SKENARIO 2
“ BERCAK PADA KULIT YANG TERASA BAAL ’’
NAMA : LUGINO
NPM : 114170035
KELOMPOK: 1A
TUTOR : dr. KARTIKA DWI APRISIA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2021
SKENARIO 2
Seorang wanita berusia 30 tahun datang dengan keluhan bercak kemerahan pada lengan kanan
sejak ± 2 minggu yang lalu. Awalnya bercak kecil dan lama kelamaan semakin banyak. Pasien
juga mengeluhkan muncul benjolan di leher yang terasa nyeri. Keluhan demam, gatal maupun
rasa terbakar disangkal. Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum dalam batas normal. Status
dermatologikus ditemukan macula eritematosa tersebar diskret pada lengan kanan hingga
punggung, berukuran nummular sampai plakat, tepi lesi sebagian tegas dan Sebagian lagi tidak
tegas. Pada leher didapatkan nodul multiple dokter mengusullkan untuk dilakukan pemeriksaan
BTA. Dokter lalu memberikan tatalaksana dan edukasi terkait penyakit pasien.
1. Macula eritematosa: bercak, bintik, atau oenebalan terutamaa yang dapat dibedakan dari
sekelilingnya karena warna atau karakteristik lainnya.
2. Diskret: penyebaran dari lesi pada kulit yang terpisah satu dengan yang lain
3. Nummular: suatu peradangan pada kulit berbentuk koin atau oval disertain dengan kulit
yang gatal dan lepuhan-lepuhan kecil
4. Plakat: suatu peninggian diatas permukaan kulit seperti dataran tinggi atau mendatar yang
berbentuk >0.5
5. Pemeriksaan BTA: pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi bakteri dari penyebab
tuberculosis
6. Nodul: penonjolan padat diatas permukaan kulit, diatemeter>0.5 cm
1. Mengapa pasien dapat mengalami keluhan muncul bercak kemerahan pada lengan kanan?
2. Mengapa bercak menjadi semakin banyak dan muncul benjolan pada leher?
3. Mengapa dokter mengusulkan untuk dilakukan pemeriksaan BTA?
4. Bagaimana penegakan diagnosis yang tepat pada kasus tersebut?
5. Bagaimana tatalaksana dan edukasi pada kasus tersebut?
1. Pasien kemungkinan terkena myobacterium leprae. Myobactreium lepra ini masuk nya
lewat droplet atau kontak dengan kulit, yang bakal masuk ke dermis sel saraf schwan,
yang akan menyebabkan sist imun seluler mengikat, lalu fagositosis dan pembentukan
tubercel, akan menyebabkan morbus hensen, ada yang pausibasiler dan multisabiler.
Saraf otonom lalu ke kelenjar minyak, lalu kulit nya akan kering bersisik, lalu gangguan
fungsi kulit dan menyebabkan gangguan integritas kulit. Disebabkan oleh myobacterium
lepra, melalui droplet, masa inkubasi nya lama. Patof: masuk melalui droplet, terinhalasi,
masuk ke saluran pernafasan, aktivasi sel t dan makrofag, ke sirkulasi dan ke kulit lalu ke
saraf di sel schwan. Suhu sel schwaan 27 derajat. Nanti stimulasi nya akan menjadi
sensasi saraf menurun. Lepra kaitannya dengan sist imun seluler individunya, kalau sel
imun nya lemah terjadi yang multibasiler, kalau imunnya kuat terjadi nya pausibasiler.
2. Karena adanya penyerangan pada saraf perifer sehingga bisa penonjolan di leher. Stage
of involment: stage of damage: tingkatan saraf yang lebh rusak, stage of destruction:
kerusakan saraf yang lengkap. Type kusta yang PB dan MB, kalau yang penonjolan
masuk nya ke tipe yang MB.
3. Pemeriksaan hapusan kulit sensitivitas nya rendah, disebebkan karena pemeriksaan
tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pada pemeriksaan tersebut setelah specimen
diambil lalu dilakukan pewarnaan zeihl neelsen dan di lihat di mikroskop lalu dihitung
lapang pandang, menurut skala logaritma ridley. Myobacterium lepra merupakan bakteri
yang tahan asam. Kalau pemeriksaan bta negatif itu belum tentu tidak adanya kuman,
bisa ada nya yang tipe pausibasiler, kalau bta positif itu tipe yang multibasiler.
Pemeriksaan dilihat dari indeks bakterinya yang tujuannya melihat apakah terajdi
resistensi kumah bta nya terlihat atau tidak, dan untuk terapi nya. Untuk melihat
ingfeksiusitas dari penyakit nya. Skala logaritma ridley: +1 1-10 bta dalam 100 lapang
pandang. +2 1-10 BTA dalam 10 lapang pandang.
4. Anamnesis: keluhan lesi pada kulit, bercak merah atau putih di kulit dan mati rasa, kulit
mengilap dan bersisik, ada bagian kulit yang tidak berambut dan berkeringat, adanya rasa
kesemutan atau ditusuk-tusuk, kelemahan anggota gerak, deformitas, lahir dan tinggal di
tempat endemis. PF: perahatikan setiap jaringan kulit, deformitas wajah, tangan kaki.
Palpasi: penebalan saraf. Pemeriksaan fungsi sensorik untuk menentukan apakah
sentuhan tersebut terasa atau tidak. Pp: BTA. Klasifikasi tanda utama: bercak lepra, PB=5
MB=lebih dari 5. Penebalan saraf tepi, PB= 1 saraf, MB=lebih dari 1 saraf. BTA, PB= -
Mb=+. Perbedaan barat dan ringan: reaksi tipe 1 dan 2, ringan: terdapat bercak putih
merah, tidak ada edema ekstremitas. Tipe 2: bercak putih merah jadi merah, nodus merah
tebal panas dan nyeri sering jadi ulkus dan jml nya banyak. Reaksi sraf tepi: membesar
dan tidak nyeri, yang berat: mebesar nyeri, tipe 2: membesar tidak nyeri, berat: membesar
nyeri dan reaksi daraf terganggu. Tipe 1 tidak ada demam kalo yang ringan kalo berat ada
demam. Kali yang tip2 ada demam. Reaksi organ lain: tidak ad hanya terdapat di reaksi
tipe 2 yang berat. 3 aspek: gejala klinis, bakteriostatik, histopatologi. Gejala klinis:
deformitas; perubahan yang ringan dan sekunder, kalo ringan merusak disekitar nya, kalo
yang sekunder berkaitan dengan sistem saraf. Pemeriksaan Lab atau BTA: untuk melihat
apakah negatif atau positif, untuk melihat sediaan mengambil di 6 tempat: 2 cuping
telinga, 2 distal jari telunjuk, tengah dan 2 lagi dari lesi. Pemeriksaan histopatologis:
melihat tpye yan PB akan tampak gambaran tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih
nyata, basil sedikit dan Non solid. Kalau yang Mb: terdapat suatu daerah langsung
dibawah epidermis, banyak bakteri myobacteriumlepra nya.
5. Tatalaksana: dapsone bersifat bakteristatik. Efek samping: insomnia, hepatitis, anemia
hemolitik. Rimpaficin; gangguan gi, erupsi kulit, hepato toksik. Nonn farmako: pasien
secara rutin menjaga kebersian diri, tangan atau kaki dapat direndam 10-15m enit, lesi
paling baik dilakukan abrasi dengan bilas kapa, menjanga kelembapan dapat diberikan
pelembab topikal, menghindari tekanan yang berlebih terutama pada regio yang ada lesi
nya. tatalaksana ketika terjadi reaksi kusta: tipe 1: obat utama dilanjutkan, kalau Mb
lanjutkan Mb dan begitu juga yang pb, obat kedua dari symptom gejala nya, diberikan
kortikostreoid: prednison. Tip2 : obat utama dilanjutkan, symptom, prednosin, clofamisin
ditingkatkan dosis nya. Lepra pb: dewasa lama pengobatan 6-9 bulan ada obat bulanan
dan harian, obat bulanan diminum di depan petugas, anak-anak: minu depan petugas 2
kapsul ripamficin 150mg 2 kapsul, harian dapsone 1 tablet 50mg. Lepra Mb: 12- 18
bulan. Pengobatan 2 kapsul ripamficin di depan petugas, 1 tablet clofaizimindan dapsone
yang per hari. Anak-anak: 2 kapsul ripamficin, dapsone 1 tablet 50 mg. Pengobatan
kedua sampai seterusnya clofazimine selang sehari dan dapsone 50 mg. Pasien iibu
hamil: regimen mdt aman dikonsumsi oleh ibu hamil dan menyusi, obat anti tb daoat di
berikan berbarengan dengan anti lepra, dosis pb menebmahkan 100 mg, mb diberi
dapsone dan clofazimine. Untuk pasien tb alergi dapson diganti clofazmine, yang
diberikan hanya ripamficin dan clofazimin.
