Anda di halaman 1dari 28

RESUME PBL

SKENARIO 1
“ Lenting Pada Kulit ’’

NAMA : Lugino
NPM : 114170035
KELOMPOK: 1A
TUTOR : dr. Amri Muharam

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2021
SKENARIO 1
Lenting pada Kulit

Seorang pria usia 22 tahun, datang ke klinik dokter umum dengan keluhan timbul lenting di kulit
leher berisi nanah sejak 1 minggu yang lalu. Awalnya lenting berisi nanah ini berukuran kecil,
semakin lama semakin menyebar di leher. Karena sempat digaruk oleh pasien beberapa lenting
ini ada yang pecah. Demam serta nyeri disangkal. Gatal dikatakan sempat pada awal munculnya
lenting, namun saat pemeriksaan dikatakan tidak ada gatal. Pada status dermatologikus, lokasi
pada leher ditemukan berupa bula multipel, terlihat bula tersebut berada di atas kulit sekitarnya
yang eritematosa, dengan dinding bula yang kendor dan berisi cairan seropurulen (hipopion)
berukuran 4-5 mm serta terdapat erosi pada bekas dinding bula yang telah pecah disertai krusta
disekitarnya. Dokter mengedukasi pasien untuk menjaga higienitas tubuh dan memberikan
tatalaksana lebih lanjut.

STEP 1
1.Status dermatologikus : pemeriksaan pada kulit yang meliputi primer dan
sekunder,pemeriksaan secara keseluruhan.
2.Lenting : keadaan seperti melepuh yang muncul pada kulit berbentuk gelembung dengan cairan
dengan ukuran kecil dari kepala peniti hingga 1 cm.
3.Seropurulen : cairan yang berubah menjadi keruh berwarna kuning kecoklatan biasanya
muncul karena ada nya infeksi
4.Erimatosa : kondisi munculnya bercak merah pada kulit yang disebabkan karena adanya
pelebaran pembuluh darah dibawah kulit.
5.Bula : luka primer penonjolan primer berbatas tegas berisi cairan lebih dari 0,5mm.
6.Erosi : lesi membasah berbatas tegas biasanya terjadi karena hilangnya seluruh epidermis
7.Krusta : suatu ruam sekunder berupa keringan cairan eksudat yng memiliki warna tertentu pada
permukaan kulit karna pecahan pada papula atau pustule.

STEP 2
1.Mengapa pasien timbul keluhan lenting kulit berisi nanah hingga menyebar keseluruh kulit
leher , gatal dan pecah saat digaruk ?
2.Bagaimana interpretasi dari status dermatologikus pasien ?
3.Bagaimana penegakan diagnosis pada pasien tersebut ?
4.Bagaimana tatalaksana pada pasien tersebut ?
5.Apa hubungan dokter mengedukasi pasien menjaga higienitas tubuh dengan keluhan pasien ?
6.Bagaimana prognosis dari kasus tersebut ?
STEP 3
1.karena adanya infeksi bakteri,penyebab tersering bakteri yang menginfeksi kulit
staphylococcus aureus . Lenting bisa terjadi karena 1. iritasi gesekan kulit yang terlalu lama,bisa
dari bahan kimia,tidak menggunakan alas kaki, 2.alergi , 3.infeksi staphylococcus dan
streptococcus.penyababnya infeksi bakteri atau bisa kombinasi keduanya patofisiologi bakteri
tersebut bisa melakukan pembelahan ,beberapa bahan tersebut berupa enzim dan toksin,toksin
akan menyerap protein dan membantu sel sel kulit ketika protein rusak bakteri dengan cepat
menyebar bakteri akan merusak struktur kulit dan menyebabkan rasa gatal dan bisa timbul lesi
pada kulit.faktor makanan,makanan yang tidak bagus (malnutrisi) karena nutrisi,imun bisa
menurun maka bakteri bisa bertemu di sel darah merah,leukosit bisa terkontaminasi bakteri.
2.interpretasi status dermatologikus : bisa dilihat dari jumlahnya,penyebaran terpisah atau
tidak,bula pada lekukan kecil dari bentuknya,dari ukuran kurang dari 8cm,latar belakang putih
bayangan,tekstur,warnanya merah.berkaitan dengan efloresensi penanda terjadi kelainan pada
kulit,ruam yang terdiri dari ruam primer sekunder,primer lesi kulit awal atau khas,sekunder lesi
kulit yang mengalami perubahan karena waktu,dokter harus menyimpulkan efloresensi . primer
macula,papula,nodul,urtikaria,vesikel,bula. Sekunder squama,erosi,ulkus,scar.hasil pemeriksaan
pasien mengarah pada impetigo bulosa karena pada pemeriksaa ditemukan bula multiple dileher
sekitarnya eritematosa berisi cairan hipopion adanya erosi pada dinding bula yang pecah,adanya
krusta.
3.penegakan diagnosis : anamnesis muncul gelembung berisi nanah,berukuran kecil semakin
lama akan menyebar dileher.tidak ada nyeri dan demam pemeriksaan fisik leher ketiak kelainan
ini bisa menyebar akibat garukan,tampak hipopion.
Pemeriksaan penunjang : pemeriksaan gram,kultur cairan,histopatologi
Anamnesis : apakah ada keluhan prodromal ada demam atau tidak,gatal atau
tidak,riwayat,lingkungan
Pemeriksaan fisik : dilihat ruamnya primer sekunder atau keduanya,bisa dilihat itu macula atau
eritem atau adanya penonjolan baik padat cair solid
Pemeriksaan penunjnag : kultur ditemukan lesi
4.diberikan salep antibiotic atau cairan antiseptic diberiksan setelah bula pecah,diberiksan
antibiotic sistemik di lesi yang banyak atau luas
obat : sephadroxil 2x500mg untuk bula,salep krim mupirosin 2% 2xsehari, dihilangkan
predisposisi menjaga higienitas.
Non farmakologi : mengatasi factor predisposisi,mandi 2x sehari dengan sabun,mencegah kontak
langsung atau tidak langsung dengan penderita,menjga kebersihan lingkungan ,menjaga
kebersihan kulit.
5.karena higienitas buruk maka pasien bisa terkena infeksi bakteri,otomatis bakteri masuk lewat
tubuh bisa lewat makanan (oral) masuk ke mukosa mulut dan menimbulkan vesikel vesikel
nantinya ada ruptur di makulanya
6.Prognosis penyakit tanpa disertai komplikasi bonam,apabila penyakit ini disertai komplikasi
prognosis nya dubia ad bonam.

