Anda di halaman 1dari 62

RESUME PBL

SKENARIO 2
“ BERCAK PADA KULIT YANG TERASA BAAL ’’

NAMA : LUGINO
NPM : 114170035
KELOMPOK: 1A
TUTOR : dr. KARTIKA DWI APRISIA

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2021
SKENARIO 2

Bercak pada kulit yang terasa baal

Seorang wanita berusia 30 tahun datang dengan keluhan bercak kemerahan pada lengan kanan
sejak ± 2 minggu yang lalu. Awalnya bercak kecil dan lama kelamaan semakin banyak. Pasien
juga mengeluhkan muncul benjolan di leher yang terasa nyeri. Keluhan demam, gatal maupun
rasa terbakar disangkal. Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum dalam batas normal. Status
dermatologikus ditemukan macula eritematosa tersebar diskret pada lengan kanan hingga
punggung, berukuran nummular sampai plakat, tepi lesi sebagian tegas dan Sebagian lagi tidak
tegas. Pada leher didapatkan nodul multiple dokter mengusullkan untuk dilakukan pemeriksaan
BTA. Dokter lalu memberikan tatalaksana dan edukasi terkait penyakit pasien.

STEP 1 - Klarifikasi Istilah

1. Macula eritematosa: bercak, bintik, atau oenebalan terutamaa yang dapat dibedakan dari
sekelilingnya karena warna atau karakteristik lainnya.
2. Diskret: penyebaran dari lesi pada kulit yang terpisah satu dengan yang lain
3. Nummular: suatu peradangan pada kulit berbentuk koin atau oval disertain dengan kulit
yang gatal dan lepuhan-lepuhan kecil
4. Plakat: suatu peninggian diatas permukaan kulit seperti dataran tinggi atau mendatar yang
berbentuk >0.5
5. Pemeriksaan BTA: pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi bakteri dari penyebab
tuberculosis
6. Nodul: penonjolan padat diatas permukaan kulit, diatemeter>0.5 cm

STEP 2 - Rumusan Masalah

1. Mengapa pasien dapat mengalami keluhan muncul bercak kemerahan pada lengan kanan?
2. Mengapa bercak menjadi semakin banyak dan muncul benjolan pada leher?
3. Mengapa dokter mengusulkan untuk dilakukan pemeriksaan BTA?
4. Bagaimana penegakan diagnosis yang tepat pada kasus tersebut?
5. Bagaimana tatalaksana dan edukasi pada kasus tersebut?

STEP 3 - Analisis Masalah


1. Pada pasien Kemungkinan mengalami infeksi. Sesuai dengan status dermatologi terdapat
maculla eritem tersebar diskret pada lengan kanan hingga punggung, berukuran
nummular sampai plakat. Bercak merah dapat disebabkan berbagai macam etiologi:
alergi, serangga, dermatitis, bakteri: myobacterium, stapilococcus.
2. Kemungkinan disebabkan oleh myobacterium leprae, myobacterium tersebut bakal
menyebabkan reaksi kusta tipe 2, yang nanti jika berat akan menyebabkan kerah limfe .
ketika patogen masuk lalu penetrasi ke tubuh, menyerang kulit dan saraf perifer, semakin
banyak lesi maka akan menyebabkan benjolan pada leher. Biasanya akan terjadi
gangguan saraf, dan fibrosis, dan adanya penebalan, yang merangsang mediator
inflamasi, yang nanti bisa menyebabkan benjolan
3. Tadikan ada myobacterium lepra yang merupakan basil tahan asam. Yang bertahan baik
pada suatu jaringan contohnya dikulit. Dilakukan pemeriksaan kerokan kulit yang
merupakan pemeriksaan sediaan yang dilakukan sayatan pada kulit, yang nanti diberi
cairan asam, untuk mengetahui myobacterium leprae nya.
4. Ektremitas: sensori neurophaty, plantar ulcers. Pada hidung kongesti nasal kronis,
epitaksis.mata : lagoftalmus, insesitiftas kornea. Ciri khas lesi: nodul multiple, xerotic
skin, plakat. Muliple anesthetic ulcers (berbahaya karena bisa terjadi hilang sensasi).
Lepra merupakan infeski granulomatosa kronik. Penegakan diagnois nya melalui 3 aspek:
gejala klinis. Dari pemeriksaan bta denganpewarnaan ziehl neelsen.
5. Lepra ada yang pausibaciller dan multibasiler: kalau yang pausibasiler diberi rifampicin
dan dapsone. Kalau yang multicbasiler diberikan rifamficin, dapsone, dan clofazimine

STEP 4 - Sistematika Masalah

1. Pasien kemungkinan terkena myobacterium leprae. Myobactreium lepra ini masuk nya
lewat droplet atau kontak dengan kulit, yang bakal masuk ke dermis sel saraf schwan,
yang akan menyebabkan sist imun seluler mengikat, lalu fagositosis dan pembentukan
tubercel, akan menyebabkan morbus hensen, ada yang pausibasiler dan multisabiler.
Saraf otonom lalu ke kelenjar minyak, lalu kulit nya akan kering bersisik, lalu gangguan
fungsi kulit dan menyebabkan gangguan integritas kulit. Disebabkan oleh myobacterium
lepra, melalui droplet, masa inkubasi nya lama. Patof: masuk melalui droplet, terinhalasi,
masuk ke saluran pernafasan, aktivasi sel t dan makrofag, ke sirkulasi dan ke kulit lalu ke
saraf di sel schwan. Suhu sel schwaan 27 derajat. Nanti stimulasi nya akan menjadi
sensasi saraf menurun. Lepra kaitannya dengan sist imun seluler individunya, kalau sel
imun nya lemah terjadi yang multibasiler, kalau imunnya kuat terjadi nya pausibasiler.
2. Karena adanya penyerangan pada saraf perifer sehingga bisa penonjolan di leher. Stage
of involment: stage of damage: tingkatan saraf yang lebh rusak, stage of destruction:
kerusakan saraf yang lengkap. Type kusta yang PB dan MB, kalau yang penonjolan
masuk nya ke tipe yang MB.
3. Pemeriksaan hapusan kulit sensitivitas nya rendah, disebebkan karena pemeriksaan
tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pada pemeriksaan tersebut setelah specimen
diambil lalu dilakukan pewarnaan zeihl neelsen dan di lihat di mikroskop lalu dihitung
lapang pandang, menurut skala logaritma ridley. Myobacterium lepra merupakan bakteri
yang tahan asam. Kalau pemeriksaan bta negatif itu belum tentu tidak adanya kuman,
bisa ada nya yang tipe pausibasiler, kalau bta positif itu tipe yang multibasiler.
Pemeriksaan dilihat dari indeks bakterinya yang tujuannya melihat apakah terajdi
resistensi kumah bta nya terlihat atau tidak, dan untuk terapi nya. Untuk melihat
ingfeksiusitas dari penyakit nya. Skala logaritma ridley: +1 1-10 bta dalam 100 lapang
pandang. +2 1-10 BTA dalam 10 lapang pandang.
4. Anamnesis: keluhan lesi pada kulit, bercak merah atau putih di kulit dan mati rasa, kulit
mengilap dan bersisik, ada bagian kulit yang tidak berambut dan berkeringat, adanya rasa
kesemutan atau ditusuk-tusuk, kelemahan anggota gerak, deformitas, lahir dan tinggal di
tempat endemis. PF: perahatikan setiap jaringan kulit, deformitas wajah, tangan kaki.
Palpasi: penebalan saraf. Pemeriksaan fungsi sensorik untuk menentukan apakah
sentuhan tersebut terasa atau tidak. Pp: BTA. Klasifikasi tanda utama: bercak lepra, PB=5
MB=lebih dari 5. Penebalan saraf tepi, PB= 1 saraf, MB=lebih dari 1 saraf. BTA, PB= -
Mb=+. Perbedaan barat dan ringan: reaksi tipe 1 dan 2, ringan: terdapat bercak putih
merah, tidak ada edema ekstremitas. Tipe 2: bercak putih merah jadi merah, nodus merah
tebal panas dan nyeri sering jadi ulkus dan jml nya banyak. Reaksi sraf tepi: membesar
dan tidak nyeri, yang berat: mebesar nyeri, tipe 2: membesar tidak nyeri, berat: membesar
nyeri dan reaksi daraf terganggu. Tipe 1 tidak ada demam kalo yang ringan kalo berat ada
demam. Kali yang tip2 ada demam. Reaksi organ lain: tidak ad hanya terdapat di reaksi
tipe 2 yang berat. 3 aspek: gejala klinis, bakteriostatik, histopatologi. Gejala klinis:
deformitas; perubahan yang ringan dan sekunder, kalo ringan merusak disekitar nya, kalo
yang sekunder berkaitan dengan sistem saraf. Pemeriksaan Lab atau BTA: untuk melihat
apakah negatif atau positif, untuk melihat sediaan mengambil di 6 tempat: 2 cuping
telinga, 2 distal jari telunjuk, tengah dan 2 lagi dari lesi. Pemeriksaan histopatologis:
melihat tpye yan PB akan tampak gambaran tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih
nyata, basil sedikit dan Non solid. Kalau yang Mb: terdapat suatu daerah langsung
dibawah epidermis, banyak bakteri myobacteriumlepra nya.
5. Tatalaksana: dapsone bersifat bakteristatik. Efek samping: insomnia, hepatitis, anemia
hemolitik. Rimpaficin; gangguan gi, erupsi kulit, hepato toksik. Nonn farmako: pasien
secara rutin menjaga kebersian diri, tangan atau kaki dapat direndam 10-15m enit, lesi
paling baik dilakukan abrasi dengan bilas kapa, menjanga kelembapan dapat diberikan
pelembab topikal, menghindari tekanan yang berlebih terutama pada regio yang ada lesi
nya. tatalaksana ketika terjadi reaksi kusta: tipe 1: obat utama dilanjutkan, kalau Mb
lanjutkan Mb dan begitu juga yang pb, obat kedua dari symptom gejala nya, diberikan
kortikostreoid: prednison. Tip2 : obat utama dilanjutkan, symptom, prednosin, clofamisin
ditingkatkan dosis nya. Lepra pb: dewasa lama pengobatan 6-9 bulan ada obat bulanan
dan harian, obat bulanan diminum di depan petugas, anak-anak: minu depan petugas 2
kapsul ripamficin 150mg 2 kapsul, harian dapsone 1 tablet 50mg. Lepra Mb: 12- 18
bulan. Pengobatan 2 kapsul ripamficin di depan petugas, 1 tablet clofaizimindan dapsone
yang per hari. Anak-anak: 2 kapsul ripamficin, dapsone 1 tablet 50 mg. Pengobatan
kedua sampai seterusnya clofazimine selang sehari dan dapsone 50 mg. Pasien iibu
hamil: regimen mdt aman dikonsumsi oleh ibu hamil dan menyusi, obat anti tb daoat di
berikan berbarengan dengan anti lepra, dosis pb menebmahkan 100 mg, mb diberi
dapsone dan clofazimine. Untuk pasien tb alergi dapson diganti clofazmine, yang
diberikan hanya ripamficin dan clofazimin.

MIND MAP
kelainan kulit
akibat
mycobacterium

penegakan
diagnosis: diagnosis
etiologi faktor risiko patofisiologi anamnesis, pf, tatalaksana banding: -
pp Morbus Hansen
(PB&MB)
- Reaksi Lepra
- Eritema
nodosum leprae
- Skrofuloderma

TB cutis: -
exogenous
infection
- endogenous
spread
- tuberculosis due
to BCG
tuberculids

STEP 5 – Sasaran Belajar

1. Bagaimana etiologi, faktor risiko, patofisiologi, penegakan diagnosis, dan tatalaksana


dari lepra?
2. Apa saja diagnosis banding dan bagaimana etiologi, faktor risiko, patofisiologi,
penegakan diagnosis, dan tatalaksana:
a. Reaksi lepra
b. Eritema nodosum leprae
c. skrofuloderma
3. Bagaimana Casification of cutaneus Tuberculosis:
a. Exogenous infection
b. Endogenous spread
c. Tuberculosis duet o BCG
d. Tuberculids

REFLEKSI DIRI

Alhamdulilah PBL 1 berjalan lancar semoga pertemuan selanjutnya lebih baik

STEP 6 – Belajar Mandiri

- BELAJAR MANDIRI

STEP 7 – Penjelasan

1) MORBUS HANSEN

Definisi Kusta
Penyakit Hansen atau Penyakit Morbus Hansen yang dahulu dikenal sebagai Penyakit
Kusta atau Lepra adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae
dan biasanya mempengaruhi kulit serta saraf tepi, namun memiliki berbagai macam manifestasi
klinis. (WHO, 2010). Penyakit ini ditandai dengan borok dari tulang dan kulit yang
menyebabkan hilangnya sensasi, lumpuh, gangrene, dan deformasi. (The American Heritage-
Dictionary of the English language).
Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan gejala-gejala
kulit secara umum.. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa
dari saluran pernafasan atas dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila
tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf,
anggota gerak dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak
menyebabkan pelepasan anggota tubuh sebegitu mudah seperti pada penyakit tzaraath yang
digambarkan dan sering disamakan dengan kusta.(Pusdatin,2015)

Penyebab Kusta
Penyebab penyakit kusta adalah kuman kusta ( mycobacterium leprae), yang
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1–8 mic, lebar 0,2–0,5 mic biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam
(BTA).
Gambar .Mycobacterium Leprae
Masa belah diri kuman kusta adalah memerlukan waktu yang sangat lama
dibandingkan dengan kuman lain, yaitu 12-21 hari. Hal ini merupakan salah satu
penyebab masa tunas lama yaitu rata-rata 2–5 tahun. Pertumbuhan optimal dari kuman
kusta adalah pada suhu 27°-30°C.

