Puji syukur tim penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
selesainyamakalah yang berjudul Teori dan Model Kepemimpinan dengan baik dan tepat waktu.
Materi pada makalah ini adalah pembahasan dari materi Mata Kuliah Teori Administrasi
danManajemen Pendidikan.
Adapun pembuatan makalah ini dilakukan sebagai pemenuhan nilai tugas pada
matakuliah Teori Administrasi dan Manajemen Pendidikan. Materi pada makalah ini diharapkan
Pada kesempatan ini Tim Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua
pihakyang telah terlibat dan membantu dalam penyusunan makalah ini. Selain itu Tim Penulis
jugamengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI
ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
“Leadership is not about titles, positions, or flow charts. It is about one life influencing
another.”
John C. Maxwell.
Kepemimpinan bukan mengenai pangkat, posisiatau diagram alur* tetapi mengenai suatu
Pengawas sekolah adalah guru pegawai negeri sipil yang diangkat dalam jabatan
pengawas sekolah (PP 74 tahun 2008). Pengawas adalah kegiatan pengawas sekolah dalam
program, dan melaksanakan pembimbingan dan pelatihan profesional guru. Dalam buku kerja
pengawas sekolah (2011) disebutkan bahwa pengawas sekolahyang profesional harus memiliki
kepengawasansekolah.
Kepemimpinan pada seorang pengawas sekolah merupakan sesuatu yang mutlak untuk dimiliki,
karena berkaitan langsung dengan tugas dan tanggung jawab yang harusdilakukannya. Oleh
karena itu seorang pengawas harus dapat menjadi pemimpin bagi guru dan kepala sekolah yang
akan dilayaninya. Tetapi apakah kepemimpinan itu sebenarnya, bagaimana kepemimpian itu
dapat muncul, dan bagaimana para pemimpin di berbagai organisasi yang ada menampilkan gaya
Dari latar belakang masalah yang diuraikan penulis, banyak permasalahan yang
2.1 Kepemimpinan
Bahkan jika kita menggunakan mesin pencari kata Google, maka penelusuran kata
kepemimpinan memiliki hasil sekitar 3.100.000 artikel. Sedangkan kata pemimpin memiliki
hasil penelusuran sebanyak 7.940.000. Ini merupakan hasil penelusuran yang sangat fantastis.
hal ini menandakan bahwa topik tentang Pemimpin dan Kepemimpinan merupakan topik yang
banyak dicari orang di dunia maya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Kepemimpinan adalah perihal pemimpin; cara memimpin. Sedangkan dalam Kamus Merriam-
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tampak bahwa defenisi kepemimpinan sangat
berkaitan dengan pemimpin dan cara memimpin, defenisi ini tampaknya sangat luas untuk
ditafsirkan. Sedangkan dalam Kamus Bahasa Inggris Merriam-Webster Kata Leadership atau
Kepemimpinan lebih dijelaskan lebih terperinci sebagai suatu kekuasaan atau kemampuan untuk
memimpin orang lain. Hal ini senada dengan defenisi Kepemimpinan yang dikemukakan oleh
para ahli.
1. Sthepen P. Robins mengatakan kepemimpinan adalah kemampuan untukmempengaruhi
perilaku orang lain, tanpa harus mengandalkan kekerasan pemimpinadalah individu yang
Tim penulis buku Perilaku Organisasi (2004) menyimpulkan Kepemimpinan adalah gaya
pengarahan (coaching) kepada bawahannya dalam mewujudkan visi, melaksanakan misi dan
Dari penjelasan para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa Kepemimpinan (Leadership)
adalah segala upaya yang dilakukan seseorang (dalam hal ini pemimpin) untuk mempengaruhi
orang lain dengan cara memperdayakannya, mengarahkannya untuk memujudkan suatu tujuan
bersama.
