Anda di halaman 1dari 64

RESUME REMIDIASI

SKENARIO 1

Nama : Lugino
NPM : 114170035
Kelompok :4
Blok / Semester : 4.3 / 4

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2020
Step 5
1. Macam – macam Ujud Kelainan Kulit (UKK) primer, sekunder, dan khusus
2. Mekanisme patofisiologi munculnya UKK
3. Diagnosis banding berdasarkan UKK yang muncul
4. Penatalaksanaan berdasarkan UKK yang ditemukan
Step 6
Belajar mandiri
Step 7
1. Macam – macam Ujud Kelainan Kulit
Ujud Kelainan Kulit Primer
a. Makula
Suatu lesi datar yang berbatas tegas, berupa perubahan warna semata-mata. Lesi
kulit yang datar dimana terjadi perubahan warna kulit yang dapat berbatas tegas
atau samar dibandingkan dengan kulit sekitarnya dengan ukuran kurang dari 0,5
cm. Makula hiperpegmentasi terjadi karena peningkatan sekresi melanin. Makula
hipopigmentasi terjadi karena penurunan atau tidak adanya sintesis melanin.
Sedangkan makula eritem terjadi karena dilatasi pembuluh darah, eksravasasi el-
sel darah merah kepermukaan kulit. 1
b. Urtika
Edema setempat yang bersifat sementara, timbul mendadak dan hilang perlahan-
lahan, biasanya oval atau arkuata, berwarna merah muda atau merah. 1
c. Papul
Suatu massa padat sirkumskrip, menonjol diatas permukaan kulit, diameter
kurang dari 0,5 cm dan dapat terjadi pada dermis dan epidermis kulit, berbentuk
kubah, kerucut, datar atau berumbilikasi. Papul bisa terjadi karena deposit
metabolik, infiltrat terbatas pada dermis, dan hiperplasi lokalisata elemen seluler
epidermis dan dermis. 1
d. Plakat
Lesi berupa peninggian pada kulit menyerupai permukaan bidang yang elatif luas
dibanding ketebalan kulitnya. Terjadi karena beberapa papul bergabung menjadi
satu dan papul juga bia terjadi karena garukan yang berulang. 1
e. Nodus
Suatu massa padat sirkumskip yang lebih besar dari papul, dapat menonjol
terletak dikutan atau subkutan dengan diameter lebih dari 1 cm. Bila diameter
kurang dari 1 cm disebut nodulus. 1
f. Vesikel
Gelembung yang berisi cairan serum, diameter kurang dari 0,5 cm. Mempunyai
dasar dan atap. Letak superfisial bila berada diepidermis. Vesikel terjadi karena
aanya celah dalam epidermis atau taut dermoepidermal. 1
g. Bula
Vesikel dengan diameter lebih besar dari 1 cm. Bula hipopion adalah bula berisi
pus dan isi bula berada dibawah seperti kantung, sedangkan bula hemoragik
merupakan bula berisi darah. Pada intraepidermal lesi tersebut longgar dan mudh
pecah dan subepidermal tegang dan tidak mudah pecah. Terjadi karena plasma
yang bocor drai pembuluh darah mengisi ruang epidermis sehingga terjadi
penumpukan cairan. 1
h. Kista
Ruangan berdinding dan berisi cairan yang dihasilkan dari sel maupun sisa sel.
Kista terbentuk dari kelenjar yang melebar dan tertutup, saluran kelenjar,
pembuluh darah, saluran getah bening, atau pun lapisan epidermis. Kista dibatsi
oleh epitel skuamosa yang memproduksi material keratin. Hidroadenoma kista isi
material mukus. 1
i. Urtika
Penonjolan diatas permukaan kulit akibat edema setempat dan dapat hilang
perlahan-lahan, misalnya pada dermatitis medikamentosadan gigitan serangga.
Terjadi karena edema atau pembengkakan yang dihasilkan oleh kebocoran
1
plasma melalui dinding pembuluh darah dibagian atas dermis.
j. Pustula
Lesi kulit yang terisi dengan pus dibagian epidermis. Terjadi karena infeksi
bakteri menyebabkan penumpukan eksudat purulen yang terdiri dari pus, leukosit
dan debris. 1
Gambar 1.1 Efluoresensi Kulit. 1

Ujud Kelainan Kulit Sekunder


Berbagai macam tipe lesi sekunder, yang sangat penting yaitu skuama, krusta,
telangiektasis, erosi, ekskoriasi, ulkus, likenifikasi, fisura, scar, atrofi, eksantema,
roseola, dan purpura. 1
a. Skuama
Adalah lapisan stratum korneum yang terlepas dari kulit. Skuama dapat halus
sebagai taburan tepung, maupun lapisan tebal dan luas sebagai lembaran kertas.
Dapat dibedakan, misalnya pitiriasiformis (halus), psoriasiformis (berlapis-lapis),
iktiosiformis (seperti ikan), kutikular (tipis), lamelar (berlapis), membranosa atau
eksfoliativa (lembaran-lembaran), dan keratotik (terdiri atas zat tanduk). 1

Gambar 1.2 Skuama. 3


b. Krusta
adalah cairan badan yang mengering. Dapat bercampur dengan jaringan nekrotik,
maupun benda asing (kotoran, obat, dan sebagainya). Warnanya ada beberapa
macam: kuning muda berasal dari serum, kuning kehijauan berasal dari pus, dan
kehitaman berasal dari darah. Dapat terjadi ketika papul, pustul, vesikel, bula
mengalami ruptur atau pecah, cairan atau bahan-bahan yang terkandung di
dalamnya akan mengering. 2
krusta dapat terjadi ketika serum, darah, atau eksudat purulen kering di
permukaan kulit. krusta dapat tipis, halus, dan krusta berwarna kuning ketika
terbentuk dari serum kering; hijau atau kuning hijau ketika terbentuk dari eksudat
pus; atau coklat, merah gelap, atau hitam saat terbentuk dari darah. Krusta pada
superfisial berwarna seperti warna madu. Ketika eksudat timbul di seluruh
epidermis maka akan menimbulkan kerak yang tebal dan menempel, dan jika
disertai nekrosis jaringan yang lebih dalam (misalnya dermis), kondisi ini
biasanya dikenal dengan ektima. 3

Gambar 1.3 Krusta. 3

c. Telangiektasis
Pelebaran kapiler yang menetap pada kulit. 1
d. Erosi
Kelainan kulit yang disebabkan kehilangan jaringan yang tidak melampaui
stratum basal yaitu sampai stratum spinosum. Kulit tampak menjadi cerah dan
keluar cairan serosa, misalnya pada dermatitis kontak. Terjadi karena adanya
trauma sehingga terjadi pemisahan lapisan epidermis dengan laserasi ruptur
vesikel atau bula dan nekrosis epidermal. Contoh bila kulit digaruk sampai
stratum spinosum akan keluar cairan sereus dari bekas garukan.1
Pada erosi hanya kehilangan pada bagian epidermis, tidak melibatkan dermis.
Jika pada ulkus selalu sembuh dengan pembentukan scar, berbeda dengan erosi
yang sembuh tanpa pembentukan scar. Erosi memiliki batas yang tajam dan
merah. Pada erosi superfisial, yang melibatkan lapisan subkorneum atau melalui
epidermis, dan erosi yang lebih dalam yang dasarnya adalah badan papil. Kecuali
pada abrasi fisik, erosi biasanya terjadi di intraepidermal atau subepidermal. 3

Gambar 1.4 Erosi. 3


e. Ekskoriasi
Ekskoriasi adalah kerusakan kulit sampai ujung stratum papilaris sehingga kulit
tampak merah disertai bintik-bintik perdarahan. Ditemukan pada dermatitis
kontak dan ektima. Terjadi karena adanya lesi yang gatal sehingga digaruk dan
dapat menyebabkan perdarahan. Bila garukan lebih dalam lagi sehingga tergores
sampai ujung papil, maka akan terlihat darah yang ke luar selain serum. Kelainan
kulit yang disebabkan oleh hilangnya jaringan sampai dengan stratum papilare
disebut ekskoriasi. 1
f. Ulkus
Ulkus adalah hilangnya bagian kulit di bagian dermis atau lebih dalam ke
subkutis dan selalu terjadi perubahan secara patologi. Ulkus biasanya merupakan
fenomena sekunder. Perubahan jaringan secara patologi memunculkan ulkus di
perbatasan atau dasar ulkus dan sangat membantu dalam menentukan
penyebabnya. Keterangan lain yang dapat membantu adalah memiliki batas yang
meningkat, tidak dapat ditentukan, keras atau basah; loka ulkus; dapat dilepas;
dan dikumpulkan bentuknya berdasarkan bentuknya seperti nodul, ekskoriasi,
varikositis, distribusi rambut, terdapat abses di kelenjar keringat, dan denyut
arteri. Ulkus biasanya sembuh dengan pembentukan scar. 3
Adalah hilangnya jaringan yang lebih dalam dari ekskoriasi. Ulkus dengan
demikian mempunyai tepi, dinding, dasar, dan isi. Termasuk erosi dan ekskoriasi
dengan bentuk linier ialah fisura atau rhagades, yakni belahan kulit yang terjadi
oleh tarikan jaringan di sekitarnya, terutama terlihat pada sendi dan batas kulit
dengan selaput lendir. 1

Gambar 1.5 Ulkus. 3


g. Likenifikasi
Penebalan kulit sehingga relief atau garis-garis lipatan kulit tampak lebih jelas.
Terjadi karena perubahan kolagen pada bagian superfisial dermis menyebabkan
penebalan kulit. 1
h. Fisura
Fisura adalah celah linear yang menghubungkan epidermis atau ke dalam dermis.
Lesi ini bisa tunggal atau ganda dan bervariasi dari berukuran mikroskopis
hingga beberapa sentimeter. celah bisa kering atau lembab, merah, lurus,
melengkung, tidak beraturan, atau bercabang. Fisura paling sering terjadi ketika
kulit menebal dan tidak elastic yang berasal dari inflamasi dan kekeringan,
terutama di saerah yang sering mengalami pergerakan. Daerah seperti itu seperti
ujung dan lipatan dari ibu jari, jari-jari, dan telapak tangan, tepi tumit, celah
antara jaringan tangan dan kaki, pada sudut mulut, bibir, dan sekitar hidung,
telingan dan anus. Saat kulit kering, paparan produk dingin, angi, air, dan
pembersih (sabun, detergen) dapat menghasilkan sensasi menyengat, terbakar. 1
i. Scar/ sikatriks
Scar merupakan pergantian jaringan fibrosa pada kerusakan jaringan yang
disebabkan oleh ulkus atau persembuhan luka. 3
Terdiri atas jaringan tak utuh, relief kulit tidak normal, permukaan kulit licin dan
tidak terdapat adneksa kulit. Sikatriks dapat atrofik, kulit mencekung dan dapat
hipertrofik, yang secara klinis terlihat menonjol karena kelebihan jaringan ikat.
Bila sikatriks hipertrofik menjadi patologik, pertumbuhan melampaui batas luka
disebut keloid (sikatriks yang pertumbuhan selnya mengikuti pertumbuhan
tumor), dan ada kecenderungan untuk terus membesar. Terjadi karena proliferasi
jaringan fibrosa digantikan oleh jaringan kolagen setelah terjadinya luka atau
ulserasi. 1

Gambar 1.6 Skar. 1


j. Atrofi
Hal ini mengacu pada pengurangan beberapa atau seluruh lapisan kulit. Bentuk
epidermal dimanifestasikan sebagai penipisan epidermis yang menjadi
transparan, kehilangan tekstur kulit dan seperti lembaran hitam (paper-cigarete).
Penurunan jaringan ikat retikuler dermis sehingga menyebabkan penekanan
permukaan kulit yang reversibel. Pada atrofi dermal, terdapat kehilangan jaringan
pengikat pada dermis dan penutupan luka. 4

Gambar 1.7 Atrofi. 1


k. Eksantema
Kelainan pada kulit yang timbul serentak dalam waktu singkat, dan tidak
berlangsung lama, umumnya didahului oleh demam. 1
l. Roseola
Eksantema yang lentikular berwarna merah tembaga pada sifilis dan frambusia. 1
m. Purpura
Purpura adalah ekstravasasi sel darah merah (eritrosit) ke kulit dan selaput lendir
(mukosa), dengan manifestasi berupa macula kemerahan yang tidak hilang pada
penekanan. Kadang-kadang purpura dapat diraba (palpable purpura). Purpura
secara perlahan-lahan mengalami perubahan warna, mula-mula merah kemudian
menjadi kebiruan, disusul warna coklat kekuningan dan akhirnya memudar dan
menghilang. 1
2. Mekanisme patofisiologi, diagnosis banding dan penatalaksanaan UKK
1. Furunkel
Infeksi folikel rambut dan disekitarnya, penyebab dari furunkel ialah bakteri
Staphylococcus aureus. Furunkel memiliki gejala seperti adanya inflamasi, nodus
eritematous yang betuknya seperti kerucut yang ditengahnya ada pustul, nantinya pustul
akan menjadi pus dan menjadi jaringan yang nekrotik dan setelah memecah dan menjadi
fistel. Pengobatan untuk purunkel sama seperti yang lainya kelainan pada kulit seperti
antibiotik topikal dan apabila telah menyebar dan banyak menggunakan antibiotik
sistemik.

Gambar ( Furunkel multiple )

Gambar 2.1 Furunkel.

2. Folikulitis
Folikulitis adalah peradangan atau inflamasi folikel rambut yang dapat disebabkan
oleh suatu infeksi, iritasi zat kimia atau cedera fisik. Inflamasi bisa terjadi di bagian
permukaan atau superfisial bahkan bagian yang lebih dalam atau profunda dari folikel
rambut. Folikulitis termasuk kasus yang sering ditemukan di antara berbagai macam
penyakit peradangan pada kulit.

Pada folikulitis superfisial, peradangan terjadi pada bagian permukaan dari folikel
rambut. Gambaran kliniknya berupa pustul berkonsistensi lunak tanpa rasa nyeri yang
bisa sembuh dengan sendirinya tanpa membekas di kulit. Gejala tersebut biasa timbul
pada kulit kepala pada anak-anak dan di daerah yang berambut.

