Anda di halaman 1dari 25

RESUME PBL

SKENARIO 3
“BAB Berdarah”

NAMA           : Lugino
NPM               : 114170035
KELOMPOK: 1A
BLOK : 4.2
TUTOR          :  dr. Vivi Meidianawaty, MMedEd
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2021
SKENARIO 3
BAB Berdarah
Seorang laki-laki berusia 26 tahun dibawa keluarganya ke IGD Rumah Sakit dengan
keluhan BAB cair disertai darah sejak 1 hari yang lalu dengan frekuensi 2-3x/hari Keluhan
disertai lemas, nausea, dan vomitus 2x pada 2 hari yang lalu. Riwayat demam tinggi 1 minggu
yang lalu. Pasien juga mengaku mengeluh nyeri perut hilang timbul, berat badan menurun, dan
tidak nafsu makan sejak 1 bulan terakhir. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos
mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, pernafasan 20x/menit, nadi 102x/menit, dan suhu 37C.
Pada pemeriksaan abdomen didapatkan datar, soepel, nyeri tekan (+) pada daerah epigastrium.
Pada rectal toucher didapatkan kulit sekitar anus tampak pecah, nyeri tekan (+) ampula kosong,
darah (+). Hasil pemeriksaan darah rutin didapatkan Hb 9 di/gr dan benzidine test (+). Dokter
segera melakukan penatalaksaan pada pasien tersebut.

STEP 1

1. Soepel: lentur atau fleksibel, digunakan sebagai terminologi pemeriksaan fisik abdomen
yang menggambarkan abdomen dengan kontur datar dan lembut pada palpasi (ie: tidak
ada distensi, pembesaran, maupun pengerasan)
2. rectal toucher: pemeriksaan colok dubur yang di periksa klinis untuk perineum, prostat
dll.
3. benzidine test: tes darah samar tinja , yang tidak terlihat pada pemeriksaan makroskopis
dan mikroskopis.

STEP 2

1. mengapa pasien mengalami keluhan tersebut ( BAB cair disertai darah, lemas,neusea,
vomitus, demam, nyeri perut, BB menurun dan tidak nafsu makan)?
2. Bagaimana interpretasi hasil dari pemeriksaan abdomen (soepel, nyeri tekan (+) pada
regio epigastrium)?
3. Mengapa pada pemeriksaan rectal toucher didapatkan kulit disekitar anus pecah, nyeri
tekan (+) ampula kosong dan adanya darah?
4. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan darah rutin Hb 9 gr/dl, dan pada test
benzidine?
5. Bagaimana penegakan diagnosis pada kasus tersebut?
6. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus tersebut?

STEP 3

1. mengapa pasien mengalami keluhan tersebut ( BAB cair disertai darah,


lemas,neusea, vomitus, demam, nyeri perut, BB menurun dan tidak nafsu makan)?
Pasien kemungkinan mengalami inflamasi pada saluran cerna, nyeri perut tidak nafsu
makan karena terjadi adanya respon inflamasi dari infeksi saluran pencernaan sehingga
mangakibatkan malabsorpsi. BAB cair disertai darah karena adanya pendarahan dari GI
tract atas dan bawah, sedangkan pendarah di bagi menjadi 3 hematemeses : sedang,
melena feses kehitaman, dan . nausea dan vomitus dua gejala yang saling berkaitan,
muntah ada 3 fase, masalah pada GI tract adanya inflamasi adanya reseptor .. dikirim lagi
impuls rasa mual, pada fese..
2. Bagaimana interpretasi hasil dari pemeriksaan abdomen (soepel, nyeri tekan (+)
pada regio epigastrium)?
Abdomen normal: datar, soepel adalah fleksibelitas atau lentur pada abdomen, nyeri
tekan adanya tanda – tanda inflamasi pada saluran cerna.
3. Mengapa pada pemeriksaan rectal toucher didapatkan kulit disekitar anus pecah,
nyeri tekan (+) ampula kosong dan adanya darah?
Karena Terjadi perdarah pada daerah sekitat anus/perianal dapat diakibatkan karena
inflamasi yang kronik di dalam saluran cerna. Perdarahan disebabkan karena terjadinya
dilatasi pembuluh darah yakni plexus venous inferior yang menyebabkan juga kerusakan
dari epitel di dalamnya sehingga mengalami rupture yang mengarah pada perdarahan
keluar sampai ke daerah rectum/anus. Karena terjadi perdarahan terjadi inflamasi kronik,
terjadi kerusakan epitel sehingga terjadi perdarah pada anus sehingga hipersekresi pada
mukus dan kelenjar sebasea.
4. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan darah rutin Hb 9 gr/dl, dan pada
test benzidine?
Hb 9 yaitu menurun, normalnya 14 gr/dl, ini anemia difisiensi besi, test benzidine untuk
menilai ketika feses sulit dilihat pada saat pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis
feses.
5. Bagaimana penegakan diagnosis pada kasus tersebut?
Anamnesis : BAB cair, adanya demam, BB menurun,
Pf : konjungtiva anemis, pada daerah bibir , nyeri tekan abdomen pada epigastrium.
SCBA
Anamnesis: riwayat pendarahan, dan riwayat keluarga
Pf: kenaikan nadi, infeksi dengan NGT, aspirat merah terang.
Lab: Hb, fungsi hati, dan kimia dasar.
SCBB
Adanya hemato, bising usus normal.
6. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus tersebut?
Tirah baring, pasien dianjurkan puasa agar pendarahan terhenti, dilakukan transfusi
darah, resusitasi cairan, diet makanan, medikamentosanya obat antidiare seperti
loperamid.

