Anda di halaman 1dari 59

RESUME REMEDIASI

BLOK 4.3
SKENARIO 2

Nama : Lugino
NPM : 114170035
Kelompok : 4
Blok : 4.3

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2020
STEP 5
1. Pendekatan klinis pada keluhan penyakit menular seksual (penyakit yang
mungkin dan mekanisme patofisiologinya termasuk agen penyakitnya)
2. Algoritma diagnosis infeksi menular seksual (3 tnda kardinal IMS)
3. Penegakan diagnosis dan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan
4. Penatalaksanaan farmakologi dan non farmakologi termasuk pengendalian
faktor resiko penyakit menular seksual.

MINDP MAP

EDUKASI
ETIOLOGI

KOMPLIKA
IMS SI
FAKTOR
RESIKO

PATOFISIOL TATALAKS
OGI PENEGAKAN ANA
DIAGNOSI

STEP 6
Belajar mandiri
STEP 7
1. GONORE
1) Definisi
infeksi gonokokal adalah infeksi menular seksual (ims) pada epitel dan umum
nya bermanifestasi sebagai servisitis, ureritis, an konjungtivitis. Jika tidak dio
batu, infeksi pada daerah ini dapat mengakibatkan komplikasi local seperti en
dometritis, salpingitis, abses tubo-ovarian, bartholinitis, peritonitis, dan perihe
patis pad pasien waita; periuretritis dan epididymitis pada pasien laki-laki; dan
oftalmia neonatorum pada bayi baru lahir. Infeksi gonokokal diseminata yang
meliputi manifestasi lesi kulit, tenosynovitis, artritis, dan (jarang) endokarditis
atau meningitis jarang terjadi. 1
2) Etiologi
Neisseria gonorrhoeae (n. gonorrhoeae) adalah bakteri Gram negative, nonmot
il, tidak membentuk spora, yang tumbuh tunggal dan berpasangan (sebagai mo
nokokus dan diplokokus). Merupakan patogen yang eksklusif pada manusia, s
ecara umum memiliki tiga salinan genom per unit kokus; dimana poliploidi ini
memungkinkan tingkat variasi antigenic yang tinggi dan kelangsungan hidup
di dalam inangnya. Gonokokus, seperti semua spesies Neisseria lainnya, meru
pakan oksidase positif. Mereka diedakan dari Neisseria lain dengan kemampu
an mereka untuk tumbuh pada media selektif dan untuk memanfaatkan glukos
a tapi tidak maltose, sukrosa, atau laktosa. 1
3) Patogenesis
Virulensi dari N. gonorrhoeae ditentukan dari keberadaan pili yang dimediasi
penempelan, serta kemampuan untuk bertahan dari kekuatan aliran
hidrodinamik pada uretra, dimana hal ini juga menghambat pengambilan oleh
fagosit. Invasi dan multiplikasi terjadi pada sel kolumnar non silia penghasil
mukus pada epitel tuba fallopi. Strain dengan pili lebih banyak menempel
pada permukaan sel mukosa manusia, dan lebih virulen dibandingkan dngan
strain yang tidak berpili. Penempelan ini merupakan awal dari endositosis dan
transport melewai sel mukosa ke dalam ruang interselular dekat membran
basal atau langsung ke jaringan subepitelial. Tidak terdapat toksin khusus
yang dihasilkan oleh n. Gonorrhoeae namun komponen lipoologosacharide
dan peptidoglycan berperan dalam menghambat fungsi silia dan meyebabkan
inflamasi. 1
Komponen peptidoglycan selain antigen pili, termasuk juga, Porin, opacity-as
sociated protein serta protein lain. Porin (sebelumya dikenal sebagai protein I)
protein terbanyak pada permukaan n. gonorrhoeae, menginisiasi proses endosi
tosis dan invasi. Opacity-associated protein (opa, sebelumnya dikenal sebagai
protein II) berperan penting pada penempelan ke sel epitel, dan sel PMN yang
akan menekan proliferasi sel T limfosit CD4+. Protein lainnya termasuk H.8, s
uatu lipoprotein yang terdapat pada semua strain n. gonorrhoeae, berguna seba
gai target untuk diagnostic yang berdasar antibodi. Bakteri ini juga memprodu
ksi suatu IgA1 protease, yang melindungi bakteri dari respons imun IgA muko
sa individu. antibodi terhadap Rmp (sebelumnya dikenal sebagai protein III, P
III) mencegah ikatan terhadap komplemen sehingga dapat memblokade efek b
akterisidal terhadap porin dan lipooligosacharide. 1
Antigen pili memegang peranan penting pada kompetensi dan transformasi ge
netik, yang memungkikan transfer material genetik antar bakteri in vivo. Anti
gen piil, bersama Porin dan lipooligosaccharide bertanggung jawab terhadap v
ariasi antigenic, yang menyebabkan infeksi berulang dalam periode waktu yan
g singkat. 1
Gonococcal Lipooligosaccharide (LOS), berperan dalam aktivitas endotoksik
dan berkontribusi pada efek sitotoksik lokal pada tubo Fallopi. LOS Juga mem
odulasi respons sistem imun, dimana modulasi ke arah respons Th2 akan men
gurangi kemampuan bersihan infeksi gonokokal. 1
selain itu faktor individu inang juga berperan penting dalam memediasi
masuknya bakteri ke dalam sel. Pelepasan diacylglycerol dan ceramide dibutu
hkan untuk masuk ke dalam sel epitel. Akumulasi ceramide dalam sel akan m
enignduksi apoptosis dimana akan mengganggu integritas epitel dan memfasil
itasi masuknya bakteri ke jaringan subepitelial. Dilepaskanya faktor
kemotaksis hasil dari aktivasi komplemen juga akan menyebabkan inflamasi. 1
strain yang menyebabkan penyakit infeksi gonokokal diseminata (strain PorB.
1A) telah dibuktikan lebih sulit dimatikan oleh serum manusia, dimana lebih
tidak kemotaksis. 1
Gambar Patofisiologi Gonore. 1
4) Klasifikasi
spektrum penyakit dari infeksi gonokokal ini terdiri dari:1
 infeksi genital
 infeksi rektal
 ineksi faringeal
 infeksi okular
 komplikasi lokal
 infeksi gonokokal diseminata
 infeksi pada bayi dan anak. 1

5) Gambaran Klinis
Pada sebagian besar laki-laki yang terinfeksi, gejala gonore berupa disuria,
sering berkemih dan eksudat uretra mukopurulen yang terjadi dalam 2 hari
sampai 7 hari sejak permulaan infeksi. Pengobatan dengan obat antimikroba y
ang cocok menghasilkan eradikasi organisme dan resolusi gejala dengan cepat.
Infeksi yang tidak diobati dapat berlanjut ke prostat, vesikula seminalis, epidi
dimis dan testis. Kasus yang tertelantarkan dapat berkomplikasi berupa
striktur uretra kronik dan pada kasus yang lebih Ianjut sterilitas yang menetap.
Laki-laki yang tidak diobati dapat menjadi carrier N. gonorrhoeae kronik. Pa
da penderita perempuan, infeksi akut yang didapat akibat hubungan seksual ta
npa gejala atau disertai disuria, nyeri pelvis bawah dan keluarnya pus dari va
gina. Kasus yang tidak diobati dapat dipersulit oleh infeksi asendens yang me
nimbulkan radang akut pada tuba (salpingitis) dan ovarium. Parut yang bisa te
rjadi pada tuba bisa mengakibatkan infertilitas dan meningkatnya risiko keha
milan ektopik. Infeksi gonokok pada traktus genitalia atas dapat menyebar ke
rongga peritoneum, sehingga eksudat dapat meluas ke atas melalui saluran par
akolon kanan sampai di hati, dan menimbulkan perihepatitis gonokokus. Berg
antung kepada praktek seksual, tempat infeksi primer pada laki-laki maupun p
erempuan bisa terjadi pada orofaring dan daerah anorektal, yang masing-masi
ng dapat mengakibatkan faringitis akut dan proktifis akut. 2
Infeksi yang menyebar luas (diseminata) jauh lebih jarang dari infeksi lokal,
hanya terjadi pada 0,5% sampai 3% kasus gonore, dan lebih sering pada
perempuan daripada laki-laki. Manifestasinya mencakup, paling sering,
tenosinovitis, artritis dan lesi kulit pustular atau hemoragik. Endokarditis dan
meningitis jarang terjadi. Strain yang dapat menyebabkan infeksi yang
menyebar luas biasanya resisten terhadap daya litik komplemen, tetapi jarang
penderita yang menderita defisiensi komplemen karena keturunan rentan
terhadap penyebaran sistemik dan tidak bergantung kepada strain yang
menginfeksi. 2
Infeksi gonokok dapat mengenai bayi sewaktu melintasi saluran Iahir. Pada
neonatus yang terkena dapat terjadi infeksi purulen pada mata (oftalmia
neonatorum), yang dahulu merupakan penyebab kebutaan penting. Pemberian
salep antibiotik secara rutin pada mata bayi baru lahir sangat mengurangi
kelainan ini. Baik biakan maupun berbagai tes untuk deteksi asam nukleat
yang spesifik kuman dapat digunakan untuk diagnosis infeksi gonokokus.
Keuntungan biakan ialah memungkinkan penetapan sensitivitas antibiotik. Tes
berdasarkan asam nukleat lebih cepat dan agak lebih sensitif daripada biakan
2
dan makin banyak digunakan.
Gambar Gonore. 2
Laboratorium
Pendekatan umum pada penderita dengan kecurigaan infeksi gonokokal terdiri
atas pegambilan spesimen eksudat untuk diperiksan apusan dengan pewarnaan
Gram, kultur, dana penentuan sensitivitas antibiotik. Metode diagnosis terbaru
antara lain tes DNA probe, polymerase chair reaction (pcr) dan ligand chain re
action (LCR), transcription-mediated amplification (TMA), serta DNA strand
displacement (SDA). 1
Perwanaan Gram
Diagnosis cepat infeksi gonokokal melalui pewarnaan gram dari eksudat uretr
a telah diteria secara luas. Pada pria dengan gejala urethritis, tes ini disebutkan
sangat spesifik dan sensitive, sehingga hasil yang positis dapat dianggap diagn
osis. Dikatakan positis bila ditemukan adanya diplokokus garam negative den
gan morfologi tipikal yang ditemukan berhubungan dengan neutrophil. Namu
n, hasil negative pada pewarnaan gram tidak dianjurkan untuk menyingkirkan
diagnosis pada pria yang asimptomatis. 1
Kultur
Kultur diambil menggunakan swab Dacron atau rayon, kemudian sampel diin
okulsi ke plate modifikasi Thayer-martin atau media selektif gonokokal lainny
a. Pada pria, kultur dari eksudat mendukung diagnosis bila specimen pewarna
an gram tidak ditemukan bakteri untuk n. gonorrhoeae. 1
Diagnostik lain
Nuclei hybridization test dan nucleis acid amplification test (NAATs) dapat di
gunakan untuk deteksi infeksi gonokokal pada sistem genitourinarius. Sepsim
en untuk Nuclei hybridization test dan nucleis acid amplification test (NAATs
berasal dari swab endoservikal pada wanita dan swab uretra pada pria. 1
6) Diagnosis banding
Uretritis dan servisitis gonokokal harus dibedakan dengan uretritis non-
gnokokal, servisitis atau vaginitis akibat chlamydia trachmati, gardnerella
vaginalis, trichomonas, candida, dan patogen lainnya yang berhubungan
dengan infeksi menular seksual; penyakit inflamasi pelvis, artritis, proktitis,
dan lesi kulit. Seringkali beberapa patogen terdapat bersamaan pada seorang
penderita. Artritis reaktis (uretritis, konjungtivitis, artritis) dapat menyerupai
gonorrhea atau terjadi bersamaan. 1
7) Pengobatan
Tabel Pengobatan gonore. 3

