Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

DETEKSI DINI PENDENGARAN

Pembimbing :

dr. H. Edy Riyanto Bakri., Sp.THT-KL

Disusun Oleh :

Isma Aulia Gustawi NPM :


119810026

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT THT-KL


RSUD WALED CIREBON
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
2021

i
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
Pemeriksaan Dini Pendengaran

Disusun Oleh:
Isma Aulia Gustawi
119810026

Telah disetujui
Cirebon, Mei 2021

Pembimbing,

dr. H. Edy Riyanto Bakri., Sp.THT-KL

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena berkah dan
rahmatNya penulis dapat menyelesaikan referat ini. Tujuan utama pembuatan referat ini adalah
untu mengetahui lebih dalam mengenai Pemeriksaan Dini Pendengaran serta melengkapi
syarat dalam menempuh program pendidikan profesi dokter di bagian Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorokan Kepala Leher.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pembimbing kami


yaitu dr. H. Edy Riyanto Bakri., Sp.THT-KL selaku konsulen Ilmu Penyakit THT-KL yang
telah bersedia memberikan bimbingan dalam proses penyelesaian referat ini juga untuk
dukungannya baik dalam mencari referensi yang lebih baik. Selain itu penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang berada dalam satu kelompok
kepaniteraan yang sama atas dukungan dan bantuan selama menjalani kepaniteraan ini.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karenanya
kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan referat yang akan
datang, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi Pembaca

Cirebon, Mei 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

Cover…………………………………………………………………………………i

Lembar Pengesahan………………………………...…….…………………………ii

Kata Pengantar………………………………………………………………………iii

Daftar Isi……………………………………………………………………………...iv

Bab I : Pendahuluan…………………………………………………………………1

1.1.Latar Belakang…………………………………………………………….1

Bab II : Tinjauan Pustataka…………………………………………………………3

2.1. Anatomi Telinga…………………………………………………………………3

2.2. Perkembangan Auditorik Pada Manusia…………………………………………11

2.4. Penyebab Gangguan Pendengaran Pada Bayi/Anak……………………………..12

2.5. Skrinning Pendengaran Pada Bayi……………………………………………….13

2.6.Program Skrinning Pendengaran Pada Bayi……………………………………..17

KESIMPULAN …………………………………………………………………….28

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….29

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Gangguan pendengaran pada bayi dan anak kadang disertai keterbelakangan
mental, gangguan emosional maupun afasia perkembangan. Umumnya seorang
bayi atau anak yang mengalami gangguan pendengaran lebih dahulu diketahui
keluarganya sebagai pasienyang terlambat berbicara (1).
Insidens gangguan pendengaran pada neonatus di Amerika berkisar antara 1-
3 dari 1000 kelahiran hidup. Sedangkan US Preventive Services Task Force
melaporkan bahwa prevalensi gangguan pendengaran neonatus di Neonatal
Intensive Care Unit (NICU) 10- 20 kali lebih besar dari populasi neonatus..(2)
Grote melaporkan bahwa program skrining pendengaran pada bayi belum mampu
mendeteksi 10-20 persen kasus gangguan pendengaran pada bayi sejak masa awal
kehidupan. Hal ini ditunjukan dengan perbandingan peningkatan prevalensi
gangguan pendengaran pada anak usia sekolah dibandingkan dengan prevalensi
gangguan pendengaran pada bayi yang telah diidentifikasi.(3) Pemerintah Inggris
memprediksi bahwa Prevalensi gangguan pendengaranpermanen pada bayi dapat
meningkat dua kali lipat dari prevalensi saat ini yang berkisar 1diantara 1000
kelahiran(4) Di Indonesia sampai saat ini belum ada data, karena belum dilakukan
program skrining pendengaran. Data menurut Survei Kesehatan Indera
Pendengaran di tujuh propinsi tahun 1994-1996 didapatkan 0,1% penduduk
menderita tulisejak lahir. (5)
Gangguan pendengaran pada bayi dan anak sulit diketahui sejak awal. Watkin
dkk melaporkan bahwa pada anak tuli berat bilateral hanya 49% orangtua mereka
yang mencurigai kemungkinan adanya gangguan pendengaran tersebut,
sedangkan pada anak dengan gangguan pendengaran ringan sampai sedang atau
unilateral hanya 29%. DiAmerika gangguan pendengaran rata-rata diidentifikasi
antara usia 20-24 bulan dan gangguan

i
pendengaran ringan sampai sedang umumnya tidak terdeteksi sampai usia
48 bulan atau lebih.(5)
Gangguan pendengaran pada bayi dapt menjadi masalah bagi
perkembangan anak. Jika dibandingkan dengan anak normal, anak yang
mengalami gangguan pendengaran akan mengalami kesulitan dalam belajar
bahasa serta kemampuan komunikasi. Gangguan pendengaran pada anak
terkait dengan keterlambatan berbahasa, belajar dan kemampuan berbicara
serta pencapaian hasil belajar yang rendah. Gangguan pendengaran pada
anak juga akan menjadi masalah terkait dengan permasalahan perilaku,dan
buruknya kemampuan adaptasi anak pada lingkungan.(6)

1.2 Tujuan Umum


Tujuan penulsan referat ini adalah untuk memberikan penjelasan
mengenai deteksi dini pada pendengaran

1.3 Tujuan Khusus


Untuk memenuhi tugas pembuatan referat pada Kepaniteraan Klinik
THT-KL di RSUD Waled Kabupaten Cirebon.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI TELINGA


2.1.1 Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran
tympani. Telinga luar atau pinna merupakan gabungan dari tulang rawan yang
diliputi kulit. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga
(meatus akustikus eksternus) berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada
sepertiga bagian luar, di sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak
kelenjar serumen (modifikasikelenjar keringat = Kelenjar serumen) dan rambut.
Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian
dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen, dua pertiga bagian dalam
rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2,5 – 3 cm. Meatus dibatasi oleh
kulit dengan sejumlah rambut, kelenjar sebasea, dan sejenis kelenjar keringat yang
telah mengalami modifikasi menjadi kelenjar seruminosa, yaitu kelenjar apokrin
tubuler yang berkelok-kelok yang menghasilkan zat lemak setengah padat berwarna
kecoklat-coklatan yang dinamakan serumen (minyak telinga). Serumen berfungsi
menangkap debu dan mencegah infeksi1.

