empat) unsur-unsur yang. terdapat dalam
melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya kinerja adalah hasil-hasil fungsi pekerjaan,
sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
Selanjutnya As’ad dalam Agustina (2002) dan prestasi karyawan, pencapaian tujuan organisasi,
Sutiadi (2003:6) mengemukakan bahwa kinerja dan periode waktu tertentu.
seseorang merupakan ukuran sejauh mana
keberhasilan seseorang dalam melakukan tugas
pekerjaannya. Ada 3 (tiga) faktor utama yang Hipotesis
berpengaruh pada kinerja yaitu individu
(kemampuan bekerja), usaha kerja (keinginan H1 : Motivasi kerja mempunyai pengaruh yang
untuk bekerja), dan dukungan organisasional signifikan terhadap kepuasan kerja
(kesempatan untuk bekerja). karyawan.
Cash dan Fischer (1987) dalam Thoyib H2 : Kepemimpinan mempunyai pengaruh
(2005:10) mengemukakan bahwa kinerja sering yang signifikan terhadap kepuasan kerja
disebut dengan performance atau result yang karyawan.
diartikan dengan apa yang telah dihasilkan oleh H3 : Budaya organisasi mempunyai pengaruh
individu karyawan. Kinerja dipengaruhi oleh yang signifikan terhadap kepuasan kerja
kinerja organisasi (organizational performance) karyawan.
itu sendiri yang meliputi pengembangan
organisasi (organizational development), H4 : Motivasi kerja mempunyai pengaruh yang
rencana kompensasi (compensation plan), signifikan terhadap kinerja perusahaan.
sistem komunikasi (communication system), H5 : Kepemimpinan mempunyai pengaruh
gaya manajerial (managerial style), struktur yang signifikan terhadap kinerja
organisasi (organization structure), kebijakan perusahaan.
dan prosedur (policies and procedures). H6 : Budaya organisasi mempunyai pengaruh
Robbins (2003) dalam Thoyib (2005:10) yang signifikan terhadap kinerja
mengemukakan bahwa istilah lain dari kinerja perusahaan.
adalah human output yang dapat diukur dari H7 : Kepuasan kerja mempunyai pengaruh
produktivitas, absensi, turnover, citizenship, dan yang signifikan dengan kinerja
satisfaction. perusahaan.
Sedangkan Baron dan Greenberg (1990) dalam Kerangka Konseptual Penelitian
Thoyib (2005:10) mengemukakan bahwa
kinerja pada individu juga disebut dengan job
performance, work outcomes, task performance.
Brahmasari (2004:64) mengemukakan
bahwa kinerja adalah pencapaian atas tujuan
organisasi yang dapat berbentuk output

130
H5 Penelitian ini menarik sampel dengan
Motivasi Kerja H4
menggunakan metode atau teknik simple
random sampling
H1
(teknik sampel sederhana), dimana jumlah
sampel ditentukan dengan menggunakan rumus
Kepemimpinan H2 Kepuasan Kerja H7 Kinerja Perusahaan dari Taro Yamane dalam Riduan dan Akdon
Karyawan (2006:249) yaitu n = N : ((N x d²) + 1), dimana
n adalah jumlah sampel, N adalah jumlah
H3 populasi, dan d² adalah tingkat presisi atau
Budaya Organisasi H6 akurasi yang ditetapkan (=5%), sehingga
besarnya sampel adalah sebanyak 325 orang
pegawai.
METODE PENELITIAN
Definisi Operasional dan Pengukuran
Variabel Motivasi Kerja (X1)
Rancangan Penelitian
Motivasi kerja adalah kondisi yang
berpengaruh membangkitkan, mengarahkan dan
Penelitian ini merupakan penelitian memelihara perilaku yang berhubungan dengan
penjelasan (Explanatory research) yang akan lingkungan kerja (McCormick, 1985:268 dalam
membuktikan hubungan kausal antara variabel Mangkunegara,
bebas (independent variable) yaitu variabel 2005:94).
motivasi kerja, variabel kepemimpinan, dan Variabel motivasi kerja ini secara
variabel budaya organisasi; variabel antara operasional diukur dengan menggunakan 3
(intervening variable) yaitu variabel kepuasan (tiga) indikator, yaitu: kebutuhan berprestasi
kerja karyawan; dan variabel terikat (dependent (need for achievement), kebutuhan fisik
variable) yaitu kinerja perusahaan. Serta (psycological need), dan kebutuhan rasa aman
penelitian korelasional, yaitu penelitian yang (safety need).
berusaha untuk melihat apakah antara dua
variabel atau lebih memiliki hubungan atau
tidak, dan seberapa besar hubungan itu serta Kepemimpinan (X2)
bagaimana arah hubungan tersebut (Indriyantoro
dan Supomo (1999) dalam Yasa,
Kepemimpinanadalah proses memengaruhi
2006:29).
orang lain kearah tujuan organisasi (Bartol,
1991 dalam Tika, 2006:63).
Populasi dan sampel Variabel kepemimpinan ini secara
operasional diukur dengan menggunakan 4
(empat) indikator yang diadopsi dari teori
Populasi dalam penelitian ini menurut kepemimpinan situasional Hersey-Blanchard
jenisnya merupakan populasi yang terbatas dan dalam Robbins (1996:45) dan Wirjana dan
menurut sifatnya merupakan populasi yang Supardo (2005:48) yaitu sebagai berikut: (1)
homogen. Populasi dalam penelitian ini adalah Telling (kemampuan untuk memberitahu
seluruh karyawan PT. Pei Hai International anggota apa yang harus mereka kerjakan), (2)
Wiratama Indonesia di Surabaya dan Jombang Selling (kemampuan menjual/memberikan ide-
sejumlah 1.737 orang pegawai. ide kepada anggota), (3) Participating
(kemampuan berpartisipasi dengan anggota),
Teknik Pengambilan dan Besar Sampel dan (4) Delegating (kemampuan
mendelegasikan kepada anggota).

Budaya Organisasi (X3).

131
dimiliki, (2) Kemampuan perusahaan dalam
Budaya Organisasiadalah suatu pola asumsi meningkatkan efisiensi penggunaan seluruh
dasar yang diciptakan, ditemukan atau waktu yang dimiliki, (3) Kemampuan
dikembangkan oleh kelompok tertentu sebagai perusahaan dalam beradaptasi terhadap
pembelajaran untuk mengatasi masalah adaptasi perubahan, (4) Kemampuan perusahaan dalam
eksternal dan integrasi internal yang resmi dan mencapai target yang telah ditetapkan.
terlaksana dengan baik dan oleh karena itu
diajarkan/diwariskan kepada anggotaanggota Instrumen Penelitian
baru sebagai cara yang tepat memahami,
memikirkan, dan merasakan terkait dengan
masalah tersebut (Schein dalam Tika, 2006:2). Pengukuran variabel bebas, variabel antara,
Variabel budaya organisasi ini secara dan variabel terikat dalam kuisioner adalah
operasional diukur dengan menggunakan 6 menggunakan skala Likert dengan skala
(enam) indikator yang diadopsi dari penilaian (skor) 1 sampai dengan 5, dengan
karakteristik budaya organisasi menurut variasi jawaban untuk masingmasing item
Robbins (1990:480) dalam Brahmasari pertanyaan adalah ”sangat setuju/ mampu”,
(2004:108118), yaitu: (1) Nilai-nilai organisasi, ”setuju/mampu”, ”cukup setuju/cukup mampu”,
(2) Dukungan manajemen, (3) Sistem imbalan, ”tidak setuju/tidak mampu” dan ”sangat tidak
(4) Toleransi dalam berbagi kesalahan sebagai setuju/sangat tidak mampu”. Masing-masing
peluang untuk belajar, (5) Orientasi pada rincian pilihan jawaban diberi nilai 1 untuk jawaban
(detil) pekerjaan, (6) Orientasi pada tim. ekstrim negatif dan nilai 5 untuk jawaban
Kepuasan Kerja Karyawan (Z). ekstrim positif.

Kepuasan kerja karyawan adalah sebagai Teknik Pengumpulan Data


suatu sikap umum seorang individu terhadap
pekerjaannya (Robbins, 2001:148). Data yang akan diambil dalam penelitian ini
Variabel kepuasan kerja karyawan ini secara adalah berupa data primer sedangkan metode
operasional diukur dengan menggunakan 4 pengumpulan data dilakukan dengan kuisioner
(empat) indikator yang diadopsi dari teori dua yang diberikan kepada responden secara
faktor Herzberg dalam Mangkunegara langsung
(2005:121-122), yaitu: (1) Kompensasi, (2) (Sugiyono, 2005:135).
Kondisi kerja, (3) Sistem administrasi dan
kebijakan perusahaan, (4) Kesempatan untuk Pengujian Validitas dan Reliabilitas
berkembang. Instrumen Penelitian

Kinerja Perusahaan (Y). Validitas instrumen dalam penelitian ini


diuji dengan cara menghitung korelasi Pearson
Kinerja perusahaanadalah merupakan hasil dari skor tiap item pertanyaan dengan skor
kerja yang secara kualitas dan kuantitas dapat totalnya. Sedangkan untuk reliabilitas
dicapai oleh seorang pegawai dalam menggunakan Alpha Chronbach>0,60.
melaksanakan tugas sesuai tanggung jawab
yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, Teknik Analisis Data dan Pengujian
2001 dalam Koesmono, 2005:28). Hipotesis
Variabel kinerja perusahaan ini secara
operasional diukur dengan menggunakan 4
(dua) indikator yang diadopsi dari Brahmasari Dalam perhitungan pengolahan data,
(2004:121-122), yaitu: (1) Kemampuan peneliti mempergunakan alat bantu yang berupa
perusahaan dalam meningkatkan efisiensi program aplikasi komputer yaitu SPSS versi
penggunaan sumber daya manusia yang 13.0 dan AMOS versi 4.0.

