Anda di halaman 1dari 27

KATA PENGANTAR

Puji syukur tim penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas

selesainyamakalah yang berjudul Teori dan Model Kepemimpinan dengan baik dan tepat waktu.

Materi pada makalah ini adalah pembahasan dari materi Mata Kuliah Teori Administrasi

danManajemen Pendidikan.

Adapun pembuatan makalah ini dilakukan sebagai pemenuhan nilai tugas pada

matakuliah Teori Administrasi dan Manajemen Pendidikan. Materi pada makalah ini diharapkan

dapatmemperkaya diri dalam memahami tentang Kepemimpinan di dalam kepengawasan.

Pada kesempatan ini Tim Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua

pihakyang telah terlibat dan membantu dalam penyusunan makalah ini. Selain itu Tim Penulis

jugamengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................

DAFTAR ISI ..................................................................................................................

ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar !elakang ...........................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................3

1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Kepemimpinan ............................................................................................................4

2.2 Teori Kepemimpinan ................................................................................................5

2.3 Model Kepemimpinan ............................................................................................10

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan .............................................................................................................19

3.2 Saran ....................................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................20


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Be1akang

“Leadership is not about titles, positions, or flow charts. It is about one life influencing

another.”

John C. Maxwell.

Kepemimpinan bukan mengenai pangkat, posisiatau diagram alur* tetapi mengenai suatu

kehidupan yang berdampak bagi orang lain.

Pengawas sekolah adalah guru pegawai negeri sipil yang diangkat dalam jabatan

pengawas sekolah (PP 74 tahun 2008). Pengawas adalah kegiatan pengawas sekolah dalam

menyusun program pengawasan, melaksanakan program pengawasan, evaluasi hasil pelaksanaan

program, dan melaksanakan pembimbingan dan pelatihan profesional guru. Dalam buku kerja

pengawas sekolah (2011) disebutkan bahwa pengawas sekolahyang profesional harus memiliki

beberapa karakteristik. Karakteristik yang harus dimiliki pengawas sekolah yaitu:

1. Menampilkan kemampuan pengawas dalam bentuk kinerja.

2. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme.

3. Melaksanakan tugas kepengawasan secara efektif dan efisien.

4. Memberikan layanan prima untuk semua pemangku kepentingan.

5. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan.

6. Mengembangkan metode dan strategi kerja kepengawasan terus menerus.

7. Memiliki kapasitas untuk bekerja secara mandiri.

8. Memiliki tanggung jawab profesi.


9. Mematuhi kode etik profesi pengawas.

10. Memiliki komitmen dan menjadi anggota organisasi profesi

kepengawasansekolah.

Kepemimpinan pada seorang pengawas sekolah merupakan sesuatu yang mutlak untuk dimiliki,

karena berkaitan langsung dengan tugas dan tanggung jawab yang harusdilakukannya. Oleh

karena itu seorang pengawas harus dapat menjadi pemimpin bagi guru dan kepala sekolah yang

akan dilayaninya. Tetapi apakah kepemimpinan itu sebenarnya, bagaimana kepemimpian itu

dapat muncul, dan bagaimana para pemimpin di berbagai organisasi yang ada menampilkan gaya

kepeimpinan mereka?. Makalah ini akanmembahas masalah tersebut.

1.2 Rumusan Masa1ah

Dari latar belakang masalah yang diuraikan penulis, banyak permasalahan yang

ditemukan penulis. Permasalahan tersebut antara lain:

1. Apa itu kepemimpinan?

2. Bagaimana teori-teori dalam kepemimpinan?

3. Bagaimana model-model dalam kepemimpinan?

1.3 Tujuan Penu1isan

Adapun tujuan dari Makalah ini adalah:

1. Sebagai penyelesaian tugas Mata Kuliah Teori Administrasi dan ManajemenPendidikan.

2. Menjelaskan tentang Teori Kepemimpinan dan Model Kepemimpinan.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kepemimpinan

Kepemimpinan telah menjadi topik yang sangat menarik untuk diperbincangkang.

Bahkan jika kita menggunakan mesin pencari kata Google, maka penelusuran kata

kepemimpinan memiliki hasil sekitar 3.100.000 artikel. Sedangkan kata pemimpin memiliki

hasil penelusuran sebanyak 7.940.000. Ini merupakan hasil penelusuran yang sangat fantastis.

hal ini menandakan bahwa topik tentang Pemimpin dan Kepemimpinan merupakan topik yang

banyak dicari orang di dunia maya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

Kepemimpinan adalah perihal pemimpin; cara memimpin. Sedangkan dalam Kamus Merriam-

Webster kata Leadership(Kepemimpinan) diterjemahkan sebagai:

1. A position as a leader of a group, organization, etc

2. The time when a person holds the position of leader

3. The power or ability to lead other people.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tampak bahwa defenisi kepemimpinan sangat

berkaitan dengan pemimpin dan cara memimpin, defenisi ini tampaknya sangat luas untuk

ditafsirkan. Sedangkan dalam Kamus Bahasa Inggris Merriam-Webster Kata Leadership atau

Kepemimpinan lebih dijelaskan lebih terperinci sebagai suatu kekuasaan atau kemampuan untuk

memimpin orang lain. Hal ini senada dengan defenisi Kepemimpinan yang dikemukakan oleh

para ahli.
1. Sthepen P. Robins mengatakan kepemimpinan adalah kemampuan untukmempengaruhi

suatu kelompok kearah tercapainya tujuan.