STEP 4
1.Mengarah pada infeksi bakteri,awalnya terjadi pada kulit,kulit merupakan barrier tubuh
manusia terhadap lingkungan ketika kulit intak bakteri tidak masuk pada kulit,tetapi jika kulit
tidak intak bakteri bisa masuk kedalam kulit kita,ketika bakteri masuk dalam tubuh nantinya
akan ada penggabungan pada sel tunggal tubuh melakukan regenerasi kedalam matrix
ekstraseluler ada kolagen,fibrin ada reseptor fibrinektin keduanya memiliki eksotoksin eksfoliatif
desmoglien membentuk desmosom agar hilangkan penggabungan antar sel sel pembentukan
kolagen tidak akan terjadi.
2.Status dermatologikus pada kasus ini ada primer dan sekunder,pada kasus adanya bula multiple
adanya penonjolan berisi cairan bentuknya lebih besar dari vesikel,terlihat bula berada ditengah
di eritematosa adanya kemerahan dan bula ketengahan bula ada cairan,dan cairan seropurulen
yang khas dari impetigo bulosa cairan dan hipopion bisa terlihan didalamnya ada
cairan,merupakan efloresensi yang primer yang sekunder terdapat erosi merupakan suatu kedaan
kulit yang kehilangan jaringan tidak melampaui stratus basalis masih di epidermis adanya krusta
karna digaruk dan pecah dan mengering.
3.Anamnesis : didapatkan muncul gelembung berisi nanah berukuran kecil semakin lama
menyebar disekitar leher
Gejala klinis : terdapat pada anak dan deasa,bula,hipopion,ada vesikel dan bula memecah tampak
eritematosa,dari status dermatologikus letak lesi,efloresensi,
Pemeriksaan penunjang : pemeriksaan gram stain gram positif biru gram negatif merah,kultur
cairan mendeteksi bakteri,histopatologi,didapatkan PMN penutupan abses mulai dari vesikel
sebasea,laboratorium rutin leukositosis ringan ditemukan 50% pada kasus ini,urinalisis perlu
dilakukan mengetahui adanya hemoatoria dan proteinuria,mikrobiologi eksudat dibawah krusta
cairan berasal dari bula hasilnya staphyloccus dan streptococcus didapatkan peradangan dalam
yang diinfeksi kokus, dengan infiltrasi PMN dan pembentukan abses mulai dari folikel
pilosebasea. Pada dermis, ujung pembuluh darah melebar dan terdapat sebukan sel PMN.
Laboraturium rutin : Pada pemeriksaan darah rutin, lekositosit ringan hanya ditemukan pada
50% kasus pasien dengan impetigo. Pemeriksaan urinalisis perlu dilakukan untuk mengetahui
apakah telah terjadi Glomerulonefritis Akut Pasca Streptococcus (GNAPS), yang ditandai
dengan hematuria dan proteinuria. Pemeriksaan mikrobiologis : Eksudat yang diambil dibagian
bawah krusta dan cairan yang berasal dari bulla dapat dikultur dan dilakukan tes sensitivitas.
Hasil kultur bisa memperlihatkan Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus atau
keduanya.
4.Farmako : pegngobatan topical kompres asam salicilat rivanol 1% larutan 3x sehari selama 1
jam bila tidak terdapat pus asam mupirosin 2% 3x sehari selama 7 hari
Non farmako : menjaga kebersihan lingkunga,menjaga kontak langsung dengan penderita
Hanya beberapa bula dipecahkan lalu diberi salep antibiotic atau cairan antiseptic ,factor
predisposisi jika bula banyak dipecahkan diberi betadine,kloramfenikol 2%eritromicin,gram
positif obat antibiotic cephadroxil antibiotic spectrum luas
Sistemik : minimal 7 hari linipertama : diklosaksilin 4x250-500mg PO,anak anak 25-50mg/kgBB
amoxicillin asam klavunalat 3x250-500mg
Lini kedua : azitromicin 1x500mg dilanjukan 1x250mg sampai 5 hari
5.Faktor predisposisi kebersihan yang kurang baik nantinya bakteri dari pasien ini melakukan
kontak penderita infeksi bakteri,kulit normal akan terkontaminasi bakteri tersebut terkolonisasi
bakteri luka kecil seperti lecet akan timbul lesi sekitar 1-2 minggu
6.Prognosis baik dubia ad bonam ketika tidak ada komplikasi dubia ad malam jika ada
komplikasi,prevalensi 20% bisa sembuh secara spontan,biasanya efek ketika kulit ,tidak diobati
menjadi ulkus impetigo di epidermis ketika terjadi komplikasi eksim bisa sampai dermis.
MIND MAP

Lenting pada
kulit

Penegakan
Etiologi Faktor resiko Patofisiologi Prognosis Komplikasi Tatalaksana
diagnosis

Pemeriksaan Pemeriksaan Non-


Anamnesis Farmako
fisik penunjang farmako
STEP 5
1.Apa saja macam-macam lesi kulit primer dan sekunder ?
a) Primer
b) Sekunder
2.Apa saja etiologi dan faktor resiko lenting pada kulit ?
3.Bagaimana patofisiologi dan manifestasi klinis lenting pada kulit ?
4.Bagaimana penegakan diagnosis lenting pada kulit ?
5.Bagaimana tatalaksana lenting pada kulit ?
a) Farmakologi (mekanisme kerja)
b) Non-farmakologi
6.Bagaimana komplikasi yang dapat muncul lenting pada kulit ?
REFLEKSI DIRI
Alhamdulilah PBL 1 pertemuan 1berjalan cukup lancar, namun masih banyak
kekurangan mengenai etiologi mengenai jenis lesi beserta patofisiologi
STEP 6
Belajar mandiri
STEP 7
1) Macam-macam lesi kulit (primer dan sekunder)
A. Lesi Kulit Primer :
1. Makula, Bercak (patch)
 Macula: < 1cm, tepi sirkumskripta
 Patch: > 1 cm, tepi ireguler
 Rata tidak terabadan warna kulit berubah (warnanya dapat berubah mnjadi cokelat,
putih, cokelat kekuningan, ungu, merah)

Contoh : Noda pada wajah (freckles), mola yg datar, petekie, rubella, vitiligo, port wine stains,
eklomosis

2. Papula, plak
 Papula: < 0,5 cm
 Plak: > 0,5 cm
 Massa yang padat, teraba dan menonjol
 Tepi yang sirkumskripta
 Plak dapat berupa papula yang menyatu dengan puncak yang datar.

Contoh : - Papula : Nevi yang menonjol, veruka, lichen planus

- Plak : Psoriasis, keratosis aktinat

3. Nodul, Tumor
 Nodul : 0,5-2 cm
 Tumor : 1-2 cm
 Massa yang menonjol, teraba dan padat
 Meluas lebih dalam ke epidermis dibandingkan papula
 Nodul memiliki tepi yang sirkumskripta
 Tumor tidak selalu memiliki tepi yang tajam

Contoh : - Nodul : Lipoma, karsinoma sel sskuamosa, suntikan yang tidak terserap dengan baik,
dermafibroma.