Siprofloksasin dan ofloksasin sudah menunjukkan angka resistensi yang tinggi


di beberapa kota, sehingga tidak dianjurkan lagi. 3
8) Komplikasi
Komplikasi lokal terdiri dari salpingitis akut (PID) dan asbes kelenjar
bartholin pada wanita, epididimitis, penile lymphangitis, prostatitis, seminal
vasculitis dan striktur uretra ada pria. Komplikasi jangka panjang dari PID
termasuk sterilitis dan risiko kehamilan ektopik. 1
Infeksi gonokokal diseminata dapat berkomplikasi endokarditis, meningitis
dan miokarditis. Endokarditis biasanya mempengaruhi katup aorta dan
progresivitasnya cepat, menyebabkan kerusakan katup dan gagal jantung.
Kasus sindroma dermatitis-artitis sembuh spontan, tapi artritis septik yang
tidak diterapi dapat mengakibatkan osteomielitis lanjut atau kerusakan sendi. 1
2. HERPES GENITAL
1) Definisi
Infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (virus herpes
hominis) tipe I atau tipe ll yang ditandai oleh adanya vesikel yang
berkelompok di atas kulit yang sembab dan en'tematosa pada daerah dekat
mukokutan, sedangkan infeksi dapat bedangsung baik primer maupun
rekurens. 4
2) Epidemiologi
Penyakit ini tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun wanita
dengan frekuensi yang tidak berbeda. lnfeksi primer oleh virus herpes
simpieks (V.H.S) tipe i biasanya dimulai pada usia anak-anak, sedangkan
infeksi VHS tipe I! biasanya terjadi pada dekade II atau Ill, dan berhubungan
dengan peningkatan aktivitas seksual. 4
3) Etiologi
VHS tipe I dan ll merupakan virus herpes hominis yang merupakan virus
DNA. Pembagian tipe l dan H berdasarkan karakteristik pertumbuhan pada
media kultur, antigenic marker, dan lokasi klinis (tempat predileksi). 4
4) Gejala klinis
lnfeksi VHS ini beriangsung dalam 3 tingkat.
(1) Infeksi primer
Tempat predileksi VHS tips I dl daerah pinggang ke ates terutama dl daerah
mulut dan hidung, biasanya dimulai pada usia anak-anak inokulasi dapat
terjadi secara kebetulan, misalnya kontak kulit pada perawat, dokter gigi, atau
pada orang yang sering menggigit jari (helpetic whit-low). Virus ini juga
sebagai penyebab herpes ensefalitis. lnfeksi primer oleh VHS tipe II
mempunyai tempat predileksl di daerah pinggang ke bawah, temtama di
daerah genital, juga dapat menyebabkan herpes meningitis dan infeksi
neonatus. Daerah predileksi ini sen'ng kacau karena adanya cara hubungan
seksual seperti pro-genital, sehingga herpes yang terdapat di daerah geni-tal
kadang-kadang disebabkan oleh VHS tipe l sedangkan di daerah mulut dan
,rongga mulut dapat disebabkan oleh VHS tipe ll. lnfeksi primer berlangsung
labih lama clan lebih berat, kira-kira 3 minggu dan sering disertai gejala
sistemik, misalnya demam, malese dan anoreksia, dan dapat ditamukan
pembengkakan kelenjar getah bening regional.
Kelainan klinis yang dijumpai berupa vesikel yang berkelompok di atas kulit
yang sembab dan eritematosa, berisi cairan jernih dan kemudian

menjadi seropurulen, dapat menjadi krusta dan kadang-kadang mengalami


ulserasi yang dangkal, biasanya sembuh tanpa sikatriks. Pada perabaan tidak
terdapat indurasi. Kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder sehingga
memberi gambaran yang tidak jelas.
Umumnya didapati pada orang yang kekurangan antibodi virus herpes
simpleks. Pada wanita ada laporan yang mengatakan bahwa 80% infeksi VHS
pada genitalia ekstema disertai infeksi pada serviks. 4
(2)Fase Iaten
Fase ini berarti pada penderita tidak diemukan gejala klinis, tetapi VHS dapat
ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis. 4
(3) lnfeksi rakurens
lnfeksi ini berarti VHS pada ganglion dorsalis yang dalam keadaan tidak aktif,
dengan mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kulit sehingga
menimbulkan gejala innis. Mekanisme paou itu dapat berupa trauma fisik
(demam, infeksi, kurang tidur. hubungan seksual, dan sebagainya), trauma
psikis (gangguan emosional, mnstruasi), dan dapat pula timbul akibat jenis
makanan dan minuman yang merangsang.
Gejala klinis yang timbul lebih ringan dari pada infeksi primer dan
berlangsung kira-kira 7 sampai 1O hari. Sering ditemukan gejala prodromal
lokal sebelum timbul vesikel berupa rasa panas, gatal, dan nyeri. lnfeksi
rekurens ini dapat timbul pada tempat yang sama (loco) atau tempat
Iain/tempat di sekitamya (non loco). 4
Gambar Infeksi virus herpes. 4
5) Pemeriksaan pembantu diagnosis
Virus herpes ini dapat ditemukan pada vesikel dan dapat dibiak. Pada keadaan
tidak ada lesi dapat diperiksa antibodi VHS. Pada percobaan Tzanck dengan
pewamaan Giemsa dapat ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi
intranuklear. 4
6) Tatalaksana
Sampai saat ini belum ada terapiyang memberikan penyembuhan radikal,
artinya tidak ada pengobatan yang dapat mencegah episode rekrurens.Pada
lesi yang dini dapat digunakan obat topikal berupa salap atau krim yang
mengandung preparat idoksuridin (stoxil, viruguent, viruguet-P) dengan cara
aplikasi. yang sering dengan interval beberapa jam. Preparat asildovit
(zovirax) yang dipakai secara topikal tampaknya memberikan masa depan
yang Iebih cerah. Asiklovir ini cara kerjanya mengganggu replikasi DNA
virus. Klinis hanya bermanfaat bila penyakit sedang aktif. Jika timbul ulserasi
dapat diIakukan kompres. Pengobatan oral berupa preparat asiklovir
tampaknya memberikan hasil yang lebih baik. Penyakit berlangsung lebih
singkat dan masa rekurensnya lebih panjang. Dosisnya 5 x 200 mg sehari
selama 5 hari.
Pengobatan parenteral dengan asiklovir terutama ditujukan kepada penyakit
yang lebih berat atau jika timbul komptikasi pada alat dalam. Begitu pula
dengan preparat adenin arabinosid (vitarabin). Lnterferon sebuah preparat
glikoprotein yang dapat menghambat reproduksi virus juga dapat dipakai
secara parenteral.
Untuk mencegah rekurens macam-macam usaha yang dilakukan dengan
tujuan meningkatkan imunitas selular. pemah dilakukan pemberian preparat
Iupidon H (untuk VHS tipe I) dan lupidon G (untuk VHS tipe N) dalam satu
seri pengobatan. Pemberian levamisol dan isoprinosin atau asiklovir secara
berkata menurut beberapa penyelidik memberikan hasiI yang baik. Efek
tevamisol dan isopmosin ialah sebagai imunostimulator. Pemberian vaksinasi
cacar sekarang tidak dianut lagi. 4
3. KONDILOMA AKUMINATA