MIND MAP
kelainan kulit
akibat
mycobacterium
penegakan
diagnosis: diagnosis
etiologi faktor risiko patofisiologi anamnesis, pf, tatalaksana banding: -
pp Morbus Hansen
(PB&MB)
- Reaksi Lepra
- Eritema
nodosum leprae
- Skrofuloderma
TB cutis: -
exogenous
infection
- endogenous
spread
- tuberculosis due
to BCG
tuberculids
REFLEKSI DIRI
- BELAJAR MANDIRI
STEP 7 – Penjelasan
1) MORBUS HANSEN
Definisi Kusta
Penyakit Hansen atau Penyakit Morbus Hansen yang dahulu dikenal sebagai Penyakit
Kusta atau Lepra adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae
dan biasanya mempengaruhi kulit serta saraf tepi, namun memiliki berbagai macam manifestasi
klinis. (WHO, 2010). Penyakit ini ditandai dengan borok dari tulang dan kulit yang
menyebabkan hilangnya sensasi, lumpuh, gangrene, dan deformasi. (The American Heritage-
Dictionary of the English language).
Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan gejala-gejala
kulit secara umum.. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa
dari saluran pernafasan atas dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila
tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf,
anggota gerak dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak
menyebabkan pelepasan anggota tubuh sebegitu mudah seperti pada penyakit tzaraath yang
digambarkan dan sering disamakan dengan kusta.(Pusdatin,2015)
Penyebab Kusta
Penyebab penyakit kusta adalah kuman kusta ( mycobacterium leprae), yang
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1–8 mic, lebar 0,2–0,5 mic biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam
(BTA).
Gambar .Mycobacterium Leprae
Masa belah diri kuman kusta adalah memerlukan waktu yang sangat lama
dibandingkan dengan kuman lain, yaitu 12-21 hari. Hal ini merupakan salah satu
penyebab masa tunas lama yaitu rata-rata 2–5 tahun. Pertumbuhan optimal dari kuman
kusta adalah pada suhu 27°-30°C.
Tabel 1.1 Kriteria untuk tipe PB dan MB (Depkes RI-Buku pedoman pemberantasan
kusta, 2007)
Kelainan kulit dan hasil
PB MB
pemeriksaan bakteriologis
1. Bercak (makula)
1-5 Banyak
a. Jumlah
b. Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil
c. Distribusi Unilateral atau bilateral
Bilateral, simetris
asimetris
d. Konsistensi Kering dan kasar Halus, berkilat
e. Batas Tegas Kurang tegas
f. Kehilangan rasa
Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas, jika ada,
pada bercak terjadi pada yang sudah usia
lanjut.
g. Kehilangan
Bercak tidak
kemampuan Bercak masih berkeringat, bulu
berkeringat, ada bulu
berkeringat, bulu tidak rontok.
rontok pada bercak.
rontok pada bercak
2. Infiltrat :
Tidak ada Ada, kadang-kadang tidak ada
a. Kulit
b. Membran mukosa
(hidung tersumbat
Tidak pernah ada Ada, kadang-kadang tidak ada.
perdarahan di
hidung)
3. Ciri-ciri khusus 1. Punched out lession **
“central healing” 2. Madarosis
penyembuhan di 3. Ginekomastia
tengah 4. Hidung pelana
5. Suara sengau
4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
5. Penebalan syaraf Terjadi pada yang
Lebih sering terjadi
lanjut, biasanya lebih
dini, asimetris
dari satu dan simetris.
6. Deformitas (cacat) Biasanya asimetris Terjadi pada stadium
terjadi dini lanjut
7. Apusan BTA negatif BTA positif
Cara Penularan
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe Multi basiler (MB)
kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Cara penularan yang pasti belum
diketahui, tetapi sebagian besar para ahli berpandapat bahwa penyakit kusta dapat
ditularkan melalui saluran pernafasan dan kulit (Depkes RI, 2007). Timbulnya penyakit
kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu ditakuti tergantung dari beberapa faktor
antara lain :
1. Faktor Sumber Penularan.
Sumber penularan adalah penderita kusta tipe MB. Penderita MB ini pun tidak akan
menularkan kusta, apabila berobat teratur.
2. Faktor Kuman Kusta.
Kuman kusta dapat hidup diluar tubuh manusia antara 1-9 hari tergantung pada suhu
atau cuaca, dan diketahui hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja yang dapat
menimbulkan penularan.
3. Faktor Daya Tahan Tubuh.
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95 %). Dari hasil penelitian
menunjukkan gambaran sebagai berikut :
Dari 100 orang yang terpapar : 95 orang tidak menjadi sakit, 2 orang sembuh sendiri
tanpa obat, 2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh
pengobatan.
Pemeriksaan Klinis
A. Pemeriksaan kulit
1. Persiapan
a. Tempat.
Tempat pemeriksaan harus cukup terang, sebaiknya diluar rumah tidak boleh
langsung dibawah sinar matahari.
b. Waktu pemeriksaan.
Pemeriksaan diadakan pada siang hari (menggunakan penerangan sinar matahari).
c. Yang diperiksa :
Diberikan penjelasan kepada yang akan diperiksa dan keluarganya tentang cara
pemeriksaan. Anak-anak cukup memakai celana pendek, sedangkan orang dewasa
(laki-laki dan wanita) memakai kain sarung tanpa baju.
2. Pelaksanaan pemeriksaan :
Pelaksanaan pemeriksaan terdiri dari :
a. Pemeriksaan pandang,
b. Pemeriksaan rasa raba pada kelainan kulit, dan
c. Pemeriksaan syaraf tepi dan fungsinya.
a. Pemeriksaan Pandang.
Tahap pemeriksaan.
1) Pemeriksaan dimulai dengan orang yang diperiksa behadapan dengan petugas dan
dimulai kepala (muka, cuping telinga kiri, pipi-kiri, cuping telinga kakan, pipi
kanan, hidung, mulut, dagu, leher bagian depan). Penderita diminta untuk
memejamkan mata, mengetahui fungsi syaraf dibuka. Semua kelainan kulit
diperhatikan.
2) Pundak kanan, lengan bagian belakang, tangan, jari-jari tangan (penderita diminta
meluruskan tangan kedepan dengan telapak tangan menghadap kebawah,
kemudian tangan diputar dengan telapak tangan menghadap keatas), telapak
tangan, lengan bagian dalam, ketiak, dada dan perut ke pundak kiri, lengan kiri
dan seterusnya (putarlah penderita pelan-pelan dari sisi yang satu ke sisi yang
lainnya untuk melihat sampingnya pada waktu memeriksa dada dan perut).
3) Tungkai kanan bagian luar dari atas ke bawah, bagian dalam dari bawah ke atas,
tungkai kiri dengan cara yang dalam dari bawah ke atas, tungkai kiri dengan cara
yang sama.
4) Yang diperiksa kini diputar sehingga membelakangi petugas dan pemeriksaan
dimulai lagi dari :
5) Bagian belakang telinga, bagian belakang leher,punggung, pantat tungkai bagian
belakang dan telapak kaki. Perhatikan setiap bercak (makula), bintil-bintil
(nodulus) jaringan parut, kulit yang keriput, dan setiap penebalan kulit. Bilamana
meragukan, putarlah penderita pelan pelan dan periksa pada jarak kira-kira ½
meter.
b. Pemeriksaan Rasa Raba pada Kelainan Kulit.
Sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk memeriksa rasa raba. Periksalah
dengan ujung dari kapas yang dilancipi secara tegak lurus pada kelainan kulit yang
dicurigai. Yang diperiksa sebaiknya duduk pada waktu pemeriksaan. Terlebih
dahulu petugas menerangkan bahwa bilamana merasa tersentuh bagian tubuhnya
dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang disentuh dengan jari telunjuknya
atau dengan menghitung sentuhan untuk bagian yang sulit dijangkau, ini
dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta
menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan sepotong kain/karton.
Kelainan-kelainan di kulit diperiksa secara bergantian dengan kulit yang normal
disekitarnya untuk mengetahui ada tidaknya anaesthesi.
c. Pemerksaan rasa raba syaraf tepi.
Pemeriksaan syaraf : Raba dengan teliti urut syaraf tepi berikut n.auricularis
magnus, n.ularis, n.radialis, n.medianus,n.peroneus, dan n.tibialis posterior.
Petugas harus mencatat apakah syaraf tersebut nyeri tekan atau tidak dan menebal
atau tidak. Ia harus memperhatikan raut muka penderita apakah ia kesakitan atau
tidak pada waktu syaraf diraba.
d. Bila hasil pemeriksaan memenuhi kriteria penyakit kusta maka catatlah kelainan-
kelainan yang ditemukan pada kartu penderita, sesuai tandatanda, jumlahnya,
besarnya, dan letaknya.
Penatalaksanaan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien kusta
dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta
terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insidens penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin,
dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson
yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus
obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO ( 1995) sebagai
berikut:
1. Tipe PB
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
a. Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.
b. DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah.
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan. dan setelah selesai minum 6 dosis
dinyatakan RFT (Release From Treatment = berhenti minum obat kusta) meskipun
secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi
menggunakan istilah Completion of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam
pengawasan.