2. Rhicard L. Daft mengatakan kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi orangyang

mengarah pada pencapaian tujuan.

3. R. Terry memberikan defenisi Leadership sebagai Is the actifity of influencing people to

streve willingly for mutual objectives

4. Ricky W.Griffin mengatakan bahwa pemimpin adalah individu yang mampumempengaruhi

perilaku orang lain, tanpa harus mengandalkan kekerasan pemimpinadalah individu yang

diterima orang lain.

Tim penulis buku Perilaku Organisasi (2004) menyimpulkan Kepemimpinan adalah gaya

dan kemampuan seseorang pimpinan dalam memberdayakan (empowering),memberikan

pengarahan (coaching) kepada bawahannya dalam mewujudkan visi, melaksanakan misi dan

pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

Dari penjelasan para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa Kepemimpinan (Leadership)

adalah segala upaya yang dilakukan seseorang (dalam hal ini pemimpin) untuk mempengaruhi

orang lain dengan cara memperdayakannya, mengarahkannya untuk memujudkan suatu tujuan

bersama.
2.2 Teori Kepemimpinan

Pada dasarnya kepemimpinan mucul sejak adanya pradaban. Pada awal masa peradaban,

kepemimpinan muncul sebagai usaha untuk mempertahankan eksistensi-keberadaan0 kelompok

mereka untuk bertahan hidup. Pemimpin yang diangkat biasanya adalah mereka yang memiliki

fisik yang paling kuat, paling berani, paling cerdas. Sebab musabab inilah yang mendorong

banyak ahli untuk menyatakan teorinya tentang munculnya pemimpin.Teori Kepemimpinan pada

umumnya berusaha untuk memberikan penjelasan mengenai pemimpin dan kepemimpinan

dengan mengemukakannya dalam beberapa segiantara lain, latar belakang sejarah pemimpin,

kepemimpinan muncul sejalan dengan peradaban dan kepemimpinan diperlukan dalam setiap

masa. Beberapa Teori Kepemimpinan yang ada:

1. Teori Kepemimpinan berdasarkan Watak atau Sifat (Trait Theory)

Sejarah teori dan penelitian kepemimpinan dimulai oleh Bernard yang pada tahun 1926

menyatakan bahwa kepemimpinan bisa dijelaskan oleh kualitas internal atau sifat yang dibawa

seseorang sejak lahir (Horner, 1997 : 270). Teori ini dinamakan teori sifat (traitstheory), dengan

inti teori yaitu seorang pemimpin adalah dilahirkan dan bukan dibuatatau direkayasa. Indikator

dari teori sifat adalah kemampuan mengarahkan secara alamiah, hasrat untuk memimpin,

kejujuran dan integritas, kepercayaan diri, kecerdasan serta pengetahuan yang luas mengenai

pekerjaan. Koontz (1980 : 665) menyimpulkan bahwa ada empat sifat utama yang berpengaruh

terhadap kesuksesan seorang pemimpin, yaitu kecerdasan, kedewasaan dan keluasan hubungan

sosial, motivasi diri dan dorongan berprestasi dan sikap-sikap hubungan manusiawi. Kesimpulan

dari penelitian ini,sebagaimana dinyatakan oleh Bernard pada tahun 1926, mengarahkan pada

premis bahwa pemimpin itu dilahirkan. Selanjutnya, Horner (1997 : 270) menyebutkan bahwa
setelah teori sifat terungkap, maka peneliti lain mulai melakukan penelitian lanjutan untuk

membuktikan validas teori ini seperti Stogdill pada tahun 1948.