1) Pendahuluan
Kondiloma akuminata (KA) atau genital warts atau lebih dikenal oleh masyar
akat awam dikenal lebih dari 120 subtipe HPV, namun yang bertanggung jawa
b terhadap terjadinya KA yang tersering adalah subtipe 6 dan 11. Dan subtipe
16 dan 18 diduga mempunyai kecenderungan ongkogenik menjadi penyebab k
eganasan pada leher Rahim (2). Angka kejadian KA semakin bertambah bany
ak bahkan melebihi herpes genital. Di Amerika serikat, data dari Center for D
isease Control and Prevention tercatat ada lebih dari 19,7 juta kasus baru infe
ksi menular seksual (IMS) tiap tahun, dan 14,1 juta kasus merupakan infeksi
HPV (3). Sedangkan pada penelitian tentang Infeksi Menular Seksual di 12 R
umah Sakit Pendidikan di Indonesia mulai tahun 2007- 2011, kejadian KA me
nduduki peringkat ke 3 terbesar. Kondiloma akuminata menduduki peringkat
pertama di 6 kota yaitu Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, Jogja dan Denpa
sar dengan usia terbanyak didapatkan pada golongan usia 25-45 tahun. Di Div
isi Penyakit Menular Seksual Unit Rawat Jalan Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUD Dr. Soetomo Surabaya, insidensi KA pada tahun 2002 sebesar 94 kasu
s, tahun 2003 sebesar 67 kasus, dan tahun 2005 sebesar 75 kasus. 5
2) Etiologi dan Faktor resiko
Penularan Kondiloma Akuminata Transmisi HPV terjadi melalui kontak deng
an lesi epitel yang tampak maupun dalam bentuk subklinis, dan/atau cairan ge
nital yang mengandung HPV. Penularan infeksi HPV terutama melalui hubun
gan seksual. Bila seseorang melakukan hubungan seksual dengan pasangan ya
ng telah terinfeksi HPV, maka kemungkinan akan tertular virus dan timbul K
A adalah sebesar 75%. Kontak langsung dengan tangan atau tidak langsung m
elalui bendabenda yang terkontaminasi dengan HPV (fomites) dapat terjadi pe
nularan, meskipun jarang terjadi. Penularan dari ibu ke anak melalui kanalis v
agina saat melahirkan dapat menimbulkan lesi disaluran nafas bayi. 5
3) Patogenesis
Patogenitas Kondiloma Akuminata Infeksi HPV genital pada umumnya meng
enai mukosa yang lembab dan berdekatan dengan epitel skuamosa serviks dan
anus. Abrasi mikroskopi pada saat berhubungan seksual memudahkan pasang
an yang terinfeksi HPV untuk menularkannya kepada pasangan yang belum te
rinfeksi. Trauma berulang dapat meningkatkan infektivitas dan replikasi virus.
Virus akan memasuki sel epitel basal pejamu, melepaskan kapsul protein dan
berada bersama sel pejamu sebagai circular episome. Selanjutnya virus akan b
erada dalam masa inkubasi laten selama 1-8 bulan, dan selama itu tidak namp
ak manifestasi klinis. Fase pertumbuhan aktif akan dimulai bila terjadi lesi per
tama. Sampai sekarang belum diketahui pemicu perubahan bentuk laten menja
di infeksius, namun dipengaruhi oleh faktor pejamu, virus, dan lingkungan. Si
stem imun seluler yang kompeten dibutuhkan untuk pembersihan HPV, namu
n masih menjadi tantangan untuk menghilangkan virus dari pejamu yang imun
okompeten. HPV terlindung dari respon imun pejamu karena virus berlokasi d
idalam sel. 5
Gambar Kondiloma akuminata. 5
4) Manifestasi klinis
Masa inkubasi KA berkisar antara 2 minggu hingga 9 bulan. Secara umum kel
ainan fisik mulai 2-3 bulan setelah kontak. Umumnya tidak menimbulkan kelu
han namun bentuknya dapat menyebabkan stres psikologik. Selama masa infe
ksi aktif, HPV akan bereplikasi tanpa bergantung pada pembelahan sel pejamu
dan akan memicu pejamu berproliferasi membentuk banyak lesi berupa kutil d
atar hingga papilar. Lesi dapat bertangkai atau melekat di dasar (sessile) dan k
adang-kadang berpigmen. Terdapat 3 bentuk klinis KA, yaitu akuminata, kerat
otik, dan papul. Bentuk akuminata, lunak karena tidak berkeratin, berbentuk s
eperti kembang kol, terutama didaerah mukosa yang hangat, lembab dan tidak
berambut sebagaimana. Bentuk keratotik, menyerupai kutil biasa, di daerah ke
ring, kulit anogenital. Bentuk papul, didaerah dengan keratinisasi sempurna ya
itu dibatang penis, bagian lateral vulva, perineum, perianus, permukaan halus,
licin dan tersebar diskrit. Infeksi subklinis dapat terlihat seperti bercak putih
(positif acetowhite) setelah dilakukan tes asam asetat 5%. Sebagian besar infe
ksi HPV bersifat sementara atau transient dan tidak terdeteksi lagi dalam wakt
u 2 tahun. Meskipun demikian, sekitar 30% KA akan mengalami regresi dala
m 4 bulan pertama infeksi. Periode laten bisa berlangsung beberapa bulan hin
ga tahun. 5

Gambar Kondiloma akuminata. 5

5) Diagnosis Kondiloma Akuminata


Diagnosis KA umumnya dapat ditegakkan berdasar gambaran klinis, pemeriks
aan fisik dengan pencahayaan yang baik dan kaca pembesar. 5
6) Pemeriksaan Penunjang Kondiloma Akuminata
Pada kasus yang meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang, antara l
ain :
(1). Tes asam asetat Tes dilakukan dengan aplikasi larutan asam asetat 5% pa
da lesi yang dicurigai. Dalam waktu 3-5 menit, lesi akan berubah menjadi puti
h (acetowhite).
(2). Kolposkopi Pemeriksaan dengan alat pembesaran optik (kolposkop) untuk
melihat serviks dan traktus genitalis wanita agar tampak lebih jelas. Terkadan
g dilakukan bersamaan dengan tes asam asetat.
(3). Pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan sebagai pem
eriksaan rutin KA. Indikasinya adalah untuk bentuk lesi yang tidak khas, lesi t
idak responsif terhadap terapi, dan curiga ganas (ditandai dengan pigmentasi,
pertumbuhan cepat, fiksasi pada dasar lesi, perdarahan dan ulserasi spontan. S
ecara mikroskopis, lesi KA ditandai dengan gambaran koilosit (keratinosit ber
ukuran besar dengan area halo dan vakuolisasi perinuklear). Pada epidermis te
rdapat akantosis, parakeratosis, dan rete redges yang memanjang.
(4). Pemeriksaan dermoskopi Alat ini dapat melihat lesi awal datar dan memb
antu membedakan dengan lesi liken planus, keratosis seboroik dan bowenoid.
Pada lesi KA menunjukkan gambaran pola vaskular dan gambaran yang khas,
berupa pola mosaik pada lesi awal yang masih datar dan ola menyerupai tomb
ol (knoblike), serat menyerupai jari pada lesi papilomatosa.
(5). Identifikasi genom HPV. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk diagnosi
s infeksi HPV anogenital secara rutin. Seseorang dapat terinfeksi lebih dari 1 s
ubtipe HPV. Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) mampu mendetek
si DNA HPV dengan sensitivitas dan spesifisitas tinggi. 5
7) Diagnosis banding kondiloma akuminata
Kondiloma akuminata harus dibedakan dari semua bentuk kelainan yang berb
entuk papul didaerah genital. Beberapa lesi kulit yang menyerupai KA yaitu:
(1). Pearly penile papules, secara klinis tampak papul berawarna sama dengan
kulit, terkadang lebih putih, berukuran 1-2mm, tersebar diskrit, mengelilingi s
ulkus coronaries. Ini adalah varian normal dan tidak perlu diobati.
(2). Kondiloma lata, merupakan salah satu bentuk sifilis stadium sekunder. Le
si berupa papul-papul dengan permukaan lebih halus dan bentuk lebih bulat da
ri KA.
(3). Karsinoma sel skuamosa, merupakan keganasan dan kadang sulit dibedak
an dengan KA. Perlu dilakukan pemeriksaan histopatologi. 5
8) Penatalaksanaan kondiloma akuminata
Infeksi HPV bersifat subklinis dan laten, maka tidak terdapat terapi spesifik te
rhadap virus ini. Perawatan diarahkan pada pembersihan kutil – kutil yang tam
pak dan bukan pemusnahan virus. Perhatian pada kebersihan arena genital san
gat penting karena kelembaban mendukung pertumbuhan kutil. Beberapa mod
alitas terapi yang dapat dilakukan:
(1). Tinktura podofilin 10-25% Podofilin resin bekerja sebagai anti mitotik ya
ng menginduksi nekrosis jaringan. Pada satu sesi terapi hanya diperbolehkan
meliputi area seluas 10cm2 atau jumlah podofilin kurang dari 0,5ml. Tidak bo
leh diberikan pada ibu hamil.
(2). Larutan trichloroacetic acid (TCA) 80-95% Bahan ini bersifat korosif dan
dengan cepat menjadi inaktif setelah kontak dengan kulit/lesi. Aman digunaka
n untuk ibu hamil dan menggunakan konsentrasi 50% ternyata juga memberik
an hasil yang memuaskan. Komplikasi yang mungkin terjadi adala erosi dan u
lkus dangkal.
(3). Imiquimod 5%. Imidazoquilinamine tidak memiliki anti virus in vitro nam
un dapat memodifikasi respon imun pejamu melalui peningkatan produksi sito
kin interferon-α, tumor necrosis factor (TNF), dan interleukin sehingga sel nat
ural killer (NK cell), sel PMN, makrofag, dan sel T yang bersifat anti tumor m
ampu mengeradikasi virus. Obat ini tidak dapat digunakan pada membran mu
kosa dalam (uretra, vagina dan serviks) dan tidak boleh untuk ibu hamil. Saya
ngnya obat ini belum tersedia di Indonesia.
(4). Bedah eksisi. Terutama untuk KA besar dan menimbulkan obstruksi. Lesi
dapat diambil secara keseluruhan dalam 1 sesi terapi. Efek samping berupa ny
eri, perdarahan, sampai timbul jaringan parut.
(5). Bedah listrik. Dapat digunakan untuk lesi internal maupun eksternal. Keu
ntungan dan komplikasi sama dengan bedah eksisi.
(6). Bedah beku. Menggunakan N2 cair, CO2 padat, cryoprobe untuk membek
ukan kandungan air jaringan sehingga terjadi lisis sel. 5
9) Komplikasi
Ca mulut Rahim. 5