132
Hipotesis 1: Motivasi kerja mempunyai
HASIL ANALISIS DATA pengaruh yang positif dan
signifikan terhadap kepuasan kerja
karyawan.
Deskripsi Karakteristik Responden Hipotesis 2: Kepemimpinan mempunyai
pengaruh yang negatif dan
signifikan terhadap kepuasan kerja
Karakteristik responden merupakan karyawan.
gambaran dari keberadaan responden yang
Hipotesis 3: Budaya organisasi mempunyai
terlibat dalam penelitian yaitu berdasarkan jenis
pengaruh yang positif dan
kelamin, usia, pendidikan terakhir, masa kerja,
signifikan terhadap kepuasan kerja
dan status bekerja. Dari seluruh sampel
karyawan.
karyawan sejumlah 325 orang yang diteliti,
semuanya dapat mengisi dan mengembalikan Hipotesis 4: Motivasi kerja mempunyai
kuisioner yang diberikan. pengaruh yang positif tetapi tidak
signifikan terhadap kinerja
Karakteristik responden penelitian ini
perusahaan.
adalah sebagai berikut:
Hipotesis 5: Kepemimpinan mempunyai
1) Mayoritas, yaitu 191 (58,8%) responden
pengaruh yang positif dan
adalah wanita.
signifikan terhadap kinerja
2) Mayoritas, yaitu 115 (35,4%) responden perusahaan.
berusia antara 46-55 tahun.
Hipotesis 6: Budaya organisasi mempunyai
3) Sebagian besar, yaitu 167 (51,4) responden pengaruh yang positif dan
berpendidikan SLTA. signifikan terhadap kinerja
4) Sebanyak 314 (96,6%) responden adalah perusahaan.
pegawai tetap. Hipotesis 7: Kepuasan kerja karyawan
5) Masa kerja responden, yaitu bekerja < 1 mempunyai pengaruh yang positif
tahun sebanyak 31 orang atau 9.5 %, antara dan signifikan terhadap kinerja
1-3 tahun sebanyak 41 orang atau 12.6 %, perusahaan.
antara 3–5 tahun sebanyak 64 orang atau
19.7%, dan > 5 tahun
PEMBAHASAN
sebanyak 189 orang atau 58.2%

Tabel 1. Hasil Analisis DeskriptifVariabel Pengaruh Motivasi Kerja terhadap Kepuasan


Penelitian Kerja Karyawan

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa


No. Simbol Variabel Penelitian Mean
motivasi kerja berpengaruh positif dan
Kategori signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan,
1. X1 Motivasi Kerja 4.268 Tinggi artinya bahwa motivasi kerja memang sangat
2. X2 Kepemimpinan 4.220 Baik diperlukan oleh seorang karyawan untuk dapat
mencapai suatu kepuasan kerja yang tinggi
3. X3 Budaya Organisasi 4.368 meskipun menurut sifatnya kepuasan kerja itu
Kuat sendiri besarannya sangat relatif atau berbeda
4. Z Kepuasan Kerja 4.643 antara satu orang dengan orang lainnya. Tetapi
Tinggi secara keseluruhan, para responden menyatakan
Karyawan bahwa selama bekerja di perusahaan mereka
5. Y Kinerja Perusahaan 4.572 menyatakan merasa puas atas motivasi kerja
Tinggi Hasil Pengujian Hipotesis yang selama ini diberikan oleh manajemen
kepada para karyawan perusahaan.

133
Hasil penelitian ini mendukung beberapa Pengaruh Budaya Organisasi terhadap
pendapat dan teori tentang motivasi yang Kepuasan Kerja Karyawan
dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut:
Robbins (2005:55); Hodgets dan Luthans dalam
Usmara (2006:14); Aldag dan Stearns (1987) Hasil penelitian ini membuktikan bahwa
dalam Usmara (2006:15); Gibson, Ivancevich budaya organisasi berpengaruh positif dan
dan Donnely (1997:89); Scott dalam Sukarto signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan,
(1999) dan Sutiadi (2003:3); Sperling artinya budaya organisasi merupakan suatu
(1987:183), Stanton (1981:101) dalam konsep yang dapat dijadikan sarana untuk
Mangkunegara (2005:93-94); Maslow dalam mengukur kesesuaian dari tujuan organisasi,
Usmara (2006:18) dan Gibson, Ivancevich dan strategi dan organisasi tugas, serta dampak yang
Donnely (1992:92); Herzberg dalam Kreitner dihasilkan, karena tanpa ukuran yang valid dan
dan Kinichi (2005:262); McClelland dalam reliabel dari aspek kritis budaya organisasi maka
Mangkunegara (2005:19), Usmara (2006:27), pernyataan tentang dampak budaya pada
Suprihanto, Harsiwi, Hadi (2002:48). kepuasan kerja karyawan dan kinerja
perusahaan akan terus berdasarkan pada
spekulasi, observasi personal dan studi kasus
Pengaruh Kepemimpinan terhadap (Marcoulides dan Heck (1993) dalam
Kepuasan Kerja Karyawan Brahmasari (2004:16)).
Hasil penelitian ini mendukung beberapa
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pendapat tentang budaya organisasi yang
kepemimpinan berpengaruh negatif dan dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut:
signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan, Marcoulides dan Heck (1993) dalam
artinya hasil dari pelaksanaan aktivitas Brahmasari (2004:16); Schein dalam Tika
manajerial kepemimpinan yang dijalankan (2006:2); Deal dan Kennedy (1982) dalam Tika
belum tentu mempunyai dampak yang selalu (2006:16); Robbins (2001:528) dalam
positif atau baik bagi organisasi, sebab semakin Koesmono (2005:79).
tinggi pelaksanaan aktivitas manajerial Hasil penelitian ini mendukung penelitian
kepemimpinan dilakukan, maka akan dari Koesmono (2005:79) yang mengemukakan
berdampak pada penurunan kinerja perusahaan bahwa budaya organisasi berpengaruh terhadap
dari waktu ke waktu. Pelaksanaan aktivitas kepuasan kerja yang ditunjukkan oleh koefisien
kepemimpinan yang lebih banyak ke arah jalur = 2.078 dan p (0.000) < α (0.05) artinya
menekan karyawan bisa saja menyebabkan budaya organisasi secara positif dan searah
seorang karyawan dapat mencapai kepuasan berpengaruh terhadap kepuasan kerja.
dalam bekerja, tetapi belum tentu dapat
membawa pengaruh yang positif dalam Pengaruh Motivasi Kerja terhadap Kinerja
pembentukan kepribadian bawahan untuk ikhlas
bekerja mencapai tujuan organisasi. Perusahaan
Hasil penelitian ini berbeda dengan
beberapa pendapat dan teori tentang Hasil penelitian ini membuktikan bahwa
kepemimpinan yang dikemukakan oleh para ahli motivasi kerja berpengaruh positif tetapi tidak
sebagai berikut: Dubrin (2005:3); Agarwal signifikan terhadap kinerja perusahaan, artinya
(1984), Koontz (1984), Bartol (1991) dalam meskipun motivasi kerja berpengaruh positif
Tika (2006:63); Kreitner dan Kinicki dan signifikan terhadap kepuasan kerja tetapi
(2005:299); Yukl (1989) dalam Kreitner dan belum tentu mempengaruhi kinerja perusahaan.
Kinicki (2005:300); Studi Universitas Negeri Hal ini dapat terjadi karena karyawan yang
Ohio dalam Robbins (1996:41-44); Hersey dan merasa puas karena telah dipenuhi
Blanchard dalam Suryoputro et. al. (2005:1). kebutuhannya oleh manajemen dapat bekerja
secara optimal. Belum optimalnya kerja seorang
karyawan dibatasi oleh adanya kebijakan atasan
misalnya berhubungan dengan waktu lembur,

134
yaitu karyawan yang telah terpuaskan Pengaruh Budaya Organisasi terhadap
kebutuhannya merasa bahwa manajemen telah Kinerja Perusahaan
memberikan penghargaan kepada dirinya
sehingga dia merasa harus bekerja dengan
profesional artinya apabila terdapat pekerjaan Hasil penelitian ini membuktikan bahwa
yang melekat pada dirinya yang sampai dengan mempunyai pengaruh positif dan signifikan
jam kerja belum selesai tetapi dapat diselesaikan terhadap kinerja perusahaan, artinya budaya
hari tersebut, karyawan tersebut bermaksud organisasi yang merupakan hasil dari interaksi
untuk menyelesaikannya karena dedikasi dan ciri-ciri kebiasaan yang mempengaruhi
loyalitas terhadap pekerjaannya meskipun tidak kelompok-kelompok orang dalam lingkungan
diperhitungkan waktu lembur. Tetapi pihak organisasinya, akan membentuk suatu persepsi
manajemen menentukan bahwa sesuai ketentuan subyektif keseluruhan mengenai organisasi
yang ada hal tersebut tidak diperkenankan, berdasarkan pada faktor-faktor seperti toleransi
akhirnya karyawan tersebut akan menyelesaikan resiko, tekanan pada tim, dan dukungan orang,
pada hari berikutnya. Hal inilah yang salah persepsi keseluruhan ini akan menjadi budaya
satunya menjadi suatu pertimbangan dan alasan atau kepribadian organisasi tersebut yang
bahwa motivasi kerja berpengaruh signifikan mampu mendukung dan mempengaruhi
terhadap kepuasan kerja tetapi motivasi kerja kepuasan kerja karyawan dan kinerja
tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan serta dampak yang lebih besar pada
perusahaan. budaya yang lebih kuat.
Hasil penelitian ini mendukung beberapa
Pengaruh Kepemimpinan pendapat dan teori tentang budaya organisasi
yang dikemukakan oleh para ahli sebagai
terhadap Kinerja Perusahaan berikut: Marcoulides dan Heck (1993) dalam
Brahmasari (2004:16); Schein dalam Tika
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa (2006:2); Deal dan Kennedy (1982) dalam Tika
kepemimpinan berpengaruh positif dan (2006:16); Robbins (2001:528) dalam
signifikan terhadap kinerja perusahaan, artinya Koesmono (2005:79).
kepemimpinan merupakan suatu upaya untuk
memengaruhi banyak orang melalui proses Pengaruh Kepuasan Kerja Karyawan
komunikasi untuk mencapai tujuan organisasi
diharapkan dapat menimbulkan perubahan
terhadap Kinerja Perusahaan
positif berupa kekuatan dinamis yang dapat
mengkoordinasikan organisasi dalam rangka Hasil penelitian ini membuktikan bahwa
mencapai tujuan jika diterapkan sesuai dengan kepuasan kerja karyawan berpengaruh positif
koridor yang telah ditetapkan kedua belah pihak dan signifikan terhadap kinerja perusahaan,
sesuai dengan jabatan yang dimiliki. artinya bahwa secara umum kepuasan kerja
Hasil penelitian ini mendukung beberapa karyawan yang tinggi akan mampu
pendapat dan teori tentang kepemimpinan yang meningkatkan kinerja perusahaan. Hasil
dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut: penelitian ini mendukung pendapat Lawler dan
Dubrin (2005:3); Agarwal (1984), Koontz Porter (1967) dalam Usmara (2006:45) dan
(1984), Bartol (1991) dalam Tika (2006:63); Hasibuan dalam Sujak (1990) dan Sutiadi
Kreitner dan Kinicki (2005:299); Yukl (1989) (2003:6). Hasil penelitian ini mendukung hasil
dalam Kreitner dan Kinicki (2005:300); Studi penelitian Koesmono (2005) memberikan suatu
Universitas Negeri Ohio dalam Robbins kesimpulan bahwa kepuasan kerja secara positif
(1996:41-44); Hersey dan Blanchard dalam dan signifikan berpengaruh terhadap kinerja.
Suryoputro et. al. (2005:1).
KESIMPULAN