Menurut Stogdill pemimpin yang berhasil harus memiliki :

a) Capacity (kemampuan)

b) Achievement (prestasi)

c) Responsibilities (tanggung jawab)

d) Status (keadaan yang baik)

e) Participation (partisipasi/ikut serta)

Menurut Judith R. Gordon, karakter yang dimiliki seorang pemimpin harus memiliki

kemampuan dalam:

a) Kemampuan Intelektual

b) Kematangan pribadi

c) Pendidikan

d) Status social dan ekonomi

e) Human relation

f) Motivasi intrinsic

g) Dorongan untuk maju

Namun ditemukan kelemahan teori ini yaitu tidak adanya jawaban yang valid dan jelas mengenai

berbagai macam sifat yang secara konsisten mampu menggambarkan sebuah tipe kepemimpinan

yang efektif. Kelemahan teori ini memaksa para peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

Bahasan berikutnya adalah mengenai efektivitas kepemimpinan, apa yang dilakukan oleh

pemimpin agar efektif, bagaimana mereka mendelegasikan tugas, bagaimana mereka

mengkomunikasikan ide dan memotivasi pengikutnya, bagaimana mereka mencapai target dalam
menyelesaikan tugas, dan bagaimana berbagai perilaku pemimpin mengantarkannya menjadi

sukses (Wahjono, 2010 : 269). Selanjutnya Horner (1997 : 270) menambahkan bahwa kelemahan

lain dariteori sifat adalah tidak mampu menggambarkan hubungan yang jelas antara atasan dan

bawahan serta situasi pekerjaan.

2. Teori Kepemimpinan berdasarkan Prilaku ( Behavior theory)

Tidak seperti teori sifat (traits theory) yang menyatakan bahwa pemimpin itu dilahirkan,

maka pada teori perilaku (behavior theory) justru menyatakan sebaliknya, bahwa pemimpin itu

dibentuk dan diarahkan (Wahjono, 2010 : 269). Kelemahan teori sifat menjadi dasar munculnya

teori kepemimpinan berdasarkan perilaku, dimana Halpin dan Winer pada tahun 1950 dalam

Robbins (1996 : 40) mengemukakan sebuah teori kepemimpinan dengan penekanan pada

perbuatan atau perilaku yang ditunjukkan oleh pemimpin dan bukan dinilai dari sifat yang

dibawa sejak lahir.Teori ini dinamakan teori perilaku (behavior theory), dengan inti teori yaitu

seseorang dikatakan pemimpin atau mengerti konsep kepemimpinan tergantung dari perilaku

yang ditunjukkan dalam meningkatkan efektifitas dalam mencapai tujuan organisasi. Halpin dan

Winer pada tahun 1950 menambahkan bahwa semua orang dapat menjadi pemimpin yang sukses

atau mengerti konsep kepemimpinan dengan mempelajari perilaku seorang pemimpin yang telah

sukses. Yukl (1989 : 257) menyebutkan bahwa banyak peneliti yang telah melakukan penelitian

lanjutan untuk membuktikan validitas teori ini, di antaranya Mintzberg (1973) Mczall, Morrison

dan Hannan (1978) Mczall dan Segrist (1980), Kotter (1982) Kurke dan Aldrich (1983) Kanter

(1983) Gabarro (1985) dan Kaplan (1986)

Penelitian lanjutan mengenai teori ini dilakukan oleh Universitas Ohio dan Michigan yang

menghasilkan dua dimensi kepemimpinan berdasarkan perilaku, yaitu ( Robbins, 1996 : 41):
a) Donsideration atau kepemimpinan yang berorientasi pekerja, yang menekankan pada

rasa dan hubungan antar individu pekerja.

b) Initiating structure atau kepemimpinan yang berorientasi tugas, yang menekankan pada

pekerjaan dalam mencapai tujuan.

Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa pemimpin yang berorientasi pada pekerja

diyakini dapat menimbulkan produktivitas yang tinggi dan kepuasan kerja.Selanjutnya

Universitas lowa mengemukakan pendekatan lain yang dianggap mampu menjelaskan mengenai

teori kepemimpinan, yaitu:

a) Democratic, yaitu mendelegasikan tugas dan selalu melibatkan karyawan

b) Autocratic, yaitu melakukan sentralisasi perintah dan pendiktean.

c) Laissez-faire style, yaitu kebebasan dalam melakukan apapun atau pemimpin yang

tidak terlalu peduli pada aktivitas karyawan (no leadership)

Blake, shepard dan Mouton pada tahun 1964 mengembangkan model kepemimpinan

lanjutan dengan berbasis pada hasil penelitian dari universitas ohio, Michigan dan lowa ( Horner,

1997 : 271). Blake, Shepard dan Mouton merumuskan dua dimensi yang hampir serupa dengan

penelitian ohio dan Michigan yaitu concern for people dan concern for output dan dikemudian

hari mereka menambahkan dimensi yang ketiga, yakni fleksibilitas.