- Tumor : Lipoma yang besar, karsinom

4. Vesikel, Bulla
 Vesikel : < 0,5 cm
 Bulia : > 0,5 cm
 Massa yang sirkumskripta, menonjol dan teraba yang mengandung cairan serous

Contoh : - Vesikel : Herpes Simplex/zoster, varisela, keracunan tanaman (poison ivy), luka bakar
derajat dua (lepuh)

- Bulla : Pemfigus, Dermatitis Kontak, blister luka bakar yang besar, keracunan tanaman,
impetigo bulosa

5. Urtika (Bintul)
 Massa yang menonjol dengan batas yang tidak jelas
 Sering tidak teratur
 Ukuran dan Warna bervariasi
 Disebabkan oleh gerakkan cairan serousa ke dalam dermis
 Tidak mengandung cairan bebas dalam rongga seperti misalnya pada vesikel

Contoh : Urtikaria (biduran), gigitan serangga

6. Pustula
 Vesikel atau bulla yang berisi pus

Contoh : Akne, impetigo, furunkel, karbunkel

7. Kista
 Massa semi padat atau berisi cairan yang berkapsul
 Dalam jaringan subkutan atau dermis

Contoh : Kista sebasea, kista epidermoid


B. Lesi Kulit Sekunder :
1. Erosi
 Hilangnya jaringan epidermis yang superficial
 Tidak meluas ke lapisan dermis
 Daerah yang cekung dan basah

Contoh : Vesikel yang rupture, bekas’’ goresan / garukan

2. Ulkus
 Kehilangan kulit meluas melampaui lapisan epidermis
 Kehilangan jaringan nefrotik
 Pendarahan dan pembentukan sikratiks dapat terjadi

Contoh : Ulkus Statis akibat infusiensi venous, Ulkus dekubitus

3. Fissura
 Retakan Linier pada kulit
 Dapat meluas ke dalam dermis

Contoh : Bibir atau tangan yang pecah’’, tinea pedis

4. Skuama (Sisik)
 Pembentukan Skuama (Sisik) terjadi sekunder akibat proses deskuamasi eptel yang
mati
 Skuama dapat melakat pada permukaan kulit
 Warna bervariasi (keperakan, putih)
 Tekstur bervariasi (tebal, halus)

Contoh : Ketombe, psoriasis, kulit yang kering, pitiriasis rosea.

5. Krusta (Kerak)
 Residu serum, darah atau pus yang mongering pada permukaan kulit
 Krusta yang lebar dan melekat disebut scrab

Contoh : Residu yang tertinggal sesudah rupture vesikel : Impetigo, herpes, eczema.

6. Parut (Sikratiks)
 Bekas pada kulit yang tertinggal suatu luka atau lesi mengalami kesembuhan
 Menggambarkan pergantian oleh jaringan ikat dari jaringan yang cedera
 Jaringan parut yang muda : Ungu dan Merah
 Jaringan parut yang masak (Mature) : putih atau mengkilap

Contoh : Insisi Bedah atau luka sembuh


7. Keloid
 Jaringan sikatriks yang mengalami hipertrofi
 Terjadi sekunder akibat pembentukan kolagen yang berlebihan selama prosem
penyembuhan
 Menonjol, ireguler, berwarna merah
 Insidensi yang terbesar pada populasi kulit berwarna ( seperti orang Afrika-Amerika)

Contoh : Keloid pada luka insisi bedah atau penusukan daun telinga

8. Atrofi
 Gambarang epidermis yang tipis, kering dan transparan
 Hilangnya garis” pada permukaan kulit
 Terjadi sekunder akibat hilangnya kolagen dan alestin
 Pembuluh darah yang dibawahnya dapat terlihat

Contoh : kulit yang menua, infunsiensi arterial

9. Likenifikasi
 Kulit yang menebal menjadi kasar
 Garis” kulit yang semakin nyata
 Dapat terjadi sekunder akibat gesekan, iritasi atau garukan yang berulang – ulang

Contoh : Dermatitis Kontak

C. Lesi Kulit Vaskuler


1. Petekie
 Macula yang merah atau ungu berbentuk bulat
 Berukuran kecil : 1 – 2 mm
 Terajadi sekunder akibat ekstravasasi darah
 Berkaitan dengan kecenderungan pendarahan atau emboli pada kulit
2. Ekimosis
 Lesi berbentuk macula yang bundar atau iregulerlebih besar daripada petekie
 Warna bervariasi dan berubah: hitam, kuning dan hijau
 Terjadi sekunder akibat ekstravasasi darah
 Berkaitan dengan trauma, kecenderungan berdarah
3. Cherry Angioma
 Papuler dan bulat
 Merah atau ungu
 Terlihat pada ekstrimitas, badan
 Menjadi pucat ketika ditekan
 Perubahan kulit yang normal yang berhubungan dengan penuaan
 Bias any tidak punya makna klinik
4. Spider Angioma
 Lesi arteriole yang berwarna merah
 Memiliki badan badan ditengah dengan cabang” yang menyebar
 Terlihat pada wajah, leher, lengan
 Jarang terlihat dibawah pinggangmenjadi pucat ketika ditekan
 Berhubungan dengan penyakit hepar, kehamilan dan defisiensi vitamin B12
5. Telangiektasis (Venous Star)
 Bentuk bervariasi : mirip laba” atau m binatang
 Berwarna kemerahan atau kebiruan
 Tidak memucat ketika ditekan
 Terlihat pada tungkai, dada bagian anterior
 Terjadi akibat sekunder akbat dilatasi superficial pembuluh darah vena kapiler
 Berkaitan dengan peningkatan tekanan vena (Verikosa)

2) ETIOLOGI
1. Furunkel

Infeksi folikel rambut dan disekitarnya, penyebab dari furunkel ialah bakteri Staphylococcus
aureus. Furunkel memiliki gejala seperti adanya inflamasi, nodus eritematous yang betuknya
seperti kerucut yang ditengahnya ada pustul, nantinya pustul akan menjadi pus dan menjadi
jaringan yang nekrotik dan setelah memecah dan menjadi fistel. Pengobatan untuk purunkel
sama seperti yang lainya kelainan pada kulit seperti antibiotik topikal dan apabila telah
menyebar dan banyak menggunakan antibiotik sistemik.

Gambar ( Furunkel multiple )


Gambar 2.1 Furunkel.

2. Folikulitis
Folikulitis adalah peradangan atau inflamasi folikel rambut yang dapat disebabkan
oleh suatu infeksi, iritasi zat kimia atau cedera fisik. Inflamasi bisa terjadi di bagian
permukaan atau superfisial bahkan bagian yang lebih dalam atau profunda dari folikel
rambut. Folikulitis termasuk kasus yang sering ditemukan di antara berbagai macam penyakit
peradangan pada kulit.

Pada folikulitis superfisial, peradangan terjadi pada bagian permukaan dari folikel
rambut. Gambaran kliniknya berupa pustul berkonsistensi lunak tanpa rasa nyeri yang bisa
sembuh dengan sendirinya tanpa membekas di kulit. Gejala tersebut biasa timbul pada kulit
kepala pada anak-anak dan di daerah yang berambut.

Pada folikulitis profunda, gejala radang yang timbul berupa massa eritema dan
memberikan gambaran pustul yang lebih besar daripada folikulitis superfisial. Pada kasus ini
penderita merasa sakit, tapi dapat sembuh dengan meninggalkan bekas atau luka.

Etiologi

Folikulitis karena suatu infeksi paling sering disebabkan oleh kuman Staphylococcus
aureus. Adapun klasifikasi follikulitis berdasarkan kuman penginfeksinya.

a. Folikulitis bakteri :
~ Staphylococcus aureus
 Periporitis Staphylogenes
 Superfisial : Folikulitis stafilokokkus dan Bockhart impetigo
 Profunda : Sycosis, furunkel, karbunkel
~ Pseudomonas aeruginosa (“Hot Tub” Folliculitis)
~ Folikulitis gram negatif
~ Folikulitis sifilitik
b. Folikulitis fungal
~ Dermatophytic folliculitis : Tinea kapitis, Tinea barbae, Majocchi granuloma.
~ Folikulitis pityrosporum
~ Folikulitis kandida
c. Folikulitis viral
~ Folikulitis virus herpes simplex
~ Follicular molluscum contagiosum infestation
~ Demodicidosis.