Klasifikasi dan Kriteria Kusta


Untuk keperluan pengobatan kombinasi atau Multidrug Therapy (MDT) yaitu
menggunakan gabungan Rifampicin, Lamprene dan DDS, maka penyakit kusta di
Indonesia diklasifikasikan menjadi 2 tipe yaitu :
a. Tipe PB (Pausi basiler).
b. Tipe MB (Multi basiler).
Dalam menentukan klasifikasi tipe PB dan MB didasarkan pada criteria seperti
tabel dibawah ini. Penentuan tipe tidak boleh berpegang pada hanya salah satu dari kriteria,
akan tetapi harus dipertimbangkan dari seluruh criteria.

Tabel 1.1 Kriteria untuk tipe PB dan MB (Depkes RI-Buku pedoman pemberantasan
kusta, 2007)
Kelainan kulit dan hasil
PB MB
pemeriksaan bakteriologis
1. Bercak (makula)
1-5 Banyak
a. Jumlah
b. Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil
c. Distribusi Unilateral atau bilateral
Bilateral, simetris
asimetris
d. Konsistensi Kering dan kasar Halus, berkilat
e. Batas Tegas Kurang tegas
f. Kehilangan rasa
Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas, jika ada,
pada bercak terjadi pada yang sudah usia
lanjut.
g. Kehilangan
Bercak tidak
kemampuan Bercak masih berkeringat, bulu
berkeringat, ada bulu
berkeringat, bulu tidak rontok.
rontok pada bercak.
rontok pada bercak
2. Infiltrat :
Tidak ada Ada, kadang-kadang tidak ada
a. Kulit
b. Membran mukosa
(hidung tersumbat
Tidak pernah ada Ada, kadang-kadang tidak ada.
perdarahan di
hidung)
3. Ciri-ciri khusus 1. Punched out lession **
“central healing” 2. Madarosis
penyembuhan di 3. Ginekomastia
tengah 4. Hidung pelana
5. Suara sengau
4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
5. Penebalan syaraf Terjadi pada yang
Lebih sering terjadi
lanjut, biasanya lebih
dini, asimetris
dari satu dan simetris.
6. Deformitas (cacat) Biasanya asimetris Terjadi pada stadium
terjadi dini lanjut
7. Apusan BTA negatif BTA positif

Tanda dan Gejala


Untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda pokok atau
“cardinal signs” pada badan yaitu :
1. Kelainan kulit/lesi yang hypopigmentasi atau kemerahan dengan hilang/mati rasa
yang jelas.
2. Kerusakan dari syaraf tepi, yang berupa hilang/mati rasa dan kelemahan otot
tangan, kaki, atau muka.
3. Adanya kuman tahan asam di dalam kultur jaringan kulit (BTA positif).
Gambar . Lesi kulit pada paha
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari tanda-
tanda pokok diatas. Bila ragu-ragu orang tersebut dianggap sebagai kasus dicurigai
(suspek) dan diperiksa ulang setiap 3 bulan sampai diagnose dapat ditegakkan kusta atau
penyakit lain.

Cara Penularan
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe Multi basiler (MB)
kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Cara penularan yang pasti belum
diketahui, tetapi sebagian besar para ahli berpandapat bahwa penyakit kusta dapat
ditularkan melalui saluran pernafasan dan kulit (Depkes RI, 2007). Timbulnya penyakit
kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu ditakuti tergantung dari beberapa faktor
antara lain :
1. Faktor Sumber Penularan.
Sumber penularan adalah penderita kusta tipe MB. Penderita MB ini pun tidak akan
menularkan kusta, apabila berobat teratur.
2. Faktor Kuman Kusta.
Kuman kusta dapat hidup diluar tubuh manusia antara 1-9 hari tergantung pada suhu
atau cuaca, dan diketahui hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja yang dapat
menimbulkan penularan.
3. Faktor Daya Tahan Tubuh.
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95 %). Dari hasil penelitian
menunjukkan gambaran sebagai berikut :
Dari 100 orang yang terpapar : 95 orang tidak menjadi sakit, 2 orang sembuh sendiri
tanpa obat, 2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh
pengobatan.

Pemeriksaan Klinis
A. Pemeriksaan kulit
1. Persiapan
a. Tempat.
Tempat pemeriksaan harus cukup terang, sebaiknya diluar rumah tidak boleh
langsung dibawah sinar matahari.
b. Waktu pemeriksaan.
Pemeriksaan diadakan pada siang hari (menggunakan penerangan sinar matahari).
c. Yang diperiksa :
Diberikan penjelasan kepada yang akan diperiksa dan keluarganya tentang cara
pemeriksaan. Anak-anak cukup memakai celana pendek, sedangkan orang dewasa
(laki-laki dan wanita) memakai kain sarung tanpa baju.
2. Pelaksanaan pemeriksaan :
Pelaksanaan pemeriksaan terdiri dari :
a. Pemeriksaan pandang,
b. Pemeriksaan rasa raba pada kelainan kulit, dan
c. Pemeriksaan syaraf tepi dan fungsinya.
a. Pemeriksaan Pandang.
Tahap pemeriksaan.
1) Pemeriksaan dimulai dengan orang yang diperiksa behadapan dengan petugas dan
dimulai kepala (muka, cuping telinga kiri, pipi-kiri, cuping telinga kakan, pipi
kanan, hidung, mulut, dagu, leher bagian depan). Penderita diminta untuk
memejamkan mata, mengetahui fungsi syaraf dibuka. Semua kelainan kulit
diperhatikan.
2) Pundak kanan, lengan bagian belakang, tangan, jari-jari tangan (penderita diminta
meluruskan tangan kedepan dengan telapak tangan menghadap kebawah,
kemudian tangan diputar dengan telapak tangan menghadap keatas), telapak
tangan, lengan bagian dalam, ketiak, dada dan perut ke pundak kiri, lengan kiri
dan seterusnya (putarlah penderita pelan-pelan dari sisi yang satu ke sisi yang
lainnya untuk melihat sampingnya pada waktu memeriksa dada dan perut).
3) Tungkai kanan bagian luar dari atas ke bawah, bagian dalam dari bawah ke atas,
tungkai kiri dengan cara yang dalam dari bawah ke atas, tungkai kiri dengan cara
yang sama.
4) Yang diperiksa kini diputar sehingga membelakangi petugas dan pemeriksaan
dimulai lagi dari :
5) Bagian belakang telinga, bagian belakang leher,punggung, pantat tungkai bagian
belakang dan telapak kaki. Perhatikan setiap bercak (makula), bintil-bintil
(nodulus) jaringan parut, kulit yang keriput, dan setiap penebalan kulit. Bilamana
meragukan, putarlah penderita pelan pelan dan periksa pada jarak kira-kira ½
meter.
b. Pemeriksaan Rasa Raba pada Kelainan Kulit.
Sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk memeriksa rasa raba. Periksalah
dengan ujung dari kapas yang dilancipi secara tegak lurus pada kelainan kulit yang
dicurigai. Yang diperiksa sebaiknya duduk pada waktu pemeriksaan. Terlebih
dahulu petugas menerangkan bahwa bilamana merasa tersentuh bagian tubuhnya
dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang disentuh dengan jari telunjuknya
atau dengan menghitung sentuhan untuk bagian yang sulit dijangkau, ini
dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta
menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan sepotong kain/karton.
Kelainan-kelainan di kulit diperiksa secara bergantian dengan kulit yang normal
disekitarnya untuk mengetahui ada tidaknya anaesthesi.
c. Pemerksaan rasa raba syaraf tepi.
Pemeriksaan syaraf : Raba dengan teliti urut syaraf tepi berikut n.auricularis
magnus, n.ularis, n.radialis, n.medianus,n.peroneus, dan n.tibialis posterior.
Petugas harus mencatat apakah syaraf tersebut nyeri tekan atau tidak dan menebal
atau tidak. Ia harus memperhatikan raut muka penderita apakah ia kesakitan atau
tidak pada waktu syaraf diraba.
d. Bila hasil pemeriksaan memenuhi kriteria penyakit kusta maka catatlah kelainan-
kelainan yang ditemukan pada kartu penderita, sesuai tandatanda, jumlahnya,
besarnya, dan letaknya.

Penatalaksanaan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien kusta
dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta
terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insidens penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin,
dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson
yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus
obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO ( 1995) sebagai
berikut:

1. Tipe PB
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
a. Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.
b. DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah.
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan. dan setelah selesai minum 6 dosis
dinyatakan RFT (Release From Treatment = berhenti minum obat kusta) meskipun
secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi
menggunakan istilah Completion of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam
pengawasan.

Tabel 1. Obat dan dosis regimen MDT-PB

Obat & Dosis MDT Dewasa Anak


– Kusta PB BB < 35 kg BB > 10-14 thn
35 kg
Rifampisin(diawasi 450 mg/bln   600 450
petugas) mg/bln mg/bln(12-15
mg/kgBB/bln)
Dapson(Swakelola) 50 mg/hr(1-2 100 50 mg/hr(1-2
mg/kgBB/hr) mg/hr mg/kgBB/hr)

2. Tipe MB
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
a. Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.
b. Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas dilanjutkan dengan
klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah.
c. DDS 100 mg/hari diminum di rumah.
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Sesudah
selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan
pemeriksaan bakteri positif Menurut WHO ( 1998) pengobatan MB diberikan untuk 12
dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.
Dosis untuk anak :
Klofazimin: Umur di bawah 10 tahun : bulanan 100 mg/bulan harian 50 mg/2 kali/minggu
Umur 11-14 tahun :  bulanan 100 mg/bulan harian 50 mg/3  kali/minggu
DDS   : 1 - 2 mg/kg berat badan
Rifampisin : 10-15 mg/kg berat badan

Tabel 2. Obat dan dosis regimen MDT-MB

Obat & Dosis MDT Dewasa Anak


– Kusta MB BB < 35 kg BB > 10-14 thn
35 kg
Rifampisin(diawasi 450 mg/bln   600 450
petugas) mg/bln mg/bln(12-15
mg/kgBB/bln)
Klofazimin  300 mg/bln (diawasi 200 mg/bln
petugas)dan dilanjutkan esok (diawasi)dan
dilanjutkan
esok
50 mg/hr (swakelola)
50 mg/hr
(swakelola)
Dapson(Swakelola) 50 mg/hr(1-2 100 50 mg/hr(1-2
mg/kgBB/hr) mg/hr mg/kgBB/hr)

1. Pengobatan MDT terbaru


Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO ( 1998), pasien
kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 (satu) cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600
mg, olloksasin 400 mg, dan minosiklin I 00 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT,
sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB
diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24
bulan.

Putus Obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang
seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila
tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.

Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pengobatan menurut Buku Panduan Pemberantasan Penyakit Kusta
Depkes  ( 1999) adalah sebagai berikut:
a. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam waktu 6 sampai 9
bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium.
b. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 24 dosis dalam waktu 24-36
bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium.
c. RFT dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan
laboratorium. Dikeluarkan dari register pasien dan dimasukkan dalam register
pengamatan (surveillance) dan dapat dilakukan oleh petugas kusta.
Masa Pengamatan.
Pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif    :
a)      Tipe PB selama 2 tahun.
b)  Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium.
Hilang/Out of Control (OOC)
Pasien PB maupun MB dinyatakan hilang bilamana dalam 1 tahun tidak
mengambil obat dan dikeluarkan dari register pasien.
a. Relaps (kambuh)
Terjadi bila lesi aktif kembali setelah pernah dinyatakan sembuh atau RFT.
Komplikasi
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik akibat kerusakan
fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta.

2) Diagnosis Banding

1. ENL

DEFINISI

Reaksi ENL merupakan suatu reaksi antigen-antibodi komplemen yang ditandai dengan
nodus eritematosa yang nyeri, terutama diekstremitas, neuritis, arthritis, dll. Reaksi ini terutama
terjadi pada tipe lepromatosa (LL) dan borderline lepromatosa (BL). 2

ETIOLOGI
Hingga saat ini, penyebab pasti timbulnya ENL belum diketahui secara pasti. Faktor
pencetus yang dapat menyebabkan timbulnya ENL ialah infeksi stress mental dan fisik,
kehamilan , vaksinasi, faktor hormonal dan nutrisi. 1,2,3

PATOFISIOLOGI ENL

Mekanisme imunopatologi ENL masih kurang jelas. ENL diduga merupakan manifestasi
pengendapan kompleks antigen antibodi pada pembuluh darah.4 Perlu ditegaskan bahwa pada
ENL tidak terjadi perubahan tipe. Lain halnya dengan reaksi reversal yang hanya dapat terjadi
pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti) sehingga dapat disebut reaksi borderline.8

Diperkirakan reaksi pada ENL ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe
lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat basil lepra berada, yaitu pada saraf dan
kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama.8

Pada pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur, yang berarti banyak pula
antigen yang dilepaskan.4 Adanya faktor pencetus seperti infeksi virus, stress, vaksinasi dan
kehamilan menyebabkan terjadinya infiltrasi sel T helper 2 yang menghasilkan berbagai sitokin
yaitu IL-4 yang menginduksi sel B menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi antibodi. 4,5
Konsentrasi antigen dan presipitasi antibodi tersebut akan bereaksi dan membentuk kompleks
imun yang terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat diendapkan dalam berbagai
organ atau jaringan yang kemudian mengaktifkan sistem komplemen.4,5

Secara ringkasnya fenomena ini berupa kompleks imun akibat reaksi antara antigen
M.leprae + antibody ( IgM, IgG ) + komplemen  kompleks imun. Komplemen akan bergabung
dengan kompleks imun dan akhirnya akan membentuk endapan kompleks imun dan
menghasilkan polimorfonuklear leukotaktik factor.8 Itulah sebabnya penimbunan kompleks imun
pada pembuluh darah dan lesi merupakan karakteristik reaksi ENL.6

Fagositosis kompleks imun oleh neutrofil yang terakumulasi menimbulkan pelepasan


atau produksi sejumlah substansi proinflamasi tambahan, termasuk proataglandin, peptida
vasodilator, dan substansi kemotaksis,serta enzim lisosom yang mampu mencerna membran
basalis, kolagen, elastin, dan kartilago yang menyebabkan inflamasi dan nekrosis jaringan.8

Terdapat juga penelitian yang mempelajari peranan tumor nekrosis faktor alfa (TNF-a)
pada patogenesiss ENL. Penderita LL yang menunjukkan reaksi ENL setelah terapi MDT juga
menunjukkan kadar TNF-a yang tinggi. Data ini menunjukkan eratnya hubungan antara TNF-a
dengan patogenesis ENL.3

Faktor nekrosis tumor ini bisa menimbulkan kerusakan langsung pada sel dan jaringan,
mengaktifkan makrofag, memacu makrofag memproduksi IL-1 dan IL-6 dan memacu sel hepar
menghasilkan protein reaktif C (PRC). Peninggian konsenterasi TNF-a dan PRC dalam serum
penderita ENL yang berkorelasi positif sekitar 95% apabila dibandingkan dengan penderita kusta
lepromatosa non reaksi.6

GEJALA KLINIS

Gejala dan keluhan penyakit bergantung pada:

• multiplikasi dan diseminasi kuman M. leprae

• respons imun penderita terhadap kuman M. leprae

• komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer 9

Manifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun terutama mengenai kulit, saraf, dan
membran mukosa10. Pasien dengan penyakit ini dapat dikelompokkan lagi menjadi 'kusta
tuberkuloid (Inggris: paucibacillary), kusta lepromatosa (penyakit Hansen multibasiler), atau
kusta multibasiler (borderline leprosy).

Penilaian untuk tanda-tanda fisik terdapat pada 3 area umum: lesi kutaneus, neuropathi,
dan mata. Untuk lesi kutaneus, menilai jumlah dan distribusi lesi pada kulit. Makula
hipopigmentasi dengan tepian yang menonjol sering merupakan lesi kutaneus yang pertama kali
muncul. Sering juga berupa plak. Lesi mungkin atau tidak mungkin menjadi hipoesthetik. Lesi
pada pantat sering sebagai indikasi tipe borderline.

Tanda-tanda umum dari neuropati lepra :

• neuropati sensoris jauh lebih umum dibandingkan neuropathy motorik, tapi neuropati
motorik murni dapat juga muncul.
• mononeuropati dan multiplex mononeuritis dapat timbul, dengan saraf ulna dan
peroneal yang lebih sering terlibat
• neuropati perifer simetris dapat juga timbul

Gejala dari neuropati lepra biasanya termasuk berikut:


• anesthesia, tidak nyeri, patch kulit yang tidak gatal,: pasien dengan lesi kulit yang
menutupi cabang saraf perifer mempunyai resiko tinggi untuk berkembangnya
kerusakan motoris dan sensoris.
• deformitas yang disebabkan kelemahan dan mensia-siakan dari otot-otot yang
diinervasi oleh saraf perifer yang terpengaruh (claw hand atau drop foot menyusul
kelemahan otot)
• gejala sensoris yang berkurang untuk melengkapi hilangnya sensasi, paresthesia
dalam distribusi saraf-saraf yang terpengaruh, nyeri neuralgia saat saraf memendek
atau diregangkan
• lepuh yang timbul spontan dan ulcus tropik sebagai konsekuensi dari hilangnya
sensoris

Gejala yang terlihat pada suatu reaksi

• reaksi reversal – onset yang mendadak dari kulit yang kemerahan dan munculnya
lesi-lesi kulit yang baru
• reaksi ENL – nodul pada kulit yang multiple, demam, nyeri sendi, nyeri otot, dan
mata merah.Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema,dan nyeri
dengan tempat predileksi di lengan dantungkai. Bila mengenai organ lain dapat
menimbulkangejala seperti iridosiklitis, neuritis akut,limfadenitis,arthritis,or kitis, dan
nefritis yang akut dengan adanya proteinuria.Ia juga dapat disertai gejala konstitusi
dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik pula.

Nyeri neuritik yang hebat dan perubahan yang cepat dari kerusakan saraf perifer yang
menghasilkan claw hand atau drop foot.11

Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia
pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan
oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau
seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian –
bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama – sama akan menyebabkan kebutaan12.
Gambar 1. Sebelum reaksi gambar 2. Ketika reaksi

Gambar 3. Contoh – contoh reaksi ENL

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium

• Hitung sel darah lengkap

• Glukosa darah, BUN, creatinine, liver function tests


• HIV status, terutama nonresponder

• Kerokan kulit dan atau mukosa hidung untuk AFB

• Keluarga dan atau screening kontak untuk bukti terjangkit

Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung
yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL NEELSON.

Gambar 4. Kuman solid

Imaging Studies

• Foto thorak

• Foto rontgen untuk mendeteksi keterlibatan tulang

• MRI atau CT dari sendi neurophatik saat diperlukan

• Magnetic resonance (MR) neurography pada kondisi khusus

• Ultrasonography dan Doppler ultrasonography

Tes Yang Lain


a. Tes Imunologi
• Lepromin test
• Respon imun seluler melawan M leprae juga dapat dipelajari dengan
lymphocyte transformation test dan lymphocyte migration inhibition test
(LMIT). Tes berdasar pada deteksi antibody M lepra atau antigen.
• Tes serologi
• Estimasi dari komponen spesifik M leprae pada jaringan

b. DNA Recombinant dan polymerase chain reaction (PCR)

c. Penyelidikan tentang abnormalitas konduksi saraf termasuk sebagai berikut:

• konduksi yang melambat secara segmental terlihat pada tempat-tempat terperangkap


(segmen siku dari saraf ulnaris), latensi distal memanjang, berkurangnya (sensorik
atau motorik) velositas konduksi saraf
• berkurangnya amplitude dari evoked motor responses (compound muscle action
potentials [CMAPs]) atau hilangnya amplitodo rendah dari potensial sensoris.
• Saraf-saraf yang paling sering terlibat didalamnya adalah saraf ulnaris, peroneal,
median, dan saraf-saraf tibial.11

Pemeriksaan penunjang pada ENL dapat berupa pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
histopatologi4

• Pada pemeriksaan laboratorium, dilakukan pemeriksaan protein dan sel darah merah
dalam urine yang dapat menunjukkan terjadinya glomerulonefritis akut. Pada
pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop, dapat terlihat kompleks imun pada
glomerulus ginjal. Pada pemerksaan hematologi dapat ditemukan leukositosis PMN,
trombositosis, peninggian LED, anemia normositik normokrom dan peninggian kadar
gammaglobulin 4
• Pemerikaan histologi, ENL akan menunjukkan inflamasi akut berupa lapisan infiltrat
pada inflamasi granulomatosa yang kronik dari BL dan LL 7. Selain itu, akan tampak
peningkatan vaskularisasi dengan dilatasi kapiler pada dermis bagian atas dan pada
dermis bagian bawah terdapat infiltrasi lekosit polimorfonuklear yang lokalisasinya
disekeliling pembuluh darah dan menyerang dinding pembuluh darah. 5 Terdapat
pembengkakan dan edema endothelium vena, arteriole dan arteri-artei kecil pada lasi
ENL. Fragmen basil sedikit dan, terdapat disekitar pembuluh darah. Kerusakan
dinding vaskuler ini mengakibatkan ekstravasasi eritrosit.6

PENATALAKSANAAN

Prinsip dalam penatalaksanaan reaksi kusta:

1. Mengontrol neurtis akut dalam rangka pencegahan anastesi, paralisis dan kontraktur

2. Menghentikan kerusakan pada mata dan mencegah kebutaan. 2

Penatalaksanaan reaksi kusta berbeda tergantung manifestasi dan berat ringannya penyakit.

1. Reaksi ringan

Pada reaksi ENL ringan dapat diberikan analgesik / antipiretik seperti Aspirin atau
Asetaminofen.13

2. Reaksi berat

Berikut adalah pedoman WHO untuk pengelolaan reaksi eritema nodosum leprosum (ENL)
berat.13

Prinsip umum:

1. Reaksi ENL berat sering berulang dan kronis serta dapat bervariasi dalam manifestasinya.

2. Manajemen ENL berat yang terbaik dilakukan oleh dokter di pusat rujukan.

3. Dosis dan durasi obat anti reaksi yang digunakan dapat disesuaikan oleh dokter sesuai dengan

kebutuhan pasien individu


Manajemen dengan kortikosteroid:

1. Jika masih dalam pengobatan anti lepra, lanjutkan pemberian MDT.

2. Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam dan nyeri.

3. Gunakan prednisolon dengan dosis per hari tidak melebihi 1mg/KgBB dengan total durasi

pemberian 12 minggu.

Manajemen dengan klofazimin dan kortikosteroid:

Indikasinya pada kasus ENL berat yang tidak berespon dengan pengobatan kortikosteroid atau
dimana risiko toksisitas dengan kortikosteroid yang tinggi.

1. Jika masih dalam pengobatan anti lepra, lanjutkan pemberian MDT.

2. Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam dan nyeri.

3. Gunakan prednisolon dengan dosis per hari tidak melebihi 1mg/KgBB.

4. Mulai pemberian klofazimin 100mg 3xsehari selama maksimum 12 minggu.

5. Teruskan terapi standar prednisolon. Dilanjutkan dengan pemberian klofazimin seperti di

bawah ini.

Manajemen dengan klofazimin saja:

Indikasinya pada kasus ENL berat dimana terdapat kontraindikasi penggunaan kortikosteroid.