2.2 Teori Kepemimpinan
Pada dasarnya kepemimpinan mucul sejak adanya pradaban. Pada awal masa peradaban,
mereka untuk bertahan hidup. Pemimpin yang diangkat biasanya adalah mereka yang memiliki
fisik yang paling kuat, paling berani, paling cerdas. Sebab musabab inilah yang mendorong
banyak ahli untuk menyatakan teorinya tentang munculnya pemimpin.Teori Kepemimpinan pada
dengan mengemukakannya dalam beberapa segiantara lain, latar belakang sejarah pemimpin,
kepemimpinan muncul sejalan dengan peradaban dan kepemimpinan diperlukan dalam setiap
Sejarah teori dan penelitian kepemimpinan dimulai oleh Bernard yang pada tahun 1926
menyatakan bahwa kepemimpinan bisa dijelaskan oleh kualitas internal atau sifat yang dibawa
seseorang sejak lahir (Horner, 1997 : 270). Teori ini dinamakan teori sifat (traitstheory), dengan
inti teori yaitu seorang pemimpin adalah dilahirkan dan bukan dibuatatau direkayasa. Indikator
dari teori sifat adalah kemampuan mengarahkan secara alamiah, hasrat untuk memimpin,
kejujuran dan integritas, kepercayaan diri, kecerdasan serta pengetahuan yang luas mengenai
pekerjaan. Koontz (1980 : 665) menyimpulkan bahwa ada empat sifat utama yang berpengaruh
terhadap kesuksesan seorang pemimpin, yaitu kecerdasan, kedewasaan dan keluasan hubungan
sosial, motivasi diri dan dorongan berprestasi dan sikap-sikap hubungan manusiawi. Kesimpulan
dari penelitian ini,sebagaimana dinyatakan oleh Bernard pada tahun 1926, mengarahkan pada
premis bahwa pemimpin itu dilahirkan. Selanjutnya, Horner (1997 : 270) menyebutkan bahwa
setelah teori sifat terungkap, maka peneliti lain mulai melakukan penelitian lanjutan untuk
a) Capacity (kemampuan)
b) Achievement (prestasi)
Menurut Judith R. Gordon, karakter yang dimiliki seorang pemimpin harus memiliki
kemampuan dalam:
a) Kemampuan Intelektual
b) Kematangan pribadi
c) Pendidikan
e) Human relation
f) Motivasi intrinsic
Namun ditemukan kelemahan teori ini yaitu tidak adanya jawaban yang valid dan jelas mengenai
berbagai macam sifat yang secara konsisten mampu menggambarkan sebuah tipe kepemimpinan
yang efektif. Kelemahan teori ini memaksa para peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
Bahasan berikutnya adalah mengenai efektivitas kepemimpinan, apa yang dilakukan oleh
mengkomunikasikan ide dan memotivasi pengikutnya, bagaimana mereka mencapai target dalam
menyelesaikan tugas, dan bagaimana berbagai perilaku pemimpin mengantarkannya menjadi
sukses (Wahjono, 2010 : 269). Selanjutnya Horner (1997 : 270) menambahkan bahwa kelemahan
lain dariteori sifat adalah tidak mampu menggambarkan hubungan yang jelas antara atasan dan
Tidak seperti teori sifat (traits theory) yang menyatakan bahwa pemimpin itu dilahirkan,
maka pada teori perilaku (behavior theory) justru menyatakan sebaliknya, bahwa pemimpin itu
dibentuk dan diarahkan (Wahjono, 2010 : 269). Kelemahan teori sifat menjadi dasar munculnya
teori kepemimpinan berdasarkan perilaku, dimana Halpin dan Winer pada tahun 1950 dalam
Robbins (1996 : 40) mengemukakan sebuah teori kepemimpinan dengan penekanan pada
perbuatan atau perilaku yang ditunjukkan oleh pemimpin dan bukan dinilai dari sifat yang
dibawa sejak lahir.Teori ini dinamakan teori perilaku (behavior theory), dengan inti teori yaitu