4. MOLOSCUM KONTAGIOSUM

1) Etiologi
Moluskum kontagiosum adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh
virus (genus Molluscipoxvirus) yang menyebabkan moluskum kontag
iosum menjadi angoota dari family poxviridae, yang juga terdapa
t anggota smallpox. Molluscum Contagiosum Virus (MCV) merupakan
virus double stranded DNA,berbentuk lonjong dengan ukuran 230 x
330 nm. Masa inkubasi Moluskum kontagiosum didapatkan satu samp
ai beberapa minggu hingga 6 bulan. 6
2) Patofiologi
Inkubasi rata-rata moluskum kontagiosum adalah 2-7 minggu, deng
an kisaran ekstrim sampai 6 bulan. Infeksi dan infestasi MCV me
nyebabkan hyperplasia dan hipertrofi epidermis. Inti virus beba
s dapat ditemukan pada epidermis. Jadi terbentuknya MCV berloka
si di lapisan sel granular dan malphigi. Badan moluskum banyak
mengandung virion MCV matur yang banyak mengandung struktur col
lagen-lipid-rich saclike intraseluler yang diduga berperan pent
ing dalam mencegah reaksi sistem imun host untuk mengenalinya.
Ruptur dan pecahnya sel yang mengandung virus terjadi pada bagi
an tengah lesi. MCV menimbulkan tumor jinak selain juga menyeba
bkan lesi pox nekrotik. 6
3) Penegakan diagnosa
Diagnosis moluskum kontagiosum lebih banyak ditegakkan melalui
pemeriksaan fisik. Lesi yang ditimbulkan oleh MCV biasanya berw
arna putih, pink, atau warna daging, umbilikasi, papul yang men
inggi (diameter 1 – 5 mm) atau nodul (diameter 6 – 10 mm). Le
si moluskum kontagiosum dapat timbul sebagai lesi multipel atau
single (biasanya <30 papul). Walaupun pada pasien biasanya asim
tomatis, mungkin muncul ekzema di sekitar lesi dan pasien bisa
mengeluhkan gatal atau nyeri. Lesi moluskum kontagiosum pada pa
sien HIV tidak sembuh secara cepat, dan mudah menyebar ke lokas
i lain (seperti wajah) dan biasanya terjadi kekambuhan jika dio
bati dengan terapi biasa.
Lesi jarang didapatkan pada daerah telapak tangan dan telapak k
aki. Pada orang dewasa lesi dapat pula ditemui di daerah perige
nital dan perianal. Hal ini berkaitan dengan penularan virus me
lalui hubungan seksual. Penegakan diagnosis moluskum kontagiosu
m secara pasti dapat ditegakkan dengan pemeriksaan fisik lesi y
ang cermat. Pemeriksaan histopatologi moluskum kontagiosum menu
njukkan gambaran proliferasi.
sel-sel stratum spinosum yang membentuk lobules disertai centra
l cellular dan viral debris. Lobulus intraepidermal dipisahkan
oleh septa jaringan ikat dan didapatkan badan moluskum di dalam
lobulus berupa sel berbentuk bulat atau lonjong yang mengalami
degenerasi keratohialin. 6
Gambar Moluskum kontagiosum. 6
4) Tatalaksana
a) Terapi medikamentosa
Topikal
- Krim imuquimod 5% dioleskan 3x perminggu selama 1-3 bulan.
- Pengeluaran massa yang mengandung badan moluskum dengan
ekstraktor komedo, jarum suntuk atau kuret
- Bedah beku
b) Terapi nonmedikamentosa

Edukasi untuk mencegah autoinokulasi dan tranmisi melalui hubun


gan seksual (bagi yang beresiko). 6
5. SIFILIS

Sifilis adalah penyakit menular seksual yang sangat infeksius, disebab


kan oleh bakteri berbentuk spiral, Treponema pallidum subspesies pallidum.
1) Etiologi

Treponema pallidum merupakan salah satu bakteri spirochaeta. Bakteri ini


berbentuk spiral. Terdapat empat subspesies, yaitu Treponema pallidum pallidum,
yang menyebabkan sifilis, Treponema pallidum pertenue, yang menyebabkan yaw
s, Treponema pallidum carateum, yang menyebabkan pinta dan Treponema pallid
um endemicum yang menyebabkan sifilis endemik (juga disebut bejel. Klasifikasi
bakteri penyebab sifilis adalah; Kingdom: Eubacteria, Filum: Spirochaetes, Kelas:
Spirochaetes, Ordo: Spirochaetales, Familia: Treponemataceae, Genus: Treponem
a, Spesies: Treponema pallidum, Subspesies: Treponema pallidum pallidum. 7
Treponema pallidum merupakan bakteri gram negatif, berbentuk spiral ya
ng ramping dengan lebar kira-kira 0,2 µm dan panjang 5-15 µm. Lengkung spiral
nya/gelombang secara teratur terpisah satu dengan lainnya dengan jarak 1 µm, da
n rata-rata setiap kuman terdiri dari 8-14 gelombang. Organisme ini aktif bergerak,
berotasi hingga 900 dengan cepat di sekitar endoflagelnya bahkan setelah menem
pel pada sel melalui ujungnya yang lancip. 7
Struktur Treponema pallidum terdiri dari membran sel bagian dalam, dindi
ng selnya dilapisi oleh peptidoglikan yang tipis, dan membran sel bagian luar.Flag
el periplasmik (biasa disebut dengan endoflagel) ditemukan didalam ruang peripla
smik, antara dua membran. 7
2) Patogenesis

Kontak langsung dengan lesi/luka yang terinfeksi atau dari ibu yang mend
erita sifilis ke janinnya melalui plasenta pada stadium akhir kehamilan. Treponem
a pallidum masuk dengan cepat melalui membran mukosa yang utuh dan kulit yan
g lecet, kemudian kedalam kelenjar getah bening, masuk aliran darah, kemudian
menyebar ke seluruh organ tubuh. Bergerak masuk keruang intersisial jaringan de
ngan cara gerakan cork-screw (seperti membuka tutup botol). Beberapa jam setela
h terpapar terjadi infeksi sistemik meskipun gejala klinis dan serologi belum kelih
atan pada saat itu. Darah dari pasien yang baru terkena sifilis ataupun yang masih
dalam masa inkubasi bersifat infeksius. 7
Waktu berkembangbiak Treponema pallidum selama masa aktif penyakit s
ecara invivo 30-33 jam. Lesi primer muncul di tempat kuman pertama kali masuk,
biasanya bertahan selama 4-6 minggu dan kemudian sembuh secara spontan. Pada
tempat masuknya, kuman mengadakan multifikasi dan tubuh akan bereaksi denga
n timbulnya infiltrat yang terdiri atas limfosit, makrofag dan sel plasma yang seca
ra klinis dapat dilihat sebagai papul. Reaksi radang tersebut tidak hanya terbatas d
i tempat masuknya kuman tetapi juga di daerah perivaskuler (Treponema pallidu
m berada diantara endotel kapiler dan sekitar jaringan), hal ini mengakibatkan hip
ertrofi endotel yang dapat menimbulkan obliterasi lumen kapiler (endarteritis oblit
erans). Kerusakan vaskular ini mengakibatkan aliran darah pada daerah papula ter
sebut berkurang sehingga terjadi erosi atau ulkus dan keadaan ini disebut chancre.
7