Gambar 2.1 : Telinga luar, telinga tengah, telinga dalam. Potongan Frontal
Telinga1

3
2.1.2 Telinga Tengah
Telinga tengah berbentuk kubus dengan :
Ø Batas luar : Membran timpani
Ø Batas depan : Tuba eustachius
Ø Batas Bawah : Vena jugularis (bulbus jugularis)
Ø Batas belakang : Aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis.
Ø Batas atas : Tegmen timpani (meningen / otak )
Ø Batas dalam : Berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis
horizontal, kanalis fasialis,tingkap lonjong (oval
window),tingkap bundar (round window) dan
promontorium.
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang
telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut Pars
flaksida (Membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah Pars Tensa (membrane
propia). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit
liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa
saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi ditengah, yaitu lapisan yang
terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier
dibagian luar dan sirkuler pada bagian dalam1.
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membrane timpani disebut
umbo. Dimembran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkuler dan radier. Serabut
inilah yang menyebabkan timbulnya reflek cahaya yang berupa kerucut. Membran
timpani dibagi dalam 4 kuadran dengan menarik garis searah dengan prosesus
longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo, sehinggadidapatkan
bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan serta bawah belakang, untuk
menyatakan letak perforasi membrane timpani1.
Didalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun
dari luar kedalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Tulang pendengaran didalam
telinga tengah saling berhubungan .Prosesus longus maleus melekat pada
membrane timpani, maleus melekat pada inkus dan inkus melekat pada stapes.

4
Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan
antar tulang-tulang pendengaran merupakan persendian1.
Telinga tengah dibatasi oleh epitel selapis gepeng yang terletak pada lamina
propria yang tipis yang melekat erat pada periosteum yang berdekatan. Dalam
telinga tengah terdapat dua otot kecil yang melekat pada maleus dan stapes yang
mempunyai fungsi konduksi suara. Maleus, inkus, dan stapes diliputi oleh epitel
selapis gepeng. Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Ditempat ini
terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah
dengan antrum mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang
menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah1.

Gambar 2.2 : Membran Timpani1


Telinga tengah berhubungan dengan rongga faring melalui saluran
eustachius (tuba auditiva), yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan tekanan
antara kedua sisi membrane tympani. Tuba auditiva akan membuka ketika mulut
menganga atau ketika menelan makanan. Ketika terjadi suara yang sangat keras,
membuka mulut merupakan usaha yang baik untuk mencegah pecahnya membran
tympani. Karena ketika mulut terbuka, tuba auditiva membuka dan udara akan
masuk melalui tuba auditiva ke telinga tengah, sehingga menghasilkan tekanan
yang sama antara permukaan dalam dan permukaan luar membran tympani1.

2.1.3 Telinga Dalam

5
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah
lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau
puncak koklea disebut holikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani
dengan skala vestibuli2.
Kanalis semi sirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan
membentuk lingkaran yang tidak lengkap2.
Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala
timpani sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala
vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi
endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membrane vestibuli (Reissner’s
membrane) sedangkan dasar skala media adalah membrane basalis. Pada membran
ini terletak organ corti2.
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut
membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel
rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis corti, yang membentuk organ corti2.

Gambar 2.3 : Gambar labirin bagian membrane labirin bagian tulang, Telinga
Dalam2

6
Koklea
Bagian koklea labirin adalah suatu saluran melingkar yang pada manusia
panjangnya 35mm. Koklea bagian tulang membentuk 2,5 kali putaran yang
mengelilingi sumbunya. Sumbu ini dinamakan modiolus, yang terdiri dari
pembuluh darah dan saraf. Ruang di dalam koklea bagian tulang dibagi dua oleh
dinding (septum). Bagian dalam dari septum ini terdiri dari lamina spiralis ossea.
Bagian luarnya terdiri dari anyaman penyambung, lamina spiralis membranasea.
Ruang yang mengandung perilimf ini dibagi menjadi : skala vestibule (bagian atas)
dan skala timpani (bagian bawah). Kedua skala ini bertemu pada ujung koklea.
Tempat ini dinamakan helicotrema. Skala vestibule bermula pada fenestra ovale dan
skala timpani berakhir pada fenestra rotundum. Mulai dari pertemuan antara lamina
spiralis membranasea kearah perifer atas, terdapat membrane yang dinamakan
membrane reissner. Pada pertemuan kedua lamina ini, terbentuk saluran yang
dibatasi oleh:2
1. membrane reissner bagian atas
2. lamina spiralis membranasea bagian bawah
3. dinding luar koklea
Saluran ini dinamakan duktus koklearis atau koklea bagian membrane yang
berisi endolimf. Dinding luar koklea ini dinamakan ligamentum spiralis.disini,
terdapat stria vaskularis, tempat terbentuknya endolimf2.

Gambar 2.4 : Koklea2


Didalam lamina membranasea terdapat 20.000 serabut saraf. Pada
membarana basilaris (lamina spiralis membranasea) terdapat alat korti. Lebarnya

7
membrane basilaris dari basis koklea sampai keatas bertambah dan lamina spiralis
ossea berkurang. Nada dengan frekuensi tinggi berpengaruh pada basis koklea.
Sebaliknya nada rendah berpengaruh dibagian atas (ujung) dari koklea2.

GAMBAR 2.5 : Organ korti2


Pada bagian atas organ korti, terdapat suatu membrane, yaitu membrane
tektoria. Membrane ini berpangkal pada Krista spiralis dan berhubungan dengan
alat persepsi pada alat korti. Pada alat korti dapat ditemukan sel-sel penunjang, sel-
sel persepsi yang mengandung rambut. Antara sel-sel korti ini terdapat ruangan
(saluran) yang berisi kortilimf2.
Duktus koklearis berhubungan dengan sakkulus dengan peralatan duktus
reunions. Bagian dasar koklea yang terletak pada dinding medial cavum timpani
menimbulkan penonjolan pada dinding ini kearah cavum timpani. Tonjolan ini
dinamakan promontorium2.

Vestibulum
Vestibulum letaknya diantara koklea dan kanalis semisirkularis yang juga
berisi perilimf. Pada vestibulum bagian depan, terdapat lubang (foramen ovale)
yang berhubungan dengan membrane timpani, tempat melekatnya telapak (foot
plate) dari stapes. Di dalam vestibulum, terdapat gelembung-gelembung bagian
membrane sakkulus dan utrikulus. Gelembung-gelembung sakkulus dan utrikulus
berhubungan satu sama lain dengan perantaraan duktus utrikulosakkularis, yang
bercabang melalui duktus endolimfatikus yang berakhir pada suatu lilpatan dari
duramater, yang terletak pada bagian belakang os piramidalis. Lipatan ini
dinamakan sakkus endolimfatikus. Saluran ini buntu2.