seseorang dikatakan pemimpin atau mengerti konsep kepemimpinan tergantung dari perilaku
yang ditunjukkan dalam meningkatkan efektifitas dalam mencapai tujuan organisasi. Halpin dan
Winer pada tahun 1950 menambahkan bahwa semua orang dapat menjadi pemimpin yang sukses
atau mengerti konsep kepemimpinan dengan mempelajari perilaku seorang pemimpin yang telah
sukses. Yukl (1989 : 257) menyebutkan bahwa banyak peneliti yang telah melakukan penelitian
lanjutan untuk membuktikan validitas teori ini, di antaranya Mintzberg (1973) Mczall, Morrison
dan Hannan (1978) Mczall dan Segrist (1980), Kotter (1982) Kurke dan Aldrich (1983) Kanter
Penelitian lanjutan mengenai teori ini dilakukan oleh Universitas Ohio dan Michigan yang
menghasilkan dua dimensi kepemimpinan berdasarkan perilaku, yaitu ( Robbins, 1996 : 41):
a) Donsideration atau kepemimpinan yang berorientasi pekerja, yang menekankan pada
b) Initiating structure atau kepemimpinan yang berorientasi tugas, yang menekankan pada
Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa pemimpin yang berorientasi pada pekerja
Universitas lowa mengemukakan pendekatan lain yang dianggap mampu menjelaskan mengenai
c) Laissez-faire style, yaitu kebebasan dalam melakukan apapun atau pemimpin yang
Blake, shepard dan Mouton pada tahun 1964 mengembangkan model kepemimpinan
lanjutan dengan berbasis pada hasil penelitian dari universitas ohio, Michigan dan lowa ( Horner,
1997 : 271). Blake, Shepard dan Mouton merumuskan dua dimensi yang hampir serupa dengan
penelitian ohio dan Michigan yaitu concern for people dan concern for output dan dikemudian
Namun seperti penelitian yang dilakukan pada teori sifat, teori kepemimpinan berbasis
perilaku gagal dalam pelaksanaannya karena teori ini belum sepenuhnya dapat menjelaskan
mengenai kepemimpinan dan mengambil faktor situasi. Faktor situasi pekerjaan seharusnya tidak
boleh diabaikan karena tidak boleh diabaikan karena tidak ada satupun gaya kepemimpinan yang
tetap bagi setiap pemimpin pada seluruh situasi pekerjaan (Uprihanto, Harsiwi dan Hadi dalam
Berdasarkan kelemahan teori sifat dan teori perilaku yang mengabaikan faktor situasi
kesesuaian antara kepribadian, tugas, kekuasaan, sikap dan persepsi. Pendekatan ini dianggap
sebagai pendekatan paling ideal dalam menjelaskan hubungan antara pemimpin, bawahan dan
situasi (Horner, 1997 : 271). Menurut Horner (1997 : 271), inti dari teori situasional
menggambarkan bahwa tipe yang digunakan oleh pemimpin tergantung pada faktor-faktor
seperti pemimpin itu sendiri, pengikut serta situasi. Dengan kata lain, seorang pemimpin harus
mampu mengubah tipe kepemimpinan secara cepat, tepat dan akurat sesuai dengan kebutuhan
situasi.Salah satu teori kepemimpinan yang menggunakan pendekatan situasional adalah teori
kepemimpinan kontingensi yang dikembangkan oleh Fiedler pada tahun 1967 (Luthans, 2005 :
649). Teori kepemimpinan kontingensi menyatakan bahwa kinerja pegawai yang efektif hanya
dapat tercapai apabila terjadi kesamaan visi antara tipe kepemimpinan seorang pemimpin dengan
bawahannya serta sejauh mana pemimpin mampu mengendalikan situasi. Tiga dimensi penting
dengan anggota, besaran kadar kepercayaan serta respek dari bawahan terhadap
pemimpin.