3) Penegakan Diagnosis

Perjalanan penyakit sifilis bervariasi dan biasanya dibagi menjadi sifilis st


adium dini dan lanjut. Stadium dini lebih infeksius dibandingkan dengan stadium
lanjut. Sifilis stadium dini terbagi menjadi sifilis primer, sekunder dan laten dini.
Sifilis stadium lanjut termasuk sifilis tersier (gumatous, sifilis kardiovaskular, neu
rosifilis) dan sifilis laten lanjut. 7
a) Sifilis Primer

Manifestasi klinis awal sifilis adalah papul kecil soliter, kemudian dalam s
atu sampai beberapa minggu, papul ini berkembang menjadi ulkus. Lesi klasik dar
i sifilis primer disebut dengan chancre, ulkus yang keras dengan dasar yang bersih
tunggal, tidak nyeri, merah, berbatas tegas, dipenuhi oleh spirokaeta dan berlokas
i pada sisi Treponema pallidum pertama kali masuk. Chancre dapat ditemukan di
mana saja tetapi paling sering di penis, servik, dinding vagina rektum dan anus. D
asar chancre banyak mengandung spirokaeta yang dapat dilihat dengan mikroskop
lapangan gelap atau imunofluresen pada sediaan kerokan chancre. 7
b) Sifilis sekunder

Apabila tidak diobati, gejala sifilis sekunde akan mulai timbul dalam 2 sa
mpai 6 bulan setelah pajanan, 2 sampai 8 minggu setelah chancre muncul. Sifilis s
ekunder adalah penyakit sistemik dengan spirokaeta yang menyebar dari chancre
dan kelenjar limfe ke dalam aliran darah dan ke seluruh tubuh, dan menimbulkan
beragam gejala yang jauh dari lokasi infeksi semula. Sistem yang paling sering ter
kena adalah kulit, limfe, saluran cerna, tulang, ginjal, mata, dan susunan saraf pus
at. 7
Tanda tersering pada sifilis sekunder adalah ruam kulit makulopapula yan
g terjadi pada 50% - 70% kasus, papula 12% kasus, makula 10% kasus, dan papul
a anula 6% - 14% kasus. Lesi biasanya simetrik, tidak gatal dan mungkin meluas.
Kasus yang jarang, lesi dapat menjadi nekrotik, keadaan ini disebut dengan lues
maligna. Lesi di telapak tangan dan kaki merupakan gambaran yang paling khas p
ada 4% sampai 11% pasien. Treponema pallidum dapat menginfeksi folikel ramb
ut yang menyebabkan alopesia pada kulit kepala. Bersamaan dengan munculnya l
esi sekunder, sekitar 10% pasien mengidap kondilomata. Lesinya berukuran besar,
muncul di daerah yang hangat dan lembab termasuk di perineum dan anus. Infla
masi lokal dapat terjadi di daerah membran mukosa mulut, lidah dan genital. 7
Pada kasus yang jarang bisa ditemukan sifilis sekunder disertai dengan kel
ainan lambung, ginjal dan hepatitis. Treponema pallidum telah ditemukan pada sa
mpel biopsi hati yang diambil dari pasien dengan sifilis sekunder. Glomerulonefri
tis terjadi karena kompleks antigen treponemaimunoglobulin yang berada pada gl
omeruli yang menyebabkan kerusakan ginjal. Sindroma nefrotik juga dapat terjadi.
Sekitar 5% pasien dengan sifilis sekunder memperlihatkan gejala neurosifilis ter
masuk meningitis dan penyakit mata. 7
c) Sifilis Laten

Sifilis laten atau asimtomatik adalah periode hilangnya gejala klinis sifilis
sekunder sampai diberikan terapi atau gejala klinik tersier muncul. Sifilis laten di
bagi lagi menjadi dua bagian yaitu sifilis laten dini dan lanjut. Pembagian berdasa
rkan waktu relaps infeksi mukokutaneus secara spontan pada pasien yang tidak di
obati. Sekitar 90% infeksi berulang muncul dalam satu tahun, 94% muncul dalam
dua tahun dan dorman selama empat tahun. Sifilis laten dini terjadi kurang satu ta
hun setelah infeksi sifilis sekunder, 25% diantaranya mengalami relaps sifilis seku
nder yang menular, sedangkan sifilis laten lanjut muncul setelah satu tahun. Relap
s ini dapat terus timbul sampai 5 tahun. Pasien dengan sifilis laten dini dianggap l
ebih menular dari sifilis laten lanjut. Pemeriksaaan serologi pada stadium laten la
njut adalah positif, tetapi penularan secara seksual tidak. 8

Gambar Gejala dan tanda sifilis pada dewasa. 7

Gambar Sifilis.

Tes serologis
Menurut Pedoman Nasional Tatalaksana IMS tahun 2011, diagnosis sifilis
di tingkat Puskesmas dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu berdasarkan sindrom da
n pemeriksaan serologis. Secara umum, tes serologi sifilis terdiri atas dua jenis, yaitu:
1) Tes non-treponema
Termasuk dalam kategori ini adalah tes RPR (Rapid Plasma Reagin) dan V
DRL (Venereal Disease Research Laboratory) Tes serologis yang termasuk dalam
kelompok ini mendeteksi imunoglobulin yang merupakan antibodi terhadap baha
n-bahan lipid sel-sel T. Pallidum yang hancur. Antibodi ini dapat timbul sebagai r
eaksi terhadap infeksi sifilis. Namun antibodi ini juga dapat timbul pada berbagai
kondisi lain, yaitu pada infeksi akut Tes non-spesifik dipakai untuk mendeteksi i
nfeksi dan reinfeksi yang bersifat aktif, serta memantau keberhasilan terapi. Kare
na tes non spesifik ini jauh lebih murah dibandingkan tes spesifik treponema, mak
a tes ini sering dipakai untuk skrining. Jika tes non spesifik menunjukkan hasil rea
ktif, selanjutnya dilakukan tes spesifik treponema, untuk menghemat biaya. 7
Termasuk dalam kategori ini adalah tes TPHA (Treponema Pallidum Haem
agglutination Assay), TP Rapid (Treponema Pallidum Rapid), TP-PA (Treponem
a Pallidum Particle Agglutination Assay), FTA-ABS (Fluorescent Treponemal An
tibody Absorption). Tes serologis yang termasuk dalam kelompok ini mendeteksi
antibodi yang bersifat spesifik terhadap treponema. Oleh karena itu, tes ini jarang
memberikan hasil positif palsu.Tes ini dapat menunjukkan hasil positif/reaktif seu
mur hidup walaupun terapi sifilis telah berhasil .Tes jenis ini tidak dapat digunaka
n untuk membedakan antara infeksi aktif dan infeksi yang telah diterapi secara ad
ekuat.Tes treponemal hanya menunjukkan bahwa seseorang pernah terinfeksi trep
onema, namun tidak dapat menunjukkan apakah seseorang sedang mengalami inf
eksi aktif.Tes ini juga tidak dapat membedakan infeksi T pallidum dari infeksi tre
ponema lainnya. Anamnesis mengenai perilaku seksual, riwayat pajanan dan riwa
yat perjalanan ke daerah endemis treponematosis lainnya dibutuhkan untuk mene
ntukan diagnosis banding. 7
4) Tatalaksana
Tabel Penatalaksanaan sifilis. 7
6. ULKUS MOLE
1) Etiologi
Chancroid/ Ulkus Mole adalah penyakit menular seksual (STD) yang disebab
kan oleh infeksi oleh Haemophilus ducreyi. Hal ini ditandai dengan ulkus kela
min nekrosis yang menyakitkan yang mungkin disertai dengan limfadenopati i
nguinal. Ini adalah penyakit yang sangat menular tetapi dapat disembuhkan.9
2) Faktor resiko
Kulit berwarna lebih sering terkena penyakit ini. Banyak terdapat di daerah tro
pis dan subtropis. Kebersihan dan hygiene berperan penting dalam penyebara
n penyakit. 9
3) Patofisiologi
Chancroid disebabkan oleh H. ducreyi, basil anaerob fakultatif anaerobik kecil,
gram negatif, yang sangat infektif. Ia bersifat patogenik hanya pada manusia,
tanpa perantara lingkungan atau hewan. H. ducreyi masuk ke kulit melalui mu
kosa yang terganggu dan menyebabkan reaksi peradangan lokal. Ini menghasi
lkan toksin distensi sitosida yang tampaknya bertanggung jawab atas efek mer
usaknya.
H. ducreyi menembus kulit melalui istirahat di penghalang mukosa dan mikr
o-abrasi pada kulit. Ini menghasilkan sebuah toksin distensi sitokidal (HdCD
T), yang menyebabkan penangkapan siklus sel dan apoptosis / nekrosis sel ma
nusia dan berkontribusi pada kejengkelan ulkus. Fagositosis oleh makrofag ju
ga terganggu. Mekanisme virulensi lainnya termasuk protein LSPA, yang me
miliki fungsi antiphagocytic, peta DsrA, yang memfasilitasi kepatuhan, dan tr
ansport transport yang melindungi H ducreyi dari pembunuhan antimikroba.
H ducreyi ditularkan secara seksual melalui kontak langsung dengan lesi bern
anah dan dengan autoinokulasi ke situs nonseksual, seperti mata dan kulit. Or
ganisme ini memiliki masa inkubasi 1 hari hingga 2 minggu, dengan waktu rat
a-rata 5-7 hari. Penyakit ini biasanya dimulai sebagai papula inflamasi kecil di
lokasi inokulasi; dalam beberapa hari, papula dapat mengikis untuk membentu
k ulserasi dalam yang sangat menyakitkan. Tanpa pengobatan, lesi dapat berla
ngsung berminggu-minggu sampai berbulan-bulan, dan komplikasi seperti lim
fadenopati supuratif lebih mungkin terjadi. 9
4) Manifestasi klinis
Masa inkubasi sekitar 1-5 hari.
Lesi mula-mula berbentuk macula atau papul yang segera berubah menjadi pu
stule yang kemudian pecah membentuk ulkus yang khas, antara lain:
a) Multiple.
b) Lunak.
c) Nyeri tekan.
d) Dasarnya kotor dan mudah berdarah.
e) Tepi ulkus menggaung.
f)Kulit sekitar ulkus berwarna merah. 10