Namun seperti penelitian yang dilakukan pada teori sifat, teori kepemimpinan berbasis

perilaku gagal dalam pelaksanaannya karena teori ini belum sepenuhnya dapat menjelaskan

mengenai kepemimpinan dan mengambil faktor situasi. Faktor situasi pekerjaan seharusnya tidak

boleh diabaikan karena tidak boleh diabaikan karena tidak ada satupun gaya kepemimpinan yang
tetap bagi setiap pemimpin pada seluruh situasi pekerjaan (Uprihanto, Harsiwi dan Hadi dalam

Rahyuda, 2008 : 12)

3. Teori Kepemimpinan berdasarkan Situasi (Situational Theory)

Berdasarkan kelemahan teori sifat dan teori perilaku yang mengabaikan faktor situasi

pekerjaan, maka pendekatan mengenai teori kepemimpinan yang menghububungkan sifat

maupun perilaku dengan situasi pekerjaan mulai dilakukan.Pendekatan ini dinamakan

pendekatan situasional yang mengemukakan bahwa efektivitas kepemimpinan tergantung pada

kesesuaian antara kepribadian, tugas, kekuasaan, sikap dan persepsi. Pendekatan ini dianggap

sebagai pendekatan paling ideal dalam menjelaskan hubungan antara pemimpin, bawahan dan

situasi (Horner, 1997 : 271). Menurut Horner (1997 : 271), inti dari teori situasional

menggambarkan bahwa tipe yang digunakan oleh pemimpin tergantung pada faktor-faktor

seperti pemimpin itu sendiri, pengikut serta situasi. Dengan kata lain, seorang pemimpin harus

mampu mengubah tipe kepemimpinan secara cepat, tepat dan akurat sesuai dengan kebutuhan

situasi.Salah satu teori kepemimpinan yang menggunakan pendekatan situasional adalah teori

kepemimpinan kontingensi yang dikembangkan oleh Fiedler pada tahun 1967 (Luthans, 2005 :

649). Teori kepemimpinan kontingensi menyatakan bahwa kinerja pegawai yang efektif hanya

dapat tercapai apabila terjadi kesamaan visi antara tipe kepemimpinan seorang pemimpin dengan

bawahannya serta sejauh mana pemimpin mampu mengendalikan situasi. Tiga dimensi penting

yang muncul pada model kepemimpinan kontigensi, yaitu:

a) Leader-member relations (hubungan pemimpin-anggota), yaitu hubungan pemimpin

dengan anggota, besaran kadar kepercayaan serta respek dari bawahan terhadap

pemimpin.
b) Task structure (tingkat strukur tugas), yaitu kadar formalisasi dan prosedur

operasional standar pada struktur tugas yang diberikan oleh pemimpin.

c) Position power (kekuasaan posisi pemimpin), yaitu otoritas pada suatu situasi seperti

penerimaan dan pemberhentian pegawai, disiplin, promosi serta peningkatan upah.

Teori kepemimpinal lainnya dikemukakan oleh Vroom dan Yetton pada tahun 1973 (Horner,

1997 : 271). Teori yang dinamakan teori yang dinamakan teori normatif Vroom-Yetton ini

menjelaskan bagaimana seorang pemimpin harus memimpin harus memimpin bawahan dalam

berbagai situasi. Model ini menunjukkan bahwa tidak ada satupun tipe kepemimpinan yang

dapat efektif diterapkan dalam berbagai situasi. Pilihan mengenai tipe kepemimpinan yang akan

dianut hanya efektif jika sesuai dengan situasi yang dihadapi.Selanjutnya House dan Mitchell

pada tahun 1974 mengemukakan teori situasional dengan berbasis pada hasil penelitian dari

Universitas Ohio (Robbins, 1996 : 52). Teori yang dinamakan sebagai teori path-goal ini

mengungkapkan bahwa seorang pemimpin mempunyai tugas untuk membantu bawahan dalam

mencapai tujuan-tujuan (goal) mereka dan menyediakan petunjuk (path) atau dukungan yang

diperlukan untuk memastikan bahwa tujuan tersebut sejalan dengan tujuan organisasi secara

keseluruhan.Pada intinya, teori path-goal menjelaskan empat perilaku pemimpin, yaitu

(Wahjono, 2010 : 284):

a.) Pemimpin direktif, mengarahkan tentang apa yang harus dilakukan dan bagaimana

caranya, menjadwalkan pekerjaan, mempertahankan standar kinerja, dan memperjelas

peranan pemimpin dalam kelompok.

b) Pemimpin suportif, melakukan berbagai usaha agar pekerjaan menjadi lebih

menyenangkan, memperlakukan pengikut dengan adil, bersahabat, dan mudah bergaul

serta memperhatikan kesejahteraan bawahannya.


c) Pemimpin partisipatif, melibatkan bawahan, meminta saran bawahan dan

menggunakannya dalam proses pengambilan keputusan.

d) Pemimpin yang berorientasi pada kinerja, menentukan tujuan-tujuan yang menantang,

mengharap kinerja yang tinggi, menekankan pentingnya kinerja yang berkelanjutan,

optimistik dan memenuhi standar-standar yang tinggi.