135
Berdasarkan hasil analisis data dengan Cetakan Pertama, Binarupa Aksara,
menggunakan Structural EquationModeling Jakarta.
(SEM) melalui program AMOS versi 4.0 dan
pembahasan hasil penelitian yang telah Damanhuri Didin S., 2003. SDM Indonesia
dikemukakan pada bab sebelumnya, dapat Dalam Persaingan Global, Jurnal Harian
disimpulkan beberapa hal penting dalam Sinar Harapan, Bogor.
penelitian ini sebagai berikut: Djati Sundring Pantja, 2000. Dampak
1) Motivasi kerja berpengaruh positif dan Pergeseran Nilai-nilai Organisasi
signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan terhadap Kebijaksanaan Sumber Daya
2) Kepemimpinan berpengaruh negatif dan Manusia dan Implikasinya,
signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan
3) Budaya organisasi berpengaruh positif dan Universitas Kristen Petra, Volume 2
signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan Nomor 1, Surabaya.
4) Motivasi kerja tidak berpengaruh signifikan
Djati Sundring Pantja, 1999. Pengaruh
terhadap kinerja perusahaan
Variabelvariabel Motivasi terhadap
5) Kepemimpinan berpengaruh positif dan Produktivitas Tenaga Kerja Karyawan
signifikan terhadap kinerja perusahaan pada Industri Rumah Tangga di
6) Budaya organisasi berpengaruh positif dan Kabupaten Sidoarjo, Jurnal Manajemen
signifikan terhadap kinerja perusahaan dan Kewirausahaan Universitas Kristen
7) Kepuasan kerja karyawan berpengaruh Petra, Volume 1 Nomor 1, Surabaya.
positif dan signifikan terhadap kinerja
perusahaan Dubrin Andrew J., 2005. Leadership
(Terjemahan), Edisi Kedua, Prenada
Media, Jakarta.
Ermayanti Dwi, Thoyib Armanu, 2001.
Pengaruh Faktor Motivasi terhadap
DAFTAR PUSTAKA Prestasi Kerja Karyawan pada Kantor
Perum Perhutani Unit II Surabaya, Jurnal
Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya
Antoni Feri, 2006. Pengaruh Gaya
Malang.
Kepemimpinan Orientasi Tugas dan
Orientasi Hubungan terhadap Motivasi Gibson, Ivancevich, Donnely, 1997.
Kerja dan Dampaknya pada Prestasi Organizations (Terjemahan), Cetakan
Kerja Pegawai Pengadilan Tinggi Tata Keempat, PT. Gelora Aksara Pratama,
Usaha Negara Surabaya, Tesis Jakarta.
Universitas 17 Agustus Surabaya.
Indrawijaya Adam I., 2002. Perilaku
Brahmasari Ida Ayu, 2004. Pengaruh Variabel Organisasi, Cetakan Ketujuh, Sinar Baru
Budaya Perusahaan terhadap Komitmen Algensindo, Bandung. Johnson C. Merle,
Karyawan dan Kinerja Perusahaan Redmon William K., 2004. Mawhinney Thomas
Kelompok Penerbitan Pers Jawa Pos, C., Handbook of Organizational Performance
Disertasi Universitas Airlangga, (Terjemahan), Cetakan Pertama, PT.
Surabaya. Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Budiman Fransiska Maria, 2005. Pengaruh Katzenbach Jon R., 1998. Real Change Leaders
Variabel Budaya Perusahaan terhadap (Terjemahan), Professional Book, Jakarta.
Kinerja Perusahaan suatu Studi pada
Plaza Marina Surabaya, Tesis Universitas Koesmono H. Teman, 2005. Pengaruh Budaya
17 Agustus Surabaya. Organisasi terhadap Motivasi dan
Kepuasan Kerja serta Kinerja Karyawan
Collins Eliza G.C., Devanna Mary Anne, 1994. pada Sub
The Portable MBA (Terjemahan),

136
Sektor Industri Pengolahan Kayu Ekspor Robbinss Stephen P., 2002. Essentials of
di Jawa Timur, Disertasi Universitas Organizational Behavior (Terjemahan),
Airlangga, Surabaya. Edisi Kelima, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Kreitner Robert, Kinicki Angelo, 2005. Robbinss Stephen P., 2001. Organizational
Organizational Behavior (Terjemahan) Behavior (Terjemahan) Jilid 1, Edisi
Buku 1, Edisi Kelima, Salemba Empat, Kedelapan, PT. Bhuana Ilmu Populer,
Jakarta. Jakarta.

Kreitner Robert, Kinicki Angelo, 2005. Robbinss Stephen P., 1996. Organizational
Organizational Behavior (Terjemahan) Behavior (Terjemahan) Jilid 2, Edisi
Buku 2, Edisi Kelima, Salemba Empat, Ketujuh, PT. Bhuana Ilmu Populer,
Jakarta, Jakarta.

Kuncoro Mudrajad, 2003. Metode Riset untuk Sarjadi Soegeng, 2001. Otonomi Potensi Masa
Bisnis dan Ekonomi, Penerbit Erlangga, Depan Republik Indonesia, Cetakan Pertama,
Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Schuler
Randall S., Jackson Susan E., 1996. Human
Mangkunegara Anwar Prabu, 2005. Manajemen Resource Management (Terjemahan) Jilid 1,
Sumber Daya Manusia Perusahaan, Edisi Keenam, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Cetakan Keenam, PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung. Siagian Sondang P., 2002. KiatMeningkatkan
Produktivitas Kerja, Cetakan Pertama,
Mangkunegara Anwar Prabu, 2005. Perilaku PT. Rineka Cipta, Jakarta.
dan Budaya Organisasi, Cetakan Pertama,
PT. Refika Aditama, Bandung. Simanjuntak Payaman, 2005. Manajemen
Kinerja, Jurnal Ekonomi Universitas
Mathis Robert L., Jackson John H., 2001. Indonesia, Jakarta.
Human Resource Management
(Terjemahan) Buku 1, Suprihanto John, Harsiwi Th. Agung M., Hadi
Prakosa, 2003. Perilaku Organisasional,
Edisi Kesembilan, Penerbit Salemba
Empat, Jakarta. Cetakan Pertama, Bagian Penerbitan
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi,
Mathis Robert, L., Jackson John H., 2002. Yogyakarta.
Human Resource Management
(Terjemahan) Buku 2, Suprihanto John, 2001. Penilaian Kinerja dan
Pengembangan Karyawan, Cetakan
Edisi Kesembilan, Penerbit Salemba Kelima,
Empat, Jakarta. Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Ndraha Taliziduhu, 2005. Teori Budaya
Organisasi, Cetakan Pertama, PT. Rineka Sylvana Andi, 2002. Pengaruh
Cipta, Jakarta. GayaKepemimpinan terhadap Kinerja
dan Kepuasan Kerja Anggota Polri Polda
Nimran Umar, 2004. Perilaku Organisasi, Metro Jaya, Jurnal
Cetakan Ketiga, CV. Citra Media,
Universitas Terbuka, Jakarta.
Surabaya.
Tika H. Moh. Pabundu, 2006. Budaya
Osada Takashi, 2004. The 5S’s: Five Keys to a
Organisasi dan Peningkatan Kinerja
Total Quality Environment (Terjemahan),
Perusahaan, Cetakan Pertama, PT. Bhumi
Cetakan Kelima, Penerbit PPM, Jakarta.
Aksara, Jakarta.
Rachmany Hasan, 2006. Kepemimpinan dan Thoyib Armanu, 2005. Hubungan
Kinerja, Cetakan Pertama, Yapensi, Kepemimpinan, Budaya, Strategi dan
Jakarta. Kinerja: Pendekatan Konsep, Jurnal

137
Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya
Malang.
Tunggal Amin Widjaja, 2005. Tanya Jawab
Budaya Organisasi, Harvarindo, Jakarta.
Umar Husein, 2002. Metode Riset Bisnis,
Cetakan Kedua, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Usmara A., 2006. Motivasi Kerja, Cetakan
Pertama, Puri Arsita Anam, Yogyakarta.
Usmara A., Dwiantara Lukas, 2004. Strategi
Organisasi, Cetakan Pertama, Amara
Books, Yogyakarta.
Usmara A., 2004. Handbook of Organizations
(Terjemahan), Cetakan Kedua, Amara
Books, Yogyakarta.
Usmara A., 2003. Ideas at Work (Terjemahan),
Cetakan Pertama, Amara Books,
Yogyakarta.
Wibowo, 2006. Manajemen Perubahan,
Cetakan
Pertama, PT. Rajagrafindo Persada,
Jakarta.
Winardi, 2004. ManajemenPerilaku Organisasi,
Edisi Revisi Cetakan Pertama, Prenada
Media, Jakarta.