Pada folikulitis profunda, gejala radang yang timbul berupa massa eritema dan
memberikan gambaran pustul yang lebih besar daripada folikulitis superfisial. Pada kasus
ini penderita merasa sakit, tapi dapat sembuh dengan meninggalkan bekas atau luka.
Etiologi
Folikulitis karena suatu infeksi paling sering disebabkan oleh kuman
Staphylococcus aureus. Adapun klasifikasi follikulitis berdasarkan kuman
penginfeksinya.
a. Folikulitis bakteri :
~ Staphylococcus aureus
 Periporitis Staphylogenes
 Superfisial : Folikulitis stafilokokkus dan Bockhart impetigo
 Profunda : Sycosis, furunkel, karbunkel
~ Pseudomonas aeruginosa (“Hot Tub” Folliculitis)
~ Folikulitis gram negatif
~ Folikulitis sifilitik
b. Folikulitis fungal
~ Dermatophytic folliculitis : Tinea kapitis, Tinea barbae, Majocchi granuloma.
~ Folikulitis pityrosporum
~ Folikulitis kandida
c. Folikulitis viral
~ Folikulitis virus herpes simplex
~ Follicular molluscum contagiosum infestation
~ Demodicidosis.
Epidemiologi
Folikulitis kronik di kaki dilaporkan banyak terjadi terutama pada laki-laki dewasa
muda di India. Gejala berupa pustul folikular superfisial dan profunda yang berlangsung
selama bertahun-tahun dan resisten terhadap pengobatan. Tidak ditemukan kelainan
sistemik. Dermatitis pustular atropikan pada kaki dilaporkan sebesar 0.5% dari penyakit
kulit di Lagos, Afrika Barat memperlihatkan kondisi yang serupa. Kasus ini terutama
terjadi pada laki-laki di area permukaan tibialis anterior kaki, ada yang sampai ke paha
dan lengan. Pustul miliar diikuti dengan luka yang atrofi.
Gejala Klinis
Tempat predileksi di tungkai bawah. Kelainan berupa papul, pustul yang eritematosa
dan di tengahnya terdapat rambut, biasanya multipel. Pada Folikulitis yang disebabkan
oleh S.aureus gejala dapat terjadi pada semua bagian permukaan tubuh tetapi ditemukan
paling umum pada kepala dan leher (terutama perioral, kulit kepala, dan daerah jenggot),
aksila, pangkal paha, dan bokong. Folikulitis yang melibatkan bulu mata disebut
hordeolum. Jika ditemukan di daerah kemaluan, mungkin terjadi melalui transmisi
seksual. Lesi primer berupa papula eritematosa dan mudah pecah berwarna kekuningan,
pustula berbentuk kubah putih dengan rambut di tengah, meskipun ujung rambut tidak
selalu terlihat. Karakteristik sekunder dapat berupa krusta, skuama dan ekskoriasi.
meskipun sebagian besar sering tanpa gejala, lesi folikulitis bisa gatal, terutama di
daerah yang tersumbat. Lesi dapat sembuh tanpa jaringan parut. Dalam banyak kasus
folikulitis umum, gejala-gejala sistemik tidak ditemukan. Pada pasien berkulit gelap,
eritema klasik dapat terlihat sedangkan pada pasien berkulit terang samar-samar.
a. Gambaran Histopatologis
Pada gambaran histopatologis follikulitis superfisial, tampak populasi sel neutrofil
yang memfiltrasi bagian infundibulum pada folikel rambut. Pada folikel rambut tampak
edematosa dengan sebukan sel-sel radang akut.
Gambaran 2.2 Histopatologi Folikulitis.
3. Karbunkel
Gabungan dari furunkel – furunkel disebut dengan karbunkel. Penyakit ini disebabkan
oleh Staphylococcus aureus dan sering menyebar pada anak-anak dan juga dewasa.
Tempat predileksi panyakit ini hampir sama dengan furunkel yaitu di aksila, bokong, dan
tengkuk.Efloresensi berupa makula eritematosa kemudian menjadi nodula lentikular
hingga numular. Lokalisasi secara regional dengan bentuk dan keberadaan fistul yang
dikeluarkan sekret putih.
Etiologi : Staphylococcus aureus
Manifestasi klinis : nodus eritematosa berbentuk kerucut dengan pustul di tangahnya.

Gambar 2.3 Karbunkel.

4. Hidradenitis
Hidradenitis suppurativa adalah penyakit kulit kronis yang ditandai dengan oklusi
(sumbatan) dari folikel rambut dan peradangan selanjutnya dari kelenjar keringat.Lesi
terjadi paling sering pada area kontak kulit-ke-kulit: di bawah lengan (daerah aksila), di
selangkangan, sekitar bokong, di daerah sekitar anus dan alat kelamin, dan di kulit antara
dan di bawah payudara. Pada wanita, area ketiak, selangkangan, dan payudara paling
sering terkena. Pria paling sering lesi HS di sekitar anus dan di bawah lengan dan mungkin
juga memiliki HS di belakang leher dan belakang dan di sekitar telinga.
a. Definisi
Hal pertama yang seseorang dengan pemberitahuan HS adalah benjolan
lembut, timbul, merah yang terlihat seperti di bawah kulit jerawat atau bisul. Kadang-
kadang lesi HS memiliki dua atau lebih “kepala.” Lesi ini sering menggelitik dan
membakar dan mungkin dikaitkan dengan peningkatan keringat.
Tanpa perhatian medis, HS biasanya menjadi lebih parah dari waktu ke waktu.
Itu menjadi lebih menyakitkan, dan itu lesi menjadi lebih besar dan bisa terbuka,
mengeluarkan cairan tebal berbau busuk yang mungkin bercampur darah. Kemudian,
abses yang lebih dalam berkembang dan dapat terhubung satu sama lain di bawah
kulit untuk membentuk saluran seperti terowongan (Sinus). Bakteri tumbuh di dalam
sinus-sinus ini, yang kemudian mengalirkan cairan ke permukaan kulit. Pada orang
yang telah memiliki saluran sinus untuk beberapa waktu, bentuk bekas luka yang
terasa seperti tali di bawah kulit. Dalam kasus terburuk, jaringan saluran sinus dapat
terbentuk lebih dalam di tubuh, termasuk otot dan jaringan lain. Banyak orang dengan
HS berat memiliki bekas luka yang dapat membatasi kemampuan mereka untuk
dengan bebas menggerakkan lengan atau kaki mereka.
Dokter biasanya mengklasifikasikan atau "menilai" HS menggunakan sistem
pementasan Hurley sesuai dengan tingkat keparahan penyakit:
- Hurley tahap I: satu atau lebih abses hadir, tetapi tidak ada saluran
sinus yang terbentuk dan tidak ada bekas luka telah dikembangkan
- Hurley tahap II: satu atau lebih abses hadir yang sembuh dan kambuh;
saluran sinus dan jaringan parut terlihat
- Hurley tahap III: seluruh area tubuh terlibat; beberapa abses dan
saluran sinus interkoneksi hadir.

Gambar 2.4 Hidradenitis Suppurativa.

b. Etiologi
Penyebab HS belum diketahui. Jelas bahwa beberapa orang lebih rentan
daripada yang lain untuk mengembangkan penyakit ini, juga untuk alasan yang tidak
diketahui. HS paling sering terjadi pada orang berusia 20-an dan 30-an; itu jarang
terlihat pada anak-anak dan remaja dan tidak umum pada orang dewasa yang lebih
tua. Perempuan tiga kali lebih mungkin dibandingkan laki-laki untuk
mengembangkan HS.
Akhirnya, aktivitas dan kondisi tertentu tampaknya terkait dengan HS. Meski
tidak ada bukti itucfaktor-faktor ini sebenarnya menyebabkan HS, mengendalikan
tampaknya mengurangi jumlah HS flare-up yang pasien miliki. Faktor-faktor yang
paling sering dikaitkan dengan HS termasuk:
- Merokok
- Kegemukan / obesitas
- Faktor mekanis dan lingkungan, seperti gesekan kulit-kulit di lipatan
kulit, iritasi dari antiperspirant, dan trauma pada akar rambut dari
bercukur

Sangat penting untuk mengetahui bahwa HS tidak menular, dan itu tidak
disebabkan oleh kebersihan yang buruk, nutrisi yang buruk, atau kelebihan berat
badan.
c. Penatalaksanaan
Dokter menggunakan obat dan operasi untuk mengobati HS. Pilihan
pengobatan — atau kombinasi dari perawatan — dibuat sesuai kebutuhan pasien.
Dokter mempertimbangkan beberapa faktor dalam menentukan rencana terapi yang
paling tepat:
- Keparahan penyakit
- Tingkat penyakit
- Kronis (seberapa sering lesi kambuh)
- Lokasi lesi

Sejumlah metode bedah yang berbeda telah dikembangkan yang berguna


untuk pasien tertentu di bawah keadaan khusus. Selain itu, banyak perawatan medis
telah dicoba — beberapa dengan lebih sukses dari yang lain. Tidak ada obat yang
efektif untuk semua pasien, dan Anda dan dokter Anda mungkin harus mencoba
beberapa agen atau kombinasi agen yang berbeda sebelum Anda menemukan rencana
perawatan yang paling sesuai untuk Anda.
Tujuan terapi dengan obat-obatan yang topikal (digunakan pada kulit) atau sistemik
(diminum) adalah:
- untuk membersihkan lesi atau setidaknya mengurangi jumlah dan luasannya,
- untuk mencegah lesi baru terbentuk.

Beberapa jenis obat yang umum digunakan adalah pencuci kulit antibakteri dan
antibiotik topikal mencegah infeksi sekunder dan suntikan kortikosteroid ke dalam lesi
untuk mengurangi peradangan. Obat lain yang dapat digunakan termasuk retinoid,
hormon, agen imunosupresif (seperti metotreksat), obat antidiabetes metformin, dan obat-
obat anti-inflamasi biologis seperti infliximab dan adalimumab.
Sejumlah tindakan tampaknya membantu banyak orang dengan HS. Dokter Anda dapat
membantu Anda menentukan yang mana kemungkinan yang terbaik untuk Anda. Namun,
dua di antaranya mungkin berlaku untuk kebanyakan pasien dengan HS Jika Anda
merokok, berhenti dan turunkan berat badan Anda.
Meskipun tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa berhenti merokok dan
menurunkan berat badan meningkatkan HS, keduanya faktor memiliki efek negatif pada
kesehatan secara keseluruhan. Juga, penurunan berat badan dapat membantu mencegah
HS dari memburuk — yang lebih kecil area kontak kulit-ke-kulit (dan, karenanya,
berkeringat dan menggosok), semakin kecil target untuk perkembangan lesi HS.
Beberapa langkah swadaya lainnya adalah:
- Hindari trauma kulit (seperti bercukur di area, seperti ketiak, di mana terjadi
jerawat)
- Cuci kulit Anda dengan lembut, dengan menggunakan zat pembersih yang
direkomendasikan oleh dokter Anda; pembersih seperti pencucian peroksida
benzoyl, yang digunakan oleh pasien dengan jerawat, mungkin cocok untuk
banyak pasien
- Oleskan obat topikal sesuai petunjuk dan sesering yang ditentukan
- Hindari pakaian atau perban ketat atau menjengkelkan
- Ikuti panduan dokter Anda tentang antiperspirant atau deodoran
- Jagalah agar kulit tetap dingin (menjadi terlalu panas dan berkeringat dapat
menyebabkan suar HS).
- Untuk mengurangi rasa sakit kista atau nodul, gunakan kompres panas selama 10
menit setiap kali (gunakan bersih kain lap atau teh celup yang direndam dalam air
panas)
5. Abses
a. Definisi
Abses adalah infeksi kulit dan subkutis dengan gejala berupa kantong
berisi nanah. Sedangkan abses mandibula adalah abses yang terjadi di
mandibula. Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu
komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari daerah leher.
b. Etiologi
o Abses yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus biasanya terjadi pada
kelompok infeksi folikulosentrik ( yaitu folikulitis,furunkel,dan karbunkel)
o Abses juga dapat terjadi pada daerah trauma,benda asing,luka bakar, atau
daerah insersi kateter intravena.
c. Gambaran Klinis
Lesi awal berupa nodul eritematosa.Jika tidak diterapi,lesi membesar dan
membentuk kavitas berisi pus.
d. Tatalaksana
o Terapi awal dan utama : insisi dan drainase abses
o Antibiotik.

1. Impetigo
a. Definisi
Impetigo secara klinis didefinisikan sebagai penyakit infeksi menular pada
kulit yang superfisial yaitu hanya menyerang epidermis kulit, yang menyebabkan
terbentuknya lepuhan-lepuhan kecil berisi nanah (pustula) seperti tersundut rokok/api.
Penyakit ini merupakan salah satu contoh pioderma yang sering dijumpai di bagian
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.Terdapat dua jenis impetigo yaitu impetigo bulosa
yang disebabakan oleh Stafilokokus aureus dan non-bulosa yang disebabkan oleh
Streptokokus β hemolitikus. Dasar infeksinya adalah kurangnya hygiene dan
terganggunya fungsi kulit.

b. Epidemologi
Di Amerika Serikat, kurang lebih 9 ± 10 % dan anak-anak yang datang ke
klinik kulit menderita impetigo. Perbandingan antara jenis kelamin laki-laki dan
perempuan adalah sama. Impetigo lebih sering menyerang anak-anak, jenis yang
terbanyak (kira-kira 90%) adalah impetigo bullosa yang terjadi pada anak yang
berusia kurang dan 2 tahun. Impetigo menyebar melalui kontak langsung dengan lesi
(daerah kulit yang terinfeksi). Di Inggris kejadian impetigo pada anak sampai usia 4
tahun sebanyak 2,8% pertahun dan 1,6% pada anak usia 5-15 tahun. Sekitar 70%
merupakan impetigo krustosa.nsiden impetigo ini terjadi hampir di seluruh dunia.
Paling sering mengenai usia 2-5 tahun, umumnya mengenai anak yang belum sekolah,
namun tidak menutup kemungkinan untuk semua umur dimana frekuensi laki-laki dan
wanita sama. Di Amerika Serikat, merupakan 10% dari masalah kulit yang dijumpai
pada klinik. Kebanyakan kasus ditemukan di daerah tropis atau beriklim panas serta
pada negara-negara yang berkembang dengan tingkat ekonomi masyarakatnya masih
tergolong lemah atau miskin.
Penelitian pada tahun 2005 menunjukkan S. aureus sebagai pathogen
terbanyak yang menyebabkan baik impetigo bulosa dan impetigo non bulosa pada
Amerika dan Eropa, sementara itu Streptococcus pyogenes pada negara berkembang.
Kebanyakan infeksi bermula sebagai infeksi Streptokokus tetapi kemudian
Staphylococci mengantikan streptokokus. Selain dapat menyebabkan manifest
pyoderm primer dan kulit yang utuh, dapat juga menyebabkan infeksi sekunder dari
penyakit kulit yang ada sebelumnya atau pada kulit yang terkena trauma, yang disebut
dengan dermatitis impetigenisata. Impetigo jarang berkembang menjadi infeksi
sistemik, walaupun post streptococcal glomerulonepritis yang merupakan komplilkasi
pada infeksi GABHS dapat terjadi walaupun jarang. Pasien dapat lebih jauh
menginfeksi dirinya sendiri atau orang lain setelah rnenggaruk lesi. Infeksi seringkali
menyebar dengan cepat pada sekolah atau tempat penitipan anak dan juga pada
tempat dengan higiene yang buruk atau tempat tinggal yang padat penduduk.

c. Etiologi
Organisme penyebab adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus beta-
hemolyticus grup A (dikenal dengan Streptococcus pyogenes), atau kombinasi
keduanya. Staphylococcus dominan ditemukan pada awal lesi. Jika kedua kuman
ditemukan bersamaan, maka infeksi streptococcus merupakan infeksi penyerta.
Kuman S. pyogenes menular ke individu yang sehat melalui kulit, lalu kemudian
menyebar ke mukosa saluran napas. Berbeda dengan S. aureus, yang berawal dengan
kolonisasi kuman pada mukosa nasal dan baru dapat ditemukan pada isolasi kuman di
kulit pada sekitar 11 hari kemudian.
Impetigo menyebar melalui kontak langsung dengan lesi (daerah kulit yang
terinfeksi). Pasien dapat lebih jauh menginfeksi dirinya sendiri atau orang lain setelah
menggaruk lesi. Infeksi seringkali menyebar dengan cepat pada sekolah atau tempat
penitipan anak dan juga pada tempat dengan higiene yang buruk atau tempat tinggal
yang padat penduduk.

d. Faktor Predisposisi
Faktor-faktor pencetus terjadinya Pioderma, antara lain:
- Higiene yang kurang
- Menurunnya daya tahan tubuh; misalnya karena kekurangan gizi, anemia, atau
penyakitpenyakit tertentu seperti penyakit kronis, neoplasma ganas, dan
diabetes mellitus
- Telah ada penyakit lain di kulit; karena terjadi kerusakan di epidermis, maka
fungsi kulit sebagai pelindung akan terganggu.

e. Klasifikasi Impetigo
Terdapat dua bentuk dari impetigo, yaitu:
1. Impetigo Krustosa (impetigo kantagiosa, impetigo vulgaris, impetigo Tilibury
Fox)
Impetigo krustosa, disebabkan biasanya oleh Streptococcus B hemolyticus.
Tidak disertai gejala umum, hanya terdapat pada anak. Tempat predileksi di muka,
yakni sekitar lubang hidung dan mulut karena dianggap sumber infeksi dan daerah
tersebut. Kelainan kulit berupa eritema dan vesikel yang cepat memecah sehingga
jika pendenita datang berobat yang terlihat ialah krusta tebal berwama kuning
seperti madu. Jika krusta dilepaskan akan tampak erosi dibawahnya, krusta sering
menyebar ke penifer dan sembuh di bagian tengah.
Komplikasinya glomerulonefritis (2-5%), yang disebabkan oleh sero tipe
tertentu. Diagnosis bandingnya adalah Ektima. Pengobatan yang dipakai jika
krusta sedikit, lepaskan krusta dan diberi antibiotik.J ika krusta banyak, diberikan
pengobatan antibiotik sistemik.
.
Gambar 2.5. Impetigo Krustosa.