STEP 4

1. mengapa pasien mengalami keluhan tersebut ( BAB cair disertai darah,


lemas,neusea, vomitus, demam, nyeri perut, BB menurun dan tidak nafsu makan)?

2. Bagaimana interpretasi hasil dari pemeriksaan abdomen (soepel, nyeri tekan (+)
pada regio epigastrium)?

Soepel fleksibel dan datar itu normal, nyeri tekana karena adanya abstruksi pada saluran
pencernaan sehingga mengakibatkan nyeri tekan pada abdomen.

3. Mengapa pada pemeriksaan rectal toucher didapatkan kulit disekitar anus pecah,
nyeri tekan (+) ampula kosong dan adanya darah?

4. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan darah rutin Hb 9 gr/dl, dan pada
test benzidine?
pada Hb menurun ini disebut anemia defisiensi besi, pembentukan eritrosit adalah Fe, Fe
tersebut berikatan dengan proton , dan heme . heme berikatan dengan globin menjadi
hemoglobin. Test benzidine adalah pemeriksaan darah samar pada feses yang tidak
terlihat pada makro dan mikro, dikatakan positif jika terjadinya perubahan warna.
5. Bagaimana penegakan diagnosis pada kasus tersebut?
SCBA
melena
Anamnesis: waktu pendarahan, riwayat pendaraha, riwayat keluarga, pengguanaan obat
platelet, alkohol, dan riwayat transfusi, bab cair mual muntah
Pf: ttd sederhana, tekanan nadi naik lebih dari 20, bising usus meningkat, konjungtiva
anemis, lihat pada anus apa ada robekan
Pp: pemasangan NGT, pemeriksaan endoskopi, pemeriksaan lab yaitu Hb dan hematokrit
selama, colonoskopi,darah rutin.
SCBB
hematoceija
Anamnesis:
Pf: bising usus normal,
6. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus tersebut?

MIND MAP
etiologi

kegawatdar
faktor resiko
uratan

pendarahan
gastrointesti
nal
tatalaksana patofisiologi

penegakan manifestasi
diagnosis klinis

STEP 5 (SASARAN BELAJAR)


1. Definisi, etiologi, faktor resiko dari pendarahan gastrointestinal meliputi saluran cerna
bagian atas dan bagian bawah
2. Patofisiologi dan manifestasi klinis
3. Potensi kegawatdaruratan
4. Penegakan diagnosis
5. Penatalaksanaan farmako dan non farmakologi

REFLEKSI DIRI

STEP 6 (BELAJAR MANDIRI )

STEP 7 (PENJELASAN)
A. PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS

Definisi

Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan saluran makanan proksimal
mulai dari esofagus, gaster, duodenum, jejunum proksimal ( batas anatomik di ligamentum
treitz ). Sebagian besar perdarahan saluran cerna bagian atas terjadi sebagai akibat penyakit
ulkus peptikum (PUD, peptic ulcer disease) yang disebabkan oleh H. Pylori atau penggunaan
obat-obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) atau alkohol. Robekan Mallory-Weiss, varises
esofagus, dan gastritis merupakan penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas yang jarang.6

Etiologi dan Patofisiologi

Banyak kemungkinan penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas yaitu 9:

1. Duodenal ulcer

2. Gastric atau duodenal erosions

3. Varices

4. Gastric ulcer

5. Mallory – Weiss tear

6. Erosive esophagitis

7. Angioma

8. Arteriovenous malformation

9. Gastrointestinal stromal tumors

Secara teoritis lengkap terjadinya penyakit atau kelainan saluran cerna bagian atas
disebabkan oleh ketidakseimbangan faktor agresif dan faktor defensif, dimana faktor agresif
meningkat atau faktor defensifnya menurun. Yang dimaksud dengan faktor agresif antara lain
asam lambung, pepsin, refluks asam empedu, nikotin, obat anti inflamasi non steroid (OAINS)
dan obat kortikosteroid, infeksi Helicobacter pylori dan faktor radikal bebas , khususnya pada
pasien lanjut usia. Yang dimaksud dengan faktor defensif yaitu aliran darah mukosa yang baik,
sel epitel permukaan mukosa yang utuh, prostaglandin, musin atau mukus yang cukup tebal,
sekresi bikarbonat, motilitas yang normal, impermeabilitas mukosa terhadap ion H+ dan regulasi
pH intra sel.