1. Jika masih dalam pengobatan anti lepra, lanjutkan pemberian MDT.

2. Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam dan nyeri.

3. Mulai pemberian klofazimin 100mg 3xsehari selama maksimum 12 minggu.


4. Kurangi dosis klofazimin sampai 100mg 2xsehari selama 12 minggu dan kemudian 100mg 1 x

sehari selama 12-24 minggu.

Obat lain yang berguna dalam pengobatan reaksi ENL adalah pentoxifylline saja atau
dalam kombinasi dengan klofazimin / prednisolone. Karena alasan efek samping teratogenik,
WHO tidak menganjurkan penggunaan thalidomide untuk manajemen reaksi ENL pada kusta. 13

2. Reaksi Kusta

Definisi
Reaksi kusta adalah suatu episode akut di dalam perjalanan klinik penyakit kusta yang
ditandai dengan terjadinya reaksi radang akut (neuritis) yang kadang-kadang disertai
dengan gejala sistemik. Reaksi kusta dapat merugikan pasien kusta, oleh karena dapat
menyebabkan kerusakan syaraf tepi terutama gangguan fungsi sensorik (anestesi) sehingga
dapat menimbulkan kecacatan pada pasien kusta. Reaksi kusta dapat terjadi sebelum
mendapat pengobatan, pada saat pengobatan, maupun sesudah pengobatan, namun reaksi
kusta paling sering terjadi pada 6 bulan sampai satu tahun sesudah dimulainya pengobatan.5

Klasifikasi dan Gejala Klinis


Reaksi kusta dapat dibagi atas dua kelompok yaitu:
1.Reaksi kusta tipe 1 (Reaksi Reversal= RR)
Reaksi imunologik yang sesuai adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV dari Coomb &
Gel (Delayed Type Hypersensitivity Reaction). Reaksi kusta tipe 1 terutama terjadi pada
kusta tipe borderline(BT, BB, BL) dan biasanya terjadi dalam 6 bulan pertama ataupun
sedang mendapat pengobatan. Pada reaksi ini terjadi peningkatan respon kekebalan seluler
secara cepat terhadap kuman kusta dikulit dan syaraf pada pasien kusta. Hal ini berkaitan
dengan terurainya M.lepraeyang mati akibat pengobatan yang diberikan. Antigen yang
berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan
imunitas selular yang cepat. Dasar reaksi kusta tipe 1 adalah adanya perubahan
keseimbangan antara imunitas selular dan basil. Diduga kerusakan jaringan terjadi akibat
langsung reaksi hipersensitivitas seluler terhadap antigen basil.7
Pada saat terjadi reaksi, beberapa penelitian juga menunjukkan adanya peningkatan
ekspresi sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α, IL-1b, IL-6, IFN-γ dan IL-12 dan sitokin
immunoregulatoryseperti TGF-β dan IL-10 selama terjadi aktivasi dari makrofag. Aktivasi
CD4+ limfosit (Th-1) menyebabkan produksi IL-2 dan IFN-γ meningkat sehingga dapat
terjadi lymphocytic infiltration pada kulit dan syaraf. IFNγ dan TNF-α bertanggung jawab
terhadap terjadinya edema, inflamasi yang menimbulkan rasa sakit dan kerusakan jaringan
yang cepat.8

Tabel. Gambaran reaksi kusta tipe 19


Reaksi ringan Reaksi Berat
Kulit  Lesi kulit yang telah  Lesi yang telah ada
ada menjadi lebih menjadi eritematosa
eritematosa  Timbul lesi baru
yang kadang-
kadang disertai
panas dan malaise
Saraf tepi  Membesar, tidak ada  Membesar, nyeri
nyeri tekan syaraf tekan dan gangguan
dan gangguan fungsi fungsi.
 Berlangsung kurang  Berlangsung lebih
dari 6 minggu dari 6 minggu
 saraf
Kulit dan Lesi yang telah ada  Lesi kulit yang
akan menjadi lebih eritematosa disertai
eritematosa, nyeri ulserasi atau edema
pada syaraf pada tangan/kaki
 Berlangsung kurang  Saraf membesar,
dari 6 minggu nyeri dan fungsinya
terganggu
 Berlangsung lebih
dari 6 minggu

2. Reaksi tipe 2 (Reaksi Eritema Nodosum Leprosum=ENL)


Reaksi kusta tipe 2 terutama terjadi pada kusta tipe lepromatous (BL, LL). Diperkirakan
50% pasien kusta tipe LL Dan 25% pasien kusta tipe BL mengalami episode ENL.
Umumnya terjadi pada 1-2 tahun setelah pengobatan tetapi dapat juga timbul pada
pasien kusta yang belum mendapat pengobatan Multi Drug Therapy (MDT). ENL diduga
merupakan manifestasi pengendapan kompleks antigen antibodi pada pembuluh darah.
Termasuk reaksi hipersensitivitas tipe III menurut Coomb & Gel. 8,10
Pada pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur, sehingga banyak antigen
yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi IgG, IgM dan komplemen C3 membentuk
kompleks imun yang terus beredar dalam sirkulasi darah dan akhirnya akan di endapkan
dalam berbagai organ sehingga mengaktifkan sistem komplemen Berbagai macam enzim
dan bahan toksik yang menimbulkan destruksi jaringan akan dilepaskan oleh netrofil akibat
dari aktivasi komplemen.8,10
Pada ENL, dijumpai peningkatan ekspresi sitokin IL-4, IL-5, IL 13 dan IL-10 (respon
tipeTh-2) serta peningkatan, IFN-γ danTNF-α. IL-4, IL-5, IFN-γ,TNF-α bertanggung jawab
terhadap kenaikan suhu dan kerusakan jaringan selama terjadi reaksi ENL.8,10
Reaksi ENL cenderung berlangsung kronis dan rekuren. Kronisitas dan rekurensi ENL
menyebabkan pasien kusta akan tergantung kepada pemberian steroid jangka panjang.11

Gambar. Spektrum reaksi kusta RR dan ENL


Keterangan gambar:
Gambaran tipe reaksi yang terjadi dan hubungannya dengan tipe imunitas dalam
spektrum imunitas pasien kusta menurut Ridley-Jopling
Reaksi tipe 1 diperantarai oleh mekanisme imunitas seluler
Reaksi tipe 2 diperantarai oleh mekanisme imunitas humoral 11

Tabel. Gambaran reaksi kusta tipe 29


Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat
Kulit  Nodus sedikit, dapat  Nodus banyak, nyeri,
ulserasi berulserasi
 Demam ringan dan malaise  Demam tinggi dan malaise
Saraf tepi  Membesar  Sangat membesar
 Tidak ada nyeri tekan syaraf  Nyeri tekan
 Fungsi tidak ada gangguan  Gangguan fungsi
Organ tubuh  Tidak ada  Terjadi peradangan pada:
gangguan  Mata: nyeri, penurunan
organ-organ visus, merah sekitar
dari tubuh limbus
 Testis: lunak, nyeri dan
membesar

Faktor risiko
Faktor risiko penyakit kusta antara lain, lahir atau bermukim di daerah endemik, anggota
keluarga dengan penyakit serupa, adanya anomali genetik secara umum, paparan
lingkungan, atau keduanya dan infeksi lainnya serta kemiskinan. Terapi dengan
menggunakan antibodi anti-tumor necrosis factor (TNF) dan immune reconstution
inflammatory syndrome (IRIS) dinilai sebagai terapi antiretroviral aktif yang dikaitkan
dengan kejadian kusta.1

Kriteria Diagnosis15
Menurut WHO, untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta didasarkan pada penemuan
gejala-gejala utama atau “Cardinal signs”, yaitu :
a. Lesi kulit yang mati rasa
Kelainan kulit dapat berupa bercak keputih-putihan (hipopigmentsi) atau kemerahan
(eritematous) yang mati rasa.
b. Penebalan saraf yang disertai dengan gangguan fungsi
Penebalan gangguan fungsi saraf yang terjadi merupakan akibat dari peradangan kronis saraf
tepi (neuritis perifer) dan tergantung area yang dilayani oleh saraf tersebut, dan dapat berupa:
 Gangguan fungsi sensorik: mati rasa/ kurang rasa
 Gangguan fungsi motorik : paresis atau paralysis
 Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema.
c. Basil tahan asam (BTA)
Bahan pemeriksaan diambil dari kerokan kulit (skin smear) pada cuping telinga serta bagian
aktif suatu lesi kulit. Bila pada kulit atau saraf seseorang ditemukan kelainan yang tidak khas
untuk penyakit kulit lain dan menurut pengalaman kemungkinan besar mengarah ke kusta,
maka kita dapat menetapkan seseorang tersebut sebagai suspek kusta.
Untuk menegakkan diagnosis kusta, diperlukan paling sedikit satu tanda utama. Tanpa tanda
utama, seseorang hanya boleh ditetapkan sebagai tersangka (suspek) kusta.

Pemeriksaan Penunjang Lainnya


1. Pemeriksaan Histopatologis
Diagnosis penyakit kusta biasanya dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan klinis secara
teliti dan pemeriksaan bakterioskopis. Pada sebagian kecil kasus, bilamana diagnosis masih
diragukan, pemeriksaan histopatologis dapat dilakukan. Pemeriksaan histopatologis
digunakan untuk menegakkan diagnosis penyakitkusta. Pemeriksaan ini sangat membantu
khususnya pada anak-anak, bilamana pemeriksaaan saraf sensoris sulit dilakukan, juga pada
lesi dini contohnya pada tipe indeterminate, serta untuk menentukan klasifikasi yang tepat.13

2. Pemeriksaan Serologis
a. Uji MLPA (Mycrobacterium leprae particle agglutination)
b. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent Assay)
c. ML disptick (Mycrobacterium leprae disptick) 14

3. Pemeriksaan Reaksi Rantai Polimerase


Dilakukan ekstraksi DNA dari nasal swab menggunakan proteinase K. Hasil produk
dielektroforesis kemudian hasilnya dilihat pada UV transilluminator untuk melihat pita yang
terbentuk.14

Penatalaksanaan
Medikamentosa15
Klasifikasi WHO Rekomendasi WHO Dengan Reaksi
Pausibasiler Dapsone 100 mg/hari + Pengobatan tetap lanjut,
Rifampicin 600 mg/bulan tambahkan prednison
Selama 6-9bulan 40mg/hari (tappering off)
Multibasiler Dapsone 100 mg/hari + Pengobatan tetap lanjut,
Rifampicin 600 mg/bulan tambahkan prednison
+ Klofazimin 300 40mg/hari (tappering off)
mg/bulan dilanjutkan 50
mg/hari

3. skrofuloderma
DEFINISI
Tuberkulosis kutisadalah tuberculosis pada kulit yang di Indonesia disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis.(1)
Tuberkulosis kutis banyak terdapat di negeri yang sedang berkembang. Pada
umumnya insidens di semua negeri menurun seiring dengan menurunnya tuberkulosis paru.
Faktor lain yang mempengaruhinya ialah keadaan ekonomi. Bentuk-bentuk yang dahulu
masih terdapat sekarang telah jarang terlihat, misalnya tuberkulosis papulonekrotika,
tuberkulosis gumosa, dan eritema nodosum.(1)

ETIOLOGI
Penyebab Tuberkulosiskutis adalah Mycobacterium obligate yang bersifat patogen
terhadap manusia:M. tuberculosis, Mycobacteriumbovis(M. bovis) , dan kadang-kadang bisa
juga sebabkan oleh Bacillus Calmette-Guerin (BCG). Penyebab utama tuberkulosis kutis di
Rumah Sakit dr. Ciptomangunkusumo (RSCM) ialah M. tuberculosisberjumlah 91,5%,
sisanya (8,5%) disebabkan oleh Mycobacteriumatipikal(M. atipikal), yang terdiri atas
golongan II atau skotokromogen, yakni Mycobacteriumscrofulocaeum(M.scrofulocaeum)
(80%) dan golongan IV atau Rapid growers (20%). M. bovis dan Mycobacteriumavium(M.
avium) belum pernah ditemukan, demikian pula M.atipikal golongan lain.(1)