Gambar 2.6. Impetigo Krustosa.

2. Impetigo bulosa (Impetigo vesiko-bulosa, cacar monyet)


Impetigo bulosa biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus, keadaan
umum tidak dipengaruhi, dengan predileksi di daerah ketiak, dada, punggung.
Sering bersama-saina miliaria, terdapat pada anak dan orang dewasa.Kelainan
kulit berupa eritema, bula dan hula hipopion.Kadang-kadang saat datang berobat,
vesikel/bula sudah memecah sehingga yang tampak hanyalah koleret dan dasamya
masih eritematosa. Diagnosis banding dan impetigo ini adalah dermatofitosis (jika
sudah pecah dan tampak koleret).
Pada anamnesis hendaknya ditanyakan, apakah sebelumnya terdapat lepuh.
Jika ada, diagnosisnya adalah impetigo bullosa. Pengobatannya jika hanya
terdapat beberapa vesikel bula ditangani dengan cara memecahkan bula, lalu
berikan salep antibiotik atau cairan antiseptik. Jika bula vesikel banyak maka
berikan pula antibiotic sistemik.
Gambar 2.7. Impetigo Bullosa.

e. Patofisiologi Impetigo
Infeksi Staphylococcus aureus atau Group A Beta Hemolitik
Streptococcus dimana kita ketahui bakteri-bakteri tersebut dapat menyebabkan
penyakit berkat kemampuannya mengadakan pembelahan dan menyebar luas
ke dalam jaringan dan melalui produksi beberapa bahan ekstraseluler.
Beberapa dari bahan tersebut adalah enzim dan yang lain berupa toksin
meskipun fungsinya adalah sebagai enzim. Staphylococcus dapat menghasilkan
katalase, koagulase, hyaluronidase, eksotoksin, lekosidin, toksin eksfoliatif,
toksik sindrom syok toksik, dan enterotoksin. Bakteri staph menghasilkan
racun yang dapat menyebabkan impetigo menyebar ke area lainnya. Toxin ini
menyerang protein yang membantu mengikat sel-sel kulit. Ketika protein ini
rusak, bakteri akan sangat cepat menyebar. Enzim yang dikeluarkan oleh Stap
akan merusak struktur kulit dan adnya rasa gatal dapat menyebabkan
terbentuknya lesi pada kulit.
Rasa gatal dengan lesi awal berupa makula eritematosa berukuran 1-2
mm, kemudian berubah menjadi bula atau vesikel. Pada Impetigo contagiosa
Awalnya berupa warna kemerahan pada kulit (makula) atau papul (penonjolan
padat dengan diameter <0,5cm) yang berukuran 2-5 mm. Lesi papul segera
menjadi vesikel atau pustul (papula yang berwarna keruh/mengandung
nanah/pus) yang mudah pecah dan menjadi papul dengan keropeng/koreng
berwarna kunig madu dan lengket yang berukuran <2cm dengan kemerahan
minimal atau tidak ada kemerahan disekelilingnya, sekret seropurulen kuning
kecoklatan yang kemudian mengering membentuk krusta yang berlapis-lapis.
Krusta mudah dilepaskan, di bawah krusta terdapat daerah erosif yang
mengeluarkan sekret, sehingga krusta akan kembali menebal. Sering krusta
menyebar ke perifer dan menyembuh di bagian tengah. Kemudian pada
Bullous impetigo bula yang timbul secara tiba tiba pada kulit yang sehat dari
plak (penonjolan datar di atas permukaan kulit) merah, berdiameter 1-5cm,
pada daerah dalam dari alat gerak (daerah ekstensor), bervariasi dari miliar
sampai lentikular dengan dinding yang tebal, dapat bertahan selama 2 sampai 3
hari. Bila pecah, dapat menimbulkan krusta yang berwarna coklat, datar dan
tipis.
f. GejalaKlinis
Impetigo dapat timbul sendiri (primer) atau komplikasi dan kelainan
lain (sekunder) baik penyakit kulit (gigitan binatang, vanisela, infeksi herpes
simpleks, dermatitis atopi) atau penyakit sisteniik yang menurunkan kekebalan
tubuh (diabetes melitus, HIV)
 Impetigo Bulosa
 Vesikel (gelembung berisi cairan dengan diameter <0,5cm)
yang timbul sampai bulla (gelembung berisi cairan berdiameter
>0,5cm) kurang dan 1 cm pada kulit yang utuh, dengan kulit
sekitar normal atau kemerahan. Pada awalnya vesikel berisi
cairan yang jernih yang berubah menjadi berwarna keruh
 Atap dan bulla pecah dan meninggalkan gambaran ‘collarette’
pada pinggirnya. Krusta ‘varnishlike’ terbentuk pada bagian
tengah yang jika disingkirkan memperlihatkan dasar yang
merah dan basah
 Bulla yang utuh jarang ditemukan karena sangat rapuh
 Bila impetigo menyertai kelainan kulit lainnya maka, kelainan
itu dapat menyertai dermatitis atopi, vanisela, gigitan binatang
dan lain-lain.
 Lesi dapat lokal atau tersebar, seringkali di wajah atau tempat
lain, sepertitempat yang lembab, lipatan kulit, ketiak atau
lipatan leher.
 Tidak ada pembengkakan kelenjar getah bening di dekat lesi.
 Pada bayi, lesi yang luas dapat disertai dengan gej ala demam,
lemah, diare. Jarang sekali disetai dengan radang pam, infeksi
sendi atau tulang.
 Impetigo Krustosa
 Awalnya berupa wama kemerahan pada kulit (makula) atau
papul (penonjolan padat dengan diameter <0,5cm) yang
berukuran 2-5 mm.
 Lesi papul segera menjadi menjadi vesikel atau pustul (papula
yang berwarna keruh/mengandung nanah/pus) yang mudah
pecah dan menjadi papul dengan keropeng/koreng berwarna
kuning madu dan lengket yang berukuran <2cm dengan
kemerahan minimal atau tidak ada kemerahan disekelilingnya.
 Lesi muncul pada kulit normal atau kulit yang kena trauma
sebelumnya atau mengikuti kelainan kulit sebelumnya (skabies,
vasisela, dermatitis atopi) dan dapat menyebar dengan cepat.
 Lesi berada sekitar hidung, mulut dan daerah tubuh yang sering
terbuka (tangan dan kaki).
 Kelenjar getah bening dapat menbesar dan dapat nyeri
 Lesi juga menyebar ke daerah sekitar dengan sendirinya
(autoinokulasi)
 Jika dibiarkan tidak diobati maka lesi dapat menyebar terus
karena tindakan din sendiri (digaruk lalu tangan memegang
tempat lain sehingga mengenai tempat lain).
 Lalu dapat sembuh dengan sendininya dalarn beberapa minggu
tanpajaringan parut.
 Walaupun jarang, bengkak pada kaki dan tekanan darah tinggi
dapat ditemukan pada orang dengan impetigo krustosa sebagai
tanda glomerulonefritis (radang pada ginjal) akibat reaksi tubuh
terhadap infeksioleh kuman Sfreptokokus penyebab impetigo.

g. Diagnosis banding
- Lupus eritematosa bullosa : lesi vesikel dan bula yang menyebar dapat gatal,
seringkali melibatkan bagian atas badan dan daerah lengan
- Pemfigus bulosa : vesikel dan bula timbul cepat dan gatal menyeluruh, dengan
plak urtikaria
- Herpes simplex : vesikel berkelompok dengan dasar kemerahan yang pecah
menjadi lecet dan tertutup krusta, biasanya pada bibir dan kulit
- Pemfigus vulgaris : bulla yang tidak gatal, ukuran bervariasi dan 1 sampai
beberapa sentimeter, muncul bertahap dan menjadi menyeluruh penyembuhan
dengan hiperpigmentasi (warna kulit yanglebih gelap dan sebeluinnya).
- Varisela: vesikel pada dasar kemerahan bermula di badan dan menyebar ke
tangan kaki dan wajah; vesikel pecah dan membentuk krusta; -lesi terdapat
pada beberapa tahap (vesikel, krusta) pada saat yang sama.
- Dermatitis atopi : keluhan gatal yang berulang atau berlangsung lama (kronik)
dan kulit yang kering; penebalan pada pada lipatan kulit terutama pada dewasa
(likenifikasi); pada anak seringkali melibatkan daerah wajah atau tangan
bagian dalam.
- Dermatitis kontak: gatal pada daerah sensitif yang kontak dengan zat-zat yang
mengiritasi.
- Ektima: lesi berkrusta yang menutupi daerah ulkus (luka dengan dasar dan
dinding) dapat menetap selama beberapa minggu dan sembuh dengan jaringan
parut bila infeksi sampai jaringan kulit dalam (dermis).

h. Pemeriksaan Penunjang
Pada keadaan khusus, dimana diagnosis impetigo masih diragukan,
atau pada suatu daerah dimana impetigo sedang mewabah, atau pada kasus
yang kurang berespons terhadap pengobatan, maka diperlukan pemeriksaan-
pemeniksaan sebagai berikut
- Pemeriksaan Laboratorium
 Pewarnaan gram,
Pada pemeriksaan ini akan mengungkapkan adanya neutropil dengan
kuman coccus gram positif berbentuk rantai atau kelompok.
 Kultur cairan.
Pada pemeriksaan mi umuinnya akan mengungkapkan adanya
Streptococcus aureus, atau kombinasi antara Streptococcus pyogenes
dengan Streptococcus beta hemolyticus grup A (GABHS), atau
kadang-kadang dapat berdiri sendiri.
- Pemeriksaan Lain:
 Titer anti-streptolysin-O (ASO), mungkin akan menunjukkan hasil
positif lemah untuk streptococcus, tetapi pemeriksaan ini jarang
dilakukan. Streptozyme, menunjukkan hasil positif untuk
Streptococcus, tetapi pemeriksaan ini jarang dilakukan
 Pemeriksaan kultur dan sensitifitas bakteri.
i. Terapi
Tujuan pengobatan impetigo adalah menghilangkan rasa tidak nyaman
dan memperbaiki kosmetik dan lesi impetigo, mencegah penyebaran infeksi ke
orang lain dan mencegah kekambuhan
Penatalaksanaan Farmakologis
Syarat pengobatan yang baik adalah pengobatan harus efektif, tidak
mahal dan memiliki sedikit efek samping. Antibiotik topikal (lokal)
menguntungkan karena hanya diberikan pada kulit yang teriafeksi sehingga
meminimalkan efek samping. Kadangkala antibiotik topikal dapat
menyebabkan reaksi sensitifitas pasa kulit orang-orang tertentu. Pada lesi yang
terlokalisir maka pemberian antibiotik topilcal diutamakan. Karena antibiotilc
topikal sama efektiffiya dengan antibiotik oral. Pilihan antibiotik topikal adalah
mupirocin 2% atau asam fusidat. Antibiotilc oral disimpan untuk kasus dimana
pasien sensitif terhadap antibiotik topikal, lesi lebih luas atau dengan penyakit
penyerta yang berat.Penggunaan disinfektan topikal tidak direkomendasikan
dalam pengobatan impetigo.Obat topikal yang diberikan mupirocin 2%
diberikan di kulit yang terinfeksi 3x sehari selania tiga sampai lima hari.
Antibiotik oral yang dapat diberikan adalah Amoxicillin dengan asam
kiavulanat; cefuroxime;cephalexin; dieloxacillin; atauenitromiein selama 10
hari.

j. Komplikasi
Impetigo biasanya sembuh tanpa penyulit dalam dua minggu walaupun
tidak diobati. kómplikasi berupa radang ginjal pasca infeksi Streptokokus
terjadi pada 1-5% pasien terutama isia 2-6 tahun dan hal ini tidak dipengaruhi
oleh pengobatan antibiotik. Gejala berupa bengkak tekanan darah tinggi,
terdapat urin seperti warna teh. Keadaan ini umumnya sembuh secara spontan
walaupun gejala-gejala tadi muncul.
k. Pencegahan
Kebersihan sederhana dan perhatian dapat mencegah timbulnya
impetigo Seseorang yang sudah terkena impetigo atau gejala-gejala
infeksi/peradangan Streptococcus beta hemolyticus grup A (GABHS)
membuthkan perawatan medik dan jika perlu dimulai dengan ,pemberian
antibiotik secepat mungkin untuk mencegah menyebamya infeksi ke orang
lain. Penderita impetigo harus diisolasi, dan dicegah agar tidak terjadi kontak
dengan orang lain minimal dalam 24 jam setelah pemberian antibiotik.
Adapun pencegahan yang harus di lakukan yaitu
o Cuci tangan segera dengan menggunakan air mengalir bila habis
kontak dengan pasien, terutama apabila terkena luka.
o Jangan menggunakan pakaian yang sama dengan penderita
o Bersihkan dan lakukan desinfektan pada mainan yang mungkin bisa
menularkan pada orang lain, setelah digunakan pasien
o Mandi teratur dengan sabun dan air (sabun antiseptik dapat digunakan,
namun dapat mengiritasi pada sebagian kulit orang yang kulit sensitif)
o Higiene yang baik, mencakup cuci tangan teratur, menjaga kuku jari
tetap pendek dan bersih
o Jauhkan diri dari orang dengan impetigo
o Cuci pakaian, handuk dan sprei dari anak dengan impetigo terpisah
dari yang lainnya. Cuci dengan air panas dan keringkan di bawah sinar
matahari atau pengering yang panas. Mainan yang dipakai dapat dicuci
dengan disinfektan.
o Gunakan sarung tangan saat mengoleskan antibiotik topikal di tempat
yang terinfeksi dan cuci tangan setelah itu.