Penyebab varises esofagus merupakan yang terbanyak di Indonesia, disebabkan oleh


penyakit sirosis hati. Sirosis hati di Indonesia masih banyak disebabkan oleh infeksi virus
hepatitis B dan hepatitis C. Varises esofagus adalah vena collateral yang berkembang sebagai
hasil dari hipertensi sistemik ataupun hipertensi segmental portal. Saat ini, faktor-faktor
terpenting yang bertanggung jawab atas terjadinya perdarahan varises adalah: tekanan portal,
ukuran varises, dinding varises dan tegangannya, dan tingkat keparahan penyakit hati.

Pada gagal hepar seperti sirosis hepatis kronis, kematian sel dalam hepar mengakibatkan
peningkatan tekanan vena porta. Sebagai akibatnya terbentuk saluran kolateral dalam submukosa
esophagus dan rektum serta pada dinding abdomen anterior untuk mengalihkan darah dari
sirkulasi splenik menjauhi hepar. Dengan meningkatnya tekanan dalam vena ini, maka vena
tersebut menjadi mengembang dan membesar (dilatasi) oleh darah dan timbul varises. Varises
bisa pecah, mengakibatkan perdarahan gastrointestinal masif. Selanjutnya dapat mengakibatkan
kehilangan darah tiba-tiba, penurunan arus balik vena ke jantung dan penurunan curah jantung.
Jika perdarahan menjadi berlebihan, maka akan mengakibatkan penurunan perfusi jaringan.

Dalam berespon terhadap penurunan curah jantung, tubuh melakukan mekanisme


kompensasi untuk mencoba mempertahankan perfusi. Mekanisme ini merangsang tanda-tanda
dan gejala utama yang terlihat. Jika volume darah tidak digantikan, penurunan perfusi jaringan
mengakibatkan disfungsi seluler. Sel-sel akan berubah menjadi metabolisme anaerob dan
terbentuk asam laktat. Penurunan aliran darah akan mengakibatkan/ memberi efek pada seluruh
sistem tubuh dan tanpa suplai oksigen yang mencukupi sistem tersebut akan mengalami
kegagalan.10
Gambar 2. (http://asus10.wordpress.com/hematemesis-melena)

Penyebab perdarahan non varises yang banyak di Indonesia yaitu gastritis erosif, tukak
peptik. Gastritis erosif dan tukak peptik ini berhubungan dengan pemakaian obat anti inflamasi
non steroid (OAINS), infeksi Helicobacter pylori dan stres. Penggunaan NSAIDs merupakan
penyebab umum terjadi tukak gaster. Penggunaan obat ini dapat mengganggu proses peresapan
mukosa, proses penghancuran mukosa, dan dapat menyebabkan cedera. Sebanyak 30% orang
dewasa yang menggunakan NSAIDs mempunyai GI yang kurang baik.

Faktor yang menyebabkan peningkatan penyakit tukak gaster dari penggunaan NSAIDs
adalah usia, jenis kelamin, pengambilan dosis yang tinggi atau kombinasi dari NSAIDs,
penggunaan NSAIDs dalam jangka waktu yang lama, penggunaan disertai antikoagulan, dan
severe comorbid illness. Walaupun prevalensi penggunaan NSAIDs pada anak tidak diketahui,
tetapi sudah tampak adanya peningkatan, terutama pada anak dengan arthritis kronik yang
dirawat dengan NSAIDs. Penggunaan kortikosteroid saja tidak meningkatkan terjadinya tukak
gaster, tetapi penggunaan bersama NSAIDs mempunyai potensi untuk menimbulkan tukak
gaster.11
Gambar 3. (http://physrev.physiology.orgcontentphysrev8841547F2.large.jpg)

Sindroma Mallory-Weiss adalah sebuah kondisi di mana lapisan mukosa di bagian distal
esophagus pada gastroesophageal junction mengalami laserasi yang dapat menyebabkan
hematemesis (muntah darah). Laserasi seringkali juga menyebabkan perdarahan arteri
submukosa. Perdarahan muncul ketika luka sobekan telah melibatkan esophageal venous atau
arterial plexus. Pasien dengan hipertensi portal dapat meningkatkan resiko daripada perdarahan
dibandingkan dengan pasien hipertensi non-portal. Sindrom Mallory-Weiss biasanya sekunder
terhadap peningkatan mendadak tekanan intraabdominal. Faktor pencetus meliputi muntah,
mengedan saat buang air besar, mengangkat beban, batuk, kejang epilepsi, cegukan di bawah
anestesi, dada tertekan, trauma abdomen, preparat kolonoskopi dan gastroskopi.12
Gambar 4. (http://medicinembbs.blogspot.com/2010_12_01_archive.html)