3. Karbunkel

Gabungan dari furunkel – furunkel disebut dengan karbunkel. Penyakit ini disebabkan oleh
Staphylococcus aureus dan sering menyebar pada anak-anak dan juga dewasa. Tempat
predileksi panyakit ini hampir sama dengan furunkel yaitu di aksila, bokong, dan
tengkuk.Efloresensi berupa makula eritematosa kemudian menjadi nodula lentikular hingga
numular. Lokalisasi secara regional dengan bentuk dan keberadaan fistul yang dikeluarkan
sekret putih.

Etiologi : Staphylococcus aureus

4. Hidradenitis
Etiologi
Penyebab HS belum diketahui. Jelas bahwa beberapa orang lebih rentan daripada
yang lain untuk mengembangkan penyakit ini, juga untuk alasan yang tidak diketahui. HS
paling sering terjadi pada orang berusia 20-an dan 30-an; itu jarang terlihat pada anak-
anak dan remaja dan tidak umum pada orang dewasa yang lebih tua. Perempuan tiga kali
lebih mungkin dibandingkan laki-laki untuk mengembangkan HS.
Akhirnya, aktivitas dan kondisi tertentu tampaknya terkait dengan HS. Meski
tidak ada bukti itucfaktor-faktor ini sebenarnya menyebabkan HS, mengendalikan
tampaknya mengurangi jumlah HS flare-up yang pasien miliki. Faktor-faktor yang paling
sering dikaitkan dengan HS termasuk:
- Merokok
- Kegemukan / obesitas
- Faktor mekanis dan lingkungan, seperti gesekan kulit-kulit di lipatan kulit,
iritasi dari antiperspirant, dan trauma pada akar rambut dari bercukur

Sangat penting untuk mengetahui bahwa HS tidak menular, dan itu tidak
disebabkan oleh kebersihan yang buruk, nutrisi yang buruk, atau kelebihan berat badan.

5. Abses
Etiologi
Abses yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus biasanya terjadi pada
kelompok infeksi folikulosentrik ( yaitu folikulitis,furunkel,dan karbunkel)
Abses juga dapat terjadi pada daerah trauma,benda asing,luka bakar, atau daerah
insersi kateter intravena.

6. Impetigo
Etiologi
Organisme penyebab adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus beta-
hemolyticus grup A (dikenal dengan Streptococcus pyogenes), atau kombinasi keduanya.
Staphylococcus dominan ditemukan pada awal lesi. Jika kedua kuman ditemukan
bersamaan, maka infeksi streptococcus merupakan infeksi penyerta. Kuman S. pyogenes
menular ke individu yang sehat melalui kulit, lalu kemudian menyebar ke mukosa saluran
napas. Berbeda dengan S. aureus, yang berawal dengan kolonisasi kuman pada mukosa
nasal dan baru dapat ditemukan pada isolasi kuman di kulit pada sekitar 11 hari
kemudian.
Impetigo menyebar melalui kontak langsung dengan lesi (daerah kulit yang
terinfeksi). Pasien dapat lebih jauh menginfeksi dirinya sendiri atau orang lain setelah
menggaruk lesi. Infeksi seringkali menyebar dengan cepat pada sekolah atau tempat
penitipan anak dan juga pada tempat dengan higiene yang buruk atau tempat tinggal yang
padat penduduk.

7. Ektima
Etiologi
Ektima merupakan pioderma ulseratif pada kulit yang umumnya disebabkan oleh
Streptococcus β-hemolyticus grup A. Status bakteriologi dari ektima pada dasarnya
mirip dengan Impetigo. Keduanya dianggap sebagai infeksi Streptococcus, karena
pada banyak kasus didapatkan kultur murni Streptococcus pyogenes. Ini didasarkan
pada isolasi Streptococcus dan Staphylococcus dan dari
beberapa Staphylococcus saja. 
Streptococcus β-hemolyticus grup A dapat menyebabkan lesi atau menginfeksi
secara sekunder lesi yang sudah ada sebelumnya. Adanya kerusakan jaringan (seperti
ekskoriasi, gigitan serangga, dermatitis) dan keadaan imunokompromis (seperti
diabetes dan neutropenia) merupakan predisposisi pada pasien untuk timbulnya
ektima. Penyebaran infeksi Streptococcus pada kulit diperbesar oleh kondisi
lingkungan yang padat dan hygiene yang buruk.
8. Eristrasma
Etiologi & faktor resiko
Agen penyebab eritrasma, yaitu Corynebacterfum minutissimum, merupakan
bakteri batang pendek Gram positif, dengan granula subterminal. Infeksi akibat
bakteri ini lebih sering ditemukan di daerah iklim tropis.
Infeksi ini umumnya ditemukan di daerah lipatan yang tertutup (seperti inguinal,
aksila, lipatan intergluteal, infra-mammae, umbilikus, dan selasela jari). Faktor
predisposisi'adalah iklim lembap dan hangat, higiene yang buruk, hiperhidrosis,
obesitas, diabetes mellitus, usia lanjut, dan keadaan imunosupresi.
9. Erisipelas
Etiologi
Streptococcus adalah penyebab utama erisipelas. Sebagian besar infeksi
erysipelas wajah disebabkan oleh streptokokus grup A, sedangkan infeksi
erysipelas pada ekstrimitas atas dan bawah disebabkan oleh non-kelompok
streptokokus A (streptococcus G atau C). Racun streptococcus ini
diperkirakan berkontribusi terjadinya peradangan cepat yang menjadikan
pathognomonic infeksi ini. Baru-baru ini, bentuk atipikal dilaporkan telah
disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, Klebsiella pneumoniae, Haemophilus
influenzae, enterocolitica Yersinia, dan spesies Moraxella.
10. Dermatitis
Etiologi dan factor
Penyebab dermatitis jenis ini ialah pajanan dengan bahan yang bersifat iritan,
misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu.
Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut,
konsentrasi bahan tersebut dan vehikulum. Terdapat juga pengaruh faktor lain, yaitu:
lama kontak, kekerapan (terus menerus atau berselang), oklusi yang menyebabkan
kulit lebih permeabel, demikian pula gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembaban
lingkungan juga turut berperan. Faktor individu juga turut berpengaruh pada OKI,
misalnya perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan perbedaan
permeabilitas; usia (anak di bawah 8 tahun dan usia lanjut lebih mudah teriritasi); ras
(kulit hitam lebih tahan dibandingkan dengan kulit putih); jenis kelamin (insidens
OKI lebih banyak pada perempuan); penyakit kulit yang pemah atau sedang dialami
(ambang rangsang terhadap bahan iritan menurun), misalnya dermatitis atopik.