Lokasi ulkus pada pria terletak di daerah preputium, glans penis, batang penis,
frenulum dan anus; sedangkan pada wanita terletak di vulva, klitoris, serviks,
dan anus. Lokasi ekstragenital pada lidah, bibir, jari tangan, payudara, umbilic
us, dan konjungtiva.10
Pembesaran kelenjar limfe inguinal tidak multiple, terjadi pada 30% kasus yan
g disertai radang akut. Kelenjar kemudian melunak dan pecah dengan membe
ntuk sinus yang sangat nyeri disertai badan panas.10
Variasi bentuk klinis.
a) Giant chancroid: ulkus hanya satu dan meluas dengan cepat se
rta bersifat destruktif.
b) Transient chancroid: ulkus kecil sembuh sendiri setelah 4-6 ha
ri, disusul perlunakan kelenjar limfe inguinal 10-20 hari kemudian.
c) Ulkus mole serpiginosum: terjadi inokulasi dan penyebaran dar
i lesi yang konfluen pada preputium, skrotum, dan paha. Ulkus dapat b
erlangsung bertahun-tahun.
d) Ulkus mole gangrenosum: suatu varian yang disebabkan superi
nfeksi dengan bakteri fusosprikhetosis, sehingga menimbulkan ulkus f
agedenik. Dapat menyebabkan destruksi jaringan yang cepat dan dala
m.
e) Ulkus mole folikularis (follicularis chancroid): timbul pada fol
ikel rambut, terdiri atas ulkus kecil multiple. Lesi ini dapat terjadi di v
ulva atau pada daerah genitalia yang berambut. Lesi ini sangat superfic
ial.
f) Ulkus mole popular (ulcus molle elevatum): terdiri atas papul y
ang berulserasi dan granulomatosa, dapat menyerupai donovanosis ata
u kondiloma lata sifilis stadium II.10
Gambar Ulkus mole. 10

5) Penegakan diagnosis
Algoritma diagnosis IMS pada kasus canchroid
Gambar Agoritma diagnosis pada ulkus genitalis untuk tenaga medis.3
Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan langsung bahan ulkus yang diambil dengan mengorek tep
i ulkus yang diberi pewarnaan gram. Pada sediaan yang positif ditemukan
kelompok basil yang tersusun seperti barisan ikan.

b) Kultur pada media agar coklat, agar Muller Hinton atau media yang m
engandung serum dengan vancomysin. Positif bila kuman tumbuh dalam
waktu 2-4 hari (dapat sampai 7 hari).

c) Tes serologi ito-Reenstierna, caranya 0,1 ml antigen disuntikkan intrad


ermal pada kulit lengan bawah. Positif bila setelah 24 jam atau lebih timb
ul indurasi yang berdiameter 5 mm. Hasil positif setelah infeksi berlangsu
ng 2 minggu akan terus positif seumur hidup.

d) Tes ELISA dengan menggunakan whole lysed H. ducreyi.

e) Tes lain yang dapat digunakan adalah tes fiksasi komplemen, presipiti
n, dan agglutinin

Gambar Gambar Haemophilus ducreyi dibawah mikroskop cahaya.11

6) Tatalaksana
a) Farmako
Tabel Tatalaksana Ulkus mole. 3
Mekanisme kerja obat
a. Siproflokasin : Menghambat relaksasi DNA, menghambat gira
se DNA pada organisme yang rentan, serta mempromosikan kerusakan
DNA beruntai ganda
b. Eritromisin :enghambat RNA dependent pada sintesa protein p
ada tahap perpanjangan rantai protein dengan berikatan pada 50 S ribo
som sub unit sehingga memblok transpeptidase.
c. Azitromisin : beraksi menghambat sintesis protein mikroorgani
sme dengan mengikat ribosom subunit 50S. Azitromisin tidak mengusi
k pembentukan asam nukleat. 11
b) Non Farmako
Gunakan kondom dengan cara yang benar dan jika ada kulit yang menutup
i kepala penis maka sebaiknya dihilangkan (disunat/khitan) untuk mengur
angi resiko terjangkit. Lebih baik lagi untuk pencegahan jangan berganti-g
anti pasangan seks karena penyakit ini banyak terjadi pada praktek-prakte
k prostitusi. 11

7) Komplikasi
a) Adenitis yang sangat nyeri lebih dari 50 %.
b) Ruptur spontan inguinal bubo dengan abses yang besar dan fistula
formasi
c) Kissing ulkus dan extragenital lesi (50 % pada laki-laki)
d) Akut konjungtivitis (jarang sekali)
e) Bacterial superinfeksi
f) Scar lalu menjadi phimosis
g) Eritema nodusum
h) Menjadi transmisi HIV.

ALOGARITMA DIAGNOSIS IMS DAN TANDA KARDINAL


Penatalaksanaan delapan sindrom klinis IMS yang sering dijumpai.
1) Duh tubuh uretra
Pasien laki-laki yang datang dengan keluhan duh tubuh uretra dan atau nyeri pad
a saat kencing agar diperiksa terlebih dulu ada tidaknya duh tubuh. Bilamana tida
k tampak duh tubuh, agar dilakukan milking, yaitu pengurutan uretra mulai dari p
angkal penis kearah muara uretra. Bila masih belum terlihat, dianjurkan untuk tid
ak kencing sekurangkurangnya 3 jam sebelum diperiksa.
Pada pemeriksaan dengan pendekatan sindrom tanpa tanpa sarana laboratorium,
dapat digunakan bagan.
(1). Duh tubuh uretra pada laki-laki dengan pendekatansindrom.
Bila tersedia mikroskop, pemeriksaan terhadap sediaan hapusan uretra, dapat dili
hat peningkatan jumlah leukosit polimorfonuklear dan dengan pengecatan Gram
dapat terlihat kuman diplokokus negatif-Gram intrasel. Pada laki-laki, bila ditem
ukan lebih dari atau sama 5 leukosit polimorfonuklear per lapangan pandang den
gan pembesaran tinggi (X 1000), merupakan indikasi terdapat ureteritis (radang s
aluran kemih).
Kuman patogen penyebab utama duh tubuh uretra adalah Neisseria gonorrhoeae
(N.gonorrhoeae) dan Chlamydia trachomatis (C.trachomatis). Oleh karena itu,
pengobatan pasien dengan duh tubuh uretra secara sindrom harus dilakukan ser
entak terhadap kedua jenis kuman penyebab tersebut. Bila ada fasilitas laboratori
um yang memadai, kedua kuman penyebab tersebut dapat dibedakan, dan selanju
tnya pengobatan secara lebih spesifik dapat dilakukan. Etiologi uretritis non-go
nokokus terutama disebabkan oleh C.trachomatis, sehingga dalam pengobatanny
a ditujukan untuk klamidiosis.
Gambar Duh tubuh uretra laki-laki dengan pendekatan sindrom. 3
Gambar Duh tubuh uretra laki-laki dengan pemeriksaan mikroskop.

