SKENARIO 1
“ Lenting Pada Kulit ’’
NAMA : Lugino
NPM : 114170035
KELOMPOK: 1A
TUTOR : dr. Amri Muharam
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2021
SKENARIO 1
Lenting pada Kulit
Seorang pria usia 22 tahun, datang ke klinik dokter umum dengan keluhan timbul lenting di kulit
leher berisi nanah sejak 1 minggu yang lalu. Awalnya lenting berisi nanah ini berukuran kecil,
semakin lama semakin menyebar di leher. Karena sempat digaruk oleh pasien beberapa lenting
ini ada yang pecah. Demam serta nyeri disangkal. Gatal dikatakan sempat pada awal munculnya
lenting, namun saat pemeriksaan dikatakan tidak ada gatal. Pada status dermatologikus, lokasi
pada leher ditemukan berupa bula multipel, terlihat bula tersebut berada di atas kulit sekitarnya
yang eritematosa, dengan dinding bula yang kendor dan berisi cairan seropurulen (hipopion)
berukuran 4-5 mm serta terdapat erosi pada bekas dinding bula yang telah pecah disertai krusta
disekitarnya. Dokter mengedukasi pasien untuk menjaga higienitas tubuh dan memberikan
tatalaksana lebih lanjut.
STEP 1
1.Status dermatologikus : pemeriksaan pada kulit yang meliputi primer dan
sekunder,pemeriksaan secara keseluruhan.
2.Lenting : keadaan seperti melepuh yang muncul pada kulit berbentuk gelembung dengan cairan
dengan ukuran kecil dari kepala peniti hingga 1 cm.
3.Seropurulen : cairan yang berubah menjadi keruh berwarna kuning kecoklatan biasanya
muncul karena ada nya infeksi
4.Erimatosa : kondisi munculnya bercak merah pada kulit yang disebabkan karena adanya
pelebaran pembuluh darah dibawah kulit.
5.Bula : luka primer penonjolan primer berbatas tegas berisi cairan lebih dari 0,5mm.
6.Erosi : lesi membasah berbatas tegas biasanya terjadi karena hilangnya seluruh epidermis
7.Krusta : suatu ruam sekunder berupa keringan cairan eksudat yng memiliki warna tertentu pada
permukaan kulit karna pecahan pada papula atau pustule.
STEP 2
1.Mengapa pasien timbul keluhan lenting kulit berisi nanah hingga menyebar keseluruh kulit
leher , gatal dan pecah saat digaruk ?
2.Bagaimana interpretasi dari status dermatologikus pasien ?
3.Bagaimana penegakan diagnosis pada pasien tersebut ?
4.Bagaimana tatalaksana pada pasien tersebut ?
5.Apa hubungan dokter mengedukasi pasien menjaga higienitas tubuh dengan keluhan pasien ?
6.Bagaimana prognosis dari kasus tersebut ?
STEP 3
1.karena adanya infeksi bakteri,penyebab tersering bakteri yang menginfeksi kulit
staphylococcus aureus . Lenting bisa terjadi karena 1. iritasi gesekan kulit yang terlalu lama,bisa
dari bahan kimia,tidak menggunakan alas kaki, 2.alergi , 3.infeksi staphylococcus dan
streptococcus.penyababnya infeksi bakteri atau bisa kombinasi keduanya patofisiologi bakteri
tersebut bisa melakukan pembelahan ,beberapa bahan tersebut berupa enzim dan toksin,toksin
akan menyerap protein dan membantu sel sel kulit ketika protein rusak bakteri dengan cepat
menyebar bakteri akan merusak struktur kulit dan menyebabkan rasa gatal dan bisa timbul lesi
pada kulit.faktor makanan,makanan yang tidak bagus (malnutrisi) karena nutrisi,imun bisa
menurun maka bakteri bisa bertemu di sel darah merah,leukosit bisa terkontaminasi bakteri.
2.interpretasi status dermatologikus : bisa dilihat dari jumlahnya,penyebaran terpisah atau
tidak,bula pada lekukan kecil dari bentuknya,dari ukuran kurang dari 8cm,latar belakang putih
bayangan,tekstur,warnanya merah.berkaitan dengan efloresensi penanda terjadi kelainan pada
kulit,ruam yang terdiri dari ruam primer sekunder,primer lesi kulit awal atau khas,sekunder lesi
kulit yang mengalami perubahan karena waktu,dokter harus menyimpulkan efloresensi . primer
macula,papula,nodul,urtikaria,vesikel,bula. Sekunder squama,erosi,ulkus,scar.hasil pemeriksaan
pasien mengarah pada impetigo bulosa karena pada pemeriksaa ditemukan bula multiple dileher
sekitarnya eritematosa berisi cairan hipopion adanya erosi pada dinding bula yang pecah,adanya
krusta.
3.penegakan diagnosis : anamnesis muncul gelembung berisi nanah,berukuran kecil semakin
lama akan menyebar dileher.tidak ada nyeri dan demam pemeriksaan fisik leher ketiak kelainan
ini bisa menyebar akibat garukan,tampak hipopion.