3) Patofisiologi dan Manifestasi Klinis


1. Impetigo
Patofisiologi
Infeksi Staphylococcus aureus atau Group A Beta Hemolitik
Streptococcus dimana kita ketahui bakteri-bakteri tersebut dapat menyebabkan
penyakit berkat kemampuannya mengadakan pembelahan dan menyebar luas ke
dalam jaringan dan melalui produksi beberapa bahan ekstraseluler. Beberapa dari
bahan tersebut adalah enzim dan yang lain berupa toksin meskipun fungsinya
adalah sebagai enzim. Staphylococcus dapat menghasilkan katalase, koagulase,
hyaluronidase, eksotoksin, lekosidin, toksin eksfoliatif, toksik sindrom syok
toksik, dan enterotoksin. Bakteri staph menghasilkan racun yang dapat
menyebabkan impetigo menyebar ke area lainnya. Toxin ini menyerang protein
yang membantu mengikat sel-sel kulit. Ketika protein ini rusak, bakteri akan
sangat cepat menyebar. Enzim yang dikeluarkan oleh Stap akan merusak struktur
kulit dan adnya rasa gatal dapat menyebabkan terbentuknya lesi pada kulit.
Rasa gatal dengan lesi awal berupa makula eritematosa berukuran 1-2
mm, kemudian berubah menjadi bula atau vesikel. Pada Impetigo contagiosa
Awalnya berupa warna kemerahan pada kulit (makula) atau papul (penonjolan
padat dengan diameter <0,5cm) yang berukuran 2-5 mm. Lesi papul segera
menjadi vesikel atau pustul (papula yang berwarna keruh/mengandung nanah/pus)
yang mudah pecah dan menjadi papul dengan keropeng/koreng berwarna kunig
madu dan lengket yang berukuran <2cm dengan kemerahan minimal atau tidak ada
kemerahan disekelilingnya, sekret seropurulen kuning kecoklatan yang kemudian
mengering membentuk krusta yang berlapis-lapis. Krusta mudah dilepaskan, di
bawah krusta terdapat daerah erosif yang mengeluarkan sekret, sehingga krusta
akan kembali menebal. Sering krusta menyebar ke perifer dan menyembuh di
bagian tengah. Kemudian pada Bullous impetigo bula yang timbul secara tiba tiba
pada kulit yang sehat dari plak (penonjolan datar di atas permukaan kulit) merah,
berdiameter 1-5cm, pada daerah dalam dari alat gerak (daerah ekstensor),
bervariasi dari miliar sampai lentikular dengan dinding yang tebal, dapat bertahan
selama 2 sampai 3 hari. Bila pecah, dapat menimbulkan krusta yang berwarna
coklat, datar dan tipis.
GejalaKlinis
Impetigo dapat timbul sendiri (primer) atau komplikasi dan kelainan lain
(sekunder) baik penyakit kulit (gigitan binatang, vanisela, infeksi herpes simpleks,
dermatitis atopi) atau penyakit sisteniik yang menurunkan kekebalan tubuh
(diabetes melitus, HIV)
 Impetigo Bulosa
 Vesikel (gelembung berisi cairan dengan diameter <0,5cm) yang
timbul sampai bulla (gelembung berisi cairan berdiameter >0,5cm)
kurang dan 1 cm pada kulit yang utuh, dengan kulit sekitar normal
atau kemerahan. Pada awalnya vesikel berisi cairan yang jernih
yang berubah menjadi berwarna keruh
 Atap dan bulla pecah dan meninggalkan gambaran ‘collarette’
pada pinggirnya. Krusta ‘varnishlike’ terbentuk pada bagian tengah
yang jika disingkirkan memperlihatkan dasar yang merah dan
basah
 Bulla yang utuh jarang ditemukan karena sangat rapuh
 Bila impetigo menyertai kelainan kulit lainnya maka, kelainan itu
dapat menyertai dermatitis atopi, vanisela, gigitan binatang dan
lain-lain.
 Lesi dapat lokal atau tersebar, seringkali di wajah atau tempat lain,
sepertitempat yang lembab, lipatan kulit, ketiak atau lipatan leher.
 Tidak ada pembengkakan kelenjar getah bening di dekat lesi.
 Pada bayi, lesi yang luas dapat disertai dengan gej ala demam,
lemah, diare. Jarang sekali disetai dengan radang pam, infeksi
sendi atau tulang.
 Impetigo Krustosa
 Awalnya berupa wama kemerahan pada kulit (makula) atau papul
(penonjolan padat dengan diameter <0,5cm) yang berukuran 2-5
mm.
 Lesi papul segera menjadi menjadi vesikel atau pustul (papula yang
berwarna keruh/mengandung nanah/pus) yang mudah pecah dan
menjadi papul dengan keropeng/koreng berwarna kuning madu dan
lengket yang berukuran <2cm dengan kemerahan minimal atau
tidak ada kemerahan disekelilingnya.
 Lesi muncul pada kulit normal atau kulit yang kena trauma
sebelumnya atau mengikuti kelainan kulit sebelumnya (skabies,
vasisela, dermatitis atopi) dan dapat menyebar dengan cepat.
 Lesi berada sekitar hidung, mulut dan daerah tubuh yang sering
terbuka (tangan dan kaki).
 Kelenjar getah bening dapat menbesar dan dapat nyeri
 Lesi juga menyebar ke daerah sekitar dengan sendirinya
(autoinokulasi)
 Jika dibiarkan tidak diobati maka lesi dapat menyebar terus karena
tindakan din sendiri (digaruk lalu tangan memegang tempat lain
sehingga mengenai tempat lain).
 Lalu dapat sembuh dengan sendininya dalarn beberapa minggu
tanpajaringan parut.
 Walaupun jarang, bengkak pada kaki dan tekanan darah tinggi
dapat ditemukan pada orang dengan impetigo krustosa sebagai
tanda glomerulonefritis (radang pada ginjal) akibat reaksi tubuh
terhadap infeksioleh kuman Sfreptokokus penyebab impetigo.

2. EKTIMA
Patofisiologi
Staphylococcus aureus  merupakan penyebab utama dari infeksi kulit dan
sistemik. Seperti halnya Staphylococcus aureus, Streptococcus sp. Juga terkenal
sebagai bakteri patogen untuk kulit. Streptococcus Grup A, B, C, D, dan G
merupakan bakteri patogen yang paling sering ditemukan pada manusia. Kandungan
M-protein pada bakteri ini menyebabkan bakteri ini resisten terhadap fagositosis.
Gejala sistemik dan lokal dimediasi oleh superantigens (SA). Antigen ini bekerja
dengan cara berikatan langsung  pada molekul HLA-DR (Mayor Histocompability
Complex II (MHC II)) pada antigen-presenting cell  tanpa adanya proses antigen.
Walaupun biasanya antigen konvensional memerlukan interaksi dengan kelima
elemen dari kompleks  reseptor sel T, superantigen hanya memerlukan interaksi
dengan variabel dari pita B. Aktivasi  non spesifik
dari sel T menyebabkan pelepasan masif Tumor Necrosis Factor-α (TNF-
α), Interleukin-1 (IL-1), dan Interleukin-6 (IL-6) darimakrofag. Sitokin
ini menyebabkangejala klinis berupa demam, ruam erythematous, hipotensi, dan cede
ra jaringan.
Faktor host seperti immunosuppresi, terapi glukokortikoid, dan atopic memainkan
peranan penting dalam pathogenesis dari infeksi Staphylococcus. Adanya trauma
ataupun inflamasi dari jaringan (luka bedah, luka bakar, trauma, dermatitis, benda
asing) juga menjadi faktor yang berpengaruh pada pathogenesis dari penyakit yang
disebabkan oleh bakteri ini. 
Manifestasi Klinis
Penyakit ini dimulai dengan suatu vesikel atau pustul di atas kulit yang
eritematosa, membesar dan pecah (diameter 0,5 – 3 cm) dan beberapa hari
kemudian terbentuk krusta tebal dan kering yang sukar dilepas dari dasarnya.
Biasanya terdapat kurang lebih 10 lesi yang muncul. Bila krusta terlepas, tertinggal
ulkus superficial dengan gambaran “punched out appearance” atau berbentuk cawan
dengan dasar merah dan tepi meninggi. Lesi cenderung menjadi sembuh setelah
beberapa minggu dan meninggalkan sikatriks. Biasanya lesi dapat ditemukan pada
daerah ekstremitas bawah, wajah dan ketiak.