Duh Tubuh Uretra Persisten


Gejala ureteritis yang menetap (setelah pengobatan satu periode selesai)
atau rekuren (setelah dinyatakan sembuh, dan muncul lagi dalam waktu 1 ming
gu tanpa hubungan seksual), kemungkinan disebabkan oleh resistensi obat, atau
sebagai akibat kekurang patuhan minum obat, atau reinfeksi. Namun pada beber
apa kasus hal ini mungkin akibat infeksi oleh Trichomonas vaginalis (Tv). Seba
gai protozoa diperkirakan bahwa Tv memakan kuman gonokok tersebut (fagosit
osis), sehingga kuman gonokok tersebut terhindar dari pengaruh pengobatan. Se
telah Tv mati maka kuman gonokok tersebut kembali melepaskan diri dan berk
embang biak.
Ada temuan baru yang menunjukkan bahwa di daerah tertentu bisa diju
mpai prevalensi Tv yang tinggi pada laki-laki dengan keluhan duh tubuh uretra.
Bilamana gejala duh tubuh tetap ada atau timbul gejala kambuhan setelah pemb
erian pengobatan secara benar terhadap gonore maupun klamidiosis pada kasus
indeks dan pasangan seksualnya, maka pasien tersebut harus diobati untuk infek
si Tv. Hal ini hanya dilakukan bila ditunjang oleh data epidemiologis setempat.
Bilamana simtom tersebut masih ada sesudah pengobatan Tv, maka pasien terse
but harus dirujuk. Sampai saat ini data epidemiologi trikomoniasis pada pria di
Indonesia sangat sedikit, oleh karena itu bila gejala duh tubuh uretra masih ada
setelah pemberian terapi awal sebaiknya penderita dirujuk pada tempat dengan f
asilitas laboratorium yang lengkap.
2) Ulkus Genital
Angka prevalensi relatif kuman penyebab ulkus genital bervariasi, dan sangat dip
engaruhi lokasi geogafis. Setiap saat angka ini dapat berubah dari waktu ke wakt
u. Secara klinis diagnosis banding ulkus genital tidak selalu tepat, terutama bila d
itemukan beberapa penyebab secara bersamaan. Manifestasi klinis dan bentuk ul
kus genital sering berubah akibat infeksi HIV.
Sesudah dilakukan pemeriksaan untuk memastikan ulkus genital, pengobata
n selanjutnya disesuaikan dengan penyebab dan pola sensitivitas antibiotik setem
pat, misalnya, di daerah dengan prevalensi sifilis maupun chancroid yang cukup
menonjol, maka pasien dengan ulkus genital harus segera diobati terhadap kedua
kuman penyebab tersebut. Hal ini dilakukan untuk menjaga kemungkinan pasien
tidak kembali untuk tindak lanjut. Sedangkan untuk daerah yang sering ditemuka
n granuloma inguinale atau limfogranuloma venereum (LGV), pengobatan terhad
ap kedua mikroorganisme tersebut juga perlu diperhatikan. Di beberapa negara, h
erpes genitalis sangat sering ditemukan sebagai penyebab ulkus genital. Sedang u
ntuk daerah yang sering ditemukan infeksi HIV, maka peningkatan proporsi kasu
s ulkus genital yang disebabkan oleh virus herpes simpleks sering terjadi. Ulkus
pada pasien yang disebabkan oleh virus herpes yang bersamaan dengan virus HI
V gejalanya tidak khas dan menetap lebih lama. Pemeriksaan laboratorium sebag
ai penunjang untuk menegakkan diagnosis sangat jarang dapat membantu pada k
unjungan pertama pasien, dan biasanya hal ini terjadi sebagai akibat infeksi camp
uran. Dapat ditambahkan pula, bahwa di daerah dengan angka prevalensi sifilis ti
nggi, tes serologis yang reaktif mungkin akan lebih mencerminkan keadaan infek
si sebelumnya dan dapat memberikan gambaran yang tidak sesuai dengan
keadaan pasien saat itu. Sedangkan tes serologis negatif, belum tentu menyingkir
kan kemungkinan ulkus akibat sifilis stadium primer, mengingat reaktivitas tes se
rologi sifilis baru muncul 2-3 minggu setelah timbul ulkus.
Saat ini sering dijumpai ulkus genital bersamaan dengan infeksi HIV, yang
menyebabkan manifestasi klinis berbagai ulkus tersebut menjadi tidak spesifik. U
lkus karena sifilis stadium 1 maupun herpes genitalis menjadi tidak khas; chancr
oid menunjukkan ulkus yang lebih luas, berkembang secara agresif, disertai gejal
a sistemik demam dan menggigil; lesi herpes genitalis mungkin berbentuk ulkus
multipel yang persisten dan lebih memerlukan perhatian medis, berbeda dengan v
esikel yang umumnya dapat sembuh sendiri (selflimiting) pada seorang yang im
munokompeten.
Infeksi HIV yang bersamaan juga dapat mengakibatkan kegagalan pengobat
an pada sifilis fase awal, chancroid, dan herpes simpleks. Pada pasien yan

g demikian perlu dipertimbangkan pengobatan dengan waktu yang lebih lam


a, namun masih diperlukan penelitian lebih lanjut.
Gambar Ulkus genital dengan pendekatan sindrom. 3
Gambar Duh tubuh uretra laki-laki dengan pemeriksaan mikroskop.
1) Bubo Inguinalis
Bubo ingunalis dan femoralis adalah pembesaran kelenjar getah bening setem
pat di daerah pangkal paha disertai rasa sangat nyeri, dan fluktuasi kelenjar. K
eadaan ini sering disebabkan oleh limfogranuloma venereum dan chancroid.
Meskipun chancroid erat hubungannya dengan ulkus genital, namun dapat me
nyebabkan pembesaran kelenjar getah bening. Penyakit infeksi non-seksual ba
ik infeksi lokal maupun sistemik (misalnya infeksi pada tungkai bawah) juga
dapat menyebabkan pembesaran kelenjar getah bening di daerah inguinal.
Gambar Bubo inguinalis.