Intinya, teori path goal mengasumsikan bahwa pemimpin harus fleksibel sehingga

apabila situasi membutuhkan perubahan tipe kepemimpinan, maka pemimpin mampu

mengganti tipe kepemimpinannya secara cepat. Namun Horner (1997 : 271) mengungkapkan

bahwa dari sekian banyak peneliti yang meneliti tentang teori situasional, ternyata diketahui

bahwa teori situasional sangat ambigu karena teori inilebih menjelaskan konsep-konsep

manajerial, dengan kata lain teori tersebut seharusnya ditujukan untuk manajer. Selain itu, teori

situasional tidak mampu menjelaskan mengenaikonsep kepemimpinan itu sendiri. Kelemahan

lain dari teori ini adalah tidak menjelaskan perlu atau tidaknya pekerja mengubah perilaku

pemimpin, sesuai dengan perubahan situasi pekerjaan.

2.3 Model Kepemimpinan

Banyak studi mengenai kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang dibahas dari

berbagai perspektif yang telah dilakukan oleh para peneliti. Analisis awal

tentangkepemimpinan, dari tahun 1900-an hingga tahun 1950-an, memfokuskan perhatian pada

perbedaan karakteristik antara pemimpin (leaders) dan pengikut/karyawan (followers). Karena

hasil penelitian pada saat periode tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat satu pun sifat atau

watak (trait) atau kombinasi sifat atau watak yang dapat menerangkan sepenuhnya tentang

kemampuan para pemimpin, maka perhatian para peneliti bergeser pada masalah pengaruh

situasi terhadap kemampuan dan tingkah laku para pemimpin.


Studi-studi kepemimpinan selanjutnya berfokus pada tingkah laku yang diperagakan oleh

para pemimpin yang efektif. Untuk memahami faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi

tingkah laku para pemimpin yang efektif, para peneliti menggunakan model kontingensi

(contingency model). Dengan model kontingensi tersebut para peneliti menguji keterkaitan

antara watak pribadi, variabel-variabel situasi dan keefektifan pemimpin.

Studi-studi tentang kepemimpinan pada tahun 11970-an dan 1980-an, sekali lagi

memfokuskan perhatiannya kepada karakteristik individual para pemimpin yang mempengaruhi

keefektifan mereka dan keberhasilan organisasi yang mereka pimpin. Hasil-hasil penelitian pada

periode tahun 1970-an dan 1980-an mengarah kepada kesimpulan bahwa pemimpin dan

kepemimpinan adalah persoalan yang sangat penting untuk dipelajari (crucial), namun kedua

hal tersebut disadari sebagai komponen organisasi yang sangat komplek.

Dalam perkembangannya, model yang relatif baru dalam studi kepemimpinan disebut

sebagai model kepemimpinan transformasional. Model ini dianggap sebagaimodel yang terbaik

dalam menjelaskan karakteristik pemimpin. Konsep kepemimpinan transformasional ini

mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan watak, gaya dan kontingensi.

Berikut ini akan dibahas tentang perkembangan pemikiran ahli-ahli manajemen mengenai

model-model kepemimpinan yang ada dalam literatur.

(a) Model Watak Kepemimpinan (Ttraits Model of Leadership)

Pada umumnya studi-studi kepemimpinan pada tahap awal mencoba meneliti tentang

watak individu yang melekat pada diri para pemimpin, seperti misalnya: kecerdasan, kejujuran,

kematangan, ketegasan, kecakapan berbicara, kesupelan dalam bergaul, status sosial ekonomi

mereka dan lain-lain (Bass 1960, Stogdill 1974).


Stogdill (1974) menyatakan bahwa terdapat enam kategori faktor pribadi yang

membedakan antara pemimpin dan pengikut, yaitu kapasitas, prestasi, tanggung jawab,

partisipasi, status dan situasi. Namun demikian banyak studi yang menunjukkan bahwa faktor-

faktor yang membedakan antara pemimpin dan pengikut dalam satu studi tidak konsisten dan

tidak didukung dengan hasil-hasil studi yang lain. Disamping itu, watak pribadi bukanlah faktor

yang dominant dalam menentukan keberhasilan kinerja manajerial para pemimpin. Hingga

tahun 1950-an, lebih dari 100 studi yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi watak atau sifat

personal yang dibutuhkan oleh pemimpin yang baik, dan dari studi-studi tersebut dinyatakan

bahwa hubungan antara karakteristik watak dengan efektifitas kepemimpinan, walaupun positif,

tetapi tingkat signifikasinya sangat rendah (Stogdill 1970).