2. Ektima
a. Definisi
Ektima adalah pioderma ulseratif kulit yang umumnya disebabkan
oleh Streptococcus β-hemolyticus. Penyebab lainnya bisa Staphylococcus
aureus atau kombinasi dari keduanya. Menyerang epidermis dan dermis
membentuk ulkus dangkal yang ditutupi oleh krusta berlapis, biasanya terdapat
pada tungkai bawah.
Pioderma ialah penyakit kulit yang disebabkan
oleh Staphylococcus, Streptococcus, atau oleh kedua-duanya. Faktor predisposisi
yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit ini adalah hygiene yang kurang,
menurunnya daya tahan tubuh, atau jika telah ada penyakit lain di kulit.
Streptococcus merupakan organisme yang biasanya menyebabkan infeksi pada
ektima. Gambaran ektima mirip dengan impetigo, namun kerusakan dan daya
invasifnya pada kulit lebih dalam daripada impetigo. Infeksi diawali pada lesi
yang disebabkan karena trauma pada kulit, misalnya, ekskoriasi, varicella atau
gigitan serangga. Lesi pada ektima awalnya mirip dengan impetigo, berupa
vesikel atau pustul. Kemudian langsung ditutupi dengan krusta yang lebih keras
dan tebal daripada krusta pada impetigo, dan ketika dikerok nampak lesi punched
out berupa ulkus yang dalam dan biasanya berisi pus.
b. Epidemiologi
Insiden ektima di seluruh dunia tepatnya tidak diketahui. Frekuensi terjadinya
ektima berdasarkan umur biasanya terdapat pada anak-anak dan orang tua, tidak
ada perbedaan ras dan jenis kelamin (pria dan wanita sama). Pada anak-anak
kebanyakan terjadi pada umur 6 bulan sampai 18 tahun.
Dari hasil penelitian epidemiologi didapatkan bahwa tingkat kebersihan dari
pasien dan kondisi kehidupan sehari-harinya merupakan penyebab yang paling
terpenting untuk perbedaan angka serangan, beratnya lesi, dan dampak sistemik
yang didapatkan pada pasien ektima.
Ektima merupakan penyakit kulit berupa ulkus yang paling sering terjadi pada
orang-orang yang sering bepergian (traveler). Pada suatu studi kasus di Perancis,
ditemukan bahwa dari 60 orang wisatawan, 35 orang (58%) diantaranya
mendapatkan infeksi bakteri, dimana bakteri terbanyak yang ditemukan
yaitu Staphylococcus aureusdan Streptococcus B-hemolyticus grup A yang
merupakan penyebab dari penyakit kulit impetigo dan ektima. Dari studi kasus ini
pula, ditemukan bahwa kebanyakan wisatawan yang datang dengan ektima
memiliki riwayat gigitan serangga (73%).
c. Etiologi
Ektima merupakan pioderma ulseratif pada kulit yang umumnya disebabkan
oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A. Status bakteriologi dari ektima pada
dasarnya mirip dengan Impetigo. Keduanya dianggap sebagai
infeksi Streptococcus, karena pada banyak kasus didapatkan kultur
murni Streptococcus pyogenes. Ini didasarkan pada
isolasi Streptococcus dan Staphylococcus dan dari beberapa Staphylococcus saja. 
Streptococcus β-hemolyticus grup A dapat menyebabkan lesi atau menginfeksi
secara sekunder lesi yang sudah ada sebelumnya. Adanya kerusakan jaringan
(seperti ekskoriasi, gigitan serangga, dermatitis) dan keadaan imunokompromis
(seperti diabetes dan neutropenia) merupakan predisposisi pada pasien untuk
timbulnya ektima. Penyebaran infeksi Streptococcus pada kulit diperbesar oleh
kondisi lingkungan yang padat dan hygiene yang buruk.
d. Patofisiologi
Staphylococcus aureus  merupakan penyebab utama dari infeksi kulit dan
sistemik. Seperti halnya Staphylococcus aureus, Streptococcus sp. Juga terkenal
sebagai bakteri patogen untuk kulit. Streptococcus Grup A, B, C, D, dan G
merupakan bakteri patogen yang paling sering ditemukan pada manusia.
Kandungan M-protein pada bakteri ini menyebabkan bakteri ini resisten terhadap
fagositosis.
Gejala sistemik dan lokal dimediasi oleh superantigens (SA). Antigen ini
bekerja dengan cara berikatan langsung  pada molekul HLA-DR (Mayor
Histocompability Complex II (MHC II)) pada antigen-presenting cell  tanpa
adanya proses antigen. Walaupun biasanya antigen konvensional memerlukan
interaksi dengan kelima elemen dari kompleks  reseptor sel T, superantigen hanya
memerlukan interaksi dengan variabel dari pita B. Aktivasi  non spesifik
dari sel T menyebabkan pelepasan masif Tumor Necrosis Factor-α (TNF-
α), Interleukin-1 (IL-1), dan Interleukin-6 (IL-6) darimakrofag. Sitokin
ini menyebabkangejala klinis berupa demam, ruam erythematous, hipotensi, dan c
edera jaringan.
Faktor host seperti immunosuppresi, terapi glukokortikoid, dan atopic
memainkan peranan penting dalam pathogenesis dari
infeksi Staphylococcus. Adanya trauma ataupun inflamasi dari jaringan (luka
bedah, luka bakar, trauma, dermatitis, benda asing) juga menjadi faktor yang
berpengaruh pada pathogenesis dari penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini. 
e. Manifestasi Klinis
Penyakit ini dimulai dengan suatu vesikel atau pustul di atas kulit yang
eritematosa, membesar dan pecah (diameter 0,5 – 3 cm) dan beberapa hari
kemudian terbentuk krusta tebal dan kering yang sukar dilepas dari dasarnya.
Biasanya terdapat kurang lebih 10 lesi yang muncul. Bila krusta terlepas,
tertinggal ulkus superficial dengan gambaran “punched out appearance” atau
berbentuk cawan dengan dasar merah dan tepi meninggi. Lesi cenderung menjadi
sembuh setelah beberapa minggu dan meninggalkan sikatriks. Biasanya lesi dapat
ditemukan pada daerah ekstremitas bawah, wajah dan ketiak.

Gambar 2.8  Lesi tipikal ektima pada ektremitas bawah.

Gambar 2.9 Tahapan ektima. Lesi dimulai sebagai sebuah pustule yang kemudian pecah


membentuk ulkus.

Gambar 2.10 Ektima. Ulkus dengan krusta tebal pada tungkai pasien yang menderita diabetes
dan gagal ginjal.
Gambar 2.11 Ektima pada aksila.
f. Diagnosis
a. Anamnesis
Pasien biasanya datang dengan keluhan luka pada anggota gerak bawah.
Pasien biasanya menderita diabetes dan orang tua yang tidak peduli dengan
kebersihan dirinya.
Anamnesis ektima, antara lain:
- Keluhan utama. Pasien datang dengan keluhan berupa luka.
- Durasi. Ektima terjadi dalam waktu yang lama akibat trauma berulang, seperti
gigitan serangga.
- Lokasi. Ektima terjadi pada lokasi yang relatif sering trauma berulang, seperti
tungkai bawah.
- Perkembangan lesi. Awalnya lesi berupa pustul kemudian pecah membentuk
ulkus yang tertutupi krusta
- Riwayat penyakit sebelumnya. Misalnya, Diabetes melitus dapat
menyebabkan penyembuhan luka yang lama.
b. Pemeriksaan fisik
Effloresensi ektima berupa awalnya berupa pustul kemudian pecah
membentuk ulkus yang tertutupi krusta.
Gambar 2.12 Krusta coklat berlapis lapis pada ektima.

Gambar 2.13 Pada Lesi ektima yang diangkat krustanya akan terlihat ulkus yang dangkal.
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaaan penunjang yang dapat dilakukan. yaitu biopsi kulit dengan
jaringan dalam untuk pewarnaan Gram dan kultur. Selain itu, juda dapat dilakukan
pemeriksaan histopatologi.
Gambaran histopatologi didapatkan peradangan dalam yang diinfeksi kokus,
dengan infiltrasi PMN dan pembentukan abses mulai dari folikel pilosebasea.
Pada dermis, ujung pembuluh darah melebar dan terdapat sebukan sel PMN.
Infiltrasi granulomatous perivaskuler yang dalam dan superficial terjadi dengan
edema endotel. Krusta yang berat menutupi permukaan dari ulkus pada ektima.

Gambar 2.14 Pioderma


Neutrofil tersebar pada dasar ulserasi.

g. Diagnosis banding
 Diagnosis banding ektima, antara lain:
- Folikulitis, didiagnosis banding dengan ektima sebab predileksi biasanya di
tungkai bawah dengan kelainan berupa papul atau pustul yang eritematosa.
Perbedaannya, pada folikulitis, di tengah papul atau pustul terdapat rambut
dan biasanya multipel.
Gambar 2.15 Folikulitis superfisialis. Pustul multiple terlihat pada daerah jenggot.
- Impetigo krustosa, didiagnosa banding dengan ektima karena memberikan
gambaran Effloresensi yang hampir sama berupa lesi yang ditutupi krusta.
Bedanya, pada impetigo krustosa lesi biasanya lebih dangkal, krustanya lebih
mudah diangkat, dan tempat predileksinya biasanya pada wajah dan punggung
serta terdapat pada anak-anak sedangkan pada ektima lesi biasanya lebih
dalam berupa ulkus, krustanya lebih sulit diangkat dan tempat predileksinya
biasanya pada tungkai bawah serta bisa terdapat pada usia dewasa muda.

Gambar 2.16 Impetigo. Eritema dan krusta pada seluruh daerah centrofacial.


Gambar 2.17 Impetigo. Terlihat erosi, krusta, dan blister ruptur.
h. Komplikasi
Komplikasi ektima, antara lain selulitis, erisipelas, gangren, limfangitis, limfadenitis
supuratif, dan bakteremia.
i. Penatalaksanaan

          Penatalaksanaan ektima, antara lain:


- Pengobatan ektima tanpa obat dapat berupa mandi menggunakan sabun
antibakteri dan sering mengganti seprei, handuk, dan pakaian. 
- Pengobatan farmakologi bertujuan mengurangi morbiditas dan mencegah
komplikasi 
- Sistemik
- Pengobatan sistemik digunakan jika infeksinya luas. Pengobatan sistemik
dibagi menjadi pengoatan lini pertama dan pengobatan lini kedua.
- Pengobatan lini pertama (golongan Penisilin)
 Dewasa: Dikloksasilin 4 x 250 - 500 mg selama 5 - 7 hari.
 Anak    : 5 - 15 mg/kgBB/dosis, 3 - 4 kali/hari.
 Amoksisilin + Asam klavulanat 3 x 25 mg/kgBB
 Sefaleksin 40 - 50 mg/kgBB/hari selama 10 hari
- Pengobatan lini kedua (golongan Makrolid)
 Azitromisin 1 x 500 mg, kemudian 1 x 250 mg selama 4 hari
 Klindamisin 15 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari
 Dewasa: Eritomisin 4 x 250 - 500 mg selama 5 - 7 hari. 
 Anak    : 12,5 - 50 mg/kgBB/dosis, 4 kali/hari.
- Topikal
Pengobatan topikal digunakan jika infeksi terlokalisir, tetapi jika luas 
maka digunakan pengobatan sistemik. Neomisin,  Asam fusidat 2%,
Mupirosin, dan Basitrasin merupakan antibiotik yang dapat digunakan secara
topikal. 
Neomisin merupakan obat topikal yang stabil dan efektif yang tidak
digunakan secara sistemik, yang menyebabkan reaksi kulit minimal, dan
memiliki angka resistensi bakteri yang rendah sehingga menjadi terapi
antibiotik lokal yang valid. Neomisin dapat larut dalam air dan memiliki
kestabilan terhadap perubahan suhu. Neomisin memiliki efek bakterisidal
secara in vitro yang bekerja spektrum luas gram negatif dan gram positif. Efek
samping neomisin berupa kerusakan ginjal dan ketulian timbul pada
pemberian secara parenteral sehingga saat ini penggunaannya secara topical
dan oral. 
- Edukasi
Memberi pengertian kepada pasien tentang pentingnya menjaga
kebersihan badan dan lingkungan untuk mencegah timbulnya dan penularan
penyakit kulit.
j. Pencegahan
Pada daerah tropis, perhatikan kebersihan dan gunakan lotion antiserangga untuk
mencegah gigitan serangga.

3. Eritrasma
a. Eritrasma adalah infeksi kulit superfisial, ditandai oleh makula eritematosa hingga
kecoklatan. berbatas tegas, di daerah lipatan (intertriginosa), atau berbentuk fisura
dengan maserasi putih di sela-sela jari.
b. Etiologi & faktor resiko
Agen penyebab eritrasma, yaitu Corynebacterfum minutissimum, merupakan
bakteri batang pendek Gram positif, dengan granula subterminal. Infeksi akibat
bakteri ini lebih sering ditemukan di daerah iklim tropis.
Infeksi ini umumnya ditemukan di daerah lipatan yang tertutup (seperti
inguinal, aksila, lipatan intergluteal, infra-mammae, umbilikus, dan selasela jari).
Faktor predisposisi'adalah iklim lembap dan hangat, higiene yang buruk,
hiperhidrosis, obesitas, diabetes mellitus, usia lanjut, dan keadaan imunosupresi.
c. Gejala klinis
Pada pemeriksaan fisis, dapat ditemukan lesi berupa makula eritematosa
hingga coklat, berbatas tegas, dengan skuama halus di atasnya. Tempat predileksi
adalah daerah intertriginosa, terutama di aksila dan genito-krural, sela jari kaki ke-
4 dan ke-5, dan yang lebih jarang ditemukan, di sela jari kaki ke-2 dan ke-3. Lesi
biasanya bersifat asimtomatik, kecuali di daerah selangkangan, yang bisa terasa
gatal dan menyengat. Ko-eksistensi eritrasma dengan kelainan kulit akibat
dermatofita dan kandida sering ditemukan terutama pada lesi interdigital.
f. Pemeriksaan penunjang
Lampu Wood’s merupakan salah satu alat bantu diagnostik untuk eritrasma.
Daerah yang terinfeksi menunjukkan fluoresensi berwarna merah coral, akibat
adanya porfirin. Pemeriksaan mikroskopik langsung dengan pewarnaan Gram
menunjukkan banyak bakteri batang pendek Gram positif di stratum korneum.
g. Tata laksana
Untuk eritrasma yang terlokalisir, khususnya pada sela-sela jari kaki, sabun
dan gel benzon peroksida 5% merupakan terapi yang efektif pada sebagian besar
kasus. Klindamisin atau eritromisin (solusio 2%) atau krim azol, merupakan
beberapa pilihan agen topikal yang efektif.
Untuk eritrasma yang luas, eritromisin oral mempakan terapi yang efektif.
Eritromisin 4x250 mg diberikan selama satu minggu. Klaritromisin 1g dosis
tunggal juga dapat digunakan.
4. Lepra
a. Definisi
Penyakit infeksi kronis akibat Mycobacterium ]eprae yang bersifat intraseluler
obligat. Disebut juga Morbus Hansen atau lepra.
b. Etiologi dan Faktor Risiko
M leprae merupakan basil tahan asam, obligat intraseluler yang dapat
bereproduksi secara maksimal pada suhu 27-30 0C. Mikroba ini berkembang biak
dengan baik pada jaringan dengan suhu rendah, seperti kulit, saraf perifer, saluran
pernapasan atas dan testis. Jalur transmisinya masih belum jelas, diperkirakan
transmisi terjadi melalui droplet, vektor serangga, atau kontak dengan tanah dengan
mikroba yang bersangkutan. Faktor risiko penyakit ini antara lain tinggal di area
endemis, kontak dengan pengidap lepra dan kemiskinan.
c. Epidemiologi
Penyakit ini banyak ditemukan di negara berkembang seperti India, Cina,
Myanmar, Indonesia, Brazil, dan Nigeria. Setiap tahunnya terdapat 600.000 kasus
baru dengan total sebanyak 1,5 hingga 8 juta kasus di seluruh dunia. Penyakit ini
berhubungan dengan tingkat kemiskinan, daerah pedesaan dan penyakit HIV.
d. Manifestasi Klinis
Terdapat beberapa spektrum klinis kusta (lihat Tabel 1) dengan gejala, profil
bakteriologis, dan imunologis yang berbeda (lihat Tabel 2 dan Tabel 3). Ragam
manifestasi klinis tersebut sangat dipengaruhi oleh imunitas seluler penderita.
Imunitas seluler yang baik akan memberikan gambaran klinis ke arah tuberkuloid.
sedangkan imunitas seluler yang rendah akan memberikan gambaran ke arah
lepromatosa. Apabila penyakit mengenai saraf perifer, gejala klinis akan sesuai
dengan nervus yang terkena. Kemudian, dilakukan pemeriksaan pembesaran saraf
perifer, konsistensi, dan nyeri tekan dari nervus perifer. Saraf yang perlu diperiksa
yaitu N. fasialis. N. aurikularis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus. N.
poplitea lateralis, dan N. tibialis posterior.
e. Diagnosis
Pemeriksaan Bakterioskopis. Bertujuan untuk penegakkan diagnosis dan
evaluasi hasil pengobatan. Dilakukan pengambilan bahan sediaan dengan cara
kerokan kulit minimal dari 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan
2-4 lesi lain yang paling aktif (paling eritematosa dan in' filtratif). Selain itu, sediaan
juga dapat diambil dari sekret hidung melalui nose blow di pagi hari, atau mukosa
hidung dengan menggunakan kapas lidi.
Berikut langkah pemeriksaan bakteriologik:
 Disinfeksi lesi dan jepit area yang akan dikeruk dengan ibu jari dan telunjuk hingga
iskemik sehingga hanya sedikit darah yang keluar:

 Lakukan kerokan dengan menggunakan skalpel steril. Irisan dilakukan sampai


sedalam dermis; Kerokan dioleskan pada gelas alas dan difiksasi di atas api. Sediaan
diwarnai dengan pewanaan Ziehl Neelsen.