Gambar 2.8  Lesi tipikal ektima pada ektremitas bawah.

Gambar 2.9 Tahapan ektima. Lesi dimulai sebagai sebuah pustule yang kemudian pecah


membentuk ulkus.

Gambar 2.10 Ektima. Ulkus dengan krusta tebal pada tungkai pasien yang menderita diabetes
dan gagal ginjal.
Gambar 2.11 Ektima pada aksila.

3. HFMD
Pathogenesis
HFMD mempunyai masa inkubasi 3-6 hari. Selama masa epidemik, virus
menyebar dengan sangat cepat dari satu anak ke anak yang lain. Setelah virus masuk
melalui jalur oral atau pernafasan akan terjadi replikasi awal pada faring dan usus,
kemungkinan dalam sel M mukosa. Replikasi awal pada faring dan usus diikuti
dengan multiplikasi pada jaringan limfoid seperti tonsil, Peyer patches dan kelenjar
limfe regional. Penyebaran ke kelenjar limfe regional ini berjalan dalam waktu 24
jam yang diikuti dengan viremia. Adanya viremia primer (viremia minor)
menyebabkan penyebaran ke sistem retikuloendotelial yang lebih jauh termasuk hati,
limpa, sumsum tulang dan kelenjar limfe yang jauh. Respon imun dapat membatasi
replikasi dan perkembangannya di luar sistem retikuloendotelial yang menyebabkan
terjadinya infeksi subklinis.
Infeksi klinis terjadi jika replikasi terus berlangsung di sistem retikuloendotelial
dan virus menyebar melalui viremia sekunder (viremia mayor) ke organ target seperti
susunan saraf pusat (SSP), jantung dan kulit. Kecenderungan terhadap organ target
sebagian ditentukan oleh serotipe yang menginfeksi. Coxsackievirus, echovirus dan
EV 71 merupakan penyebab tersering penyakit virus dengan manifestasi pada kulit.
HFMD yang disebabkan oleh coxscakievirus A16 biasanya berupa lesi mukokutan
ringan yang menyembuh dalam 7–10 hari dan jarang mengalami komplikasi. Namun
enterovirus juga dapat merusak berbagai macam organ dan sistem. Kerusakan ini
diperantarai oleh nekrosis lokal dan respon inflamasi inang.
Manifestasi Klinis
Gambaran klinis HFMD terjadi hampir 100% pada anak-anak usia prasekolah
yang terinfeksi namun hanya 11% individu dewasa yang terinfeksi memiliki kelainan
kulit. Setelah fase inkubasi 3 hingga 6 hari, penderita dapat mengeluh panas badan
yang biasanya tidak terlalu tinggi (38°C hingga 39°C), malaise, nyeri perut, dan
gejala traktus respiratorius bagian atas seperti batuk dan nyeri tenggorok. Dapat
dijumpai pula adanya limfadenopati leher dan submandibula.1 Eksantema biasanya
nampak 1 hingga 2 hari setelah onset demam, tetapi bisa bervariasi tergantung
serotipe yang terlibat.
Hampir semua kasus HFMD mengalami lesi oral yang nyeri. Biasanya jumlah lesi
hanya beberapa dan bisa ditemukan di mana saja namun paling sering ditemukan di
lidah, mukosa pipi, palatum durum dan jarang pada orofaring. Lesi dimulai dengan
makula dan papula berwarna merah muda cerah berukuran 5–10 mm yang berubah
menjadi vesikel dengan eritema di sekelilingnya. Lesi ini cepat mengalami erosi dan
berwarna kuning hingga abu-abu dikelilingi oleh halo eritema. Beberapa literatur lain
menyebutkan bentuk lesi ini sebagai vesikel yang cepat berkembang menjadi ulkus.
Lesi pada mulut ini dapat bergabung, sehingga lidah dapat menjadi eritema dan
edema.
Lesi kulit terdapat pada dua pertiga penderita dan muncul beberapa saat setelah
lesi oral. Lesi ini paling banyak didapatkan pada telapak tangan dan telapak kaki.
Selain itu dapat juga pada bagian dorsal tangan, sisi tepi tangan dan kaki, bokong dan
terkadang pada genitalia eksternal serta wajah dan tungkai. Lesi pada kulit dapat
bersifat asimtomatik atau nyeri. Timbul rash/ruam atau vesikel (lepuh
memerah/blister yang kecil dan rata), papulovesikel yang tidak gatal ditelapak tangan
dan kaki. Jumlahnya bervariasi dari beberapa saja hingga banyak. Setelah menjadi
krusta, lesi sembuh dalam waktu 7 hingga 10 hari tanpa meninggalkan jaringan parut.

4) Penegakan Diagnosis
1. EKTIMA
a. Anamnesis
Pasien biasanya datang dengan keluhan luka pada anggota gerak bawah. Pasien
biasanya menderita diabetes dan orang tua yang tidak peduli dengan kebersihan
dirinya.
Anamnesis ektima, antara lain:
- Keluhan utama. Pasien datang dengan keluhan berupa luka.
- Durasi. Ektima terjadi dalam waktu yang lama akibat trauma berulang, seperti
gigitan serangga.
- Lokasi. Ektima terjadi pada lokasi yang relatif sering trauma berulang, seperti
tungkai bawah.
- Perkembangan lesi. Awalnya lesi berupa pustul kemudian pecah membentuk
ulkus yang tertutupi krusta
- Riwayat penyakit sebelumnya. Misalnya, Diabetes melitus dapat menyebabkan
penyembuhan luka yang lama.
b. Pemeriksaan fisik
Effloresensi ektima berupa awalnya berupa pustul kemudian pecah membentuk
ulkus yang tertutupi krusta.

Gambar 2.12 Krusta coklat berlapis lapis pada ektima.

Gambar 2.13 Pada Lesi ektima yang diangkat krustanya akan terlihat ulkus yang dangkal.

c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaaan penunjang yang dapat dilakukan. yaitu biopsi kulit dengan jaringan
dalam untuk pewarnaan Gram dan kultur. Selain itu, juda dapat dilakukan
pemeriksaan histopatologi.
Gambaran histopatologi didapatkan peradangan dalam yang diinfeksi kokus,
dengan infiltrasi PMN dan pembentukan abses mulai dari folikel pilosebasea. Pada
dermis, ujung pembuluh darah melebar dan terdapat sebukan sel PMN. Infiltrasi
granulomatous perivaskuler yang dalam dan superficial terjadi dengan edema endotel.
Krusta yang berat menutupi permukaan dari ulkus pada ektima.