8
Sel-sel persepsi disini sebagai sel-sel rambut yang di kelilingi oleh sel-sel
penunjang yang letaknya pada macula. Pada sakkulus, terdapat macula sakkuli.
Sedangkan pada utrikulus, dinamakan macula utrikuli2.

Kanalis semisirkularisanlis
Di kedua sisi kepala terdapat kanalis-kanalis semisirkularis yang tegak lurus
satu sama lain. Didalam kanalis tulang, terdapat kanalis bagian membran yang
terbenam dalam perilimf. Kanalis semisirkularis horizontal berbatasan dengan
antrum mastoideum dan tampak sebagai tonjolan, tonjolan kanalis semisirkularis
horizontalis (lateralis)2.
Kanalis semisirkularis vertikal (posterior) berbatasan dengan fossa crania
media dan tampak pada permukaan atas os petrosus sebagai tonjolan, eminentia
arkuata. Kanalis semisirkularis posterior tegak lurus dengan kanalis semi sirkularis
superior. Kedua ujung yang tidak melebar dari kedua kanalis semisirkularis yang
letaknya vertikal bersatu dan bermuara pada vestibulum sebagai krus komunis2.
Kanalis semisirkularis membranasea letaknya didalam kanalis
semisirkularis ossea. Diantara kedua kanalis ini terdapat ruang berisi perilimf.
Didalam kanalis semisirkularis membranasea terdapat endolimf. Pada tempat
melebarnya kanalis semisirkularis ini terdapat sel-sel persepsi. Bagian ini
dinamakan ampulla2.
Sel-sel persepsi yang ditunjang oleh sel-sel penunjang letaknya pada Krista
ampularis yang menempati 1/3 dari lumen ampulla. Rambut-rambut dari sel
persepsi ini mengenai organ yang dinamakan kupula, suatu organ gelatinous yang
mencapai atap dari ampulla sehingga dapat menutup seluruh ampulla2.

2.1.4 FISIOLOGI PENDENGARAN


Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang kekoklea.
Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ketelinga tengah
melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengimplikasi getaran melalui
daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani
dan tingkap lonjong3. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke

9
stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibule
bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane Reissner yang mendorong
endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relative antara membran basilaris
dan membran tektoria3. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang
menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion
terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini
menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter
ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu
dilanjutkan ke nucleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di
lobus temporalis4,5

Gambar 2.6 : Fisiologi Pendengaran4

Gerakan cairan di dalam perilimfe ditimbulkan oleh getaran jendela oval


mengikuti dua jalur: (1) gelombang tekanan mendorong perilimfe pada vestibularis
ke depan, kemudian mengelilingi helikotrema menuju basilaris yang akan
menyebabkan jendela bundar menonjol ke luar dalam rongga telinga tengah untuk
mengkompensasi peningkatan tekanan, dan (2) “jalan pintas” dari skala melalui
basilaris ke skala timpani. Perbedaan kedua jalur ini adalah transmisi gelombang
tekanan melalui basilaris menyebabkan ini bergetar secara sinkron dengan
gelombang tekanan.

10
Organ corti menumpang pada basilaris, sehingga sel-sel rambut juga
bergerak naik turun sewaktu basilaris bergetar. Rambut-rambuttersebut akan
membengkok ke depan belakang sewaktu basilaris menggeser posisinya pada
sehingga menyebabkan saluran-saluran ion gerbang mekanis terbuka dan tertutup
secara bergantian. Hal ini mengakibatkan perubahan potensial berjenjang di
reseptor, yang menimbulkan perubahan potensial berjenjang di reseptor, sehingga
terjadi perubahan pembentukan potensial aksi yang merambat ke otak. Gelombang
suara diterjemahkan menjadi sinyal saraf yang dipersepsikan otak sebagai sensasi
suara.5
2.2 PERKEMBANGAN AUDITORIK PADA MANUSIA

Perkembangan auditorik pada manusia sangat erat hubungannya dengan


perkembangan otak. Neuron dibagian korteks mengalami proses pematangan dalam
waktu 3 tahun pertama kehidupan, dan masa 12 bulan pertambahan kehidupan
terjadi perkembangan otak yang sangat cepat. Berdasarkan pertimbangan tersebut
diatas, upaya untuk melakukan deteksi gangguan pendengaran harus dilakukan
sedini mungkin agar habilitas pendengaran sudah dapat di mulai pada saat
perkembangan otak masih berlangsung. (1)
Telah diteliti bahwa koklea mencapai fungsi normal seperti orang dewasa
setelah usia gestasi 20 minggu. Pada masa tersebut janin dalam kandungan telah
dapat memberikan respon terhadap suara yang ada disekitarnya, namun reaksi janin
masih bersifat refleks seperti refleks moro, terhentinya aktivitas (cessation reflex)
dan refleks auropalpebral yang konsisten pada janin normal usia 24-25 minggu. (1)
Bersamaan dengan proses maturasi fungsi auditorik, berlangsung pula
perkembangan kemampuan berbicara. Kemahiran wicara dan berbahasa pada
seseorang hanya dapat dicapai bila input sensorik (auditorik) dan motorik dalam
keadaan normal.perkembangan bicara erat kaitannya dengan tahap mendengar, oleh
karenanya dengan memahami tahap perkembangan bicara dapat diperkirakan
adanya gangguan pendengaran.(1)

11
2.3 PENYEBAB GANGGUAN PENDENGARAN PADA BAYI/ANAK

Penyebab gangguan pendengaran pada bayi dapat dibedakan berdasarkan


saat terjadinyan gangguan pendengaran, yaitu masa pra natal,perinatal, dan
postnatal(1).
A. Masa Pranatal
Dapat berupa faktor genetik herediter ataupun faktor non genetik seperti
gangguan pada masa kehamilan, kelainan struktur anatomi dan
kekurangan zat gizi seperti yodium. Gangguan pada masa kehamilan
terutama pada trimester pertama merupakan periode yang sangat
penting dalam menentukan gangguan pendengaran pada bayi. Infeksi
bakteri atau virus serta penggunaan obat-obat ototoksik dan teratogenik
pada masa ini berpotensi menyebabkan gangguan pendengaran pada
bayi. (1)

B. Masa Perinatal

Yang menjadi faktor resiko gangguan pendengaran pada bayi pada


masa ini antara lainkelahiran prematur, bayi dengan berat badan lahir
rendah, hiperbilirubinemia, dan asfiksia. Umumnya ketulian yang
terjadi akibat faktor pra dan perinatal adalah tuli sensorineural bilateral
dengan derajat ketulian berat dan sangat berat. (1)

