Anda di halaman 1dari 2

WOLEKA MUTIARA NEGERIKU

Di kampung Kalembu Bungga terdapat beberapa rumah yang membentuk lingkaran dan mengelilingi
sebuah pelataran bersama yang cukup luas. Semua warga kampung itu merupakan anggota kabizzu Wai
Ndieta yang merupakan bagian dari suku Bukambero. Di salah satu bagian pelataran itu terdapat sebuah
pohon waru yang diyakini sebagai simbol kehadiran Marapu. Marapu diyakini sebagai Alkhalik pencipta segala
sesuatu, penguasa, pemilik dan penjamin kehidupan manusia.
Dan sore ini, di kampung itu ada kesibukan yang lebih dari hari-hari sebelumnya.
“Ada kesibukan apa di kampung itu ya Pak?” tanyaku kepada ayah.
“Malam ini akan diadakan pembukaan woleka di kampung Kalembu Bungga” jawab ayah.
“Mengapa kita tidak diundang ke acara itu?” tanyaku.
“Acara pembukan woleka masih khusus untuk warga kampung itu saja. Namun demikian, siapa pun
boleh datang untuk menyaksikan acara itu. Puncak woleka akan berlangsung pada hari terakhir. Nah, pada hari
terakhir ini baru ada tamu undangan” jawab ayah.
“Woleka adalah pesta adat yang merupakan ungkapan syukur kepada Marapu atas hasil panen dan
peristiwa-peristiwa berahmat lain. Woleka juga merupakan bentuk pemenuhan janji kepada Sang Khalik
melalui arwah para leluhur” lanjut ayah.
“Jam berapa acara pembukaan woleka itu dimulai?” tanyaku kepada ayah.
“Pembukaan persiapan woleka dimulai setelah makan malam, kira-kira pukul 20.00 atau 21.00. Acara
pembukaan adalah zaigho, yaitu pendarasan doa kepada Sang Khalik. Pada malam berikutnya dan malam-
malam selanjutnya ada tarian woleka” jawab ayah.
Malam berikutnya tepat jam 20.30 aku pergi ke kampung Kalembu Bungga. Di depan pohon waru di
pelataran kampung berkumpul banyak orang yang membentuk dua baris saling berhadapan. Gong, genderang
dan tambur ditabuh. Seorang pria paruh baya menghunuskan tombak mulai menari dengan gagah perkasa
sembari memperdengarkan suara pekikan yang khas. Ia menari sambil bergerak maju ke arah pohon waru, dan
kemudian membuat gerakan berkeliling di hadapan para penonton.
“Yang menari itu disebut iru deta” kata Tunna temanku yang merupakan warga kampung itu.
“Iru deta itu apa ya Tun?” tanyaku.
“Iru deta adalah orang yang menjadi pemimpin umum dari woleka ini. Dia dibantu oleh iru bawa,
kappa kaghana dan kappa ghello. Mereka adalah semacam panitia khusus yang bertanggung jawab untuk
kesuksesan woleka. Iru deta harus lebih dahulu menari sebelum penari-penari lain beraksi.” jawab Tunna.
Setelah iru deta menyelesaikan tariannya, penari-penari lain masuk dan menari dengan gemulai.
Sambil menari, para penari wanita melakukan pakallka, dan penari pria berpekik payaghau. Para penonton
juga mengiringi mereka dengan payaghau dan pakallaka.
“Tarian-tarian ini adalah tarian nduzu dan pabendu yang selalu diulang secara bergantian, tetapi kamu
tidak akan bosan menyaksikannya” kata Tunna.
Kira-kira pukul 22.30 acara selesai. Padahal aku masih ingin menyaksikannya. Toh, besok hari libur.
Seperti tahu isi pikiranku, Tunna berkata, “Woleka di kampungku berlangsung empat minggu. Kamu
bisa datang lagi besok malam. Tapi kamu harus makan dulu di rumah karena kami tidak menyediakan makanan
dan minuman untuk para penonton. Pada malam terakhir baru ada acara makan dan minum, karena pada saat
itu tamu undangan kami hadir. Sesuai kesanggupan dan keiklasannya, para tamu undangan membawa bahan-
bahan sembako, babi, kerbau atau sapi kepada kami.”
“Tamu undangan ini juga akan hadir keesokan harinya kira-kira jam 10.00. Pada hari terakhir ini akan
ada penyembelihan babi dan kerbau atau sapi. Setelah itu, semua tamu undangan diberi daging yang
ukurannya sesuai dengan materi yang dibawanya kepada kami pada malam sebelumnya. Dan acara pun
selesai” lanjut Tunna.
Dan ketika aku dan Tunna berjalan ke arah pintu gerbang kampung, aku terkejut karena di situ aku
melihat beberapa orang turis mancanegara berkulit putih.
“Para turis mancanegara memang sering datang untuk menyaksikan woleka” kata Tunna dengan
bangga.
“Wah, hebat!” kataku kagum.
“O ya Don, itu ayahmu sudah menunggu” kata Tunna mengalihkan pembicaraan.
Aku melihat ayahku sedang duduk di atas motor di bawah pohon jambu mente di luar kampung. Ayah
melambaikan tangan ke arahku.
“Tun, aku pulang dulu ya” kataku sambil berjalan ke arah ayah.
“Ya Don. Hati-hati ya” balas Tunna.
Ayah menghidupkan sepeda motor dan kami pun pulang ke rumah di Kalembu Danga yang letaknya
satu kilometer dari Kalembu Bungga.
Sambil membonceng ayah, aku mengajaknya berbicara, “Acara tadi bagus sekali, Pak. Tarian nduzu
dan pabendu sedap dipandang mata. Irama gong, genderang dan tambur enak didengar telinga. Banyak yang
menonton, bahkan ada beberapa turis yang ikut menonton.”
“Tarian nduhu dan pabendu yang kamu saksikan tadi adalah tarian woleka orang Bukambero dan
orang Kodi. Para turis ikut menonton karena mereka mengagumi budaya kita” kata ayah.
“Kapan kita juga mengadakan woleka ya Pak?” tanyaku.
“Sanak keluarga kita di Wewewa yang akan menentukan waktunya. Mereka akan memberi tahu dan
melibatkan kita” jawab ayah.
“Kita orang Wewewa ya Pak?” tanyaku lagi
“Ya. Akan tetapi lebih dari tiga puluh tahun yang lalu mendiang kakekmu menetap di Bukambero. Ayah
dibesarkan di Tanah Wewella ini. Kamu pun dilahirkan dan dibesarkan di sini. Karena itu kita adalah bagian dari
masyarakat dan budaya Bukambero. Dan kita harus bangga akan woleka di Bukambero ini” jawab ayah.
“Mengapa kita harus bangga?” tanyaku.
“Woleka ada warisan leluhur kita. Banyak nilai yang terdapat di balik tradisi woleka. Nilai-nilai itu
adalah religiusitas, kebersamaan, gotong-royong, kekompakan, kerja keras, estetika, tolong menolong dan
saling berbagi. Kita harus melestarikan warisan leluhur yang tak ternilai harganya ini” jelas ayah.
Kami pun tiba di rumah. Setelah memarkir motor di garasi, kami pun masuk ke kamar masing-masing
untuk tidur. Dan malam itu aku bermimpi indah tentang woleka di Tanah Wewella-Tanah Bukambero. Ya,
woleka adalah mutiara indah negeriku.

Weewella, 01 Desember 2018

Donatus Tanggu
(Kelas V SD Inpres Kalembu Danga)

Anda mungkin juga menyukai