BAB I
A. LATAR BELAKANG
Gender masih menjadi isu penting dalam kehidupan masyarakat di berbagai negara.
Munculnya berbagai ketimpangan dan ketidakadilan gender merupakan salah satu pemicu
munculnya gagasan kesetaraan gender di semua aspek kehidupan baik di ranah domestik maupun
publik. Keluarga, sebagai sub sistem dari masyarakat, memiliki fungsi strategis dalam
menanamkan nilai-nilai kesetaraan dalam setiap aktivitas dan pola hubungan antaranggota
keluarga, karena dalam keluargalah semua struktur, peran, fungsi sebuah sistem berada. Dalam
keluarga terjadi proses negosiasi yang tidak akan pernah selesai, di mana segala bentuk
perbedaan harus menemukan harmoninya dengan pembagian peran dan fungsi yang seimbang
antaranggota keluarga yang terdiri dari ayah/suami, ibu/istri dan anak-anak. Oleh karenanya,
dengan berbagai perbedaan itulah, seluruh anggota keluarga dapat memperkuat fungsi keluarga
sebagai institusi pertama bagi setiap anak manusia untuk mengenal dirinya, lingkungannya,
tempat tumbuh dan berkembang, saling mengasihi, melakukan proses pendidikan, membentuk
karakter setiap individu dan mempersiapkan setiap individu (anak) untuk mencapai tujuan utama
sebagai manusia yang berkualitas.
Budaya Paternalistik yang selama ini berkembang di masyarakat akhirnya membagi
gender secara diskriminatif dan struktural, hal ini mengakibatkan wanita hanya di tempatkan
pada kelompok masyarakat nomor dua. pepatah jawa yang mengatakan bahwa fungsi perempuan
hanya macak, masak dan manak merupakan sebuah konotasi yang dapat diartikan bahwa
perempuan itu hanya merupakan makhluk yang bernyawa tapi tidak berjiwa. Perempuan
dianggap makhluk yang anti sosial di mana potensi spiritual dan intelektual tercerabut dari
tubuhnya, atau tidak mendapatkan sebuah media yang proporsional. Stereotip-stereotip yang
telah terpatri dalam perempuan inilah yang lambat laun membentuk opini bahwa perempuan
hanya bisa berkiprah di bawah ketiak laki-laki, ataupun perempuan hanya mampu dimaknai
eksistensinya pada wilayah realitas fisiknya saja.
Pencitraan para perempuan Jawa sangat lekat dengan persoalan sumur yang secara
sosial dapat diterima oleh masyarakat itu sendiri. stereotip ini merefleksikan peran perempuan
yang bertanggung jawab terhadap kebersihan pakaian keluarga, atau dalam pepatah Jawa seorang
perempuan tidak pernah bisa lepas dari wilayah sumur, dapur dan kasur. Secara sekilas,
representasi tersebut terlihat lumrah, visibilitas dari representasi ini dikonsepsikan pada
fenomena rumah tangga, di mana perempuan sebagai ibu rumah tangga berperan sebagai subjek
gender yang bertanggung jawab terhadap kebersihan pakaian. Sedangkan “dapur” merupakan
sebagai simbol bagi perempuan yang lebih berperan dalam urusan pemenuhan kebutuhan
pangan. Kemudian “kasur” merupakan sebagai istlah yang menandakan bahwa perempuan
berkewajiban dalam pemenuhan kepuasan suami. Fenomena yang demikian merupakan
fenomena sosial yang biasa bagi masyarakat. Sesungguhnya, dalam representasi dewasa ini
terdapat pemahaman ideologi yang mempunyai perspektif gender.
BAB II
PEMBAHASAN