Indeks Bakteri (IB) ditentukan dengan cara:


0: tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang
1+: 1-10 BTA dalam 100 lapang pandang
2+: 1-10 BTA dalam 10 lapang pandang
3+: 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang
4+: 1 1-100 BTA dalam 1 lapang pandang
5+: 101-1000 BTA dalam 1 lapang pandang
6+: > 1000 BTA dalam 1 lapang pandang.

Kemudian dapat dilakukan pemeriksaan Indeks Morfologi (IM) yang merupakan


persentase perbandingan bentuk solid (basil hidup) dengan jumlah solid dan non-solid (basil
mati) dikalikan 100 persen. Akan tetapi, perhitungan. ini hanya dapat dilakukan apabila IB
minimal 3+.
Pemeriksaan Histopatologis
Pada pasien dengan sistem imunologik seluler yang tinggi, akan tampak gambaran
tuberkel. Tuberkel terdiri atas sel epiteloid, sel datia Langhans dan limfosit. Pasien dengan
sistem imunologik seluler yang rendah, tampak sel Virchow atau sel lepra atau sel busa yang
merupakan bentuk histiosit yang tidak mampu memfagositosis M. leprae dan bahkan
dijadikan sebagai tempat untuk berkembang biak.
Pemeriksaan Imunologis, bertujuan untuk membantu diagnosis kusta yang meragukan.
Pemeriksaan imunologis yang dapat dilakukan, yaitu uji MLPA (Mycobacterium Leprae
Particle Agglutinadan). uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay), dan mL
dipstick (Mycobacterium Ieprae dipstick). 5
f. Diagnosis Banding
Sarkoidosis, leishmaniasis, lupus vulgaris, limfoma, sifilis, yaws, granuloma annulare,
necrobiosis lipoidica.
Reaksi Kusta
Reaksi kusta merupakan episode akut dari perjalanan kronis penyakit. Terdapat dua
jenis, yaitu Eritema Nodosum Leprosum (ENL) dan reaksi reversal.
 ENL. Timbul pada tipe LL dan BL dan merupakan reaksi imun humoral yang terjadi
biasanya pada tahun kedua pengobatan. Reaksi ini muncul karena banyaknya basil
lepra yang mati dan hancur sehingga banyak antigen yang tersebar dan memicu reaksi
imun humoral. Pada ENL tidak terjadi perubahan tipe.
 Reaksi reversal. Terjadi pada tipe BL, BB, BT dan berhubungan dengan
hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini terjadi akibat peningkatan sistem imun seluler
yang mendadak, umumnya terjadi pada 6 bulan pertama pengobatan. Pada reaksi
reversal terjadi perubahan tipe penyakit.
g. Tata Laksana
1. Terapi Farmakologis
Alur serta regimen pengobatan kusta berbeda pada tipe MB dan BB (lihat Gambar 1).
Ada tiga obat lini pertama yang digunakan, yaitu dapson, rifampisin, serta klofazimin.
Masing-masing obat memiliki indikasi serta efek samping yang harus diwaspadai.
 Dapson (Diaminodifenil sulfon/DDS). Prinsip pemberiannya adalah tidak boleh
diberikan sebagai monoterapi, harus dikombinasikan dengan pengobatan lain. Dosis
yang diberikan ialah 1-2 mg/KgBB per hari (lihat Gambar 1). Efek samping yang
dapat timbul berupa nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia,
insomnia, neuropati perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis,
hipoalbuminemia, serta methemoglobinemia.
 .Rifampisin. Digunakan sebagai salah satu kombinasi DDS dengan dosis 10
mg/KgBB diberikan setiap hari atau setiap bulan. Efek samping yang dapat timbul
berupa hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, dan
erupsi kulit.
 Klofazimin, dosis awal adalah 300 mg/bulan, dilanjutkan dengan 50 mg/hari, atau 100
mg selang sehari atau 100 mg 3 kali/minggu. Efek sampingnya adalah warna
kecoklatan pada kulit, warna kekuningan pada sklera yang akan menghilang setelah 3
bulan obat dihentikan. Dalam dosis tinggi dapat menyebabkan efek samping
gastrointestinal.
 Alternatif obat lainnya, antara lain: 0 Protionamid, dosis 5-10 mg/KgBB per hari,
namun obat ini tidak digunakan di Indonesia.
a. ofloksasin, dosis optimal adalah 400 mg/ hari. Efek samping berupa gangguan
gastrointestinal, insomia, nyeri kepala, halusinasi, dan pusing.
b. Minosiklin. Dosis standar adalah 100 mg/ hari. Efek samping yang dapat
timbul pada anak adalah pewarnaan gigi dan terkadang dapat menyebabkan
hiperpigmentasi kulit dan mukosa, gangguan gastrointestinal dan susunan
saraf pusat. Penggunaan obat ini tidak dianjurkan pada anak-anak atau pada
masa kehamilan.

2. Terapi Non-Farmakologis
 Pasien kusta secara rutin perlu menjaga kebersihan diri, terutama pada regio yang
mengalami penurunan fungsi neurologis. Tangan atau kaki yang anestetik dapat
direndam setiap hari selama 10-15 menit. Lesi kalus atau kulit keras di sekitar ulkus
dapat diabrasi, paling baik dilakukan oleh tenaga medis dengan bilah skapel.
Selanjutnya, untuk menjaga nutrisi dan kelembapan yang adekuat pada kulit, dapat
diberikan pelembab topikal;
 lstirahatkan regio yang terlihat kemerahan atau melempuh. Hindari tekanan yang
berlebihan pada regio lesi, misalnya dengan elevasi tungkai saat istirahat atau
mencegah berjalan kaki dalam jangka waktu yang lama;
 Untuk mencegah dan menangani komplikasi yang ada, dibutuhkan kerja sama dengan
bagian bedah ortopedi, podiatrist, neurologi, oftalmologi, dan rehabilitasi medik.
h. Komplikasi
 Neuropati, mencakup penurunan fungsi sensorik, motorik, atau otonom saraf perifer;
 Ulkus atau fisura yang dapat mengakibatkan osteomielitis hingga amputasi digiti;
 Pembentukan kalus, akibat penurunan aktivitas kelenjar keringat;
 Kontraktur sendi, akibat paralisis otot. Latihan fisis secara aktif maupun pasif
diperlukan untuk mencegah komplikasi ini.
 Kelainan oftalmologis: penurunan sensoris kornea (neuropati trigeminal),
lagoftalmos (neuropati fasialis).
 Pada reaksi ENL dapat ditemukanuveitis, dakulis, artritis, limfadenitis, neuritis,
miositis, maupun orchitis.
5. Erisipelas
a. Definisi
Erisipelas merupakan bentuk selulitis superfisial yang mengenai
pembuluh limfe dan disebabkan oleh Streptokokus betahemolitikus grup A
( Jarang ditemukan streptococcus grup C dan G) dan jarang yang disebabkan
oleh S.aureus. Erisipelas dapat terjadi pada semua usia dan semua bangsa atau
ras , namun paling sering terjadi pada bayi, anak dan usia lanjut. Sekitar 85 %
Erysipelas terjadi di kaki dan wajah, sedangkan sebagian kecil dapat terjadi
ditangan, perut dan leher serta tempat lainnya.

b. Etiologi
Streptococcus adalah penyebab utama erisipelas. Sebagian besar
infeksi erysipelas wajah disebabkan oleh streptokokus grup A, sedangkan
infeksi erysipelas pada ekstrimitas atas dan bawah disebabkan oleh non-
kelompok streptokokus A (streptococcus G atau C). Racun streptococcus ini
diperkirakan berkontribusi terjadinya peradangan cepat yang
menjadikan pathognomonic infeksi ini. Baru-baru ini, bentuk atipikal
dilaporkan telah disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, Klebsiella
pneumoniae, Haemophilus influenzae, enterocolitica Yersinia, dan spesies
Moraxella.

c. Faktor presdiposisi
Erysipelas terjadi oleh penyebaran infeksi yang diawali dengan
berbagai kondisi yang berpotensi timbulnya kolonisasi bekteri, misalnya: luka,
koreng, infeksi penyakit kulit lain, luka operasi dan sejenisnya, serta kurang
bagusnya hygiene. Selain itu, Erisipelas dapat terjadi pada seseorang yang
mengalami penurunan daya tahan tubuh, misalnya: diabetes millitus,
malnutrisi (kurang gizi), dan lain-lain.

d. Gejala klinis
Erisipelas pada umumnya diawali dengan gejala-gejala
prodormal, yaitu panas, menggigil, sakit kepala, nyeri sendi, muntah dan
rasa lemah. Pada kulit nampak kemerahan, berbatas tegas dengan bagian tepi
meninggi, nyeri dan teraba panas pada area tersebut. Di permukaan kulit
adakalanya dijumpai gelembung kulit (bula) yang berisi cairan kekuningan
(seropurulen). Pada keadaan yang berat, kulit nampak melepuh dan kadang
timbul erosi (kulit mengelupas).Biasanya menyerang wajah, ekstremitas atas
atau bawah, badan dan genitalia. Kelenjar getah bening di sekitar daerah yang
terinfeksi, sering membesar dan terasa nyeri.
h. Diagnosis banding
- Selulitis
Pada penyakit ini terdapat infiltrat yang difus pada subkutan dengan tanda-
tanda radang akut
- Urtikaria
Pada urtikaria warna merah akan hilang dengan penekanan
- Furunkulosis
Biasanya nyeri, berbentuk seprti kerucut dan berbatas tegas.

i. Tatalaksana
Penisilin merupakan obat pilihan untuk erisipelas. Biasanya
digunakan Procaine. Penicilline G 600.000-1200000 IU IM atau dengan
pengobatan secara oral dengan penisilin V 500mg setiap 6 jam, selama 10-14 hari.
Pada anak-anak Penisilin G prokain,untuk berat badan <30 kg: 300,000 U/d ,
sedangkan >30kg: dosis seperti pada orang dewasa . Untuk Penicillin VK: <12
years: 25-50 mg/kg/hr PO dibagi tid / qid; tidak melebihi 3 g /hr, sedangkan >12
tahun: dosis seperti pada orang dewasa. Perbaikan secara umum terjadi dalam 24-
48 jam tetapi penyembuhan lesi kulit memerlukan beberapa hari. Pengobatan yang
adekuat minimal selama 10 hari.Pada penderita yang alergi terhadap penisilin
diberikan eritomisin (dewasa 250-500 gram peroral; anak-anak: 30-50 mg/kgbb/
hari tiap 6 jam) selama 10 hari. Dapat juga digunakan klindamisin (dewasa 300-
450 mg/hr PO; anak-anak 16-20 mg/kgbb/hari setiap 6- 8jam)Penderita dianjurkan
istirahat (masuk rumah sakit) atau bed rest total dirumah. Bila lokasi lesi pada
tungkai bawah dan kaki, maka bagian yang terserang ini ditinggikan. Secara lokal,
dapat diberikan kompres terbuka yaitu kompres dingin untuk mengurangi rasa
sakit.Bila terdapat vesikula atau bulla dapat dikompres dulu dengan rivanol 1%,
setelah cairan mengering dilanjutkan dengan pemberian topikal antibiotika seperti
kombinasi basitrasin dan polimiksin B atau framisetin sulfa.

6. Sifilis
a. Etiologi
Treponema pallidum merupakan spesies Treponema dari famili Spirochaeta, ordo
Spirochaetales. Treponema pallidum berbentuk spiral, Gram negatif dengan panjang
kisaran 11 µm dengan diameter antara 0,09 – 0,18 µm. Terdapat dua lapisan,
sitoplasma merupakan lapisan dalam mengandung mesosom, vakuol ribosom dan
bahan nukleoid, lapisan luar yaitu bahan mukoid.
b. Penularan dan perjalanan penyakit
Treponema palidum masuk melalui selaput lendir yang utuh, atau kulit yang
mengalami abrasi, menuju kelenjar limfe, kemudian masuk ke dalam pembuluh darah,
dan diedarkan ke seluruh tubuh. Setelah beredar beberapa jam, infeksi menjadi
sistemik walaupun tanda-tanda klinis dan serolois belum jelas. Kisaran satu minggu
setelah terinfeksi Treponema palidum, ditempat masuk timbul lesi primer berupa
ulkus. Ulkus akan muncul selama satu hingga lima minggu, kemudian
menghilang.8,9,10 Uji serologis masih akan negatif ketika ulkus pertama kali muncul
dan baru akan reaktif setelah satu sampai empat minggu berikutnya. Enam minggu
kemudian, timbul erupsi seluruh tubuh pada sebagian kasus sifilis sekunder. Ruam ini
akan hilang kisaran dua sampai enam minggu, karena terjadi penyembuhan spontan.
Perjalanan penyakit menuju ke tingkat laten, dimana tidak ditemukan tanda-tanda
klinis, kecuali hasil pemeriksaan serologis yang reaktif. Masa laten dapat berlangsung
bertahuntahun atau seumur hidup.
Stadium sifilis
Sifilis dalam perjalanannya dibagi menjadi tiga stadium yaitu sifilis stadium
primer, sekunder dan tersier yang terpisah oleh fase laten dimana waktu bervariasi,
tanpa tanda klinis infeksi. Interval antara stadium primer dan sekunder berkisar dari
beberapa minggu sampai beberapa bulan. Interval antara stadium sekunder dan tersier
biasanya lebih dari satu tahun.
Sifilis stadium primer
Lesi awal sifilis berupa papul yang muncul di daerah genitalia kisaran tiga minggu setelah
kontak seksual. Papul membesar dengan ukuran 0,5 – 1,5 cm kemudian mengalami
ulserasi, membentuk ulkus. Ulkus sifilis yang khas berupa bulat, diameter 1-2 cm , tidak
nyeri, dasar ulkus bersih tidak ada eksudat, teraba indurasi, soliter tetapi dapat juga
multipel. Hampir sebagian besar disertai pembesaran kelenjar getah bening inguinal
medial unilateral atau bilateral.
Chancre sífilis primer sering terjadi pada genitalia, perineal, atau anus dikarenakan
penularan paling sering melalui hubungan seksual, tetapi bagian tubuh yang lain dapat
juga terkena.5,6 Ulkus jarang terlihat pada genitalia eksterna wanita, karena lesi sering
pada vagina atau serviks. Dengan menggunakan spekulum, akan terlihat lesi di serviks
berupa erosi atau ulserasi yang dalam. Tanpa pengobatan lesi primer akan sembuh spontan
dalam waktu 3 sampai 6 pekan. Diagnosis banding sifilis primer yaitu ulkus mole yang
disebabkan Haemophilus ducreyi, limfogranuloma venereum, trauma pada penis, fixed
drug eruption, herpes genitalis.
Sifilis Sekunder
Manifestasi akan timbul pada beberapa minggu atau bulan, muncul gejala sistemik berupa
demam yang tidak terlalu tinggi, malaise, sakit kepala, adenopati, dan lesi kulit atau
mukosa. Lesi sekunder yang terjadi merupakan manifestasi penyebaran Treponema
pallidum secara hematogen dan limfogen. 13 Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat
berupa berbagai ruam pada kulit, selaput lendir, dan organ tubuh. Lesi kulit biasanya
simetris, dapat berupa makula, papula, folikulitis, papuloskuamosa, dan pustul, jarang
disertai keluhan gatal. Lesi dapat ditemukan di trunkus dan ekstermitas, termasuk telapak
tangan dan kaki. Papul biasanya merah atau coklat kemerahan, diskret, diameter 0,5 – 2
cm, umumnya berskuama tetapi kadang licin. Lesi vesikobulosa dapat ditemukan pada
sifilis kongenital. 5,13,14 Gambaran lesi kulit pada sifilis sekunder dapat dilihat pada
gambar 5. Kondiloma lata merupakan istilah untuk lesi meninggi (papul), luas, putih atau
abu-abu di daerah yang hangat dan lembab. Gambaran dapat dilihat pada gambar 6. Lesi
sifilis sekunder dapat muncul pada waktu lesi sifilis primer masih ada. Diagnosis sifilis
sekunder ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan serologis yang reaktif dan
pemeriksaan lapangan gelap positif. Treponema pallidum banyak ditemukan pada lesi
selaput lendir atau basah seperti kondiloma lata. Ruam kulit pada sifilis sekunder sukar
dibedakan dengan pitiriasis rosea, psoriasis, terutama jika berskuama, eritema multiforme
dan erupsi obat. Diagnosis sifilis sekunder cukup sulit. Pada umumnya diagnosis
ditegakkan berdasarkan kelainan khas lesi kulit sifilis sekunder ditunjang pemeriksaan
serologis.
Sifilis Laten
Sifilis laten yaitu apabila pasien dengan riwayat sifilis dan pemeriksaan serologis reaktif
yang belum mendapat terapi sifilis dan tanpa gejala atau tanda klinis.6 Sifilis laten terbagi
menjadi dini dan lanjut, dengan batasan waktu kisaran satu tahun. Dalam perjalanan
penyakit sifilis akan melalui tingkat laten, selama bertahun-tahun atau seumur hidup.
Tetapi bukan bearti penyakit akan berhenti pada tingkat ini, sebab dapat berjalan menjadi
sifilis tersier.
Sifilis stadium tersier
Sifilis tersier terdiri dari tiga grup sindrom yang utama yaitu neurosifilis, sifilis
kardiovaskular, dan sifilis benigna lanjut. Pada perjalanan penyakit neurosifilis dapat
asimptomatik dan sangat jarang terjadi dalam bentuk murni. Pada semua jenis neurosifilis,
terjadi perubahan berupa endarteritis obliterans pada ujung pembuluh darah disertai
degenerasi parenkimatosa yang mungkin sudah atau belum menunjukkan gejala saat
pemeriksaan. Sifilis kardiovaskular disebabkan terutama karena nekrosis aorta yang
berlanjut ke katup. Tanda-tanda sifilis kardiovaskuler adalah insufisiensi aorta atau
aneurisma, berbentuk kantong pada aorta torakal. Bila komplikasi ini telah lanjut, akan
sangat mudah dikenal.5 Sifilis benigna lanjut atau gumma merupakan proses inflamasi
proliferasi granulomatosa yang dapat menyebabkan destruksi pada jaringan yang terkena.
Disebut benigna sebab jarang menyebabkan kematian kecuali bila menyerang jaringan
otak. Gumma mungkin terjadi akibat reaksi hipersensitivitas infeksi Treponema palidum.
Lesi sebagian besar terjadi di kulit dan tulang. Lesi pada kulit biasanya soliter atau
multipel, membentuk lingkaran atau setengah lingkaran, destruktif dan bersifat kronis,
penyembuhan di bagian sentral dan meluas ke perifer. Lesi pada tulang biasanya berupa
periostitis disertai pembentukan tulang atau osteitis gummatosa disertai kerusakan tulang.
Gejala khas ialah pembengkakan dan sakit. Lokasi terutama pada tulang kepala, tibia, dan
klavikula. Pemeriksaan serologis biasanya reaktif dengan titer tinggi.
Gambar 2.18 Tatalaksana sifilis.