C. Masa Postnatal

Hal ini dapat terjadi akibat adanya infeksi bakteri atau virus seperti
rubella,campak, parotis, infeksi otak, perdarahan pada telinga tengah
dan trauma temporal. (1)

12
2.4 SKRINING PENDENGARAN PADA BAYI

Untuk dapat melakukan deteksi dini gangguan pendengaran pada seluruh


bayi dan anak relatif sulit, karena akan membutuhkan waktu yang lama dan
biaya yang besar. Program skrining sebaiknya di prioritaskan pada bayi dan
anak yang mempunyai risiko tinggi terhadap gangguan pendengaran. Untuk
maksud tersebut Joint Comitee on infant Hearing (2000) menetapkan pedoman
registrasi resiko tinggi terhadap ketulian sebagai berikut(1) :

Untuk bayi 0-28 :


- Riwayat keluarga dengan tuli sensorineural sejak lahir
- Infeksi masa hamil
- Kelainan kraniofasial termasuk kelainan pada pinna dan liang telinga
- Berat badan lahir <1500 gr
- Hiperbilirubinemia yang memerlukan transfusi
- Obat ototoksik
- Meningitis bakterialis
- Nilai apgar 0-4 pada menit pertama; 0-6 pada menit kelima
- Ventilasi mekanik 5 hari atau lebih di NICU
Untuk bayi usia 29 hari-2 tahun :
- Kecurigaan orang tua atau pengasuh tentang gangguan pendengaran,
keterlambatan berbicara, berbahasa dan atau keterlambatan perkembangan
- Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran menetap sejak masaanak-
anak
- Keadaan yang berhubungan dengan sindroma tertentu yang diketahui
memilki hubungan dengan tuli sensorineural,atau konduktif atau gangguan
fungsi tuba eustachius. Infeksi postnatal yang menyebabkan gangguan
pendengaran sensorineural termasuk meningitis bakterialis
- Infeksi intrauterin
- Hiperbilirubinemia yang memerlukan transfusi tukar, hipertensi pulmonal
yang memerlukan ventilator.

13
- Sindroma yang berhubungan dengan gangguan pendengaran yang
progresif seperti usher syndrom,neurofibromatosis,osteoporosis.
- Adanya kelainan neurodegeneratif seperti hunter syndrome dan kelainan
neuropati sensomotorik misalnya friederich’s ataxia, charcot-marie tooth
syndrome
- Trauma kapitis
- Otitis media yang menetap dan berulang disertai efusi telinga tengah
minimal 3 bulan.

Bayi yang mempunyai salah satu faktor risiko diatas mempunyai kemungkinan
ketulian 10,2 kali lebih besar. Bila terdapat 3 buah faktor risiko, kecenderungan
menderita ketulian diperkirakan 63 kali lebih besar dibanding dengan bayi yang
tidak memilki faktor risiko.
Perkiraan adanya gangguan pendengaran pada bayi dan anak dapat dilihat
berdasarkan kemampuan bicara pada anak. perkiraan adanya gangguan
pendengaran pada bayi dan anak berdasarkan kemampuan bicara dapat dilihat
jika(1):
a) Usia 12 bulan : anak belum mampu mengoceh (babling) atau
meniru bunyi
b) Usia 18 bulan : tidak dapat menyebutkan 1 kata yang mempunyai
arti
c) 24 bulan : perbendaharaan kata kurang dari 10 kata
d) 30 bulan : belum dapat merangkai kata-kata
Skrining yang dapat dilakukan untuk mendetesi gangguan pendengaran pada
bayi sebelum dilakukan tes pendengaran. Adapun metode-metode pendekatan
yang dapat dilakukan antara lain :

1) Family Questionaries
Merupakan metode dimana orang tua atau perawat bayi/anak ditanyakan mengenai
respon bayi terhadap suara dan perkembangan wicara. Bayi yang memiliki respon
buruk terhadap suara dan perkembangan wicara dapat dijadikan sebagai rujukan

14
untuk dilakukan pemeriksaan audiologi(13)

2) Behavioral Measure
Melalui tahapan ini, bayi yang diperiksa akan dinilai responnya terhadap
behavioural measuring devices ( mulai dari penanda suara yang sederhana
sampai penanda suara yang kompleks ) dapat diidentifikasi jika terdapat
gangguan pendengaran. (13)

3) Physiological Measures
Pada pemeriksaan ini metode Otoacoustic Emission (OAE) dan Auditory
Brainstem Response (ABR) merupakan pemeriksaan yang direkomendasikan
efektif untuk skreening gangguan pendengaran pada bayi dan anak-anak. (13)
Meskipun tanpa menggunakan alat pemeriksaan yang mungkin sulit didapatkan,
orang tua dapat secara sederhana melakukan skrining pendengaran kepada
anaknya dengan memberikan stimulus suara dan memperhatika respon anak
terhadap stimulus tersebut. Berikut ini adalah respon normal yang diberikan
bayi dan anak terhadap stimulus suara berdasarkan kelompok umurnya. (14)
a. Respon neonatal
Selama minggu pertama kehidupan, respon bayi terhadap suara keras adalah
dengan refleks terkejut. Respon ini termasuk aural palpebra reflex, perubahan
pada denyut jantung, dan pola dari pernapasan, sentakan kepala ke belakang,
respon menangis, gerakan tubuh (refleks morrow) atau kadang-kadang
penghentian aktifitas. Nada murni antara 500-4000Hz dengan intensitas 85-
95dB dapat menimbulkan refleks ini pada neonatus sampai umur 2 minggu. (14)
b. Respon pada bayi di bawah 4 bulan
Pada usia ini mulai memperhatikan suara dan merespon dengan diam dan
mendengarkan. Pada usia 4 bulan, bayi diam dan tersenyum untuk merespon
suara orang tuanya, bahkan ketika sumber suara tak terlihat. Respon in terutama
muncul pada suara keras dan tidak tetap pada suara yang lebih tenang. (14)