Pemeriksaan penunjang : pemeriksaan gram,kultur cairan,histopatologi
Anamnesis : apakah ada keluhan prodromal ada demam atau tidak,gatal atau
tidak,riwayat,lingkungan
Pemeriksaan fisik : dilihat ruamnya primer sekunder atau keduanya,bisa dilihat itu macula atau
eritem atau adanya penonjolan baik padat cair solid
Pemeriksaan penunjnag : kultur ditemukan lesi
4.diberikan salep antibiotic atau cairan antiseptic diberiksan setelah bula pecah,diberiksan
antibiotic sistemik di lesi yang banyak atau luas
obat : sephadroxil 2x500mg untuk bula,salep krim mupirosin 2% 2xsehari, dihilangkan
predisposisi menjaga higienitas.
Non farmakologi : mengatasi factor predisposisi,mandi 2x sehari dengan sabun,mencegah kontak
langsung atau tidak langsung dengan penderita,menjga kebersihan lingkungan ,menjaga
kebersihan kulit.
5.karena higienitas buruk maka pasien bisa terkena infeksi bakteri,otomatis bakteri masuk lewat
tubuh bisa lewat makanan (oral) masuk ke mukosa mulut dan menimbulkan vesikel vesikel
nantinya ada ruptur di makulanya
6.Prognosis penyakit tanpa disertai komplikasi bonam,apabila penyakit ini disertai komplikasi
prognosis nya dubia ad bonam.
STEP 4
1.Mengarah pada infeksi bakteri,awalnya terjadi pada kulit,kulit merupakan barrier tubuh
manusia terhadap lingkungan ketika kulit intak bakteri tidak masuk pada kulit,tetapi jika kulit
tidak intak bakteri bisa masuk kedalam kulit kita,ketika bakteri masuk dalam tubuh nantinya
akan ada penggabungan pada sel tunggal tubuh melakukan regenerasi kedalam matrix
ekstraseluler ada kolagen,fibrin ada reseptor fibrinektin keduanya memiliki eksotoksin eksfoliatif
desmoglien membentuk desmosom agar hilangkan penggabungan antar sel sel pembentukan
kolagen tidak akan terjadi.
2.Status dermatologikus pada kasus ini ada primer dan sekunder,pada kasus adanya bula multiple
adanya penonjolan berisi cairan bentuknya lebih besar dari vesikel,terlihat bula berada ditengah
di eritematosa adanya kemerahan dan bula ketengahan bula ada cairan,dan cairan seropurulen
yang khas dari impetigo bulosa cairan dan hipopion bisa terlihan didalamnya ada
cairan,merupakan efloresensi yang primer yang sekunder terdapat erosi merupakan suatu kedaan
kulit yang kehilangan jaringan tidak melampaui stratus basalis masih di epidermis adanya krusta
karna digaruk dan pecah dan mengering.
3.Anamnesis : didapatkan muncul gelembung berisi nanah berukuran kecil semakin lama
menyebar disekitar leher
Gejala klinis : terdapat pada anak dan deasa,bula,hipopion,ada vesikel dan bula memecah tampak
eritematosa,dari status dermatologikus letak lesi,efloresensi,
Pemeriksaan penunjang : pemeriksaan gram stain gram positif biru gram negatif merah,kultur
cairan mendeteksi bakteri,histopatologi,didapatkan PMN penutupan abses mulai dari vesikel
sebasea,laboratorium rutin leukositosis ringan ditemukan 50% pada kasus ini,urinalisis perlu
dilakukan mengetahui adanya hemoatoria dan proteinuria,mikrobiologi eksudat dibawah krusta
cairan berasal dari bula hasilnya staphyloccus dan streptococcus didapatkan peradangan dalam
yang diinfeksi kokus, dengan infiltrasi PMN dan pembentukan abses mulai dari folikel
pilosebasea. Pada dermis, ujung pembuluh darah melebar dan terdapat sebukan sel PMN.
Laboraturium rutin : Pada pemeriksaan darah rutin, lekositosit ringan hanya ditemukan pada
50% kasus pasien dengan impetigo. Pemeriksaan urinalisis perlu dilakukan untuk mengetahui
apakah telah terjadi Glomerulonefritis Akut Pasca Streptococcus (GNAPS), yang ditandai
dengan hematuria dan proteinuria. Pemeriksaan mikrobiologis : Eksudat yang diambil dibagian
bawah krusta dan cairan yang berasal dari bulla dapat dikultur dan dilakukan tes sensitivitas.
Hasil kultur bisa memperlihatkan Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus atau
keduanya.