b) Task structure (tingkat strukur tugas), yaitu kadar formalisasi dan prosedur
c) Position power (kekuasaan posisi pemimpin), yaitu otoritas pada suatu situasi seperti
Teori kepemimpinal lainnya dikemukakan oleh Vroom dan Yetton pada tahun 1973 (Horner,
1997 : 271). Teori yang dinamakan teori yang dinamakan teori normatif Vroom-Yetton ini
menjelaskan bagaimana seorang pemimpin harus memimpin harus memimpin bawahan dalam
berbagai situasi. Model ini menunjukkan bahwa tidak ada satupun tipe kepemimpinan yang
dapat efektif diterapkan dalam berbagai situasi. Pilihan mengenai tipe kepemimpinan yang akan
dianut hanya efektif jika sesuai dengan situasi yang dihadapi.Selanjutnya House dan Mitchell
pada tahun 1974 mengemukakan teori situasional dengan berbasis pada hasil penelitian dari
Universitas Ohio (Robbins, 1996 : 52). Teori yang dinamakan sebagai teori path-goal ini
mengungkapkan bahwa seorang pemimpin mempunyai tugas untuk membantu bawahan dalam
mencapai tujuan-tujuan (goal) mereka dan menyediakan petunjuk (path) atau dukungan yang
diperlukan untuk memastikan bahwa tujuan tersebut sejalan dengan tujuan organisasi secara
a.) Pemimpin direktif, mengarahkan tentang apa yang harus dilakukan dan bagaimana
Intinya, teori path goal mengasumsikan bahwa pemimpin harus fleksibel sehingga
mengganti tipe kepemimpinannya secara cepat. Namun Horner (1997 : 271) mengungkapkan
bahwa dari sekian banyak peneliti yang meneliti tentang teori situasional, ternyata diketahui
bahwa teori situasional sangat ambigu karena teori inilebih menjelaskan konsep-konsep
manajerial, dengan kata lain teori tersebut seharusnya ditujukan untuk manajer. Selain itu, teori
lain dari teori ini adalah tidak menjelaskan perlu atau tidaknya pekerja mengubah perilaku
Banyak studi mengenai kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang dibahas dari
berbagai perspektif yang telah dilakukan oleh para peneliti. Analisis awal
tentangkepemimpinan, dari tahun 1900-an hingga tahun 1950-an, memfokuskan perhatian pada
hasil penelitian pada saat periode tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat satu pun sifat atau
watak (trait) atau kombinasi sifat atau watak yang dapat menerangkan sepenuhnya tentang
kemampuan para pemimpin, maka perhatian para peneliti bergeser pada masalah pengaruh
para pemimpin yang efektif. Untuk memahami faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
tingkah laku para pemimpin yang efektif, para peneliti menggunakan model kontingensi
(contingency model). Dengan model kontingensi tersebut para peneliti menguji keterkaitan
Studi-studi tentang kepemimpinan pada tahun 11970-an dan 1980-an, sekali lagi
keefektifan mereka dan keberhasilan organisasi yang mereka pimpin. Hasil-hasil penelitian pada
periode tahun 1970-an dan 1980-an mengarah kepada kesimpulan bahwa pemimpin dan
kepemimpinan adalah persoalan yang sangat penting untuk dipelajari (crucial), namun kedua
Dalam perkembangannya, model yang relatif baru dalam studi kepemimpinan disebut
sebagai model kepemimpinan transformasional. Model ini dianggap sebagaimodel yang terbaik
mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan watak, gaya dan kontingensi.
Berikut ini akan dibahas tentang perkembangan pemikiran ahli-ahli manajemen mengenai
Pada umumnya studi-studi kepemimpinan pada tahap awal mencoba meneliti tentang
watak individu yang melekat pada diri para pemimpin, seperti misalnya: kecerdasan, kejujuran,
kematangan, ketegasan, kecakapan berbicara, kesupelan dalam bergaul, status sosial ekonomi
membedakan antara pemimpin dan pengikut, yaitu kapasitas, prestasi, tanggung jawab,
partisipasi, status dan situasi. Namun demikian banyak studi yang menunjukkan bahwa faktor-
faktor yang membedakan antara pemimpin dan pengikut dalam satu studi tidak konsisten dan
tidak didukung dengan hasil-hasil studi yang lain. Disamping itu, watak pribadi bukanlah faktor
yang dominant dalam menentukan keberhasilan kinerja manajerial para pemimpin. Hingga
tahun 1950-an, lebih dari 100 studi yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi watak atau sifat
personal yang dibutuhkan oleh pemimpin yang baik, dan dari studi-studi tersebut dinyatakan
bahwa hubungan antara karakteristik watak dengan efektifitas kepemimpinan, walaupun positif,
Bukti-bukti yang ada menyarankan bahwa “leadership is a relation that eFists between
persons in a social situation, and that persons who are leaders in one situation may not
pada faktor situasi, maka pengaruh watak yang dimiliki oleh para pemimpin mempunyai