Kelainan UKK
Hand-foot-and-mouth Disease (HFMD)
a. Definisi
Hand-foot-and-mouth Disease (HFMD) adalah suatu penyakit infeksi sistemik
akut, disebabkan oleh enterovirus, ditandai adanya lesi berbentuk ulkus pada
mulut yang dirasakan sangat nyeri dan perih oleh penderitanya dan eksantema
berbentuk vesikel pada ekstremitas bagian distal yang tidak terasa sakit atau gatal,
tapi sedikit nyeri jika ditekan disertai dengan gejala konstitusi yang ringan dan
biasanya bersifat swasirna. Anak-anak kurang dari 10 tahun paling banyak terkena
penyakit ini dan wabah dapat terjadi di antara anggota keluarga dan kontak erat.
Sanitasi yang jelek, status ekonomi yang rendah dan kondisi tempat tinggal yang
padat sangat mendukung dalam penyebaran infeksi.
b. Epidemiologi
Wabah HFMD telah dilaporkan sejak tahun 1970-an. Selama dekade terakhir,
epidemi HFMD semakin meningkat di negara-negara dari Kawasan Pasifik Barat,
yang merupakan wilayah yang paling parah terkena dampak HFMD di dunia,
termasuk Jepang, Malaysia, dan Singapura, Thailand, dan China. Negara-negara
lain yang juga juga terkena dampak HFMD adalah, Taiwan, Hong Kong, Republik
Korea, Vietnam, Kamboja, Brunei dan Mongolia. HFMD juga telah berkembang
menjadi penyebab utama morbidits dan mortalitas di beberapa negara
berkembang. HFMD sangat menular dan sering terjadi dalam musim panas.
HFMD adalah penyakit umum yang menyerang anak-anak usia 2 minggu sampai
5 tahun (kadang sampai 10 tahun). Orang dewasa umumnya kebal terhadap
enterovirus, meskipun kasus pada orang dewasa dilaporkan. Infeksi HFMD lebih
berat pada bayi dan anak dibandingkan orang dewasa, tetapi umumnya, penyakit
ini memiliki manifestasi ringan. Tidak ada predileksi ras untuk penyakit infeksi
ini. Rasio penderita laki-laki dan perempuan adalah 1:1.
c. Etiologi
Coxsackievirus Tipe 16 (CV A16) adalah virus penyebab yang terlibat dalam
sebagian besar kasus infeksi HFMD, tetapi penyakit ini juga terkait dengan
coxsackievirus A5, A7, A9 A10, B2, dan strain B5. Enterovirus 71 (EV-71) juga
menyebabkan wabah HFMD dengan keterlibatan neurologis terkait di wilayah
Pasifik barat. Coxsackievirus adalah subkelompok dari enterovirus nonpolio dan
merupakan anggota dari famili Picornaviridae. Enterovirus merupakan virus kecil
nonenveloped berbentuk icosahedral yang mempunyai diameter sekitar 30 nm dan
terdiri atas molekul linear RNA rantai tunggal. Penyebab HFMD yang paling
sering pada pasien rawat jalan adalah Coxsackie A16, sedangkan yang sering
memerlukan perawatan karena keadaannya lebih berat atau ada komplikasi sampai
meninggal adalah Enterovirus 71. Virus ini ditemukan di sekresi saluran
pernafasan seperti saliva, sputum atau sekresi nasal, cairan vesikel dan feses dari
individu yang terinfeksi.
d. Pathogenesis
HFMD mempunyai masa inkubasi 3-6 hari. Selama masa epidemik, virus
menyebar dengan sangat cepat dari satu anak ke anak yang lain. Setelah virus
masuk melalui jalur oral atau pernafasan akan terjadi replikasi awal pada faring
dan usus, kemungkinan dalam sel M mukosa. Replikasi awal pada faring dan usus
diikuti dengan multiplikasi pada jaringan limfoid seperti tonsil, Peyer patches dan
kelenjar limfe regional. Penyebaran ke kelenjar limfe regional ini berjalan dalam
waktu 24 jam yang diikuti dengan viremia. Adanya viremia primer (viremia
minor) menyebabkan penyebaran ke sistem retikuloendotelial yang lebih jauh
termasuk hati, limpa, sumsum tulang dan kelenjar limfe yang jauh. Respon imun
dapat membatasi replikasi dan perkembangannya di luar sistem retikuloendotelial
yang menyebabkan terjadinya infeksi subklinis.
Infeksi klinis terjadi jika replikasi terus berlangsung di sistem
retikuloendotelial dan virus menyebar melalui viremia sekunder (viremia mayor)
ke organ target seperti susunan saraf pusat (SSP), jantung dan kulit.
Kecenderungan terhadap organ target sebagian ditentukan oleh serotipe yang
menginfeksi. Coxsackievirus, echovirus dan EV 71 merupakan penyebab tersering
penyakit virus dengan manifestasi pada kulit. HFMD yang disebabkan oleh
coxscakievirus A16 biasanya berupa lesi mukokutan ringan yang menyembuh
dalam 7–10 hari dan jarang mengalami komplikasi. Namun enterovirus juga dapat
merusak berbagai macam organ dan sistem. Kerusakan ini diperantarai oleh
nekrosis lokal dan respon inflamasi inang.
e. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis HFMD terjadi hampir 100% pada anak-anak usia prasekolah
yang terinfeksi namun hanya 11% individu dewasa yang terinfeksi memiliki
kelainan kulit. Setelah fase inkubasi 3 hingga 6 hari, penderita dapat mengeluh
panas badan yang biasanya tidak terlalu tinggi (38°C hingga 39°C), malaise, nyeri
perut, dan gejala traktus respiratorius bagian atas seperti batuk dan nyeri
tenggorok. Dapat dijumpai pula adanya limfadenopati leher dan submandibula.1
Eksantema biasanya nampak 1 hingga 2 hari setelah onset demam, tetapi bisa
bervariasi tergantung serotipe yang terlibat.
Hampir semua kasus HFMD mengalami lesi oral yang nyeri. Biasanya jumlah
lesi hanya beberapa dan bisa ditemukan di mana saja namun paling sering
ditemukan di lidah, mukosa pipi, palatum durum dan jarang pada orofaring. Lesi
dimulai dengan makula dan papula berwarna merah muda cerah berukuran 5–10
mm yang berubah menjadi vesikel dengan eritema di sekelilingnya. Lesi ini cepat
mengalami erosi dan berwarna kuning hingga abu-abu dikelilingi oleh halo
eritema. Beberapa literatur lain menyebutkan bentuk lesi ini sebagai vesikel yang
cepat berkembang menjadi ulkus. Lesi pada mulut ini dapat bergabung, sehingga
lidah dapat menjadi eritema dan edema.
Lesi kulit terdapat pada dua pertiga penderita dan muncul beberapa saat
setelah lesi oral. Lesi ini paling banyak didapatkan pada telapak tangan dan
telapak kaki. Selain itu dapat juga pada bagian dorsal tangan, sisi tepi tangan dan
kaki, bokong dan terkadang pada genitalia eksternal serta wajah dan tungkai. Lesi
pada kulit dapat bersifat asimtomatik atau nyeri. Timbul rash/ruam atau vesikel
(lepuh memerah/blister yang kecil dan rata), papulovesikel yang tidak gatal
ditelapak tangan dan kaki. Jumlahnya bervariasi dari beberapa saja hingga banyak.
Setelah menjadi krusta, lesi sembuh dalam waktu 7 hingga 10 hari tanpa
meninggalkan jaringan parut.
f. Diagnosis
Diagnosis infeksi enterovirus seringkali berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Diagnosis laboratoris dapat ditegakkan melalui tes serologis, isolasi virus
dengan kultur dan teknik PCR.
 Pemeriksaan serologis jarang dilakukan karena tidak dapat menunjukkan
serotipe yang spesifik dari enterovirus. Standar kriteria untuk
mendiagnosis infeksi enterovirus adalah dengan isolasi virus. Virus dapat
diisolasi dan didentifikasi melalui kultur dan teknik immunoassay dari lesi
kulit, lesi mukosa atau bahan feses.
 Polymerase chain reaction (PCR) memberikan hasil yang cepat dalam
mendeteksi dan identifikasi serotipe enterovirus. Pemeriksaan ini menjadi
uji diagnostik yang sangat bernilai tetapi dibatasi oleh ketersediaannya dan
biayanya yang relatif mahal.
 Pungsi lumbal merupakan pemeriksaan yang penting jika terjadi
meningitis. Profil dari cairan serebrospinalis pada penderita dengan
meningitis aseptik akibat enterovirus adalah lekosit yang sedikit
meningkat, kadar gula yang normal atau sedikit menurun, sedangkan kadar
protein normal atau sedikit meningkat.
g. Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang paling dekat adalah enantema pada herpangina.
Kedua panyakit ini disebabkan oleh enterovirus. HFMD dibedakan dari
herpangina berdasarkan distribusi lesi oral dan adanya lesi kulit. Herpangina
berupa enantema tanpa lesi kulit dengan lokasi yang tersering di plika anterior
fossa tonsilaris, uvula, tonsil, palatum molle.
Diagnosis banding yang lain yang perlu dipertimbangkan adalah, varisela,
stomatitis aphthosa, erupsi obat, herpes ginggivostomatitis serta measle.
Stomatitis aphthosa dibedakan dengan HFMD dengan tidak adanya demam dan
tanda sistemik lainnya serta riwayat kekambuhan. Ditandai dengan adanya lesi
ulseratif yang besar pada bibir, lidah dan bagian mukosa buccal yang sangat nyeri.
Penderita herpes ginggivostomatitis biasanya mengalami lesi yang lebih nyeri
dengan limfadenopati leher dan ginggivitis yang lebih menonjol. Lesi pada`kulit
biasanya terbatas perioral namun dapat mengenai jari tangan yang dimasukkan ke
mulut.
Berbeda dengan HFMD, lesi kulit pada varisela lebih luas dengan distribusi
sentrifugal, lesi jarang pada telapak tangan dan kaki serta lebih jarang dijumpai
lesi oral. Lesi pada varisela membaik oleh pembentkan krusta, sementara vesikel
pada HFMD membaik dengan adanya reabsorbsi dari cairan vesikel. Jika
eksantema pada HFMD berbentuk makulopapuler maka lesi ini harus dibedakan
dengan erupsi obat meskipun jarang.
Selain adanya lesi makulopapular yang bersifat general, anak-anak yang
mengalami infeksi measle atau campak akan disertai dengan batuk, coryza dan
konjungtivitis, serta koplik spot sering ditemukan pada pemeriksaan mulut.
h. Komplikasi
Komplikasi serius jarang terjadi pada penderita HFMD. Komplikasi paling
sering terjadi akibat ulserasi oral yang nyeri, sehingga dapat mengganggu asupan
oral dan menyebabkan dehidrasi. Seperti halnya penyakit kulit lainnya, infeksi
sekunder karena bakteri juga dapat terjadi pada lesi kulit penderita HFMD. Satu
komplikasi yang jarang yaitu eczema coxsackium terjadi pada individu dengan
eksema. Pada penderita ini berkembang infeksi virus kutan diseminata yang sama
dengan yang terlihat pada eczema herpeticum. Komplikasi serius yang berkaitan
dengan HFMD dan paling banyak ditemui adalah meningitis aseptik. Meningitis
aseptik jarang mengancam jiwa dan pada penderita juga tidak terjadi komplikasi
lanjutan yang permanen. Epidemik EV 71 yang terjadi di Taiwan berakibat
terjadinya bentuk penyakit yang parah seperti ensefalitis, ensefalomielitis, polio-
like syndromes, miokarditis, edema pulmonum, perdarahan di paru-paru dan
kematian. Huang dan kawan-kawan (1999) mendeskripsikan komplikasi
neurologis terkait EV 71 dalam istilah sindroma neurologik yang terdiri dari
aseptic meningitis, acute flaccid paralysis dan brain stem encephalitis atau
rhomboencephalitis.
i. Tatalaksana
Kebanyakan kasus HFMD diharapkan dapat sembuh secara total. HFMD
biasanya merupakan penyakit swasirna, di mana kenaikan antibodi serum
mengeliminasi viremia dalam waktu 7 hingga 10 hari. Perawatan utama adalah
istirahat yang cukup serta terapi suportif. Pada kondisi penderita dengan
kekebalan dan kondisi tubuh cukup baik, biasanya tidak diperlukan pengobatan
khusus. Peningkatan kekebalan tubuh penderita dilakukan dengan pemberian
konsumsi makanan dan cairan dalam jumlah banyak dan dengan kualitas gizi yang
tinggi, serta diberikan tambahan vitamin dan mineral jika perlu. Jika didapati
terjadinya gejala superinfeksi akibat bakteri maka diperlukan antibiotika atau
diberikan antibiotika dosis rendah sebagai pencegahan.
Secara umum, untuk menekan gejala dan rasa sakit akibat timbulnya luka di
mulut dan untuk menurunkan panas dan demam, digunakan obat-obatan golongan
analgetika dan antipiretika. Demam dapat diobati dengan antipiretik, nyeri dapat
diobati dengan dosis standar asetaminofen atau ibuprofen. Analgesia langsung
juga dapat diadministrasikan untuk rongga mulut melalui obat kumur atau
semprotan. Pastikan asupan cairan yang cukup untuk mencegah dehidrasi. Cairan
intravena mungkin diperlukan jika pasien mengalami dehidrasi sedang atau berat
atau jika pasien mengalami kesulitan memenuhi asupan nutrisi secara oral.
Infeksi HFMD menyebabkan imunitas terhadap virus yang spesifik. Jika
terjadi episode penyakit yang kedua kemungkinan besar terjadi karena infeksi
dengan virus strain yang lain dalam grup enterovirus.
Belum ada vaksin atau antivirus yang diketahui efektif dalam mengobati
maupun mencegah infeksi EV 71. Beberapa bahan untuk pembuatan vaksin EV 71
termasuk formalin-inactivated whole virus vaccine, DNA vaccine dan recombinat
protein vaccine masih harus disempurnakan lebih lanjut sebelum digunakan dalam
uji klinis
j. Prognosis
Secara umum HFMD memiliki prognosis yang baik dan kebanyakan kasus
diharapkan dapat sembuh secara total. Komplikasi serius jarang terjadi.
Komplikasi yang parah dapat timbul jika terjadi salah diagnosis, tidak dapat
memelihara hidrasi yang adekuat dan gagal dalam mengenali tanda-tanda menuju
adanya keterlibatan neurogenik. Belum ada vaksin yang efektif untuk mencegah
infeksi EV 71. Risiko infeksi dapat diturunkan dengan tindakan higiene yang
bagus dan dengan menghindari kontak antara individu yang terinfeksi dan
individu yang rentan.
Varisella Zoster
a. Definisi
Penyakit infeksi akut primer yang disebabkan oleh virus varicella zoster yang
menyerang kulit dan mukosa, manifestasi klinis didahului gejala konstitusi. Kelainan
kulit yang polimorfik, terutama berlokasi di bagian central tubuh. Sinonim : cacar air,
chicken pox.
b. Etiologi
Virus Varicella zoster, transmisi aerogen
Masa inkubasi 14-21 hari
Masa penularan kurang lebih 7 hari seja timbulnya gejala kulit
c. Epidemiologi
Tersebar kosmopolit terutama pada anak tetapi dapat menyerang dewasa.
d. Gejala klinis
Gejala prodromal : demam tidak terlalu tinggi, malaise, nyeri kepala, disusul
timbulnya ruam kulit. Ruam kulit muncul mulai dari wajah, scalp dan menyebar ke
tubuh. Lesi menyebar sentrifugal ( dari sentral ke perifer) sehingga dapat ditemuan
lesi baru di ekstremitas. Sedangkan di badan lesi sudah berkusta.
Erupsi kulit : papul eritematosa yang dalam beberapa jam kemudian menjadi
vesikel (tear drops). Vesikel akan berubah menjadi keruh menyerupai pustule
kemudian menjaid krusta. Sementara proses ini berlangsung, timbul lagi vesikel baru
sehingga menimbulkan gambaran polimorfik. Biasanya disertai rasa gatal. Jumlah lesi
bervariasi. Mulai dari beberapa sampai ratusan. Umumnya pada anak-anak lesi lebih
sedikit, biasanya lebih banyak pada bayi ( usia<1 tahun), pubertas dan dewasa.
Kadang kadang lesi dapat berbentuk bula atau hemoragik. Selaput lendir sering
terkena, terutama mulut, dapat juga konjungtiva palpebral dan vulva.
e. Pemeriksaan tambahan
Pemeriksaan tzank diperoleh sel datia berinti banyak. Kultur virus dari cairan
vesikel seringkali positif pada 3 hari pertama.
f. Diagnosis Banding
 Hand, foot and mouth disease : pola penyebaran lebih akral, mukosa lebih
banyak terkena, sel datia berinti banyak tidak ditemukan pada pemerksaan
dengan tzank test.
 Reaksi vesicular terhadap gigitan serangga : seringkali berkelompok, pola
penyebaranakral, berupa urtikaria popular dengan titik di tengahnya.
 Erupsi obat variseliformis : biasanya tanda demam timbul serentak dan tidak
disertai pembesaaran KGB.
 Lainnya : dermatitis kontak iritan, scabies, impetigenisata, dermatitis
herpetiformis, impetigo.
g. Tatalaksana
Topical
- Bedak yang ditambah dengan zat anti gatal (menthol/ camphora) untuk mencegah
pecahnya vesikel secara dini dan menghilangkan rasa gatal.
- Vesikel yang sudah pecah/krusta : salep antibiotic
Sistemik
- Antipiretik: diberikan bila demam, hindari salisilat karena dapat menimbulkan
sindrom reye
- Antipruritus : antihistamin yang memiliki efek sedative
- Antivirus : indikasi antivirus bila sebelumnya telah ada anggota keluarga serumah
yang menderita varicella atau pada pasien immunocompromised .
- VZIG
- Antibiotic oral : bila timnukinfeksi sekunder
h. Komplikasi
Pada anak yang normal, jarang terjadi komplikasi, komplikasi yang sering
adalah infeksi sekunder pada lesi kulit yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus
atau streptococcus.