4.Farmako : pegngobatan topical kompres asam salicilat rivanol 1% larutan 3x sehari selama 1
jam bila tidak terdapat pus asam mupirosin 2% 3x sehari selama 7 hari
Non farmako : menjaga kebersihan lingkunga,menjaga kontak langsung dengan penderita
Hanya beberapa bula dipecahkan lalu diberi salep antibiotic atau cairan antiseptic ,factor
predisposisi jika bula banyak dipecahkan diberi betadine,kloramfenikol 2%eritromicin,gram
positif obat antibiotic cephadroxil antibiotic spectrum luas
Sistemik : minimal 7 hari linipertama : diklosaksilin 4x250-500mg PO,anak anak 25-50mg/kgBB
amoxicillin asam klavunalat 3x250-500mg
Lini kedua : azitromicin 1x500mg dilanjukan 1x250mg sampai 5 hari
5.Faktor predisposisi kebersihan yang kurang baik nantinya bakteri dari pasien ini melakukan
kontak penderita infeksi bakteri,kulit normal akan terkontaminasi bakteri tersebut terkolonisasi
bakteri luka kecil seperti lecet akan timbul lesi sekitar 1-2 minggu
6.Prognosis baik dubia ad bonam ketika tidak ada komplikasi dubia ad malam jika ada
komplikasi,prevalensi 20% bisa sembuh secara spontan,biasanya efek ketika kulit ,tidak diobati
menjadi ulkus impetigo di epidermis ketika terjadi komplikasi eksim bisa sampai dermis.
MIND MAP
Lenting pada
kulit
Penegakan
Etiologi Faktor resiko Patofisiologi Prognosis Komplikasi Tatalaksana
diagnosis
Contoh : Noda pada wajah (freckles), mola yg datar, petekie, rubella, vitiligo, port wine stains,
eklomosis
2. Papula, plak
Papula: < 0,5 cm
Plak: > 0,5 cm
Massa yang padat, teraba dan menonjol
Tepi yang sirkumskripta
Plak dapat berupa papula yang menyatu dengan puncak yang datar.
3. Nodul, Tumor
Nodul : 0,5-2 cm
Tumor : 1-2 cm
Massa yang menonjol, teraba dan padat
Meluas lebih dalam ke epidermis dibandingkan papula
Nodul memiliki tepi yang sirkumskripta
Tumor tidak selalu memiliki tepi yang tajam
Contoh : - Nodul : Lipoma, karsinoma sel sskuamosa, suntikan yang tidak terserap dengan baik,
dermafibroma.
4. Vesikel, Bulla
Vesikel : < 0,5 cm
Bulia : > 0,5 cm
Massa yang sirkumskripta, menonjol dan teraba yang mengandung cairan serous
Contoh : - Vesikel : Herpes Simplex/zoster, varisela, keracunan tanaman (poison ivy), luka bakar
derajat dua (lepuh)
- Bulla : Pemfigus, Dermatitis Kontak, blister luka bakar yang besar, keracunan tanaman,
impetigo bulosa
5. Urtika (Bintul)
Massa yang menonjol dengan batas yang tidak jelas
Sering tidak teratur
Ukuran dan Warna bervariasi
Disebabkan oleh gerakkan cairan serousa ke dalam dermis
Tidak mengandung cairan bebas dalam rongga seperti misalnya pada vesikel
6. Pustula
Vesikel atau bulla yang berisi pus
7. Kista
Massa semi padat atau berisi cairan yang berkapsul
Dalam jaringan subkutan atau dermis
2. Ulkus
Kehilangan kulit meluas melampaui lapisan epidermis
Kehilangan jaringan nefrotik
Pendarahan dan pembentukan sikratiks dapat terjadi
3. Fissura
Retakan Linier pada kulit
Dapat meluas ke dalam dermis
4. Skuama (Sisik)
Pembentukan Skuama (Sisik) terjadi sekunder akibat proses deskuamasi eptel yang
mati
Skuama dapat melakat pada permukaan kulit
Warna bervariasi (keperakan, putih)
Tekstur bervariasi (tebal, halus)
5. Krusta (Kerak)
Residu serum, darah atau pus yang mongering pada permukaan kulit
Krusta yang lebar dan melekat disebut scrab
Contoh : Residu yang tertinggal sesudah rupture vesikel : Impetigo, herpes, eczema.
6. Parut (Sikratiks)
Bekas pada kulit yang tertinggal suatu luka atau lesi mengalami kesembuhan
Menggambarkan pergantian oleh jaringan ikat dari jaringan yang cedera
Jaringan parut yang muda : Ungu dan Merah
Jaringan parut yang masak (Mature) : putih atau mengkilap
Contoh : Keloid pada luka insisi bedah atau penusukan daun telinga
8. Atrofi
Gambarang epidermis yang tipis, kering dan transparan
Hilangnya garis” pada permukaan kulit
Terjadi sekunder akibat hilangnya kolagen dan alestin
Pembuluh darah yang dibawahnya dapat terlihat
9. Likenifikasi
Kulit yang menebal menjadi kasar
Garis” kulit yang semakin nyata
Dapat terjadi sekunder akibat gesekan, iritasi atau garukan yang berulang – ulang
2) ETIOLOGI
1. Furunkel
Infeksi folikel rambut dan disekitarnya, penyebab dari furunkel ialah bakteri Staphylococcus
aureus. Furunkel memiliki gejala seperti adanya inflamasi, nodus eritematous yang betuknya
seperti kerucut yang ditengahnya ada pustul, nantinya pustul akan menjadi pus dan menjadi
jaringan yang nekrotik dan setelah memecah dan menjadi fistel. Pengobatan untuk purunkel
sama seperti yang lainya kelainan pada kulit seperti antibiotik topikal dan apabila telah
menyebar dan banyak menggunakan antibiotik sistemik.