pengaruh yang tidak signifikan. Kegagalan studi-studi tentang kepimpinan pada periode awal
ini, yang tidak berhasil meyakinkan adanya hubungan yang jelas antara watak pribadi pemimpin
dan kepemimpinan, membuat para peneliti untuk mencari faktor-faktor lain (selain faktor
watak), seperti misalnya faktor situasi, yang diharapkan dapat secara jelas menerangkan
kepemimpinan dengan fokus utama faktor situasi sebagai variabel penentu kemampuan
pemimpin berhasil melakukan tugas-tugas organisasi secara efektif dan efisien. Dan juga model
ini membahas aspek kepemimpinan lebih berdasarkan fungsinya, bukan lagi hanya berdasarkan
situasional ini, seseorang bisa dianggap sebagai pemimpin atau pengikut tergantung pada situasi
atau keadaan yang dihadapi. Banyak studi yang mencoba untuk mengidentifikasi karakteristik
situasi khusus yang bagaimana yang mempengaruhikinerja para pemimpin. Hoy dan Miskel
(1987) misalnya, menyatakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi kinerja
pemimpin, yaitu sifat struktural organisasi (structural properties of the organisation), iklim atau
modelterdahulu. Namun demikian model ini masih dianggap belum memadai karena model ini
tidak dapat memprediksikan kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang mana yang lebih
(types of behaviours) para pemimpin yang efektif. Tingkah laku para pemimpin dapat
dikatagorikan menjadi dua dimensi, yaitu struktur kelembagaan (initiating structure) dan
para pemimpin mendefinisikan dan menyusun interaksi kelompok dalam rangka pencapaian
tujuan organisasi serta sampai sejauh mana para pemimpin mengorganisasikan kegiatan-kegiatan
kelompok mereka. Dimensi ini dikaitkan dengan usaha para pemimpin mencapai tujuan
organisasi. Dimensi konsiderasi menggambarkan sampai sejauh mana tingkat hubungan kerja
antara pemimpin dan bawahannya, dan sampai sejauh mana pemimpin memperhatikan
kebutuhan sosial danemosi bagi bawahan seperti misalnya kebutuhan akan pengakuan, kepuasan
kerja dan emosi bagi bawahan misalnya kebutuhan akan pengakuan, kepuasan kerja dan
penghargaan yang mempengaruhi kinerja mereka dalam organisasi. Dimensi konserasi ini juga
dikaitkan dengan adanya pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan komunikasi dua arah,
Halpin (1996) Blake and Mouton (1985) menyatakan bahwa tingkah laku pemimpin yang
efektif cenderung menunjukkan kinerja yang tinggi terhadap dua aspek diatas. Mereka
berpendapat bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang menata kelembagaan
organisasinya secara sangat terstruktur, dan mempunyai hubungan yang persahabatan yang
sangat baik, saling percaya, saling menghargai dan senantiasa hangat dengan bawahannya.
Secara ringkas, model kepemimpinan efektif ini mendukung anggapan bahwa pemimpin yang
efektif adalah pemimpin yang dapat menangani kedua aspek organisasi dan manusia sekaligus
dalam organisasinya.
model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa situasi yang berbeda membutuhkan tipe
dengan watak atau tingkah laku dan kriteria kinerja pemimpin (Hoy and Miskel 1987).
Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model
tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the
favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang
Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor
ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan
antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (thetask structure) dan
Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu
dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk
pemimpin. Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi
didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi
dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku. Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh
mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam
organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka
masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin. Misalnya,
Model kontingensi yang lain, Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin
ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House
11971). Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok:
iklim kerja yang bersahabat), directive leadership(mengarahkan bawahan untuk bekerja sesuai
dengan peraturan, prosedur dan petunjuk yang ada), participative leadership (konsultasi dengan
tujuan organisasi yang menantang dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan).