Manifestasi Klinik

Saluran cerna bagian atas merupakan tempat yang sering mengalami perdarahan. Dari
seluruh kasus perdarahan saluran cerna sekitar 80% sumber perdarahannya berasal dari
esofagus,gaster dan duodenum.7

Manifestasi klinis pasien dapat berupa :

 Hematemesis : Muntah darah dan mengindikasikan adanya perdarahan saluran cerna atas,
yang berwarna coklat merah atau “coffee ground”.
 Melena : Kotoran (feses) yang berwarna gelap yang dikarenakan kotoran bercampur asam
lambung, biasanya mengindikasikan perdarahan saluran cerna bagian atas, atau perdarahan
daripada usus-usus ataupun colon bagian kanan dapat juga menjadi sumber lainnya.
 Penampilan klinis lainnya yang dapat terjadi adalah anemia, sinkope, instabilitas
hemodinamik karena hipovolemik dan gambaran klinis dari komorbid seperti penyakit hati
kronis, penyakit paru, penyakit jantung, penyakit ginjal.7,9

Diagnosis

Seperti dalam menghadapi pasien-pasien gawat darurat lainnya dimana dalam


melaksanakan prosedur diagnosis tidak harus selalu melakukan anamnesis yang sangat cermat
dan pemeriksaan fisik yang sangat detil, dalam hal ini yang diutamakan adalah penanganan A - B
– C ( Airway – Breathing – Circulation ) terlebih dahulu. Bila pasien dalam keadaan tidak stabil
yang didahulukan adalah resusitasi ABC. Setelah keadaan pasien cukup stabil maka dapat
dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lebih seksama.7

a. Anamnesis
Pada anamnesis yang perlu ditanyakan adalah riwayat penyakit hati kronis, riwayat
dispepsia,riwayat mengkonsumsi NSAID,obat rematik,alkohol,jamu –jamuan,obat untuk
penyakit jantung,obat stroke. Kemudian ditanya riwayat penyakit ginjal,riwayat penyakit
paru dan adanya perdarahan ditempat lainnya. Riwayat muntah-muntah sebelum terjadinya
hematemesis sangat mendukung kemungkinan adanya sindroma Mallory Weiss.

Dalam anamnesis yang perlu ditekankan13 :

1. Sejak kapan terjadinya perdarahan dan berapa perkiraan darah yang keluar
2. Riwayat perdarahan sebelumnya
3. Riwayat perdarahan dalam keluarga
4. Ada tidaknya perdarahan dibagian tubuh lain
5. Penggunaan obat-obatan terutama antiinflamasi nonsteroid dan antikoagulan
6. Kebiasaan minum alkohol
7. Mencari kemungkinan adanya penyakit hati kronis, demam berdarah, demam tifoid,
GGK, DM, hipertensi, alergi obat-obatan
8. Riwayat transfusi sebelumnya

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan awal perdarahan saluran cerna

Adanya stigmata penyakit hati kronik, suhu badan dan perdarahan di tempat lain, tanda –
tanda Langkah awal menentukan beratnya perdarahan dengan memfokuskan status
hemodinamiknya. Pemeriksaan meliputi :

 Tekanan darah dan nadi posisi baring


 Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi
 Ada tidaknya vasokonstriksi perifer ( akral dingin )
 Kelayakan nafas
 Tingkat kesadaran
 Produksi urin.

Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20 % volume intravaskular akan


mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil dengan tanda – tanda sebagai berikut:

 Hipotensi ( tekanan darah < 90/60 mmHg , frekuensi nadi > 100x/menit )
 Tekanan diastolik ortostatik turun > 10 mmHg atau sistolik turun > 20 mmHg
 Frekuensi nadi ortostatik meningkat > 15/menit
 Akral dingin
 Kesadaran menurun
 Anuria atau oliguria

Kecurigaan perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai kondisi hemodinamik
tidak stabil ialah bila ditemukan: hematemesis, hematokezia, darah segar pada aspirasi pipa
nasogastrik dengan, hipotensi persisten, 24 jam menghabiskan transfusi darah melebihi 800 –
1000 mL.13

Pada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan kulit dan mukosa penyakit sistematik. Perlu
juga dicari stigmata pasien dengan sirosis hati karena pada pasien sirosis hati dapat disertai
gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, ikterus dengan air kemih berwarna
seperti teh pekat, muntah darah atau melena