2. Folikulitis
Folikulitis adalah peradangan atau inflamasi folikel rambut yang dapat disebabkan
oleh suatu infeksi, iritasi zat kimia atau cedera fisik. Inflamasi bisa terjadi di bagian
permukaan atau superfisial bahkan bagian yang lebih dalam atau profunda dari folikel
rambut. Folikulitis termasuk kasus yang sering ditemukan di antara berbagai macam penyakit
peradangan pada kulit.
Pada folikulitis superfisial, peradangan terjadi pada bagian permukaan dari folikel
rambut. Gambaran kliniknya berupa pustul berkonsistensi lunak tanpa rasa nyeri yang bisa
sembuh dengan sendirinya tanpa membekas di kulit. Gejala tersebut biasa timbul pada kulit
kepala pada anak-anak dan di daerah yang berambut.
Pada folikulitis profunda, gejala radang yang timbul berupa massa eritema dan
memberikan gambaran pustul yang lebih besar daripada folikulitis superfisial. Pada kasus ini
penderita merasa sakit, tapi dapat sembuh dengan meninggalkan bekas atau luka.
Etiologi
Folikulitis karena suatu infeksi paling sering disebabkan oleh kuman Staphylococcus
aureus. Adapun klasifikasi follikulitis berdasarkan kuman penginfeksinya.
a. Folikulitis bakteri :
~ Staphylococcus aureus
Periporitis Staphylogenes
Superfisial : Folikulitis stafilokokkus dan Bockhart impetigo
Profunda : Sycosis, furunkel, karbunkel
~ Pseudomonas aeruginosa (“Hot Tub” Folliculitis)
~ Folikulitis gram negatif
~ Folikulitis sifilitik
b. Folikulitis fungal
~ Dermatophytic folliculitis : Tinea kapitis, Tinea barbae, Majocchi granuloma.
~ Folikulitis pityrosporum
~ Folikulitis kandida
c. Folikulitis viral
~ Folikulitis virus herpes simplex
~ Follicular molluscum contagiosum infestation
~ Demodicidosis.
3. Karbunkel
Gabungan dari furunkel – furunkel disebut dengan karbunkel. Penyakit ini disebabkan oleh
Staphylococcus aureus dan sering menyebar pada anak-anak dan juga dewasa. Tempat
predileksi panyakit ini hampir sama dengan furunkel yaitu di aksila, bokong, dan
tengkuk.Efloresensi berupa makula eritematosa kemudian menjadi nodula lentikular hingga
numular. Lokalisasi secara regional dengan bentuk dan keberadaan fistul yang dikeluarkan
sekret putih.
4. Hidradenitis
Etiologi
Penyebab HS belum diketahui. Jelas bahwa beberapa orang lebih rentan daripada
yang lain untuk mengembangkan penyakit ini, juga untuk alasan yang tidak diketahui. HS
paling sering terjadi pada orang berusia 20-an dan 30-an; itu jarang terlihat pada anak-
anak dan remaja dan tidak umum pada orang dewasa yang lebih tua. Perempuan tiga kali
lebih mungkin dibandingkan laki-laki untuk mengembangkan HS.
Akhirnya, aktivitas dan kondisi tertentu tampaknya terkait dengan HS. Meski
tidak ada bukti itucfaktor-faktor ini sebenarnya menyebabkan HS, mengendalikan
tampaknya mengurangi jumlah HS flare-up yang pasien miliki. Faktor-faktor yang paling
sering dikaitkan dengan HS termasuk:
- Merokok
- Kegemukan / obesitas
- Faktor mekanis dan lingkungan, seperti gesekan kulit-kulit di lipatan kulit,
iritasi dari antiperspirant, dan trauma pada akar rambut dari bercukur
Sangat penting untuk mengetahui bahwa HS tidak menular, dan itu tidak
disebabkan oleh kebersihan yang buruk, nutrisi yang buruk, atau kelebihan berat badan.
5. Abses
Etiologi
Abses yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus biasanya terjadi pada
kelompok infeksi folikulosentrik ( yaitu folikulitis,furunkel,dan karbunkel)
Abses juga dapat terjadi pada daerah trauma,benda asing,luka bakar, atau daerah
insersi kateter intravena.
6. Impetigo
Etiologi
Organisme penyebab adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus beta-
hemolyticus grup A (dikenal dengan Streptococcus pyogenes), atau kombinasi keduanya.
Staphylococcus dominan ditemukan pada awal lesi. Jika kedua kuman ditemukan
bersamaan, maka infeksi streptococcus merupakan infeksi penyerta. Kuman S. pyogenes
menular ke individu yang sehat melalui kulit, lalu kemudian menyebar ke mukosa saluran
napas. Berbeda dengan S. aureus, yang berawal dengan kolonisasi kuman pada mukosa
nasal dan baru dapat ditemukan pada isolasi kuman di kulit pada sekitar 11 hari
kemudian.
Impetigo menyebar melalui kontak langsung dengan lesi (daerah kulit yang
terinfeksi). Pasien dapat lebih jauh menginfeksi dirinya sendiri atau orang lain setelah
menggaruk lesi. Infeksi seringkali menyebar dengan cepat pada sekolah atau tempat
penitipan anak dan juga pada tempat dengan higiene yang buruk atau tempat tinggal yang
padat penduduk.