Menurut Path-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas
organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun model kepemimpinan
aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan
klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah
Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam studi-
studi kepemimpinan. Burns (1978) merupakan salah satu penggagas yang secara eksplisit
yang lebih baik tentang model kepemimpinan transformasional, model ini perlu dipertentangkan
otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya
menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para
transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada
melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan. Pemimpin transformasional
Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa “the dynamic of transformational leadership
involve strong personal identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or
pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai peran sentral
dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga
harus mempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta
mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka
mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik, menstimulasi bawahan dengan cara
yang intelektual, dan menaruh parhatian pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh
bawahannya. Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Tichy dan Devanna (1990),
keberadaan para pemimpin transformasional mempunyai efek transformasi baik pada tingkat
transformasional mempunyai empat dimensi yang disebutnya sebagai “the Four I’s”. Dimensi
yang pertama disebutnya sebagai idealized influence (pengaruh ideal). Dimensi yang pertama ini
menghormati dan sekaligus mempercayainya. Dimensi yang kedua disebut sebagai inspirational
menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan entusiasme dan optimisme. Dimensi
transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif
organisasi.
pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan
Walaupun penelitian mengenai model transformasional ini termasuk relatif baru, beberapa hasil
penelitian mendukung validitas keempat dimensi yang dipaparkan oleh Bass dan Avilio di atas.
Banyak peneliti dan praktisi manajemen yang sepakat bahwa model kepemimpinan
transformasional merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan
dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (style) dan kontingensi, dan
konsep terdahulu yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosiologi (seperti misalnya Weber 1947) dan
mempunyai visi (visionary). Meskipun terminologi yang digunakan berbeda, namun fenomena-
organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri individu-individu dalam
organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses penciptaan inovasi, meninjau kembali
struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara
yang menarik dan menantang bagi semua pihak yang terlibat, dan mencoba untuk merealisasikan
tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan. Pemimpin
yang sekarang dengan yang lebih baru dan lebih relevan. Metanoia berasal dari kata Yunanimeta
Dengan perkembangan globalisasi ekonomi yang makin nyata, kondisi di berbagai pasar
dunia makin ditandai dengan kompetisi yang sangat tinggi (hyper-competition). Tiap keunggulan
daya saing perusahaan yang terlibat dalam permainan global (global game) menjadi bersifat
sementara (transitory). Oleh karena itu, perusahaan sebagai pemain dalam permainan global
harus terus menerus mentransformasi seluruh aspek manajemen internal perusaan agar selalu
Pemimpin transformasional dianggap sebagai model pemimpin yang tepat dan yang
mampu untuk terus-menerus meningkatkan daya saing dalam dunia yang lebih bersaing.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpu1an
Kepemimpinan (veadership) adalah segala upaya yang dilakukan seseorang(dalam hal ini
Dalam usaha memiliki kepemimpinan yang efektif dan berdaya guna dilakukanlah
3.2 Saran
Berdasarkan teori dan model kepemimpinan yang telah dipaparkan, kita dapat
mengadaptasi bahkan membuat model kepemimpinan yang baru sesuai dengan setiap pribadi
kita masing-masing, dengan tentu saja menekankan pada pencapaian tujuan akhir yang terbaik
Kami menyadari dari uraian di atas akan ada hal-hal yang memunculkan pandangan-
pandangan baru. Oleh sebab itu, kami sangat terbuka dengan segala saran yang tentunya
membangun sehingga makalah ini menjadi lebih layak sebagai referensi kita dalam menjalankan
kepemimpinan di masa yang akan datang di negara kita dengan cinta sepenuh hati.
Tiada gading yang tak retak karena retaknya nilai jualnya mahal. Tiada insan yang tak
khilaf karenanya berilah maaf janganlah dijual mahal. Semoga setiap perjuangan kita diberkati
Bass, B.M. and Avolio, B.J., 1994 Lmproving Organizational Effectiveness through
Bass, B.M., 1960, Leadership, Psychology and Organizational Behavior, Harper and Brothers,
New York.
Bennis, W.G. and Nanus, B., 1985 Leaders: The Strategies for Taking Charge, Harper and Row,
New York.
French, J. and Raven, B., 1967, ‘The basis of social power’, in D. Cartwright and A.
Hander(eds.), Groub