Bukti-bukti yang ada menyarankan bahwa “leadership is a relation that eFists between

persons in a social situation, and that persons who are leaders in one situation may not

necessarily be leaders in other situation” (Stogdill 1970). Apabila kepemimpinan didasarkan

pada faktor situasi, maka pengaruh watak yang dimiliki oleh para pemimpin mempunyai

pengaruh yang tidak signifikan. Kegagalan studi-studi tentang kepimpinan pada periode awal

ini, yang tidak berhasil meyakinkan adanya hubungan yang jelas antara watak pribadi pemimpin

dan kepemimpinan, membuat para peneliti untuk mencari faktor-faktor lain (selain faktor

watak), seperti misalnya faktor situasi, yang diharapkan dapat secara jelas menerangkan

perbedaan karakteristik antara pemimpin dan pengikut.

(b) Mode1 Kepemimpinan Situasiona1 (Mode1 of Situasiona1 Leadership)

Model kepemimpinan situasional merupakan pengembangan model watak

kepemimpinan dengan fokus utama faktor situasi sebagai variabel penentu kemampuan

kepemimpinan. Studi tentang kepemimpinan situasional mencoba mengindentifikasi


karakteristik situasi atau keadaan sebagai faktor tertentu utama yang membuat seseorang

pemimpin berhasil melakukan tugas-tugas organisasi secara efektif dan efisien. Dan juga model

ini membahas aspek kepemimpinan lebih berdasarkan fungsinya, bukan lagi hanya berdasarkan

watak kepribadian pemimpin.

Hencley (1973) menyatakan bahwa faktor situasi lebih menentukan keberhasilan

seorang pemimpin dibandingkan dengan watak pribadinya. Menurut pendekatan kepemimpinan

situasional ini, seseorang bisa dianggap sebagai pemimpin atau pengikut tergantung pada situasi

atau keadaan yang dihadapi. Banyak studi yang mencoba untuk mengidentifikasi karakteristik

situasi khusus yang bagaimana yang mempengaruhikinerja para pemimpin. Hoy dan Miskel

(1987) misalnya, menyatakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi kinerja

pemimpin, yaitu sifat struktural organisasi (structural properties of the organisation), iklim atau

lingkungan organisasi (organisational climate), karakteristik tugas atau peran (role

characteristics) dan karakteristik bawahan (subordinate characteristics). Kajian model

kepemimpinan situasional lebih menjelaskan fenomena kepemimpinan dibandingkan dengan

modelterdahulu. Namun demikian model ini masih dianggap belum memadai karena model ini

tidak dapat memprediksikan kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang mana yang lebih

efektif dalam situasi tertentu.

(c) Mode1 Pemimpin yang Efevtif (Mode1 of Effetive Leaders)

Model kajian kepemimpinan ini memberikan informasi tentang tipe-tipe tingkahlaku

(types of behaviours) para pemimpin yang efektif. Tingkah laku para pemimpin dapat

dikatagorikan menjadi dua dimensi, yaitu struktur kelembagaan (initiating structure) dan

konsiderasi (consideration). Dimensi struktur kelembagaan menggambarkan sampai sejauh mana

para pemimpin mendefinisikan dan menyusun interaksi kelompok dalam rangka pencapaian
tujuan organisasi serta sampai sejauh mana para pemimpin mengorganisasikan kegiatan-kegiatan

kelompok mereka. Dimensi ini dikaitkan dengan usaha para pemimpin mencapai tujuan

organisasi. Dimensi konsiderasi menggambarkan sampai sejauh mana tingkat hubungan kerja

antara pemimpin dan bawahannya, dan sampai sejauh mana pemimpin memperhatikan

kebutuhan sosial danemosi bagi bawahan seperti misalnya kebutuhan akan pengakuan, kepuasan

kerja dan emosi bagi bawahan misalnya kebutuhan akan pengakuan, kepuasan kerja dan

penghargaan yang mempengaruhi kinerja mereka dalam organisasi. Dimensi konserasi ini juga

dikaitkan dengan adanya pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan komunikasi dua arah,

partisipasi dan hubungan manusiawi (human relations).

Halpin (1996) Blake and Mouton (1985) menyatakan bahwa tingkah laku pemimpin yang

efektif cenderung menunjukkan kinerja yang tinggi terhadap dua aspek diatas. Mereka

berpendapat bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang menata kelembagaan

organisasinya secara sangat terstruktur, dan mempunyai hubungan yang persahabatan yang

sangat baik, saling percaya, saling menghargai dan senantiasa hangat dengan bawahannya.

Secara ringkas, model kepemimpinan efektif ini mendukung anggapan bahwa pemimpin yang

efektif adalah pemimpin yang dapat menangani kedua aspek organisasi dan manusia sekaligus

dalam organisasinya.

(d) Mode1 Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Mode1)

Studi kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara

karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variabel-variabel situasional.Kalau

model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa situasi yang berbeda membutuhkan tipe

kepemimpinan yang berbeda, maka model kepemimpinan kontingensi memfokuskan perhatian


yang lebih luas, yakni pada aspek-aspek keterkaitan antara kondisi atau variabel situasional

dengan watak atau tingkah laku dan kriteria kinerja pemimpin (Hoy and Miskel 1987).

Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model

tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok

tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the

favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang

mempengaruhi kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya.

Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor

ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan

antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (thetask structure) dan

kekuatan posisi (position power).

Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu

dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk

pemimpin. Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi

didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi

dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku. Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh

mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam

organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka

masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin. Misalnya,

menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan

penurunan pangkat (demotions).

Model kontingensi yang lain, Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin

ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House
11971). Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok:

supportive leadership (menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan bawahan dan menciptakan

iklim kerja yang bersahabat), directive leadership(mengarahkan bawahan untuk bekerja sesuai

dengan peraturan, prosedur dan petunjuk yang ada), participative leadership (konsultasi dengan

bawahan dalam pengambilan keputusan) dan achievement-oriented leadership (menentukan

tujuan organisasi yang menantang dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan).

Menurut Path-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas

pemimpin adalah karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan internal

organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun model kepemimpinan

kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan model-model sebelumnya dalam memahami

aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan

klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah

laku pemimpin dan variabel situasional.

(e) Mode1 Kepemimpinan Transformasiona1 (Mode1 of Transformationa1Leadership)

Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam studi-

studi kepemimpinan. Burns (1978) merupakan salah satu penggagas yang secara eksplisit

mendefinisikan kepemimpinan transformasional. Menurutnya, untuk memperoleh pemahaman

yang lebih baik tentang model kepemimpinan transformasional, model ini perlu dipertentangkan

dengan model kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional didasarkan pada

otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya

menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para

bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin transaksional

cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi.


Untuk memotivasi agar bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para pemimpin

transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada

bawahannya. Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model kepemimpinan transformasional pada

hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk

melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan. Pemimpin transformasional

harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan

bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya.

Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa “the dynamic of transformational leadership

involve strong personal identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or

goingbeyond the self-interest exchange of rewards for compliance”. Dengan demikian,

pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai peran sentral

dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga

harus mempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta

mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka

butuhkan. MenurutYammarino dan Bass (1990), pemimpin transformasional harus mampu

membujuk para bawahannya melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka

sendiri demi kepentingan organisasi yang lebih besar.

Yammarino dan Bass (1990) juga menyatakan bahwa pemimpin transformasional

mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik, menstimulasi bawahan dengan cara

yang intelektual, dan menaruh parhatian pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh

bawahannya. Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Tichy dan Devanna (1990),

keberadaan para pemimpin transformasional mempunyai efek transformasi baik pada tingkat

organisasi maupun pada tingkat individu.


Dalam buku mereka yang berjudul “Improving Organizational Effectiveness through

transformational veadership”, Bass dan Avolio (1994) mengemukakan bahwa kepemimpinan

transformasional mempunyai empat dimensi yang disebutnya sebagai “the Four I’s”. Dimensi

yang pertama disebutnya sebagai idealized influence (pengaruh ideal). Dimensi yang pertama ini

digambarkan sebagai perilaku pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi,

menghormati dan sekaligus mempercayainya. Dimensi yang kedua disebut sebagai inspirational

motivation (motivasi inspirasi).

Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang

mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi

bawahan,mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan mampu

menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan entusiasme dan optimisme. Dimensi

yang ketiga disebut sebagai intellectual stimulation (stimulasi intelektual).Pemimpin

transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif

terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada

bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas

organisasi.

Dimensi yang terakhir disebut sebagai individualized consideration (konsiderasi

individu). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang

pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan

secara khusus mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir.

Walaupun penelitian mengenai model transformasional ini termasuk relatif baru, beberapa hasil

penelitian mendukung validitas keempat dimensi yang dipaparkan oleh Bass dan Avilio di atas.

Banyak peneliti dan praktisi manajemen yang sepakat bahwa model kepemimpinan
transformasional merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan

karakteristik pemimpin ( Sarros dan Butchatsky 1996).

Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang

dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (style) dan kontingensi, dan

juga konsep kepemimpinan transformasional menggabungkan dan menyempurnakan konsep-

konsep terdahulu yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosiologi (seperti misalnya Weber 1947) dan

ahli-ahli politik (seperti misalnya Burns 1978).

Beberapa ahli manajemen menjelaskan konsep-konsep kepimimpinan yang mirip dengan

kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan yang karismatik, inspirasional dan yang

mempunyai visi (visionary). Meskipun terminologi yang digunakan berbeda, namun fenomena-

fenomana kepemimpinan yang digambarkan dalam konsep-konsep tersebut lebih banyak

persamaannya daripada perbedaannya. Bryman (1992) menyebut kepemimpinan

transformasional sebagai kepemimpinan baru (the newleadership), sedangkan Sarros dan

Butchatsky (1996) menyebutnya sebagai pemimpin penerobos (breakthrough leadership).