Wirjana Bernardine R., 2005. Supardo Susilo,


Kepemimpinan, Cetakan Pertama,
Penerbit Andi, Yogyakarta.
Yasa I Gede Adi, 2006. Pengaruh Karakteristik
Manajemen Karier terhadap Komitmen
Karyawan dan Dampaknya pada Prestasi
Kerja Karyawan PT. Adi Bharata Asty
Denpasar, Tesis Universitas 17 Agustus
Surabaya.
Yasin Azis, 2001. Kepemimpinan dalam
Pengembangan Organisasi, Jurnal
Lintasan Ekonomi Fakultas Ekonomi
Universitas Brawijaya Malang, Volume
18 Nomor 1, Malang.
Yuliani Heni, 2005. Pengaruh Faktor-faktor
Motivasi Kerja terhadap Produktivitas
Kerja pada Wartawan Deteksi Jawa Pos,
Tesis Universitas 17 Agustus 1945
Surabaya.

138
ANALISIS PENGARUH PERILAKU KEPEMIMPINAN DAN
PERCEIVED ORGANIZATIONAL SUPPORT (POS) PADA KEPUASAN
KERJA
(Studi pada Karyawan PT. Perkebunan Nusantara X Klaten)

KUN HENDRAWAN MAWARDI F0208077

Pembimbing :
Dra.Ig. Sri Seventi Pujiastuti M.Si

ABSTRACT
ANALYSIS OF EFFECT OF LEADERSHIP BEHAVIOR AND
PERCEIVED ORGANIZATIONAL SUPPORT (POS) ON JOB
SATISFACTION
(Studies on The Employees of PT. Nusantara X Klaten)
Kun Hendrawan Mawardi
F 0208077

The main purpose of this study is to determine the effect of leadership behavior and
POS also the interaction of both on job satisfaction.
Samples in this study were 110 employees of PT Perkebunan Nusantara X Klaten and
taken by the convenience sampling methods. The analytical method used was Hierarchical
Multiple Regression Analysis.
The results of this study is, the first, from two dimensions of leadership behavior only
consideration leadership behaviors affects positf on job satisfaction, while the initiating
structure of leadership behaviors has a negative effect on job satisfaction. Second, POS
positive effect on job satisfaction. Third, the interaction of leadership behavior and POS has
no influence on job satisfaction.

Key words : leadership behaviors, POS, job satisfaction, interaction


cara-cara yang tepat untuk meningkatkan
PENDAHULUAN kinerja bawahannya. Peningkatan kinerja
karyawan sejalan dengan percepatan
A.LATAR BELAKANG pencapaian tujuan organisasi. Dalam
upaya pencapaian tujuan organisasi,
Semakin majunya jaman menuntut kepemimpinan seorang pemimpin
organisasi untuk dapat lebih cerdas organisasi sangat berpengaruh terutama
dalam mengelola sumber daya bagi karyawan karena karyawan
manusianya. Pemimpin organisasi dalam menganggap bahwa atasan mereka
hal ini sebagai representasi organisasi adalah panutan didalam organisasi.
dalam pengelolaan sumber daya manusia
secara langsung, harus dapat memakai
67
Dalam suatu organisasi (Lok & Crawford, 2004). Ketidakpuasan
kepemimpinan merupakan faktor yang karyawan akan mengurangi komitmen kerja
sangat penting dalam menentukan mereka dan meningkatkan turnover
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan didalam organisasi. Di sisi lain,
oleh organisasi. Kepemimpinan merupakan ketidakpuasan kerja tidak hanya
titik sentral dan penentu kebijakan dari meningkatkan niat untuk berhenti tetapi
kegiatan yang akan dilaksanakan dalam juga mengurangi kontribusi karyawan
organisasi. Perilaku kepemimpinan kepada organisasi (Lok & Crawford, 2004).
memiliki dampak yang besar dan langsung Kepuasan kerja adalah keadaan
pada lingkungan kerja, hasil kerja dan emosional yang menyenangkan atau tidak
keberhasilan organisasi (Kritsonis, 2004). menyenangkan terkait cara pandang
Kepemimpinan adalah tentang karyawan mengenai pekerjaan mereka.
mempengaruhi. Kemampuan untuk Kepuasan kerja merupakan cerminan
mempengaruhi bawahan, rekan-rekan, dan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya,
atasan di tempat kerja atau dalam konteks pekerjaan tersebut ditampilkan pada sikap
organisasional. Tanpa pengaruh mustahil kerja positif karyawan terhadap
untuk menjadi pemimpin. Tentu saja pekerjaannya serta segala sesuatu yang
memiliki pengaruh berarti bahwa ada dihadapi di lingkungan kerjanya (Handoko,
keinginan yang lebih besar di pihak para 1999).
pemimpin untuk menunjukkan pengaruh Penelitian ini menggunakan dua
mereka secara etis (Rowe & Guerrero, dimensi Kepuasan Kerja yaitu Kepuasan
2010). Kerja Intrinsik dan Kepuasan Kerja
Penelitian ini menggunakan dua Ekstrinsik. Kepuasan Kerja Intrinsik adalah
dimensi yang mengkategorikan perilaku ketika pekerja hanya mempertimbangkan
kepemimpinan, yaitu konsiderasi dan jenis pekerjaan yang mereka lakukan dan
struktur inisiasi (Lawrence, 2007). tugas-tugas yang membentuk pekerjaan
Pemimpin yang memiliki perilaku (Ahmad & Yekta, 2010). Kepuasan Kerja
kepemimpinan konsiderasi menyediakan Ekstrinsik adalah ketika pekerja
lingkungan yang hangat, ramah dan mempertimbangkan kondisi kerja, seperti
mendukung, sedangkan pemimpin dengan gaji, rekan kerja, dan supervisor (Ahmad &
perilaku kepemimpinan struktur inisiasi Yekta, 2010).
menetapkan tugas, menentukan prosedur PT. Perkebunan Nusantara X Klaten
dan lebih berorientasi pada tindakan atau lebih dikenal sebagai PTPN X Klaten
(Lawrence, 2007). merupakan salah satu unit usaha Badan
Perceived Organizational Support Usaha Milik Negara (BUMN) yang
(POS) adalah sejauh mana karyawan bergerak dalam sektor perkebunan
percaya bahwa organisasi mereka tembakau cerutu. PTPN X Klaten
menghargai kontribusi mereka dan peduli melakukan sendiri usaha penanaman
tentang kesejahteraan mereka (Eisenberger tembakau hingga proses pengolahan daun
et al., 1986; Rhoades & Eisenberger, 2002). tembakau menjadi lembaranlembaran (bal)
Untuk memiliki tingkat kinerja dan sebagai bahan baku pembuatan cerutu
efektivitas organisasional yang tinggi sebagai komoditi ekspor dengan tujuan
sangat penting bagi karyawan dan atasan ekspor negara Jerman.
memiliki tingkat kepuasan yang tinggi, PTPN X Klaten selain
maka dari itu tingkat kepuasan memiliki memperkerjakan karyawan juga
pengaruh terhadap keberhasilan perusahaan mempekerjakan buruh yang berperan secara

68
langsung dari proses awal penanaman Northouse (2007) mendefinisikan
tembakau hingga proses akhir menjadi bal. kepemimpinan sebagai proses dimana
PTPN X Klaten memiliki 3 kebun seorang individu mempengaruhi
penanaman tembakau yaitu Kebun sekelompok individu untuk mencapai
Kebonarum, Gayamprit, dan Wedibirit. tujuan bersama. Definisi ini menunjukkan
Dari ketiga kebun tersebut jumlah buruh beberapa komponen sentral pada fenomena
yang dipekerjakan bisa mencapai 2000 kepemimpinan, antara lain :
orang sepanjang tahun. a. Kepemimpinan adalah sebuah proses
Dengan besarnya sumber daya manusia b. Kepemimpinan adalah tentang
yang dimiliki PTPN X para pemimpin dituntut mempengaruhi orang lain
untuk memiliki suatu perilaku kepemimpinan c. Kepemimpinan terjadi dalam konteks
yang bisa memanage seluruh bawahannya agar
dapat mempertahankan dan meningkatkan kelompok
kinerjanya. Peningkatan kinerja bawahan yang d. Kepemimpinan melibatkan
dapat dilakukan oleh pemimpin adalah dengan pencapaian tujuan
menciptakan suatu lingkungan kerja yang e. Tujuan tersebut disampaikan oleh
nyaman sehingga tercipta kepuasan kerja yang pemimpin kepada pengikut.
dirasakan seluruh karyawan. Terciptanya
kepuasan kerja juga berasal dari perasaan Rowe & Guerrero (2010) juga
dukungan yang dirasakan bawahan mengenai berpendapat bahwa mendefinisikan
pekerjaan yang ia lakukan. Dukungan tersebut kepemimpinan sebagai suatu proses
bisa terlihat dari kepedulian atasan sebagai membuat kepemimpinan juga berlaku bagi
representasi perusahaan pada kesejahteraan
semua orang, bukan hanya beberapa orang
bawahannya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, terpilih yang terlahir sebagai pemimpin.
penulis tertarik untuk melakukan penelitian Yang lebih penting bahwa kepemimpinan
yang bersifat replikasi dari penelitian yang tidak dibatasi hanya satu orang dalam
dilakukan oleh Ahmad dan Yekta (2010). kelompok yang memiliki kekuatan posisi
Selanjutnya, penelitian ini akan dilakukan formal (pemimpin resmi yang diangkat).
dengan judul : Kepemimpinan adalah tentang
“ANALISIS PENGARUH PERILAKU mempengaruhi. Kemampuan untuk
KEPEMIMPINAN DAN PERCEIVED mempengaruhi bawahan, rekan-rekan,dan
ORGANIZATIONAL SUPPORT(POS) atasan di tempat kerja atau dalam konteks
PADA KEPUASAN KERJA (Studi pada organisasional. Tanpa pengaruh mustahil
Karyawan PT. Perkebunan Nusantara X untuk menjadi pemimpin. Tentu saja,
Klaten)”. memiliki pengaruh berarti bahwa ada
keinginan yang lebih besar di pihak para
TINJAUAN PUSTAKA pemimpin untuk menunjukkan pengaruh
mereka secara etis (Rowe & Guerrero,
1.Perilaku Kepemimpinan 2010).
Penilitian ini kemudian lebih berfokus
Yukl (2006) mendefinisikan
pada dua dimensi dari perilaku
kepemimpinan sebagai proses
kepemimpinan yakni Perilaku
mempengaruhi orang lain untuk mengerti
Kepemimpinan Konsiderasi dan Perilaku
dan menyetujui tentang apa yang perlu
Kepemimpinan Struktur Inisiasi. Seperti
dilakukan dan bagaimana melakukannya,
yang telah dijelaskan bahwa Perilaku
dan proses untuk memfasilitasi upaya
Kepemimpinan Konsiderasi dan Perilaku
individu dan kolektif untuk mencapai
Kepemimpinan Struktur Inisiasi muncul
tujuan bersama.