Gambar 2.14 Pioderma

Neutrofil tersebar pada dasar ulserasi.


2. MORBUS HANSEN
Diagnosis
Pemeriksaan Bakterioskopis. Bertujuan untuk penegakkan diagnosis dan evaluasi
hasil pengobatan. Dilakukan pengambilan bahan sediaan dengan cara kerokan kulit
minimal dari 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang
paling aktif (paling eritematosa dan in' filtratif). Selain itu, sediaan juga dapat diambil
dari sekret hidung melalui nose blow di pagi hari, atau mukosa hidung dengan
menggunakan kapas lidi.

Berikut langkah pemeriksaan bakteriologik:

 Disinfeksi lesi dan jepit area yang akan dikeruk dengan ibu jari dan telunjuk hingga
iskemik sehingga hanya sedikit darah yang keluar:
 Lakukan kerokan dengan menggunakan skalpel steril. Irisan dilakukan sampai sedalam
dermis; Kerokan dioleskan pada gelas alas dan difiksasi di atas api. Sediaan diwarnai
dengan pewanaan Ziehl Neelsen.

Indeks Bakteri (IB) ditentukan dengan cara:

0: tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang

1+: 1-10 BTA dalam 100 lapang pandang

2+: 1-10 BTA dalam 10 lapang pandang

3+: 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang

4+: 1 1-100 BTA dalam 1 lapang pandang

5+: 101-1000 BTA dalam 1 lapang pandang

6+: > 1000 BTA dalam 1 lapang pandang.

Kemudian dapat dilakukan pemeriksaan Indeks Morfologi (IM) yang merupakan


persentase perbandingan bentuk solid (basil hidup) dengan jumlah solid dan non-solid (basil
mati) dikalikan 100 persen. Akan tetapi, perhitungan. ini hanya dapat dilakukan apabila IB
minimal 3+.

Pemeriksaan Histopatologis

Pada pasien dengan sistem imunologik seluler yang tinggi, akan tampak gambaran
tuberkel. Tuberkel terdiri atas sel epiteloid, sel datia Langhans dan limfosit. Pasien dengan
sistem imunologik seluler yang rendah, tampak sel Virchow atau sel lepra atau sel busa yang
merupakan bentuk histiosit yang tidak mampu memfagositosis M. leprae dan bahkan dijadikan
sebagai tempat untuk berkembang biak.

Pemeriksaan Imunologis, bertujuan untuk membantu diagnosis kusta yang meragukan.


Pemeriksaan imunologis yang dapat dilakukan, yaitu uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle
Agglutinadan). uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay), dan mL dipstick
(Mycobacterium Ieprae dipstick). 5

3. HMD
Diagnosis infeksi enterovirus seringkali berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Diagnosis laboratoris dapat ditegakkan melalui tes serologis, isolasi virus
dengan kultur dan teknik PCR.
 Pemeriksaan serologis jarang dilakukan karena tidak dapat menunjukkan
serotipe yang spesifik dari enterovirus. Standar kriteria untuk mendiagnosis
infeksi enterovirus adalah dengan isolasi virus. Virus dapat diisolasi dan
didentifikasi melalui kultur dan teknik immunoassay dari lesi kulit, lesi
mukosa atau bahan feses.
 Polymerase chain reaction (PCR) memberikan hasil yang cepat dalam
mendeteksi dan identifikasi serotipe enterovirus. Pemeriksaan ini menjadi uji
diagnostik yang sangat bernilai tetapi dibatasi oleh ketersediaannya dan
biayanya yang relatif mahal.
 Pungsi lumbal merupakan pemeriksaan yang penting jika terjadi meningitis.
Profil dari cairan serebrospinalis pada penderita dengan meningitis aseptik
akibat enterovirus adalah lekosit yang sedikit meningkat, kadar gula yang
normal atau sedikit menurun, sedangkan kadar protein normal atau sedikit
meningkat.

5) PENATALAKSANAAN
1. Hidradenitis
Dokter menggunakan obat dan operasi untuk mengobati HS. Pilihan pengobatan
— atau kombinasi dari perawatan — dibuat sesuai kebutuhan pasien. Dokter
mempertimbangkan beberapa faktor dalam menentukan rencana terapi yang paling tepat:
- Keparahan penyakit
- Tingkat penyakit
- Kronis (seberapa sering lesi kambuh)
- Lokasi lesi

Sejumlah metode bedah yang berbeda telah dikembangkan yang berguna untuk
pasien tertentu di bawah keadaan khusus. Selain itu, banyak perawatan medis telah
dicoba — beberapa dengan lebih sukses dari yang lain. Tidak ada obat yang efektif untuk
semua pasien, dan Anda dan dokter Anda mungkin harus mencoba beberapa agen atau
kombinasi agen yang berbeda sebelum Anda menemukan rencana perawatan yang paling
sesuai untuk Anda.

Tujuan terapi dengan obat-obatan yang topikal (digunakan pada kulit) atau sistemik
(diminum) adalah:

- untuk membersihkan lesi atau setidaknya mengurangi jumlah dan luasannya,


- untuk mencegah lesi baru terbentuk.

Beberapa jenis obat yang umum digunakan adalah pencuci kulit antibakteri dan antibiotik
topikal mencegah infeksi sekunder dan suntikan kortikosteroid ke dalam lesi untuk
mengurangi peradangan. Obat lain yang dapat digunakan termasuk retinoid, hormon, agen
imunosupresif (seperti metotreksat), obat antidiabetes metformin, dan obat-obat anti-inflamasi
biologis seperti infliximab dan adalimumab.

Sejumlah tindakan tampaknya membantu banyak orang dengan HS. Dokter Anda dapat
membantu Anda menentukan yang mana kemungkinan yang terbaik untuk Anda. Namun, dua
di antaranya mungkin berlaku untuk kebanyakan pasien dengan HS Jika Anda merokok,
berhenti dan turunkan berat badan Anda.

Meskipun tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa berhenti merokok dan
menurunkan berat badan meningkatkan HS, keduanya faktor memiliki efek negatif pada
kesehatan secara keseluruhan. Juga, penurunan berat badan dapat membantu mencegah HS
dari memburuk — yang lebih kecil area kontak kulit-ke-kulit (dan, karenanya, berkeringat
dan menggosok), semakin kecil target untuk perkembangan lesi HS.