Pemeriksaan fisik lainnya yang penting yaitu masa abdomen, nyeri abdomen, rangsangan
peritoneum, penyakit paru, penyakit jantung, penyakit rematik dll. Pemeriksaan yang tidak
boleh dilupakan adalah colok dubur. Warna feses ini mempunyai nilai prognostik. Dalam
prosedur diagnosis ini penting melihat aspirat dari Naso Gastric Tube (NGT). Aspirat
berwarna putih keruh menandakan perdarahan tidak aktif, aspirat berwarna merah marun
menandakan perdarahan masif sangat mungkin perdarahan arteri. Seperti halnya warna feses
maka warna aspirat pun dapat memprediksi mortalitas pasien. Walaupun demikian pada
sekitar 30% pasien dengan perdarahan tukak duodeni ditemukan adanya aspirat yang jernih
pada NGT.7
c. Pemeriksaan penunjang
Kelengkapan pemeriksaan yang perlu diperhatikan13 :
1. Elektrokardiagram (terutama pasien berusia > 40 tahun)
2. BUN, kreatinin serum
3. Elektrolit (Na, K, Cl)
4. Pemeriksaan lainnya :
1) Endoskopi

Dalam prosedur diagnosis ini pemeriksaan endoskopi merupakan gold standard.


Tindakan endoskopi selain untuk diagnostik dapat dipakai pula untuk terapi.
Prosedur ini tidak perlu dilakukan segera( bukan prosedur emergensi), dapat
dilakukan dalam kurun waktu 12 - 24 jam setelah pasien masuk dan keadaan
hemodinamik stabil . Tidak ada keuntungan yang nyata bila endoskopi dilakukan
dalam keadaan darurat. Dengan pemeriksaan endoskopi ini lebih dari 95% pasien-
pasien dengan hemetemesis, melena atau hematemesis –melena dapat ditentukan
lokasi perdarahan dan penyebab perdarahannya.7

Lokasi dan sumber perdarahan

 Esofagus :Varises,erosi,ulkus,tumor
 Gaster :Erosi,ulkus,tumor,polip,angiodisplasia,varises,gastropati kongestif
 Duodenum :Ulkus,erosi,tumor,divertikulitis

Di Negara barat tukak peptic berada di urutan pertama penyebab perdarahan


SCBA dengan frekuensi sekitar 50%. Walaupun pengelolaan perdarahan SCBA
telah banyak berkembang namun mortalitasnya relative tidak berubah. Hal ini
dikarenakan bertambahnya kasus perdarahan dengan usia lanjut dan akibat
komorbiditas yang menyertai.13

Klasifikasi aktivitas perdarahan tukak peptic menurut Forest :

 Forrest Ia :Tukak dengan perdarahan aktif dari arteri


 Forrest Ib :Tukak dengan perdarahan aktif berupa oozing
 Forrest II : Perdarahan berhenti dan masih terdapat sisa-sisa perdarahan
 Forrest III : Perdarahan berhenti tanpa sisa perdarahan

Gambar 5. Gambaran endoskopi pada pasien gastric ulcer akibat penggunaan NSAIDs dan
test H.Pylori negatif (Vakil, N., 2010)

Gambar 6. Gambaran endoskopi pada pasien duodenal ulcer dengan test H.Pylori positif
tetapi tidak ada riwayat penggunaan NSAIDs (Vakil, N., 2010)
Gambar 7. Gambaran endoskopi dari esophageal varices (Shah, V.H., et al., 2010)

Gambar 8. Gambaran endoskopi pada pasien Mallory-Weiss Tear (Savides, T.J., et al.,
2010)
2) Angiography
Angiography dapat digunakan untuk mendiagnosa dan menatalaksana
perdarahan berat, khususnya ketika penyebab perdarahan tidak dapat ditentukan
dengan menggunakan endoskopi atas maupun bawah.7

3) Conventional radiographic imaging


Conventional radiographic imaging biasanya tidak terlalu dibutuhkan pada
pasien dengan perdarahan saluran cerna tetapi adakalanya dapat memberikan
beberapa informasi penting. Misalnya pada CT scan; CT Scan dapat
mengidentifikasi adanya lesi massa, seperti tumor intra-abdominal ataupun
abnormalitas pada usus yang mungkin dapat menjadi sumber perdarahan.7
Tabel 2. Perbedaan perdarahan SCBA dan SCBB13

Perdarahan SCBA Perdarahan SCBB


Manifestasi klinik pada umumnya Hematemesis dan atau melena Hematokezia
Aspirasi nasogatrik Berdarah Jernih
Rasio (BUN/kreatinin) Meningkat > 35 < 35
Auskultasi Usus hiperaktif Normal

Penatalaksanaan

STABILISASI HEMODINAMIK PADA PERDARAHAN SALURAN CERNA

Pada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan infus cairan kristaloid (misalnya cairan
garam fisiologis dengan tetesan cepat dengan menggunakan dua jarum berdiameter besar
(minimal 16 G) dan pasang monitor CVP (central venous pressure); tujuannya memulihkan
tanda-tanda vital dan mempertahankan tetap stabil. Biasanya tidak sampai memerlukan cairan
koloid (misalnya dekstran) kecuali pada kondisi hipoalbuminemia berat. Secepatnya kirim
pemeriksaan darah untuk menentukan darah golongan darah, kadar hemoglobin, hematokrit,
trombosit, leukosit. Adanya kecurigaan diatesis hemoragik pelu ditindaklanjuti dengan
melakukan test rumple-leed, pemeriksaan waktu perdarahn, waktu pembekuan, retraksi bekuan
darah, PPT dan aPTT.