2. Tipe MB
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
a. Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.
b. Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas dilanjutkan dengan
klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah.
c. DDS 100 mg/hari diminum di rumah.
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Sesudah
selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan
pemeriksaan bakteri positif Menurut WHO ( 1998) pengobatan MB diberikan untuk 12
dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.
Dosis untuk anak :
Klofazimin: Umur di bawah 10 tahun : bulanan 100 mg/bulan harian 50 mg/2 kali/minggu
Umur 11-14 tahun : bulanan 100 mg/bulan harian 50 mg/3 kali/minggu
DDS : 1 - 2 mg/kg berat badan
Rifampisin : 10-15 mg/kg berat badan
Putus Obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang
seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila
tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.
Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pengobatan menurut Buku Panduan Pemberantasan Penyakit Kusta
Depkes ( 1999) adalah sebagai berikut:
a. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam waktu 6 sampai 9
bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium.
b. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 24 dosis dalam waktu 24-36
bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium.
c. RFT dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan
laboratorium. Dikeluarkan dari register pasien dan dimasukkan dalam register
pengamatan (surveillance) dan dapat dilakukan oleh petugas kusta.
Masa Pengamatan.
Pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif :
a) Tipe PB selama 2 tahun.
b) Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium.
Hilang/Out of Control (OOC)
Pasien PB maupun MB dinyatakan hilang bilamana dalam 1 tahun tidak
mengambil obat dan dikeluarkan dari register pasien.
a. Relaps (kambuh)
Terjadi bila lesi aktif kembali setelah pernah dinyatakan sembuh atau RFT.
Komplikasi
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik akibat kerusakan
fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta.
2) Diagnosis Banding
1. ENL
DEFINISI
Reaksi ENL merupakan suatu reaksi antigen-antibodi komplemen yang ditandai dengan
nodus eritematosa yang nyeri, terutama diekstremitas, neuritis, arthritis, dll. Reaksi ini terutama
terjadi pada tipe lepromatosa (LL) dan borderline lepromatosa (BL). 2
ETIOLOGI
Hingga saat ini, penyebab pasti timbulnya ENL belum diketahui secara pasti. Faktor
pencetus yang dapat menyebabkan timbulnya ENL ialah infeksi stress mental dan fisik,
kehamilan , vaksinasi, faktor hormonal dan nutrisi. 1,2,3
PATOFISIOLOGI ENL
Mekanisme imunopatologi ENL masih kurang jelas. ENL diduga merupakan manifestasi
pengendapan kompleks antigen antibodi pada pembuluh darah.4 Perlu ditegaskan bahwa pada
ENL tidak terjadi perubahan tipe. Lain halnya dengan reaksi reversal yang hanya dapat terjadi
pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti) sehingga dapat disebut reaksi borderline.8
Diperkirakan reaksi pada ENL ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe
lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat basil lepra berada, yaitu pada saraf dan
kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama.8
Pada pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur, yang berarti banyak pula
antigen yang dilepaskan.4 Adanya faktor pencetus seperti infeksi virus, stress, vaksinasi dan
kehamilan menyebabkan terjadinya infiltrasi sel T helper 2 yang menghasilkan berbagai sitokin
yaitu IL-4 yang menginduksi sel B menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi antibodi. 4,5
Konsentrasi antigen dan presipitasi antibodi tersebut akan bereaksi dan membentuk kompleks
imun yang terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat diendapkan dalam berbagai
organ atau jaringan yang kemudian mengaktifkan sistem komplemen.4,5
Secara ringkasnya fenomena ini berupa kompleks imun akibat reaksi antara antigen
M.leprae + antibody ( IgM, IgG ) + komplemen kompleks imun. Komplemen akan bergabung
dengan kompleks imun dan akhirnya akan membentuk endapan kompleks imun dan
menghasilkan polimorfonuklear leukotaktik factor.8 Itulah sebabnya penimbunan kompleks imun
pada pembuluh darah dan lesi merupakan karakteristik reaksi ENL.6
Terdapat juga penelitian yang mempelajari peranan tumor nekrosis faktor alfa (TNF-a)
pada patogenesiss ENL. Penderita LL yang menunjukkan reaksi ENL setelah terapi MDT juga
menunjukkan kadar TNF-a yang tinggi. Data ini menunjukkan eratnya hubungan antara TNF-a
dengan patogenesis ENL.3
Faktor nekrosis tumor ini bisa menimbulkan kerusakan langsung pada sel dan jaringan,
mengaktifkan makrofag, memacu makrofag memproduksi IL-1 dan IL-6 dan memacu sel hepar
menghasilkan protein reaktif C (PRC). Peninggian konsenterasi TNF-a dan PRC dalam serum
penderita ENL yang berkorelasi positif sekitar 95% apabila dibandingkan dengan penderita kusta
lepromatosa non reaksi.6
GEJALA KLINIS
Manifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun terutama mengenai kulit, saraf, dan
membran mukosa10. Pasien dengan penyakit ini dapat dikelompokkan lagi menjadi 'kusta
tuberkuloid (Inggris: paucibacillary), kusta lepromatosa (penyakit Hansen multibasiler), atau
kusta multibasiler (borderline leprosy).
Penilaian untuk tanda-tanda fisik terdapat pada 3 area umum: lesi kutaneus, neuropathi,
dan mata. Untuk lesi kutaneus, menilai jumlah dan distribusi lesi pada kulit. Makula
hipopigmentasi dengan tepian yang menonjol sering merupakan lesi kutaneus yang pertama kali
muncul. Sering juga berupa plak. Lesi mungkin atau tidak mungkin menjadi hipoesthetik. Lesi
pada pantat sering sebagai indikasi tipe borderline.
• neuropati sensoris jauh lebih umum dibandingkan neuropathy motorik, tapi neuropati
motorik murni dapat juga muncul.
• mononeuropati dan multiplex mononeuritis dapat timbul, dengan saraf ulna dan
peroneal yang lebih sering terlibat
• neuropati perifer simetris dapat juga timbul
• reaksi reversal – onset yang mendadak dari kulit yang kemerahan dan munculnya
lesi-lesi kulit yang baru
• reaksi ENL – nodul pada kulit yang multiple, demam, nyeri sendi, nyeri otot, dan
mata merah.Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema,dan nyeri
dengan tempat predileksi di lengan dantungkai. Bila mengenai organ lain dapat
menimbulkangejala seperti iridosiklitis, neuritis akut,limfadenitis,arthritis,or kitis, dan
nefritis yang akut dengan adanya proteinuria.Ia juga dapat disertai gejala konstitusi
dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik pula.
Nyeri neuritik yang hebat dan perubahan yang cepat dari kerusakan saraf perifer yang
menghasilkan claw hand atau drop foot.11
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia
pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan
oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau
seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian –
bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama – sama akan menyebabkan kebutaan12.
Gambar 1. Sebelum reaksi gambar 2. Ketika reaksi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung
yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL NEELSON.
Imaging Studies
• Foto thorak
Pemeriksaan penunjang pada ENL dapat berupa pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
histopatologi4
• Pada pemeriksaan laboratorium, dilakukan pemeriksaan protein dan sel darah merah
dalam urine yang dapat menunjukkan terjadinya glomerulonefritis akut. Pada
pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop, dapat terlihat kompleks imun pada
glomerulus ginjal. Pada pemerksaan hematologi dapat ditemukan leukositosis PMN,
trombositosis, peninggian LED, anemia normositik normokrom dan peninggian kadar
gammaglobulin 4
• Pemerikaan histologi, ENL akan menunjukkan inflamasi akut berupa lapisan infiltrat
pada inflamasi granulomatosa yang kronik dari BL dan LL 7. Selain itu, akan tampak
peningkatan vaskularisasi dengan dilatasi kapiler pada dermis bagian atas dan pada
dermis bagian bawah terdapat infiltrasi lekosit polimorfonuklear yang lokalisasinya
disekeliling pembuluh darah dan menyerang dinding pembuluh darah. 5 Terdapat
pembengkakan dan edema endothelium vena, arteriole dan arteri-artei kecil pada lasi
ENL. Fragmen basil sedikit dan, terdapat disekitar pembuluh darah. Kerusakan
dinding vaskuler ini mengakibatkan ekstravasasi eritrosit.6
PENATALAKSANAAN
1. Mengontrol neurtis akut dalam rangka pencegahan anastesi, paralisis dan kontraktur
Penatalaksanaan reaksi kusta berbeda tergantung manifestasi dan berat ringannya penyakit.
1. Reaksi ringan
Pada reaksi ENL ringan dapat diberikan analgesik / antipiretik seperti Aspirin atau
Asetaminofen.13
2. Reaksi berat
Berikut adalah pedoman WHO untuk pengelolaan reaksi eritema nodosum leprosum (ENL)
berat.13
Prinsip umum:
1. Reaksi ENL berat sering berulang dan kronis serta dapat bervariasi dalam manifestasinya.
2. Manajemen ENL berat yang terbaik dilakukan oleh dokter di pusat rujukan.
3. Dosis dan durasi obat anti reaksi yang digunakan dapat disesuaikan oleh dokter sesuai dengan
2. Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam dan nyeri.