Dermatitis
a. Definisi
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menyebabkankelainan
klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama,
likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu terjadi bersamaan,
bahkan mungkin hanya satu jenis misalnya hanya berupa papula (oligomorfik).
Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis.
b. Dermatitis kontak iritan
Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi yang
menempel pada kulit. Dikenal dua jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak
iritan dan dermatitis kontak alergik. Dermatitis kontak iritan merupakan reaksi
peradangan kulit non-imunologik, yaitu kerusakan kulit terjadi langsung tanpa
didahului proses pengenalan/sensitisasi. Sebaliknya, dermatitis kontak alergik
terjadi pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu bahan
penyebab/alergen.
c. Etiologi dan factor
Penyebab dermatitis jenis ini ialah pajanan dengan bahan yang bersifat iritan,
misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu.
Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut,
konsentrasi bahan tersebut dan vehikulum. Terdapat juga pengaruh faktor lain,
yaitu: lama kontak, kekerapan (terus menerus atau berselang), oklusi yang
menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian pula gesekan dan trauma fisis.
Suhu dan kelembaban lingkungan juga turut berperan. Faktor individu juga turut
berpengaruh pada OKI, misalnya perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat
menyebabkan perbedaan permeabilitas; usia (anak di bawah 8 tahun dan usia
lanjut lebih mudah teriritasi); ras (kulit hitam lebih tahan dibandingkan dengan
kulit putih); jenis kelamin (insidens OKI lebih banyak pada perempuan); penyakit
kulit yang pemah atau sedang dialami (ambang rangsang terhadap bahan iritan
menurun), misalnya dermatitis atopik.
d. Patofisiologi
Kelainan kulit oleh bahan iritan terjadi akibat kerusakan sel secara kimiawi
atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan
lemak lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat kulit terhadap air. Kebanyakan
bahan iritan (toksin) merusak membran lemak (lipid membrane) keratinosit,
namun sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom,
mitokondria, atau komponen inti. Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase
dan melepaskan asam arakidonat (M), diasilgliserida (DAG), platelet activating
factor=PAF), dan inositida (IP3). M diubah menjadi prostaglandin (PG) dan
leukotrien (LT). PG dan LT menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan
permeabilitas vaskular sehingga mempermudah transudasi pengeluaran
komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak sebagai kemoatraktan kuat untuk
limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi sel mas untuk melepaskan histamin, LT
dan PG lain dan PAF, sehingga terjadi perubahan vaskular. DAG dan second
messengers lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein, misalnya
interleukin-1 (IL-1 ) dan granulocytemacrophage colony stimulating factor
(GMCSF). IL-1 mengaktifkan sel T-penolong!T-helper cell mengeluarkan IL-2
dan mengekspresi reseptor IL-2, yang mengakibatkan stimulasi autokrin dan
proliferasi sel tersebut. Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan
TNFa, suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan
granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin.
Rentetan kejadian tersebut mengakibatkangejala peradangan klasik di tempat
terjadinya kontak dengan kelainan berupa eritema, edema, panas, nyeri, bila iritan
kuat. Bahan iritan lemah akan mengakibatkan kelainan kulit setelah kontak
berulang kali, yang dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh karena
delipidasi menyebabkan desikasi sehingga ku lit kehilangan fungsi sawamya. Hal
tersebut akan mempermudah kerusakan sel di lapisan kulit yang lebih dalam.
e. Gejala kelinis
Gejala klinis dermatitis kontak iritan di klasifikasikan menjadi 10 jenis yaitu:
1. Akut
Biasanya terjadi karena kecelakaan di tempat kerja, dan reaksi segera timbul.
Lntensitas reaksi sebanding dengan konsentrasi dan lama kontak, serta reaksi
terbatas hanya pada tempat kontak. Kulit terasa pedih, panas, rasa terbakar,
kelainan yang terlihat berupa eritema edema, bula, mungkin juga nekrosis. Tepi
kelainan berbatas tegas, dan pada umumnya asimetris.Luka bakar oleh bahan
kimia juga termasuk dermatitis kontak iritan akut.
2. DKI akut lambat
Gambaran klinis dan gejala sama dengan OKI akut, tetapi baru terjadi 8 sampai 24
jam
setelah berkontak. Bahan iritan yang dapat menyebabkan DKI akut lambat,
misalnya podofilin, antralin, tretinoin, etilen oksida, benzalkonium Klorida, asam
hidrofluorat. Sebagai contoh ialah dermatitis yang disebabkan oleh bulu serangga
(dermatitis venenata); Keluhan dirasakan pedih keesokan harinya, sebagai gejala
awal terlihat eritema kemudian terjadi vesikel atau bahkan nekrosis.
3. DKI kronik kumulatif
Merupakan jenis dermatitis kontak yang paling sering terjadi. Sebagai penyebab
ialah kontak berulang dengan iritan lemah (misalnya deterjen, sabun, pelarut,
tanah, bahkan jugaMair OKI kumulatif mungkin terjadi karena kerjasama
berbagai faktor. Oapat disebabkan suatu bahan secara tunggal tidak cukup kuat
menyebabkan dermatitis iritan, tetapi mampu sebagai penyebab bila bergabung
dengan faktor lain. Kelainan baru terlihat nyata setelah kontak berlangsung
beberapa minggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian. Gejala klasik
berupa kulit kering, disertai eritema, skuama, yang lambat laun kulit menjadi tebal
(hiperkeratosis) dengan likenifikasi, yang 159 difus. Bila kontak terus berlangsung
akhirnya kulit dapat retak seperti Iuka iris (fisura), misalnya pada kulit tumit
seorang pencuci yang mengalami kontak secara terus menerus dengan deterjen.
Keluhan pasien umumnya rasa gatal atau nyeri karena kulit retak (fisura). DKI
kumulatif sering berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu lebih banyak
ditemukan di tangan dibandingkan dengan bagian lain tubuh. Contoh pekerjaan
yang berisiko tinggi untuk OKI kumulatif yaitu: pencuci, kuli bangunan, montir di
bengkel, juru masak, tukang kebun, penata rambut.
Reaksi iritan
Reaksi iritan merupakan dermatitis kontak iritan subklinis pada seseorang yang
terpajan dengan pekerjaan basah dalam beberapa bulan pertama, misalnya penata
rambut dan pekerja logam Kelainan kulit bersifat monomorf dapat berupa skuama,
eritema, vesikel, pustul dan erosi. Umumnya dapat sembuh sendiri, atau berlanjut
menimbulkan penebalan kulit (skin hardening), dan menjadi OKI kumulatif.
DKI traumatik
Kelainan kulit berkembang lambat setelah trauma panas atau laserasi. Gejala
klinis menyerupai dermatitis numularis, penyembuhan berlangsung lambat,
paling cepat 6 minggu. Lokasi tersering di tangan.
DKI non-eritematosa
OKI non-eritematosa merupakan bentuk subklinis OKI , yang ditandai dengan
perubahan fungsi sawar (stratum korneum) tanpa disertai kelainan klinis.
OKI subyektif
Juga disebut DKI sensori; karena kelainan kulit tidak terlihat, namun pasien
merasa seperti tersengat (pedih) atau terbakar (panas) setelah berkontak dengan
bahan kimia tertentu, misalnya asam laktat.
f. Pengobatan
Upaya pengobatan yang terpenting pada DKI adalah menghindari pajanan
bahan iritan yang menjadi penyebab, baik yang bersifat mekanik, fisis maupun
kimiawi , serta menyingkirkan factor yang memperberat. Bila hal in i dapat
dilaksanakan dengan sempurna, dan tidak terjadi komplikasi, maka DKI tersebut
akan sembuh tanpa pengobatan topikal, mungkin cukup dengan pemberian
pelembab untuk memperbaiki sawar kulit.Apabila diperlukan, untuk mengatasi
peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal, misalnya hidrokortison, atau
untuk kelainanyang kronis dapat diawali dengan kortikosteroid, dengan potensi
kuat. Pemakaian alat pelindung, diri yang adekuat diperlukan bagi yang bekerja
dan dengan bahan iritan, sebagai salah satu upaya.
Herpes Simpleks
a. Definisi
lnfeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (virus herpes
hominis) tipe I atau tipe II yang ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok di
atas kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah dekat mukokutan, sedangkan
infeksi dapat berlangsung baik primer maupun rekurens
b. Etiologi
VHS tipe I dan II merupakan virus herpes hominis yang merupakan virus
DNA. Pembagian tipe I dan 11 berdasarkan karakteristik pertumbuhan pada
media kultur, antigenic marker, dan lokasi klinis (tempat predileksi).
c. Patofisiologi
HSV merupakan virus DNA untai ganda dari famili Herpesviridae dan
subfamili Alphaherpesvirinae dengan kemampuan biologis berupa neurovirulensi,
latensi, dan reaktivasi.1,2 Neurovirulensi adalah kemampuan menginvasi dan
bereplikasi dalam sistem saraf. Latensi adalah kemampuan membentuk dan
mempertahankan infeksi laten pada sel saraf ganglia proksimal sampai ke lokasi
infeksi. Infeksi orofasial paling sering melibatkan ganglia trigeminal, sedangkan
infeksi genital akan melibatkan akar saraf ganglia sacral (S2-S5). Reaktivasi
adalah kemampuan HSV laten untuk aktif kembali dan bereplikasi di daerah yang
dipersarafi oleh ganglia tempat pembentukan infeksi latennya. Berbagai stimulus,
seperti demam, trauma, stres emosional, sinar matahari, dan menstruasi dapat
memicu reaktivasi. Pada HSV1, reaktivasi lebih sering pada area orolabial,
sedangkan pada HSV-2 lebih sering pada area genital. Reaktivasi akan lebih
sering dan lebih berat pada pasien imunokompromais dibandingkan pasien
imunokompeten.
d. Tanda klinis
Manifestasi klinis infeksi HSV tergantung usia, status imun pasien, lokasi
anatomic yang terlibat, serta jenis antigen virus. Dari perjalanan klinisnya, infeksi
HSV dapat dibagi menjadi infeksi primer dan rekuren. Infeksi primer umumnya
disertai dengan tanda sistemik, gejala lebih berat, dan tingkat komplikasi lebih
tinggi. Episode rekuren biasanya lebih ringan dan lebih singkat.
1. Gingivostomatitis Herpetik Akut
Merupakan manifestasi utama infeksi HSV-1 pada anak usia 6 bulan-5
tahun. Pada orang dewasa bisa terjadi, umumnya ringan. Onset nya mendadak,
disertai suhu tinggi (39-40°C), anoreksia, dan rasa lesu. Gusi membengkak
dan kemerahan. Lesi vesikuler timbul di mukosa mulut, lidah dan bibir,
kemudian akan pecah dan menyatu, meninggalkan plak ulserasi. Terjadi juga
limfadenopati regional yang nyeri tekan. Kulit sekitar mulut juga bisa ikut
terkena akibat kontaminasi dari saliva yang terinfeksi.
2. Faringotonsilitis Herpetik Akut
Merupakan manifestasi utama infeksi HSV1 pada orang dewasa.
Gambaran klinisnya berupa demam, malaise, nyeri kepala, dan nyeri
tenggorokan. Vesikel yang pecah akan membentuk lesi ulseratif dengan
eksudat keabu-abuan di tonsil dan faring posterior. Lesi oral dan labial terjadi
pada kurang dari 10% pasien. Infeksi HSV-2 gejalanya mirip, timbul akibat
kontak orogenital, atau terjadi bersamaan dengan herpes genitalis.
3. Herpes Labialis
Merupakan manifestasi tersering infeksi HSV1 rekuren. Nyeri
prodromal, rasa terbakar, dan kesemutan sering terjadi, diikuti timbulnya
papul eritematosa yang berkembang cepat menjadi vesikel intraepidermal
kecil berdinding tipis, yang akhirnya menjadi pustular dan berulserasi.
Umumnya, rekurensi terjadi kurang dari 2 kali setahun, tetapi bisa terjadi
setiap bulan.
4. Herpes Genitalis
Tingkat keparahan, frekuensi penyakit, dan rekurensi tergantung
berbagai faktor, yakni jenis virus, imunitas sebelumnya terhadap virus autolog
atau heterolog, jenis kelamin, serta status imun pejamu.
a. Herpes Genitalis Primer
Dapat disebabkan oleh HSV-1 ataupun HSV2, dan bisa bersifat
asimptomatik. Gambaran klinis herpes genitalis primer yang disebabkan
oleh HSV-1 dan HSV-2 dapat dibedakan, serta rekurensi lebih sering pada
HSV-2. Herpes genitalis primer ditandai oleh gejala sistemik dan lokal
yang parah serta berkepanjangan. Gejala episode pertama infeksi HSV-2
sekunder biasanya ringan dan durasinya lebih singkat. Gejala dan
komplikasi herpes genitalis primer lebih parah pada wanita. Gejala
konstitusi berupa demam, sakit kepala, malaise, dan nyeri otot dominan
pada 3-4 hari pertama. Gejala lokal berupa rasa nyeri, gatal, disuria,
keputihan, uretritis, dan limfadenopati dengan nyeri tekan.1,2 Pada pria
dan wanita, lesi ulseratif menetap selama 4-15 hari hingga terjadi
pelepasan krusta dan re-epitelisasi. Pada 75% pasien terbentuk kembali
lesi baru selama berlangsungnya penyakit, biasanya dalam 4-10 hari.
b. Herpes Genitalis Rekuren
Morbiditas utama herpes genitalis disebabkan oleh tingginya tingkat
reaktivasi. Reaktivasi subklinis ataupun simptomatik lebih sering terjadi
pada HSV-2 dibandingkan HSV-1. Sebanyak 60% pasien infeksi HSV-2
genital primer rekuren pada tahun pertama. Pasien herpes genitalis primer
berat cenderung lebih sering rekuren dalam durasi lebih lama. Herpes
genitalis rekuren biasanya didahului oleh gejala prodromal, berupa rasa
nyeri dalam serta rasa terbakar pada lokasi lesi yang berlangsung selama 2
jam sampai 2 hari. Gejala pada wanita umumnya lebih berat. Pada
beberapa orang, terjadi neuralgia sakral ipsilateral yang berat.
c. Herpes Genitalis Subklinis
1,2 Infeksi genital HSV paling sering asimptomatik. Sebanyak 70-80%
individu yang seropositif tidak mempunyai riwayat herpes genitalis
simptomatik sebelumnya. Shedding virus asimptomatik terjadi pada 1-2%
individu imunokompeten yang terinfeksi dan 6%- nya terjadi dalam
beberapa bulan pertama sesudah infeksi. Hal terpenting adalah mencegah
penularan seksual atau perinatal.
e. Penegakan diagnosis
Pemeriksaan penunjang. Virus herpes ini dapat ditemukan pada vesikel dan
dapat dibiak. Pada keadaan tidak ada lesi dapat diperiksa antibodi VHS. Pada
percobaan Tzanck dengan pewarnaan Giemsa dapat ditemukan sel datia berinti
banyak dan badan inklusi intranuklear.
f. Diagnosis banding
Infeksi HSV adalah ulkus mole (chancroid), penyakit tangan, kaki dan mulut
(flu Singapura), herpes zoster, dan sifilis.
g. Tatalaksana
Sampai saat ini belum ada terapi yang memberikan penyembuhan radikal,
artinya tidak ada pengobatan yang dapat mencegah episode rekurens secara tuntas.
Pada lesi yang dini dapat digunakanobat topikal berupa salap/krim yang
mengandung preparat idoksuridin (stoxil, viruguent, virunguent-P) dengan cara
aplikasi, yang sering dengan interval beberapa jam. Preparat asiklovir (zovirax)
yang dipakai secara topikal tampaknya memberikan masa depan yang lebih cerah.
Asiklovir ini cara kerjanya meng-ganggu replikasi DNA virus. Klinis hanya
berman-faat bila penyakit sedang aktif. Jika timbul ulserasi dapat dilakukan
kompres. Pengobatan oral berupa preparat asiklovir tampaknya memberikan hasil
yang lebih baik, penyakit berlangsung lebih singkat dan masa rekurensnya lebih
panjang. Dosisnya 5 x 200 mg sehari selama 5 hari. Pengobatan parenteral dengan
asiklovir terutama ditujukan kepada penyakit yang lebih berat atau jika timbul
komplikasi pada alat dalam. Begitu pula dengan preparat adenin arabinosid
(vitarabin). ln-terferon sebuah preparat glikoprotein yang dapat menghambat
reproduksi virus juga dapat dipakai secara parenteral. Untuk mencegah rekurens
macam-macam usaha yang dilakukan dengan tujuan meningkatkan imunitas
selular, pernah dilakukan pemberian preparat lupidon H (untuk VHS tipe I) dan
lupidon G (untuk VHS tipe II) dalam satu seri pengobatan. Pemberian levamisol
dan isoprinosin atau asiklovir secara berkala menurut beberapa penyelidik
memberikan hasil yang baik. Efek levamisol dan isoprnosin ialah sebagai
imunostimulator. Pemberian vaksinasi cacar sekarang tidak dianut lagi.
h. Komplikasi
Berbagai komplikasi pada infeksi HSV, yakni:
1. Superinfeksi bakteri dan jamur
2. Balanitis: terjadi akibat infeksi bakteri pada ulkus herpetik.
3. Kandidiasis vagina: ditemukan pada 10% wanita dengan herpes
genitalis primer, terutama pada pasien diabetes melitus. Herpes ulseratif
dengan lesi keputihan pada mukosa sulit dibedakan dari infeksi jamur.
4. Infeksi mata, sering terjadi pada anak, disebabkan oleh HSV-1, kecuali
pada neonatus (bisa disebabkan oleh HSV-2), bermanifestasi sebagai
konjungtivitis folikuler unilateral atau keratokonjungtivitis herpetik
akut dengan ulkus kornea dendritik.
5. Infeksi kulit, dapat berupa:
 Eksim herpetikum: terjadi pada individu dengan dermatitis
sebelumnya, dapat terlokalisir (sehingga sulit dibedakan
dengan herpes zoster) atau tersebar luas. Bentuk ini juga dapat
terjadi pada pasien dengan kerusakan kulit luas, seperti luka
bakar, sindrom pemfigus, atau Sezary
 Herpetic whitlow: infeksi HSV pada jari, terjadi pada atau
dekat kutikula atau area lain akibat trauma. Bila area kuku juga
terkena, maka akan terjadi infeksi sekunder oleh bakteri
patogen yang memerlukan insisi dan drainase. Herpetic
whitlow dikaitkan dengan HSV-1 pada pekerja di tempat
perawatan kesehatan dan anak-anak akibat paparan saliva dan
dengan HSV-2 akibat paparan genito-digital.
 Herpes gladiatorum: lesi kulit HSV-1 yang tersebar telah
ditemukan pada pegulat yang tertular akibat paparan saliva
terinfeksi selama pertandingan.
herpes zoster
a. Etiologi dan Faktor risiko pada lenting kulit
Etiologi dari herpes zoster sendiri disebabkan dari reaktivasi varicella zoster
virus (VZV). lnsiden dan keparahan penyakitnya meningkat dengan bertambahnya
usia. Faktor risiko lain seperti radiasi, trauma fisis, obat-obat tertentu, infeksi lain,
atau stres dapat dianggap sebagai pencetus walaupun belum pasti.
b. Patofisiologi pada kasus
Hope Simpson, 1965, mengajukan hipotesis bahwa imunitas terhadap varisela
zoster virus berperan dalam patogenesis herpes zoster terutama imunitas
selulamya. Mengikuti infeksi primer virus varisela-zoster (varisela), partikel virus
dapat tetap tinggal di dalam ganglion sensoris saraf spinalis, kranialis atau otonom
selama tahunan. Pada saat respons imunitas selular dan titer antibodi spesifik
terhadap virus varisela-zoster menurun (misal oleh karena umur atau penyakit
imunosupresif) sampai tidak lagi efektif mencegah infeksi virus, maka partikel
virus varisela-zoster yang laten tersebut mengalami reaktivasi dan menimbulkan
ruam kulit yang terlokalisata di dalam satu dermatom.
Gambar. Patogenesis Herpes Zoster
Gambar. Reaktivasi herpes zoster dari varicella.