15
c. Respon pada usia 4-6 bulan
Pada usia ini bayi mulai menggerakkan kepala ke sumber suara dengan lebih
konsisten. Respon ini terjadi juga pada intensitas suara yang rendah(14)
d.Respon pada usia 7-9 bulan
Pada usia ini anak dapat menentukan lokasi suara intensitas rrendah secara tepat
pada arah horizontal.Anak akan bergerak ke arah suara orang tuanya yang
berada di luar kamar dan mencari sumber suara yang menarik perhatiannya.
Anak juga akan berceloteh nyaring dan mulai untuk meniru suara-suara dengan
lebih jelas. (14)
e. Respon pada usia 10-12 bulan
Pada usia ini, anak dapat melokalisasi suara intensitas rendah pada berbagai
tempat bila ia tidak terlalu sibuk dengan kegiatan lain. Pengucapan kata-kata
mulai perkembang untuk kata-kata tunggal seperti namanya, kata tidak, dan
objek yang telah dikenal baik olehnya. (14)
f. Respon pada usia 13-24 bulan
Anak pada usia ini mampu melokalisasi suara secara cepat tetapi mulai dapat
mengantisipasi dan mengamati sumber suara selama uji tingkah laku dilakukan.
Terjadi perkembangan dalam pemahaman kata-kata, juga beberapa anak usia 18
bulan dapat mengenali beberapa bagian tubuh. (14)
g. Respon pada usia lebih dari 2 tahun
Pada usia ini anak biasanya akan bereaksi terhadap rangsangan suara yang
pertama diberikan, dan akan mengabaikan suara yang diberikan berikutnya.(14)

16
2.5 PROGRAM SKRINING PENDENGARAN PADA BAYI

Gejala awal gangguan pendengaran pada umumnya tidak jelas sehingga


program skrining menjadi cara yang paling efektif untuk deteksi dini. Deteksi
dini gangguan pendengaran dan intervensi segera sangat mempengaruhi
prognosis. Untuk deteksi dini,diperlukan suatu program skrining gangguan
pendengaran dengan alat skrining yang efektif, efisien, dan mudah digunakan
serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. The Centers for
Disease Control and Prevention Early Hearing Detection and Intervention
(EHDI) dan The Joint Commitee on Infant Hearing (JCIH),
merekomendasikan skrining gangguan pendengaran pada semua bayi baru
lahir sebelum berusia tiga bulan dan memberikan intervensi sebelum berusia
enam bulan agar proses tumbuh kembang tidak terhambat. Pemeriksaan
dengan teknologi elektrofisiologi (BERA (Brainstem Evoked Response
Audiometry) dan Otoacoustic Emission (OAE)) merupakan alat skrining yang
direkomendasikan karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi
dalam mendeteksi gangguan pendengaran. (15)

Baku emas (gold standard) pemeriksaan skrining pendengaran


pada bayi
(1) Otoacoustic Emission(OAE)
(2) Automated ABR ( BERA Otomatik)

Pemeriksaan pendengaran pada bayi dan anak harus dapat menentukan(1) :


a. Jenis gangguan pendengaran (sensorineural, konduktif, dan campuran)
b. Derajat gangguan pendengaran (ringan sampai berat)
c. Lokasi kelainan (telinga luar, tengah, dalam, koklea, retrokoklea)
d. ambang pendengaran dengan frekuensi spesifik
Skrining gangguan pendengaran di rumah sakit (hospital based hearing
screening) dikelompokan menjadi(1) :

1. Universal Newborn Hearing Screening (UNHS)


2. Targeted Newborn Hearing Screening

1. Universal Newborn Hearing Screening (UNHS)


Dilakukan pada semua bayi baru lahir (dengan atau tanpa faktor risiko
terhadap gangguan pendengaran). Skrining awal dilakukan dengan
pemeriksaan Otoacoustic Emission (OAE) sebelum bayi keluar dari rumah
sakit (usia 2 hari). Bila bayi lahir pada fasilitas kesehatan yang tidak memiliki
sarana OAE, paling lambat pada usia 1 bulan telah melakukan pemeriksaan
OAE di tempat lain. Bayi dengan hasil skrining Pass (lulus) maupun Refer
(tidak lulus) harus menjalani pemeriksaan BERA (atau BERA otomatis) pada
usia 1 – 3 bulan. Pada usia 3 bulan, diagnosis harus sudah dipastikan
berdasarkan hasil pemeriksaan: OAE, BERA, timpanometri (menilai
kondisi telinga tengah). Untuk bayi yang telah dipastikan mengalami
gangguan pendengaran sensorineural, perlu dilakukan pemeriksaan ASSR
(Auditory Steady State Response) atau BERA dengan stimulus tone burst,
agar diperoleh informasi ambang dengar pada masing-masing frekuensi; hal
ini akan membantu proses pengukuran alat bantu dengar yang optimal.
Khusus untuk bayi yang tidak memiliki liang telinga (atresia) diperlukan
pemeriksaan tambahan berupa BERA hantaran tulang (bone conduction).
Berdasarkan tahapan waktu tersebut di atas, habilitasi pendengaran sudah
harus dimulai pada usia 6 bulan.(16)
Kriteria UNHS:
1. Mudah dikerjakan serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi
sehingga kejadian refer minimal.
2. Tersedia intervensi untuk habilitasi gangguan pendengaran.
3. Skrining, deteksi dan intervensi yang dilakukan secara dini akan
menghasilkan outcome yang baik.
4. Cost-effective.
5. Kriteria keberhasilan : cakupan (coverage) 95 %, nilai refferal : < 4 % (16)

2. Targeted Newborn Hearing Screening

Skrining pendengaran yang dilakukan hanya pada bayi yang mempunyai


faktor risiko terhadap gangguan pendengaran. Kelemahan metode ini adalah
sekitar 50 % bayi yang lahir tuli tidak mempunyai faktor risiko. Model ini
biasanya dilakukan di NICU (Neonatal ICU) atau ruangan Perinatologi. (16)
Adapun jenis-jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan pada skrining
pendengaran pada bayi antara lain :
A. Behavioral Observation Audiometry (BOA)