69
sebagai hasil dari penelitian atau studi yang Perilaku direktif meliputi: memulai
dilakukan oleh Studi Ohio State University. dan mengorganisasi aktifitas kerja
a. Perilaku Kepemimpinan Konsiderasi kelompok, tugas-tugas, spesifikasi dari cara
kerja yang akan dilakukan, penekanan pada
Pemimpin yang memiliki perilaku pencapaian tujuan, dan pembentukan
kepemimpinan konsiderasi menyediakan saluran komunikasi yang jelas. Sedangkan
lingkungan yang hangat, ramah dan perilaku otokratis terdiri dari pembuatan
mendukung bagi bawahannya (Lawrence, keputusan tanpa melibatkan anggota tim.
2007). Burke et. al. (2006) mendefinisikan Kesimpulannya bahwa perilaku
perilaku kepemimpinan konsiderasi sebagai kepemimpinan struktur inisiasi terutama
label untuk perilaku pemimpin yang berorientasi pada penyelesaian tugas (Burke
diarahkan untuk menjaga hubungan sosial et. al., 2006).
yang erat dan kohesi kelompok. Secara Menurut id.wikipedia.org perilaku
umum, hubungan diadik ditandai dengan kepemimpinan struktur inisiasi sejauh mana
pertimbangan yang mencerminkan dua arah pemimpin mendefinisikan peran pemimpin
komunikasi terbuka, saling menghormati dan anggota kelompok, memulai tindakan,
dan kepercayaan, serta penekanan pada menyelenggarakan kegiatan kelompok dan
pemenuhan kebutuhan karyawan. Berbeda mendefinisikan bagaimana tugas-tugas
dengan struktur inisiasi, perilaku yang harus diselesaikan oleh kelompok.
konsiderasi mencerminkan penekanan pada Perilaku kepemimpinan yang berorientasi
orang dan hubungan pribadi. pada tugas.
Mengutip id.wikipedia.org mengenai 2. Percieved Organizational
perilaku kepemimpinan konsiderasi adalah Support (POS)
sejauh mana pemimpin menunjukkan
Perceived Organizational Support
kepedulian terhadap kesejahteraan anggota
(POS) adalah sejauh mana karyawan
kelompok. Faktor ini berorientasi ke arah
percaya bahwa organisasi menghargai
hubungan interpersonal, saling percaya dan
kontribusi mereka dan peduli tentang
persahabatan. Perilaku kepemimpinan yang
kesejahteraan mereka. (Eisenberger et al,
berorientasi pada orang.
1986; Rhoades & Eisenberger, 2002).
b. Perilaku Kepemimpinan POS mencerminkan persepsi
Struktur Inisiasi komitmen organisasi kepada karyawannya.
Pemimpin dengan perilaku Ini adalah seperangkat keyakinan global
kepemimpinan struktur inisiasi menetapkan yang di kembangkan oleh karyawan
tugas, menentukan prosedur dan lebih mengenai sejauh mana organisasi menilai
berorientasi pada tindakan (Lawrence, kontribusi mereka dan peduli tentang
2007). Burke et. al. (2006) mendefinisikan kesejahteraan mereka (Eisenberger et al,
Perilaku kepemimpinan struktur inisiasi 1986.). Organisasi dapat mengembangkan
sebagai label yang diberikan kepada keyakinan global dengan memenuhi
perilaku pemimpin yang menekankan kebutuhan socioemotional karyawan
pencapaian tujuan tugas melalui sehingga menciptakan di dalamnya suatu
minimalisasi ambiguitas peran dan konflik. perasaan kewajiban untuk memelihara
Telah dikemukakan bahwa struktur inisiasi kesejahteraan organisasi dan dengan
terdiri dari dua subdimensi, yaitu meningkatkan reward atas usaha, sehingga
kepemimpinan direktif dan kepemimpinan memperkuat keyakinan karyawan bahwa
otokratis (Pearce et al, 2003.). organisasi mengakui dan menghargai

70
kinerja karyawan (Rhoades & Eisenberger, 5. Hubungan dengan mitra kerja
2002). Kepuasan kerja menggambarkan pula
perilaku Seseorang dengan tingkat
3. Kepuasan Kerja kepuasan kerja tinggi menunjukan sikap
Robbins (2006) menyatakan bahwa yang positif terhadap kerja itu, seseorang
Kepuasan kerja adalah sikap umum yang tidak puas dengan pekerjaannya
terhadap pekerjaan seseorang yang menunjukan sikap yang negatif terhadap
menunjukkan perbedaan antara jumlah pekerjaan itu. (Robbins, 2006).
penghargaan yang diterima pekerja dan Penelitian ini menggunakan dua
jumlah yang mereka yakini seharusnya dimensi kepuasan kerja, yaitu kepuasan
mereka terima. Perlu diingat pekerjaan kerja intrinsik dan kepuasan kerja
seseorang menuntut interaksi dengan rekan ekstrinsik (Herzberg, 1968). Kepuasan
sekerjanya, atasan, mengikuti peraturan dan kerja intrinsik didefinisikan sebagai
kebijakan organisasi,memenuhi standar perasaan karyawan terhadap internal
kinerja,hidup pada kondisi kerja yang pekerjaannya seperti sifat kerja, prestasi,
sering kurang dari ideal dan lain penghargaan, perkembangan dan
sebagainya. pertumbuhan individu (Herzberg, 1968 &
Robbins (2006) juga mengemukakan Linz, 2003). Sedangkan, kepuasan kerja
tentang faktor-faktor yang umumnya ekstrinsik merujuk pada perasaan karyawan
menentukan kepuasaan kerja, antara lain : terhadap aspek eksternal pekerjaan tersebut
1. Suasana pekerjaan. seperti kebijakan organisasi, gaya
2. Pengawasan pengawasan, pembayaran gaji atau upah,
hubungan dengan rekan kerja, suasana
3. Tingkat upah saat ini
tempat kerja, status, jaminan dan keamanan
4. Peluang promosi
di tempat kerja (Herzberg 1968).
Kepemimpinan Konsiderasi menyediakan
5.HIPOTESIS lingkungan yang hangat, ramah dan
Penelitian ini menggunakan dua mendukung, sedangkan pemimpin dengan
dimensi yang mengkategorikan Perilaku Perilaku Kepemimpinan Struktur Inisiasi
Kepemimpinan, yaitu Perilaku menetapkan tugas, menentukan prosedur
Kepemimpinan Konsiderasi dan Perilaku dan lebih berorientasi pada tindakan
Kepemimpinan Struktur Inisiasi (Lawrence, (Lawrence, 2007).
2007). Pemimpin yang memiliki Perilaku

4.KERANGKA PEMIKIRAN

Perilaku Kepemimpinan :
a. Konsiderasi
b. Struktur Inisiasi
H1

Kepuasan Kerja :
H3 a. Intrinsik
b. Ekstrinsik
H2
POS

71
Gambar II.1 : Kerangka Pemikiran
Penjelasan : Dimensi Perilaku Kepemimpinan yakni Konsiderasi dan Struktur Inisiasi berpengaruh pada
dimensi Kepuasan Kerja yakni Intrinsik dan Ekstrinsik. POS berpengaruh pada dimensi Kepuasan Kerja
yakni Intrinsik dan Ekstrinsik. Interaksi antara dimensi Perilaku Kepemimpinan, baik Konsiderasi
maupun Struktur Inisiasi dan POS berpengaruh pada dimensi Kepuasan Kerja, Intrinsik serta Ekstrinsik.
Penelitian terdahulu organisasi lebih mungkin untuk merasakan
menunjukkan bahwa Perilaku suatu kewajiban untuk membayar
Kepemimpinan Konsiderasi berpengaruh organisasi dalam hal komitmen afektif
secara positif dengan Kepuasan Kerja (Eisenberger et al, 1986). Menurut
karyawan sementara untuk Perilaku Eisenberger et al., (1990) karyawan yang
Kepemimpinan Struktur Inisiasi merasa didukung oleh organisasi mereka
berpengaruh negatif (Lok & Crawford, dan peduli terhadap organisasi akan
2004). Namun, penelitian lain terlibat dalam kegiatan yang membantu
menyimpulkan berbeda dan menemukan untuk lebih lanjut pada tujuan organisasi.
hubungan negatif antara perilaku Studi sebelumnya telah menunjukkan
kepemimpinan konsiderasi dan kepuasan bahwa POS secara positif terkait dengan
kerja (Halpin, Hodge, & Patchen, dalam tingkat kepuasan kerja, semakin tinggi
Bartolo & Furlonger, 2000). Menariknya, POS menghasilkan tingkat kepuasan kerja
beberapa studi menunjukkan baik Perilaku yang lebih tinggi (Burke, 2003).
Kepemimpinan Konsiderasi dan Struktur Berdasarkan bukti tersebut akan
Inisiasi berpengaruh secara positif dengan menunjukkan hipotesis sebagai berikut :
kepuasan kerja (Bartolo & Furlonger, 2000). H2a: POS secara positif berpengaruh pada
Perilaku Kepemimpinan Struktur Kepuasan Kerja Intrinsik karyawan.
Inisiasi lebih mungkin untuk memberikan H2b : POS secara positif berpengaruh
komitmen dan kepuasan kerja yang lebih
pada Kepuasan Kerja
besar di perusahaan Asia, sedangkan pada
Ekstrinsik karyawan.
konteks Barat, Perilaku Kepemimpinan
Konsiderasi akan memberikan kepuasan
Dukungan organisasi penting untuk
kerja yang lebih besar (Stogdill, dalam Lok
loyalitas dan kepuasan karyawan, serta
& Crawford, 2004). Berdasarkan bukti
perilaku kepemimpinan dan bagaimana
tersebut akan menunjukkan hipotesis
karyawan memandang dukungan atasan
sebagai berikut :
mereka juga memainkan peran penting
H1a: Perilaku Kepemimpinan Konsiderasi
dalam memperoleh hasil pekerjaan yang
memiliki pengaruh positif
pada Kepuasan Kerja Intrinsik diinginkan. Penelitian sebelumnya
karyawan. menunjukkan bahwa dukungan
H1b: Perilaku Kepemimpinan Konsiderasi organisaasional yang dirasakan para atasan
memiliki pengaruh positif juga berpengaruh pada dukungan
pada Kepuasan Kerja Ekstrinsik organisasional yang dirasakan bawahannya
karyawan. (Eisenberger et al., 2002).
H1c: Perilaku Kepemimpinan Struktur Penelitian sebelumnya juga
Inisiasi memiliki pengaruh negatif menunjukkan bahwa perilaku
pada Kepuasan Kerja Intrinsik kepemimpinan dan nilai-nilai organisasi
karyawan. harus memotivasi kinerja aktual para
H1d: Perilaku Kepemimpinan Struktur bawahan karena tanggapan mereka
Inisiasi memiliki pengaruh negatif terhadap perilaku pemimpin dan nilai-nilai
pada Kepuasan Kerja Ekstrinsik yang ditekankan oleh organisasi (Fu et al.,
karyawan. 2006). POS sangat terkait dengan perilaku
kepemimpinan, sedangkan dukungan yang
Dari perspektif pertukaran sosial, kurang dari pemimpin adalah salah satu
dapat dikatakan bahwa karyawan yang faktor penting yang menyebabkan
merasakan dukungan yang tinggi dari ketidakpuasan karyawan (Maslach et al.,