Beberapa langkah swadaya lainnya adalah:

- Hindari trauma kulit (seperti bercukur di area, seperti ketiak, di mana terjadi jerawat)
- Cuci kulit Anda dengan lembut, dengan menggunakan zat pembersih yang
direkomendasikan oleh dokter Anda; pembersih seperti pencucian peroksida benzoyl,
yang digunakan oleh pasien dengan jerawat, mungkin cocok untuk banyak pasien
- Oleskan obat topikal sesuai petunjuk dan sesering yang ditentukan
- Hindari pakaian atau perban ketat atau menjengkelkan
- Ikuti panduan dokter Anda tentang antiperspirant atau deodoran
- Jagalah agar kulit tetap dingin (menjadi terlalu panas dan berkeringat dapat
menyebabkan suar HS).
Untuk mengurangi rasa sakit kista atau nodul, gunakan kompres panas selama 10 menit
setiap kali (gunakan bersih kain lap atau teh celup yang direndam dalam air

2. IMPETIGO

Tujuan pengobatan impetigo adalah menghilangkan rasa tidak nyaman dan


memperbaiki kosmetik dan lesi impetigo, mencegah penyebaran infeksi ke orang
lain dan mencegah kekambuhan
Penatalaksanaan Farmakologis
Syarat pengobatan yang baik adalah pengobatan harus efektif, tidak mahal
dan memiliki sedikit efek samping. Antibiotik topikal (lokal) menguntungkan
karena hanya diberikan pada kulit yang teriafeksi sehingga meminimalkan efek
samping. Kadangkala antibiotik topikal dapat menyebabkan reaksi sensitifitas pasa
kulit orang-orang tertentu. Pada lesi yang terlokalisir maka pemberian antibiotik
topilcal diutamakan. Karena antibiotilc topikal sama efektiffiya dengan antibiotik
oral. Pilihan antibiotik topikal adalah mupirocin 2% atau asam fusidat. Antibiotilc
oral disimpan untuk kasus dimana pasien sensitif terhadap antibiotik topikal, lesi
lebih luas atau dengan penyakit penyerta yang berat.Penggunaan disinfektan
topikal tidak direkomendasikan dalam pengobatan impetigo.Obat topikal yang
diberikan mupirocin 2% diberikan di kulit yang terinfeksi 3x sehari selania tiga
sampai lima hari. Antibiotik oral yang dapat diberikan adalah Amoxicillin dengan
asam kiavulanat; cefuroxime;cephalexin; dieloxacillin; atauenitromiein selama 10
hari.

3. EKTIMA

  Penatalaksanaan ektima, antara lain:

- Pengobatan ektima tanpa obat dapat berupa mandi menggunakan sabun


antibakteri dan sering mengganti seprei, handuk, dan pakaian. 
- Pengobatan farmakologi bertujuan mengurangi morbiditas dan mencegah
komplikasi 
- Sistemik
- Pengobatan sistemik digunakan jika infeksinya luas. Pengobatan sistemik dibagi
menjadi pengoatan lini pertama dan pengobatan lini kedua.
- Pengobatan lini pertama (golongan Penisilin)
 Dewasa: Dikloksasilin 4 x 250 - 500 mg selama 5 - 7 hari.
 Anak    : 5 - 15 mg/kgBB/dosis, 3 - 4 kali/hari.
 Amoksisilin + Asam klavulanat 3 x 25 mg/kgBB
 Sefaleksin 40 - 50 mg/kgBB/hari selama 10 hari
- Pengobatan lini kedua (golongan Makrolid)
 Azitromisin 1 x 500 mg, kemudian 1 x 250 mg selama 4 hari
 Klindamisin 15 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari
 Dewasa: Eritomisin 4 x 250 - 500 mg selama 5 - 7 hari. 
 Anak    : 12,5 - 50 mg/kgBB/dosis, 4 kali/hari.
- Topikal
Pengobatan topikal digunakan jika infeksi terlokalisir, tetapi jika luas 
maka digunakan pengobatan sistemik. Neomisin,  Asam fusidat 2%, Mupirosin,
dan Basitrasin merupakan antibiotik yang dapat digunakan secara topikal. 
Neomisin merupakan obat topikal yang stabil dan efektif yang tidak
digunakan secara sistemik, yang menyebabkan reaksi kulit minimal, dan memiliki
angka resistensi bakteri yang rendah sehingga menjadi terapi antibiotik lokal yang
valid. Neomisin dapat larut dalam air dan memiliki kestabilan terhadap perubahan
suhu. Neomisin memiliki efek bakterisidal secara in vitro yang bekerja spektrum
luas gram negatif dan gram positif. Efek samping neomisin berupa kerusakan
ginjal dan ketulian timbul pada pemberian secara parenteral sehingga saat ini
penggunaannya secara topical dan oral. 
- Edukasi
Memberi pengertian kepada pasien tentang pentingnya menjaga
kebersihan badan dan lingkungan untuk mencegah timbulnya dan penularan
penyakit kulit.

6) KOMPLIKASI
1. Ektima
Komplikasi ektima, antara lain selulitis, erisipelas, gangren, limfangitis, limfadenitis
supuratif, dan bakteremia.
2. Lepra
 Neuropati, mencakup penurunan fungsi sensorik, motorik, atau otonom saraf perifer;
 Ulkus atau fisura yang dapat mengakibatkan osteomielitis hingga amputasi digiti;
 Pembentukan kalus, akibat penurunan aktivitas kelenjar keringat;
 Kontraktur sendi, akibat paralisis otot. Latihan fisis secara aktif maupun pasif diperlukan
untuk mencegah komplikasi ini.
 Kelainan oftalmologis: penurunan sensoris kornea (neuropati trigeminal), lagoftalmos
(neuropati fasialis).
 Pada reaksi ENL dapat ditemukanuveitis, dakulis, artritis, limfadenitis, neuritis, miositis,
maupun orchitis.
3. HFMD
Komplikasi serius jarang terjadi pada penderita HFMD. Komplikasi paling sering
terjadi akibat ulserasi oral yang nyeri, sehingga dapat mengganggu asupan oral dan
menyebabkan dehidrasi. Seperti halnya penyakit kulit lainnya, infeksi sekunder
karena bakteri juga dapat terjadi pada lesi kulit penderita HFMD. Satu komplikasi
yang jarang yaitu eczema coxsackium terjadi pada individu dengan eksema. Pada
penderita ini berkembang infeksi virus kutan diseminata yang sama dengan yang
terlihat pada eczema herpeticum. Komplikasi serius yang berkaitan dengan HFMD
dan paling banyak ditemui adalah meningitis aseptik. Meningitis aseptik jarang
mengancam jiwa dan pada penderita juga tidak terjadi komplikasi lanjutan yang
permanen. Epidemik EV 71 yang terjadi di Taiwan berakibat terjadinya bentuk
penyakit yang parah seperti ensefalitis, ensefalomielitis, polio-like syndromes,
miokarditis, edema pulmonum, perdarahan di paru-paru dan kematian. Huang dan
kawan-kawan (1999) mendeskripsikan komplikasi neurologis terkait EV 71 dalam
istilah sindroma neurologik yang terdiri dari aseptic meningitis, acute flaccid
paralysis dan brain stem encephalitis atau rhomboencephalitis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hueter S E. Buku Ajar Patofisiologi Ed.6 Vol.2. Jakarta: Elsevier; 2017
2. Fahri M, Hidyat N, Ismail S. Dermatitis Venenata. Jurnal Medical Profession (MedPro).
2019 Februari ; 1
3. Wolff K, et al. fitzpatrick’s color atlas and synopsis of clinical dermatology eight edition.
Unites states: McGraw Hill; 2017.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2015.
5. Djuanda A, et al. ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi keenam. Jakarta: FKUI; 2010.
6. James W, et al. Andrew’s Disease of the Skin Clinical Dermatology. Twelfth Edition.
Philadelphia: Elsevier; 2016.

Anda mungkin juga menyukai