Tes BOA dilakukan dengan memprovokasi respon perilaku untuk stimulus


akustik dan respon gerakan tubuh, pelebaran mata, membuka mata, atau atau
perubahan tingkat menghisapnya setelah diberikan stimulus. Digunakan untuk
bayi baru lahir sampai usia 6 bulan. Tes ini digunakan untuk menyingkirkan
gangguan pendengaran pada bayi.(17)
Tujuan : membantu dalam menentukan perkembangan kemampuan
audiotorik secara global. Tes ini tidak tepat jika digunakan sebagai skrining
pendengaran atau untuk menentukan ambang batas pendengaran, atau untuk
memilih dan memodifikasi proses amplifikasinya.(17)
Sasaran pemeriksaan : bayi dan neonatal berusia kurang dari 6 bulan.
Metode :
- Tes dilakukan di ruangan tenang
- Otoskopi : bukanlah sebuah prasyarat dalam pemeriksaan ini,
pemeriksaan eksternal telinga meliputi apakah terrdapat deformitas dan
abnornmalitas.
- Persiapan pasien :’ pasien berada pada keadaan yang tenang dan
pencahayaan yang mendukung untuk menidurkan pasien,duduk di car
seat, digendong, atau dibaringkan memakai bantal. Jika bayi berada di
pangkuan orang tua, harus dipastikan bahwa orang tua tidak akan
memberikan isyarat bagi bayi ketika pemeriksaan berlangsung.
- Rangsangan yg direkomendasikan : stimulus akustik yang kompleks
(seperti berbicara-bising) antara 60 dan 90 dB. Durasi pemberian
stimulus antara 3-4 detik, respon pada bayi yang lebih muda lebih lama
dari bayi yg lebih tua.
- Tidak ada suara lain atau percobaan lain yang dapat ditangkap oleh bayi
yang dapat memberikan interpretasi salah pada gerakan si bayi.
- Hanya 2-3 stimulus yang mungkin diberikan pada bayi.

Interpretasi : pada keadaan normal dapat terlihat refleks terkejut pada


pemberian stimulus 60-90dB. Refleks terkejut sangat dipengaruhi oleh
keadaan psikologi bayi, seperti jika bayi kelaparan atau kelelahan. Bayi harus
diberi perhatian khusus jika ia tidak membrikan refleks terkejut dan dapat
ditindaklanjuti dengan menghubungkan hasil yang diperoleh pada
pemeriksaan ini denggan pemeriksaan lainnya. Pada pemeriksaan ini hanya
diinterpretasikan sebagai ada respon dari bayi atau tidak ada respon. Tidak
ada interpretasi seperti batas respon level pada pasien.(18)

Gambar 1. Pemeriksaan BOA (19)


A. Timpanometri

Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang bertujuan untuk menilai


fungsi telinga tengah dan mengevaluasi otitis media dan gangguan
telinga tengah lainnya. Sasaran dari pemeriksaan ini adalah bayi dan
anak-anak. Gambaran timpanometri yang abnormal ( adanya cairan atau
tekanan negatif ditelinga tengah) merupakan petunjuk adanya gangguan
pendengaran konduktif(1)

Gambar 2 . Timpanometer(21)

Melalui probe tone (sumbat liang telinga) yang dipasang pada liang telinga
dapat diketahui besarnya tekanan di liang telinga berdasarkan energi suara
yang dipantulkan kembali (ke arah luar) oleh gendang telinga. Pada orang
dewasa atau bayi berusia diatas 7 bulan digunakan probe tone frekuensi
226 Hz. Khusus untuk bayi di bawah usia 6 bulan tidak digunakan probe
tone 226 Hz karena akan terjadi resonansi pada liang telinga tengan
sehingga harus digunakan probe tone frekuensi tinggi (668,678 atau 1000
hz). (1)

Terdapat 4 jenis timpanogram (1) yaitu ;


a) Tipe A ( normal )
Terdapat pada fungsi telinga tengah yang normal. mempunyai bentuk khas,
dengan puncak imitans berada pada titik 0 daPa dan penurunan imitans
yang tajam dari titik 0 ke arah negatif atau positif. Kelenturan maksimal
terjadi pada atau dekat tekanan udara sekitar, memberi kesan tekanan udara
telinga tengah yang normal.
b) Tipe Ao (diskontinuitas tulang-tulang pendengaran)
c) Tipe As (kekakuan rangkaian tulang pendengaran)
• Terdapat pada otosklerosis dan keadaan membran timpani yang
berparut.
• Timpanogram kelihatan seperti tipe A (normal), di mana puncak
berada atau dekat titik 0 daPa, tapi dengan ketinggian puncak yang
secara signifikan berkurang. Huruf s di belakang A berarti stiffness
atau shallowness.
• Kelenturan maksimal terjadi pada atau dekat tekanan udara sekitar,
tapi kelenturan lebih rendah daripada tipe A. Fiksasi atau kekauan
sistem osikular seringkali dihubungkan dengan tipe As.
d) Tipe B (cairan didalam telinga tengah)
• Timpanogram tidak memiliki puncak melainkan pola cenderung
mendatar, atau sedikit membulat yang paling sering dikaitkan dengan
cairan di telinga tengah (kavum timpani), misalnya pada otitis media
efusi. ECV dalam batas normal, terdapat sedikit atau tidak ada
mobilitas pada telinga tengah. Bila tidak ada puncak tetapi ECV >
normal, ini menunjukkan adanya perforasi pada membran timpani.
e) Tipe C (gangguan fungsi tuba eustachius)
• Terdapat pada keadaan membran timpani yang retraksi dan
malfungsi dari tuba Eustachius.Tekanan telinga tengah dengan
puncaknya di wilayah tekanan negatif di luar -150 mm H2O
indikatif ventilasi telinga tengah miskin karena tabung estachius
disfungsi. Pola timpanometrik, dalam kombinasi dengan pola
audiogram, ijin diferensiasi antara dan klasifikasi gangguan
telinga tengah.
• Suatu timpanogram berbentuk huruf W dihubungkan dengan parut
atrofik pada membrana timpani atau dapat pula suatu adhesi
telinga tengah, namun biasanya membutuhkan nada dengan
frekuensi yang lebih tinggi sebelum dapat didemonstrasikan.(20)
• Timpanometri merupakan pemeriksaan pendahuluan sebelum tes
OAE, dan apabila terdapat gangguan pada telinga tengah maka
pemeriksaan OAE harus di tunda sampai telinga tengah normal. (1)

Gambar 3. Timpanogram

B. Otoacoustic Emission (OAE)


Otoaacoustic emission merupakan produk sampingan koklea berupa
energi bunyi yang tidak dikirimkan ke saraf pendengaran melainkan
kembali menuju liang telinga. Dasar biologik OAE yaitu gerakan sel rambut
luar koklea yang sangat kecil, memproduksi energi mekanik yang diubah
menjadi energi akustik sebagai respons terhadap getaran dari organ di
telinga tengah. Sel rambut luar koklea ini sangat rentan terhadap faktor
eksternal (suara berlebihan), internal (bakteri, virus) dan kondisi (defek
genetik).(4)
Terdapat dua jenis OAE yaitu 1). Spontaneous OAE (SPOAE) dan
2). Evoked OAE. Spontaneous OAE (SPOAE)adalah mekanisme aktif
koklea untukmemproduksi OAE tanpa harus diberikan stimulus, namun
tidak semua orang dengan pendengaran normal memilki SPOAE. EOAE
hanya akan timbul bila diberikan stimulus akustik, dibedakan menjadi (1).
Transient Evoked OAE (TEOAE) dimana stimulus berupa click dan (2).
Distortion Product OAE (DPOAE) menggunakan stimulus berupa 2 buah
nada murni yang berbeda frekuensi dan intensitasnya.(1)