3. Gunakan prednisolon dengan dosis per hari tidak melebihi 1mg/KgBB dengan total durasi
pemberian 12 minggu.
Indikasinya pada kasus ENL berat yang tidak berespon dengan pengobatan kortikosteroid atau
dimana risiko toksisitas dengan kortikosteroid yang tinggi.
2. Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam dan nyeri.
bawah ini.
Indikasinya pada kasus ENL berat dimana terdapat kontraindikasi penggunaan kortikosteroid.
2. Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam dan nyeri.
Obat lain yang berguna dalam pengobatan reaksi ENL adalah pentoxifylline saja atau
dalam kombinasi dengan klofazimin / prednisolone. Karena alasan efek samping teratogenik,
WHO tidak menganjurkan penggunaan thalidomide untuk manajemen reaksi ENL pada kusta. 13
2. Reaksi Kusta
Definisi
Reaksi kusta adalah suatu episode akut di dalam perjalanan klinik penyakit kusta yang
ditandai dengan terjadinya reaksi radang akut (neuritis) yang kadang-kadang disertai
dengan gejala sistemik. Reaksi kusta dapat merugikan pasien kusta, oleh karena dapat
menyebabkan kerusakan syaraf tepi terutama gangguan fungsi sensorik (anestesi) sehingga
dapat menimbulkan kecacatan pada pasien kusta. Reaksi kusta dapat terjadi sebelum
mendapat pengobatan, pada saat pengobatan, maupun sesudah pengobatan, namun reaksi
kusta paling sering terjadi pada 6 bulan sampai satu tahun sesudah dimulainya pengobatan.5
Faktor risiko
Faktor risiko penyakit kusta antara lain, lahir atau bermukim di daerah endemik, anggota
keluarga dengan penyakit serupa, adanya anomali genetik secara umum, paparan
lingkungan, atau keduanya dan infeksi lainnya serta kemiskinan. Terapi dengan
menggunakan antibodi anti-tumor necrosis factor (TNF) dan immune reconstution
inflammatory syndrome (IRIS) dinilai sebagai terapi antiretroviral aktif yang dikaitkan
dengan kejadian kusta.1
Kriteria Diagnosis15
Menurut WHO, untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta didasarkan pada penemuan
gejala-gejala utama atau “Cardinal signs”, yaitu :
a. Lesi kulit yang mati rasa
Kelainan kulit dapat berupa bercak keputih-putihan (hipopigmentsi) atau kemerahan
(eritematous) yang mati rasa.
b. Penebalan saraf yang disertai dengan gangguan fungsi
Penebalan gangguan fungsi saraf yang terjadi merupakan akibat dari peradangan kronis saraf
tepi (neuritis perifer) dan tergantung area yang dilayani oleh saraf tersebut, dan dapat berupa:
Gangguan fungsi sensorik: mati rasa/ kurang rasa
Gangguan fungsi motorik : paresis atau paralysis
Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema.
c. Basil tahan asam (BTA)
Bahan pemeriksaan diambil dari kerokan kulit (skin smear) pada cuping telinga serta bagian
aktif suatu lesi kulit. Bila pada kulit atau saraf seseorang ditemukan kelainan yang tidak khas
untuk penyakit kulit lain dan menurut pengalaman kemungkinan besar mengarah ke kusta,
maka kita dapat menetapkan seseorang tersebut sebagai suspek kusta.
Untuk menegakkan diagnosis kusta, diperlukan paling sedikit satu tanda utama. Tanpa tanda
utama, seseorang hanya boleh ditetapkan sebagai tersangka (suspek) kusta.
2. Pemeriksaan Serologis
a. Uji MLPA (Mycrobacterium leprae particle agglutination)
b. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent Assay)
c. ML disptick (Mycrobacterium leprae disptick) 14
Penatalaksanaan
Medikamentosa15
Klasifikasi WHO Rekomendasi WHO Dengan Reaksi
Pausibasiler Dapsone 100 mg/hari + Pengobatan tetap lanjut,
Rifampicin 600 mg/bulan tambahkan prednison
Selama 6-9bulan 40mg/hari (tappering off)
Multibasiler Dapsone 100 mg/hari + Pengobatan tetap lanjut,
Rifampicin 600 mg/bulan tambahkan prednison
+ Klofazimin 300 40mg/hari (tappering off)
mg/bulan dilanjutkan 50
mg/hari
3. skrofuloderma
DEFINISI
Tuberkulosis kutisadalah tuberculosis pada kulit yang di Indonesia disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis.(1)
Tuberkulosis kutis banyak terdapat di negeri yang sedang berkembang. Pada
umumnya insidens di semua negeri menurun seiring dengan menurunnya tuberkulosis paru.
Faktor lain yang mempengaruhinya ialah keadaan ekonomi. Bentuk-bentuk yang dahulu
masih terdapat sekarang telah jarang terlihat, misalnya tuberkulosis papulonekrotika,
tuberkulosis gumosa, dan eritema nodosum.(1)
ETIOLOGI
Penyebab Tuberkulosiskutis adalah Mycobacterium obligate yang bersifat patogen
terhadap manusia:M. tuberculosis, Mycobacteriumbovis(M. bovis) , dan kadang-kadang bisa
juga sebabkan oleh Bacillus Calmette-Guerin (BCG). Penyebab utama tuberkulosis kutis di
Rumah Sakit dr. Ciptomangunkusumo (RSCM) ialah M. tuberculosisberjumlah 91,5%,
sisanya (8,5%) disebabkan oleh Mycobacteriumatipikal(M. atipikal), yang terdiri atas
golongan II atau skotokromogen, yakni Mycobacteriumscrofulocaeum(M.scrofulocaeum)
(80%) dan golongan IV atau Rapid growers (20%). M. bovis dan Mycobacteriumavium(M.
avium) belum pernah ditemukan, demikian pula M.atipikal golongan lain.(1)
PATOGENESIS
Mycobacterium berkembang biak secara intraseluler dan pada awalnya ditemukan
dalam jumlah besar di dalam jaringan. M. tuberculosis dan M.bovis.
Dalam bentuk lain, jumlah mereka dalam lesi sangat kecil sehingga sulit untuk menemukan
mereka. M.tuberculosis bisa menjadi aktif dalam jaringan host.(2)
Adapun factor-faktor yang sangat berperan dalam penyebaran penyakit ini adalah usia,
keadaan kesehatan, faktor lingkungan dan khususnya sistem kekebalan tubuh.(2)
Cara infeksi M. tuberculosis ada 6 macam :
a) Penjalaran langsung ke kulit dari organ di bawah kulit yang telah dikenai penyakit
tuberkulosis, misalnya skrofuloderma.
b) Inokulasi langsung pada kulit sekitar orifisium alat dalam yang dikenai penyakit
tuberkulosis, misalnya Tuberkulosis kutis orifisialis.
c) Penjalaran secara hematogen, misalnya Tuberkulosis kutis miliaris
d) Penjalaran secara limfogen, misalnya lupus vulgaris.
e) Penjalaran langsung dari selaput lendir yang sudah diserang penyakit tuberkulosis,
misalnya lupus vulgaris.
f) Kuman langsung masuk ke kulit, jika ada kerusakan kulit dan resistensi lokalnya
telah menurun, contohnya Tuberkulosis kutis verukosa.(1)
Hal-hal yang mempengaruhi timbulnya gejala klinik adalah sifat kuman.Respon imun
tubuh saat kuman ini masuk kedalam tubuh ataupun saat kuman ini sudah berada didalam
tubuh serta jumlah dari kuman tersebut. Respon imun yang berperan pada infeksi M.
tuberkulosis adalah respon imunitas selular. Sedangkan peran antibodi tidak jelas atau tidak
memberikan imunitas.(2,3,4)
Bila terjadiinfeksi oleh kuman M. tuberkulosis ini, maka kuman ini akan masuk ke
jaringan dan mengadakan multiplikasi intraseluler. Hal ini akan memicu terjadinya reaksi
jaringan yang ditandai dengan datang dan berkumpulnya sel-sel leukosit dan sel-sel
mononuklear serta terbentuknya granuloma epiteloid disertai dengan adanya nekrosis
kaseasi ditengahnya. Granuloma yang terbentuk pada tempat infeksi paru disebut ghonfocus
dan bersamaan kelenjar getah bening disebut kompleks primer adalah tuberculous chancre.