7. Ektima
Etiologi
Ektima merupakan pioderma ulseratif pada kulit yang umumnya disebabkan oleh
Streptococcus β-hemolyticus grup A. Status bakteriologi dari ektima pada dasarnya
mirip dengan Impetigo. Keduanya dianggap sebagai infeksi Streptococcus, karena
pada banyak kasus didapatkan kultur murni Streptococcus pyogenes. Ini didasarkan
pada isolasi Streptococcus dan Staphylococcus dan dari
beberapa Staphylococcus saja.
Streptococcus β-hemolyticus grup A dapat menyebabkan lesi atau menginfeksi
secara sekunder lesi yang sudah ada sebelumnya. Adanya kerusakan jaringan (seperti
ekskoriasi, gigitan serangga, dermatitis) dan keadaan imunokompromis (seperti
diabetes dan neutropenia) merupakan predisposisi pada pasien untuk timbulnya
ektima. Penyebaran infeksi Streptococcus pada kulit diperbesar oleh kondisi
lingkungan yang padat dan hygiene yang buruk.
8. Eristrasma
Etiologi & faktor resiko
Agen penyebab eritrasma, yaitu Corynebacterfum minutissimum, merupakan
bakteri batang pendek Gram positif, dengan granula subterminal. Infeksi akibat
bakteri ini lebih sering ditemukan di daerah iklim tropis.
Infeksi ini umumnya ditemukan di daerah lipatan yang tertutup (seperti inguinal,
aksila, lipatan intergluteal, infra-mammae, umbilikus, dan selasela jari). Faktor
predisposisi'adalah iklim lembap dan hangat, higiene yang buruk, hiperhidrosis,
obesitas, diabetes mellitus, usia lanjut, dan keadaan imunosupresi.
9. Erisipelas
Etiologi
Streptococcus adalah penyebab utama erisipelas. Sebagian besar infeksi
erysipelas wajah disebabkan oleh streptokokus grup A, sedangkan infeksi
erysipelas pada ekstrimitas atas dan bawah disebabkan oleh non-kelompok
streptokokus A (streptococcus G atau C). Racun streptococcus ini
diperkirakan berkontribusi terjadinya peradangan cepat yang menjadikan
pathognomonic infeksi ini. Baru-baru ini, bentuk atipikal dilaporkan telah
disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, Klebsiella pneumoniae, Haemophilus
influenzae, enterocolitica Yersinia, dan spesies Moraxella.
10. Dermatitis
Etiologi dan factor
Penyebab dermatitis jenis ini ialah pajanan dengan bahan yang bersifat iritan,
misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu.
Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut,
konsentrasi bahan tersebut dan vehikulum. Terdapat juga pengaruh faktor lain, yaitu:
lama kontak, kekerapan (terus menerus atau berselang), oklusi yang menyebabkan
kulit lebih permeabel, demikian pula gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembaban
lingkungan juga turut berperan. Faktor individu juga turut berpengaruh pada OKI,
misalnya perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan perbedaan
permeabilitas; usia (anak di bawah 8 tahun dan usia lanjut lebih mudah teriritasi); ras
(kulit hitam lebih tahan dibandingkan dengan kulit putih); jenis kelamin (insidens
OKI lebih banyak pada perempuan); penyakit kulit yang pemah atau sedang dialami
(ambang rangsang terhadap bahan iritan menurun), misalnya dermatitis atopik.
2. EKTIMA
Patofisiologi
Staphylococcus aureus merupakan penyebab utama dari infeksi kulit dan
sistemik. Seperti halnya Staphylococcus aureus, Streptococcus sp. Juga terkenal
sebagai bakteri patogen untuk kulit. Streptococcus Grup A, B, C, D, dan G
merupakan bakteri patogen yang paling sering ditemukan pada manusia. Kandungan
M-protein pada bakteri ini menyebabkan bakteri ini resisten terhadap fagositosis.
Gejala sistemik dan lokal dimediasi oleh superantigens (SA). Antigen ini bekerja
dengan cara berikatan langsung pada molekul HLA-DR (Mayor Histocompability
Complex II (MHC II)) pada antigen-presenting cell tanpa adanya proses antigen.
Walaupun biasanya antigen konvensional memerlukan interaksi dengan kelima
elemen dari kompleks reseptor sel T, superantigen hanya memerlukan interaksi
dengan variabel dari pita B. Aktivasi non spesifik
dari sel T menyebabkan pelepasan masif Tumor Necrosis Factor-α (TNF-
α), Interleukin-1 (IL-1), dan Interleukin-6 (IL-6) darimakrofag. Sitokin
ini menyebabkangejala klinis berupa demam, ruam erythematous, hipotensi, dan cede
ra jaringan.
Faktor host seperti immunosuppresi, terapi glukokortikoid, dan atopic memainkan
peranan penting dalam pathogenesis dari infeksi Staphylococcus. Adanya trauma
ataupun inflamasi dari jaringan (luka bedah, luka bakar, trauma, dermatitis, benda
asing) juga menjadi faktor yang berpengaruh pada pathogenesis dari penyakit yang
disebabkan oleh bakteri ini.