Kapan transfusi darah diberikan sifatnya sangat individual tergantung dengan jumlah darah yang
hilang, perdarahan masih aktif atau sudah berhenti, lamanya perdarahan berlangsung, dan akibat
klinik perdarahan tersebut. Pemberian transfusi darah dapa perdarahan saluran cerna
dipertimbangkan pada keadaan berikut ini :

1. Perdarahan dalam kondisi hemodinamik tidak stabil


2. Perdarahan baru atau masih berlangsung dan diperkirakan jumlahnya 1 liter atau lebih
3. Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan hemoglobin kurang dari 10 gr% atau
hematokrit kurang dari 30%
4. Terdapat tanda-tanda oksigenasi jaringan yang menurun

Perlu dipahami bahwa nilai hemtokrit untuk memperkirakan jumlah perdarahan kurang akurat
bila perdarahan sedang atau baru berlangsung. Proses hemodilusi dari cairan ekstravaskular
selesai 24-72 jam setelah onset perdarahan. Target pencapaian hematokrit setelah transfusi darah
tergantung kasusyang dihadapi, untuk usia muda dengan kondisi sehat cukup 20-25%, usia lanjut
30%, sedangkan pada hipertensi portal jangan melebihi 27-28%.13

TERAPI PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS

Non-Endoskopis

a. Kumbah lambung
Salah satu usaha menghentikan perdarahan yang sudah lama dilakukan adalah kumbah
lambung lewat pipa nasogastrik dengan air suhu kamar. Prosedur ini diharapkan
mengurangi distensi lambung dan memperbaiki proses hemostatik, namun demikian
manfaatnya dalam menghentikan perdarahan tidak terbukti. Kumbah lambung ini sangat
diperlukan untuk persiapan pemeriksaan endoskopi dan dapat dipakai untuk membuat
perkiraan kasar jumlah perdarahan. Berdasarkan percobaan hewan, kumbah lambung
dengan air es kurang menguntungkan, waktu perdarahan menjadi memanjang,perfusi
dinding lambung menurun dan bisa timbul ulserasi pada mukosa lambung.

b. Pemberian vitamin K
Pemberian vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronis yang mengalami perdarahan
SCBA diperbolehkan, dengan pertimbangan pemberiaan tersebut tidak merugikan dan
relatif murah.
c. Vasopressin
Vasopressin dapat menghentikan perdarahan SCBA lewat efek vasokonstriksi pembuluh
darah splanknik, menyebabkan aliran darah dan tekanan vena porta melihat. Digunakan di
klinik untuk perdarahan akut varises esofagus sejak 1953. Pernah dicobakan pada
perdarahan non varises, namun berhentinya perdarahan tidak berbeda dengan plasebo.
Terdapat dua bentuk sediaan, yakni pitresinyang mengandung vasopressin murni dan
preparat pituitari gland yang mengandung vasopressin dan oksitosin. Pemberiaan
vasopressin dilakukan dengan mengencerkan sediaan vasopressin 50 unit dalam 100 ml
dekstrose 5%, diberikan 0,5-1 mg/menit/IV selama 20-60 menit dan dapat diulang tiap 3
sampai 6 jam; atau setelah pemberian pertama dilanjutkan per infus 0,1-0,5 U/menit.
Vasopressin dapat menimbulkan efek samping serius berupa insufisiensi koroner
mendadak, oleh karena itu pemberiannya disarankan bersamaan preparat nitrat, misalnya
nitrogliserin intravena dengan dosis awal 40 mcg/menit kemudian secara titrasi dinaikkan
sampai maksimal 400mcg/menit dengan tetap mempertahankan tekanan sistolik di atas 90
mmHg.
d. Somatostatin dan analognya (octreotid)
Somatostatin dan analognya (octreotid) diketahui dapat menurunkan aliran darah
splanknik, khasiatnya lebih selektif dibanding dengan vasopressin. Penggunaan di klinik
pada perdarahan akut varises esofagus dimulai sekitar tahun 1978. Somatostatin dapat
menghentikan perdarahan akut varises esofagus pada 70-80% kasus, dan dapat pula
digunakan pada perdarahan non varises. Dosis pemberian somastatin, diawali dengan bolus
250 mcg/iv, dilanjutkan per infus 250 mcg/jam selama 12-24 jam atau sampai perdarahan
berhenti, octreotid dosis bolus 100 mcg intravena dilanjutkan perinfus 25 mcg/jam selama
8-24 jam atau sampai perdarahan berhenti.
e. Obat-obatan golongan antisekresi asam
Obat-obatan golongan antisekresi asam yang dilaporkan bermanfaat untuk mencegah
perdarahan ulang SCBA karena tukak peptik ialah inhibitor proton dosis tinggi. Diawali
oleh bolus omeprazole 80 mg/iv kemudian dilanjutkan per infus 8 mg/KGBB/jam selama
72 jam, perdarahan ulang pada kelompok plasebo 20% sedangkan yang diberi omeprazole
hanya 4,2%. Suntikan omeprazole yang beredar di Indonesia hanya untuk pemberian bolus,
yang bisa digunakan per infus ialah persediaan esomeprazole dan pantoprazole dengan
dosis sama seperti omeprazole. Pada perdarahan SCBA ini antasida, sukralfat, dan
antagonis reseptor H2 dalam mencegah perdarahan ulang SCBA karena tukak peptik
kurang bermanfaat.
f. Balon tamponade
Penggunaan balon tamponade untuk menghentikan perdarahan varises esofagus dimulai
sekitar tahun 1950, paling populer adalah sengstaken blakemore tube (SB-tube) yang
mempunyai 3 pipa serta 2 balon masing-masing untuk esofagus dan lambung. Komplikasi
pemasangan SB-tube yang bisa berakibat fatal ialah pneumonia aspirasi, laserasi sampai
perforasi. Pengembangan balon sebaiknya tidak melebihi 24 jam. Pemasangan SB-tube
seyogyanya dilakukan oleh tenaga medik yang berpengalaman dan ditidaklanjuti dengan
observasi yang ketat.13