Bila kelenjar getah bening pecah timbul skrofuloderma.(3,4)
KLASIFIKASI
Klasifikasi tuberkulosis kutis bermacam-macam. Berikut ini klasifikasi menurut
Pillsburry dengan sedikit perubahan.(1)
1. Tuberkulosis kutis sejati
A. Tuberkulosis kutis primer
Inokulasi tuberkulosis primer (tuberculosis chancre)
B. Tuberkulosis kutis sekunder
1. Tuberkulosis kutis miliaris
2. Skrofuloderma
3. Tuberkulosis kutis verukosa
4. Tuberkulosis kutis gumosa
5. Tuberkulosis kutis orifisialis
6. Lupur vulgaris
2. Tuberkulid
A. Bentuk papul
1. Lupus miliaris diseminatus fasiei
2. Tuberkulid papulonekrotika
3. Liken skrofuloderma
B. Bentuk granuloma dan ulseronodulus
1. Eritema nodosum
2. Eritema induratum.(5)
Tuberkulosis kutis sejati berarti kuman penyebab terdapat pada kelainan kulit disertai
gambaran histopatologik yang khas.Tuberkulosiskutis primer berarti kuman masuk pertama
kali ke dalam tubuh.Tuberkulid merupakan reaksi id, yang berarti kelainan kulit akibat
alergi. Pada kelainan kulit tersebut tidak ditemukan kuman penyebab, tetapi kuman tersebut
terdapat pada tempat lain di dalam tubuh, biasanya di paru.Pada tuberkulid tes tuberculin
member hasil positif.(1)
GAMBARAN KLINIK
1. Inokulasi tuberculosis primer(Tuberculosis chancre)
Afek primer dapat berbentuk papul, pustul atau ulkus indolen, berdinding bergaung dan
disekitarnya livid. Masa tunas 2-3 minggu, limfangitis dan limfadenitis timbul beberapa
minggu hingga beberapa bulan setelah afek primer, pada waktu tersebut reaksi
tuberkulin menjadi positif. Keseluruhannya merupakan kompleks primer. Pada ulkus
tersebut dapat terjadi indurasi, karena itu disebut tuberculous chancre. Makin muda usia
penderita makin berat gejalanya. Bagian yang sering terkena adalah wajah dan
ekstremitas yang berhubungan dengan limphadenopaty regional. Biasanya ditemukan
pada daerah kulit yang mudah terkena trauma.(1)
Tipe ini biasanya terjadi pada bayi dan anak-anak dengan status
imunokompromise. Fokus infeksi terdapat secara khusus pada paru-paru atau selaput
otak. Terjadi karena penjalaran ke kulit dari fokus di badan. Reaksi terhadap tuberkulin
biasanya negatif (anergi). Ruam berupa eritema berbatas tegas, papul, vesikel, pustul,
skuama atau purpura yang menyeluruh. Pada umumnya prognosisnya buruk.(1,3,6)
3. Skrofuloderma
Timbulnya skrofuloderma akibat penjalaran perkontinuitatum dari organ di bawah
kulit yang telah diserang penyakit tuberkulosis, yang tersering berasal dari kelenjar
getah bening, juga dapat berasal dari sendi dan tulang. Oleh karena itu, tempat
predileksinya pada tempat-tempat yang banyak didapati kelenjar getah bening
superfisialis, yang tersering ialah pada leher, kemudian disusul di ketiak dan yang
terjarang pada lipat paha.(1)
Gambaran kliniknya dimulai dengan satu atau beberapa nodul indolen, keras dan
dalam, dan melekat dengan kulit diatasnya. Setelah beberapa minggu lesi menjadi
kemerahan, melunak dan mengalamai supurasi. Bila pecah terbentuk sinus atau ulkus
yang tepinya tidak teratur, fistel, sikatriks, danjembatankulit (skin bridges).(1,3)
Gambar 6(A)
Brownish-plaque
pada lupus vulgaris, (B) plak lupus vulgaris yang luas menginvasi daerah pipi, rahang, dan telinga.(3)
Tuberkulosis ini terjadi akibat penjalaran secara hematogen, biasanya dari paru.
Kelainan kulit berupa infiltrat subkutan, berbatas tegas yang menahun, kemudian
melunak dan bersifat destruktif. Pada awalnya kulit berwarna normal dan lama-kelamaan
menjadi merah kebiruan. Lesi tersebar berbentu makula dan papul berukuran kecil atau
lesi berwarna kemerahan. Kadang-kadang vesikuler danterdapat krusta.(1,3)
9. Tuberkulosis papulonekrotika
Lesi tipe ini terutama terjadi pada anak-anak dan dewasa yang menderita
tuberkulosis pada bagian tubuh lain. Keadaan ini terjadi karena adanya reaksi alergi
terhadap basil tuberkel. Basil menyebar secara hematogen pada orang dengan satus
imunitas sedang atau baik, akan tetapi fokus tuberkulosis secara klinis tidak aktif pada
saat terjadinya erupsi, dan pasien sedang berada dalam keadaan sehat. Selain berbentuk
papulonekrotika juga dapat berbentuk papulopustul. Tempat predileksi pada muka,
anggota badan bagian ekstensor, dan badan. Mula-mula terdapat papul eritematosa yang
timbul secara bergelombang, membesar perlahan-lahan dan kemudian menjadi pustul,
lalu memecah menjadi krusta dan membentuk jaringan nekrotik dalam waktu 8 minggu,
lalu menyembuh dan meninggalkan sikatriks., kemudian timbul lesi-lesi baru. Lama
penyakit dapat bertahun-tahun.(1,6)
Lesi biasanya terjadi di daerah leher pada anak yang menderita tuberkulosis
tulang atau nodus limfatikus. Kelainan kulit terdiri atas beberapa papul miliar, warna
dapat serupa dengan kulit atau eritematosa. Mula-mula tersusun tersendiri, kemudian
berkelompok tersusun sirsinar, kadang-kadang di sekitarnya terdapat skuama halus.
Tempat predileksi pada dada, perut, punggung dan daerah sacrum. Perjalanan
penyakitnya dapat berbulan-bulan dan residif, jika sembuh tidak meninggalkan sikatriks
(1,6)
Eritema induratum adalah suatu peradangan kronis dari pembuluh darah arteri dan
vena bersifat jinak, dan disertai nekrosis lemak. Kelainan kulit berupa nodus-nodus
indolen. Tempat predileksinya pada daerah fleksor. Terjadi supurasi sehingga terbentuk
ulkus-ulkus. Kadang-kadang tidak mengalami supurasi, tetapi regresi sehingga terjadi
hipotrofi berupa lekukan-lekukan. Perjalanan penyakit kronik residif.(1,6)
F. DIAGNOSIS
Unsur utama dalam diagnosis klinis beragam untuk tuberkulosis kulit adalah sebagai
berikut :
1. Klinis dan sejarah epidemiologi
2. Bakterioskopi-basil tahan asam pada lesi
Bahan berupa pus, jaringan kulit dan jaringan kelenjar getah bening. Pada pewarnaan
dengan cara Ziehl Neelsen, atau modifikasinya, jika posistif kuman tampak berwarna
merah pada dasar yang biru. Kalau positif belum berarti kuman tersebut M. tuberculosis,
oleh karena ada kuman lain yang tahan asam, misalnya Mycobacteriumleprae(M.
leprae).(1)
3. Medium yang digunakan adalah Lowenstein Jensen
Metode radiometrik menggunakan CO2 sebagai prinsip bakteri yang memiliki C14 yang
mengarah untuk memperpendek waktu yang dibutuhkan untuk mengembangkan koloni
mikobakterium tuberkulosis.Kultur dilakukan pada media Lowenstein Jensen,
pengeraman pada suhu 37oC. Jika positif koloni tumbuh dalam waktu 8 minggu. Kalau
hasil kultur positif, berarti pasti kuman tuberkulosis.(1)
4. Histopatologi
Awalnya perubahan dari peradangan neutrophilic akut dengan nekrosis basil
banyak yang hadir setelah 3-6 minggu yang menyusup menjadi granulomatosa dan
casetion muncul bertepatan dengan hilangnya basil.(4)
Pada Tuberculosis chancre didapatkan inflamasi nonspesifik, kemudian setelah 3-
6 minggu ditemukan sel epiteloid, sel datia langhans, limfosit, dan nekrosis kaseosa. Pada
tuberculosis kutisgumosaditemukan nonspesifik inflamasi dan vaskulitis. Semua bentuk
dari Tuberkulosiskutis menunjukkan gambaran histopatologi tuberkulosis pada
umumnya. Pada Tuberkulosis kutis verukosa didapatkan karakteristik massive
pseudoepitheliomatous hyperplasia dermis dan abses. (7)
Gambar 5. Dermatopathology pada tuberculosis kutisverukosadimana terlihat hyperkeratosis & acanthosis dengan akut inflamasi
dan disertai abses pada dermis
DIAGNOSIS BANDING(2)
1. Inokulasi tuberkulosis primer (tuberkulous chancre)
Diagnosis banding dari penyakit inokulasi tuberkulosis primer, adalah:
Sporotrikosis adalah infeksi jamur kronis yang disebabkan Sporotrichiumscheinkii
dan ditandai dengan pembesaran kelenjar getah bening. Kulit jaringan subkutis di
atas nodus sering melunak dan pecah membentuk ulkus yang indolen.(1)
2. Skrofuloderma
Diagnosis banding dari penyakit skrofuloderma, adalah:
Hidraadenitis supurativa adalah infeksi kelenjar apokrin, biasanya Staphylococcus
aureus. Penyakit ini disertai gejalah konstitusi: demam, malese. Ruam berupa nodus
dengan kelima tanda radang akut. Kemudian dapat melunak menjadi abses dan
memecah membentuk fistel.(1)
3. Lupus vulgaris
Diagnosis banding dari penyakit lupus vulgaris, adalah:
Sifilis tersier merupakan lesi pertama umumnya terlihat antara tiga sampai sepuluh
tahun setelah Sifilis primer. Kelainan yang khas adalah guma, yakni infiltrat
sirkumskrip, kronis, biasanya melunak, dan destruktif.(1)
PENATALAKSANAAN
Prinsip pengobatan Tuberkulosiskutis sama dengan Tuberkulosisparu. Untuk mencapai
hasil yang baik hendaknya diperhatikan syarat-syarat yaitu pengobatan harus dilakukan
secara teratur tanpa terputus agar tidak cepat terjadi resistensi dan pengobatan harus dalam
kombinasi. Untuk semua bentuk Tuberkulosiskutis, multi drugs yang terbaru
direkomendasikan.Obat-obatan dan dosis yang digunakan adalah sebagai berikut:(3)
Obat Pilihan 1 Pilihan 2 Pilihan
antituberkulosis 3
8 16 minggu 2 6 16 9 bulan
minggu minggu minggu minggu
Rifampisin 10 Perhari 2-3x/mgg Perhari Perhari Perhari 3x/mgg
mg/kg
Izoniazid 5 mg/kg Perhari 2-3x/mgg Perhari Perhari Perhari 3x/mgg
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 4 macam OAT ( Obat Alternatif Tuberkulosis)
yaitu rifampisin 150 mg, isoniasid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg.