Manifestasi Klinis
Penyakit ini dimulai dengan suatu vesikel atau pustul di atas kulit yang
eritematosa, membesar dan pecah (diameter 0,5 – 3 cm) dan beberapa hari
kemudian terbentuk krusta tebal dan kering yang sukar dilepas dari dasarnya.
Biasanya terdapat kurang lebih 10 lesi yang muncul. Bila krusta terlepas, tertinggal
ulkus superficial dengan gambaran “punched out appearance” atau berbentuk cawan
dengan dasar merah dan tepi meninggi. Lesi cenderung menjadi sembuh setelah
beberapa minggu dan meninggalkan sikatriks. Biasanya lesi dapat ditemukan pada
daerah ekstremitas bawah, wajah dan ketiak.
Gambar 2.10 Ektima. Ulkus dengan krusta tebal pada tungkai pasien yang menderita diabetes
dan gagal ginjal.
Gambar 2.11 Ektima pada aksila.
3. HFMD
Pathogenesis
HFMD mempunyai masa inkubasi 3-6 hari. Selama masa epidemik, virus
menyebar dengan sangat cepat dari satu anak ke anak yang lain. Setelah virus masuk
melalui jalur oral atau pernafasan akan terjadi replikasi awal pada faring dan usus,
kemungkinan dalam sel M mukosa. Replikasi awal pada faring dan usus diikuti
dengan multiplikasi pada jaringan limfoid seperti tonsil, Peyer patches dan kelenjar
limfe regional. Penyebaran ke kelenjar limfe regional ini berjalan dalam waktu 24
jam yang diikuti dengan viremia. Adanya viremia primer (viremia minor)
menyebabkan penyebaran ke sistem retikuloendotelial yang lebih jauh termasuk hati,
limpa, sumsum tulang dan kelenjar limfe yang jauh. Respon imun dapat membatasi
replikasi dan perkembangannya di luar sistem retikuloendotelial yang menyebabkan
terjadinya infeksi subklinis.
Infeksi klinis terjadi jika replikasi terus berlangsung di sistem retikuloendotelial
dan virus menyebar melalui viremia sekunder (viremia mayor) ke organ target seperti
susunan saraf pusat (SSP), jantung dan kulit. Kecenderungan terhadap organ target
sebagian ditentukan oleh serotipe yang menginfeksi. Coxsackievirus, echovirus dan
EV 71 merupakan penyebab tersering penyakit virus dengan manifestasi pada kulit.
HFMD yang disebabkan oleh coxscakievirus A16 biasanya berupa lesi mukokutan
ringan yang menyembuh dalam 7–10 hari dan jarang mengalami komplikasi. Namun
enterovirus juga dapat merusak berbagai macam organ dan sistem. Kerusakan ini
diperantarai oleh nekrosis lokal dan respon inflamasi inang.
Manifestasi Klinis
Gambaran klinis HFMD terjadi hampir 100% pada anak-anak usia prasekolah
yang terinfeksi namun hanya 11% individu dewasa yang terinfeksi memiliki kelainan
kulit. Setelah fase inkubasi 3 hingga 6 hari, penderita dapat mengeluh panas badan
yang biasanya tidak terlalu tinggi (38°C hingga 39°C), malaise, nyeri perut, dan
gejala traktus respiratorius bagian atas seperti batuk dan nyeri tenggorok. Dapat
dijumpai pula adanya limfadenopati leher dan submandibula.1 Eksantema biasanya
nampak 1 hingga 2 hari setelah onset demam, tetapi bisa bervariasi tergantung
serotipe yang terlibat.
Hampir semua kasus HFMD mengalami lesi oral yang nyeri. Biasanya jumlah lesi
hanya beberapa dan bisa ditemukan di mana saja namun paling sering ditemukan di
lidah, mukosa pipi, palatum durum dan jarang pada orofaring. Lesi dimulai dengan
makula dan papula berwarna merah muda cerah berukuran 5–10 mm yang berubah
menjadi vesikel dengan eritema di sekelilingnya. Lesi ini cepat mengalami erosi dan
berwarna kuning hingga abu-abu dikelilingi oleh halo eritema. Beberapa literatur lain
menyebutkan bentuk lesi ini sebagai vesikel yang cepat berkembang menjadi ulkus.
Lesi pada mulut ini dapat bergabung, sehingga lidah dapat menjadi eritema dan
edema.
Lesi kulit terdapat pada dua pertiga penderita dan muncul beberapa saat setelah
lesi oral. Lesi ini paling banyak didapatkan pada telapak tangan dan telapak kaki.
Selain itu dapat juga pada bagian dorsal tangan, sisi tepi tangan dan kaki, bokong dan
terkadang pada genitalia eksternal serta wajah dan tungkai. Lesi pada kulit dapat
bersifat asimtomatik atau nyeri. Timbul rash/ruam atau vesikel (lepuh
memerah/blister yang kecil dan rata), papulovesikel yang tidak gatal ditelapak tangan
dan kaki. Jumlahnya bervariasi dari beberapa saja hingga banyak. Setelah menjadi
krusta, lesi sembuh dalam waktu 7 hingga 10 hari tanpa meninggalkan jaringan parut.