ENDOSKOPIS

Terapi endoskopi ditujukan pada perdarahan tukak yang masih aktif atau tukak dengan
pembuluh darah yang tampak. Metode terapinya meliputi:

1) Contact thermal (monopolar atau bipolar elektrokoagulasi, heater probe)


2) Noncontact thermal (laser 3). Nonthermal (misalnya suntikan adrenalin, polidokanol,
alkohol, cyanoacrylate, atau pemakain klip).

Berbagai cara terapi endoskopi tersebut akan efektif dan aman apabila dilakukan ahli
endoskopi yang termapil dna berpengalaman. Endoskopi terapeutik ini dapat diterapkan pada
90% kasus perdarahan SCBA, sedangkan sisanya 10% sisanya tidak dapat dikerjakan karena
alasan teknis seperti darah terlalu banyak sehingga pengamatan terhalang atau letak lesi tidak
terjangkau. Secara keseluruhan 80% perdarahan tukak peptik dapat berhenti spontan, namun
pada kasus perdarahan arterial yang bisa berhenti spontan hanya 30%.

Terapi endoskopi yang relatif murah dan tanpa banyak peralatan pendukung ialah
penyuntikan submukosa sekitar titik perdarahan dengan menggunakan adrenalin 1 : 10000
sebanyak 0,5-1 ml tiap kali suntik dengan batas dosis 10 ml atau alkohol absolut (98%) tidak
melebihi 1 ml. Penyuntikan bahan sklerosan sepert alkohol absolut atau polidoklonal umumnya
tidak dianjurkan karena bahaya timbulnya tukak atau perforasi akibat nekrosis jaringan dilokasi
penyuntikan. Keberhasilan terapi endoskopi dalam menghentikan perdarahan bisa mencapai di
atas 95% dan tanpa terapi tambahan lainnya perdarahan ulang frekuensinya sekitar 15-20%.

Hemostasis endoskopi merupakan terapi pilihan pada perdarahan karena varises esofagus.
Ligasi varises merupakan pilihan pertama untuk mengatasi perdarahan varises esofagus. Dengan
ligasi varises dapat dihindari efek samping akibat pemakaian sklerosan, lebih sedikit frekuensi
terjadinya ulserasi dan striktur. Ligasi dilakukan mulai distal mendekati kardia bergerak spiral
setiap 1-2 cm. Dilakukan pada varises yang sedang berdarah atau bila ditemukan tanda baru
mengalami perdarahan seperti bekuan yang melekat, bilur-bilur merah, noda hematokistik, vena
pada vena. Skleroterapi endoskopi sebagai alternative bila ligasi endoskopi sulit dilakukan
karena perdarahan yang massif, terus berlangsung, atau teknik tidak memungkinkan. Sklerosan
yang bisa digunakan antarla lain campuran sama banyak polidokanol 3%, NaCl 0,9% dan
alkohol absolut. Campuran dibuat sesaat sebelum skleroterapi dikerjakan. Penyuntikan dimulai
dari bagian paling distal mendekati kardia dilanjutkan ke proksimal bergerak spiral sampai
sejauh 5cm. Pada perdarahan varises lambung dilakukan penyuntikan cyanoacrylate, skleroterapi
untuk varises lambung kurang baik.13