72
2001). Berdasarkan penelitian dan temuan variabel dependennya adalah kepuasan
di atas, akan menunjukkan hipotesis kerja.
sebagai berikut : 3. Lingkungan (Setting) Penelitian
H3a: Interaksi Perilaku Kepemimpinan
Lingkungan (setting) penelitian
Konsiderasi dan POS memiliki
ini adalah PT Perkebunan Nusantara X
pengaruh positif pada Kepuasan
Klaten.
Kerja Intrinsik karyawan.
H3b: Interaksi Perilaku Kepemimpinan 4. Unit Analisis
Konsiderasi dan POS memiliki Unit analisis merupakan tingkat
pengaruh positif pada Kepuasan agregasi data yang dianalisis dalam
Kerja Ekstrinsik karyawan. penelitian dan merupakan elemen
H3c: Interaksi Perilaku Kepemimpinan penting dalam desain penelitian karena
Struktur Inisiasi dan POS memiliki mempengaruhi proses pemilihan,
pengaruh positif pada Kepuasan pengumpulan dan analisis data. Unit
Kerja Intrinsik karyawan. analisis penelitian ini adalah tingkat
H3d: Interaksi Perilaku Kepemimpinan individual, yaitu data yang dianalisis
Struktur Inisiasi dan POS memiliki berasal dari setiap individual karyawan
pengaruh positif pada Kepuasan PTPN X Klaten.
Kerja Ekstrinsik karyawan. 5. Horison Waktu
Penelitian ini merupakan studi
satu tahap (one shot study), yaitu
penelitian dimana data dikumpulkan
sekaligus pada periode tertentu dapat
METODE PENELITIAN berupa data dari satu atau beberapa
subyek penelitian.
A.DESAIN PENELITIAN 1.Tujuan
Studi
Tujuan studi penelitian ini adalah 6. Pengukuran Construct
hypothesis testing(pengujian hipotesis), Pengukuran construct dalam
yaitu penelitian yang menjelaskan penelitian ini menggunakan skala
fenomena dalam bentuk hubungan interval, yaitu skala yang menyatakan
antar variabel. Penelitian ini bertujuan kategori, peringkat dan jarak construct
menguji pengaruh perilaku yang diukur. Skala interval yang
kepemimpinan dan POS pada digunakan dinyatakan dengan angka 1
kepuasan kerja. sampai angka 5 dan angka 0 sampai
2. Tipe Hubungan Variabel angka 6.
Tipe hubungan variabel dalam
penelitian ini adalah hubungan B.POPULASI, SAMPEL, DAN TEKNIK
sebabakibat (kausal), yaitu penelitian PENGAMBILAN SAMPEL
yang menunjukkan arah hubungan 1.Populasi
antara variabel bebas (independent) Populasi Menurut Sekaran (2006)
dengan variabel terikat (dependent). populasi adalah keseluruhan kelompok,
Dalam penelitian ini variabel peristiwa, atau suatu ketertarikan yang
independen adalah perilaku ingin diselidiki oleh peneliti. Populasi
kepemimpinan dan POS, sedangkan penilitian ini adalah karyawan PT.
Perkebunan Nusantara X Klaten.