4) Penegakan Diagnosis
1. EKTIMA
a. Anamnesis
Pasien biasanya datang dengan keluhan luka pada anggota gerak bawah. Pasien
biasanya menderita diabetes dan orang tua yang tidak peduli dengan kebersihan
dirinya.
Anamnesis ektima, antara lain:
- Keluhan utama. Pasien datang dengan keluhan berupa luka.
- Durasi. Ektima terjadi dalam waktu yang lama akibat trauma berulang, seperti
gigitan serangga.
- Lokasi. Ektima terjadi pada lokasi yang relatif sering trauma berulang, seperti
tungkai bawah.
- Perkembangan lesi. Awalnya lesi berupa pustul kemudian pecah membentuk
ulkus yang tertutupi krusta
- Riwayat penyakit sebelumnya. Misalnya, Diabetes melitus dapat menyebabkan
penyembuhan luka yang lama.
b. Pemeriksaan fisik
Effloresensi ektima berupa awalnya berupa pustul kemudian pecah membentuk
ulkus yang tertutupi krusta.
Gambar 2.13 Pada Lesi ektima yang diangkat krustanya akan terlihat ulkus yang dangkal.
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaaan penunjang yang dapat dilakukan. yaitu biopsi kulit dengan jaringan
dalam untuk pewarnaan Gram dan kultur. Selain itu, juda dapat dilakukan
pemeriksaan histopatologi.
Gambaran histopatologi didapatkan peradangan dalam yang diinfeksi kokus,
dengan infiltrasi PMN dan pembentukan abses mulai dari folikel pilosebasea. Pada
dermis, ujung pembuluh darah melebar dan terdapat sebukan sel PMN. Infiltrasi
granulomatous perivaskuler yang dalam dan superficial terjadi dengan edema endotel.
Krusta yang berat menutupi permukaan dari ulkus pada ektima.
Disinfeksi lesi dan jepit area yang akan dikeruk dengan ibu jari dan telunjuk hingga
iskemik sehingga hanya sedikit darah yang keluar:
Lakukan kerokan dengan menggunakan skalpel steril. Irisan dilakukan sampai sedalam
dermis; Kerokan dioleskan pada gelas alas dan difiksasi di atas api. Sediaan diwarnai
dengan pewanaan Ziehl Neelsen.
Pemeriksaan Histopatologis
Pada pasien dengan sistem imunologik seluler yang tinggi, akan tampak gambaran
tuberkel. Tuberkel terdiri atas sel epiteloid, sel datia Langhans dan limfosit. Pasien dengan
sistem imunologik seluler yang rendah, tampak sel Virchow atau sel lepra atau sel busa yang
merupakan bentuk histiosit yang tidak mampu memfagositosis M. leprae dan bahkan dijadikan
sebagai tempat untuk berkembang biak.
3. HMD
Diagnosis infeksi enterovirus seringkali berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Diagnosis laboratoris dapat ditegakkan melalui tes serologis, isolasi virus
dengan kultur dan teknik PCR.
Pemeriksaan serologis jarang dilakukan karena tidak dapat menunjukkan
serotipe yang spesifik dari enterovirus. Standar kriteria untuk mendiagnosis
infeksi enterovirus adalah dengan isolasi virus. Virus dapat diisolasi dan
didentifikasi melalui kultur dan teknik immunoassay dari lesi kulit, lesi
mukosa atau bahan feses.
Polymerase chain reaction (PCR) memberikan hasil yang cepat dalam
mendeteksi dan identifikasi serotipe enterovirus. Pemeriksaan ini menjadi uji
diagnostik yang sangat bernilai tetapi dibatasi oleh ketersediaannya dan
biayanya yang relatif mahal.
Pungsi lumbal merupakan pemeriksaan yang penting jika terjadi meningitis.
Profil dari cairan serebrospinalis pada penderita dengan meningitis aseptik
akibat enterovirus adalah lekosit yang sedikit meningkat, kadar gula yang
normal atau sedikit menurun, sedangkan kadar protein normal atau sedikit
meningkat.
5) PENATALAKSANAAN
1. Hidradenitis
Dokter menggunakan obat dan operasi untuk mengobati HS. Pilihan pengobatan
— atau kombinasi dari perawatan — dibuat sesuai kebutuhan pasien. Dokter
mempertimbangkan beberapa faktor dalam menentukan rencana terapi yang paling tepat:
- Keparahan penyakit
- Tingkat penyakit
- Kronis (seberapa sering lesi kambuh)
- Lokasi lesi
Sejumlah metode bedah yang berbeda telah dikembangkan yang berguna untuk
pasien tertentu di bawah keadaan khusus. Selain itu, banyak perawatan medis telah
dicoba — beberapa dengan lebih sukses dari yang lain. Tidak ada obat yang efektif untuk
semua pasien, dan Anda dan dokter Anda mungkin harus mencoba beberapa agen atau
kombinasi agen yang berbeda sebelum Anda menemukan rencana perawatan yang paling
sesuai untuk Anda.