PATOGENESIS
Mycobacterium berkembang biak secara intraseluler dan pada awalnya ditemukan
dalam jumlah besar di dalam jaringan. M. tuberculosis dan M.bovis.
Dalam bentuk lain, jumlah mereka dalam lesi sangat kecil sehingga sulit untuk menemukan
mereka. M.tuberculosis bisa menjadi aktif dalam jaringan host.(2)
Adapun factor-faktor yang sangat berperan dalam penyebaran penyakit ini adalah usia,
keadaan kesehatan, faktor lingkungan dan khususnya sistem kekebalan tubuh.(2)
Cara infeksi M. tuberculosis ada 6 macam :
a) Penjalaran langsung ke kulit dari organ di bawah kulit yang telah dikenai penyakit
tuberkulosis, misalnya skrofuloderma.
b) Inokulasi langsung pada kulit sekitar orifisium alat dalam yang dikenai penyakit
tuberkulosis, misalnya Tuberkulosis kutis orifisialis.
c) Penjalaran secara hematogen, misalnya Tuberkulosis kutis miliaris
d) Penjalaran secara limfogen, misalnya lupus vulgaris.
e) Penjalaran langsung dari selaput lendir yang sudah diserang penyakit tuberkulosis,
misalnya lupus vulgaris.
f) Kuman langsung masuk ke kulit, jika ada kerusakan kulit dan resistensi lokalnya
telah menurun, contohnya Tuberkulosis kutis verukosa.(1)
Hal-hal yang mempengaruhi timbulnya gejala klinik adalah sifat kuman.Respon imun
tubuh saat kuman ini masuk kedalam tubuh ataupun saat kuman ini sudah berada didalam
tubuh serta jumlah dari kuman tersebut. Respon imun yang berperan pada infeksi M.
tuberkulosis adalah respon imunitas selular. Sedangkan peran antibodi tidak jelas atau tidak
memberikan imunitas.(2,3,4)
Bila terjadiinfeksi oleh kuman M. tuberkulosis ini, maka kuman ini akan masuk ke
jaringan dan mengadakan multiplikasi intraseluler. Hal ini akan memicu terjadinya reaksi
jaringan yang ditandai dengan datang dan berkumpulnya sel-sel leukosit dan sel-sel
mononuklear serta terbentuknya granuloma epiteloid disertai dengan adanya nekrosis
kaseasi ditengahnya. Granuloma yang terbentuk pada tempat infeksi paru disebut ghonfocus
dan bersamaan kelenjar getah bening disebut kompleks primer adalah tuberculous chancre.
Bila kelenjar getah bening pecah timbul skrofuloderma.(3,4)

KLASIFIKASI
Klasifikasi tuberkulosis kutis bermacam-macam. Berikut ini klasifikasi menurut
Pillsburry dengan sedikit perubahan.(1)
1. Tuberkulosis kutis sejati
A. Tuberkulosis kutis primer
Inokulasi tuberkulosis primer (tuberculosis chancre)
B. Tuberkulosis kutis sekunder
1. Tuberkulosis kutis miliaris
2. Skrofuloderma
3. Tuberkulosis kutis verukosa
4. Tuberkulosis kutis gumosa
5. Tuberkulosis kutis orifisialis
6. Lupur vulgaris
2. Tuberkulid
A. Bentuk papul
1. Lupus miliaris diseminatus fasiei
2. Tuberkulid papulonekrotika
3. Liken skrofuloderma
B. Bentuk granuloma dan ulseronodulus
1. Eritema nodosum
2. Eritema induratum.(5)
Tuberkulosis kutis sejati berarti kuman penyebab terdapat pada kelainan kulit disertai
gambaran histopatologik yang khas.Tuberkulosiskutis primer berarti kuman masuk pertama
kali ke dalam tubuh.Tuberkulid merupakan reaksi id, yang berarti kelainan kulit akibat
alergi. Pada kelainan kulit tersebut tidak ditemukan kuman penyebab, tetapi kuman tersebut
terdapat pada tempat lain di dalam tubuh, biasanya di paru.Pada tuberkulid tes tuberculin
member hasil positif.(1)

GAMBARAN KLINIK
1. Inokulasi tuberculosis primer(Tuberculosis chancre)
Afek primer dapat berbentuk papul, pustul atau ulkus indolen, berdinding bergaung dan
disekitarnya livid. Masa tunas 2-3 minggu, limfangitis dan limfadenitis timbul beberapa
minggu hingga beberapa bulan setelah afek primer, pada waktu tersebut reaksi
tuberkulin menjadi positif. Keseluruhannya merupakan kompleks primer. Pada ulkus
tersebut dapat terjadi indurasi, karena itu disebut tuberculous chancre. Makin muda usia
penderita makin berat gejalanya. Bagian yang sering terkena adalah wajah dan
ekstremitas yang berhubungan dengan limphadenopaty regional. Biasanya ditemukan
pada daerah kulit yang mudah terkena trauma.(1)

Gambar 1. Primary inoculation tuberkulosis, nodul ulserasi


yang besar pada paha kanan disertai limfadenopati inguinal.Tuberkulin
positif terlihat pada tangan kiri penderita.(3)

2. Tuberkulosis kutis miliaris (AMT)

Tipe ini biasanya terjadi pada bayi dan anak-anak dengan status
imunokompromise. Fokus infeksi terdapat secara khusus pada paru-paru atau selaput
otak. Terjadi karena penjalaran ke kulit dari fokus di badan. Reaksi terhadap tuberkulin
biasanya negatif (anergi). Ruam berupa eritema berbatas tegas, papul, vesikel, pustul,
skuama atau purpura yang menyeluruh. Pada umumnya prognosisnya buruk.(1,3,6)

3. Skrofuloderma
Timbulnya skrofuloderma akibat penjalaran perkontinuitatum dari organ di bawah
kulit yang telah diserang penyakit tuberkulosis, yang tersering berasal dari kelenjar
getah bening, juga dapat berasal dari sendi dan tulang. Oleh karena itu, tempat
predileksinya pada tempat-tempat yang banyak didapati kelenjar getah bening
superfisialis, yang tersering ialah pada leher, kemudian disusul di ketiak dan yang
terjarang pada lipat paha.(1)
Gambaran kliniknya dimulai dengan satu atau beberapa nodul indolen, keras dan
dalam, dan melekat dengan kulit diatasnya. Setelah beberapa minggu lesi menjadi
kemerahan, melunak dan mengalamai supurasi. Bila pecah terbentuk sinus atau ulkus
yang tepinya tidak teratur, fistel, sikatriks, danjembatankulit (skin bridges).(1,3)

Gambar 2 Skrofulodermapada region


klavikula(3)

4. Tuberkulosis kutis verukosa


TuberkulosiskutisverukosamerupakanTuberkulosiskutissejatisekunder yang
terjadi akibat inokulasi eksogen atau autoinokulasi dari sputum penderita Tuberkulosis
paru aktif pada kulit yang terkena trauma.Oleh karena itu sering pada daerah terpajan
biasanya pada tungkai bawah dan kaki.(6)
Gambaran klinisnya khas sekali, biasanya berbentuk bulan sabit akibat penjalaran
serpiginosa, yang berarti penyakit menjalar ke satu jurusan diikuti penyembuhan di
jurusan yang lain. Ruam terdiri atas papul-papul lentikular di atas kulit eritematosa.
Pada bagian yang cekung terdapat siktriks. Selain menjalar secara serpiginosa, juga
dapat menjalar ke perifer sehingga terbentuk sikatriks ditengah.(6)

Gambar 3 TB. kutis verukosapada dorsum manus(3)

5. Tuberkulosis kutis orifisialis


Sesuai dengan namanya, maka lokasinya di sekitar orifisium. Pada Tuberkulosis
paru dapat terjadi ulkus di mulut, bibir atau sekitarnya akibat berkontak langsung
dengan sputum. Pada tuberkulosis saluran cerna, ulkus dapat ditemukan disekitar anus
akibat berkontak langsung dengan feses yang mengandung kuman tuberkulosis. Pada
tuberkulosis saluran kemih, ulkus dapat dijumpai di sekitar orifisium ureter eksternum
akibat berkontak dengan urin yang mengandung kuman tersebut. Ulkus berdinding
tergaung, kemerahan, hemoragik, purulen dan sekitarnya livid(1,2,3,4)

Gambar 4 TB. kutis orifisialispadabibir(3)


6. Lupus vulgaris
Suatu bentuk tuberkulosis kulit pasca primer kronis progresif
yang terjadi pada seseorang dengan moderat atau tinggi derajat imunitas.(4)
Lupus vulgaris merupakan bentuk yang sering dan mengenai terutama pada
bagian yang sering terpapar misalnya pada wajah dan ekstremitas. Cara infeksi dapat
secara endogen atau eksogen. Gambaran klinis yang umum adalah kelompok nodus
eritematosa yang berubah warna menjadi kuning pada penekanan (apple jelly colour).
Nodus-nodus tersebut berkonfluensi berbentuk plak, bersifat destruktif, sering terjadi
ulkus. Pada waktu terjadi involusi terbentuk sikatriks. Bila mengenai muka tulang
rawan hidung dapat mengalami kerusakan. Penyembuhan spontan terjadi perlahan-lahan
di suatu tempat, tetapi terjadi perjalanan di tempat lain, yang dapat ke perifer atau
serpiginosa.(1,3,7)

Gambar 6(A)
Brownish-plaque
pada lupus vulgaris, (B) plak lupus vulgaris yang luas menginvasi daerah pipi, rahang, dan telinga.(3)

7. Tuberkulosis kutis gumosa (MTA/Metastase Tuberkulosis Abses)

Tuberkulosis ini terjadi akibat penjalaran secara hematogen, biasanya dari paru.
Kelainan kulit berupa infiltrat subkutan, berbatas tegas yang menahun, kemudian
melunak dan bersifat destruktif. Pada awalnya kulit berwarna normal dan lama-kelamaan
menjadi merah kebiruan. Lesi tersebar berbentu makula dan papul berukuran kecil atau
lesi berwarna kemerahan. Kadang-kadang vesikuler danterdapat krusta.(1,3)

8. Lupus milliaris diseminatus fasial


Mengenai wajah, timbulnya secara bergelombang. Ruam berupa papul-papul
bulat, biasanya diameternya tidak melebihi 5 mm, eritematosa kemudian meninggalkan
sikatriks. Pada diaskopi memberi gambaran apple jelly colour seperti pada lupus vulgaris.
(1)

9. Tuberkulosis papulonekrotika

Lesi tipe ini terutama terjadi pada anak-anak dan dewasa yang menderita
tuberkulosis pada bagian tubuh lain. Keadaan ini terjadi karena adanya reaksi alergi
terhadap basil tuberkel. Basil menyebar secara hematogen pada orang dengan satus
imunitas sedang atau baik, akan tetapi fokus tuberkulosis secara klinis tidak aktif pada
saat terjadinya erupsi, dan pasien sedang berada dalam keadaan sehat. Selain berbentuk
papulonekrotika juga dapat berbentuk papulopustul. Tempat predileksi pada muka,
anggota badan bagian ekstensor, dan badan. Mula-mula terdapat papul eritematosa yang
timbul secara bergelombang, membesar perlahan-lahan dan kemudian menjadi pustul,
lalu memecah menjadi krusta dan membentuk jaringan nekrotik dalam waktu 8 minggu,
lalu menyembuh dan meninggalkan sikatriks., kemudian timbul lesi-lesi baru. Lama
penyakit dapat bertahun-tahun.(1,6)

10. Liken skrofulosorum

Lesi biasanya terjadi di daerah leher pada anak yang menderita tuberkulosis
tulang atau nodus limfatikus. Kelainan kulit terdiri atas beberapa papul miliar, warna
dapat serupa dengan kulit atau eritematosa. Mula-mula tersusun tersendiri, kemudian
berkelompok tersusun sirsinar, kadang-kadang di sekitarnya terdapat skuama halus.
Tempat predileksi pada dada, perut, punggung dan daerah sacrum. Perjalanan
penyakitnya dapat berbulan-bulan dan residif, jika sembuh tidak meninggalkan sikatriks
(1,6)

11. Eritema nodusum

Kelainan kulit berupa nodus-nodus indolen terutama pada ekstremitas bagian


ekstensor. Diatasnya terdapat eritema. Banyak penyakit yang juga dapat memberi
gambaran klinis sebagai eritema nodusum., yang sering: lepra sebagai eritema nodusum
leprosum, reaksi yang terjadi karena Streptococcus B Hemolyticus, alergi obat secara
sistemik, dan demam reumatik.(1,6)