Rekomendasi WHO tahun 1999 kombinasi dosis tetap diberikan berdasarkan berat badan
untuk dewasa dan dosis berbeda pada anak. Pada saat ini kombinasi tetap yang ada di
Indonesia hanya RHZE dan RH. (6)
Berbagai variasi paduan pengobatan Tuberkulosis telah dikenal selama ini. Pada
dasarnya pengobatan terdiri atas dua faseyaitu fase awal dan fase lanjutan. Pada fase awal
diperlukan sedikitnya 3 atau 4 macam obat, dan pada fase lanjutan diberikan 2 macam obat.
Untuk fase awal biasanya 2 HRZE sedangkan pada fase lanjutan 4 H3R3. (6)
Pada kombinasi dan masa pengobatan diatur dengan pemberian H, R, Z selama 2
bulan, selanjutnya H, R selama 4 – 10 bulan, jika H, R, E selama 2 bulan, selanjutnya H,R
selama 4 – 10 bulan. (1,6)
Sebelum pengobatan, periksa fungsi hepar (SGOT, SGPT, Alk.fosfatase), kemudian
2 minggu sesudah pengobatan (biasanya meninggi) .Bila pemeriksaan 2 minggu sesudah itu
masih tetap atau menurun→obat diteruskan, tetapi bila terus menaik, obat yang diberi
adalah INH setiap hari dan R 2 x/mg. (1,6)
tuberculosis di dalam tubuh. Kondisi ini dianggap sebagai reaksi imun pada kulit terhadap
penyebaran
Epidemiologi
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 2013
didapatkan 9 juta kasus baru tuberkulosis di seluruh dunia. Infeksi tuberkulosis ini menyebabkan
1.5
juta kematian di dunia setiap tahunnya, sehingga penanganan serta pencegahannya masih
menjadi
Di Indonesia sendiri tahun 2014 didapatkan kasus baru sebanyak 176.677 yang menurun
dibandingkan pada tahun 2013 dimana didapatkan 196.310 kasus baru. Jumlah kasus tertinggi
dilaporkan didapatkan pada provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah dimana kasus
baru
pada 3 provinsi tersebut mencakup 40% dari jumlah kasus baru di seluruh Indonesia.5
Pada sebuah studi yang dilakukan oleh WHO menemukan bahwa dari seluruh kasus infeksi
Klasifikasi2
Tuberkulid dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok berdasarkan hubungannya terhadap
infeksi
dalam timbulnya lesi pada kulit. Penyakit yang termasuk dalam kelompok ini adalah liken
2. Tuberkulid fakultatif
Kondisi dimana infeksi Mycobacterium tuberculosis / bovismungkin hanya salah satu faktor dari
proses patogenesis timbulnya lesi pada kulit. Penyakit yang termasuk dalam kelompok ini adalah
Patogenesis
Makrofag pada jaringan merupakan salah satu lini pertama dalam pertahanan terhadap kuman
Mycobacterium. Setelah kuman difagosit akan tetapi kuman basil tetap dapat hidup di dalam
fagosom.
Setelah terjadi fusi antara fagosom dan lisosom, antigen ini akan dipresentasikan ke limfosit T
CD4
oleh Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Sel Th1 (CD4) merupakan sel yang
memegang
Sel yang terinfeksi dan mengandung antigen bakteri dapat juga menstimulasi sel T CD8
melalui MHC kelas I, yang membantu dalam respon imun terhadap M. tuberculosis.7
Apabila kuman selamat dari lini pertama pertahanan tubuh, kuman ini akan membelah di
dalam makrofag sehingga tubuh memicu produksi sitokin untuk membantu membunuh kuman
yang
bermultiplikasi. Sitokin seperti IL-6, IL-12, IL-1α, dan IL-1β akan memicu datangnya monosit,
limfosit,
neutrofil serta sel dendritik untuk membantu menghancurkan makrofag berisi kuman basil.
Interleukin
12 dan 18 akan memicu produksi CD4+ dan CD8+ serta sel limfosit NK untuk melepaskan IFN-
γ yang
Setelah proses penahanan awal gagal maka tubuh memulai cara lain untuk menahan
proliferasi dari kuman Mycobacterium dengan cara pembentukan granuloma yang distimulasi
oleh
TNF- α. Pembentukan granuloma ini sangat dipengaruhi oleh faktor imunitas pejamu. Apabila
proses
penahanan ini berhasil maka akan mengakibatkan proses stabilisasi, infeksi yang laten atau
kesembuhan, sedangkan apabila tidak berhasil maka akan timbul kerusakan jaringan serta
Progresifitas dari infeksi M. tuberculosis dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain (1)
imunitas seluler dari pejamu, (2) rute infeksi, (3) tingkat resistensi dari kuman, (4) faktor
virulensi dari
kuman, serta (5) faktor lingkungan. Semakin menurunnya imunitas atau meningkatnya faktor
infeksi
Pada kondisi tuberkulid merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap infeksi tuberkulosis non
kutaneus yang menimbulkan lesi pada kulit. Hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukannya basil
M.tuberculosis pada lokasi lesi tuberkulid. Patogenesis dari terbentuknya tuberkulid masih belum
diketahui akan tetapi pada spesimen biopsi lesi tuberkulid didapatkan DNA Mycobacterium
menggunakan PCR, meskipun tidak didapatkannya organisme tersebut pada kultur maupun
pengecatan Ziehl-Nielsen. Seluruh tuberkulid memberikan gambaran reaksi granulomatosa,
nekrosis
dan vaskulitis yang menunjukkan bahwa lesi ini timbul akibat pelepasan antigen mycobacterium
dari
Gambaran Klinis
Tuberkulid dapat terjadi dengan 3 gambaran klinis antara lain tuberkulid papulonekrotik, liken
1. Tuberkulid papulonekrotik
keunguan dengan distribusi yang simetris serta tanpa menimbulkan nyeri. Lesi ini akan
berkembang
hingga meninggalkan jaringan parut yang berbentuk varioliformis maupun punched-out. Kondisi
ini
timbul terutama pada permukaan ekstensor dari tungkai bawah dan lengan, bagian dorsum dari
Secara histopatologi tampak vaskulitis leukositoklastik pada lesi awal dan gambaran
granuloma tuberkuloid pada lesi yang lebih lanjut. Hal ini menunjukkan bahwa pada lesi awal
tuberkulid papulonekrotik disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe III yang berubah menjadi
reaksi
hipersensitivitas tipe IV atau reaksi tipe lambat pada lesi yang lebih lanjut. Selain itu ditemukan
juga
nekrosis pada dermis yang berbentuk baji, dengan infiltrasi sel mononuklear pada perivaskuler
tanpa
Kondisi ini sering salah didiagnosis sebagai PLEVA (Pityriasis Lichenoides et Varioliformis
2. Liken Skrofulosorum
Kondisi ini sangat jarang ditemukan, umumnya tampak sebagai papul perifolikuler berwarna
merah kecoklatan yang kecil dan mengkilat, sering kali ditutupi oleh krusta atau hiperkeratosis.
Kondisi ini tidak menimbulkan gejala apapun dengan distribusi berkelompok dan berbentuk
numuler.
Predileksi dari kondisi ini terutama pada batang tubuh dan lebih sering ditemukan pada anak-
anak.