Tujuan terapi dengan obat-obatan yang topikal (digunakan pada kulit) atau sistemik
(diminum) adalah:
Beberapa jenis obat yang umum digunakan adalah pencuci kulit antibakteri dan antibiotik
topikal mencegah infeksi sekunder dan suntikan kortikosteroid ke dalam lesi untuk
mengurangi peradangan. Obat lain yang dapat digunakan termasuk retinoid, hormon, agen
imunosupresif (seperti metotreksat), obat antidiabetes metformin, dan obat-obat anti-inflamasi
biologis seperti infliximab dan adalimumab.
Sejumlah tindakan tampaknya membantu banyak orang dengan HS. Dokter Anda dapat
membantu Anda menentukan yang mana kemungkinan yang terbaik untuk Anda. Namun, dua
di antaranya mungkin berlaku untuk kebanyakan pasien dengan HS Jika Anda merokok,
berhenti dan turunkan berat badan Anda.
Meskipun tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa berhenti merokok dan
menurunkan berat badan meningkatkan HS, keduanya faktor memiliki efek negatif pada
kesehatan secara keseluruhan. Juga, penurunan berat badan dapat membantu mencegah HS
dari memburuk — yang lebih kecil area kontak kulit-ke-kulit (dan, karenanya, berkeringat
dan menggosok), semakin kecil target untuk perkembangan lesi HS.
- Hindari trauma kulit (seperti bercukur di area, seperti ketiak, di mana terjadi jerawat)
- Cuci kulit Anda dengan lembut, dengan menggunakan zat pembersih yang
direkomendasikan oleh dokter Anda; pembersih seperti pencucian peroksida benzoyl,
yang digunakan oleh pasien dengan jerawat, mungkin cocok untuk banyak pasien
- Oleskan obat topikal sesuai petunjuk dan sesering yang ditentukan
- Hindari pakaian atau perban ketat atau menjengkelkan
- Ikuti panduan dokter Anda tentang antiperspirant atau deodoran
- Jagalah agar kulit tetap dingin (menjadi terlalu panas dan berkeringat dapat
menyebabkan suar HS).
Untuk mengurangi rasa sakit kista atau nodul, gunakan kompres panas selama 10 menit
setiap kali (gunakan bersih kain lap atau teh celup yang direndam dalam air
2. IMPETIGO
3. EKTIMA
6) KOMPLIKASI
1. Ektima
Komplikasi ektima, antara lain selulitis, erisipelas, gangren, limfangitis, limfadenitis
supuratif, dan bakteremia.
2. Lepra
Neuropati, mencakup penurunan fungsi sensorik, motorik, atau otonom saraf perifer;
Ulkus atau fisura yang dapat mengakibatkan osteomielitis hingga amputasi digiti;
Pembentukan kalus, akibat penurunan aktivitas kelenjar keringat;
Kontraktur sendi, akibat paralisis otot. Latihan fisis secara aktif maupun pasif diperlukan
untuk mencegah komplikasi ini.
Kelainan oftalmologis: penurunan sensoris kornea (neuropati trigeminal), lagoftalmos
(neuropati fasialis).
Pada reaksi ENL dapat ditemukanuveitis, dakulis, artritis, limfadenitis, neuritis, miositis,
maupun orchitis.
3. HFMD
Komplikasi serius jarang terjadi pada penderita HFMD. Komplikasi paling sering
terjadi akibat ulserasi oral yang nyeri, sehingga dapat mengganggu asupan oral dan
menyebabkan dehidrasi. Seperti halnya penyakit kulit lainnya, infeksi sekunder
karena bakteri juga dapat terjadi pada lesi kulit penderita HFMD. Satu komplikasi
yang jarang yaitu eczema coxsackium terjadi pada individu dengan eksema. Pada
penderita ini berkembang infeksi virus kutan diseminata yang sama dengan yang
terlihat pada eczema herpeticum. Komplikasi serius yang berkaitan dengan HFMD
dan paling banyak ditemui adalah meningitis aseptik. Meningitis aseptik jarang
mengancam jiwa dan pada penderita juga tidak terjadi komplikasi lanjutan yang
permanen. Epidemik EV 71 yang terjadi di Taiwan berakibat terjadinya bentuk
penyakit yang parah seperti ensefalitis, ensefalomielitis, polio-like syndromes,
miokarditis, edema pulmonum, perdarahan di paru-paru dan kematian. Huang dan
kawan-kawan (1999) mendeskripsikan komplikasi neurologis terkait EV 71 dalam
istilah sindroma neurologik yang terdiri dari aseptic meningitis, acute flaccid
paralysis dan brain stem encephalitis atau rhomboencephalitis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hueter S E. Buku Ajar Patofisiologi Ed.6 Vol.2. Jakarta: Elsevier; 2017
2. Fahri M, Hidyat N, Ismail S. Dermatitis Venenata. Jurnal Medical Profession (MedPro).
2019 Februari ; 1
3. Wolff K, et al. fitzpatrick’s color atlas and synopsis of clinical dermatology eight edition.
Unites states: McGraw Hill; 2017.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2015.
5. Djuanda A, et al. ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi keenam. Jakarta: FKUI; 2010.
6. James W, et al. Andrew’s Disease of the Skin Clinical Dermatology. Twelfth Edition.
Philadelphia: Elsevier; 2016.