2) Pembengkakan Skrotum
Radang saluran epididimis biasanya menimbulkan rasa nyeri pada testi
s yang bersifat akut, unilateral, dan sering terasa nyeri pada palpasi epididimis da
n vas deferens. Tampak pula edema dan kemerahan pada kulit di atasnya. Pada la
ki-laki berumur kurang dari 35 tahun, pembengkakan skrotum lebih sering diseba
bkan oleh organisme menular seksual dibandingkan dengan laki-laki berusia lebi
h dari 35 tahun. Bila terjadi radang epididimis disertai duh tubuh uretra, maka ha
mpir dapat dipastikan bahwa penyebabnya adalah IMS, yang umumnya berupa g
onore dan atau klamidiosis. Testis yang terletak berdekatan sering juga menunjuk
kan radang (orkitis), bila terjadi bersamaan disebut sebagai epididimo-orkitis. Pa
da laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki (LSL) secara anogenital i
nsertif dapat terinfeksi organisme enterik.
Pada laki-laki yang lebih tua tanpa indikasi penularan lewat hubungan
seksual, sering ditemukan penyebab infeksi umum lainnya, misalnya Escherichia
coli, Klebsiella spesies, atau Pseudomonas aeruginosa. Orkitis tuberkulosis, umu
mnya disertai epididimitis, selalu merupakan lesi sekunder dari lesi di tempat lain
nya, khususnya yang berasal dari paruparu atau tulang. Pada brucellosis, di sebab
kan oleh Brucella melitensis atau Brucella abortus, secara klinis lebih sering ber
bentuk orkitis daripada epididimitis. Pada masa prapubertas pembengkakan skrot
um sering disebabkan oleh infeksi basil coliform, pseudomonas atau virus penyeb
ab parotitis. Epididimo-orkitis oleh parotitis umumnya terjadi dalam waktu satu
minggu sesudah terjadinya pembesaran
Kelenjar parotis.
Penting untuk diingat bahwa pembengkakan skrotum dapat disebabkan oleh k
eadaan bukan oleh infeksi virus/ kuman, misalnya akibat rudapaksa, torsi/terputar
nya testis atau tumor. Torsi testis perlu dipertimbangkan bila nyeri skrotum terjad
i secara mendadak, karena memerlukan tindakan bedah darurat, sehingga perlu se
gera dirujuk. Bilamana radang epididimis yang berkaitan dengan IMS tidak mend
apatkan pengobatan yang efektif, maka akan menyebabkan infertilitas (kemandul
an). Pembengkakan skrotum perlu diobati dengan obat untuk gonore dengan kom
plikasi bersama dengan obat untuk klamidosis.
3) Duh Tubuh Vagina
Keluhan duh tubuh vagina abnormal biasanya disebabkan oleh radang vagina, tet
api dapat pula akibat radang serviks yang muko-purulen. Trikomoniasis, kandidia
sis dan vaginosis bakterial merupakan keadaan yang paling sering meni
mbulkan infeksi vagina sedangkan N.gonorrhoeae dan C.trachomatis sering men
yebabkan radang serviks. Deteksi infeksi serviks berdasarkan gejala klinis sulit di
lakukan, karena sebagian besar wanita dengan gonore atau klamidiosis tidak mer
asakan keluhan atau gejala (asimtomatis).
Gejala duh tubuh vagina abnormal merupakan petunjuk kuat untuk in
feksi vagina, namun merupakan petanda lemah untuk infeksi serviks. Jadi semua
wanita yang menunjukkan tanda-tanda duh tubuh vagina agar diobati juga untuk t
rikomoniasis dan vaginosis bakterial. Di antara wanita dengan gejala duh tubuh v
agina, perlu dicari mereka yang cenderung lebih mudah terinfeksi oleh N.gonorr
hoeae dan atau C.trachomatis. Pada kelompok tersebut, akan lebih bermanfaat bi
la dilakukan pengkajian status risiko, terutama bila faktor risiko tersebut telah dis
esuaikan dengan pola epidemiologis setempat.
Pemeriksaan secara mikroskopik hanya sedikit membantu diagnosis infeksi se
rviks, karena hasil pemeriksaan yang negatif sering menunjukkan hasil yang nega
tif palsu. Untuk keadaan ini perlu dilakukan kultur/ biakan kuman. Pengetahuan t
entang prevalensi gonore dan atau klamidiosis pada wanita dengan duh tubuh vag
ina sangat penting dalam menetapkan pengobatan infeksi serviks. Makin tinggi p
revalensi gonore dan atau klamidiosis, maka akan lebih meyakinkan kita untuk m
emberikan pengobatan terhadap infeksi serviks. Wanita dengan faktor risiko lebi
h cenderung menunjukkan infeksi serviks dibandingkan dengan mereka yang tida
k berisiko.Wanita dengan duh tubuh vagina disertai faktor risiko perlu dipertimba
ngkan untuk diobati sebagai servisitis yang disebabkan oleh gonore dan klamidio
sis. Bila sumber daya memungkinkan, perlu dipertimbangkan untuk melakukan s
krining dengan tes laboratorium terhadap para wanita dengan duh tubuh vagina.
Skrining
tersebut dapat dilakukan terhadap semua wanita dengan duh tubuh vagina atau se
cara terbatas hanya terhadap mereka dengan duh tubuh vagina dan faktor risi
ko positif.
Di beberapa negara, bagan alur penatalaksanaan sindrom telah digunakan seba
gai perangkat skrining untuk deteksi infeksi serviks pada wanita tanpa keluhan ge
nital sama sekali (misalnya pada pelaksanaan program keluarga berencana). Wal
aupun hal ini dapat membantu dalam mendeteksi wanita dengan infeksi serviks, t
etapi kemungkinan dapat terjadi diagnosis yang berlebihan.
Gambar Duh tubuh vagina dengan pendekatan sindrom.
Gambar Duh tubuh vagina dengan pemeriksaan inspekulo. 3
Gambar Duh tubuh vagina dengan pemeriksaan inspekulo & mikroskop.
4) Nyeri Perut Bagian Bawah
Semua wanita aktif seksual dengan keluhan nyeri perut bagian bawah perlu dieva
luasi terhadap kemungkinan salfingitis dan atau endometritis atau penyakit radan
g panggul (PRP). Sebagai tambahan, pemeriksaan abdominal dan bimanual rutin
agar dilakukan terhadap semua wanita dengan dugaan IMS karena biasanya wani
ta dengan PRP atau endometritis pada awalnya tidak akan mengeluhkan nyeri per
ut bagian bawah. Wanita dengan endometritis akan mengeluhkan duh tubuh vagi
na dan atau perdarahan vagina, dan atau nyeri pada uterus pada saat pemeriksaan
dalam. Gejala yang mengarah kepada PRP antara lain berupa nyeri perut, nyeri p
ada saat bersanggama (dispareunia), duh tubuh vagina, menometroragia, disuria,
nyeri yang berhubungan dengan menstruasi, demam, dan kadang-kadang disertai
dengan mual dan muntah. PRP sulit untuk didiagnosis, sebab manifestasi klinisn
ya dapat bermacam- macam. Kemungkinan PRP sangat besar bila ditemukan sala
h satu atau beberapa simtom tersebut di atas disertai dengan nyeri pada adneksa, i
nfeksi traktus genitalia bagian bawah, dan nyeri goyang serviks. Pembesaran sala
h satu atau kedua tuba falopii, terdapat massa nyeri di dalam panggul yang disert
ai nyeri spontan atau nyeri lepas pada perut bagian bawah dapat pula ditemukan.
Suhu tubuh pasien dapat meningkat, namun pada beberapa kasus dapat tetap nor
mal. Umumnya, para klinisi sering keliru dalam menegakkan diagnosis, sehingga
terjadi diagnosis dan pengobatanyang berlebihan.
Rawat inap pasien dengan PRP perlu dipertimbangkan dengan sungguh-sungg
uh pada keadaan
a. Diagnosis tidak dapat dipastikan,
b. Indikasi bedah darurat misalnya radang usus buntu (apendisitis), atau kehamil
an
ektopik terganggu,
c. Dugaan abses pada rongga panggul,
d. Terdapat kemungkinan penyakit akan semakin parah bila dilakukan rawat jal
an, 3
e. Pasien sedang hamil,
f. Pasien tidak mau atau tidak menaati rejimen pengobatan bila dilakukan rawat
jalan, atau
g. Kegagalan pengobatan saat rawat jalan.

Para ahli menganjurkan agar semua pasien dengan PRP harus dirawat inap unt
uk mendapatkan pengobatan yang lebih baik Kuman penyebab PRP meliputi N.g
onorrhoeae, C.trachomatis, dan bakteri anaerob, (Bacteroides spesies, dan kokus
Gram positif). Kuman berbentuk batang Gram negatif dan Mycoplasma hominis
dapat juga menjadi penyebab PRP. Secara klinis penyebab tersebut sulit dibedaka
n, dan pemeriksaan mikroskopik juga sulit dilakukan, oleh karena itu cara pengo
batan yang diberikan harus efektif dan memiliki spektrum yang luas terhadap se
mua kuman penyebab tersebut. Rejimen yang dianjurkan di bawah ini didasarkan
pada prinsip tersebut.
Gambar Nyeri perut bagian bawah dengan pendekatan sindrom.
5) Tonjolan (vegetasi) pada Genitalia.
Human papillomavirus (HPV) biasanya menular secara seksual. Kutil pada genit
alia
biasanya tidak nyeri, dan tidak menimbulkan komplikasi yang serius, kecuali bila
menyebabkan obstruksi. Pengangkatan lesi bukan berarti penyembuhan infeksi, d
an tidak ada cara pengobatan yang memuaskan. Pada umumnya podofilin (atau p
odofilotoksin) atau trichloracetic acid (TCA) digunakan untuk pengobatan kutil
pada genitalia eksterna dan daerah perianal. Krioterapi dengan nitrogen cair, carb
ondioxida padat, atau cryoprobe merupakan pilihan banyak dokter bila sarana ter
sebut tersedia. Krioterapi adalah cara yang tidak toksik, tidak memerlukan tindak
an anastesi dan bilamana dilakukan secara benar, tidak akan menimbulkan jaring
an parut.
Pasangan seks pasien juga perlu diperiksa terhadap kemungkinan menderita k
util kelamin. Pasien dengan kutil anogenitalis perlu disadarkan bahwa dirinya da
pat menularkan penyakitnya kepada pasangan seksnya. Penggunaan kondom dian
jurkan untuk membantu mengurangi penularan selanjutnya.
Salah satu cara pencegahan infeksi HPV yang telah tersedia saat ini berupa va
ksinasi dengan vaksin HPV kuadrivalen (untuk mencegah infeksi HPV tipe 6,11
penyebab kutil kelamin, serta tipe 16 dan 18 penyebab keganasan daerah anus da
n genitalia). Vaksin ini besar manfaatnya jika diberikan kepada seseorang yang b
elum pernah berhubungan seks. Dapat diberikan pada perempuan dan laki-laki m
ulai umur 9 tahun sampai dengan 26 tahun. Vaksin diberikan dalam 3 dosis; dosi
s kedua diberikan dengan interval waktu 2 bulan setelah penyuntikan pertama, do
sis ketiga diberikan 6 bulan setelah penyuntikan pertama. Berhubung harganya m
asih dianggap mahal, vaksinasi HPV belum menjadi program nasional, namun su
dah tersedia di sarana kesehatan swasta.
Gambar Tonjolan (vegetasi) pada genitalia. 3
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo A, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam A. Buku Ajar Ilm


u Penyakit Dalam. Jilid II Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2015.
2. Kumar, Abbas, Esterr. Robbins Basic Pathology. Ninth Edition. Elsevier:
Philadelphia; 2013.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanganan Infek
si Menular Seksual Tahun 2015. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indone
sia; 2015.
4. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta: FK UI; 2017.
5. Ratnasari D. Kondiloma Akuminata. ISSN 1978-2071 5(2). Surabaya: Jurnal
Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya
Kusuma; 2016.
6. Winda Arista Haeriyoko, IGK. Darmada. DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
MOLUSKUM KONTAGIOSUM. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rum
ah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. 2015.
7. Elvinawati.E. imunopatogenesis Troponema pallidum dan pemeriksaan serologi. J
urnal Kesehatan andalas; andalas; 2014.
8. Daili, dkk. Pedoman tatalaksana sifilis untuk pengendalian sifilis di layanan keseh
atan dasar; Kemenkes RI; Jakarta; 2013.
9. Buensalido J A L. Chancroid. 2018. (online) (https://emedicine.medscape.com/ art
icle/214737-overview), diakses pada tanggal 01 Agustus 2018.
10. Judanarso, Jubianto. Ulkus Mole. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin ed
isi ketiga hal. 396-400.Jakarta: FK UI; 2002.
11. Martodiharjo, Sunarko. dkk. Ulkus Mole (chancroid). Dalam: Pedoman Diagn
osis dan Terapi Lab/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. RSU dr.Soetomo hal.
203-207. Surabaya; 2004.

Anda mungkin juga menyukai