Tipe tuberkulid ini adalah kondisi yang paling sering didapatkan setelah vaksinasi BCG, dimana
ditemukan riwayat vaksin pada 70% pasien yang mengidap kondisi ini. Selain disebabkan oleh
vaksinasi BCG, liken skrofulosorum dihubungkan juga dengan infeksi oleh Mycobacterium
avium. 12,13
Secara histopatologi tampak gambaran granuloma dengan sedikit atau tanpa nekrosis
kaseosa pada sekitar folikel dan kelenjar sudorifera. Pada sediaan sangat jarang ditemukan
bakteri
Mycobacterium akan tetapi pada pemeriksaan PCR umumnya akan menemukan DNA dari
bakteri
Kondisi ini dapat didiagnosis banding dengan liken planus, liken nitidus, sifilid likenoides,
Eritema induratum dari Bazin awalnya ditemukan oleh Bazin di Paris pada tahun 1816 berupa
erupsi nodular yang timbul pada tungkai bawah wanita muda yang terinfeksi tuberkulosis.
Meskipun
jika dilihat dari sejarah berbeda, vaskulitis nodular adalah sebutan lain dari kondisi ini, dimana
pada
Eritema induratum dari Bazin nodul yang timbul akibat dari reaksi hipersensitivitas terhadap
tuberkulin. Pasien umumnya datang dengan keluhan nodul keunguan atau plak yang rekuren,
nodul
ini tidak hangat pada perabaan, tidak nyeri, dan memiliki tendensi untuk terjadi ulserasi.
Kebanyakan
lesi nodul ini akan hilang dengan sendirinya dalam beberapa bulan, dan meninggalkan
hiperpigmentasi pasca inflamasi serta skar atrofi. Lokasi dari lesi ini terjadi pada posterior dan
anterolateral dari tungkai bawah. Umumnya kondisi ini dapat berulang setiap 3-4 bulan. Lesi
eritema
induratum dari Bazin ini dapat terjadi bersamaan dengan tipe tuberkulid lain seperti tuberkulid
papulonekrotik.15
Secara histopatologi eritema induratum dari Bazin tampak sebagai panikulitis lobular yang
disertai gambaran granuloma dengan fokus nekrosis, vaskulitis, dan fibrosis septal. Gambaran
vaskulitis tidak selalu ditemukan, sehingga tidak menjadi faktor utama untuk mendiagnosis
kondisi ini.
Kondisi ini dapat didiagnosis banding dengan eritema nodosum, poliarteritis nodosa kutan,
panikulitis pankreatika, lupus profunda, sarkoid subkutan serta limfoma kutis.17Gambar 3.
Nodul subkutan pada pasien dengan infeksi Tuberkulosis laten 17
DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis untuk tuberkulid masih belum disepakati secara luas akan tetapi beberapa studi
2. Didapatkan manifestasi maupun riwayat infeksi Tuberkulosis / vaksin BCG pada beberapa
kasus
Untuk membantu diagnosis ini dapat digunakan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan
Pemeriksaan Laboratorium
Tes tuberkulin merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk mengidentifikasi individu yang
pernah terpapar oleh M. tuberculosis. Tes ini akan menunjukkan hasil positif pada 2 hingga 10
minggu
setelah infeksi. Teknik pemeriksaan ini dilakukan dengan injeksi intradermal dari derivat protein
tuberkulin yang dipurifikasi pada bagian volar lengan, kemudian dibaca hasilnya dalam waktu
48-72
jam setelah injeksi. Hasil yang positif akan menunjukkan indurasi lebih atau sama dengan 5 mm
pada
pasien dengan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) atau lebih atau sama dengan 10
mm
pada pasien tanpa gangguan sistem imun.18
Reaksi negatif palsu dapat timbul pada anak dibawah usia 2 bulan, wanita hamil, pasien
dengan diabetes, gangguan ginjal atau gangguan sistem imunitas seluler. Reaksi positif palsu
didapatkan pada pasien yang baru diberikan vaksinasi terutama pada anak di atas usia 1 tahun
serta
Untuk kasus tuberkulosis kutan sendiri, tes kulit tuberkulin memiliki sensitivitas antara 33%-
96% dan spesifisitas sebesar 62.50%. Pada populasi yang belum mendapatkan vaksinasi
dikatakan
Pemeriksaan ini merupakan tes serologi untuk menilai infeksi laten tuberkulosis dengan
mengukur interferon gamma yang diproduksi oleh sel T pada individu yang terpapar dengan
antigen Mtb. Tes ini dapat menimbulkan kesalahan pada populasi yang tinggal di daerah
endemik maupun
Saat ini tersedia 2 tes yang disetujui oleh FDA (Food and Drug Administration) yaitu
QuantiFERON-TB Gold (QFT-G) dan T-SPOT.TB. Sensitivitas dari QFT-G sebesar 76%
dibandingkan
90% pada T-SPOT.TB, akan tetapi QFT-G memiliki spesifisitas yang lebih tinggi yaitu 99%
pada
pasien yang belum divaksinasi serta 96% pada populasi yang telah divaksinasi, dibandingkan
dengan
93% pada tes T-SPOT.TB. Pada kasus tuberkulosis kutan umumnya ditemukan nilai sensitivitas
dan
spesifisitas yang lebih rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh nilai positif palsu yang diakibatkan
oleh
Keuntungan dari pemeriksaan ini adalah tidak terbatas oleh masalah vaksinasi selain itu
dapat menskrining tuberkulosis laten pada pasien yang mendapatkan terapi anti TNF-alfa, pasien
dengan penyakit ginjal, membantu diagnosis pada populasi anak-anak dan pasien dengan AIDS,
serta membantu menegakkan diagnosis eritema induratum yang disebabkan oleh tuberkulosis.21
Pemeriksaan ini menggunakan bahan dari jaringan segar lesi tuberkulid dan digunakan untuk
mendeteksi ada atau tidaknya DNA dari Mtb dimana pada umumnya tidak diketemukannya
bakteri
tahan asam dari pewarnaan histopatologi. Pada tuberkulid akan tetapi ditemukan DNA dari Mtb
pada
bahan kulit yang di biopsi, hal ini menunjukkan bahwa reaksi hipersensitivitas yang timbul
diakibatkan
PCR konvensional
Sistem manual yang umum ditemukan di laboratorium dengan mengamplifikasi urutan DNA
Real-time PCR
Sistem automatis yang setelah proses amplifikasi akan dilanjutkan oleh paparan emisi cahaya
untuk
melihat segmen tertentu dari DNA. Keuntungan dari penggunaan sistem ini adalah mengurangi
kontaminasi dari alat, mengurangi kehilangan materi yang diperiksa serta menurunkan kesalahan
operator. Meskipun begitu tidak didapatkan perbedaan sensitivitas dan spesifisitas dari metode
PCR
konvensional.23
Pada metode ini setelah amplifikasi, DNA dipilih menggunakan marker kemudian sediaan akan
diletakkan pada piringan ELISA dimana akan ada alat yang mengikat bagian dalam dari fragmen
DNA
tersebut. Reaksi dari marker dan alat tersebut menghasilkan warna yang dapat dilihat dan dinilai
PCR in situ
Proses ini menggunakan hibridisasi langsung di dalam jaringan, sehingga dapat langsung lokasi
DNA
dari mikobakterium di dalam sel. Meskipun tingkat sensitivitasnya lebih rendah dibandingkan
dengan
PCR konvensional, metode ini dapat meningkatkan kemungkinan untuk hasil yang positif.224.
Genotyping24
Pemeriksaan ini meliputi beberapa teknik untuk melihat gambaran molekuler strainMtb.
Pemeriksaan ini membantu dalam mengurutkan gen resistensi yang ada untuk menilai mutasi
yang
dapat timbul, selain itu dapat juga memungkinkan kita memisahkan mikobakteria atipikal dengan
M.
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai keberadaan polimorfisme dari lokus DR (Direct
Repeat)
yang hanya dapat ditemukan pada gen mikobakteria Mtb. Oleh karena pemeriksaan ini
menggunakan
jumlah DNA yang lebih kecil, sehingga sensitivitas dari metode ini dapat ditingkatkan. Metode
ini
menjadi standar baku pemeriksaan untuk genotyping dan menentukan strain dari mikobakterium.