TERAPI RADIOLOGI

Terapi angiografi perlu pertimbangkan bila perdarahan tetap berlangsung dan belum bisa
ditentukan asal perdarahan, atau bila terapi endoskopi dinilai gagal dan pembedahan sangat
berisiko. Tindakan hemostasis yang bisa dilakukan dengan penyuntikan vasopressin atau
embolisasi arterial. Bila dinilai tidak ada kontra indikasi dan fasilitas dimungkinkan, pada
perdarahan varises dapat dipertimbangkan TIPS (Trans Jugular Intrahepatic Porto Systemic
Shunt). 13

PEMBEDAHAN

Pembedahan pada dasarnya dilakukan bila terapi medik, endoskopi dan radiologi dinilai
gagal. Ahli bedah seyogyanya dilibatkan sejak awal dalam bentuk tim multi disipliner pada
pengelolaan kasus perdarahan SCBA untuk menentukan waktu yang tepat kapan tindakan bedah
baiknya dilakukan. 13
Gambar 9. Penanganan Perdarahan Saluran Cerna14

Prognosis

Identifikasi letak perdarahan adalah langkah awal yang paling penting dalam pengobatan.
Setelah letak perdarahan terlokalisir, pilihan pengobatan dibuat secara langsung dan kuratif.
Meskipun metode diagnostik untuk menentukan letak perdarahan yang tepat telah sangat
meningkat dalam 3 dekade terakhir, 10-20% dari pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian
bawah tidak dapat dibuktikan sumber perdarahannya. Oleh karena itu, masalah yang kompleks
ini membutuhkan evaluasi yang sistematis dan teratur untuk mengurangi persentase kasus
perdarahan saluran cerna yang tidak terdiagnosis dan tidak terobati.
Dalam penatalaksanaan perdarahan SCBA banyak faktor yang berperan terhadap hasil
pengobatan. Ada beberapa prediktor buruk dari perdarahan SCBA antara lain, umur diatas 60
tahun, adanya penyakit komorbid lain yang bersamaan, adanya hipotensi atau syok, adanya
koagulopati, onset perdarahan yang cepat, kebutuhan transfusi lebih dari 6 unit, perdarahan
rekurens dari lesi yang sama. Setelah diobati dan berhenti, perdarahan SCBA dapat berulang lagi
atau rekurens. Secara endoskopik ada beberapa gambaran endoskopik yang dapat memprediksi
akan terjadinya perdarahan ulang antara lain tukak peptik dengan bekuan darah yang menutupi
lesi, adanya visible vessel tak berdarah, perdarahan segar yang masih berlangsung.15
DAFTAR PUSTAKA

1. Makanan Diet Sehat, sistem pencernaan manusia. Available from:


http://makanandietsehat.com/sistem-pencernaan-manusia/. ( Accessed 7 Mei 2014)
2. Sherwood, L. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi ke-6. Jakarta: EGC
3. Faradillah, Firman, dan Anita. 2009. Gastro Intestinal Track Anatomical Aspect. Surakarta :
Keluarga Besar Asisten Anatomi FKUNS.
4. Price S. Wilson L.2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed 6. Vol 1.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
5. Guyton, AC dan Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed: ke-9 . Jakarta: EGC
6. Dubey, S., 2008. Perdarahan Gastrointestinal Atas. Dalam: Greenberg, M.I., et
al. Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan Greenberg Vol 1. Jakarta: Penerbit Erlangga
7. Djumhana A;Hadi S;Abdurachman SA;Wijojo J;Saketi R: Upper GI bleeding in Hasan
8. Holster IL, Kuipers EJ. Management of acute nonvariceal upper gastrointestinal bleeding:
current policies and future perspectives. World J Gastroenteral. 2012; 18:1207-7
9. Porter, R.S., et al., 2008. The Merck Manual of Patient Symptoms. USA: Merck Research
Laboratories
10. de Franchis R. Evolving Consensus in Portal Hypertension Report of the Baveno IV
Consensus Workshop on methodology of diagnosis and therapy in portal hypertension
-Special report. J Hepatology 2005;43:167-176
11. Anand, B.S., Katz, J., 2011. Peptic Ulcer Disease, Medscape Reference, Professor.
Department of Internal Medicine, Division of Gastroenterology, Baylor College of Medicine.
Available from:http://emedicine.medscape.com/ ( Accessed 23 April 2011)
12. Jutabha, R., et al. 2003. Acute Upper Gastrointestinal Bleeding. Dalam: Friedman, S.L., et al.
Current Diagnosis & Treatment in Gastroenterology 2 ed. USA: McGraw-Hill Companies,
53 – 67.
13. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus SK, Setiati S. 2007. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
14. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas. Available From :
http://www.dokterbedahherryyudha.com/. (Accesed 29 Juni 2009)
15. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas. Available Form :
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/viewFile/75/78. (Accesed
September 2013)

Anda mungkin juga menyukai