Gambar 4. a. alat untuk pemeriksaan OAE(1)

Pada telinga sehat, OAE yang timbul dapat dicatat secara sederhana dengan
memasang probe (sumbat) dari bahan spons berisi mikrofon mini ke dalam
liang telinga untuk memberi stimulus akustik dan untuk menerima emisi yang
dihasilkan koklea tersebut. Bila terdapat gangguan pada saat suara
dihantarkan dari telinga luar seperti debris/serumen, gangguan pada telinga
tengah seperti otitis media maupun kekakuan membran timpani, maka
stimulus akustik yang sampai ke koklea akan terganggu dan akibatnya emisi
yang dibangkitkan dari koklea juga akan berkurang. Alat OAE didesain
secara otomatis mendeteksi adanya emisi (pass/ lulus) atau bila emisi tidak
ada/berkurang (refer/rujuk), sehingga tidak membutuhkan tenaga terlatih
untuk menjalankan alat maupun menginterpretasikan hasil. EOAE
merupakan respons elektrofisiologik koklea terhadap stimulus akustik,
berupa bunyi jenis clicks atau tone bursts. Respons tersebut dipancarkan ke
arah luar melalui telinga tengah, sehingga dapat dicatat oleh mikrofon mini
yang juga berada di dalam probe di liang telinga. EOAE dapat ditemukan
pada 100% telinga sehat, dan akan menghilang/berkurang pada gangguan
pendengaran yang berasal dari koklea. EOAE mempunyai beberapa
karakteristik yaitu dapat diukur pada fungsi koklea yang normal bila tidak ada
kelainan telinga luar dan tengah; bersifat frequency specific (dapat
mengetahui tuli pada frekwensi tertentu); pada neonatus dapat diukur
frekuensi dengan rentang yang luas yaitu frekuensi untuk bicara dan bahasa
(500-6000 kHz). OAE tidak muncul pada hilangnya pendengaran lebih dari
30-40 dB.2,12,,20-2 EOAE dipengaruhi oleh verniks kaseosa, debris dan
kondisi telinga tengah (cavum tympani), hal ini menyebabkan hasil refer 5-
20% bila skrining dilakukan 24 jam setelah lahir.9 Balkany seperti dikutip
dari Chang dkk melaporkan neonatus berusia kurang dari 24 jam liang
telinganya terisi verniks caseosa dan semua verniks caseosa ini akan dialirkan
keluar dalam 24-48 jam setelah lahir. Sehingga angka refer < 3% dapat
dicapai bila skrining dilakukan dalam 24-48 jam setelah lahir. Bonfils dkk
melaporkan maturasi sel rambut luar lengkap terjadi setelah usia gestasi 32
minggu.(4)
EOAE merupakan respons elektrofisiologik koklea terhadap stimulus
akustik, berupa bunyi jenis clicks atau tone bursts. Respons tersebut
dipancarkan ke arah luar melalui telinga tengah, sehingga dapat dicatat oleh
mikrofon mini yang juga berada didalam probe di liang telinga. EOAE dapat
ditemukan pada 100% telinga sehat, dan akan menghilang/berkurang pada
gangguan pendengaran yang berasal dari koklea.19 EOAE mempunyai
beberapa karakteristik yaitu dapat diukur pada fungsi koklea yang normal bila
tidak ada kelainan telinga luar dan tengah; bersifat frequency specific (dapat
mengetahui tuli pada frekwensi tertentu); pada neonatus dapat diukur
frekuensi denganrentang yang luas yaitu frekuensi untuk bicara dan bahasa
(500- 6000 kHz).11 OAE tidak muncul pada hilangnya pendengaran lebih
dari 30-40 dB.(4)
Pemeriksaan OAE juga dimanfaatkan untuk memonitor efek negatif
dari obat ototoksik, diagnostik neuropati auditorik, membantu proses
pemilihan alat bantu dengar, skrining pemaparan bising (noise induced
hearing loss) dan sebagai pemeriksaan penunjang pada kasus-kasus yang
berkaitan dengan gangguan koklea.(1)
C. Auditory Brainstem Response (ABR)

Merupakan suatu pemeriksaan untuk menilai fungsi nervus VIII dan jalur
pendengaran di batang otak dengan merekam potensial listrik yang
dikeluarkan sel koklea selama menempuh perjalanan mulai telinga dalam
hingga nukleus tertentu di batang otak(4).

Cara pemeriksaan :

Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan elektroda permukaan yang


diletakkan pada kulit kepala atau dahi dan prosesus mastoid atau lobulus
telinga. Prinsippemeriksaan ABR adalah menilai perubahan potensial listrik
di otak setelah pemberian rangsangan sensoris berupa bunyi. Rangsangan
bunyi yang diberikan melalui headphone atau insert probe akan menempuh
perjalanan melalui koklea (gelombang I), nukleus koklearis (gelombang II),
nukleus olivarius superior (gelombang III), lemnikus lateralis (gelombang
IV), kolikulus inferior (gelombang V) kemudian menujuke korteks auditorius
di lobus temporalis otak. Yang penting untuk dicatat adalah gelombang I, III,
dan V. ABR konvensional merupakan click evoked ABR air conduction, dan
frekuensi yang diberikan sebesar 2000-4000Hz, dengan intensitas dapat
mencapai 105dB. ABR membutuhkan waktu lebih lama dan tenaga terlatih
dalam mengoperasikan alat maupun menginterpretasikan hasil. Respons
neural terhadap stimulus bunyi yang diterima akan direkam komputer melalui
elektroda pemukaan (surface electrode) yang ditempelkan pada kepala (dahi
dan prosesus mastoid). Parameter yang dinilai berdasarkan morfologi
gelombang, amplitudo dan masa laten. Hasil penilaian adalah intensitas
stimulus terkecil (desibel/dB) yang masih memberikan gelombang BERA.
Ada 5 gelombang BERA yang dapat dibaca, masing masing menggambarkan
respons dari bagian-bagian jaras auditorik mulai dari nervus akustikussampai
kolikulus inferior. . Rangsangan bunyi yang diberikan melalui head phone
atauinsert probe akan menempuh perjalanan melalui koklea (gelombang I),
nukleus koklearis (gelombang II), nukleus olivarius superior (gelombang III),
lemnikus lateralis (gelombang IV), kolikulus inferior (gelombang V)
kemudian menuju ke korteks auditorius di lobus temporalis otak. Yang
penting dicatat adalah gelombang I,III dan V.Pada bayi yang paling mudah
diidentifikasi adalah gelombang V (kolikulus inferior). Perlu diperhatikan
agar pemeriksaan BERA pada bayi dibawah usia 3 bulan atau bayi lahir
prematur, mungkin terjadi pemanjangan masa laten sehingga didapat kesan
adanyatuli konduktif, pada kasus seperti ini perlu dilakukan BERA ulangan
pada saat usia lebihdari 3 bulan dan dilakukan koreksi usia (pada prematur).(4)