Metode ini meliputi memasukkan urutan IS6110 pada gen strain Mtb. Metode ini digunakan
untuk
mempelajari epidemic atau mempelajari genetik populasi. Enzim restriksi digunakan untuk
membelah
Repeats)
Metode ini merupakan tindakan standar dimana meliputi amplifikasi dari lokus polimorfik 12, 15
atau
24 pada keluarga MIRU-VNTR. Setelah diamplifikasi maka akan dilanjutkan dengan proses
elektroforesis yang membantu dalam visualisasi dan identifikasi dari lokus tersebut, sehingga
kita
Kebanyakan dari peneliti atau studi yang dilakukan dalam bidang ini menggunakan PCR
mendiagnosis kasus yang sulit. Sebuah studi yang dilakukan oleh Abdalla dkk. yang
membandingkan
PCR dengan metode diagnostik lainnya dan mendapatkan PCR memiliki tingkat sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan pemeriksaan lainnya (sensitivitas 88% dan
spesifisitas
83%).25
Pemeriksaan Histopatologi
Pada pemeriksaan histopatologi umumnya semua tuberkulosis kutis akan memberikan gambaran
yang serupa dimana didapatkan limfosit, histiosit epiteloid dan sel raksasa. Perbedaan dari
gambaran
histopatologi beberapa bentuk tuberkulosis kutan dipengaruhi oleh variasi dari kemampuan
untuk
pejamu dalam membentuk granuloma. Jika dilihat dari perbedaan tingkat respon imun dari
pejamu,
maka secara histopatologi tuberkulosis kutis dapat dibagi menjadi 3, antara lain:26
-
Lupus vulgaris
Liken skrofulosorum
Tuberkulosis orifisialis
Tuberkulid papulonekrotik
Skrofuloderma
Pada tuberkulosis kutis seharusnya ditemukan bakteri tahan asam kecuali pada kasus tuberkulid,
dimana proses yang terjadi hanya disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap antigen
mikobakterium. Meskipun begitu dari beberapa penelitian, penemuan bakteri tahan asam sangat
sulit
untuk didapatkan meskipun setelah dilakukan pewarnaan tertentu. Tanpa ditemukannya bakteri
tahan
asam, bukan berarti diagnosis tuberkulosis kutis dapat disingkirkan. Gambaran granuloma secara
dan sarkoidosis. Oleh karena itu pemeriksaan tambahan seperti PCR atau tuberkulin tes perlu
TATALAKSANA
Terapi dari tuberkulid dan bentuk lain dari tuberkulosis kutis serupa dengan pengobatan untuk
tuberkulosis sistemik. Pemberian terapi untuk kondisi ini bukan hanya dapat membunuh kuman
mikobakterium secara langsung akan tetapi juga mencegah resistensi bakteri serta menurunkan
penularan M. tuberculosis. Beberapa obat yang tersedia saat ini mengatasi kuman tuberkulosis
pada
Isoniazid
Etionamid
Protionamid
-
Tiasetazon
2. Sintesis arabinogalaktan
Etambutol3. Peptidoglikan
Sikloserin
asam para-aminosalisilik
5. Subunit ribosom
Streptomisin
Aminoglikosida
Kapreomisin
Viomisin
Makrolid
6. Sintesis RNA
-
Rifampin
7. DNA girase-topoisomerase
Florokuinolon
8. Tidak diketahui
Pirazinamid
Sejak tahun 1979 terapi yang direkomendasikan adalah kombinasi antara rifampisin, isoniazid
dan pirazinamid, dikarenakan tingkat resistensi terhadap isoniazid maka Second National Survey
on
Anti-TB drugs Resistance menambahkan etambutol pada fase intensif terapi. Untuk kondisi
tuberkulosis ekstrapulmoner termasuk tuberkulosis kutis terapi yang diberikan selama 6 bulan
yang
terbagi atas 2 bulan fase intensif dan 4 bulan fase pemeliharaan.24Tingkat resistensi yang tinggi
membuat terapi tuberkulosis dengan monoterapi tidak mampu
untuk mengatasi infeksi yang terjadi. Tingkat resistensi obat pada tuberkulosis dibagi atas 2
yaitu:27
Resistensi terhadap isoniazid dan rifampin, dua obat lini pertama yang paling efektif
Resistensi terhadap paling tidak 1 dari 3 obat injeksi lini kedua: amikasin, kanamisin, atau
kapreomisin
Regimen terapi untuk semua kasus tuberkulosis pulmoner dan ekstrapulmoner, termasuk
kasus relaps dan kasus putus obat. Fase dari regimen terapi ini terbagi atas 2, antara lain:
1. Fase intensif
Rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), [150mg/ 75mg/ 400mg/ 275mg]
2 bulan pertama
2. Fase pemeliharaan
- 4 bulan seterusnya
Untuk kasus tuberkulosis ekstrapulmoner pada pasien hamil, penggunaan streptomisin dan
etambutol merupakan kontraindikasi dikarenakan efek teratogenik, akan tetapi sampai saat ini
belum
didapatkan data tentang efeknya pada penggunaanya sebagai terapi tuberkulosis pada pasien
hamil.
Pada wanita hamil pemberian piridoksin 50mg/hari dapat menurunkan risiko toksisitas saraf
yang
timbul akibat pemberian isoniazid. Pada pasien dengan gangguan ginjal dimana didapatkan
creatinine
clearance kurang dari 30ml/menit, perlu disesuaikan dosisnya menjadi lebih rendah. Pada pasien
dengan gangguan hati dimana tingkat transaminase lebih dari 3 kali lipat nilai normal,
pirazinamid
umumnya dihentikan dan ditambahkan streptomisin. Pada pasien dengan kondisi MDR dan XDR
harus diberikan terapi lain dengan obat lini kedua seperti injeksi kanamisin, streptomisin dan
amikasin,
atau obat oral golongan kuinolon dan makrolid.24 Regimen yang direkomendasi untuk MDR-TB
atau
XDR-TB adalah pemberian kombinasi minimum 4 obat dimana kuman M.tuberculosis masih
sukseptibel. Obat-obatan ini dibagi atas 5 kelompok berdasarkan tingkat efektifitasnya, (1)
kelompok
pertama adalah isoniazid dosis tinggi, pirazinamid dan etambutol, (2) kelompok kedua adalah
florokuinolon dimana pilihan utamanya adalah levofloksasin dosis tinggi, (3) kelompok ketiga
adalah
obat injeksi kapreomisin, kanamisin dan amikasin, (4) kelompok keempat adalah tioamid,
sikloserin,
dan asam aminosalisilik, (5) kelompok kelima adalah klofazimin, amoksisilin klavulanat,
linezolid,
1. Lee DJ, Rea TH, Modlin RL. 2012. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.
USA: McGraw-Hill. Eight Edition. 9(12): 2253-2262
2. Legendre DP, Muzny CA, Swiatlo E. 2012. Hansen’s Disease (Leprosy): Current and
Future Pharmacotherapy and Treatment of Disease-Related Immunologic Reactions.
USA: American College of Clinical Pharmacy. 32(1): 27-37
3. Departemen Kesehatan RI. 2015. Infodatin: Kusta.. Jakarta: Pusat data dan informasi
kementrian kesehatan RI. Hal.1-7
4. Tiarasari R. 2014. Rehabilitation and Disability Limitation of Youth 22 Years old
Morbus Hansen. Lampung: J Medula Unila 3(2): 96-107
5. The International Federation of Anti-Leprosy Association (ILEP). Terjemahan dalam
bahasa Indonesia: Bagaimana mengenali dan menatalaksana reaksi kusta oleh RS Kusta
Dokter Rivai Abdullah 2012. The ILEP Action Group on Teaching and Learning
Material (TALMilep).2002.
6. Burgess K. 2004. Clinical Practice of Physical Medicine and Rehabilitation. 1: 6-12
7. Scollard DM, Adams LB, Gillis TP, Krahenbuhl JL, Truman RW, Williams DL. The
continuing challenges of Leprosy. Clin. Microbial. Rev 2006; 19 (2): 338-81.
8. Kar HK, Sharma P. Leprosy reaction. Dalam: Kar HK, Kumar B, editors. IAL Textbook
of Leprosy. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) LTD, 2010: 269-87.
9. Martodihardjo S, Sosanto SD. Reaksi Kusta dan Penanganannya. Dalam: Daili ESS,
Menaldi
10. Amiruddin MD. Eritema Nodosum Leprosum. MDVI 1998; 25/4S: 39S-43S.
11. Spierings E, Boer TD, Zulianello L, Ottenhoff TH. Novel mechanism in the
immunopathogenesis of leprosy nerve damage: The role of Schwann cells, T cells and
mycobacterium leprae. Immnunology and Cell Bilogy 2000; 78: 349-55.
12. World Health Organization. 2016. Global Leprosy Strategy 2016-2020. India: World
Health Organization 1(2):3-5
13. Amirudin MD, Hakim Z, Darwis E. 2003. Diagnosis penyakit Kusta. Dalam:Daili ESS,
Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H, editor. Kusta. Edisi ke-2. Jakarta: FKUI: 12-31.
14. Alang H, Hatta M, Massi N. 2011. Analisis Polimorfisme Gen Vitamin D Receptor (Vdr)
Exon 9352 pada Penderita Kusta Di Makassar. JST Kesehatan, April 2011, Vol.1 No.1
Hal : 77 – 84 ISSN 1411-4674
15. World Health Organization. 2016. Guide to Eliminate Leprosy as a Public Health
Problem. Switzerland: World Health Organization. Hal 1-22
16. Indian Association of Preventive and Social Medicine. 2004. National Leprosy
Eradication Program: Disability Prevention and rehabilitation. India: Indian Association
of Preventive and Social Medicine.Hal.1-7