c. Penegakkan diagnosis
Dari diagnosis penyakit herpes zoster sangat jelas, karena gambaran klinisnya
memiliki karakteristik tersendiri. Gejala prodromal Berlangsung 1-5 hari. Keluhan
biasanya diawali dengan nyeri pada daerah dermatom yang akan timbul lesi dan
dapat. Berlangsung dalam waktu yang bervariasi. Nyeri bersifat segmental dan
dapat berlangsung terus-menerus atau sebagai serangan yang hilang timbul.
Keluhan bervariasi dari rasa gatal, kesemutan, panas, pedih, nyeri tekan,
hiperestesi sampai rasa ditusuk-tusuk. Selain nyeri, dapat didahului dengan
cegukan atau sendawa. Gejala, konstitusi, berupa, malaise, sefalgia, yang biasanya
akan menghilang setelah. erupsi kulit timbul. Kadang-kadang terjadi
limfadenopati regional.
Erupsi kulit
 Erupsi kulit hampir selalu unilateral dan biasanya terbatas pada daerah yang
dipersarafi oleh satu ganglion sensorik. Erupsi dapat terjadi di seluruh bagian
tubuh, yang tersering di daerah ganglion torakalis.
 lesi dimulai dengan makula eritoskuamosa, kemudian terbentuk papul-papul dan
dalam waktu 12-24 jam lesi berkembang menjadi vesikel. Pada hari ketiga
berubah menjadi pustul yang akan mengering menjadi krusta dalam 7-10 hari.
Krusta dapat bertahan dalam 2-3 minggu kemudian mengelupas. Paa saat ini
biasanya nyeri segmentasi juga menghilang.
 Lesi baru dapat terus muncul sampai hari ketiga dan kadang-kadang sampai hari
ketujuh.
 Erupsi kulit yang berat dapat meninggalkan makula hiperpigmentasi dan jaringan
parut (pitted scar).
 Erupsi umumnya disertai nyeri (60-90%) kasus.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium dilakukan bila terdapat gambaran klinis yang
meragukan.
- Tes Tzanck (adanya perubahan sitologi sel epitel dimana terlihat multi nucleated
giant cell).

Gambar. Multinucleated cell.


d. Penatalaksanaan farmako dan nonfarmako
Farmakologi
Prinsip dasar pengobatan herpes zoster adalah menghilangkan nyeri secepat
mungkin dengan cara membatasi replikasi virus, sehingga mengurangi kerusakan

saraf lebih lanjut.

Sistemik
1. Obat antivirus
Obat antivirus terbukti menurunkan durasi lesi herpes zoster dan derajat keparahan nyeri
herpes zoster akut. Efektivitasnya dalam mencegah NPH masih kontroversial. Tiga
antivirus oral yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk terapi
herpes zoster, famsiklovir (Famvir®), valasiklovir hidrokhlorida (Valtrex®), dan asiklovir
(Zovirax®). Bioavailabilitas asiklovir hanya 15-20%, lebih rendah dibandingkan
valasiklovir (65%) dan famsiklovir (77%). Antivirus famsiklovir 3x 500 mg atau
valasiklovir 3x 1000 mg atau asiklovir 5x 800 mg diberikan sebelum 72 jam awitan lesi
selama 7 hari.
2. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid oral sering dilakukan, walaupun berbagai penelitian
menunjukkan hasil beragam.
3. Analgetik
Pasien dengan nyeri akut ringan menunjukkan respons bakteri terhadap OAINS (asetosal,
piroksikam, ibuprofen, diklofenak), atau analgetik non opioid (parasetamol, tramadol,
asam mefenamat).
Topikal
1. Analgetik topikal
- Kompres
Kompres terbuka dengan solusio Burowi dan solusio Calamin (CaladrylD) dapat
digunakan pada lesi akut untuk mengurangi nyeri dan pruritus. Kompres dengan
Solusio Burowi (alumunium asetat 5%) dilakukan 4-6 kali/hari selama 30-60 menit.
Kompres dingin atau cold pack juga sering digunakan.
- Antiinflamasi nonsteroid (AINS)
Berbagai AINS topikal seperti bubuk aspirin dalam kloroform atau etil eter, krim
indometasin dan diklofenak banyak dipakai.
2. Anestetik lokal
Pemberian anestetik lokal pada berbagai lokasi sepanjang jaras saraf yang terlibat
dalam herpes zoster telah banyak dilakukan untuk menghilangkan nyeri.
3. Kortikosteroid
Krim/losio yang mengandung kortikosteroid tidak digunakan pada lesi akut herpes
zoster dan juga tidak dapat mengurangi risiko terjadinya NPH.

e. Komplikasi
A. Komplikasi kutaneus
- Infeksi sekunder : dapat menghambat penyembuhan dan pembentukan jaringan
parut (selulitis, impetigo, dll)
- Gangren superfisial : menunjukkan herpes zoster yang berat, mengakitbatkan
hambatan penyembuhan dan pembentukan jaringan parut.
B. Komplikasi neurologis
- Neuralgia paska herpes (NPH) : nyeri yang menetap di dermatom yang terkena 3
bulan setelah erupsi herpes zoster menghilang. Insidensi NPH berkisar sekitar 10-
40% dari kasus herpes zoster.

MIND MAP

Ujud Kelainan Kulit

Penegakan PENATALAKS KOMPLIKAS


Etiologi patofisiologi
Diagnosis ANAN I

DAFTAR PUSTAKA

1. Hueter S E. Buku Ajar Patofisiologi Ed.6 Vol.2. Jakarta: Elsevier; 2017


2. Fahri M, Hidyat N, Ismail S. Dermatitis Venenata. Jurnal Medical Profession
(MedPro). 2019 Februari ; 1
3. Wolff K, et al. fitzpatrick’s color atlas and synopsis of clinical dermatology eight
edition. Unites states: McGraw Hill; 2017.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2015.
5. Djuanda A, et al. ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi keenam. Jakarta: FKUI; 2010.
6. James W, et al. Andrew’s Disease of the Skin Clinical Dermatology. Twelfth Edition.
Philadelphia: Elsevier; 2016.

Anda mungkin juga menyukai