12. Eritema induratum (Basyn’s disease)

Eritema induratum adalah suatu peradangan kronis dari pembuluh darah arteri dan
vena bersifat jinak, dan disertai nekrosis lemak. Kelainan kulit berupa nodus-nodus
indolen. Tempat predileksinya pada daerah fleksor. Terjadi supurasi sehingga terbentuk
ulkus-ulkus. Kadang-kadang tidak mengalami supurasi, tetapi regresi sehingga terjadi
hipotrofi berupa lekukan-lekukan. Perjalanan penyakit kronik residif.(1,6)

F. DIAGNOSIS
Unsur utama dalam diagnosis klinis beragam untuk tuberkulosis kulit adalah sebagai
berikut :
1. Klinis dan sejarah epidemiologi
2. Bakterioskopi-basil tahan asam pada lesi
Bahan berupa pus, jaringan kulit dan jaringan kelenjar getah bening. Pada pewarnaan
dengan cara Ziehl Neelsen, atau modifikasinya, jika posistif kuman tampak berwarna
merah pada dasar yang biru. Kalau positif belum berarti kuman tersebut M. tuberculosis,
oleh karena ada kuman lain yang tahan asam, misalnya Mycobacteriumleprae(M.
leprae).(1)
3. Medium yang digunakan adalah Lowenstein Jensen
Metode radiometrik menggunakan CO2 sebagai prinsip bakteri yang memiliki C14 yang
mengarah untuk memperpendek waktu yang dibutuhkan untuk mengembangkan koloni
mikobakterium tuberkulosis.Kultur dilakukan pada media Lowenstein Jensen,
pengeraman pada suhu 37oC. Jika positif koloni tumbuh dalam waktu 8 minggu. Kalau
hasil kultur positif, berarti pasti kuman tuberkulosis.(1)
4. Histopatologi
Awalnya perubahan dari peradangan neutrophilic akut dengan nekrosis basil
banyak yang hadir setelah 3-6 minggu yang menyusup menjadi granulomatosa dan
casetion muncul bertepatan dengan hilangnya basil.(4)
Pada Tuberculosis chancre didapatkan inflamasi nonspesifik, kemudian setelah 3-
6 minggu ditemukan sel epiteloid, sel datia langhans, limfosit, dan nekrosis kaseosa. Pada
tuberculosis kutisgumosaditemukan nonspesifik inflamasi dan vaskulitis. Semua bentuk
dari Tuberkulosiskutis menunjukkan gambaran histopatologi tuberkulosis pada
umumnya. Pada Tuberkulosis kutis verukosa didapatkan karakteristik massive
pseudoepitheliomatous hyperplasia dermis dan abses. (7)

Gambar 5. Dermatopathology pada tuberculosis kutisverukosadimana terlihat hyperkeratosis & acanthosis dengan akut inflamasi
dan disertai abses pada dermis

5. Tes tuberkulin – PPD (Purufied Protein Derivatives) atau Mantoux


Mempunyai arti pada usia 5 tahun ke bawah dan jika positif hanya berarti pernah atau
sedang menderita penyakit tuberkulosis Purufied Protein Derivatives (tuberkulin
human), juga dapat dites dengan tuberkulin berasal dari mikobakteria atipikal. Hasil
reaksi tuberkulin dipengaruhi oleh etiologi. Jika penyebabnya M. tuberculosis, maka
reaksi tuberkulin human kuat, sedangkan bila penyebabnya mikobakteria atipikal, maka
reaksi tersebut lemah. Jadi antigen yang homolog akan memberikan reaksi yang lebih
kuat daripada antigen yang heterolog. Meskipun demikian karena dapat terjadi reaksi
silang, maka nilai tes tersebut kurang untuk menentukan etiologi.(1)

DIAGNOSIS BANDING(2)
1. Inokulasi tuberkulosis primer (tuberkulous chancre)
Diagnosis banding dari penyakit inokulasi tuberkulosis primer, adalah:
 Sporotrikosis adalah infeksi jamur kronis yang disebabkan Sporotrichiumscheinkii
dan ditandai dengan pembesaran kelenjar getah bening. Kulit jaringan subkutis di
atas nodus sering melunak dan pecah membentuk ulkus yang indolen.(1)

2. Skrofuloderma
Diagnosis banding dari penyakit skrofuloderma, adalah:
 Hidraadenitis supurativa adalah infeksi kelenjar apokrin, biasanya Staphylococcus
aureus. Penyakit ini disertai gejalah konstitusi: demam, malese. Ruam berupa nodus
dengan kelima tanda radang akut. Kemudian dapat melunak menjadi abses dan
memecah membentuk fistel.(1)

3. Lupus vulgaris
Diagnosis banding dari penyakit lupus vulgaris, adalah:
 Sifilis tersier merupakan lesi pertama umumnya terlihat antara tiga sampai sepuluh
tahun setelah Sifilis primer. Kelainan yang khas adalah guma, yakni infiltrat
sirkumskrip, kronis, biasanya melunak, dan destruktif.(1)

4. Tuberkulosis kutis verukosa


Diagnosis banding dari penyakit Tuberkulosis kutis verukosa, adalah:
 Kromomikosis atau kromoblastomikosis atau dermatitis verukosa adalah penyakit
jamur yang disebabkan oleh bermacam-macam jamus berwarna (dermatiaceous).
Penyakit ini ditandai dengan pembentukan nodus verukosa kutan yang perlahan-
lahan, sehingga akhirnya membentuk vegetasi papilomatosa yang besar.(1)
 Liken planus hipertrofik timbul karena faktor imunitas seluler. Terdiri atas plak yang
verukosa yang berwarna merah coklat atau ungu, terletak pada daerah tulang kering.
(1)

5. Tuberkulosis kutis orifisialis


Diagnosis banding dari penyakit tuberkulosis kutis, adalah squamous cell carsinoma.(1)

PENATALAKSANAAN
Prinsip pengobatan Tuberkulosiskutis sama dengan Tuberkulosisparu. Untuk mencapai
hasil yang baik hendaknya diperhatikan syarat-syarat yaitu pengobatan harus dilakukan
secara teratur tanpa terputus agar tidak cepat terjadi resistensi dan pengobatan harus dalam
kombinasi. Untuk semua bentuk Tuberkulosiskutis, multi drugs yang terbaru
direkomendasikan.Obat-obatan dan dosis yang digunakan adalah sebagai berikut:(3)
Obat Pilihan 1 Pilihan 2 Pilihan
antituberkulosis 3
8 16 minggu 2 6 16 9 bulan
minggu minggu minggu minggu
Rifampisin 10 Perhari 2-3x/mgg Perhari Perhari Perhari 3x/mgg
mg/kg
Izoniazid 5 mg/kg Perhari 2-3x/mgg Perhari Perhari Perhari 3x/mgg

Pyrazinamide 30 Perhari Perhari Perhari 3x/mgg


mg/kg
Ethambutol 15 Perhari Perhari 2x/mgg 3x/mgg
mg/kg atau
Streptomycin 15
mg/kg
Tabel 1 terapi infeksi mikobakterium tuberkulosis. (3)
(Lama pengobatan 6 bulan kecuali pasien mengalami infeksi virus humanimmunodeficiency, ini diobati selama 9 bulan)

Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 4 macam OAT ( Obat Alternatif Tuberkulosis)
yaitu rifampisin 150 mg, isoniasid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg.
Rekomendasi WHO tahun 1999 kombinasi dosis tetap diberikan berdasarkan berat badan
untuk dewasa dan dosis berbeda pada anak. Pada saat ini kombinasi tetap yang ada di
Indonesia hanya RHZE dan RH. (6)
Berbagai variasi paduan pengobatan Tuberkulosis telah dikenal selama ini. Pada
dasarnya pengobatan terdiri atas dua faseyaitu fase awal dan fase lanjutan. Pada fase awal
diperlukan sedikitnya 3 atau 4 macam obat, dan pada fase lanjutan diberikan 2 macam obat.
Untuk fase awal biasanya 2 HRZE sedangkan pada fase lanjutan 4 H3R3. (6)
Pada kombinasi dan masa pengobatan diatur dengan pemberian H, R, Z selama 2
bulan, selanjutnya H, R selama 4 – 10 bulan, jika H, R, E selama 2 bulan, selanjutnya H,R
selama 4 – 10 bulan. (1,6)
Sebelum pengobatan, periksa fungsi hepar (SGOT, SGPT, Alk.fosfatase), kemudian
2 minggu sesudah pengobatan (biasanya meninggi) .Bila pemeriksaan 2 minggu sesudah itu
masih tetap atau menurun→obat diteruskan, tetapi bila terus menaik, obat yang diberi
adalah INH setiap hari dan R 2 x/mg. (1,6)

3) Bagaimana Casification of cutaneus Tuberculosis:


1. Tuberkulid

Tuberkulid merupakan kelompok penyakit yang dihubungkan dengan fokus infeksi


Mycobaterium

tuberculosis di dalam tubuh. Kondisi ini dianggap sebagai reaksi imun pada kulit terhadap
penyebaran

hematogen dari M. tuberculosis atau antigennya dari sumber infeksi utamanya.3

Epidemiologi

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 2013

didapatkan 9 juta kasus baru tuberkulosis di seluruh dunia. Infeksi tuberkulosis ini menyebabkan
1.5

juta kematian di dunia setiap tahunnya, sehingga penanganan serta pencegahannya masih
menjadi

tujuan utama program kesehatan di seluruh dunia.4

Di Indonesia sendiri tahun 2014 didapatkan kasus baru sebanyak 176.677 yang menurun

dibandingkan pada tahun 2013 dimana didapatkan 196.310 kasus baru. Jumlah kasus tertinggi

dilaporkan didapatkan pada provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah dimana kasus
baru

pada 3 provinsi tersebut mencakup 40% dari jumlah kasus baru di seluruh Indonesia.5

Pada sebuah studi yang dilakukan oleh WHO menemukan bahwa dari seluruh kasus infeksi

tuberkulosis di dunia, 14% diantaranya menunjukkan bentuk ekstrapulmoner dari tuberkulosis,


yakni

1-2% diantaranya dalam bentuk tuberkulosis kutaneus.6

Klasifikasi2
Tuberkulid dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok berdasarkan hubungannya terhadap
infeksi

tuberkulosis, antara lain:1. Tuberkulid

Kondisi dimana kuman Mycobacterium tuberculosis / bovis memegang peranan penting

dalam timbulnya lesi pada kulit. Penyakit yang termasuk dalam kelompok ini adalah liken

skrofulosorum serta tuberkulid papulonekrotik.

2. Tuberkulid fakultatif

Kondisi dimana infeksi Mycobacterium tuberculosis / bovismungkin hanya salah satu faktor dari

proses patogenesis timbulnya lesi pada kulit. Penyakit yang termasuk dalam kelompok ini adalah

vaskulitis nodular / eritema induratum dari Bazin serta eritema nodosum.

Beberapa kepustakaan mengklasifikasikan tuberkulid langsung ke penyakit yang timbul yaitu

tuberkulid papulonekrotik, eritema induratum dari Bazin serta liken skrofulosorum.

Patogenesis

Makrofag pada jaringan merupakan salah satu lini pertama dalam pertahanan terhadap kuman

Mycobacterium. Setelah kuman difagosit akan tetapi kuman basil tetap dapat hidup di dalam
fagosom.