73
2. Sampel (2006) mendefinisikan Perilaku
Sampel adalah bagian dari kepemimpinan struktur inisiasi
populasi yang terdiri atas beberapa sebagai label yang diberikan
anggota yang dipilih dari populasi kepada perilaku pemimpin yang
untuk diteliti (Sekaran, 2006). Sampel menekankan pencapaian tujuan
pada penelitian ini adalah adalah tugas melalui minimalisasi
karyawan PT. Perkebunan Nusantara X ambiguitas peran dan konflik.
Klaten sebanyak 110 orang. Jumlah b. POS atau Perceived Organizational
tersebut didapat karena sesuai jumlah Support adalah sejauh mana
kuesioner yang disebar dan diterima karyawan percaya bahwa
kembali oleh peneliti. Dasar penentuan organisasi mereka menghargai
jumlah sampel yang lain adalah kontribusi mereka dan peduli
pendapat Roscoe dalam Sekaran tentang kesejahteraan mereka.
(2006), yang menyatakan bahwa jumlah (Eisenberger et al, 1986; Rhoades
sampel >30 dan <500 pada sebagian & Eisenberger,
besar penelitian sudah dapat mewakili 2002).
populasinya. 2. Variabel Dependen Kepuasan Kerja
3. Teknik Pengambilan Sampel (Intrinsik dan Ekstrinsik). Kepuasan
Teknik sampling yang digunakan Kerja Intrinsik didefinisikan sebagai
dalam penelitian ini adalah perasaan karyawan terhadap internal
Convenience Sampling. Teknik ini pekerjaannya seperti sifat kerja,
merupakan pengumpulan informasi dari prestasi, penghargaan, perkembangan
anggota populasi yang dengan senang dan pertumbuhan individu (Herzberg,
hati bersedia memberikannya (Sekaran, 1968 & Linz, 2003). Kepuasan Kerja
2006). Pemilihan teknik sampling ini Ekstrinsik merujuk pada perasaan
dengan alasan karena jumlah populasi karyawan terhadap aspek eksternal
tidak tertentu, serta adanya pekerjaan tersebut seperti kebijakan
pertimbangan terkait masalah biaya dan organisasi, gaya pengawasan,
waktu. pembayaran gaji atau upah, hubungan
C.VARIABEL PENELITIAN DAN dengan rekan kerja, suasana tempat
DEFINISI OPERASIONAL kerja, status, jaminan
dan keamanan di tempat kerja
Variabel yang ingin diteliti meliputi
(Herzberg 1968).
variabel dependen dan variabel independen.
Adapun variabel penelitian dan definisi
operasional dalam penelitian ini adalah : D.PENGUKURAN VARIABEL
Berdasarkan telaah pustaka, variabel
1. Variabel Independen
pembentuk model yang akan dikembangkan
a. Perilaku Kepemimpinan adalah sebagai berikut :
(Konsiderasi dan Struktur Inisiasi) 1. Perilaku Kepemimpinan Konsiderasi
Burke et. al. (2006) dan struktur Inisiasi diukur
mendefinisikan perilaku menggunakan menggunakan Leadership
kepemimpinan konsiderasi sebagai Behavior Description Questionnaire
label untuk perilaku pemimpin (LBDQ) yang dikembangkan oleh Biro
yang diarahkan untuk menjaga Riset Bisnis Fakultas Perdagangan dan
hubungan sosial yang erat dan Administrasi dari Ohio State
kohesi kelompok. Burke et. al. University. LBDQ meliputi 30 item
74
yang mengukur persetujuan responden kepada responden. Statistik diskriptif
menggunakan skala Likert 5 poin yaitu memberikan gambaran data yang telah
dari dari (1) "tidak pernah" sampai (5) dikumpulkan sesuai dengan hasil yang
"selalu". didapatkan tanpa membuat kesimpulan
2. POS diukur dengan menggunakan yang berlaku umum.
instrumen oleh Eisenberger, 2. Uji Instrumen Penelitian
Huntingdon, Hutchinson dan Sowa
a. Uji Validitas
(1986). Instrument ini menggunakan 8
b. Uji Reliabilitas
item pengukuran skala Likert dari (1)
"sangat tidak setuju" sampai (7) "sangat 3. Uji Asumsi Klasik
setuju". Uji asumsi klasik merupakan
3. Kepuasan Kerja. Kepuasan Kerja prasyarat dilakukannya analisis regresi.
intrinsik dan Ekstrinsik responden Ada empat macam uji asumsi klasik
diukur menggunakan Minnesota yang dipakai dalam penelitian ini,
Satisfaction Questionnaire (MSQ) antara lain adalah sebagai berikut:
berdasarkan penelitian Ahmad dan a.Uji Normalitas
Yekta (2010) yang terdiri dari 15 item b. Uji Multikolinieritas
dari berbagai aspek lingkungan kerja c. Uji Autokorelasi
yang menggunakan skala Likert 5 poin d. Uji Heteroskedastisitas
yaitu dari dari (1) "tidak puas" sampai 4. Teknik Pengujian Hipotesis
(5) "sangat puas". a. Uji t
b. Uji Koefisien Determinasi (R²)
E. SUMBER DATA c. Uji F
1. Data Primer
2. Data Sekunder HASIL DAN PEMBAHASAN
F. TEKNIK PENGUMPULAN DATA A.ANALISIS INSTRUMEN
Metode pengumpulan data PENELITIAN 1.Uji Validitas
kuesioner yaitu dengan menggunakan Uji validitas dilakukan pada variabel
metode personnally administrated independen dalam penelitian ini yaitu
qustonnaires, yaitu peneliti perilaku kepemimpinan konsiderasi,
menyampaikan sendiri kuesioner kepada perilaku kepemimpinan struktur inisiasi,
responden dan mengambil sendiri dan POS; serta variabel dependen dalam
kuesioner kepada responden, tujuan penelitian ini yaitu kepuasan kerja intrinsik
utamanya supaya tingkat pengembalian dan kepuasan kerja ekstrinsik.
kuesioner dapat terjaga didalam periode a.Uji Validitas Pada Variabel Independen
waktu yang relatif pendek (Sekaran, Nilai KMO Measure of Sampling
2006). Adequacy (MSA) untuk variabel Perilaku
Kepemimpinan Konsiderasi (PKK),
G. METODE ANALISIS DATA Perilaku Kepemimpinan Struktur Inisiasi
1.Analisis Deskriptif (PKSI), dan Perceived Organizational
Dalam penelitian ini, analisis Support (POS) dalam penelitian ini sebesar
deskriptif digunakan untuk 0,857. Karena nilai MSA di atas 0,5 serta
menganalisis profil responden dan nilai Barlett test dengan Chi-squares =
jawaban responden terhadap 3322.934 dan signifikan pada 0,000 dapat
pertanyaan-pertanyaan yang diberikan
75
disimpulkan bahwa uji analisis faktor dapat disimpulkan bahwa uji analisis faktor dapat
dilanjutkan. dilanjutkan.
Item-item pertanyaan Perilaku Item-item pertanyaan Kepuasan Kerja
Kepemimpinan Konsiderasi hanya item Intrinsik dan Kepuasan Kerja Ekstrinsik
pertanyaan nomor 13 saja yang nilai faktor valid karena mempunyai factor loading
loadingnya tidak muncul sehingga tidak lebih besar dari 0,50.
valid, sedangakan item-item lainnya valid
karena mempunyai factor loading lebih 2.Uji Reliabilitas
besar dari 0,50. Hasil pengujian reliabilitas diketahui
Item-item pertanyaan Perilaku bahwa masing-masing variabel yang diteliti
Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients Collinearity Statistics
Model B Std. Error Beta t Sig. Tolerance VIF
1 (Constant) -5.87E-11 .072 .000 1.000 .
Perilaku Kepemimpinan
.451 .073 6.184 000 .994 1.006
Konsiderasi
.451
Perilaku Kepemimpinan
Struktur Inisiasi -.356 .077 -4.612 .000 .889 1.125
.196 -.356
POS .077 2.530 .013
.196 .884 1.131
2 (Constant) .057 .077 .732 .466
Perilaku Kepemimpinan
.427 .075 5.722 .000
Konsiderasi .916 1.092
.427
Perilaku Kepemimpinan
Struktur Inisiasi -.411 .081 -5.052 .000
.772 1.295
-.411
POS .166 .080 2.065 .041
.793 1.261
PKKxPOS -.145 .075 .166 -1.944 .055
.137 -.145 .920 1.087
PKSIxPOS .089 1.537 .127
.121 .828 1.208
Kepemimpinan Struktur Inisiasi item memiliki nilai cronbach’s alpha> 0,60
pertanyaan nomor 13,14,dan 15 nilai faktor yang berarti semua instrumen dalam
loadingnya tidak muncul sehingga tidak penelitian ini sudah reliabel.
valid, sedangakan item-item lainnya valid
karena mempunyai factor loading lebih B.UJI HIPOTESIS
besar dari 0,50. Pengujian hipotesis dilakukan dengan
Item-item pertanyaan POS hanya item analisis regresi hirarki berganda. Ada
pertanyaan nomor 8 yang nilai faktor beberapa asumsi yang harus diperhatikan
loadingnya tidak muncul sehingga tidak sebelum melakukan pengujian dengan
valid, sedangakan item-item lainnya valid pendekatan regresi berganda yaitu sebagai
karena mempunyai factor loading lebih berikut :
besar dari 0,50. Hasil Pengujian Regresi
Hirarki Berganda
b.Uji Validitas Pada Variabel Dependen Regresi Hirarki adalah analisis regresi yang
Nilai KMO Measure of Sampling Adequacy dilakukan secara berkali-kali dengan
(MSA)untuk variabel Kepuasan Kerja komposisi variabel yang berbeda, mungkin
Intrinsik (KKI) dan Kepuasan Kerja ditambah, atau dikurangi. Tujuannya untuk
Ekstrinsik (KKE) dalam penelitian ini melihat perbedaan tingkat pengaruh di
sebesar 0,771. Karena nilai MSA di atas 0,5 setiap tingkat pengujian. Tahap pertama
serta nilai Barlett test dengan Chi-squares dari Regresi Hirarki Berganda dalam
= 897,279 dan signifikan pada 0,000 dapat penelitian ini adalah menguji tiap variabel

76
independen yaitu Perilaku Kepemimpinan menguji interaksi antar variabel independen
Konsiderasi (PKK), Perilaku (PKKxPOS dan PKSIxPOS) pada
Kepemimpinan Struktur Inisiasi (PKSI), Kepuasan Kerja Intrinsik. Tahap yang sama
dan POS pada dimensi variabel Kepuasan juga diberlakukan pada variabel dependen
Kerja yaitu Kepuasan Kerja Intrinsik yang lain, yakni Kepuasan Kerja Ekstrinsik.
sebagai variabel dependen. Kemudian
a. Dependent Variable: Kepuasan Kerja Intrinsik Hipotesis 3a menguji pengaruh positif
interaksi Perilaku Kepemimpinan
Hipotesis 1a menguji pengaruh positif
Konsiderasi dan POS pada Kepuasan Kerja
Perilaku Kepemimpinan Konsiderasi pada
Intrinsik, sertaHipotesis 3c menguji
Kepuasan Kerja Intrinsik. Pada tabel IV.27
pengaruh positif interaksi Perilaku
dapat dilihat nilai t variabel Perilaku
Kepemimpinan
Kepemimpinan Konsiderasi baik sebelum
dan setelah interaksi dimasukkan dalam uji Struktur Inisiasi dan POS pada Kepuasan
nilainya tetap positif dengan nilai Kerja Intrinsik. Dari tabel IV.27 dapat
signifikansi 0,000 (signifikan p<0,05) dilihat bahwa nilai signifikansi interaksi
sehingga hipotesis 1a didukung. PKKxPOS dan PKSIxPOS menunjukkan
p>0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa
Hipotesis 1c menguji pengaruh
hipotesis 3a dan 3c tidak didukung.
negatif Perilaku Kepemimpinan Struktur
Inisiasi pada Kepuasan Kerja Intrinsik.
Pada tabel IV.27 menunjukkan nilai
signifikansi variabel Perilaku
Kepemimpinan Struktur Inisiasi p<0,05
baik sebelum dan setelah interaksi
PKKxPOS dan PKSIxPOS dimasukkan
dalam uji regresi, akan tetapi nilai t variabel
ini bernilai negatif. Maka dapat
disimpulkan bahwa hipotesis 1c didukung.
Hipotesis 2a menguji pengaruh
positif POS pada Kepuasan Kerja
Intrinsik. Pada tabel IV.27 menunjukkan
variabel POS memiliki nilai signifikansi
p<0,05 dan nilai t positif, baik sebelum
atau setelah interaksi
PKKxPOS dan PKSIxPOS dimasukkan
dalam uji regresi, sehingga hipotesis 2a
didukung.

Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients Collinearity Statistics
Model B Std. Error Beta t Sig. Tolerance VIF
1 (Constant) 8.478E- .080 .000 1.000 .
Perilaku Kepemimpinan
11 .257 .081 3.186 002 .994 1.006
Konsiderasi
.257
Perilaku Kepemimpinan
Struktur Inisiasi -.369 .085 -4.334 .000 .889 1.125
.216 -.369
POS .085 2.526 .013
.216 .884 1.131
2 (Constant) -.023 .087 -.269 .789
Perilaku Kepemimpinan 77
.229 .084 .229 2.729 .007 1.092
Konsiderasi .916
Perilaku Kepemimpinan
Struktur Inisiasi -.346 .092 -.346 -3.784 .000 1.295
.772
POS .245 .090 2.714 .008
.245 .793 1.261
PKKxPOS -.070 .084 -.836 .405
-.070 .920 1.087
PKSIxPOS -.087 .100 -.869 .387
-.077 .828 1.208
a.