ABR tidak terpengaruh oleh debris di liang telinga luar dan tengah
namun memerlukan bayi dengan keadaan tenang, karena dapat timbul artefak
akibat gerakan. ABR dapat mendeteksi adanya tuli konduktif dan tuli
sensorineural. Sensitivitas 100%dan spesifitas 97-98%. (4)

Automated auditory brainstem responese (AABR) Merupakan


pemeriksaan BERA otomatis sehingga tidak diperlukan analisis gelombang
evoked potential karena hasil pencatatan mudah dibaca, berdasarkan kriteria
pass atau refer (tidak lulus). Pemeriksaan ini sama dengan BERA
konvensional yaitu menggunakan elektroda permukaan dengan pemberian
stimulus click, mudah dilakukan, praktis, tidak invasif dan hanya dapat
menggunakan intensitas 30 – 40 dB. Umumnya digunakan untuk keperluan
skrining pendengaran. Metode ini jauh lebih praktis dariABR karena tidak
memerlukan interpretasi dari audiologist. Metode ini dilakukan dengan
tujuan untuk uji terhadap integritas struktur jalur pendengaran, tetapi bukan
pemeriksaan pendengaran yang sebenarnya. Pendengaran tidak dapat
dikatakan normal sampai anak cukup matang untuk menjalani behavioral
audiometry. (4)
BAB III

KESIMPULAN
Gangguan pendengaran pada masa bayi akan menyebabkan gangguan wicara,
berbahasa, kognitif, masalah sosial, dan emosional. Skrining pendengaran pada bayi
dapat dimulai dengan mengidentifikasi faktor risko pada bayi serta menilai ada
tidaknya keterlambatan perkembangan wicara pada bayi. Adapun metode
pemeriksaan gangguan pendengaran pada bayi yang dapat dilakukan diantaranya
Behavioral Observation Audiometry (BOA), Visual Reinforcement Audiometry,
Timpanometri, Otoacoustic Emission (OAE). Otoacoustic emissions (OAE), Auditory
Brainstem Response (ABR), , dan/atau automated auditory brainstem response
(AABR) direkomendasikan sebagai metode skrining pendengaran pada neonatus.
The joint committee on infant Hearing tahun 2000 merekomendasikan pemeriksaan
baku pada skrining pendengaran pada bayi adalah Otoacoustic emissions (OAE)dan
automated auditory brainstem response (AABR).
DAFTAR PUSTAKA

1. Snell, Richard S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi ke-6. Richard
S. Snell; alih bahasa, Liliana Sugiharto; editor edisi bahasa Indonesia, Huriawati
Hartanto. Jakarta: EGC , 2006
2. Seeley, Stephen, Tate. Respiratory System. Anatomy and Physiology. Chapter
23.The McGraw-Hill Companies. 2004
3. Guyton A.C and Hall,J.E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi-12. Singapure:
Elsevier: 2014.
4. Sherwood, L. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem Edisi-8. Jakarta: EGC: 2014.
5. Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggirokan, Kepala, Dan Leher Edisi Ke-7. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2014.
6. Suwento Ronny dkk. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak. In: buku ajar
ilmukesehatan telinga,hidung,tenggorok,kepala, dan leher FKUI ed. Ketujuh. balai
penerbit FKUI : Jakarta.2012.
7. Anderson KL. The charge of the task force was to develop evidence-based
recommendations for screening hearing of children age 6 months through high
school. American Academy of Audiology Childhood Hearing Screening
Guidelines.US:2011
8. Hyde ML. Newborn Hearing Screening Programs: Overview. The Journal of
Otolaryngology, Volume 34, Supplement 2, August 2005
9. Rundjan Lily, dkk. Skrining Gangguan pendengaran pada neonatus resiko tinggi.
In:Sari Pediatri vol.6. 2005.Pg;149-154.
10. Delaney MA. Newborn Hearing Screening.[diakses tanggal 8 Maret 2014].
Availablefrom : http://emedicine.medscape.com/article/836646-overview#showall
11. Nelson HD. Universal Newborn Hearing Screening:Systematic Review to Update
the2001U.S. Preventive Services Task Force Recommendation. AHRQ Publication
No. 08-05117-EF-1.July:2008
12. Boies R.L. in effendi H, santoso K. Penyakit Telinga Luar Boies Buku Ajar Penyakit
THT (BOIES Fundamentalof otolaringology), ed 6. penerbit buku kedokteran, hal
84-85
13. Sadler, T.W., Langman’s Medical Embryology, Sadler: Montana. 2005,
Hal. 403- 414
14. Soertirto I dan Bashiruddin J in Soepardi A.E iskandar N edt. Gangguan
Pendengaranin buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung dan tenggorokan
kepala leher, ed 6, FKUI2007, Hal 10-16
15. Menner Albert L. A Pocket Guide To The Ear. New York. 2006. Hal. 26-33

16. Mardiah Ainul. Fistula Preaurikula Congenital. Pada majalah


kedokteranNusantaravolume 38. No.4. FKUSU. Medan. 2005
17. Guyton AC, Hall JE.Indera pendengaran.In : Buku Ajar Fisiologi
KedokteranEd.11.EGC :Jakarta.2006
18. World Health Organization. Newborn and Infant Hearing Screening.Geneva :2009

19. Trihandani okti. Gambaran Hasil Pemeriksan Emisi Otoakustik Sebagai


Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir Di Rsup H.Adam Malik Dan
Balai PelayananKesehatan Dr.Pirngadi Medan. USU.2008
20. Andriani Rini,dkk. Peran instrumen modifikasi tes daya dengar sebagai
alat skrining gangguan pendengaran pada bayi risiko tinggi usia 0-6
bulan. Sari Pediatri vol 12. Departemen ilmu penyakit telinga,
hidung,tenggorokan, FKUI,Jakarta.2010

xxx

Anda mungkin juga menyukai