Setelah terjadi fusi antara fagosom dan lisosom, antigen ini akan dipresentasikan ke limfosit T
CD4

oleh Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Sel Th1 (CD4) merupakan sel yang
memegang

peranan penting dalam respon imun terhadap Mycobacteria.7

Sel yang terinfeksi dan mengandung antigen bakteri dapat juga menstimulasi sel T CD8

melalui MHC kelas I, yang membantu dalam respon imun terhadap M. tuberculosis.7

Apabila kuman selamat dari lini pertama pertahanan tubuh, kuman ini akan membelah di
dalam makrofag sehingga tubuh memicu produksi sitokin untuk membantu membunuh kuman
yang

bermultiplikasi. Sitokin seperti IL-6, IL-12, IL-1α, dan IL-1β akan memicu datangnya monosit,
limfosit,

neutrofil serta sel dendritik untuk membantu menghancurkan makrofag berisi kuman basil.
Interleukin

12 dan 18 akan memicu produksi CD4+ dan CD8+ serta sel limfosit NK untuk melepaskan IFN-
γ yang

akan memicu produksi TNF- α.7

Setelah proses penahanan awal gagal maka tubuh memulai cara lain untuk menahan

proliferasi dari kuman Mycobacterium dengan cara pembentukan granuloma yang distimulasi
oleh

TNF- α. Pembentukan granuloma ini sangat dipengaruhi oleh faktor imunitas pejamu. Apabila
proses

penahanan ini berhasil maka akan mengakibatkan proses stabilisasi, infeksi yang laten atau

kesembuhan, sedangkan apabila tidak berhasil maka akan timbul kerusakan jaringan serta

penyebaran ke organ lain.7

Progresifitas dari infeksi M. tuberculosis dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain (1)

imunitas seluler dari pejamu, (2) rute infeksi, (3) tingkat resistensi dari kuman, (4) faktor
virulensi dari

kuman, serta (5) faktor lingkungan. Semakin menurunnya imunitas atau meningkatnya faktor
infeksi

kuman maka risiko terjadinya penyebaran ekstrapulmoner meningkat.8

Pada kondisi tuberkulid merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap infeksi tuberkulosis non

kutaneus yang menimbulkan lesi pada kulit. Hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukannya basil
M.tuberculosis pada lokasi lesi tuberkulid. Patogenesis dari terbentuknya tuberkulid masih belum

diketahui akan tetapi pada spesimen biopsi lesi tuberkulid didapatkan DNA Mycobacterium

menggunakan PCR, meskipun tidak didapatkannya organisme tersebut pada kultur maupun
pengecatan Ziehl-Nielsen. Seluruh tuberkulid memberikan gambaran reaksi granulomatosa,
nekrosis

dan vaskulitis yang menunjukkan bahwa lesi ini timbul akibat pelepasan antigen mycobacterium
dari

lokasi infeksi di luar kulit.9

Gambaran Klinis

Tuberkulid dapat terjadi dengan 3 gambaran klinis antara lain tuberkulid papulonekrotik, liken

skrofulosorum serta eritema induratum dari Bazin.

1. Tuberkulid papulonekrotik

Tuberkulid papulonekrotik tampak sebagai lesi papulonodular berwarna merah hingga

keunguan dengan distribusi yang simetris serta tanpa menimbulkan nyeri. Lesi ini akan
berkembang

hingga meninggalkan jaringan parut yang berbentuk varioliformis maupun punched-out. Kondisi
ini

timbul terutama pada permukaan ekstensor dari tungkai bawah dan lengan, bagian dorsum dari

tangan serta bokong dari anak-anak dan remaja muda.10

Secara histopatologi tampak vaskulitis leukositoklastik pada lesi awal dan gambaran

granuloma tuberkuloid pada lesi yang lebih lanjut. Hal ini menunjukkan bahwa pada lesi awal

tuberkulid papulonekrotik disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe III yang berubah menjadi
reaksi

hipersensitivitas tipe IV atau reaksi tipe lambat pada lesi yang lebih lanjut. Selain itu ditemukan
juga
nekrosis pada dermis yang berbentuk baji, dengan infiltrasi sel mononuklear pada perivaskuler
tanpa

didapatkan bakteri tahan asam (BTA) yang positif.3

Kondisi ini sering salah didiagnosis sebagai PLEVA (Pityriasis Lichenoides et Varioliformis

Acuta), vaskulitis leukositoklastik nekrotika, serta sifilis sekunder.11

Gambar 1. Tuberkulid papulonekrotik pada lengan pada pasien dengan tuberkulosis 8

2. Liken Skrofulosorum

Kondisi ini sangat jarang ditemukan, umumnya tampak sebagai papul perifolikuler berwarna

merah kecoklatan yang kecil dan mengkilat, sering kali ditutupi oleh krusta atau hiperkeratosis.

Kondisi ini tidak menimbulkan gejala apapun dengan distribusi berkelompok dan berbentuk
numuler.

Predileksi dari kondisi ini terutama pada batang tubuh dan lebih sering ditemukan pada anak-
anak.

Tipe tuberkulid ini adalah kondisi yang paling sering didapatkan setelah vaksinasi BCG, dimana
ditemukan riwayat vaksin pada 70% pasien yang mengidap kondisi ini. Selain disebabkan oleh

vaksinasi BCG, liken skrofulosorum dihubungkan juga dengan infeksi oleh Mycobacterium
avium. 12,13

Secara histopatologi tampak gambaran granuloma dengan sedikit atau tanpa nekrosis

kaseosa pada sekitar folikel dan kelenjar sudorifera. Pada sediaan sangat jarang ditemukan
bakteri

Mycobacterium akan tetapi pada pemeriksaan PCR umumnya akan menemukan DNA dari
bakteri

tersebut pada lesi.9

Kondisi ini dapat didiagnosis banding dengan liken planus, liken nitidus, sifilid likenoides,

keratosis pilaris, pitiriasis rubra pilaris serta sarkoidosis mikropapular.3,9


Gambar 2. Lesi liken skrofulosorum pada bagian bokong anak 9 tahun pasca vaksinasi
BCG 14

3. Eritema Induratum dari Bazin

Eritema induratum dari Bazin awalnya ditemukan oleh Bazin di Paris pada tahun 1816 berupa

erupsi nodular yang timbul pada tungkai bawah wanita muda yang terinfeksi tuberkulosis.
Meskipun

jika dilihat dari sejarah berbeda, vaskulitis nodular adalah sebutan lain dari kondisi ini, dimana
pada

Eritema induratum dari Bazin nodul yang timbul akibat dari reaksi hipersensitivitas terhadap

tuberkulin. Pasien umumnya datang dengan keluhan nodul keunguan atau plak yang rekuren,
nodul

ini tidak hangat pada perabaan, tidak nyeri, dan memiliki tendensi untuk terjadi ulserasi.
Kebanyakan

lesi nodul ini akan hilang dengan sendirinya dalam beberapa bulan, dan meninggalkan

hiperpigmentasi pasca inflamasi serta skar atrofi. Lokasi dari lesi ini terjadi pada posterior dan

anterolateral dari tungkai bawah. Umumnya kondisi ini dapat berulang setiap 3-4 bulan. Lesi
eritema

induratum dari Bazin ini dapat terjadi bersamaan dengan tipe tuberkulid lain seperti tuberkulid

papulonekrotik.15

Secara histopatologi eritema induratum dari Bazin tampak sebagai panikulitis lobular yang

disertai gambaran granuloma dengan fokus nekrosis, vaskulitis, dan fibrosis septal. Gambaran

vaskulitis tidak selalu ditemukan, sehingga tidak menjadi faktor utama untuk mendiagnosis
kondisi ini.

Pada pengecatan Ziehl Nielsen tidak didapatkan bakteri tahan asam.16

Kondisi ini dapat didiagnosis banding dengan eritema nodosum, poliarteritis nodosa kutan,
panikulitis pankreatika, lupus profunda, sarkoid subkutan serta limfoma kutis.17Gambar 3.
Nodul subkutan pada pasien dengan infeksi Tuberkulosis laten 17

DIAGNOSIS

Kriteria diagnosis untuk tuberkulid masih belum disepakati secara luas akan tetapi beberapa studi

menggunakan kriteria sebagai berikut:3

1. Positif pada tes tuberkulin

2. Didapatkan manifestasi maupun riwayat infeksi Tuberkulosis / vaksin BCG pada beberapa

kasus

3. Berespon dengan baik dengan terapi anti tuberkulosis

4. Pada pemeriksaan biopsi tidak didapatkan adanya kuman mycobacterium (BTA)

Untuk membantu diagnosis ini dapat digunakan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan

laboratorium serta histopatologi.

 Pemeriksaan Laboratorium

1. Tes kulit tuberkulin

Tes tuberkulin merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk mengidentifikasi individu yang

pernah terpapar oleh M. tuberculosis. Tes ini akan menunjukkan hasil positif pada 2 hingga 10
minggu

setelah infeksi. Teknik pemeriksaan ini dilakukan dengan injeksi intradermal dari derivat protein

tuberkulin yang dipurifikasi pada bagian volar lengan, kemudian dibaca hasilnya dalam waktu
48-72

jam setelah injeksi. Hasil yang positif akan menunjukkan indurasi lebih atau sama dengan 5 mm
pada

pasien dengan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) atau lebih atau sama dengan 10
mm
pada pasien tanpa gangguan sistem imun.18

Reaksi negatif palsu dapat timbul pada anak dibawah usia 2 bulan, wanita hamil, pasien

dengan diabetes, gangguan ginjal atau gangguan sistem imunitas seluler. Reaksi positif palsu

didapatkan pada pasien yang baru diberikan vaksinasi terutama pada anak di atas usia 1 tahun
serta

koinfeksi dari mikobakteria atipikal.19

Untuk kasus tuberkulosis kutan sendiri, tes kulit tuberkulin memiliki sensitivitas antara 33%-

96% dan spesifisitas sebesar 62.50%. Pada populasi yang belum mendapatkan vaksinasi
dikatakan

sensitivitasnya dapat mencapai 97%.19

2. Interferon gamma release assays

Pemeriksaan ini merupakan tes serologi untuk menilai infeksi laten tuberkulosis dengan

mengukur interferon gamma yang diproduksi oleh sel T pada individu yang terpapar dengan
antigen Mtb. Tes ini dapat menimbulkan kesalahan pada populasi yang tinggal di daerah
endemik maupun

yang telah mendapatkan vaksin BCG.20

Saat ini tersedia 2 tes yang disetujui oleh FDA (Food and Drug Administration) yaitu

QuantiFERON-TB Gold (QFT-G) dan T-SPOT.TB. Sensitivitas dari QFT-G sebesar 76%
dibandingkan

90% pada T-SPOT.TB, akan tetapi QFT-G memiliki spesifisitas yang lebih tinggi yaitu 99%
pada

pasien yang belum divaksinasi serta 96% pada populasi yang telah divaksinasi, dibandingkan
dengan

93% pada tes T-SPOT.TB. Pada kasus tuberkulosis kutan umumnya ditemukan nilai sensitivitas
dan
spesifisitas yang lebih rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh nilai positif palsu yang diakibatkan
oleh

infeksi mikobakterium atipikal.20

Keuntungan dari pemeriksaan ini adalah tidak terbatas oleh masalah vaksinasi selain itu

dapat menskrining tuberkulosis laten pada pasien yang mendapatkan terapi anti TNF-alfa, pasien

dengan penyakit ginjal, membantu diagnosis pada populasi anak-anak dan pasien dengan AIDS,

serta membantu menegakkan diagnosis eritema induratum yang disebabkan oleh tuberkulosis.21

3. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Pemeriksaan ini menggunakan bahan dari jaringan segar lesi tuberkulid dan digunakan untuk

mendeteksi ada atau tidaknya DNA dari Mtb dimana pada umumnya tidak diketemukannya
bakteri

tahan asam dari pewarnaan histopatologi. Pada tuberkulid akan tetapi ditemukan DNA dari Mtb
pada

bahan kulit yang di biopsi, hal ini menunjukkan bahwa reaksi hipersensitivitas yang timbul
diakibatkan

reaksi terhadap antigen dari M.tuberculosis. 22

Proses ini dapat dilakukan dalam 4 cara, antara lain:

PCR konvensional

Sistem manual yang umum ditemukan di laboratorium dengan mengamplifikasi urutan DNA

menggunakan primer oligonukleotida serta DNA polimerase.22

Real-time PCR
Sistem automatis yang setelah proses amplifikasi akan dilanjutkan oleh paparan emisi cahaya
untuk

melihat segmen tertentu dari DNA. Keuntungan dari penggunaan sistem ini adalah mengurangi

kontaminasi dari alat, mengurangi kehilangan materi yang diperiksa serta menurunkan kesalahan

operator. Meskipun begitu tidak didapatkan perbedaan sensitivitas dan spesifisitas dari metode
PCR

konvensional.23

PCR dengan hibridisasi

Pada metode ini setelah amplifikasi, DNA dipilih menggunakan marker kemudian sediaan akan

diletakkan pada piringan ELISA dimana akan ada alat yang mengikat bagian dalam dari fragmen
DNA

tersebut. Reaksi dari marker dan alat tersebut menghasilkan warna yang dapat dilihat dan dinilai

menggunakan spektofotometer. Sistem ini membantu meningkatkan kemungkinan mendeteksi


DNA

serta mengurangi nilai negatif palsu.22

PCR in situ

Proses ini menggunakan hibridisasi langsung di dalam jaringan, sehingga dapat langsung lokasi
DNA

dari mikobakterium di dalam sel. Meskipun tingkat sensitivitasnya lebih rendah dibandingkan
dengan

PCR konvensional, metode ini dapat meningkatkan kemungkinan untuk hasil yang positif.224.
Genotyping24

Pemeriksaan ini meliputi beberapa teknik untuk melihat gambaran molekuler strainMtb.
Pemeriksaan ini membantu dalam mengurutkan gen resistensi yang ada untuk menilai mutasi
yang

dapat timbul, selain itu dapat juga memungkinkan kita memisahkan mikobakteria atipikal dengan
M.

tuberculosis. Terdapat 3 metode dalam genotyping, antara lain:

Spoligotyping (Spacer Oligonucleotide Typing)

Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai keberadaan polimorfisme dari lokus DR (Direct
Repeat)

yang hanya dapat ditemukan pada gen mikobakteria Mtb. Oleh karena pemeriksaan ini
menggunakan

jumlah DNA yang lebih kecil, sehingga sensitivitas dari metode ini dapat ditingkatkan. Metode
ini

menjadi standar baku pemeriksaan untuk genotyping dan menentukan strain dari mikobakterium.

RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism)

Metode ini meliputi memasukkan urutan IS6110 pada gen strain Mtb. Metode ini digunakan
untuk

mempelajari epidemic atau mempelajari genetik populasi. Enzim restriksi digunakan untuk
membelah

DNA dari Mtb untuk sejauhnya dilakukan pemeriksaan.

MIRU-VNTR (Mycobacterial Interspersed Repetitive Unit- Variable Number of Tandem

Repeats)
Metode ini merupakan tindakan standar dimana meliputi amplifikasi dari lokus polimorfik 12, 15
atau

24 pada keluarga MIRU-VNTR. Setelah diamplifikasi maka akan dilanjutkan dengan proses

elektroforesis yang membantu dalam visualisasi dan identifikasi dari lokus tersebut, sehingga
kita

dapat mengklasifikasi golongan keluarga dari mikobakterium yang diperiksa.

Kebanyakan dari peneliti atau studi yang dilakukan dalam bidang ini menggunakan PCR

sebagai pemeriksaan tambahan dari pemeriksaan histopatologi, terutama dalam membantu

mendiagnosis kasus yang sulit. Sebuah studi yang dilakukan oleh Abdalla dkk. yang
membandingkan

PCR dengan metode diagnostik lainnya dan mendapatkan PCR memiliki tingkat sensitivitas dan

spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan pemeriksaan lainnya (sensitivitas 88% dan
spesifisitas

83%).25

 Pemeriksaan Histopatologi

Pada pemeriksaan histopatologi umumnya semua tuberkulosis kutis akan memberikan gambaran

yang serupa dimana didapatkan limfosit, histiosit epiteloid dan sel raksasa. Perbedaan dari
gambaran

histopatologi beberapa bentuk tuberkulosis kutan dipengaruhi oleh variasi dari kemampuan
untuk

pejamu dalam membentuk granuloma. Jika dilihat dari perbedaan tingkat respon imun dari
pejamu,

maka secara histopatologi tuberkulosis kutis dapat dibagi menjadi 3, antara lain:26

1. Granuloma yang terbentuk dengan baik, tanpa didapatkan nekrosis kaseosa

-
Lupus vulgaris

Liken skrofulosorum

2. Granuloma dengan nekrosis kaseosa

Tuberkulosis verukosa kutis

Tuberkulosis kutis primer

Tuberkulosis milier akut-

Tuberkulosis orifisialis

Tuberkulid papulonekrotik

3. Granuloma yang terbentuk tidak baik, dengan banyak nekrosis kaseosa

Skrofuloderma

Abses metastatik dan gumma

Pada tuberkulosis kutis seharusnya ditemukan bakteri tahan asam kecuali pada kasus tuberkulid,

dimana proses yang terjadi hanya disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap antigen

mikobakterium. Meskipun begitu dari beberapa penelitian, penemuan bakteri tahan asam sangat
sulit
untuk didapatkan meskipun setelah dilakukan pewarnaan tertentu. Tanpa ditemukannya bakteri
tahan

asam, bukan berarti diagnosis tuberkulosis kutis dapat disingkirkan. Gambaran granuloma secara

histopatologi juga didapatkan pada penyakit granulomatosa lainnya seperti rosasea


granulomatosa

dan sarkoidosis. Oleh karena itu pemeriksaan tambahan seperti PCR atau tuberkulin tes perlu

dilakukan untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis kutis dan tuberkulid.26

Gambar 4. Gambaran histopatologi tuberkulid papulonekrotik (a) area nekrosis kaseosa


(b)

infiltrat histiosit, limfosit, neutrofil dan sel raksasa.26

TATALAKSANA

Terapi dari tuberkulid dan bentuk lain dari tuberkulosis kutis serupa dengan pengobatan untuk

tuberkulosis sistemik. Pemberian terapi untuk kondisi ini bukan hanya dapat membunuh kuman

mikobakterium secara langsung akan tetapi juga mencegah resistensi bakteri serta menurunkan

penularan M. tuberculosis. Beberapa obat yang tersedia saat ini mengatasi kuman tuberkulosis
pada

lokasi yang berbeda, obat-obatan ini antara lain:3

1. Sintesis asam mikolik

Isoniazid

Etionamid

Protionamid
-

Tiasetazon

2. Sintesis arabinogalaktan

Etambutol3. Peptidoglikan

Sikloserin

4. Mikobaktin pada membran sel

asam para-aminosalisilik

5. Subunit ribosom

Streptomisin

Aminoglikosida

Kapreomisin

Viomisin

Makrolid

6. Sintesis RNA

-
Rifampin

7. DNA girase-topoisomerase

Florokuinolon

8. Tidak diketahui

Klofazimin (kemungkinan RNA polimerase)

Pirazinamid

Sejak tahun 1979 terapi yang direkomendasikan adalah kombinasi antara rifampisin, isoniazid

dan pirazinamid, dikarenakan tingkat resistensi terhadap isoniazid maka Second National Survey
on

Anti-TB drugs Resistance menambahkan etambutol pada fase intensif terapi. Untuk kondisi

tuberkulosis ekstrapulmoner termasuk tuberkulosis kutis terapi yang diberikan selama 6 bulan
yang

terbagi atas 2 bulan fase intensif dan 4 bulan fase pemeliharaan.24Tingkat resistensi yang tinggi
membuat terapi tuberkulosis dengan monoterapi tidak mampu

untuk mengatasi infeksi yang terjadi. Tingkat resistensi obat pada tuberkulosis dibagi atas 2
yaitu:27

1. Multidrug-resistant Tuberculosis (MDR-TB)

Resistensi terhadap isoniazid dan rifampin, dua obat lini pertama yang paling efektif

Ditemukan pada 4% kasus baru TB di seluruh dunia pada 2009


2. Extensively drug-resistant Tuberculosis (XDR-TB)

Resistensi terhadap isoniazid dan rifampin

Resistensi terhadap kuinolon, obat lini kedua yang paling efektif

Resistensi terhadap paling tidak 1 dari 3 obat injeksi lini kedua: amikasin, kanamisin, atau

kapreomisin

Ditemukan pada 5-10% dari kasus MDR-TB

Regimen terapi untuk semua kasus tuberkulosis pulmoner dan ekstrapulmoner, termasuk

kasus relaps dan kasus putus obat. Fase dari regimen terapi ini terbagi atas 2, antara lain:

1. Fase intensif

Rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), [150mg/ 75mg/ 400mg/ 275mg]

2 bulan pertama

2. Fase pemeliharaan

- Rifampisin (R) , isoniazid (H), [300mg/ 200mg]

- 4 bulan seterusnya

Untuk kasus tuberkulosis ekstrapulmoner pada pasien hamil, penggunaan streptomisin dan

etambutol merupakan kontraindikasi dikarenakan efek teratogenik, akan tetapi sampai saat ini
belum
didapatkan data tentang efeknya pada penggunaanya sebagai terapi tuberkulosis pada pasien
hamil.

Pada wanita hamil pemberian piridoksin 50mg/hari dapat menurunkan risiko toksisitas saraf
yang

timbul akibat pemberian isoniazid. Pada pasien dengan gangguan ginjal dimana didapatkan
creatinine

clearance kurang dari 30ml/menit, perlu disesuaikan dosisnya menjadi lebih rendah. Pada pasien

dengan gangguan hati dimana tingkat transaminase lebih dari 3 kali lipat nilai normal,
pirazinamid

umumnya dihentikan dan ditambahkan streptomisin. Pada pasien dengan kondisi MDR dan XDR

harus diberikan terapi lain dengan obat lini kedua seperti injeksi kanamisin, streptomisin dan
amikasin,

atau obat oral golongan kuinolon dan makrolid.24 Regimen yang direkomendasi untuk MDR-TB
atau

XDR-TB adalah pemberian kombinasi minimum 4 obat dimana kuman M.tuberculosis masih

sukseptibel. Obat-obatan ini dibagi atas 5 kelompok berdasarkan tingkat efektifitasnya, (1)
kelompok

pertama adalah isoniazid dosis tinggi, pirazinamid dan etambutol, (2) kelompok kedua adalah

florokuinolon dimana pilihan utamanya adalah levofloksasin dosis tinggi, (3) kelompok ketiga
adalah

obat injeksi kapreomisin, kanamisin dan amikasin, (4) kelompok keempat adalah tioamid,
sikloserin,

dan asam aminosalisilik, (5) kelompok kelima adalah klofazimin, amoksisilin klavulanat,
linezolid,

karbapenem, tiosetazon dan klaritromisin.


DAFTAR PUSTAKA

1. Lee DJ, Rea TH, Modlin RL. 2012. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.
USA: McGraw-Hill. Eight Edition. 9(12): 2253-2262
2. Legendre DP, Muzny CA, Swiatlo E. 2012. Hansen’s Disease (Leprosy): Current and
Future Pharmacotherapy and Treatment of Disease-Related Immunologic Reactions.
USA: American College of Clinical Pharmacy. 32(1): 27-37
3. Departemen Kesehatan RI. 2015. Infodatin: Kusta.. Jakarta: Pusat data dan informasi
kementrian kesehatan RI. Hal.1-7
4. Tiarasari R. 2014. Rehabilitation and Disability Limitation of Youth 22 Years old
Morbus Hansen. Lampung: J Medula Unila 3(2): 96-107
5. The International Federation of Anti-Leprosy Association (ILEP). Terjemahan dalam
bahasa Indonesia: Bagaimana mengenali dan menatalaksana reaksi kusta oleh RS Kusta
Dokter Rivai Abdullah 2012. The ILEP Action Group on Teaching and Learning
Material (TALMilep).2002.
6. Burgess K. 2004. Clinical Practice of Physical Medicine and Rehabilitation. 1: 6-12
7. Scollard DM, Adams LB, Gillis TP, Krahenbuhl JL, Truman RW, Williams DL. The
continuing challenges of Leprosy. Clin. Microbial. Rev 2006; 19 (2): 338-81.
8. Kar HK, Sharma P. Leprosy reaction. Dalam: Kar HK, Kumar B, editors. IAL Textbook
of Leprosy. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) LTD, 2010: 269-87.
9. Martodihardjo S, Sosanto SD. Reaksi Kusta dan Penanganannya. Dalam: Daili ESS,
Menaldi
10. Amiruddin MD. Eritema Nodosum Leprosum. MDVI 1998; 25/4S: 39S-43S.
11. Spierings E, Boer TD, Zulianello L, Ottenhoff TH. Novel mechanism in the
immunopathogenesis of leprosy nerve damage: The role of Schwann cells, T cells and
mycobacterium leprae. Immnunology and Cell Bilogy 2000; 78: 349-55.
12. World Health Organization. 2016. Global Leprosy Strategy 2016-2020. India: World
Health Organization 1(2):3-5
13. Amirudin MD, Hakim Z, Darwis E. 2003. Diagnosis penyakit Kusta. Dalam:Daili ESS,
Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H, editor. Kusta. Edisi ke-2. Jakarta: FKUI: 12-31.
14. Alang H, Hatta M, Massi N. 2011. Analisis Polimorfisme Gen Vitamin D Receptor (Vdr)
Exon 9352 pada Penderita Kusta Di Makassar. JST Kesehatan, April 2011, Vol.1 No.1
Hal : 77 – 84 ISSN 1411-4674
15. World Health Organization. 2016. Guide to Eliminate Leprosy as a Public Health
Problem. Switzerland: World Health Organization. Hal 1-22
16. Indian Association of Preventive and Social Medicine. 2004. National Leprosy
Eradication Program: Disability Prevention and rehabilitation. India: Indian Association
of Preventive and Social Medicine.Hal.1-7

Anda mungkin juga menyukai