Disebut sebagai penerobos karena pemimpim semacam ini mempunyai kemampuan

untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun

organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri individu-individu dalam

organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses penciptaan inovasi, meninjau kembali

struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara

yang menarik dan menantang bagi semua pihak yang terlibat, dan mencoba untuk merealisasikan

tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan. Pemimpin

penerobos memahami pentingnya perubahan-perubahan yang mendasar dan besar dalam

kehidupan dan pekerjaan merekadalam mencapai hasil-hasil yang diinginkannya. Pemimpin


penerobos mempunyai pemikiran yang metanoiac, dan dengan bekal pemikiran ini sang

pemimpin mampu menciptakan pergesaran paradigma untuk mengembangkan praktek organisasi

yang sekarang dengan yang lebih baru dan lebih relevan. Metanoia berasal dari kata Yunanimeta

yang berarti perubahan, dan nous/noos yang berarti pikiran.

Dengan perkembangan globalisasi ekonomi yang makin nyata, kondisi di berbagai pasar

dunia makin ditandai dengan kompetisi yang sangat tinggi (hyper-competition). Tiap keunggulan

daya saing perusahaan yang terlibat dalam permainan global (global game) menjadi bersifat

sementara (transitory). Oleh karena itu, perusahaan sebagai pemain dalam permainan global

harus terus menerus mentransformasi seluruh aspek manajemen internal perusaan agar selalu

relevan dengan kondisi persaingan baru.

Pemimpin transformasional dianggap sebagai model pemimpin yang tepat dan yang

mampu untuk terus-menerus meningkatkan daya saing dalam dunia yang lebih bersaing.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpu1an

Kepemimpinan (veadership) adalah segala upaya yang dilakukan seseorang(dalam hal ini

pemimpin) untuk mempengaruhi orang lain dengan caramemperdayakannya, mengarahkannya

untuk mewujudkan suatu tujuan bersama.

Dalam usaha memiliki kepemimpinan yang efektif dan berdaya guna dilakukanlah

penelitian yang menghasilkan beberapa teori kepemimpinan yaitu :

1) Teori berdasarkan watak atau sifat (Trait Theory).

2) Teori berdasarkan Perilaku (Behavior Theory).

3) Teori Kepemimpinan berdasarkan Situasi (Situational Theory)

Berdasarkan teori-teori kepemimpinan yang berhasil dirumuskan di atas, dibentuklah

beberapa model kepemimpinan yaitu :

1) Model Watak Kepemimpinan (Traits Model of veadership)

2) Model Kepemimpinan Situasional (Model of Situasional veadership)

3) Model Pemimpin yang Efektif (Model of Effective Leaders)

4) Model Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Model)

5) Model Kepemimpinan Transformasional (Model of Transformational Leadership)

3.2 Saran

Berdasarkan teori dan model kepemimpinan yang telah dipaparkan, kita dapat

mengadaptasi bahkan membuat model kepemimpinan yang baru sesuai dengan setiap pribadi
kita masing-masing, dengan tentu saja menekankan pada pencapaian tujuan akhir yang terbaik

dan berdaya guna untuk kebersamaan akibat dari suatu kepemimpinan.

Kami menyadari dari uraian di atas akan ada hal-hal yang memunculkan pandangan-

pandangan baru. Oleh sebab itu, kami sangat terbuka dengan segala saran yang tentunya

membangun sehingga makalah ini menjadi lebih layak sebagai referensi kita dalam menjalankan

kepemimpinan di masa yang akan datang di negara kita dengan cinta sepenuh hati.

Tiada gading yang tak retak karena retaknya nilai jualnya mahal. Tiada insan yang tak

khilaf karenanya berilah maaf janganlah dijual mahal. Semoga setiap perjuangan kita diberkati

oleh Tuhan Yang Maha Esa, amin.


DAFTAR PUSTAKA

Ambarita, Biner dkk, 2014, Perilaku Organisasi, Penerbit Alfabeta, Bandung

Bass, B.M. and Avolio, B.J., 1994 Lmproving Organizational Effectiveness through

Transformational Leadership, Sage, Thousand Oaks.

Bass, B.M., 1960, Leadership, Psychology and Organizational Behavior, Harper and Brothers,

New York.

Bennis, W.G. and Nanus, B., 1985 Leaders: The Strategies for Taking Charge, Harper and Row,

New York.

Bryman, A., 1992 Charisma and Leadership in Organizations, Sage, London.

Burns, J.M., 1978 Leadership, Harper and Row, New York.

Fiedler, F.E., 1 A Theory of Leadership Effectiveness, McGraw-Hill, New Yok.

French, J. and Raven, B., 1967, ‘The basis of social power’, in D. Cartwright and A.

Hander(eds.), Groub

Anda mungkin juga menyukai