Dependent Variable: Kepuasan Kerja Ekstrinsik


KESIMPULAN
Hipotesis 1b menguji pengaruh positif
Perilaku Kepemimpinan Konsiderasi pada Bab ini menyajikan kesimpulan
Kepuasan Kerja Ekstrinsik. Pada tabel mengenai hasil dari analisis data penelitian
IV.28 menunjukkan nilai t variabel Perilaku dan hasil pengujian hipotesis dari
Kepemimpinan Konsiderasi baik sebelum permasalahan yang diteliti. Selain itu
dan setelah interaksi dimasukkan dalam uji peneliti akan memaparkan keterbatasan dan
nilainya tetap positif dengan nilai memberikan saran agar penelitian ini dapat
signifikansi p<0,05; sehingga hipotesis 1b memberikan manfaat bagi semua pihak
didukung. yang terkait.
Hipotesis 1c menguji pengaruh negatif
Perilaku Kepemimpinan Struktur Inisiasi A. SIMPULAN
pada Kepuasan Kerja Ekstrinsik. Pada tabel 1. Hasil penelitian ini menunjukkan
IV.28 menunjukkan nilai signifikansi bahwa Perilaku Kepemimpinan
variabel Perilaku Kepemimpinan Struktur Konsiderasi berpengaruh positif
Inisiasi p<0,05 baik sebelum dan setelah pada Kepuasan Kerja, baik Intrinsik
interaksi PKKxPOS dan PKSIxPOS maupun Ekstrinsik sedangkan
dimasukkan dalam uji regresi, akan tetapi Perilaku Kepemimpinan Struktur
nilai t variabel ini bernilai negatif. Maka Inisiasi menunjukkan pengaruh
dapat disimpulkan bahwa hipotesis 1d negatif pada Kepuasan Kerja baik
didukung. Intrinsik maupun Ekstrinsik.
Hipotesis 2b menguji pengaruh positif 2. Hasil penelitian ini menunjukkan
POS pada Kepuasan Kerja Ekstrinsik.Pada bahwa Perceived Organizational
tabel IV.28 menunjukkan variabel POS Support (POS) berpengaruh positif
memiliki nilai signifikansi p<0,05 dan nilai pada Kepuasan Kerja baik Intrinsik
t positif, baik sebelum atau setelah interaksi maupun Ekstrinsik.
PKKxPOS dan PKSIxPOS dimasukkan 3. Hasil penelitian ini menunjukkan
dalam uji regresi, sehingga hipotesis 2b bahwa interaksi Perilaku
didukung. Kepemimpinan baik Konsiderasi
Hipotesis 3b menguji pengaruh positif maupun Struktur Inisiasi dan POS
interaksi Perilaku Kepemimpinan tidak berpengaruh pada Kepuasan
Konsiderasi dan POS pada Kepuasan Kerja Kerja baik Intrinsik maupun
Ekstrinsik, serta Hipotesis 3d menguji Ekstrinsik.
pengaruh positif interaksi Perilaku
Kepemimpinan Struktur Inisiasi dan POS B. KETERBATASAN
pada Kepuasan Kerja Ekstrinsik. Pada tabel
IV.28 dapat dilihat bahwa nilai signifikansi 1. Obyek amatan yang digunakan
interaksi PKKxPOS dan PKSIxPOS dalam penelitian ini hanya
menunjukkan p>0,05. Maka dapat difokuskan pada PT Perkebunan
disimpulkan bahwa hipotesis 3b dan 3d Nusantara X Klaten sehingga
tidak didukung. berdampak pada generalisasi
penelitian yang bersifat terbatas
pada PT Perkebunan Nusantara X
Klaten.
78
2. Hasil ini menunjukkan bahwa masih DAFTAR PUSTAKA
ada variabel lain yang berpengaruh
dalam meningkatkan Kepuasan Ahmad, Z.A. and Yekta, Z.A. 2010.
Kerja. Untuk penelitian selanjutnya, “Relationship between perceived
diharapkan memasukkan variabel organizational support, leadership
lain yang memiliki pengaruh lebih behavior, and job satisfaction: An
besar pada Kepuasan Kerja. empirical study in Iran”. Intangible
3. Dimensi Perilaku Kepemimpinan Capital, 6(2):162-184.
yang diuji dalam penelitian ini Armeli, S., Eisenberger, R., Fasolo, P. and
hanya ada dua, yakni Perilaku Lynch, P. 1998. “Perceived
Kepemimpinan Konsiderasi dan organizational support and police
Struktur Inisiasi. Untuk performance : The moderating
mendapatkan pengaruh yang lebih influence of socioemotional needs”.
signifikan untuk penelitian Journal of Applied Psychology, 83,
selanjutnya bisa ditambah tipe 288-297.
kepemimpinan yang lain. Bartolo, K. and Furlonger, B. 2000.
4. Tema interaksi antar variabel “Leadership and job satisfaction
independen atau bebas merupakan among aviation fire fighters in
topik baru yang belum banyak Australia”. Journal of Managerial
diteliti. Untuk penilitian selanjutnya Psychology, 15:87-97.
diharapkan lebih bisa menjelaskan
tentang topik interaksi ini. Bolden, R., Gosling, J., Marturano, A. and
Dennison, P. 2003. A Review of
C. Saran Leadership Theory And Competency
Freamworks. Centre For Leadership
1. Melakukan penelitian pada obyek Studies.
selain PT Perkebunan Nusantara X Burke, C .S., Stagl, K.C., Klein C.,
Klaten. Hal ini untuk mengetahui Goodwin, G.F., Salas, E., Halpin,
perbedaan pengaruh Perilaku S.M. 2006. “What type of leadership
Kepemimpinan dan POS pada behaviors are functional in teams? A
Kepuasan Kerja untuk untuk obyek meta-analysis”. The Leadership
yang lain. Quarterly, (17):288–307.
2. Menambah atau memasukkan Burke, R.J. 2003. “Nursing Staff Attitudes
variabel lain yang bisa berpengaruh Following Restructuring: The Role of
lebih besar atau lebih signifikan Perceived Organizational Support,
pada Kepuasan Kerja. Restructuring Processes and
3. Para pemimpin atau atasan PT Stressors”. International Journal of
Perkebunan Nusantara X Klaten Sociology and Social Policy,
mempertahankan sikap atau 23:129157.
perilakunya saat ini karena hal Darwish, A.Y. 2000. “Organizational
tersebut mampu membuat karyawan commitment : a mediator of the
bisa merasakan kepuasan dalam relationships of leadership behavior
bekerja. with job satisfaction and performance
in a non-western country”. Journal of
Managerial Psychology, 15, 6-28.

79
Eisenberger, R., Armeli, S., Rexwinkel, R., Handoko T. Hani. 2002. Manajemen; Edisi
Lynch, P.D., and Rhoades, L. (2001). Kedua, Cetakan Ketigabelas
“Reciprocation of perceived Yogyakarta : BPFE.
organizational support”. Journalof Herzberg, F. 1968. “One more time: How
Applied Psychology, 86, 42-51. do you motivate employees? In S.J.
Eisenberger, R., Cummings, J., Armeli, A., Ott (Ed)”. Classical Reading in
and Lynch, P. 1997. "Perceived Organizational Behavior. Orlando,
Organizational Support, Florida : Harcourt Brace & Company.
Discretionary Treatment,and Job http://www.psychology.uh.edu/pos/theory.a
Satisfaction". Journal of Applied sp
Psychology, Jogiyanto, H.M. 2004. Metodologi
82,(5):812-820. Penelitian Bisnis: Salah Kaprah dan
Eisenberger, R., Fasolo, P., Pengalaman-Pengalaman. Yogyakarta
DaivsLaMastro, V. 1990. “Perceived : BPFE.
organizational support and employee Kristonis, A. 2004. “Leadership in
diligence, commitment, and organizations: National implications”.
innovation”. Journal of Applied International Journal of Scholarly
Psychology, 75, 51-59. Academic Intellectual Diversity, 8:1-
Eisenberger, R., Hungtington, R., 8.
Hutchison, S., and Sowa, D. 1986. Lawrence, P.G. 2007. “Neohumility /
“Perceived Organizational Support”. Humility and Business Leadership:
Journal of Applied Psychology, 71, Do they belong together?”. Journal of
500-507. Business and Leadership,
Eisenberger, R., Stinglhamber, F., 2(1):116126.
Vandenberghe, C., Sucharski, I., & Linz, S.J. 2003. “Job satisfaction among
Rhoades, L. 2002. “Perceived Russian workers”.
supervisor support: Contributions to International Journal of Manpower,
perceived organizational support and 24 , 626-652
employee retention”. Journal of Lok, P., Crawford, J. 2004. “The effect of
Applied Psychology, 87, 565-573. organizational culture and leadership
Fu, P., Tsui, A., Liu, J., Song, J., Jiang, Y., style on job satisfaction and
Jia, L., Li, L., Li, Y. J., Hui, C., Wu, organizational commitment : A
W. 2006. “CEO Personal Values and crossnational comparison”. Journal of
Middle Manager Responses: The Management Development, 23,321-
Mediating Role of Leadership 338.
Behavior and Organizational Maslach, C. and Schaufeli, W., Leiter, M.P.
Culture”. Research Grants Council of 2001. “Job burnout”. Annual Review
the Hong of Psychology, 52,397-422.
Kong special Administrative Region, Northouse, P.G. 2007. Leadership : Theory
China. And Practice 5th Edition. California :
Ghozali, Imam. 2009. Aplikasi Analisis SAGE Publications.
Multiveriate Dengan Program SPSS. Pearce, C.L., Sims, H.P., Cox, J.F., Ball, G.,
Semarang : UNDIP. Schnell, E., Smith, K.A., Trevino. L.
2003. “Transactors, transformers and

80
beyond”. Journal of Management
Development, 22(4):273-307.
Rhoades, L., Eisenberger, R., and Armeli, S.
2001. “Affective Commitment to the
Organization: The Contribution of
Perceived Organizational Support”.
Journal of Applied Psychology, 86(5),
825-836.
Rhoades, L. and Eisenberger, R. 2002.
“Perceived Organizational Support: A
Review of the Literature”. Journal of
Applied Psychology, 87(4):698–714.
Robbins, Stephans. 2006, Perilaku
Organisasi, Edisi Kesepuluh. PT.
Indeks.
Rowe, W.G., & Guerrero, L. 2010. Cases In
Leadership 2nd Edition. California :
SAGE Publications.
Rude, W. 2004. “The connection between
servant leadership and job burnout”.
Servant Leadership Research Round
table, Trinity Western University,
School of Leadership Studies.
Sekaran, Uma. 2000. Research Method For
Business 3rd Edition. New York : John
Willey & Sons, Inc
Shanock, S. & Eisenberger, R. 2006. “When
Supervisors feel supported :
Relationships with subordinates’
perceived supervisor support,
perceived organizational support and
performance”. Journal of Applied
Psychology, 91, 689-695.
Yukl, Gary.2006. Leadership in
th
Organizations 7 Edition. New
Jersey:
Prentic

81
82

Anda mungkin juga menyukai